Bps status ibu rumah tangga

Status Ibu di Perkotaan Kebanyakan Ibu Rumah Tangga
Dari hasil pengolahan data Badan Pusat Statistik yaitu Survei Sosial Ekonomi
Nasional 2004. Ternyata di perkotaan sebagian besar ibu usia kurang dari 40 tahun yang
mempunyai anak, hanya mengurus rumah tangga saja (63.3%) dan yang bekerja hanya
29.6% saja. Sedangkan di Pedesaan, ibu (dengan kreteria di atas) yang mengurus rumah
tangga saja sekitar 52.7% dan yang bekerja sekitar 41.1%. Berarti ibu di daerah
perkotaan tidak banyak yang bekerja dan hanya mengurus rumah tangga dibanding
dengan pedesaan. Kemungkinan hal ini terjadi karena tingkat kesejahteraan yang
berbeda. Di perkotaan, kesejahteraan keluarga lebih baik dibandingkan di pedesaan.
Akibatnya ibu di pedesaan banyak mencari nafkah untuk rumah tangganya, sedangkan
ibu di perkotaan sepertinya sudah cukup dengan nafkah dari suami.
Akibat dari gejala ini, perhatian ibu terhadap anak lebih baik di perkotaan karena mereka
punya waktu yang cukup buat anak mereka. Tetapi anggapan ini masih harus dicermati
dan diteliti kembali. Dengan adanya banyak fasilitas di perkotaan, maka godaan ibu
rumah tangga untuk keluar dari rumah cukup besar. Misalnya shoping, arisan, ngrumpi
dan sebagainya. Dengan banyak babysister dan pembantu yang datang ke perkotaan,
menambah keyakinan kita bahwa ibu rumah tangga (tidak bekerja) belum tentu selalu
menjaga anaknya.
Sedangkan di Pedesaan keadaan sedikit terbalik. Walaupun mereka banyak yang bekerja
mencari nafkah tetapi kemungkinan untuk selalu dekat dengan anak lebih besar. Setiap
pulang kerja, biasanya mereka langsung bertemu anaknya di rumah. Selain itu waktu

kerja di pedesaan-pun tidak sebanyak di kota, masih banyak waktu untuk keluarga
mereka. Kegiatan-kegiatan yang memakan waktu diluar keluargapun lebih sedikit.
Si Miskin kah pengguna Kartu Sehat?
Tepat Sasaran?
Kartu Sehat (KS) merupakan salah satu bentuk komitment pemerintah untuk
meningkatkan mutu kesehatan khususnya untuk masyarakat tidak mampu (miskin).
Menurut data Susenas BPS, tahun 2004 sekitar 7.9 juta rumahtangga (RT) di Indonesia
memiliki KS ini atau sekitar 14% dari total RT. Dari seluruh RT yang memiliki, 2.5 juta
RT berasal dari 20% RT termiskin (pengeluaran perkapitanya terkecil) atau sekitar 31%.
Tetapi jika kita percaya bahwa RT miskin di Indonesia sekitar 40% RT yang mempunyai
pengeluaran perkapita terkecil, maka ada 4.4 juta RT yang memiliki kartu sehat (55%).
Sisanya (45%) dimiliki oleh rumah tangga menengah ke atas. Statistik ini tidak berubah
jauh jika kita lihat tahun sebelumnya. Apakah pemberian kartu sehat tepat sasaran? Jelas
tidak karena hampir setengahnya dimiliki oleh RT dengan tingkat kesejahteraan
menengah ke atas. Inilah yang patut dicermati oleh pemerintah dalam hal mekanisme
pemberian kartu sehat ke masyarakat miskin.

Penggunaan Kartu Sehat oleh Rumah Tangga
Rumah tangga yang sudah memiliki kartu sehat teryata tidak semuanya digunakan
sesuai manfaatnya. Tahun 2004, sekitar 30% RT tidak menggunakan KS dengan berbagai

alasan yang mungkin, seperti tidak ada anggota RT yang sakit, jauhnya fasilitas kesehatan
yang ada, tidak adanya biaya transportasi ke fasilitas kesehatan, dsb. Alasan-alasan
tersebut belum dianalisa lebih lanjut karena tidak adanya data pendukung. Sebagian besar
rumah tangga pada tahun 2004, memanfaatkan kartu sehatnya untuk berobat (66.6%),
periksa hamil/melahirkan (9%) dan keperluan KB (13.8%). Statistik ini tidak terlalu
berbeda nyata untuk 5 strata kemiskinan (quintile).
Alternatif Pengelompokan Kemiskinan
Sudah banyak sekali metode untuk mengukur kemiskinan. BPS sebagai institusi
pemerintah menggunakan konsep garis kemiskinan yang metodenya cukup rumit.
BKKBN mempunyai kriteria kemiskinan sendiri. Lembaga-lembaga asingpun juga
mempunyai ukuran tersendiri. Berkaitan dengan angka kemiskinan, kita tidak akan
melupakan data SUSENAS untuk mengetahui kemiskinan di Indonesia, karena dari
SUSENAS-lah angka kemiskinan di Indonesia di terbitkan (dengan penuh kontroversi
tentunya) dengan merujuk pada garis kemiskinan BPS. Alat ukur kesejahteraan yang
digunakan adalah pengeluaran per kapita (per orang) rumah tangga tersebut. Jadi jika
pengeluaran perkapita satu RT di bawah garis kemiskinan maka RT tersebut statusnya
miskin (begitu juga untuk anggota rumah tangganya), dan sebaliknya.
Alternatif Kategori Miskin
Jika dengan garis kemiskinan, kita hanya mempunyai 2 kategori kemiskinan (miskin
dan tidak miskin), maka dengan cara lainnya dalam memanfaatkan pengeluaran perkapita

kita bisa membuat katagori kemiskinan yang berbeda konsepnya. Cara ini bisa disebut
Kategori kemiskinan Quintile atau 5 kelompok kemiskinan. Sebenarnya tidak Cuma 5
kelompok saja, bisa saja 10 kelompok (Desil), tetapi untuk memudahkan interpretasi
sepertinya lebih mudah melihat 5 kelompok.
Jika kita mengurutkan rumahtangga menurut pengeluaran perkapitanya, maka bisa
diartikan bahwa RT yang paling ujung dengan pengeluaran terkecil adalah RT termiskin
dan ujung satunya (pengeluaran perkapita terbesar) berati RT terkaya. Dari urutan
tersebut, kita dapat dengan mudah membaginya menjadi 5 kelompok dengan jumlah RT
yang sama rata (masing-masing jumlahnya 20% dari total). Cara ini sangat mudah
diperoleh dengan software SPSS tetapi tidak mungkin dengan Excel, bukannya Excel
tidak menyediakan rumusnya tetapi data Susenas tidak bisa dibaca Excel karena jumlah
barisnya lebih dari 65,000.
Peta Kabupaten tentang Sumber Air Minum Aman

Air merupakan komponen kehidupan yang dibutuhkan. Indonesia mempunyai banyak
sekali sumber air yang berlimpah. Tetapi tidak semua sumber air tersebut aman untuk
didigunakan terutama untuk diminum/dimasak. Indikator sumber air minum yang aman
didefinisikan menjadi 2 yaitu Pertama sumber air minum yang berasal dari PAM, Pompa,
Sumur terlindung dan Mata air terlindung; Kedua: sumber air minum yang berasal dari
PAM, Pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung dengan batasan bahwa sumber

air minum tersebut jaraknya lebih dari 10 m dari tempat penampungan tinja (septik tank).
Kedua indikator tersebut dapat dihitung dari data Susenas Badan Pusat Statistik. Di
dalam artikel ini digunakan data Susenas 2004, untuk menghitung persen rumah tangga
yang menggunakan sumber air minum yang aman. Untuk mengetahui kondisi di semua
Kabupaten/Kota di Indonesia, maka data disajikan untuk masing-masing kabupaten dan
dipetakan supaya kita bisa melihat peta penggunaan sumber air minum aman.
Air berlipah belum tentu aman?
Secara keseluruhan, di tahun 2004 sekitar 76% rumah tangga di Indonesia sudah
menggunakan sumber air minum dari tempat yang aman (PAM 18%, Pompa 14%,
Sumur 36% & Mataair 8% terlindung). Angka ini sepertinya sudah cukup
menggambarkan bahwa penggunaan air minum sudah cukup baik, apalagi kalau
dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu sekitar 60% (1994). Tetapi dengan sumber air
yang masih melimpah, sebenarnya angka ini masih bisa ditingkatkan dengan cara
meningkatkan akses RT ke air bersih di daerah yang langka sumber air seperti di
pegunungan selatan Jawa. Tetapi juga di daerah yang airnya berlimpah tapi
penggunaannya belum benar seperti di Kalimantan atau di sebagian Riau, Jambi dan
Sumatra selatan (lihat Peta). Sungai sebagai urat nadi kehidupan di lokasi tersebut,
airnya masih digunakan masyarakat untuk keperluan minum/masak. Sedankan
pencemaran sungai makin parah karena pengaruh rusaknya hutan dan juga penambangan
logam mulia di sekitar sungai. Hal ini kalau bisa dipecahkan, maka tingkat penggunaan

sumber air aman akan meningkat dari tahun ke tahun. Akhirnya sumber daya manusia
Indonesia juga makin sehat.
Jika merujuk pada definisi kedua indikator sumber air ini, maka nilanya lebih rendah
lagi, sekitar 46% rumahtangga yang menggunkan sumber air aman yang jaraknya lebih
dari 10m dari penampungan tinja. Sebagian besar terdapat di kota-kota besar yang sudah
menerapkan konsep ini. Angka ini masih terlalu rendah sekali. Pola hidup sehat ini harus
tetap diterapkan. Diperlukan waktu yang lama untuk proses penyadaran ini. Sosialisasi
perlu dilakukan secara masal, misalnya pengembang rumah harus membangun rumah
dengan konsep seperti ini, sekecil apapun rumahnya. Dan masih banyak lagi bentuk
sosialisasinya.

Angka kemiskinan baru saja diributkan oleh banyak kalangan baik dari kalangan
politik dan kalangan ekonom. Semuanya intinya meragukan angka kemiskinan yang
dipidatokan oleh Presiden SBY, atau tepatnya dengan angka BPS. Kemiskinan
mempunyai dimensi yang banyak, tetapi walaupun begitu tetap harus diukur untuk
kebijakan pemerintah. Pemerintah melalui BPS menentukan kemiskinan dari garis
kemiskinan yang diformulasikan oleh ahli-ahli di BPS, sebenarnya BKKBN juga punya
kriteria tertentu untuk menentukan keluarga miskin. Keduanya sangat berbeda dari segi
metode pengukurannya.
Grafik 1 menunjukan persen penduduk miskin dan penduduk miskin setelah GK

dinaikkan di daerah perkotaan, sedangkan Grafik 2 untuk pedesaan. Secara jelas kita bisa
simpulkan bahwa kemiskinan banyak terjadi di daerah pedesaan. Kita yang tinggal di
kota, sudah sedih lihat orang miskin di sekeliling kita. Tapi kita tidak sadari bahwa nun
jauh dari kota, masih banyak orang miskin yang lebih memprihatinkan yang tinggal di
Pedesaan. Di perkotaan, penduduk miskin akan sangat kelihatan karena status orang kaya
dan miskin di sini sangat terlihat. Beda dengan di pedesaan, status miskin mereka tidak
terlalu kelihatan dengan mudah.
Grafik 3 menunjukan persen miskin untuk perkotaan+pedesaan. Seperti diucapkan
Presiden SBY pada pidato HUT RI ke-61, angka kemiskinan turun, karena Data BPS-pun
bicara seperti ini data kemiskinan turun sejak tahun 1999 (krisis ekonomi). Tetapi seperti
tujuan analisa sederhana saya ini, untuk melihat juga penduduk yang rentan akan
kemiskinan. Grafik 4 menunjukan gap akibat dinaikannya GK sebesar 25%, sejak tahun
1999 sampai 2004, sekitar 18% penduduk berada di sekitar garis kemiskinan. Jika ada
kenaikan harga BBM atau sembako misalnya, maka penduduk golongan inilah yang
pantas diperhatikan juga, terutama untuk daerah pedesaan.

Berdasarkan data BPS tahun 2004 jumlah penduduk miskin di Indonesia diperkirakan
36,1 juta jiwa atau 16,6%. Angka ini hanya turun 0,8% dibandingkan tahun 2003, yaitu
jumlah penduduk miskin sebesar 37,4 juta jiwa atau 17,4% dari jumlah penduduk
Indonesia. Jumlah penduduk miskin yang cukup tinggi tersebut membutuhkan pelayanan

yang lebih baik agar secara bertahap tapi pasti dapat dikurangi.

Pertumbuhan yang dicapai terutama bertumpu pada peningkatan konsumsi dan
ekspor, sedangkan investasi masih tumbuh melambat mengingat penyelesaian beberapa
persoalan mikrostruktural belum sesuai harapan. Kondisi demikian menyebabkan
pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006 belum dibarengi perbaikan penyerapan angkatan
kerja dan peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat secara berarti. Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi adalah modal utama untuk menciptakan lapangan kerja dan
mengurangi angka kemiskinan Dalam periode itu, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi
hanya dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 40.000-50.000 orang. Merujuk hasil Survei
Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Februari 2005, Juli 2005 dan Februari 2006
yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa sebelumnya, penyerapan tenaga kerja
240.000-250.000 orang pada tahun 2003 dan sekitar 200.000 orang pada tahun 2004
untuk setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi. likuiditas dunia •

Berdasarkan data Biro Pusat Statistik ( BPS ), jumlah penduduk miskin pada tahun
2003 mencapai 37,4 juta atau sekitar 17,4% sedangkan pada tahun 2004 diperkirakan
menjadi 36,1 juta atau masih sebesar 16,6% dari seluruh penduduk Indonesia. Laporan
Pembangunan Manusia 2004 juga mengungkapkan kondisi kualitas ( fisik ) manusia
Indonesia yang masih sangat memprihatinkan. Indeks Pembangunan Manusia yang

mencerminkan tingkat kesehatan, pendidikan, dan ekonomi rata rata penduduk
menempatkan Indonesia pada peringkat 111 dari 175 negara, jauh dibawah peringkat
negara-negara tetangga seperti Malaysia (59) dan Filipina (83).