Kok Semua Benar Panduan Memilih dalam Du
Einar
Martahan
Sitompul
adalah
Pendeta
HKBP dan
pegiat
dialog lintas
iman yang dikenal melalui
berbagai tulisannya. Sitompul
menyelesaikan studi
doktoralnya di STT Jakarta di
bawah bimbingan Prof. Olaf
Schumann dengan disertasi
“Muhammad lgbal dan
Negara Islam tahun” (1998).
Beberapa bukunya a.l.: NU
dan Pancasila (1996), Gereja
Menyikapi Perubahan (2004),
Menjadi Berkat Menjadi Bijak
(2011), Pernah melayani a.l.
sebagai Sekretaris Umum
PGI Wilayah Jawa Barat,
Sekretaris Pembinaan HKBP,
dosen STT Jakarta, Kepala
Litbang PGI, dan terakhir
melayani sebagai Pendeta
Resort HKBP Menteng.
Diterbitkan oleh
Unit Publikasi dan Informasi
Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
bekerjasama dengan
HKBP Menteng
2
PERJALANAN SEMUA MENDAYUNG
Buku kedua dari tiga
menampilkan tulisan-tulisan
berbagai tokoh masyarakat,
aktivis dialog lintasiman,
teolog, dan warga gereja
sebagai penghormatan
terhadap Pdt. Dr. Einar M.
Sitompul. Pergaulan Sitompul
yang luas terlihat dari ragam
penulis yang menyumbangkan
pemikirannya untuk
percakapan mengenai: (1)
Teologi agama-agama dan
dialog antariman; (2) Injil dan
Kebudayaan; (3) Gereja dan
Masyarakat; dan (4) Kesan
dan kisah pelayanan Bang
Einar. Buku ini cocok untuk
dimiliki oleh para akademisi
yang aktif dalam bidang
teologi lintas iman, aktivis dan
warga gereja, para pendeta
yang ingin mengetahui
pergumulan kontemporer
gereja di tengah bangsa
Indonesia, dan para sahabat
yang ingin mengetahui kisah
sosok yang memasuki masa
emeritasi kependetaannya ini.
Buku 2 - 65 Tahun Pdt. Dr. Einar M. Sitompul
Unit Publikasi dan Informasi
Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
HKBP
MENTENG
printed on recycled paper
cover-2rev.indd 1
10/02/2014 13:14:37
PERJALANAN:
SEMUA MENDAYUNG
Buku 2 - 65 tahun Pdt. Dr. Einar M. Sitompul
Binsar J. Pakpahan (editor)
Penerbit UPI STT Jakarta
2014
i
PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG
Buku 2 - 65 tahun Pdt. Dr. Einar M. Sitompul
oleh: Binsar J. Pakpahan (ed.)
Copyright © 2014 UPI STT Jakarta
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Pakpahan, Binsar J. (ed.)
PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG - Buku 2 - 65 tahun Pdt. Dr. Einar M.
Sitompul;
Cet. 1. - Jakarta : UPI STT Jakarta, 2014.
- Teologi Agama-agama - Agama dan Masyarakat - Injil dan Budaya - Einar M. Sitompul
ISBN: 978-602-1336-01-4
Printed on recycled paper
xvi + 590 hlm., 22 x 15 cm
Tata Letak: Binsar J. Pakpahan
Desain Sampul: S. Aulia
Diterbitkan oleh:
Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta
Anggota IKAPI
Jalan Proklamasi 27, Jakarta Pusat 10320
Telp. (021) 390.4237 ext. 109
Email: [email protected] - http://sttjakarta.ac.id
dan HKBP Menteng, Jl. Jambu No. 46
Jakarta Pusat
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang, UU RI No. 19 thn. 2002 Pasal 2, dan
Ketentuan Pidana Pasal 72.
Dilarang mengutip, menjiplak, mengkopi sebagian atau seluruhnya isi buku ini lalu
memperjualbelikannya tanpa izin tertulis dari penerbit.
ii
DAFTAR ISI
Daftar Isi
Kata Pengantar Editor
Sambutan Ephorus HKBP
Sambutan Sekretaris Umum PGI
iii
vii
xi
xiv
BAGIAN SATU: TEOLOGI AGAMA-AGAMA DAN
DIALOG ANTARUMAT
1. Saudara Dekat yang Jauh, atau Saudara Jauh yang Dekat? Abraham Silo Wilar
3
2. Islam Post-Nation State - Ahmad Suaedy
17
3. Masa Depan Agama-agama di Indonesia Abubakar Mashyur Jusuf Roni
34
4. Abra(ha)m, Bapa Pelintas Batas - Anwar Tjen
42
5. Dari Perbedaan Merajut Kebersamaan - Darius Dubut
65
6. Berdebat, Berdialog, Bersaksi atau Bercerita Darwin Lumbantobing
72
7. Pendidikan Agama Kristen dalam Kehidupan Masyarakat
Majemuk - Djoys Karundeng Rantung
83
8. Membangun Saling Pengertian Agama Abraham Erick J. Barus
103
9. Tantangan dan Peluang dalam Konlik Pendirian Rumah
Ibadah - Favor Adelaide Bancin
111
10. Agama untuk Perdamaian Global - Hamka Haq
122
iii
11. Dialog Antariman: Menyahabati Orang Asing dan Estetika
Ketidaktahuan - Joas Adiprasetya
135
12. Agama dan Hikmat dalam Pendidikan Kristiani Lukman Tambunan
144
13. Problematika Kerukunan dalam Masyarakat Pluralistik Lydia Siahaan
158
14. Teologi dan Studi Agama-agama - Martin Lukito Sinaga
172
15. Agama untuk Perdamaian - Musdah Mulia
183
16. Meragukan Klaim Indonesia sebagai Negara Paling Toleran
di Dunia - Victor Silaen
192
17. Memperkokoh Toleransi - Yenny Zannuba Wahid
212
BAGIAN DUA: INJIL DAN KEBUDAYAAN
18. Batak dalam Dialog Antariman dan Politik di Indonesia Berlian T.P. Siagian
221
19. Krisis Identitas dalam Perjumpaan Injil dan Adat Gomar Gultom
234
20. Orang Jawa Sangat Mengedepankan Rasa Ign. Gatut Saksono
244
21. Raja Patik Tampubolon: Teologi Habatahon J. R. Hutauruk
263
22. Kristus dan Kebudayaan - Marko Mahin
283
iv
23. Sikap Masyarakat Tapanuli Mengkritisi Roh Peradaban Nelson F. Siregar
304
BAGIAN TIGA: AGAMA DAN MASYARAKAT
24. Merajut Kembali Nilai-nilai Gotong Royong dalam Masyarakat
Pluralis - Antony Sihombing
327
25. Kok Semua Benar? Panduan Memilih dalam Dunia
Postmodern - Binsar J. Pakpahan
340
26. Meletakkan Iman di Pusat Keadilan - Carla Natan
354
27. Etos dan Etika Kristen Dewasa Ini - Jansen Sinamo
371
28. Gereja dan Pelestarian Lingkungan Hidup Jusen Boangmanalu
391
29. Pelayanan Pengembangan Masyarakat Gereja di Indonesia
sebagai Sebuah Proses Pendidikan yang Membebaskan Mangisi S. E. Simorangkir
411
30. Bolehkah Gereja Berpolitik? - Martongo Sitinjak
426
31. Missionar Spirit - Maruasas S.P. Nainggolan
440
32. Sesi Psikologi pada Program Pelajaran Sidi di HKBP Menteng Melissa Mangunsong & Frieda M. Siahaan
457
33. Dosa, Kejahatan dan Etika - Rainy MP Hutabarat
464
34. Peranan Guru Pendidikan Agama Kristen dan
Implementasinya terhadap PAUD - Rita Hutagalung-Sihite
472
35. Etika Pembangunan - Soegeng Hardiyanto
478
v
36. Servant Leadership sebagai Sebuah Terobosan Kepemimpinan
Abad ke-21 - Yuniar P Sihombing-Simorangkir
485
BAGIAN EMPAT: MENGENAL SANG GURU DAN
KOLEGA
37. Si Anak Kaya dari Pekanbaru - Bilman Simanungkalit
499
38. Makna Bab Terakhir Sebuah Buku - Binsar Nainggolan
503
39. Pendeta Teladan di Zaman Edan - Daniel T. A. Harahap
509
40. Kuat dan Bersabarlah, Suatu Saat Badai akan Berlalu Esther R. Sitorus
514
41. Sang Pembaharu - Hotman Charles Siahaan
520
42. Bagaimana Kita Menyelesaikan Hidup? Luhut P. Hutajulu
536
43. Kau Hapalkan Saja Buku Sejarah Suci dan Almanak, Kau
Sudah Lulus Itu! - Franciska Marcia Julianti Silaen
543
44. Teruslah Melayani dan Berkarya Sampai Akhir Pirmian Tua Dalan (PTD) Sihombing
552
45. Petir di Siang Hari Terang - SM Parulian Tanjung
565
46. Penggerak Gerakan Oikumene yang Tak Pernah Lelah Weinata Sairin
578
DAFTAR PENULIS
583
vi
340
PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG
KOK SEMUA BENAR?
Panduan Memilih dalam Dunia Postmodern
Binsar J. Pakpahan1
Pendahuluan
Ada yang mengatakan “Beauty is in the eye of the beholder,”
yang berarti kecantikan itu selalu menjadi relatif, tergantung siapa
yang melihatnya. Namun demikian, kecantikan pernah tidak relatif;
bahwa pernah ada masa ketika standar kecantikan ditentukan oleh
zamannya, misalnya rambut panjang, tubuh sekal, hidung mancung,
kulit putih, dsb. Sekarang, kecantikan bisa muncul dalam berbagai
bentuk. Perubahan pandangan ini terjadi karena perkembangan
pemikiran yang terjadi belakangan ini, dan berhubungan erat
dengan perubahan pemikiran ilosois. Sadar atau tidak, kita semua
adalah produk zaman yang sedang berubah ini, karena itu, sangat
penting bagi kita untuk menyadari kenapa perubahan ini terjadi.
Pemikiran di akhir abad ke-20 dan ke-21 banyak dipengaruhi
oleh ilsafat postmodern (Lihat Sugiharto 1996; Cahoone 1997).
Dalam ilsafat postmodern yang mengandaikan dunia tanpa pusat,
kebenaran menjadi tergantung kepada siapa yang melihatnya,
atau kesepakatan mengenainya - atau dengan kata lain: menjadi
subjektif. Pemikiran yang lahir atas protes terhadap singularitas
cerita peradaban dan sejarah membawa efek positif dan negatif. Pada
1 Pendeta HKBP, menyelesaikan studi doktoral di bidang teologi
sistematika di Vrije Universiteit Amsterdam, sekarang melayani sebagai dosen
tetap STT Jakarta. Dapat dihubungi di [email protected].
GEREJA DAN MASYARAKAT
satu sisi, budaya-budaya dan kisah-kisah alternatif, yang dulunya
ditekan oleh penguasa atau pemenang sejarah, sekarang muncul
ke permukaan. Alih-alih memiliki satu cerita sejarah, kita sekarang
memiliki kemewahan pilihan sejarah dalam berbagai versi. Cerita
korban yang biasanya tidak pernah terdengar kini muncul sebagai
penyeimbang sejarah (Lihat Pakpahan 2012).
Namun demikian, penghapusan pusat cerita dalam ilsafat
postmodern ini juga membawa ketakutan akan menghilangnya
standar kebenaran (Lihat Blackburn 2005). Pluralisme kebenaran
seolah-olah mendorong kebenaran tunggal keluar dari pusat
cerita. Proses pengambilan keputusan menjadi situasional atau
bertanggungjawab. Tidak ada lagi satu cara yang paling benar yang
menjadi rumus untuk semua masalah. Satu-satunya kesamaan di
tengah-tengah subjektivitas dunia postmodern adalah keinginan
semua orang untuk menjadi berbeda.
Lalu bagaimana dengan Tuhan? Apakah cerita kebenaran
Tuhan masih bisa diterima? Lalu Tuhan versi siapa yang akan kita
terima? Bagaimana cara mengenali versi Tuhan yang paling benar?
Lalu bagaimana kita harus bersikap sebagai pemuda Kristen (Ward
[ed.] 1997)?
Kebenaran dalam Dunia Postmodern
Abad pencerahan, yang mengutamakan penggunaan rasio
(empiris) daripada pendekatan mistis (baca: metaisika) memulai
pergerakan menuju pemikiran yang logis dan rasional. Pemikiran
yang baru ini jusru dibawa oleh kekristenan (Protestan) yang ingin
lepas dari mistisisme berlebihan yang ada di abad ke-16. Praktik
gereja pada masa itu dianggap mengungkung rasionalitas manusia.
Penjualan surat pengakuan dosa, ancaman akan neraka yang secara
konstan disampaikan, kekuasaan mistis, dan lainnya, dianggap tidak
sesuai dengan rasio manusia. Alkitab dianggap sebagai suatu hal yang
memiliki kuasa sehingga hanya para imam yang boleh membacanya
– karena hanya tersedia dalam bahasa Latin. Karena itu, kemunculan
gerakan Protestan, yang mendorong umat untuk membaca Alkitab
dalam bahasa aslinya sedikit banyak membuat orang melihatnya
341
342
PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG
sebagai teks yang harus dibaca dan dianalisis. Perkembangan
teknologi, lahir dari dorongan akan mengembangkan pemikiran
manusia, yang datang dari pergerakan sejarah Reformasi ini. Ketika
Alkitab mulai dibaca, pertanyaan selanjutnya adalah tafsir mana
yang paling tepat digunakan untuk memahami Alkitab? Perbedaan
pendapat kemudian lahir dari ketersediaan materi bagi semua orang
(Lihat Horkheimer dan Adorno 1972).
Pertanyaan-pertanyaan mengenai mana yang paling benar
berlanjut di luar bidang agama. Manusia tidak lagi puas terhadap
kekuatan satu pihak besar yang menentukan standar kebenaran.
Pemikiran dunia postmodern ini dimulai dari kegagalan pemikiran
modern yang mencetuskan perang dunia. Sebelumnya, dunia
memiliki kesamaan pemikiran, standar kebaikan, dan cerita
kebenaran. Salah satu contoh adalah, cerita sejarah selalu menjadi
milik pemenang sejarah. Siapa saja yang memenangkan perang
atau pertempuran, akan menulis sejarah yang mengangkat cerita
kemenangannya. Demikian juga dengan contoh dari dunia sastra,
karya yang baik memiliki standar ukurannya sendiri dan semua
orang harus mengikuti aturan tersebut, misalnya: rima, panjang
prosa, dsb.
Sigmund Freud, seorang ahli psiko analisis, memulai pergerakan
ini dengan menyatakan teorinya mengenai id, ego, dan super ego.
Secara singkat, meskipun tidak komplit, pemikiran Freud bercerita
tentang segala sesuatu yang seseorang alami ketika dia dewasa
adalah cerminan dari perlakuan yang dia terima di masa kecilnya.
Jika seseorang pada masa dewasanya bertindak kejam, maka besar
kemungkinan dia juga menerima perlakuan kejam di masa kecilnya.
Atau, jika seseorang memiliki kemampuan yang luar biasa untuk
mengasihi orang yang lain, maka dia pasti sudah menerima kasih di
masa kecilnya. Ide ini membuat kita bisa lebih mengerti lagi mengapa
seseorang melakukan apa yang dilakukannya. Kita bisa mendesain
atau memberikan respons yang tepat terhadap perlakuan orang,
berdasarkan analisis psikologisnya. Namun demikian, pemikiran ini
juga membawa tantangan yang baru bagi pemikiran religius. Jika
GEREJA DAN MASYARAKAT
kita menarik kesimpulan yang lebih dalam lagi, maka kita bisa juga
mengatakan bahwa Tuhan pun adalah cerminan kebutuhan kita.
Artinya, Tuhan akan menjadi Tuhan yang Kaya kalau kita miskin;
menjadi Tabib yang Ajaib kalau kita sakit; menjadi Konselor yang
Hebat kalau kita dalam kesusahan; menjadi Guru kalau kita murid;
menjadi Sang Pemurah kalau kita memerlukan bantuan-Nya. Tuhan
adalah projeksi kita akan apa yang kita butuhkan. Pertanyaannya
adalah, apakah Tuhan itu hanya sekedar projeksi kebutuhan kita?
Pertanyaan zaman akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, juga
ditangkap oleh Friedrich Nietzsche. Dia mengeluarkan pernyataan
yang terkenalnya, bahwa “Allah sudah mati.” Baginya, manusia
sendirilah yang membunuh allah. Karena terlahir dengan sifat ingin
menguasai (the will to power), maka manusia berkompetisi untuk
menjadi tuan (master mentality) atas yang lain (slave mentality).
Mereka yang ingin berkuasa akan mencoba melepaskan diri dari
ide “Tuhan” yang membatasi gerak mereka menguasai yang lain.
Lalu mereka yang berhasil membebaskan diri akan mengenakan ide
“Tuhan” kepada orang lain agar mereka tidak memiliki keinginan
untuk menjadi tuan. Pada akhirnya, menurut Nietzsche, manusia
membunuh Tuhan atau ide tentang Tuhan karena keperluannya
sendiri.
Perkembangan kemudian muncul dari perkembangan
ilsafat yang mulai berpindah dari metaisika dan empiris menuju
pendekatan fenomenologis. Pendekatan empiris mengenali
kebenaran dari pengamatan. Pendekatan metaisika menyatakan
bahwa kebenaran sejati tidak akan pernah dicapai karena melampaui
pemikiran manusia itu sendiri. Pendekatan fenomenologis
mengajak kita untuk mengenali kebenaran dari fenomena yang
ditampilkannya. Salah satu pengusung gagasan ini di akhir abad
ke-19 adalah Edmund Husserl. Dia menyatakan bahwa kita hanya
bisa mengenali sesuatu dari fenomena yang ditampilkannya kepada
kita. Fenomena yang kita tangkap ini juga berbeda dari fenomena
yang akan ditangkap orang lain. Jika kita mengambil contoh sebuah
palu, dia bisa menjadi alat bagi tukang bangunan, alat mensahkan
343
344
PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG
bagi hakim, alat seni bagi seniman, alat mengajar bagi dosen, dsb.
Lalu apakah palu itu? Palu itu dapat menjadi apa saja berdasarkan
fenomena yang ditampilkannya terhadap yang melihatnya. Arti
sesuatu menjadi relatif terhadap yang melihatnya.
Pemikiran Husserl kemudian diangkat oleh banyak ilsuf
postmodern lainnya, misalnya Heidegger, Levinas, Sartre, Arendt,
Foucault, Derrida, dsb. Pemikiran mereka inilah yang kemudian
membawa ilsafat postmodern ke panggung utama pemikiran
mengalahkan ilsafat modern.
Akibat yang dibawa oleh pemikiran ini adalah kita jadi hatihati dalam mengklaim apa itu kebenaran. Di satu sisi, hal ini
menjadi positif karena sekarang semua orang saling menghargai
pendapat, karena tidak ada pendapat yang paling benar. Orang
yang belajar atau yang dipengaruhi pikiran ini, akah menghargai
kebenaran-kebenaran yang diajukan oleh orang lain, meskipun
kebenaran mereka berbeda. Di sisi lain, pertanyaan yang perlu kita
ajukan adalah, apakah ada kebenaran mutlak? Lalu bagaimana cara
mengetahuinya?
Cahaya-cahaya Kebenaran dan Wajah Allah
Dalam bagian mengenali cahaya kebenaran ini, saya akan
beralih dari bahasa akademis, menuju bahasa renungan mengenai
kebenaran Allah. Di sini saya akan menggunakan pendekatan Surat
Yakobus dan Surat Paulus ke Jemaat di Korintus. Pada bagian ini,
saya juga akan mendekatan pendekatan Emmanuel Levinas yang
akan membantu kita mengenali wajah Allah. Dari sini kita akan
melihat bagaimana kita bisa melampaui ketakutan kita untuk
mengenali kebenaran dunia dan mengenali kebenaran Allah.
Seperti apakah kebenaran itu? Coba pikirkan, apakah kebenaran
itu seperti mencari berapa jumlah permen yang saya taruh di dalam
gelas, atau seperti memilih lagu favorit? Dalam menebak jumlah
permen, kita akan memiliki jumlah yang tepat dan pasti. Sementara
dalam memilih lagu favorit, kita semua pasti memiliki lagu yang
berbeda. Kita mungkin tidak akan bisa menentukan lagu yang paling
baik, sama seperti kita tidak akan bisa menemukan kebenaran yang
GEREJA DAN MASYARAKAT
sesungguhnya. Lalu, apakah iman itu menjadi relatif? Kalau iman
menjadi relatif, kita menjadi mudah tergoda untuk mengatakan
bahwa menjadi orang Kristen atau tidak adalah sama saja.
Semua orang bisa memiliki pilihan yang berbeda dalam
memilih lagu favoritnya, tetapi ada juga lagu yang memang bagus
meskipun lagu itu bukan favorit kita. Contohnya, mungkin tidak
ada yang memilih lagu “We Are he World” karya Michael Jackson
sebagai lagu favoritnya, tetapi kita semua bisa setuju bahwa lagu
itu adalah lagu yang bagus. Contoh lainnya: lagu “Amazing Grace”
mungkin bukanlah lagu favorit orang yang beragama lain, tetapi
mereka semua setuju bahwa lagu itu adalah lagu yang indah. Gus
Dur, mantan presiden Indonesia sendiri mengatakan bahwa hatinya
selalu bergetar ketika mendengar “he Great Halleluya” karya
Handel.
Kecantikan itu selalu menjadi relatif, tergantung siapa yang
melihatnya. Ini benar tetapi tidak sepenuhnya benar. Pada titik
tertentu kita semua bisa melihat bahwa seseorang itu memang
cantik. Seandainya kepada saudara ditanyakan, siapa yang lebih
cantik Rihanna atau Shakira? Atau seandainya saya menjadi Brad
Pitt, siapakah yang akan saya pilih di antara Angelina Jolie dan
Jennifer Aniston. Meskipun pilihan favorit bisa berbeda tetapi
semua orang akan setuju bahwa pada level tertentu kedua pilihan
tersebut adalah cantik.
Di sini saya akan menjawab pertanyaan tersebut melalui
jawaban iman yang juga bisa diperiksa logikanya. Meskipunnya, kita
memiliki preference tertentu dalam memilih iman, tetapi iman tidak
relatif. Pada satu tahap tertentu kita tahu bahwa iman adalah baik
dan benar. Salah satu cara mengukur kebenaran bisa kita lihat dalam
penjelasan surat Yakobus (Yak. 2:14-26). Yakobus mengatakan iman
itu tidak relatif ketika kita melihatnya dari perbuatan kita.
Yakobus menuliskan, (Terjemahan Bahasa Indonesia Seharihari) “Saudara-saudara! Apa gunanya orang berkata, “Saya
orang yang percaya,” kalau ia tidak menunjukkannya dengan
perbuatannya? Dapatkah iman semacam itu menyelamatkannya?
345
346
PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG
Seandainya seorang saudara atau saudari memerlukan pakaian dan
tidak mempunyai cukup makanan untuk sehari-hari. Apa gunanya
kalian berkata kepadanya, “Selamat memakai pakaian yang hangat
dan selamat makan!” kalau kalian tidak memberikan kepadanya
apa yang diperlukannya untuk hidup? Begitulah juga dengan iman,
jika tidak dinyatakan dengan perbuatan, maka iman itu tidak ada
gunanya.” (Yak. 2:14-17)
Salah satu ajaran yang sangat utama dalam kekristenan adalah
bahwa kita diselamatkan karena karunia Allah dan bukan karena
perbuatan. Sola Gratia. Kita diselamatkan karena iman kita terhadap
Allah dan bukan karena perbuatan. Sola Fide. Tetapi kemudian
ada orang yang berlindung dan menyalahgunakan hal ini. Ada
yang berpikir bahwa dengan memiliki iman maka kita tidak perlu
lagi melakukan hal yang lain. Ada yang mengaku beriman tetapi
perbuatannya sama sekali tidak mencerminkan hidup beriman.
Yakobus menuliskan surat ini untuk mengingatkan kita bahwa
kita diselamatkan karena iman, dan iman akan mendorong kita
untuk melakukan perbuatan yang menyenangkan hati Allah. Iman
bukanlah hal yang relatif, kita bisa melihatnya dari perbuatan.
Sama seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman
tanpa perbuatan adalah mati. Ketika kita mengimani Allah, maka
ini akan terlihat dari sikap hidup dan perbuatan kita. Marilah kita
tunjukkan buah iman kita dalam hidup sehari-hari. Ini adalah cara
kita mengenali kebenaran Allah.
Cara lain untuk mengenali kebenaran Allah adalah dengan
mencari wajah Allah (Mat. 25:31-46). Emmanuel Levinas
berpendapat bahwa pencarian ilsafat Barat akan Allah sangat bersifat
ontologis. Karena sifat ini, ilsafat tidak akan bisa lagi membedakan
antara realitas dan bahasa kita dalam menjelaskan realitas tersebut.
Penjelasan akan sebuah realitas dengan bahasa yang digunakan
tidak akan pernah bisa sepenuhnya menjadi realitas tersebut. Ketika
kenyataan ontologis dijelaskan dengan bahasa, dia sudah direduksi
ke dalam pemahaman orang yang menyampaikannya. Meskipun
demikian, orang tetap harus berusaha menjelaskan sebuah realitas
GEREJA DAN MASYARAKAT
karena dia perlu menyampaikannya kepada orang lain, untuk
berbagi realitas, dan berusa memahaminya.
Levinas (1996) berpendapat bahwa pembicaraan mengenai
yang tak terbatas atau sang Ininite adalah transenden dan tidak dapat
dimasukkan dalam kategori ilsafat ontologis (1996, 63). Semua
penjelasan ontologis tentang Allah tidak akan bisa menggambarkan
Allah itu sendiri (Bnd. Subandrijo 3-4). Lalu bagaimana caranya kita
bisa berbicara mengenai Allah? Apakah akal manusia yang terbatas
bisa berbicara dan menjelaskan mengenai yang tak terbatas? Levinas
mencoba menggunakan cara “via eminentia: the path of reining
or reducing an excellence until, for instance, the goodness of the
goodness of a good becomes God” (Gibbs 1996, 48).2
Dalam pemikirannya, Levinas beranggapan bahwa adalah
Allah yang datang menghampiri pengetahuan/kesadaran manusia.
Seseorang hanya bisa memahami, atau setengah memahami Allah,
ketika Allah sendiri yang masuk ke dalam pikirannya. Ketika kita
sudah mencoba memahami Allah dengan segala keterbatasan kita,
maka seharusnya pengetahuan itu juga membawa implikasi etis.
Kebenaran yang tidak sepenuhnya bisa kita capai tidak membuat
kita menjadi takut untuk bertindak (Gibbs 1997, 59; lihat Levinas
1996).
Kedatangan Allah ke dalam kesadaran manusia menuntut
tanggungjawabnya atas manusia yang lain, karena Allah “mengarahkan
wajah orang lain kepada saya tanpa menunjukkan diri-Nya kepada
saya” (Levinas 1997, 69). Wajah adalah cara bagaimana Sang Allah
menampilkan diri-Nya, sesuatu yang melampaui kehadiran Yang
Lain di dalam diri saya. Ekspresi yang lain adalah ekspresi sang
Allah. Karena itu, pengertian manusia tentang Allah dapat dilihat
dalam tanggungjawab etisnya terhadap sesamanya.
2 Secara umum, ada tiga jalan yang sering digunakan untuk mengenali
kebenaran dalam kekristenan, yaitu via negativia (jalan negatif ), via positivia
(jalan positif ), dan via eminentia (jalan sempurna). Via eminentia mengikuti
via positivia namun mereduksinya dengan cara via negativia sehingga muncul
kesadaran akan Allah yang tak terbatas dan keterbatasan manusia.
347
348
PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG
Sementara itu, Jean-Luc Marion mencoba menjawab
pertanyaan tentang Allah melalui penjelasan metaisika dan
fenomenologi (Marion 1997, 280). Menggunakan penjelasan
Aquionas tentang metaisika, simul determinat de ente in communi
et de ente primo quod est a material separatum (secara bersamaan
ada perbedaan wujud umum (general being) dan wujud utama
(prime being), yang terpisah dari materi) (Marion 1997, 280-281).
Kesulitan utama dalam penjelasan metaisika adalah bagaimana
mungkin keberadaan isik dan esensi dapat tampil pada saat yang
sama. Karena metaisika belum menjawab keberadaan wujud Allah,
maka kita perlu melampauinya, yaitu menuju meta-metaisika.
Sikap Bertanggungjawab Pemuda Kristen
Dalam bagian ini, Paulus akan membantu kita memahami
tentang menerapkan kebenaran. Paulus, juga mencoba memahami
kebenaran yang seperti menggapai sumur tanpa dasar tersebut.
Paulus berkata,
11:33 O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan
Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan
sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! 11:34 Sebab, siapakah yang
mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi
penasihat-Nya? (Rm. 11:33-34).
Kalimat akhir yang disampaikannya lebih merupakan
kesimpulan atas jawaban yang dicarinya daripada pertanyaan. Saya
membaca Paulus sebagai seorang postmodernis dalam suratnya ini
(Lihat Caputo & Alcof 2009). Paulus sepertinya sudah menyadari
bahwa dia tidak akan pernah mencapai kebenaran Allah yang
sejati. Meskipun nanti Paulus juga akan menawarkan jalan menuju
kebenaran dalam Kristus, setidaknya dia menyadari kelemahannya
dalam memahami Allah.
Namun demikian, Paulus tidak berhenti di situ. Dia
menawarkan bagaimana kita bisa mengenali kebenaran dan bersikap
menurut kebenaran itu. Paulus bercerita dalam 1 Korintus 10:2324, bahwa “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan
GEREJA DAN MASYARAKAT
segala sesuatu berguna. “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi
bukan segala sesuatu membangun. Jangan seorang pun yang mencari
keuntungannya sendiri, tetapi hendaklah tiap-tiap orang mencari
keuntungan orang lain.” Paulus memberikan nasihat mengenai
kebebasan yang kita miliki dalam memilih, dan bagaimana kita bisa
menjatuhkan pilihan yang bertanggungjawab.
Paulus menuliskan surat ini kepada Jemaat di Korintus untuk
mengingatkan mereka supaya mereka tidak melakukan kesalahan
yang sama seperti yang telah dilakukan bangsa Israel. Paulus
mengingatkan bahwa meskipun tahu bahwa Allah adalah raja dalam
hidup, Israel tetap melakukan kesalahan dalam menyembah berhala
(10:7), percabulan (10:8), mencobai Tuhan (10:9), dan bersungutsungut (10:10). Karena itu Paulus memperingatkan jemaat Korintus
untuk berhati-hati di dalam hidup, dan peringatan ini diutamakan
kepada mereka yang teguh berdiri supaya mereka tidak jatuh (10:12).
Dan yang paling penting, Paulus mengingatkan bahwa Allah tidak
pernah menguji seseorang melebihi kekuatannya (10:13).
Masalah yang Paulus coba jawab adalah tentang pilihan
seseorang melakukan sesuatu yang bisa mempengaruhi orang lain.
Artinya, Paulus membahas tentang tingkah laku seseorang, yang dia
pikir biasa bagi dirinya, namun menjadi masalah bagi orang lain.
Yang menjadi titik persoalan adalah waktu itu tentang memakan
makanan yang dipersembahkan kepada Allah lain. Apakah salah
kalau kita memakan makanan yang sudah dipersembahkan kepada
Allah lain? Bagaimana kalau ternyata ada orang yang terganggu
imannya karena melihat kita memakan itu. Bukankah keberatan
orang seharusnya tidak mengganggu saya?
Pertanyaan inilah yang diajukan dalam masalah memakan
makanan untuk persembahan berhala. Paulus mengatakan, bahwa,
kalau ada yang memperingatkan, maka janganlah kita makan. Masih
banyak contoh masalah yang akan menimbulkan pertanyaan yang
membuat orang berkata, “Mengapa kebebasanku harus ditentukan
oleh keberatan-keberatan hati nurani orang lain?” (10:29). Intinya,
kenapa keberatan orang lain harus membuat saya mengubah sikap
349
350
PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG
saya?
Jean-Paul Sartre, seorang ilsuf Perancis pernah mengatakan
bahwa “Hell is the other.” Dia mengatakan bahwa ada saatnya
manusia merasa kalau hidupnya terpenjara karena pendapat orang
lain atas dirinya. Bayangkan kalau kita aselalu mengubah sikap kita
berdasarkan apa yang orang katakan tentang diri kita. Hidup kita
akan menjadi neraka karena semua orang juga punya pendapat
yang berbeda-beda. Apakah kebenaran orang lain membuat saya
mengubah pendapat saya tentang apa yang benar?
Apa yang harus kita lakukan? Bukankah semua manusia punya
kebebasan untuk bertindak menurut kehendaknya masing-masing?
Jawabnya adalah, “segala sesuatu diperbolehkan.” Tetapi
hendaklah kebebasan ini kita gunakan untuk keuntungan orang
lain. Tentu hal ini tidak mudah untuk kita pikirkan. Di tengah
segala jenis kebebasan yang ditawarkan dunia ini, kita bisa terlena
dan lupa bahwa pilihan kita tersebut bisa melukai orang lain.
Tindakan kecil yang mungkin kelihatan sepele yang kita
lakukan mungkin memiliki konsekuensi terhadap kehidupan orang
lain. Bagaimana kita bisa melakukan suatu hal, dengan kebebasan,
namun juga tidak melukai orang lain? Di ayat 31, Paulus mengatakan,
“lakukanlah itu untuk kemuliaan Allah.” Paulus mengingatkan kita
bahwa tujuan hidup kita adalah untuk kemuliaan Allah. Jadi setiap
pilihan yang kita lakukan seharusnya pilihan yang hasilnya dapat
memuliakan Allah. Paulus mengajarkan agar Jemaat Korintus selalu
memilih segala sesuatunya dengan hikmat Allah. Dengan demikian,
kita bisa menjatuhkan pilihan yang tepat.
Pertanyaan yang utama yang harus kita ajukan setiap kali
kita dihadapkan pada dilemma seperti ini adalah, “apakah hal ini
memuliakan Allah?” kalau kita yakin bahwa hal tersebut memang
memuliakan Allah, maka kita bisa terus melakukannya. Kita juga
bisa mengurangi gesekan terhadap orang yang berpendapat berbeda
dengan berdiskusi. Melalui dialog kita bisa bertukar pikiran, dan siapa
tahu anda bisa memberikan pencerahan, atau mungkin anda yang
akan belajar melihat sudut pandang orang lain. Dalam menjawab
GEREJA DAN MASYARAKAT
pertanyaan tentang bagaimana cara menentukan kebenaran, Paulus
menjawab, “Apapun yang kamu lakukan, lakukanlah untuk Tuhan!”
Di sini kita bisa kembali ke Yakobus dan berusaha
mendamaikan pemikirannya dengan Paulus. Kekristenan adalah
agama yang mengajarkan keselamatan adalah karena karunia Allah
dan iman, dan bukan karena perbuatan. Rasul Paulus mengatakan
bahwa “bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan
karena ia melakukan hukum Taurat (Rm 3:28).” Intinya Paulus
menekankan bahwa perbuatan bukanlah kriteria keselamatan kita.
Manusia diselamatkan karena iman dan bukan perbuatan. Yakobus
mengatakan bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati. Paulus
menekankan bahwa kita diselamatkan oleh Allah hanya karena
iman kita dan bukan perbuatan atau kepatuhan kita menjalankan
sejumlah peraturan. Ini artinya perubahan di dalam hati kita dalam
mempercayai dan menyerahkan hidup kita kepada Allah. Yakobus
berusaha menjelaskan bagaimana kita, sebagai sesama manusia, bisa
melihat bukti dari iman tersebut (ayat 18).
Iman adalah karunia Allah, dan oleh karena iman kita akan
semakin bertumbuh dalam hidup kita. Kita tidak bisa menilai iman
orang lain, tetapi kita bisa merasakannya. Kita hanya bisa melihat
iman dari buah yang dihasilkannya. “Orang benar akan hidup
oleh iman.” Ini artinya seseorang yang beriman akan terlihat dari
hidupnya.
Hidup Pemuda Kristen Menghadapi Dunia Postmodern
Pada akhirnya, ilosoi zaman baru membawa perubahan.
Pertama, pemuda/jemaat dewasa tidak lagi suka dengan gaya
pertemuan besar atau akbar. Mereka lebih suka berada dalam
kelompok-kelompok minatnya. Kedua, pengajaran pertumbuhan
iman harus lebih bersifat berbagi pengalaman dan mengajak
pendengar untuk berpikir secara kritis.
Lalu yang ketiga adalah,, saya akan menggunakan kriteria
postmodern untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh zaman
ini. Tugas kita sebagai pemuda Kristen adalah melakukan apa yang
kita perbuat dengan tanggungjawab. Kita harus melakukan semua
351
352
PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG
untuk kemuliaan Tuhan. Karena itu, pertanyaan-pertanyaan yang
muncul dapat kita jawab dengan beberapa kriteria ini:
1. Apakah itu memuliakan Tuhan?
2. Apakah itu menunjukkan kebenaran Tuhan?
3. Apakah kita menolong orang lain yang adalah perwujudan
wajah Tuhan di dunia ini?
Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita bisa
mengetahui apa itu kebenaran dan menjalankan kebenaran
Tuhan dengan tidak ragu lagi. Pemikiran postmodern membawa
kita lebih sadar akan banyaknya tafsiran dan perbedaan persepsi
akan kebenaran. Perbedaan ini harus kita lihat sebagai hal yang
memperkaya kita dan mengikat kita untuk selalu berada dalam
komunitas yang berusaha menerjemahkan kebenaran Allah dalam
perbuatan yang memuliakan Dia.
Daftar Acuan
Blackburn, Simon. Truth. London: Oxford University Press.
Cahoone, Lawrence E. (ed.). 1997. From Modernism to Postmodernism:
An Anthology. Massachusetts: Blackwell Publishing Co.
Caputo, John D. & Linda Martin Alcof. 2009. St. Paul among the
philosophers. Bloomington and Indianpolis: Indiana University
Press.
Gibbs, Robert. 1997. “Emmanuel Levinas” dalam Graham Ward
(ed.) he postmodern God. Massachusetts: Blackwell Publishing
Co.
Hardiman, Fransisco Budi. 2003. Melampaui positivisme dan
modernitas: Diskursus ilosois tentang metode ilmiah dan problem
modernitas. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Horkheimer, Max & heodor W. Adorno. 1972. he dialectics of
enlightenment. New York: he Seabury Press.
Lechte, John. 2001. 50 Filsuf kontemporer, Yogyakakarta: Kanisius.
Levinas, Emmanuel. 1996. Basic philosophical writings. Indiana:
Indiana University Press.
Marion, Jean-Luc. 1997. “Metaphysics and Phenomenology: a
GEREJA DAN MASYARAKAT
Summary for theologians” dalam Graham Ward (ed.), he
postmodern God (Malden, Massachusetts: Blackwell Publishers
Inc. 279-296.
Pakpahan, Binsar J. 2012. God remembers: Towards a theology of
remembrance as a basis of reconciliation in communal conlict.
Amsterdam: VU University Press.
Schlesinger, George N. 1994. “Truth, Humility, and Philosopher”
dalam homas V. Morris, God and the philosopher. New York:
Oxford University Press.
Subandrijo, Bambang. 2013. Menggali sumur tanpa dasar. Jakarta:
UPI STT Jakarta
Ward, Graham (ed.). he postmodern God: A theological reader.
Massachusetts: Blackwell Publishing Co., 1998.
353
Martahan
Sitompul
adalah
Pendeta
HKBP dan
pegiat
dialog lintas
iman yang dikenal melalui
berbagai tulisannya. Sitompul
menyelesaikan studi
doktoralnya di STT Jakarta di
bawah bimbingan Prof. Olaf
Schumann dengan disertasi
“Muhammad lgbal dan
Negara Islam tahun” (1998).
Beberapa bukunya a.l.: NU
dan Pancasila (1996), Gereja
Menyikapi Perubahan (2004),
Menjadi Berkat Menjadi Bijak
(2011), Pernah melayani a.l.
sebagai Sekretaris Umum
PGI Wilayah Jawa Barat,
Sekretaris Pembinaan HKBP,
dosen STT Jakarta, Kepala
Litbang PGI, dan terakhir
melayani sebagai Pendeta
Resort HKBP Menteng.
Diterbitkan oleh
Unit Publikasi dan Informasi
Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
bekerjasama dengan
HKBP Menteng
2
PERJALANAN SEMUA MENDAYUNG
Buku kedua dari tiga
menampilkan tulisan-tulisan
berbagai tokoh masyarakat,
aktivis dialog lintasiman,
teolog, dan warga gereja
sebagai penghormatan
terhadap Pdt. Dr. Einar M.
Sitompul. Pergaulan Sitompul
yang luas terlihat dari ragam
penulis yang menyumbangkan
pemikirannya untuk
percakapan mengenai: (1)
Teologi agama-agama dan
dialog antariman; (2) Injil dan
Kebudayaan; (3) Gereja dan
Masyarakat; dan (4) Kesan
dan kisah pelayanan Bang
Einar. Buku ini cocok untuk
dimiliki oleh para akademisi
yang aktif dalam bidang
teologi lintas iman, aktivis dan
warga gereja, para pendeta
yang ingin mengetahui
pergumulan kontemporer
gereja di tengah bangsa
Indonesia, dan para sahabat
yang ingin mengetahui kisah
sosok yang memasuki masa
emeritasi kependetaannya ini.
Buku 2 - 65 Tahun Pdt. Dr. Einar M. Sitompul
Unit Publikasi dan Informasi
Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
HKBP
MENTENG
printed on recycled paper
cover-2rev.indd 1
10/02/2014 13:14:37
PERJALANAN:
SEMUA MENDAYUNG
Buku 2 - 65 tahun Pdt. Dr. Einar M. Sitompul
Binsar J. Pakpahan (editor)
Penerbit UPI STT Jakarta
2014
i
PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG
Buku 2 - 65 tahun Pdt. Dr. Einar M. Sitompul
oleh: Binsar J. Pakpahan (ed.)
Copyright © 2014 UPI STT Jakarta
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Pakpahan, Binsar J. (ed.)
PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG - Buku 2 - 65 tahun Pdt. Dr. Einar M.
Sitompul;
Cet. 1. - Jakarta : UPI STT Jakarta, 2014.
- Teologi Agama-agama - Agama dan Masyarakat - Injil dan Budaya - Einar M. Sitompul
ISBN: 978-602-1336-01-4
Printed on recycled paper
xvi + 590 hlm., 22 x 15 cm
Tata Letak: Binsar J. Pakpahan
Desain Sampul: S. Aulia
Diterbitkan oleh:
Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta
Anggota IKAPI
Jalan Proklamasi 27, Jakarta Pusat 10320
Telp. (021) 390.4237 ext. 109
Email: [email protected] - http://sttjakarta.ac.id
dan HKBP Menteng, Jl. Jambu No. 46
Jakarta Pusat
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang, UU RI No. 19 thn. 2002 Pasal 2, dan
Ketentuan Pidana Pasal 72.
Dilarang mengutip, menjiplak, mengkopi sebagian atau seluruhnya isi buku ini lalu
memperjualbelikannya tanpa izin tertulis dari penerbit.
ii
DAFTAR ISI
Daftar Isi
Kata Pengantar Editor
Sambutan Ephorus HKBP
Sambutan Sekretaris Umum PGI
iii
vii
xi
xiv
BAGIAN SATU: TEOLOGI AGAMA-AGAMA DAN
DIALOG ANTARUMAT
1. Saudara Dekat yang Jauh, atau Saudara Jauh yang Dekat? Abraham Silo Wilar
3
2. Islam Post-Nation State - Ahmad Suaedy
17
3. Masa Depan Agama-agama di Indonesia Abubakar Mashyur Jusuf Roni
34
4. Abra(ha)m, Bapa Pelintas Batas - Anwar Tjen
42
5. Dari Perbedaan Merajut Kebersamaan - Darius Dubut
65
6. Berdebat, Berdialog, Bersaksi atau Bercerita Darwin Lumbantobing
72
7. Pendidikan Agama Kristen dalam Kehidupan Masyarakat
Majemuk - Djoys Karundeng Rantung
83
8. Membangun Saling Pengertian Agama Abraham Erick J. Barus
103
9. Tantangan dan Peluang dalam Konlik Pendirian Rumah
Ibadah - Favor Adelaide Bancin
111
10. Agama untuk Perdamaian Global - Hamka Haq
122
iii
11. Dialog Antariman: Menyahabati Orang Asing dan Estetika
Ketidaktahuan - Joas Adiprasetya
135
12. Agama dan Hikmat dalam Pendidikan Kristiani Lukman Tambunan
144
13. Problematika Kerukunan dalam Masyarakat Pluralistik Lydia Siahaan
158
14. Teologi dan Studi Agama-agama - Martin Lukito Sinaga
172
15. Agama untuk Perdamaian - Musdah Mulia
183
16. Meragukan Klaim Indonesia sebagai Negara Paling Toleran
di Dunia - Victor Silaen
192
17. Memperkokoh Toleransi - Yenny Zannuba Wahid
212
BAGIAN DUA: INJIL DAN KEBUDAYAAN
18. Batak dalam Dialog Antariman dan Politik di Indonesia Berlian T.P. Siagian
221
19. Krisis Identitas dalam Perjumpaan Injil dan Adat Gomar Gultom
234
20. Orang Jawa Sangat Mengedepankan Rasa Ign. Gatut Saksono
244
21. Raja Patik Tampubolon: Teologi Habatahon J. R. Hutauruk
263
22. Kristus dan Kebudayaan - Marko Mahin
283
iv
23. Sikap Masyarakat Tapanuli Mengkritisi Roh Peradaban Nelson F. Siregar
304
BAGIAN TIGA: AGAMA DAN MASYARAKAT
24. Merajut Kembali Nilai-nilai Gotong Royong dalam Masyarakat
Pluralis - Antony Sihombing
327
25. Kok Semua Benar? Panduan Memilih dalam Dunia
Postmodern - Binsar J. Pakpahan
340
26. Meletakkan Iman di Pusat Keadilan - Carla Natan
354
27. Etos dan Etika Kristen Dewasa Ini - Jansen Sinamo
371
28. Gereja dan Pelestarian Lingkungan Hidup Jusen Boangmanalu
391
29. Pelayanan Pengembangan Masyarakat Gereja di Indonesia
sebagai Sebuah Proses Pendidikan yang Membebaskan Mangisi S. E. Simorangkir
411
30. Bolehkah Gereja Berpolitik? - Martongo Sitinjak
426
31. Missionar Spirit - Maruasas S.P. Nainggolan
440
32. Sesi Psikologi pada Program Pelajaran Sidi di HKBP Menteng Melissa Mangunsong & Frieda M. Siahaan
457
33. Dosa, Kejahatan dan Etika - Rainy MP Hutabarat
464
34. Peranan Guru Pendidikan Agama Kristen dan
Implementasinya terhadap PAUD - Rita Hutagalung-Sihite
472
35. Etika Pembangunan - Soegeng Hardiyanto
478
v
36. Servant Leadership sebagai Sebuah Terobosan Kepemimpinan
Abad ke-21 - Yuniar P Sihombing-Simorangkir
485
BAGIAN EMPAT: MENGENAL SANG GURU DAN
KOLEGA
37. Si Anak Kaya dari Pekanbaru - Bilman Simanungkalit
499
38. Makna Bab Terakhir Sebuah Buku - Binsar Nainggolan
503
39. Pendeta Teladan di Zaman Edan - Daniel T. A. Harahap
509
40. Kuat dan Bersabarlah, Suatu Saat Badai akan Berlalu Esther R. Sitorus
514
41. Sang Pembaharu - Hotman Charles Siahaan
520
42. Bagaimana Kita Menyelesaikan Hidup? Luhut P. Hutajulu
536
43. Kau Hapalkan Saja Buku Sejarah Suci dan Almanak, Kau
Sudah Lulus Itu! - Franciska Marcia Julianti Silaen
543
44. Teruslah Melayani dan Berkarya Sampai Akhir Pirmian Tua Dalan (PTD) Sihombing
552
45. Petir di Siang Hari Terang - SM Parulian Tanjung
565
46. Penggerak Gerakan Oikumene yang Tak Pernah Lelah Weinata Sairin
578
DAFTAR PENULIS
583
vi
340
PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG
KOK SEMUA BENAR?
Panduan Memilih dalam Dunia Postmodern
Binsar J. Pakpahan1
Pendahuluan
Ada yang mengatakan “Beauty is in the eye of the beholder,”
yang berarti kecantikan itu selalu menjadi relatif, tergantung siapa
yang melihatnya. Namun demikian, kecantikan pernah tidak relatif;
bahwa pernah ada masa ketika standar kecantikan ditentukan oleh
zamannya, misalnya rambut panjang, tubuh sekal, hidung mancung,
kulit putih, dsb. Sekarang, kecantikan bisa muncul dalam berbagai
bentuk. Perubahan pandangan ini terjadi karena perkembangan
pemikiran yang terjadi belakangan ini, dan berhubungan erat
dengan perubahan pemikiran ilosois. Sadar atau tidak, kita semua
adalah produk zaman yang sedang berubah ini, karena itu, sangat
penting bagi kita untuk menyadari kenapa perubahan ini terjadi.
Pemikiran di akhir abad ke-20 dan ke-21 banyak dipengaruhi
oleh ilsafat postmodern (Lihat Sugiharto 1996; Cahoone 1997).
Dalam ilsafat postmodern yang mengandaikan dunia tanpa pusat,
kebenaran menjadi tergantung kepada siapa yang melihatnya,
atau kesepakatan mengenainya - atau dengan kata lain: menjadi
subjektif. Pemikiran yang lahir atas protes terhadap singularitas
cerita peradaban dan sejarah membawa efek positif dan negatif. Pada
1 Pendeta HKBP, menyelesaikan studi doktoral di bidang teologi
sistematika di Vrije Universiteit Amsterdam, sekarang melayani sebagai dosen
tetap STT Jakarta. Dapat dihubungi di [email protected].
GEREJA DAN MASYARAKAT
satu sisi, budaya-budaya dan kisah-kisah alternatif, yang dulunya
ditekan oleh penguasa atau pemenang sejarah, sekarang muncul
ke permukaan. Alih-alih memiliki satu cerita sejarah, kita sekarang
memiliki kemewahan pilihan sejarah dalam berbagai versi. Cerita
korban yang biasanya tidak pernah terdengar kini muncul sebagai
penyeimbang sejarah (Lihat Pakpahan 2012).
Namun demikian, penghapusan pusat cerita dalam ilsafat
postmodern ini juga membawa ketakutan akan menghilangnya
standar kebenaran (Lihat Blackburn 2005). Pluralisme kebenaran
seolah-olah mendorong kebenaran tunggal keluar dari pusat
cerita. Proses pengambilan keputusan menjadi situasional atau
bertanggungjawab. Tidak ada lagi satu cara yang paling benar yang
menjadi rumus untuk semua masalah. Satu-satunya kesamaan di
tengah-tengah subjektivitas dunia postmodern adalah keinginan
semua orang untuk menjadi berbeda.
Lalu bagaimana dengan Tuhan? Apakah cerita kebenaran
Tuhan masih bisa diterima? Lalu Tuhan versi siapa yang akan kita
terima? Bagaimana cara mengenali versi Tuhan yang paling benar?
Lalu bagaimana kita harus bersikap sebagai pemuda Kristen (Ward
[ed.] 1997)?
Kebenaran dalam Dunia Postmodern
Abad pencerahan, yang mengutamakan penggunaan rasio
(empiris) daripada pendekatan mistis (baca: metaisika) memulai
pergerakan menuju pemikiran yang logis dan rasional. Pemikiran
yang baru ini jusru dibawa oleh kekristenan (Protestan) yang ingin
lepas dari mistisisme berlebihan yang ada di abad ke-16. Praktik
gereja pada masa itu dianggap mengungkung rasionalitas manusia.
Penjualan surat pengakuan dosa, ancaman akan neraka yang secara
konstan disampaikan, kekuasaan mistis, dan lainnya, dianggap tidak
sesuai dengan rasio manusia. Alkitab dianggap sebagai suatu hal yang
memiliki kuasa sehingga hanya para imam yang boleh membacanya
– karena hanya tersedia dalam bahasa Latin. Karena itu, kemunculan
gerakan Protestan, yang mendorong umat untuk membaca Alkitab
dalam bahasa aslinya sedikit banyak membuat orang melihatnya
341
342
PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG
sebagai teks yang harus dibaca dan dianalisis. Perkembangan
teknologi, lahir dari dorongan akan mengembangkan pemikiran
manusia, yang datang dari pergerakan sejarah Reformasi ini. Ketika
Alkitab mulai dibaca, pertanyaan selanjutnya adalah tafsir mana
yang paling tepat digunakan untuk memahami Alkitab? Perbedaan
pendapat kemudian lahir dari ketersediaan materi bagi semua orang
(Lihat Horkheimer dan Adorno 1972).
Pertanyaan-pertanyaan mengenai mana yang paling benar
berlanjut di luar bidang agama. Manusia tidak lagi puas terhadap
kekuatan satu pihak besar yang menentukan standar kebenaran.
Pemikiran dunia postmodern ini dimulai dari kegagalan pemikiran
modern yang mencetuskan perang dunia. Sebelumnya, dunia
memiliki kesamaan pemikiran, standar kebaikan, dan cerita
kebenaran. Salah satu contoh adalah, cerita sejarah selalu menjadi
milik pemenang sejarah. Siapa saja yang memenangkan perang
atau pertempuran, akan menulis sejarah yang mengangkat cerita
kemenangannya. Demikian juga dengan contoh dari dunia sastra,
karya yang baik memiliki standar ukurannya sendiri dan semua
orang harus mengikuti aturan tersebut, misalnya: rima, panjang
prosa, dsb.
Sigmund Freud, seorang ahli psiko analisis, memulai pergerakan
ini dengan menyatakan teorinya mengenai id, ego, dan super ego.
Secara singkat, meskipun tidak komplit, pemikiran Freud bercerita
tentang segala sesuatu yang seseorang alami ketika dia dewasa
adalah cerminan dari perlakuan yang dia terima di masa kecilnya.
Jika seseorang pada masa dewasanya bertindak kejam, maka besar
kemungkinan dia juga menerima perlakuan kejam di masa kecilnya.
Atau, jika seseorang memiliki kemampuan yang luar biasa untuk
mengasihi orang yang lain, maka dia pasti sudah menerima kasih di
masa kecilnya. Ide ini membuat kita bisa lebih mengerti lagi mengapa
seseorang melakukan apa yang dilakukannya. Kita bisa mendesain
atau memberikan respons yang tepat terhadap perlakuan orang,
berdasarkan analisis psikologisnya. Namun demikian, pemikiran ini
juga membawa tantangan yang baru bagi pemikiran religius. Jika
GEREJA DAN MASYARAKAT
kita menarik kesimpulan yang lebih dalam lagi, maka kita bisa juga
mengatakan bahwa Tuhan pun adalah cerminan kebutuhan kita.
Artinya, Tuhan akan menjadi Tuhan yang Kaya kalau kita miskin;
menjadi Tabib yang Ajaib kalau kita sakit; menjadi Konselor yang
Hebat kalau kita dalam kesusahan; menjadi Guru kalau kita murid;
menjadi Sang Pemurah kalau kita memerlukan bantuan-Nya. Tuhan
adalah projeksi kita akan apa yang kita butuhkan. Pertanyaannya
adalah, apakah Tuhan itu hanya sekedar projeksi kebutuhan kita?
Pertanyaan zaman akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, juga
ditangkap oleh Friedrich Nietzsche. Dia mengeluarkan pernyataan
yang terkenalnya, bahwa “Allah sudah mati.” Baginya, manusia
sendirilah yang membunuh allah. Karena terlahir dengan sifat ingin
menguasai (the will to power), maka manusia berkompetisi untuk
menjadi tuan (master mentality) atas yang lain (slave mentality).
Mereka yang ingin berkuasa akan mencoba melepaskan diri dari
ide “Tuhan” yang membatasi gerak mereka menguasai yang lain.
Lalu mereka yang berhasil membebaskan diri akan mengenakan ide
“Tuhan” kepada orang lain agar mereka tidak memiliki keinginan
untuk menjadi tuan. Pada akhirnya, menurut Nietzsche, manusia
membunuh Tuhan atau ide tentang Tuhan karena keperluannya
sendiri.
Perkembangan kemudian muncul dari perkembangan
ilsafat yang mulai berpindah dari metaisika dan empiris menuju
pendekatan fenomenologis. Pendekatan empiris mengenali
kebenaran dari pengamatan. Pendekatan metaisika menyatakan
bahwa kebenaran sejati tidak akan pernah dicapai karena melampaui
pemikiran manusia itu sendiri. Pendekatan fenomenologis
mengajak kita untuk mengenali kebenaran dari fenomena yang
ditampilkannya. Salah satu pengusung gagasan ini di akhir abad
ke-19 adalah Edmund Husserl. Dia menyatakan bahwa kita hanya
bisa mengenali sesuatu dari fenomena yang ditampilkannya kepada
kita. Fenomena yang kita tangkap ini juga berbeda dari fenomena
yang akan ditangkap orang lain. Jika kita mengambil contoh sebuah
palu, dia bisa menjadi alat bagi tukang bangunan, alat mensahkan
343
344
PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG
bagi hakim, alat seni bagi seniman, alat mengajar bagi dosen, dsb.
Lalu apakah palu itu? Palu itu dapat menjadi apa saja berdasarkan
fenomena yang ditampilkannya terhadap yang melihatnya. Arti
sesuatu menjadi relatif terhadap yang melihatnya.
Pemikiran Husserl kemudian diangkat oleh banyak ilsuf
postmodern lainnya, misalnya Heidegger, Levinas, Sartre, Arendt,
Foucault, Derrida, dsb. Pemikiran mereka inilah yang kemudian
membawa ilsafat postmodern ke panggung utama pemikiran
mengalahkan ilsafat modern.
Akibat yang dibawa oleh pemikiran ini adalah kita jadi hatihati dalam mengklaim apa itu kebenaran. Di satu sisi, hal ini
menjadi positif karena sekarang semua orang saling menghargai
pendapat, karena tidak ada pendapat yang paling benar. Orang
yang belajar atau yang dipengaruhi pikiran ini, akah menghargai
kebenaran-kebenaran yang diajukan oleh orang lain, meskipun
kebenaran mereka berbeda. Di sisi lain, pertanyaan yang perlu kita
ajukan adalah, apakah ada kebenaran mutlak? Lalu bagaimana cara
mengetahuinya?
Cahaya-cahaya Kebenaran dan Wajah Allah
Dalam bagian mengenali cahaya kebenaran ini, saya akan
beralih dari bahasa akademis, menuju bahasa renungan mengenai
kebenaran Allah. Di sini saya akan menggunakan pendekatan Surat
Yakobus dan Surat Paulus ke Jemaat di Korintus. Pada bagian ini,
saya juga akan mendekatan pendekatan Emmanuel Levinas yang
akan membantu kita mengenali wajah Allah. Dari sini kita akan
melihat bagaimana kita bisa melampaui ketakutan kita untuk
mengenali kebenaran dunia dan mengenali kebenaran Allah.
Seperti apakah kebenaran itu? Coba pikirkan, apakah kebenaran
itu seperti mencari berapa jumlah permen yang saya taruh di dalam
gelas, atau seperti memilih lagu favorit? Dalam menebak jumlah
permen, kita akan memiliki jumlah yang tepat dan pasti. Sementara
dalam memilih lagu favorit, kita semua pasti memiliki lagu yang
berbeda. Kita mungkin tidak akan bisa menentukan lagu yang paling
baik, sama seperti kita tidak akan bisa menemukan kebenaran yang
GEREJA DAN MASYARAKAT
sesungguhnya. Lalu, apakah iman itu menjadi relatif? Kalau iman
menjadi relatif, kita menjadi mudah tergoda untuk mengatakan
bahwa menjadi orang Kristen atau tidak adalah sama saja.
Semua orang bisa memiliki pilihan yang berbeda dalam
memilih lagu favoritnya, tetapi ada juga lagu yang memang bagus
meskipun lagu itu bukan favorit kita. Contohnya, mungkin tidak
ada yang memilih lagu “We Are he World” karya Michael Jackson
sebagai lagu favoritnya, tetapi kita semua bisa setuju bahwa lagu
itu adalah lagu yang bagus. Contoh lainnya: lagu “Amazing Grace”
mungkin bukanlah lagu favorit orang yang beragama lain, tetapi
mereka semua setuju bahwa lagu itu adalah lagu yang indah. Gus
Dur, mantan presiden Indonesia sendiri mengatakan bahwa hatinya
selalu bergetar ketika mendengar “he Great Halleluya” karya
Handel.
Kecantikan itu selalu menjadi relatif, tergantung siapa yang
melihatnya. Ini benar tetapi tidak sepenuhnya benar. Pada titik
tertentu kita semua bisa melihat bahwa seseorang itu memang
cantik. Seandainya kepada saudara ditanyakan, siapa yang lebih
cantik Rihanna atau Shakira? Atau seandainya saya menjadi Brad
Pitt, siapakah yang akan saya pilih di antara Angelina Jolie dan
Jennifer Aniston. Meskipun pilihan favorit bisa berbeda tetapi
semua orang akan setuju bahwa pada level tertentu kedua pilihan
tersebut adalah cantik.
Di sini saya akan menjawab pertanyaan tersebut melalui
jawaban iman yang juga bisa diperiksa logikanya. Meskipunnya, kita
memiliki preference tertentu dalam memilih iman, tetapi iman tidak
relatif. Pada satu tahap tertentu kita tahu bahwa iman adalah baik
dan benar. Salah satu cara mengukur kebenaran bisa kita lihat dalam
penjelasan surat Yakobus (Yak. 2:14-26). Yakobus mengatakan iman
itu tidak relatif ketika kita melihatnya dari perbuatan kita.
Yakobus menuliskan, (Terjemahan Bahasa Indonesia Seharihari) “Saudara-saudara! Apa gunanya orang berkata, “Saya
orang yang percaya,” kalau ia tidak menunjukkannya dengan
perbuatannya? Dapatkah iman semacam itu menyelamatkannya?
345
346
PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG
Seandainya seorang saudara atau saudari memerlukan pakaian dan
tidak mempunyai cukup makanan untuk sehari-hari. Apa gunanya
kalian berkata kepadanya, “Selamat memakai pakaian yang hangat
dan selamat makan!” kalau kalian tidak memberikan kepadanya
apa yang diperlukannya untuk hidup? Begitulah juga dengan iman,
jika tidak dinyatakan dengan perbuatan, maka iman itu tidak ada
gunanya.” (Yak. 2:14-17)
Salah satu ajaran yang sangat utama dalam kekristenan adalah
bahwa kita diselamatkan karena karunia Allah dan bukan karena
perbuatan. Sola Gratia. Kita diselamatkan karena iman kita terhadap
Allah dan bukan karena perbuatan. Sola Fide. Tetapi kemudian
ada orang yang berlindung dan menyalahgunakan hal ini. Ada
yang berpikir bahwa dengan memiliki iman maka kita tidak perlu
lagi melakukan hal yang lain. Ada yang mengaku beriman tetapi
perbuatannya sama sekali tidak mencerminkan hidup beriman.
Yakobus menuliskan surat ini untuk mengingatkan kita bahwa
kita diselamatkan karena iman, dan iman akan mendorong kita
untuk melakukan perbuatan yang menyenangkan hati Allah. Iman
bukanlah hal yang relatif, kita bisa melihatnya dari perbuatan.
Sama seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman
tanpa perbuatan adalah mati. Ketika kita mengimani Allah, maka
ini akan terlihat dari sikap hidup dan perbuatan kita. Marilah kita
tunjukkan buah iman kita dalam hidup sehari-hari. Ini adalah cara
kita mengenali kebenaran Allah.
Cara lain untuk mengenali kebenaran Allah adalah dengan
mencari wajah Allah (Mat. 25:31-46). Emmanuel Levinas
berpendapat bahwa pencarian ilsafat Barat akan Allah sangat bersifat
ontologis. Karena sifat ini, ilsafat tidak akan bisa lagi membedakan
antara realitas dan bahasa kita dalam menjelaskan realitas tersebut.
Penjelasan akan sebuah realitas dengan bahasa yang digunakan
tidak akan pernah bisa sepenuhnya menjadi realitas tersebut. Ketika
kenyataan ontologis dijelaskan dengan bahasa, dia sudah direduksi
ke dalam pemahaman orang yang menyampaikannya. Meskipun
demikian, orang tetap harus berusaha menjelaskan sebuah realitas
GEREJA DAN MASYARAKAT
karena dia perlu menyampaikannya kepada orang lain, untuk
berbagi realitas, dan berusa memahaminya.
Levinas (1996) berpendapat bahwa pembicaraan mengenai
yang tak terbatas atau sang Ininite adalah transenden dan tidak dapat
dimasukkan dalam kategori ilsafat ontologis (1996, 63). Semua
penjelasan ontologis tentang Allah tidak akan bisa menggambarkan
Allah itu sendiri (Bnd. Subandrijo 3-4). Lalu bagaimana caranya kita
bisa berbicara mengenai Allah? Apakah akal manusia yang terbatas
bisa berbicara dan menjelaskan mengenai yang tak terbatas? Levinas
mencoba menggunakan cara “via eminentia: the path of reining
or reducing an excellence until, for instance, the goodness of the
goodness of a good becomes God” (Gibbs 1996, 48).2
Dalam pemikirannya, Levinas beranggapan bahwa adalah
Allah yang datang menghampiri pengetahuan/kesadaran manusia.
Seseorang hanya bisa memahami, atau setengah memahami Allah,
ketika Allah sendiri yang masuk ke dalam pikirannya. Ketika kita
sudah mencoba memahami Allah dengan segala keterbatasan kita,
maka seharusnya pengetahuan itu juga membawa implikasi etis.
Kebenaran yang tidak sepenuhnya bisa kita capai tidak membuat
kita menjadi takut untuk bertindak (Gibbs 1997, 59; lihat Levinas
1996).
Kedatangan Allah ke dalam kesadaran manusia menuntut
tanggungjawabnya atas manusia yang lain, karena Allah “mengarahkan
wajah orang lain kepada saya tanpa menunjukkan diri-Nya kepada
saya” (Levinas 1997, 69). Wajah adalah cara bagaimana Sang Allah
menampilkan diri-Nya, sesuatu yang melampaui kehadiran Yang
Lain di dalam diri saya. Ekspresi yang lain adalah ekspresi sang
Allah. Karena itu, pengertian manusia tentang Allah dapat dilihat
dalam tanggungjawab etisnya terhadap sesamanya.
2 Secara umum, ada tiga jalan yang sering digunakan untuk mengenali
kebenaran dalam kekristenan, yaitu via negativia (jalan negatif ), via positivia
(jalan positif ), dan via eminentia (jalan sempurna). Via eminentia mengikuti
via positivia namun mereduksinya dengan cara via negativia sehingga muncul
kesadaran akan Allah yang tak terbatas dan keterbatasan manusia.
347
348
PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG
Sementara itu, Jean-Luc Marion mencoba menjawab
pertanyaan tentang Allah melalui penjelasan metaisika dan
fenomenologi (Marion 1997, 280). Menggunakan penjelasan
Aquionas tentang metaisika, simul determinat de ente in communi
et de ente primo quod est a material separatum (secara bersamaan
ada perbedaan wujud umum (general being) dan wujud utama
(prime being), yang terpisah dari materi) (Marion 1997, 280-281).
Kesulitan utama dalam penjelasan metaisika adalah bagaimana
mungkin keberadaan isik dan esensi dapat tampil pada saat yang
sama. Karena metaisika belum menjawab keberadaan wujud Allah,
maka kita perlu melampauinya, yaitu menuju meta-metaisika.
Sikap Bertanggungjawab Pemuda Kristen
Dalam bagian ini, Paulus akan membantu kita memahami
tentang menerapkan kebenaran. Paulus, juga mencoba memahami
kebenaran yang seperti menggapai sumur tanpa dasar tersebut.
Paulus berkata,
11:33 O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan
Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan
sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! 11:34 Sebab, siapakah yang
mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi
penasihat-Nya? (Rm. 11:33-34).
Kalimat akhir yang disampaikannya lebih merupakan
kesimpulan atas jawaban yang dicarinya daripada pertanyaan. Saya
membaca Paulus sebagai seorang postmodernis dalam suratnya ini
(Lihat Caputo & Alcof 2009). Paulus sepertinya sudah menyadari
bahwa dia tidak akan pernah mencapai kebenaran Allah yang
sejati. Meskipun nanti Paulus juga akan menawarkan jalan menuju
kebenaran dalam Kristus, setidaknya dia menyadari kelemahannya
dalam memahami Allah.
Namun demikian, Paulus tidak berhenti di situ. Dia
menawarkan bagaimana kita bisa mengenali kebenaran dan bersikap
menurut kebenaran itu. Paulus bercerita dalam 1 Korintus 10:2324, bahwa “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan
GEREJA DAN MASYARAKAT
segala sesuatu berguna. “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi
bukan segala sesuatu membangun. Jangan seorang pun yang mencari
keuntungannya sendiri, tetapi hendaklah tiap-tiap orang mencari
keuntungan orang lain.” Paulus memberikan nasihat mengenai
kebebasan yang kita miliki dalam memilih, dan bagaimana kita bisa
menjatuhkan pilihan yang bertanggungjawab.
Paulus menuliskan surat ini kepada Jemaat di Korintus untuk
mengingatkan mereka supaya mereka tidak melakukan kesalahan
yang sama seperti yang telah dilakukan bangsa Israel. Paulus
mengingatkan bahwa meskipun tahu bahwa Allah adalah raja dalam
hidup, Israel tetap melakukan kesalahan dalam menyembah berhala
(10:7), percabulan (10:8), mencobai Tuhan (10:9), dan bersungutsungut (10:10). Karena itu Paulus memperingatkan jemaat Korintus
untuk berhati-hati di dalam hidup, dan peringatan ini diutamakan
kepada mereka yang teguh berdiri supaya mereka tidak jatuh (10:12).
Dan yang paling penting, Paulus mengingatkan bahwa Allah tidak
pernah menguji seseorang melebihi kekuatannya (10:13).
Masalah yang Paulus coba jawab adalah tentang pilihan
seseorang melakukan sesuatu yang bisa mempengaruhi orang lain.
Artinya, Paulus membahas tentang tingkah laku seseorang, yang dia
pikir biasa bagi dirinya, namun menjadi masalah bagi orang lain.
Yang menjadi titik persoalan adalah waktu itu tentang memakan
makanan yang dipersembahkan kepada Allah lain. Apakah salah
kalau kita memakan makanan yang sudah dipersembahkan kepada
Allah lain? Bagaimana kalau ternyata ada orang yang terganggu
imannya karena melihat kita memakan itu. Bukankah keberatan
orang seharusnya tidak mengganggu saya?
Pertanyaan inilah yang diajukan dalam masalah memakan
makanan untuk persembahan berhala. Paulus mengatakan, bahwa,
kalau ada yang memperingatkan, maka janganlah kita makan. Masih
banyak contoh masalah yang akan menimbulkan pertanyaan yang
membuat orang berkata, “Mengapa kebebasanku harus ditentukan
oleh keberatan-keberatan hati nurani orang lain?” (10:29). Intinya,
kenapa keberatan orang lain harus membuat saya mengubah sikap
349
350
PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG
saya?
Jean-Paul Sartre, seorang ilsuf Perancis pernah mengatakan
bahwa “Hell is the other.” Dia mengatakan bahwa ada saatnya
manusia merasa kalau hidupnya terpenjara karena pendapat orang
lain atas dirinya. Bayangkan kalau kita aselalu mengubah sikap kita
berdasarkan apa yang orang katakan tentang diri kita. Hidup kita
akan menjadi neraka karena semua orang juga punya pendapat
yang berbeda-beda. Apakah kebenaran orang lain membuat saya
mengubah pendapat saya tentang apa yang benar?
Apa yang harus kita lakukan? Bukankah semua manusia punya
kebebasan untuk bertindak menurut kehendaknya masing-masing?
Jawabnya adalah, “segala sesuatu diperbolehkan.” Tetapi
hendaklah kebebasan ini kita gunakan untuk keuntungan orang
lain. Tentu hal ini tidak mudah untuk kita pikirkan. Di tengah
segala jenis kebebasan yang ditawarkan dunia ini, kita bisa terlena
dan lupa bahwa pilihan kita tersebut bisa melukai orang lain.
Tindakan kecil yang mungkin kelihatan sepele yang kita
lakukan mungkin memiliki konsekuensi terhadap kehidupan orang
lain. Bagaimana kita bisa melakukan suatu hal, dengan kebebasan,
namun juga tidak melukai orang lain? Di ayat 31, Paulus mengatakan,
“lakukanlah itu untuk kemuliaan Allah.” Paulus mengingatkan kita
bahwa tujuan hidup kita adalah untuk kemuliaan Allah. Jadi setiap
pilihan yang kita lakukan seharusnya pilihan yang hasilnya dapat
memuliakan Allah. Paulus mengajarkan agar Jemaat Korintus selalu
memilih segala sesuatunya dengan hikmat Allah. Dengan demikian,
kita bisa menjatuhkan pilihan yang tepat.
Pertanyaan yang utama yang harus kita ajukan setiap kali
kita dihadapkan pada dilemma seperti ini adalah, “apakah hal ini
memuliakan Allah?” kalau kita yakin bahwa hal tersebut memang
memuliakan Allah, maka kita bisa terus melakukannya. Kita juga
bisa mengurangi gesekan terhadap orang yang berpendapat berbeda
dengan berdiskusi. Melalui dialog kita bisa bertukar pikiran, dan siapa
tahu anda bisa memberikan pencerahan, atau mungkin anda yang
akan belajar melihat sudut pandang orang lain. Dalam menjawab
GEREJA DAN MASYARAKAT
pertanyaan tentang bagaimana cara menentukan kebenaran, Paulus
menjawab, “Apapun yang kamu lakukan, lakukanlah untuk Tuhan!”
Di sini kita bisa kembali ke Yakobus dan berusaha
mendamaikan pemikirannya dengan Paulus. Kekristenan adalah
agama yang mengajarkan keselamatan adalah karena karunia Allah
dan iman, dan bukan karena perbuatan. Rasul Paulus mengatakan
bahwa “bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan
karena ia melakukan hukum Taurat (Rm 3:28).” Intinya Paulus
menekankan bahwa perbuatan bukanlah kriteria keselamatan kita.
Manusia diselamatkan karena iman dan bukan perbuatan. Yakobus
mengatakan bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati. Paulus
menekankan bahwa kita diselamatkan oleh Allah hanya karena
iman kita dan bukan perbuatan atau kepatuhan kita menjalankan
sejumlah peraturan. Ini artinya perubahan di dalam hati kita dalam
mempercayai dan menyerahkan hidup kita kepada Allah. Yakobus
berusaha menjelaskan bagaimana kita, sebagai sesama manusia, bisa
melihat bukti dari iman tersebut (ayat 18).
Iman adalah karunia Allah, dan oleh karena iman kita akan
semakin bertumbuh dalam hidup kita. Kita tidak bisa menilai iman
orang lain, tetapi kita bisa merasakannya. Kita hanya bisa melihat
iman dari buah yang dihasilkannya. “Orang benar akan hidup
oleh iman.” Ini artinya seseorang yang beriman akan terlihat dari
hidupnya.
Hidup Pemuda Kristen Menghadapi Dunia Postmodern
Pada akhirnya, ilosoi zaman baru membawa perubahan.
Pertama, pemuda/jemaat dewasa tidak lagi suka dengan gaya
pertemuan besar atau akbar. Mereka lebih suka berada dalam
kelompok-kelompok minatnya. Kedua, pengajaran pertumbuhan
iman harus lebih bersifat berbagi pengalaman dan mengajak
pendengar untuk berpikir secara kritis.
Lalu yang ketiga adalah,, saya akan menggunakan kriteria
postmodern untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh zaman
ini. Tugas kita sebagai pemuda Kristen adalah melakukan apa yang
kita perbuat dengan tanggungjawab. Kita harus melakukan semua
351
352
PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG
untuk kemuliaan Tuhan. Karena itu, pertanyaan-pertanyaan yang
muncul dapat kita jawab dengan beberapa kriteria ini:
1. Apakah itu memuliakan Tuhan?
2. Apakah itu menunjukkan kebenaran Tuhan?
3. Apakah kita menolong orang lain yang adalah perwujudan
wajah Tuhan di dunia ini?
Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita bisa
mengetahui apa itu kebenaran dan menjalankan kebenaran
Tuhan dengan tidak ragu lagi. Pemikiran postmodern membawa
kita lebih sadar akan banyaknya tafsiran dan perbedaan persepsi
akan kebenaran. Perbedaan ini harus kita lihat sebagai hal yang
memperkaya kita dan mengikat kita untuk selalu berada dalam
komunitas yang berusaha menerjemahkan kebenaran Allah dalam
perbuatan yang memuliakan Dia.
Daftar Acuan
Blackburn, Simon. Truth. London: Oxford University Press.
Cahoone, Lawrence E. (ed.). 1997. From Modernism to Postmodernism:
An Anthology. Massachusetts: Blackwell Publishing Co.
Caputo, John D. & Linda Martin Alcof. 2009. St. Paul among the
philosophers. Bloomington and Indianpolis: Indiana University
Press.
Gibbs, Robert. 1997. “Emmanuel Levinas” dalam Graham Ward
(ed.) he postmodern God. Massachusetts: Blackwell Publishing
Co.
Hardiman, Fransisco Budi. 2003. Melampaui positivisme dan
modernitas: Diskursus ilosois tentang metode ilmiah dan problem
modernitas. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Horkheimer, Max & heodor W. Adorno. 1972. he dialectics of
enlightenment. New York: he Seabury Press.
Lechte, John. 2001. 50 Filsuf kontemporer, Yogyakakarta: Kanisius.
Levinas, Emmanuel. 1996. Basic philosophical writings. Indiana:
Indiana University Press.
Marion, Jean-Luc. 1997. “Metaphysics and Phenomenology: a
GEREJA DAN MASYARAKAT
Summary for theologians” dalam Graham Ward (ed.), he
postmodern God (Malden, Massachusetts: Blackwell Publishers
Inc. 279-296.
Pakpahan, Binsar J. 2012. God remembers: Towards a theology of
remembrance as a basis of reconciliation in communal conlict.
Amsterdam: VU University Press.
Schlesinger, George N. 1994. “Truth, Humility, and Philosopher”
dalam homas V. Morris, God and the philosopher. New York:
Oxford University Press.
Subandrijo, Bambang. 2013. Menggali sumur tanpa dasar. Jakarta:
UPI STT Jakarta
Ward, Graham (ed.). he postmodern God: A theological reader.
Massachusetts: Blackwell Publishing Co., 1998.
353