S1 2015 302099 introduction

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Rheumatoid arthritis merupakan penyakit auto imun yang paling sering
terjadi di masyarakat. Penyakit ini ditandai dengan peradangan pada lapisan
sinovium sendi. Hal itu dapat menyebabkan kerusakan sendi jangka panjang, rasa
sakit yang berkepanjangan, kehilangan fungsi dan kecacatan (Singh et al., 2012).
Pada rheumatoid arthritis fokus peradangan berada di sinovium yaitu jaringan
yang melapisi sendi. Bahan kimia yang dilepaskan oleh sistem kekebalan tubuh
menyebabkan peradangan yang dapat merusak tulang rawan dan tulang
(Ruderman et al., 2012). Penyebab dari rheumatoid arthritis masih belum
diketahui, ada yang menyebutkan faktor genetik dan faktor lingkungan dapat
meningkatkan resiko penyakit rheumatoid arthritis (Firestein et al., 2005).
Rheumatoid arthritis merupakan penyakit peradangan sendi kronis dan
sistemik yang mempengaruhi 0,5 % - 1% populasi umum di Amerika. Meskipun
dapat menyerang dari segala usia, tingkat prevalensi meningkat secara progresif
dengan onset puncak pada dekade kelima dan tingkat insiden lebih tinggi pada
wanita dibandingkan pada pria. Tanpa pengobatan dini yang memadai,
rheumatoid arthritis akan menyebabkan kerusakan sendi permanen serta cacat
fungsional yag berat dan mengarah pada penurunan kualitas hidup penderita

(Bykerk et al., 2011). Penderita rheumatoid arthritis di seluruh dunia mencapai
angka 355 juta jiwa di tahun 2009, artinya 1 dari 6 orang di dunia ini menderita
1

2

rheumatoid arthritis (Breedveld, 2003). Di Indonesia sendiri kejadian penyakit ini
lebih rendah dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika. Prevalensi kasus
rheumatoid arthritis di Indonesia berkisar 0,1 % sampai dengan 0,3 % sementara
di Amerika mencapai 3% (Nainggolan, 2009).
Penderita

penyakit

kronik

seperti rheumatoid

arthritis


mengalami

berbagai macam gejala yang berdampak negatif terhadap kualitas hidup
mereka. Banyak usaha yang dilakukan agar pasien dengan rheumatoid
arthritis dapat merasa lebih baik dan dapat memperbaiki kualitas hidup
mereka. Gangguan yang terjadi pada pasien rheumatoid arthritis lebih besar
kemungkinannya untuk terjadi pada suatu waktu tertentu dalam kehidupan
pasien. Kebanyakan penyakit rheumatoid arthritis berlangsung kronis yaitu
sembuh dan kambuh kembali secara berulang-ulang sehingga menyebabkan
kerusakan sendi secara menetap. Rheumatoid arthritis dapat mengancam jiwa
pasien atau hanya menimbulkan gangguan kenyamanan (Gordon et al., 2002).
Masalah yang disebabkan oleh penyakit rheumatoid arthritis tidak
hanya berupa keterbatasan yang tampak jelas pada mobilitas dan aktivitas hidup
sehari-hari tetapi juga efek sistemik yang tidak jelas yang dapat menimbulkan
kegagalan organ. Rheumatoid arthritis dapat mengakibatkan masalah seperti rasa
nyeri, keadaan mudah lelah, perubahan citra diri serta gangguan tidur.
Dengan demikian hal yang paling buruk pada penderita rheumatoid arthritis
adalah pengaruh negatifnya terhadap kualitas hidup (Gordon et al., 2002).
Nyeri yang dialami oleh pasien rheumatoid arthritis adalah nyeri sedang
atau skala nyeri rata-rata enam (National Institude of Nursing Research, 2005


3

dalam Dewi, 2009). Adanya nyeri sendi pada rheumatoid arthritis membuat
penderitanya seringkali takut untuk bergerak sehingga mengganggu aktivitas
sehari-harinya dan menurunkan produktivitasnya. Aktivitas sehari- hari yang
dimaksud seperti makan, minum, berjalan, tidur, mandi berpakaian, dan buang air
besar atau kecil (Hardywinoto and Toni, 2003). Bahkan
arthritis

yang

menghilangkan

tidak

begitu

kemampuan


parah

seseorang

pun
untuk

dapat

kasus rheumatoid

mengurangi

produktif

dan

bahkan

melakukan


kegiatan fungsional sepenuhnya. Rheumatoid arthritis dapat mengakibatkan
tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari seutuhnya (Gordon et al., 2002).
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Depkes, dan Dinas Kesehatan DKI
Jakarta selama tahun 2006 menunjukkan angka kejadian gangguan nyeri
muskuloskeletal yang menggangu aktifitas, merupakan gangguan yang sering
dialami dalam kehidupan sehari-hari sebagian responden. Dari 1.645 responden
laki-laki dan perempuan yang diteliti, peneliti menjelaskan sebanyak 66,9%
diantaranya pernah mengalami nyeri sendi. Penyakit ini cenderung diderita oleh
wanita (tiga kali lebih sering dibanding pria). Hal ini dapat diakibatkan oleh stres,
merokok, faktor lingkungan dan dapat pula terjadi pada anak karena faktor
keturunan (Wiedya, 2013).
Tujuan dari pengobatan rheumatoid arthritis tidak hanya mengontrol gejala
penyakit, tetapi juga penekanan aktivitas penyakit untuk mencegah kerusakan
permanen. Pengobatan harus multi disipliner yang melibatkan dokter, fisioterapi,

4


pasien dan anggota tim lainnya (British Columbia Guidelines, 2012). Pemberian
terapi rheumatoid arthritis dilakukan untuk mengurangi nyeri sendi dan bengkak,
meringankan kekakuan dan mencegah kerusakan sendi sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien. Pengobatan rheumatoid arthritis yang
dilakukan hanya akan mengurangi dampak penyakit, tidak dapat memulihkan
sepenuhnya. Rencana pengobatan sering mencakup kombinasi dari istirahat,
aktivitas fisik, perlindungan sendi, penggunaan panas atau dingin untuk
mengurangi rasa sakit dan terapi fisik atau pekerjaan.
Obat-obatan memainkan peran yang sangat penting dalam pengobatan
rheumatoid arthritis. Tidak ada pengobatan tunggal bekerja untuk semua pasien.
Banyak orang dengan rheumatoid arthritis harus mengubah pengobatan
setidaknya sekali dalam seumur hidup. Pasien dengan diagnosis rheumatoid
arthritis memulai pengobatan mereka dengan DMARDs (Disease modifying antirheumatic drugs) seperti metotreksat, sulfasalazin dan leflunomid. Obat ini tidak

hanya meringankan gejala tetapi juga memperlambat kemajuan penyakit.
Seringkali dokter meresepkan DMARDs bersama dengan obat anti-inflamasi atau
NSAID dan/atau kortikosteroid dosis rendah, untuk mengurangi pembengkakan,
nyeri dan demam (Arthritis Foundation, 2008).
Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
pengaruh karakteristik pasien dan jenis obat yang digunakan terhadap kualitas

hidup dan intensitas nyeri pada pasien rheumaoid arthritis. Penelitian ini
dilakukan di instalasi rawat jalan Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
Pemilihan Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta karena rumah sakit ini

5

telah mempunyai instalasi khusus untuk penyakit rheumatoid sehingga menjadi
rujukan pasien rheumatoid arthritis.

B. Rumusan Masalah
1.

Bagaimana pengaruh karakteristik pasien terhadap kualitas hidup pasien
rheumatoid arthritis di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta?

2.

Bagaimana pengaruh jenis obat yang digunakan terhadap kualitas hidup
pasien rheumatoid arthritis di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta?


3.

Bagaimana pengaruh intensitas nyeri terhadap kualitas hidup pasien
rheumatoid arthritis di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian
1.

Tujuan umum
Mengetahui pengaruh karakteristik pasien, jenis obat yang digunakan dan
intensitas nyeri terhadap kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis di Rumah
Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

2.

Tujuan khusus
a. Mengetahui pengaruh karakteristik pasien terhadap kualitas hidup pasien
rheumatoid arthritis di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogykarta.
b. Mengetahui pengaruh jenis obat yang digunakan terhadap kualitas hidup

pasien rheumatoid arthritis di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta.

6

c. Mengetahui pengaruh intensitas nyeri terhadap kualitas hidup pasien
rheumatoid arthritis di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian
1.

Farmasis
Dapat memberikan gambaran mengenai karakteristik pasien dan
pengobatan yang berhubungan terhadap kualitas hidup pasien rheumatoid
arthritis sehingga dapat meningkatkan perannya sebagai konselor yang
mendukung meningkatnya kualitas hidup pasien.

2.

Instalasi Rumah Sakit dan Profesi Kesehatan Lain

Sebagai sumber informasi bagi rumah sakit mengenai pengaruh
karakteristik pasien, jenis obat yang digunakan dan intensitas nyeri terhadap
kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis khususnya pada pasien rawat jalan
sehingga dapat digunakan sebagai masukan dalam menyusun strategi tata
laksana terapi rheumatoid arthritis di rumah sakit dan dapat memberikan
motivasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan pada pasien
rheumatoid arthritis.

3.

Peneliti
Meningkatkan pengetahuan dan memberikan pengalaman penelitian
tentang pelayanan kesehatan ksususnya pada penyakit rheumatoid arthritis
serta sebagai pembanding, pendukung dan pelengkap untuk penelitian
selanjutnya.

7

E. Tinjauan Pustaka
1.


Rheumatoid Arthritis
a. Definisi
Rheumatoid arthritis adalah penyakit kronis (jangka panjang) yang
menyebabkan nyeri, kekakuan gerak dan fungsi sendi terbatas dan
bengkak. Rheumatoid arthritis dapat mempengaruhi banyak sendi, sendisendi kecil di tangan dan kaki cenderung yang paling sering terlibat.
Peradangan pada rheumatoid arthritis kadang-kadang bisa mempengaruhi
organ lain seperti mata dan paru-paru. Pada rheumatoid arthritis
kekakuan yang paling buruk sering terjadi pada pagi hari. Kekakuan ini
dapat berlangsung satu sampai dua jam (atau bahkan sepanjang hari).
Kekakuan pada pagi hari dalam waktu yang lama tersebut merupakan
petunjuk bahwa seseorang mungkin mengidap rheumatoid arthritis,
karena beberapa penyakit rematik lainnya berperilaku seperti ini.
Misalnya osteoarthritis paling sering tidak menyebabkan kekakuan pagi
yang berkepanjangan (Ruderman et al., 2012).
b. Klasifikasi Rheumatoid Arthritis
Journal Of The Royal Society Of Medicine membagi 4 (empat)
onset, yaitu :

1) Polymyalgic Onset
Biasanya dialami oleh usia lanjut dan merupakan penyakit
akut. Dengan kekakuan disekitar bahu dan lingkar panggul. Tingkat
ESR (Erythrocyte Sedimentation Rate) biasanya tinggi. Pengobatan

8

yang paling umum biasanya menggunakan kortikosteroid dosis
rendah (Prednisolon 15 – 20 mg per hari).
2) Palindromic Onset
Pasien

mengalami

nyeri

berulang,

pembengkakan

dan

kemerahan yang mempengaruhi salah satu sendi atau lebih pada satu
waktu, masing-masing berlangsung hanya satu atau dua hari.
Kemudian pasien bisa mengalami gejala yang terus menerus.
3) Systemic Onset
Keluhan pertama biasanya non-focal seperti penurunan berat
badan, kelelahan, depresi, demam, atau bisa berhubungan dengan
fitur ekstra artikular seperti radang pada paru-paru (serositis) atau
radang pada pembuluh darah (vaskulitis).
4) Persistent Monoarthritis
Biasanya pasien megalami gejala arthritis persisten yang
mempengaruhi satu sendi besar seperti lutut, bahu, pergelangan kaki
atau pergelangan tangan (Suresh, 2004).
c. Etiologi
Rheumatoid arthritis merupakan penyakit auto imun kronis yang
ditandai dengan peradangan, nyeri, kekakuan dan kerusakan sendi yang
progresif. Selain tingginya rasa sakit dan angka kematian, penderita
rheumatoid arthritis mengalami masalah dengan keuangan mereka dan
mengalami penurunan produktivitas, emosional dan keadaan sosial yang
mempengaruhi kualitas hidup mereka (Bykerk et al., 2011).

9

Ada beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan seseorang
menderita rheumatoid arthritis, yaitu :
1) Genetik
Pada penyakit rheumatoid arthritis faktor genetik sangat
berpengaruh.

Gen-gen

tertentu

yag

terletak

di

kompleks

histokompatibilitas utama (MHC) pada kromosom 6 telah terlibat
predisposisi dan tingkat keparahan rheumatoid arthritis. Penduduk
asli Amerika dengan gen polimorfik HLA-DR9 memiliki resiko 3,5
lebih besar terkena rheumatoid arthritis bawaan.
2) Infeksi
Agen penginfeksi yang terkait pada rheumatoid arthritis antara
lain mycoplasma , mycobacterium, parvovirus, virus Epstein-Barr ,
dan retrovirus. Agen penginfeksi ini menginfeksi pasien melalui
infeksi sinovial langsung, mimikri molekul atau aktivasi kekealan
bawaan.
3) Usia dan jenis kelamin
Insidensi rheumatoid arthritis lebih banyak dialami oleh
wanita daripada laki-laki dengan rasio 2:1 hingga 3:1. Perbedaan
ini diasumsikan karena pengaruh dari hormon namun data ini
masih dalam penelitian. Wanita memiliki hormon estrogen sehingga
dapat memicu sistem imun. Onset rheumatoid arthritis terjadi pada
orang-orang usia sekitar 50 tahun.

10

4) Obesitas
Secara statistik perempuan memiliki body mass index (BMI)
diatas rata-rata dimana kategori BMI pada perenmpuan Asia
menurut jurnal American Clinical Nutrition adalah antara 24 sampai
dengan 26,9kg/m2. BMI di atas rata-rata mengakibatkan terjadinya
penumpukan lemak pada sendi sehingga meningkatkan tekanan
mekanik pada sendi penahan beban tubuh, khususnya lutut.
5) Lingkungan
Banyak faktor lingkungan yang berkontribusi terhadap
keparahan rheumatoid arthritis, meskipun tidak ada objek spesifik
yang diidentifikasikan sebagai masalah utama. Merokok adalah salah
satu faktor resiko dari keparahan rheumatoid arthritis pada populasi
tertentu. Tetapi alasan pengaruh rokok terhadap sinovitis belum
sepenuhnya

didefinisikan,

tapi

rokok

mempengaruhi

sistem

kekebalan bawaan di jalan nafas (Firestein et al., 2005).
d. Patofisiologi
Rheumatoid arthritis sering disebut radang selaput sinovial.
Penyebab dari rheumatoid arthritis masih belum jelas, tetapi produksi
faktor rheumatoid (RFS) oleh sel-sel plasma dalam sinovium dan
pembentukan lokal kompleks imun sering berperan dalam peradangan.
Sinovium normal tipis dan terdiri dari lapisan-lapisan fibroblast
synoviocytes dan makrofag. Pada penderita rheumatoid arthritis sinovium

menjadi sangat tebal dan terasa sebagai pembengkakan di sekitar sendi

11

dan tendon. Sinovium berproliferasi ke dalam lipatan, lipatan ini
kemudian disusupi oleh berbagai sel inflamasi diantaranya polimorf yang
transit melalui jaringan ke dalam sel sendi, limfosit dan plasma sel.
Lapisan sel sinovium menjadi menebal dan hiperplastik, kejadian ini
adalah tanda proliferasi vaskuler awal rheumatoid arthritis. Peningkatan
permeabilitas pembuluh darah dan lapisan sinovial menyebabkan efusi
sendi yang mengandung limfosit dan polimorf yang hampir mati (Kumar
and Clark, 2009).
Sinovium hiperplastik menyebar dari daerah sendi ke permukaan
tulang rawan. Penyebaran ini menyebabkan kerusakan pada sinovium
dan tulang rawan mengalami peradangan, kejadian ini menghalangi
masuknya gizi ke dalam sendi sehingga tulang rawan menjadi menipis.
Fibroblast dari sinovium berkembang biak dan tumbuh di sepanjang

pembuluh darah antara margin sinovial dan rongga tulang epifis dan
merusak tulang (Kumar and Clark, 2009).
Sistem kekebalan tubuh memiliki dua fungsi yaitu fungsi humoral
dan sel dimediasi. Komponen humoral diperlukan untuk pembentukan
antibodi. Antibodi ini diproduksi oleh sel-sel plasma yang berasal dari
limfosit B. Faktor rheumatoid sendiri belum diidentifikasikan sebagai
patogen, jumlah antibodi yang beredar selalu berkolerasi dengan aktivitas
penyakit. Pasien seropositif cenderung lebih agresif dari pasien
seronegatif. Imunoglobulin dapat mengaktifkan sistem komplemen.
Sistem komplemen menguatkan respon imun dengan mendorong

12

kemotaksis, fagositosis, dan pelepasan limfokin oleh sel mononuklear,
yang kemudian dijabarkan ke dalam T limfosit (Dipiro et al., 2008)
Proses awalnya, antigen (bakteri, mikroplasma atau virus)
menginfeksi sendi akibatnya terjadi kerusakan lapisan sendi yaitu pada
membran sinovial dan terjadi peradangan yang berlangsung terusmenerus. Peradangan ini akan menyebar ke tulang rawan kapsul fibroma
ligament tendon. Kemudian terjadi penimbunan sel darah putih dan

pembentukan pada jaringan parut sehingga membran sinovium menjadi
hiperatropi dan menebal. Terjadinya hiperatropi dan penebalan ini
menyebabkan aliran darah yang masuk ke dalam sendi menjadi
terhambat. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan terjadinya nekrosis
(rusaknya jaringan sendi), nyeri hebat dan deformitas (perubahan bentuk)
(Dipiro et al., 2008).
Sendi yang paling sering terkena rheumatoid arthritis adalah sendi
tangan, pergelangan tangan dan kaki. Selain itu, siku, bahu, pinggung,
lutut dan pergelangan kaki mungkin terlibat. Peradangan kronis dengan
kurangnya program latihan yang memadai bisa berpengaruh pada
hilangnya rentang gerak, atrofi otot, kelemahan dan deformitas.
Keterlibatan tangan dan perelangan tangan adalah umum pada pasien
rheumatoid arthritis. Keterlibatan tangan dimanifestasikan dengan nyeri,
pembengkakan, ketidakstabilan, dan atrofi dalam fase kronis. Kesulitan
fungsional ditandai dengan berkurangnya gerakan motorik halus.
Deformitas tangan dapat dilihat dengan peradangan kronis, perubahan ini

13

dapat mengubah mekanisme fungsi tangan dan mengurangi kekuatan
pegangan hal ini membuat sulit melakukan aktivitas sehari-hari (Dipiro et
al., 2008).

e. Diagnosa
Faktor rheumatoid (RF) merupakan auto antibodi yang ditujukan
dari bagian Fc dari IgG. Faktor rheumatoid adalah tes diagnostik dan
prognostik dalam rheumatoid arthritis. Titer tinggi IgM RF relatif
spesifik untuk diagnosa rhematoid arthritis dalam konteks polyarthritis
kronis, dan selama beberapa dekade kriteria serolosis tunggal banyak
digunakan dalam diagnosis rheumatoid arthritis. Rheumatoid arthritis
merupakan penyakit variabel yang berkaitan dengan ukuran hasil seperti
status fungsional atau penilaian radiologis kerusakan sendi (Eustice,
2007). Untuk menegakkan diagnosa, dilakukan beberapa tes diantaranya:
1) Tes Hitung Darah.
Anemia biasanya terjadi pada penderita rheumatoid arthritis.
Jumlah ESR (Erytrocyte Sedimentation Rate) dan atau CRP (CReaktive Protein) sebanding dengan aktivitas proses inflamasi dan

berguna dalam pemantauan pengobatan (Kumar and Clark, 2009).
2) Serologi
Anti-CCP (Cyclic Citrullinated Peptides) positif pada awal
terjadinya rheumatoid arthritis, dan pada awal arthritis proses
inflamasi menunjukkan kemungkinan berkembangnya rheumatoid
arthritis. Faktor rheumatoid arthritis mempengaruhi sekitar 70%

14

kasus dan ANA (Anti Nuklear Antibodi) mempengaruhi sekitar 30%
kasus (Kumar and Clark, 2009).
3) Sinar X
Sinar X berguna untk menetapkan data dasar. Hanya
pembengkakan jaringan lunak yang terlihat pada awal penyakit dan
biaanya dilakukan pada 3 bulan pertama. MRI menunjukkan erosi
awal tetapi jarang diperlukan (Kumar and Clark, 2009).
4) Aspirasi Sendi
Aspirasi tampak berawaan karena adanya sel darah putih. Jika
sendi tiba-tiba menyakitkan, bisa saja pasien terkena arthritis (Kumar
and Clark, 2009).
5) Analisis Cairan Synovial
Peradangan yang mengarah pada rheumatoid arthritis ditandai
dengan cairan synovial abnormal dalam hal kualitas dan jumlahnya
yang meningkat drastis. Sampel cairan ini biasanya diambil dari
sendi (lutut), untuk kemudian diperiksa dan dianalisis tanda-tanda
peradangannya (Shiel Jr., 2011).
6) USG (Ultrasonografi)
Dapat digunakan untuk memeriksa dan mendeteksi adanya
cairan abnormal di jaringan lunak sekitar sendi (Shiel Jr., 2011).
7) Scan Tulang
Tes ini dapat digunakan untuk mendeteksi adanya inflamasi
pada tulang (Shiel Jr., 2011).

15

8) Densitometri
Dapat mendeteksi adanya perubahan kepadatan tulang yang
mengindikasikan terjadinya osteoporosis (Shiel Jr., 2011).
9) Tes Antinuklear Antibodi (ANA)
Berguna untuk membedakan diagnosis rheumatoid arthritis
dari penyakit lupus. Pasien rheumatoid arthritis memiliki hasil ANA
positif (Shiel Jr., 2011).
f. Prognosis
Pada kasus rheumatoid arthritis gejala cukup bervariasi dan sulit
diprediksi pada setiap individu. Pendekatan terapi pada awal-awal
diagnosa dapat mengurangi gejala seperti peradangan sendi, cacat,
kerusakan sendi dan kematian. Secara klasik, kabanyakan pasien
mengalami kerusakan sendi tetapi berfluktuasi, disertai dengan tingkat
kerusakan sendi dan gangguan fungsional. Pada usia 10-20 tahun,