MENINGKATKAN PENGETAHUAN MENGENAI BIJI K
MENINGKATKAN PENGETAHUAN MENGENAI BIJI KARET
SEBAGAI ALTERNATIF PENGHASILAN TAMBAHAN BURUH TANI
KARET DI DESA TEGALSARI
Mata Kuliah: Pendidikan Berbasis Mayarakat
A. LATAR BELAKANG
Desa Tegal Sari merupakan desa yang terbentuk melalui program
transmigrasi pada tahun 1980 dibawah binaan dari dinas transmigrasi yang
disebut UPT III wilayah pematang panggang II. Penduduk desa Tegal Sari
berasal dari daerah jawa timur, jawa tengah dan jawa barat. Berdasarkan tata
letaknya desa Tegal Sari berada diwilayah kecamatan Mesuji makmur
kabupaten ogan komering ilir sumatera selatan, dengan luas wilayah 1.526 Ha
dimana 85% berupa daratan yang bertopografi tinggi dan 65% daratan
dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan karet (LPPD desa Tegal Sari , 2016).
Berdasarkan data yang menyebutkan bahwa 65% wilayah dimanfaatkan
sebagai lahan perkebunan karet, maka tidak mengherankan jika sebagian besar
penduduk didesa tersebut berprofesi sebagai petani dan buruh penyadap karet.
Berdasarkan data Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (LPPD) Tegal
Sari tahun 2016 jumlah penduduk desa Tegal Sari adalah 3.387 jiwa dari 997
kepala keluarga (KK) yang terbagi dalam 7 (tujuh) wilayah dusun dengan rincian
sebagai berikut:
Tabel.1
Jumlah Penduduk
DUSUN
Dusun I
Dusun II
Dusun III
Dusun IV
Dusun V
Dusun VI
Dusun VII
Jumlah Total
JUMLAH PENDUDUK
467
326
536
273
553
584
648
3.387
Masyarakat desa Tegal Sari memiliki mata pencaharian yang beraneka ragam
akan tetapi sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai petani dan buruh tani
yang dirincikan sebagai berikut :
Tabel.1.2
Jumlah Penduduk berdasarkan profesi (Laporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa (LPPD) Tegal Sari , 2016)
Profesi (Pekerjaan)
Jumlah Perorang
Petani
834
Buruh tani (Penyadap Karet)
626
Pegawai Negeri Sipil
26
Pedagang
21
Penjahit
2
Pekerja Bangunan
68
Pegawai Swasta
8
Jumlah Total
1.585
Berdasarkan data yang disebutkan diatas, dapat diketahui bahwa sebagian
besar masyarakat berprofesi sebagai petani karet dan buruh tani (penyadap karet),
Oleh karena itu ketika terjadi penurunan harga karet yang melanda dunia
termasuk Indonesia, penurunan harga memberikan dampak yang sangat
signifikan terhadap ekonomi masyarakat desa Tegal Sari terutama mereka yang
berprofesi sebagai buruh tani (penyadap karet). Masalah ekonomi tersebut berupa
pendapatan para buruh tani (penyadap karet) yang menurun sehingga tidak
mencukupi untuk membeli kebutuhan sehari - hari.
Adapun penghasilan rata-rata para buruh tani (penyadap karet) ketika harga
karet mencapai Rp.8.000 seperti pada bulan februari tahun 2017 ini adalah
Rp.200.000-Rp.250.000 dengan perolehan selama seminggu sehingga selama
satu bulan dengan tiga kali memulung getah karet adalah sebesar Rp.600.000
hingga Rp.750.000. Pada saat harga komoditi karet mengalami penurunan hingga
Rp.4000 seperti pada tahun 2016 lalu, pendapatan masyarakat rata-rata berkisar
Rp.120.000-Rp.150.000/minggu, sehingga dalam sebulan penghasilan rata-rata
masyarakat adalah sekitar Rp.360.000-Rp.450.000. Dengan penghasilan rata-rata
saat terjadi penurunan harga komoditi karet seperti disebutkan diatas, sedangkan
harga kebutuhan pokok terus melonjak maka masyarakat desa Tegal Sari
memerlukan penghasilan tambahan untuk mecukupi kebutuhan pokok mereka.
Adanya permasalahan tersebut, menurut kepala desa setempat banyak dari
penduduk desa mencari pekerjaan tambahan dengan merantau kedaerah lain
hingga kekota-kota besar. Pada kenyataannya menurut salah satu warga yang
merantau saat itu, merantau untuk mencari pekerjaan diluar malah menimbulkan
masalah baru, hidup ditempat lain juga membutuhkan biaya hidup sehingga
beban biaya hidup sehari-hari malah semakin bertambah bukan terkurangi. Oleh
karena itu jika melihat pada pernyataan dari kepala desa dan pernyataan warga
maka dapat disimpulkan bahwa pekerjaan tambahan (pekerjaan sampingan)
sangat diperlukan oleh masyarakat desa Tegal Sari terutama mereka yang
berprofesi sebagai buruh tani (penyadap karet).
Berdasarkan penelitian yang dihasilkan dalam Program Kreativitas
Mahasiswa (PKM) Institut Pertanian Bogor (2013), biji karet yang dibiarkan
berserakan dan dipandang sebelah mata oleh masyarakat ini dapat dimanfaatkan
sebagai bahan pangan yang dapat dikonsumsi oleh manusia dengan
menghilangkan kadar Hcn pada biji karet tersebut. Dengan melihat hasil
penelitian tersebut maka biji karet dapat diolah dan digunakan sebagai salah satu
alternatif untuk menciptakan peluang usaha serhingga memberikan pengasilan
tambahan bagi masyarakat desa Tegal Sari. peluang usaha tersebut berkaitan
dengan kuliner kreatif berdasarkan potensi yang dimiliki desa Tegal Sari,
meningat 65% wilayah digunakan sebagai perkebunan karet maka ketersediaan
biji karet yang saat ini masih belum dimanfaatkan oleh mayarakat sangatlah
melimpah.
Kurangnya pengetahuan masyarakat akan potensi yang dimiliki didesa yaitu
berupa hasil buah karet atau biasanya disebut biji karet (polong), menjadikan
masyarakat kurang menyadari akan adanya peluang usaha dari pemanfaatan biji
karet tersebut yang tergolong dalam ekonomi kreatif dibidang usaha kuliner.
Kurangnya pengetahuan akan potensi dan manfaat yang terdapat pada biji karet
untuk diolah sebagai bahan pangan sangatlah wajar terjadi pada masyarakat Tegal
Sari mengingat latar belakang pendidikan masyarakat yang sebagian besaradalah
pra sekolah dan tamatan Sekolah Dasar (SD) seperti yang ditunjukan pada tabel
1.3, sehingga diperlukan pihak lain untuk penyampaian informasi tersebut.
Tabel.1.3
Tingkat pendidikan penduduk desa Tegal Sari (LPPD Desa Tegal Sari , 2016)
TINGKAT PENDIDIKAN
JUMLAH
Pra Sekolah
390
Sekolah Dasar (SD)
700
Sekolah Menengah Pertama (SMP)
368
Sekolah Menengah Atas (SMA)
115
Sarjana
76
Jumlah Total
1.649
Mengingat perlunya penghasilan tambahan bagi masyarakat Tegal Sari untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya setelah melihat permasalah yang dialami dan
salah satu potensi yang dimiliki desa yang dapat dimanfaatkan adalah biji karet
maka perlu untuk dilakukan pembelajaran bagi masyarakat desa Tegal Sari
mengenai biji karet yang dapat diolah sebagai bahan pangan sehingga dapat
menjadi suatu inovasi olahan pangan dalam kuliner kreatif, selain itu adanya hasil
observasi dilapangan yang menunjukkan bahwa para buruh tani setelah
menyelesaikan pekerjaan mereka yang mereka mulai pada pukul 04.00 hingga
10.00 WIB, masyarakat menggunakan waktu luang mereka untuk beristirahat
dirumah tidak melakukan kegiatan produktif lainnya, oleh karea itu kegiatan ini
dapat dilakukan untuk mengisi waktu luang mereka dan menambah penghasilan
masyarakat.
B. TUJUAN
Tujuan dari program ini adalah untuk memberikan pengetahuan mengenai
pemanfaatan biji karet sebagai bahan pangan melalui proses pembelajaran dan
praktik pengolahan secara bersama, sehingga masyarakat dapat memanfaatkan
biji karet untuk membangun usaha dibidang ekonomi kreatif sebagai salah satu
alternatif untuk mendapatkan penghasilan tambahan serta mengubah biji karet
menjadi sesuatu yang bernilai dan memiliki manfaat bagi masyarakat.
C. MANFAAT
Adapun manfaat dari program peningkatan pengetahuan masyarakat
mengenai biji karet adalah sebagai berikut:
1. Membangun inisiatif masyarakat untuk memecahkan masalah ekonomi secara
bersama-sama melalui potensi yang dimiliki.
2. Mengubah masyarakat yang konsumtif menjadi masyarakat yang kreatif
sehingga jeli untuk melihat potensi yang ada disekitar tempat tinggalnya.
D. TINJAUAN PUSTAKA
a. Pendidikan berbasis msayarakat
Pendidikan berbasis masyarakat menurut Umberto Sihombing merupakan
pendidikan yang dirancang, dilaksanakan, dinilai, dan dikembangkan oleh
masyarakat yang mengarah pada usaha menjawab tantangan dan peluang
yang ada di lingkungan masyarakat tertentu dengan berorientasi pada masa
depan. Dengan kata lain, pendidikan berbasis masyarakat adalah konsep
pendidikan “dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat”.
Pendidikan berbasis masyarakat menurut Umberto Sihombing merupakan
pendidikan yang dirancang, dilaksanakan, dinilai, dan dikembangkan oleh
masyarakat yang mengarah pada usaha menjawab tantangan dan peluang
yang ada di lingkungan masyarakat tertentu dengan berorientasi pada masa
depan. Dengan kata lain, pendidikan berbasis masyarakat adalah konsep
pendidikan “dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat”.
Pendidikan berbasis masyarakat menurut Cunningham (Suharto, 2013)
mengasumsikan suatu pendirian yang lebih radikal (more radical stance).
Dengan mengutip pendapat dari The Association for Community Based
Education, ia mengartikan konsep pendidikan berbasis masyarakat sebagai:
“Responding to underserved populations by carrying out of range of
activities that include economic development, housing rehabilitation,
health services, job training, adult literacy, and continuing education
programs. The promise is that education cannot be separated from the
culture and community in which it occurs-it is linked to community
development and the empowerment of communities”.
Jawaban atas ketidakmampuan negara dalam melayani penduduk untuk
menyelesaikan berbagai aktivitas, yang meliputi pembangunan ekonomi,
rehabilitasi perumahan, pelayanan kesehatan, latihan kerja, pemberantasan
buta huruf, dan program-program pendidikan berkelanjutan. Premisnya
adalah bahwa pendidikan tidak bisa terpisah dari kultur dan masyarakat
tempat pendidikan itu terjadi. Oleh karena itu, pendidikan berbasis
masyarakat berhubungan dengan pembangunan masyarakat dan
pemberdayaannya. Menurut Cunningham (Suharto, 2013), berdasarkan
definisi di atas, yang menjadi komitmen pendidikan berbasis masyarakat
adalah untuk mengadakan pembangunan dan pemberdayaan dalam
masyarakat (development and empowerment in communities).
Menurut Suharto (2013) Pendidikan berbasis masyarakat dengan
demikian merupakan salah satu agenda yang perlu ditekankan dalam rangka
implementasi demokratisasi pendidikan. Dengan pelaksanaan konsep
pendidikan ini masyarakat diharapkan memiliki kesadaran untuk terus belajar
sepanjang hayat (lifelong education). Dalam konteks ini, peran pemerintah
tidak lebih dari sekadar sebagai pelayan, fasilitator, pendamping, mitra, dan
penyandang dana bagi pendidikan berbasis masyarakat. Dengan peran-peran
ini, hubungan pemerintah dan masyarakat dalam pelaksanaan konsep
pendidikan berbasis masyarakat merupakan hubungan kemitraan
(partnership), dengan maksud transformasi masyarakat itu sendiri. Menurut
Sihombing, dengan hubungan kemitraan ini pemerintah tidak lagi
mendominasi, memonopoli, memaksakan kehendak, menguasai, atau ikut
campur atas lembaga pendidikan yang memang berbasis masyarakat, sebab
campur tangan dan dominasi pemerintah hanya akan melahirkan sifat
resistensi, masa bodoh, menurunkan kreativitas, menimbulkan
ketergantungan, dan bahkan mengikis kepercayaan masyarakat itu sendiri
untuk melaksanakan pendidikannya.
b. Pendidikan berbasis masyarakat dalam perspektif sosiologis
P.M. Cunningham (Suharto, 2013) memandang pendidikan berbasis
masyarakat dari perspektif sosiologis. Cunningham membedakan konsep
”pendidikan masyarakat” (community education) dengan ”pendidikan
berbasis masyarakat” (community-based education). Menurutnya, pendidikan
masyarakat didefinisikan sebagai proses pembangunan pendidikan
masyarakat dengan tujuan untuk pengembangan potensi dan partisipasi
masyarakat di tingkat lokal, yang pelaksanaannya mengikuti paradigma
fungsionalis. Paradigma ini mengasumsikan adanya “sekolah negeri” dan
keinginan untuk menggunakannya secara efisien. Sekolah-sekolah ini
memang dibuat agar menjadi sumber daya masyarakat, dalam rangka
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan. Paradigma ini
tidak melihat struktur sosial masyarakat di mana sekolah itu berada, tapi yang
dilihat adalah keterlibatan warga negara dalam pembangunan masyarakat.
Berbeda dengan pendidikan masyarakat, pendidikan berbasis masyarakat
menurut Cunningham adalah untuk mengadakan pembangunan dan
pemberdayaan dalam masyarakat (development and empowerment in
communities). Dalam pelaksanannya, pendidikan berbasis masyarakat
mungkin diorganisir di sekitar populasi khusus, atau di sekitar lingkungan
tertentu. Yang jarang terjadi adalah penempatan organisasi-organisasi berbasis
masyarakat pada suatu sekolah negeri (public school). Hal ini karena definisi
menyangkut pendidikan berbasis masyarakat itu adalah hubungan antar
kekuasaan dan kemiskinan (power and poverty relationships), bukan
keikutsertaan warganegara (citizen participation). Oleh karena itu, paradigma
yang digunakan pendidikan berbasis masyarakat adalah paradigma konflik.
Menurut Cunningham (Suharto,2013) adanya kedua paradigma di atas
tidak lepas dari perdebatan seputar tujuan utama pendidikan yang diterima di
sekolah. Penafsiran pertama, yaitu paradigma fungsionalisme,
mengindikasikan bahwa adanya modernisasi dan perubahan secara
evolusioner dalam pembangunan telah menekankan perlunya konsensus dan
integrasi, agar semua terjadi dalam keseimbangan. Di sini sekolah sering
ditujukan untuk mempersiapkan warganegara, baik melalui kognitif maupun
sosialisasi, untuk mengambil peran sosial dan ekonomisnya berdasarkan
prestasi yang mereka capai di dalam suatu sistem kompetitif. Adapun di
dalam penafsiran kedua, yaitu paradigma konflik, kekuasaan telah dijadikan
analisis konsep utamanya. Analisis kekuasaan ini telah membawa suatu
bentuk konflik di mana variabel-variebel seperti ras, jenis kelamin, dan kelas
adalah alat yang kuat untuk menjelaskan pendidikan bagi upaya proses
penjinakan (domestication). Konsep penjinakan merupakan sentral di dalam
menganalisa pertentangan dan perlawanan golongan atau kelas.
Berikut dikemukakan tabel yang dikemukakan Cunningham, yang
menggambarkan perbedaan ”pendidikan masyarakat” (paradigma
fungsionalisme) dengan ”pendidikan berbasis masyarakat” (paradigma
konflik) :
Paradigma Fungsionalisme/
Development
Karakteristi
k
Pengertian
Masyarakat
For
mat
Pen
didik
an
Prog
ram
Pen
didik
an
Paradigma Konflik/
Change
Konsensus-Integrasi
Konflik-Transformasi
Masyarakat secara Geografis
Masyarakat
secara
Geografis dan Komunitas
Fokus
Formal
Lembaga
Fokus pada Lembaga
Nonformal
Pendidikan
Masyarakat,
Pembangunan Masyarakat,
dan Community College
Pendidikan
Berbasis
Masyarakat, Pendidikan
Popular,
dan
Social
Movement Learning
pada
Prod
uk
Pen
geta
hua
n
Kultur
Positivistik Logis
PartisipatoriTransformasi
High Culture, seperti Museum
dan Perpustakaan
Popular Culture, seperti
Teater dan Seni Popular
Tabel Cunningham di atas secara sepintas menjelaskan bahwa paradigma
pendidikan fungsionalis senantiasa melaksanakan program pendidikannya
dengan apa yang disebut pendidikan masyarakat (community education) dan
pembangunan masyarakat (community development). Oleh karena teori
fungsionalis yang dijadikan landasan paradigmanya, maka program
pendidikan semacam ini senantiasa berupaya mempertahankan status quo.
Pendidikan dalam teori fungsionalis telah dijadikan instrumen untuk
mencapai stabilitas atau equlibrium di atas konsensus para anggota
masyarakatnya. Selain itu, tabel di atas juga menjelaskan bahwa berbeda
dengan paradigma fungsionalis, paradigma konflik telah menekankan
program pendidikannya pada apa yang disebut pendidikan berbasis
masyarakat (community-based education). Paradigma konflik menurut
Nasikun (Suharto, 2013) mengindikasikan bahwa perubahan sosial terjadi
karena adanya unsur-unsur yang bertentangan di dalam masyarakat secara
terus-menerus, karena perbedaan otoritas. Otoritas yang berbeda telah
melahirkan dua kepentingan yang berlawanan. Suatu kelompok senantiasa
mempertahankan status quo, dan kelompok yang lain berupaya menghendaki
perubahan dan perombakan. Dua kelompok ini senantiasa berada pada posisi
konflik, demi mempertahankan kepentingannya. Ada tiga bentuk
pengendalian konflik, yaitu konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi. Ketiga bentuk
ini dipandang efektif bagi mekanisme pengendalian konflik, yang pada
gilirannya konflik yang ada merupakan sebuah kekuatan yang dapat
mendorong terjadinya perubahan sosial tanpa akhir. Pendidikan berbasis
masyarakat menurut Cunningham senantiasa menghendaki adanya perubahan
sosial yang dihasilkan dari konflik yang terjadi antara kelompok pro status
quo (pemerintah) dengan kelompok yang anti status quo (masyarakat).
Konflik semacam ini kiranya diperlukan dalam rangka penciptaan masyarakat
transformatif.
c. Biji karet sebagai bahan pangan
Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) dan Potensinya Karet (Hevea
brasiliensis) termasuk genus Hevea, family Euphorbiaceae dan termasuk
dalam tanaman penghasil biji dan getah (lateks). Karet termasuk tanaman
yang menyerbuk sendiri dan silang. Biji akan diperoleh setelah lima hingga
enam bulan setelah penyerbukan. Di Indonesia, perkebunan karet diusahakan
oleh rakyat dan perkebunan negara sehingga potensi persediaan biji karet
setiap tahun di Indonesia cukup besar. Menurut Badan Pusat Statistik (2012),
luas areal perkebunan karet di Indonesia hingga 2012 adalah 472,200 ha.
Setiap hektar diharapkan dapat menghasilkan biji 5,000 hingga 10,000 butir
per tahun (Team Sertifikasi Bahan Tanaman Karet Rakyat, 1975).
Diperkirakan dari seluruh areal tersebut hanya 40 persen yang menghasilkan
biji (Hardjosuwito dan Hoesnan, 1976). Jika setiap biji memiliki bobot dua
gram (2g) daging biji per butir (Hardjosuwito dan Hoesnan, 1976), maka
setiap tahun produksi daging biji karet adalah sebesar 1,888.8 - 3,777.6 ton.
Komposisi Biji Karet Biji karet terdiri dari kurang lebih 40 persen kulit dan
60 persen daging biji. Variasi proporsi dua unsur ini tergantung pada
kesegaran biji. Proporsi kulit biji akan semakin meningkat jika biji dibiarkan
mongering. Menurut Lauw et al. (1967) biji karet mengandung protein yang
bernilai rendah, namun jika dikombinasikan dengan berbagai jenis bahan
makanan lain maka nilai proteinnya dapat ditingkatkan (Atklistiyanti.dkk,
2013).
Biji karet juga mengandung 32.3 persen lemak, 3.6 persen air, 2.4 persen
abu, dan setiap 100 g bahan mengandung 450 μg tiamin, 2.5 μg asam
nikotinat, 250 μg karoten dan tokoferol, serta 330 μg asam sianida. Seperti
yang tercantum sebelumnya, kadar sianida yang sebanyak ini (330 μg per 100
g) dapat membahayakan manusia dan meracuni tubuh karena telah lebih dari
dosis maksimal asam sianida pada bahan makanan yaitu 50 μg per 100 g
bahan (Darjanto dan Murjati 1980). Dosis minimal asam sianida yang
mematikan adalah 0.5 – 3.5 mg HCN per kg berat badan (Chen et.al. 1934).
Asam Sianida (HCN) dalam Biji Karet Senyawa sianida ini merupakan zat
yang dapat meracuni manusia dan dikenal dengan nama ‘linamarin’.
Linamarin termasuk dalam golongan glukosida sianogenik. Biasanya racun
ini bersama-sama dengan enzim linase dapat menghidrolisa senyawa sianida
(Atklistiyanti.dkk, 2013).
Kadar asam sianida pada biji karet dapat direduksi dengan metode
perebusan dan perendaman. Metode yang digunakan dapat menurunkan kadar
asam sianida pada biji karet sehingga aman untuk dikonsumsi manusia dan
digunakan sebagai bahan pangan. Perlakuan perebusan selama 15 menit dan
perendaman selama 6 jam merupakan perlakuan yang paling efektif dalam
mereduksi asam sianida dengan penurunan kadar protein yang paling rendah
(Atklistiyanti.dkk, 2013).
E. METODE
Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan dari
program adalah sebagai berikut:
1. Bekerja sama dengan Pembina Kesejahteraan Keluarga (PKK). Alasan
dipilihnya PKK sebagai relasi untuk melaksanakan program dikarenakan
PKK memiliki program pokok yaitu pendidikan dan keterampilan
sertapengembangan kehidupan berkoperasi, sehingga program ini akan lebih
efektif jika dijalankan secara bersama dengan PKK.
2. Mengadakan Sosialisasi kepada masyarakat mengenai pemanfaatan biji karet.
3. Besama-sama dengan masyarakat melakukan praktik langsung pengolahan
untuk menghilangkan kardar Hcn pada biji karet sehingga menjadi bahan
baku pangan yang dapat dikonsumsi.
4. Mengajak masyarakat secara berkelompok untuk mengolah bahan pokok
yaitu biji karet sehingga mendapatkan olahan makanan yang bevariasi.
5. Mengenalkan hasil olahan kepada masyarakat.
6. Menguji produk di Badan Pengawas Obat dan Makanan.
7. Mempromosikan dan memasarkan olahan makanan melalui kegiatan
pameran/bazaar.
F. KESIMPULAN
Berdasarkan data awal yang didapatkan dilapangan permasalahan yang
muncul adalah ketika harga karet mengalami penurunan masyarakat desa Tegal
Sari terutama mereka yang berprofesi sebagai buruh penyadap karet memerlukan
penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Biji karet
merupakan salah satu potensi yang dimiliki desa yang dapat dimanfaatkan
sebagai alternatif penghasilan tambahan dan mengisi waktu luang masyarakat
dengan melihat peluang dari biji karet yang dapat digunakan sebagai usaha
dibidang kuliner kreatif, sehingga perlu untuk dilakukan pembelajaran kepada
masyarakat desa Tegal Sari mengenai pengolahan biji karet.
DAFTAR PUSTAKA
Atklistiyanti, Catur.dkk. 2013. Kajian Teknik Reduksi Asam Sianida (Hcn) Pada
Tempe Biji Karet Dalam Upaya Peningkatan Diversifikasi Protein
Nabati. Laporan Akhir Program Kreativitas Mahasiswa dengan
Surat Perjanjian Penugasan Program Kreativitas Mahasiswa
Nomor : 050/SP2H/KPM/Dit.Litabmas/V/2013, tanggal 13 Mei
2013 Institut Pertanian Bogor.
Suharto, Toto. 2013. Pendidikan Berbasis Masyarakat Organik: Pengalaman
Pesantren Persatuan Islam. Surakarta : FATABA Press.
Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Tegal Sari tahun 2016.
SEBAGAI ALTERNATIF PENGHASILAN TAMBAHAN BURUH TANI
KARET DI DESA TEGALSARI
Mata Kuliah: Pendidikan Berbasis Mayarakat
A. LATAR BELAKANG
Desa Tegal Sari merupakan desa yang terbentuk melalui program
transmigrasi pada tahun 1980 dibawah binaan dari dinas transmigrasi yang
disebut UPT III wilayah pematang panggang II. Penduduk desa Tegal Sari
berasal dari daerah jawa timur, jawa tengah dan jawa barat. Berdasarkan tata
letaknya desa Tegal Sari berada diwilayah kecamatan Mesuji makmur
kabupaten ogan komering ilir sumatera selatan, dengan luas wilayah 1.526 Ha
dimana 85% berupa daratan yang bertopografi tinggi dan 65% daratan
dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan karet (LPPD desa Tegal Sari , 2016).
Berdasarkan data yang menyebutkan bahwa 65% wilayah dimanfaatkan
sebagai lahan perkebunan karet, maka tidak mengherankan jika sebagian besar
penduduk didesa tersebut berprofesi sebagai petani dan buruh penyadap karet.
Berdasarkan data Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (LPPD) Tegal
Sari tahun 2016 jumlah penduduk desa Tegal Sari adalah 3.387 jiwa dari 997
kepala keluarga (KK) yang terbagi dalam 7 (tujuh) wilayah dusun dengan rincian
sebagai berikut:
Tabel.1
Jumlah Penduduk
DUSUN
Dusun I
Dusun II
Dusun III
Dusun IV
Dusun V
Dusun VI
Dusun VII
Jumlah Total
JUMLAH PENDUDUK
467
326
536
273
553
584
648
3.387
Masyarakat desa Tegal Sari memiliki mata pencaharian yang beraneka ragam
akan tetapi sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai petani dan buruh tani
yang dirincikan sebagai berikut :
Tabel.1.2
Jumlah Penduduk berdasarkan profesi (Laporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa (LPPD) Tegal Sari , 2016)
Profesi (Pekerjaan)
Jumlah Perorang
Petani
834
Buruh tani (Penyadap Karet)
626
Pegawai Negeri Sipil
26
Pedagang
21
Penjahit
2
Pekerja Bangunan
68
Pegawai Swasta
8
Jumlah Total
1.585
Berdasarkan data yang disebutkan diatas, dapat diketahui bahwa sebagian
besar masyarakat berprofesi sebagai petani karet dan buruh tani (penyadap karet),
Oleh karena itu ketika terjadi penurunan harga karet yang melanda dunia
termasuk Indonesia, penurunan harga memberikan dampak yang sangat
signifikan terhadap ekonomi masyarakat desa Tegal Sari terutama mereka yang
berprofesi sebagai buruh tani (penyadap karet). Masalah ekonomi tersebut berupa
pendapatan para buruh tani (penyadap karet) yang menurun sehingga tidak
mencukupi untuk membeli kebutuhan sehari - hari.
Adapun penghasilan rata-rata para buruh tani (penyadap karet) ketika harga
karet mencapai Rp.8.000 seperti pada bulan februari tahun 2017 ini adalah
Rp.200.000-Rp.250.000 dengan perolehan selama seminggu sehingga selama
satu bulan dengan tiga kali memulung getah karet adalah sebesar Rp.600.000
hingga Rp.750.000. Pada saat harga komoditi karet mengalami penurunan hingga
Rp.4000 seperti pada tahun 2016 lalu, pendapatan masyarakat rata-rata berkisar
Rp.120.000-Rp.150.000/minggu, sehingga dalam sebulan penghasilan rata-rata
masyarakat adalah sekitar Rp.360.000-Rp.450.000. Dengan penghasilan rata-rata
saat terjadi penurunan harga komoditi karet seperti disebutkan diatas, sedangkan
harga kebutuhan pokok terus melonjak maka masyarakat desa Tegal Sari
memerlukan penghasilan tambahan untuk mecukupi kebutuhan pokok mereka.
Adanya permasalahan tersebut, menurut kepala desa setempat banyak dari
penduduk desa mencari pekerjaan tambahan dengan merantau kedaerah lain
hingga kekota-kota besar. Pada kenyataannya menurut salah satu warga yang
merantau saat itu, merantau untuk mencari pekerjaan diluar malah menimbulkan
masalah baru, hidup ditempat lain juga membutuhkan biaya hidup sehingga
beban biaya hidup sehari-hari malah semakin bertambah bukan terkurangi. Oleh
karena itu jika melihat pada pernyataan dari kepala desa dan pernyataan warga
maka dapat disimpulkan bahwa pekerjaan tambahan (pekerjaan sampingan)
sangat diperlukan oleh masyarakat desa Tegal Sari terutama mereka yang
berprofesi sebagai buruh tani (penyadap karet).
Berdasarkan penelitian yang dihasilkan dalam Program Kreativitas
Mahasiswa (PKM) Institut Pertanian Bogor (2013), biji karet yang dibiarkan
berserakan dan dipandang sebelah mata oleh masyarakat ini dapat dimanfaatkan
sebagai bahan pangan yang dapat dikonsumsi oleh manusia dengan
menghilangkan kadar Hcn pada biji karet tersebut. Dengan melihat hasil
penelitian tersebut maka biji karet dapat diolah dan digunakan sebagai salah satu
alternatif untuk menciptakan peluang usaha serhingga memberikan pengasilan
tambahan bagi masyarakat desa Tegal Sari. peluang usaha tersebut berkaitan
dengan kuliner kreatif berdasarkan potensi yang dimiliki desa Tegal Sari,
meningat 65% wilayah digunakan sebagai perkebunan karet maka ketersediaan
biji karet yang saat ini masih belum dimanfaatkan oleh mayarakat sangatlah
melimpah.
Kurangnya pengetahuan masyarakat akan potensi yang dimiliki didesa yaitu
berupa hasil buah karet atau biasanya disebut biji karet (polong), menjadikan
masyarakat kurang menyadari akan adanya peluang usaha dari pemanfaatan biji
karet tersebut yang tergolong dalam ekonomi kreatif dibidang usaha kuliner.
Kurangnya pengetahuan akan potensi dan manfaat yang terdapat pada biji karet
untuk diolah sebagai bahan pangan sangatlah wajar terjadi pada masyarakat Tegal
Sari mengingat latar belakang pendidikan masyarakat yang sebagian besaradalah
pra sekolah dan tamatan Sekolah Dasar (SD) seperti yang ditunjukan pada tabel
1.3, sehingga diperlukan pihak lain untuk penyampaian informasi tersebut.
Tabel.1.3
Tingkat pendidikan penduduk desa Tegal Sari (LPPD Desa Tegal Sari , 2016)
TINGKAT PENDIDIKAN
JUMLAH
Pra Sekolah
390
Sekolah Dasar (SD)
700
Sekolah Menengah Pertama (SMP)
368
Sekolah Menengah Atas (SMA)
115
Sarjana
76
Jumlah Total
1.649
Mengingat perlunya penghasilan tambahan bagi masyarakat Tegal Sari untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya setelah melihat permasalah yang dialami dan
salah satu potensi yang dimiliki desa yang dapat dimanfaatkan adalah biji karet
maka perlu untuk dilakukan pembelajaran bagi masyarakat desa Tegal Sari
mengenai biji karet yang dapat diolah sebagai bahan pangan sehingga dapat
menjadi suatu inovasi olahan pangan dalam kuliner kreatif, selain itu adanya hasil
observasi dilapangan yang menunjukkan bahwa para buruh tani setelah
menyelesaikan pekerjaan mereka yang mereka mulai pada pukul 04.00 hingga
10.00 WIB, masyarakat menggunakan waktu luang mereka untuk beristirahat
dirumah tidak melakukan kegiatan produktif lainnya, oleh karea itu kegiatan ini
dapat dilakukan untuk mengisi waktu luang mereka dan menambah penghasilan
masyarakat.
B. TUJUAN
Tujuan dari program ini adalah untuk memberikan pengetahuan mengenai
pemanfaatan biji karet sebagai bahan pangan melalui proses pembelajaran dan
praktik pengolahan secara bersama, sehingga masyarakat dapat memanfaatkan
biji karet untuk membangun usaha dibidang ekonomi kreatif sebagai salah satu
alternatif untuk mendapatkan penghasilan tambahan serta mengubah biji karet
menjadi sesuatu yang bernilai dan memiliki manfaat bagi masyarakat.
C. MANFAAT
Adapun manfaat dari program peningkatan pengetahuan masyarakat
mengenai biji karet adalah sebagai berikut:
1. Membangun inisiatif masyarakat untuk memecahkan masalah ekonomi secara
bersama-sama melalui potensi yang dimiliki.
2. Mengubah masyarakat yang konsumtif menjadi masyarakat yang kreatif
sehingga jeli untuk melihat potensi yang ada disekitar tempat tinggalnya.
D. TINJAUAN PUSTAKA
a. Pendidikan berbasis msayarakat
Pendidikan berbasis masyarakat menurut Umberto Sihombing merupakan
pendidikan yang dirancang, dilaksanakan, dinilai, dan dikembangkan oleh
masyarakat yang mengarah pada usaha menjawab tantangan dan peluang
yang ada di lingkungan masyarakat tertentu dengan berorientasi pada masa
depan. Dengan kata lain, pendidikan berbasis masyarakat adalah konsep
pendidikan “dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat”.
Pendidikan berbasis masyarakat menurut Umberto Sihombing merupakan
pendidikan yang dirancang, dilaksanakan, dinilai, dan dikembangkan oleh
masyarakat yang mengarah pada usaha menjawab tantangan dan peluang
yang ada di lingkungan masyarakat tertentu dengan berorientasi pada masa
depan. Dengan kata lain, pendidikan berbasis masyarakat adalah konsep
pendidikan “dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat”.
Pendidikan berbasis masyarakat menurut Cunningham (Suharto, 2013)
mengasumsikan suatu pendirian yang lebih radikal (more radical stance).
Dengan mengutip pendapat dari The Association for Community Based
Education, ia mengartikan konsep pendidikan berbasis masyarakat sebagai:
“Responding to underserved populations by carrying out of range of
activities that include economic development, housing rehabilitation,
health services, job training, adult literacy, and continuing education
programs. The promise is that education cannot be separated from the
culture and community in which it occurs-it is linked to community
development and the empowerment of communities”.
Jawaban atas ketidakmampuan negara dalam melayani penduduk untuk
menyelesaikan berbagai aktivitas, yang meliputi pembangunan ekonomi,
rehabilitasi perumahan, pelayanan kesehatan, latihan kerja, pemberantasan
buta huruf, dan program-program pendidikan berkelanjutan. Premisnya
adalah bahwa pendidikan tidak bisa terpisah dari kultur dan masyarakat
tempat pendidikan itu terjadi. Oleh karena itu, pendidikan berbasis
masyarakat berhubungan dengan pembangunan masyarakat dan
pemberdayaannya. Menurut Cunningham (Suharto, 2013), berdasarkan
definisi di atas, yang menjadi komitmen pendidikan berbasis masyarakat
adalah untuk mengadakan pembangunan dan pemberdayaan dalam
masyarakat (development and empowerment in communities).
Menurut Suharto (2013) Pendidikan berbasis masyarakat dengan
demikian merupakan salah satu agenda yang perlu ditekankan dalam rangka
implementasi demokratisasi pendidikan. Dengan pelaksanaan konsep
pendidikan ini masyarakat diharapkan memiliki kesadaran untuk terus belajar
sepanjang hayat (lifelong education). Dalam konteks ini, peran pemerintah
tidak lebih dari sekadar sebagai pelayan, fasilitator, pendamping, mitra, dan
penyandang dana bagi pendidikan berbasis masyarakat. Dengan peran-peran
ini, hubungan pemerintah dan masyarakat dalam pelaksanaan konsep
pendidikan berbasis masyarakat merupakan hubungan kemitraan
(partnership), dengan maksud transformasi masyarakat itu sendiri. Menurut
Sihombing, dengan hubungan kemitraan ini pemerintah tidak lagi
mendominasi, memonopoli, memaksakan kehendak, menguasai, atau ikut
campur atas lembaga pendidikan yang memang berbasis masyarakat, sebab
campur tangan dan dominasi pemerintah hanya akan melahirkan sifat
resistensi, masa bodoh, menurunkan kreativitas, menimbulkan
ketergantungan, dan bahkan mengikis kepercayaan masyarakat itu sendiri
untuk melaksanakan pendidikannya.
b. Pendidikan berbasis masyarakat dalam perspektif sosiologis
P.M. Cunningham (Suharto, 2013) memandang pendidikan berbasis
masyarakat dari perspektif sosiologis. Cunningham membedakan konsep
”pendidikan masyarakat” (community education) dengan ”pendidikan
berbasis masyarakat” (community-based education). Menurutnya, pendidikan
masyarakat didefinisikan sebagai proses pembangunan pendidikan
masyarakat dengan tujuan untuk pengembangan potensi dan partisipasi
masyarakat di tingkat lokal, yang pelaksanaannya mengikuti paradigma
fungsionalis. Paradigma ini mengasumsikan adanya “sekolah negeri” dan
keinginan untuk menggunakannya secara efisien. Sekolah-sekolah ini
memang dibuat agar menjadi sumber daya masyarakat, dalam rangka
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan. Paradigma ini
tidak melihat struktur sosial masyarakat di mana sekolah itu berada, tapi yang
dilihat adalah keterlibatan warga negara dalam pembangunan masyarakat.
Berbeda dengan pendidikan masyarakat, pendidikan berbasis masyarakat
menurut Cunningham adalah untuk mengadakan pembangunan dan
pemberdayaan dalam masyarakat (development and empowerment in
communities). Dalam pelaksanannya, pendidikan berbasis masyarakat
mungkin diorganisir di sekitar populasi khusus, atau di sekitar lingkungan
tertentu. Yang jarang terjadi adalah penempatan organisasi-organisasi berbasis
masyarakat pada suatu sekolah negeri (public school). Hal ini karena definisi
menyangkut pendidikan berbasis masyarakat itu adalah hubungan antar
kekuasaan dan kemiskinan (power and poverty relationships), bukan
keikutsertaan warganegara (citizen participation). Oleh karena itu, paradigma
yang digunakan pendidikan berbasis masyarakat adalah paradigma konflik.
Menurut Cunningham (Suharto,2013) adanya kedua paradigma di atas
tidak lepas dari perdebatan seputar tujuan utama pendidikan yang diterima di
sekolah. Penafsiran pertama, yaitu paradigma fungsionalisme,
mengindikasikan bahwa adanya modernisasi dan perubahan secara
evolusioner dalam pembangunan telah menekankan perlunya konsensus dan
integrasi, agar semua terjadi dalam keseimbangan. Di sini sekolah sering
ditujukan untuk mempersiapkan warganegara, baik melalui kognitif maupun
sosialisasi, untuk mengambil peran sosial dan ekonomisnya berdasarkan
prestasi yang mereka capai di dalam suatu sistem kompetitif. Adapun di
dalam penafsiran kedua, yaitu paradigma konflik, kekuasaan telah dijadikan
analisis konsep utamanya. Analisis kekuasaan ini telah membawa suatu
bentuk konflik di mana variabel-variebel seperti ras, jenis kelamin, dan kelas
adalah alat yang kuat untuk menjelaskan pendidikan bagi upaya proses
penjinakan (domestication). Konsep penjinakan merupakan sentral di dalam
menganalisa pertentangan dan perlawanan golongan atau kelas.
Berikut dikemukakan tabel yang dikemukakan Cunningham, yang
menggambarkan perbedaan ”pendidikan masyarakat” (paradigma
fungsionalisme) dengan ”pendidikan berbasis masyarakat” (paradigma
konflik) :
Paradigma Fungsionalisme/
Development
Karakteristi
k
Pengertian
Masyarakat
For
mat
Pen
didik
an
Prog
ram
Pen
didik
an
Paradigma Konflik/
Change
Konsensus-Integrasi
Konflik-Transformasi
Masyarakat secara Geografis
Masyarakat
secara
Geografis dan Komunitas
Fokus
Formal
Lembaga
Fokus pada Lembaga
Nonformal
Pendidikan
Masyarakat,
Pembangunan Masyarakat,
dan Community College
Pendidikan
Berbasis
Masyarakat, Pendidikan
Popular,
dan
Social
Movement Learning
pada
Prod
uk
Pen
geta
hua
n
Kultur
Positivistik Logis
PartisipatoriTransformasi
High Culture, seperti Museum
dan Perpustakaan
Popular Culture, seperti
Teater dan Seni Popular
Tabel Cunningham di atas secara sepintas menjelaskan bahwa paradigma
pendidikan fungsionalis senantiasa melaksanakan program pendidikannya
dengan apa yang disebut pendidikan masyarakat (community education) dan
pembangunan masyarakat (community development). Oleh karena teori
fungsionalis yang dijadikan landasan paradigmanya, maka program
pendidikan semacam ini senantiasa berupaya mempertahankan status quo.
Pendidikan dalam teori fungsionalis telah dijadikan instrumen untuk
mencapai stabilitas atau equlibrium di atas konsensus para anggota
masyarakatnya. Selain itu, tabel di atas juga menjelaskan bahwa berbeda
dengan paradigma fungsionalis, paradigma konflik telah menekankan
program pendidikannya pada apa yang disebut pendidikan berbasis
masyarakat (community-based education). Paradigma konflik menurut
Nasikun (Suharto, 2013) mengindikasikan bahwa perubahan sosial terjadi
karena adanya unsur-unsur yang bertentangan di dalam masyarakat secara
terus-menerus, karena perbedaan otoritas. Otoritas yang berbeda telah
melahirkan dua kepentingan yang berlawanan. Suatu kelompok senantiasa
mempertahankan status quo, dan kelompok yang lain berupaya menghendaki
perubahan dan perombakan. Dua kelompok ini senantiasa berada pada posisi
konflik, demi mempertahankan kepentingannya. Ada tiga bentuk
pengendalian konflik, yaitu konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi. Ketiga bentuk
ini dipandang efektif bagi mekanisme pengendalian konflik, yang pada
gilirannya konflik yang ada merupakan sebuah kekuatan yang dapat
mendorong terjadinya perubahan sosial tanpa akhir. Pendidikan berbasis
masyarakat menurut Cunningham senantiasa menghendaki adanya perubahan
sosial yang dihasilkan dari konflik yang terjadi antara kelompok pro status
quo (pemerintah) dengan kelompok yang anti status quo (masyarakat).
Konflik semacam ini kiranya diperlukan dalam rangka penciptaan masyarakat
transformatif.
c. Biji karet sebagai bahan pangan
Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) dan Potensinya Karet (Hevea
brasiliensis) termasuk genus Hevea, family Euphorbiaceae dan termasuk
dalam tanaman penghasil biji dan getah (lateks). Karet termasuk tanaman
yang menyerbuk sendiri dan silang. Biji akan diperoleh setelah lima hingga
enam bulan setelah penyerbukan. Di Indonesia, perkebunan karet diusahakan
oleh rakyat dan perkebunan negara sehingga potensi persediaan biji karet
setiap tahun di Indonesia cukup besar. Menurut Badan Pusat Statistik (2012),
luas areal perkebunan karet di Indonesia hingga 2012 adalah 472,200 ha.
Setiap hektar diharapkan dapat menghasilkan biji 5,000 hingga 10,000 butir
per tahun (Team Sertifikasi Bahan Tanaman Karet Rakyat, 1975).
Diperkirakan dari seluruh areal tersebut hanya 40 persen yang menghasilkan
biji (Hardjosuwito dan Hoesnan, 1976). Jika setiap biji memiliki bobot dua
gram (2g) daging biji per butir (Hardjosuwito dan Hoesnan, 1976), maka
setiap tahun produksi daging biji karet adalah sebesar 1,888.8 - 3,777.6 ton.
Komposisi Biji Karet Biji karet terdiri dari kurang lebih 40 persen kulit dan
60 persen daging biji. Variasi proporsi dua unsur ini tergantung pada
kesegaran biji. Proporsi kulit biji akan semakin meningkat jika biji dibiarkan
mongering. Menurut Lauw et al. (1967) biji karet mengandung protein yang
bernilai rendah, namun jika dikombinasikan dengan berbagai jenis bahan
makanan lain maka nilai proteinnya dapat ditingkatkan (Atklistiyanti.dkk,
2013).
Biji karet juga mengandung 32.3 persen lemak, 3.6 persen air, 2.4 persen
abu, dan setiap 100 g bahan mengandung 450 μg tiamin, 2.5 μg asam
nikotinat, 250 μg karoten dan tokoferol, serta 330 μg asam sianida. Seperti
yang tercantum sebelumnya, kadar sianida yang sebanyak ini (330 μg per 100
g) dapat membahayakan manusia dan meracuni tubuh karena telah lebih dari
dosis maksimal asam sianida pada bahan makanan yaitu 50 μg per 100 g
bahan (Darjanto dan Murjati 1980). Dosis minimal asam sianida yang
mematikan adalah 0.5 – 3.5 mg HCN per kg berat badan (Chen et.al. 1934).
Asam Sianida (HCN) dalam Biji Karet Senyawa sianida ini merupakan zat
yang dapat meracuni manusia dan dikenal dengan nama ‘linamarin’.
Linamarin termasuk dalam golongan glukosida sianogenik. Biasanya racun
ini bersama-sama dengan enzim linase dapat menghidrolisa senyawa sianida
(Atklistiyanti.dkk, 2013).
Kadar asam sianida pada biji karet dapat direduksi dengan metode
perebusan dan perendaman. Metode yang digunakan dapat menurunkan kadar
asam sianida pada biji karet sehingga aman untuk dikonsumsi manusia dan
digunakan sebagai bahan pangan. Perlakuan perebusan selama 15 menit dan
perendaman selama 6 jam merupakan perlakuan yang paling efektif dalam
mereduksi asam sianida dengan penurunan kadar protein yang paling rendah
(Atklistiyanti.dkk, 2013).
E. METODE
Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan dari
program adalah sebagai berikut:
1. Bekerja sama dengan Pembina Kesejahteraan Keluarga (PKK). Alasan
dipilihnya PKK sebagai relasi untuk melaksanakan program dikarenakan
PKK memiliki program pokok yaitu pendidikan dan keterampilan
sertapengembangan kehidupan berkoperasi, sehingga program ini akan lebih
efektif jika dijalankan secara bersama dengan PKK.
2. Mengadakan Sosialisasi kepada masyarakat mengenai pemanfaatan biji karet.
3. Besama-sama dengan masyarakat melakukan praktik langsung pengolahan
untuk menghilangkan kardar Hcn pada biji karet sehingga menjadi bahan
baku pangan yang dapat dikonsumsi.
4. Mengajak masyarakat secara berkelompok untuk mengolah bahan pokok
yaitu biji karet sehingga mendapatkan olahan makanan yang bevariasi.
5. Mengenalkan hasil olahan kepada masyarakat.
6. Menguji produk di Badan Pengawas Obat dan Makanan.
7. Mempromosikan dan memasarkan olahan makanan melalui kegiatan
pameran/bazaar.
F. KESIMPULAN
Berdasarkan data awal yang didapatkan dilapangan permasalahan yang
muncul adalah ketika harga karet mengalami penurunan masyarakat desa Tegal
Sari terutama mereka yang berprofesi sebagai buruh penyadap karet memerlukan
penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Biji karet
merupakan salah satu potensi yang dimiliki desa yang dapat dimanfaatkan
sebagai alternatif penghasilan tambahan dan mengisi waktu luang masyarakat
dengan melihat peluang dari biji karet yang dapat digunakan sebagai usaha
dibidang kuliner kreatif, sehingga perlu untuk dilakukan pembelajaran kepada
masyarakat desa Tegal Sari mengenai pengolahan biji karet.
DAFTAR PUSTAKA
Atklistiyanti, Catur.dkk. 2013. Kajian Teknik Reduksi Asam Sianida (Hcn) Pada
Tempe Biji Karet Dalam Upaya Peningkatan Diversifikasi Protein
Nabati. Laporan Akhir Program Kreativitas Mahasiswa dengan
Surat Perjanjian Penugasan Program Kreativitas Mahasiswa
Nomor : 050/SP2H/KPM/Dit.Litabmas/V/2013, tanggal 13 Mei
2013 Institut Pertanian Bogor.
Suharto, Toto. 2013. Pendidikan Berbasis Masyarakat Organik: Pengalaman
Pesantren Persatuan Islam. Surakarta : FATABA Press.
Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Tegal Sari tahun 2016.