PENAFSIRAN AL QURAN DENGAN ANALISIS GEND (1)

PENAFSIRAN AL QURAN DENGAN ANALISIS GENDER
(PEMIKIRAN AMINA WADUD)
Oleh: Uswatun Hasanah
ABSTRAK
Sebagai fenoma sosial, gender bersifat relatif dan kontekstual. Pemahaman
gender yang dikenal oleh setiap orang beraneka ragam. Perbedaan gender tersebut
diakibatkan karena perbedaan konstruk sosial budaya. Kajian tentang gender telah
melahirkan berbagai aliran pemikiran feminisme yang dapat pula dijadikan sebagai
salah satu pendekatan dalam tafsir ayat-ayat gender. Tafsir ayat-ayat gender dengan
pendekatan feminisme liberal telah banyak dilakukan oleh para feminis Muslim. Salah
satu feminis muslim tersebut adalah Amina Wadud yang banyak menyumbangkan
pemikirannya mengenai kesetaraaan gender tersebut.
Kata Kunci: Ilmu Tafsir, Tafsir Gender, penafsiran Amina Wadud.
A. PENDAHULUAN
Kajian kritis terhadap AL-Qur’an dengan berbagai corak metodologinya selalu
mengalami dinamika perkembangan seiring dengan tuntutan perkembangan Zaman.
Hal itu antara lain karena Al-Qur’an memang mengandung berbagai kemungkinan
ragam penafsiran. Al-Qur’an ibarat lautan yang tak bertepi karena kandungan
maknanya sangat luas. Bahkan Al-Qur’an juga ibarat mutiara yang setiap ujungnya
memancarkan berbagai macam warna.
Oleh karena itu setiap ada upaya melakukan kajian terhadap Al-Qur’an dengan

metodologi berbeda, maka hasilnya juga akan berbeda. Munculnya fenomena gerakan
feminise1 yang mengangkat isu-isu gender dalam memahami al-qur’an telah ikut
mewarnai dan memberikan kontribusi corak metodologi yang berbeda dari
sebelumnya. Hal ini dapat dipahami sebab para aktivis feminis merasa gerah melihat
kenyataan dilapangan yang sering kali memperlakukan kurang adil terhadap kaum
perempuan. Reaksi dari ketimpangan dan ketidakadilan yang dihasilkan oleh suatu
tatanan sosial akhirnya menyebabkan munculnya gerakan feminisme, termasuk
kalangan feminis islam, seperti Riffat Hassan, Fatimah mernisi, dan Aminah wadud
Muhsin.

1 Feminisme (tokohnya disebut Feminis) adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau
kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme berasal dari bahasa Latin, femina atau perempuan.

Aminah wadud muhsin merupakan sosok feminis muslimah dari Amerika
Serikat. Beliau mencoba melakukan dekonstruksi dan sekaligus rekonstruksi terhadap
wacana tafsir yang dipandang bias patriarkhi2. Beliau mencoba melakukan
rekonstruksi metodologis bagaimana menafsirkan Al-Qur’an agar dapat menghasilkan
sebuah penafsiran yang sensitif gender dan berkeadilan. Makalah ini mencoba melihat
bagaimana gagasan dan pemikiran Aminah Wadud, terutama pada metodologi
penafsirnya.

B. PEMBAHASAN
1. Definisi dan Latar Belakang Munculnya Tafsir Gender
Sebagai fenoma sosial, gender bersifat relatif dan kontekstual. Pemahaman
gender yang dikenal oleh setiap orang beraneka ragam. Perbedaan gender tersebut
diakibatkan karena perbedaan konstruk sosial budaya. Dalam ranah akademik,
pemahaman gender mulai disadari bahwa pembedaan peran gender itu merupakan
produk sejarah, produk masa lampau yang kemudian masyarakat menyadari perlunya
perubahan dengan maksud dan tujuan agar hidup dan kehidupan ini menjadi kian
harmoni, berkeadilan, tidak ada lagi jenis kelamin yang merasa unggul dan
diunggulkan. Atau tidak ada lagi diskriminasi dan dominasi salah satu jenis kelamin
terhadap yang lainnya. Islam sangat memperhatikan konsep keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan. Tidak satu pun ciptaan-Nya yang jomplang. Konsep
relasi gender dalam islam lebih dari sekedar mengatur keadilan gender dalam
masyarakat.
Pelanggengan budaya dan tradisi patriarkhi yang menguntungkan laki-laki
merupakan politik antropologi. Segalanya ternilai untuk mempertahankan status quo
pada pola relasi gender yang telah berakar di masyarakat. Karena yang demikian ini
sudah berlangsung lama, sampai mengendap di alam bawah sadar. Sehingga dengan
alasan faktor reproduksi, produktivitas perempuan dianggap tidak semaksimal lakilaki. Perempuan diklaim sebagai komunitas reproduksi yang lebih pantas mengambil
peran domestik, sementara laki-laki merupakan komunitas produksi yang lebih epat

mengambil peran publik, yang pada akhirnya tercipta suatu masyarakat yang
didominasi laki-laki.

2 Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral
dalam organisasi sosial. Secara tersirat sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki-laki dan
menuntut subordinasi perempuan.

2

Pada masa awal sejarah islam, perempuan telah memperoleh kemerdekaan,
sehingga tidak sedikit diantara mereka mencatat prestasi gemilang. Hal seperti ini
tidak berlangsung lama dikarenakan beberapa faktor, diantaranya ketika islam
semakin mendunia berkembang pesat ke pusat-pusat kerajaan yang bercorak
misogenis seperti Persia, Baghdad, Damaskus. Disamping itu kodifikasi kitab-kitab
tafsir, hadits, fiqih banyak dipengaruhi budaya lokal, yaitu budaya patriarkhi yang
secara langsung atau tidak langsung memiliki andil khususnya dalam pembatasan
ruang gerak kaum perempuan.
Adanya ketimpangan gender yang terjadi dalam masyarakat tampaknya
bermula dari pemahaman istilah kodrat perempuan dan peran perempuan yang delama
ini sering dihubungkn dengan norma agama, bahkan pemahaman agama yang keliru

bisa memicu adanya pemahaman tersebut. Sehingga untuk memahami ayat-ayat
gender dalam kitab suci Al-Quran diperlukan metode penafsiran yang komprehensif.3
Para feminis Muslim menyadari bahwa kondisi yang menimpa kaum
perempuan khususnya di negara-negara Islam adalah akibat dari penafsiran-penafsiran
terhadap al-Qur’an dan hadits yang tidak mempertimbangkan hal-hal yang
menyangkut persoalan dan kepentingan kaum perempuan. Hal ini sebagai akibat dari
faktor masyarakat Islam yang menganut sistem patriarkhi, di samping aspek internal
para penafsir yang kebanyakan berjenis kelamin lakilaki. Sebagaimana dikatakan oleh
Riffat Hassan “Setelah menggarisbawahi pentingnya al-Qur`an dan hadits sebagai
sumber utama tradisi Islam, perlu ditunjukkan bahwa selama berabad-abad sejarah
Islam, sumber-sumber ini hanya ditafsirkan oleh laki-laki Muslim yang tidak bersedia
melaksanakan tugastugas mendefinisikan status ontologis, ideologis, sosiologis dan
eskatologis perempuan.” Pernyataan Riffat Hassan tersebut senada dengan pernyataan
Asghar bahwa dominasi laki-laki terhadap perempuan yang ada dalam sistem
masyarakat patriarkhi sangat mempengaruhi penafsiran terhadap kitab-kitab suci yang
ada, tidak ketinggalan kitab suci Al-Qur`an yang ditafsirkan secara bias laki-laki.4
Kajian tentang gender telah melahirkan berbagai aliran pemikiran feminisme
yang dapat pula dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam tafsir ayat-ayat gender.

3 Zaitunah Subhan, Al Quran dan Perempuan, (Jakarta:Prenadamedia Group,2015), hlm.33

4 Nurjannah ismail, penafsiran mufasir dan feminis muslim terhadap ayat-ayat Al quran yang berwawasan
gender, Pusat Studi Wanita IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, hal. 2

3

Aliran besar feminisme, seperti feminisme liberal5, sosialis6, marxis7, radikal8 dan
yang paling datang belakangan seperti ekofeminisme9, sebagian telah dijadikan
sebagai salah satu perspektif dalam tafsir ayat-ayat gender. Karena feminisme liberal
menjadi aliran paling dominan dalam studi gender, sehingga sebagian besar mufassir
kontemporer yang memfokuskan pada studi ayat-ayat gender, menggunakan
pendekatan ini.
Ekofeminisme muncul sebagai aliran feminisme yang menekankan pada
perbedaan alami antara laki-laki dan perempuan. Pada titik inilah perbedaan mendasar
antara ekofeminisme dengan feminisme manapun termasuk feminisme liberal yang
lebih mendasarkan pada adanya sosialisasi dan konstruksi sosial dalam memandang
status dan peran laki-laki dan perempuan. Ekofeminisme memandang perbedaan lakilaki dan perempuan adalah sesuatu yang alami yang keberbedaan itu dalam rangka
saling melengkapi antar satu dengan yang lain. Jenis kelamin itu sebagai makhluk
yang berbeda, yang keduanya mempunyai kekuatan, kelemahan, keagungan, dan
tendensi yang berbeda. Apa yang menjadi akar pemikiran feminisme bertolak
belakang dengan pandangan mainstreem dalam feminisme liberal. Feminisme liberal

mengangap bahwa jika laki-laki dan perempuan setara maka jalan menuju relasi yang
lebih adil tanpa penindsan antara keduanya akan terbuka dengan lebar.
Pandangan ini oleh ekofeminisme dianggap sebagai sesuatu yang berlebihan,
karena menurut salah satu tokoh ekofeminisme seperti Douglas Rae menyatakan
bahwa walaupun di mana-mana terdengar pujian-pijian yang diberikan pada konsep
kesetaraan, tetapi pada kenyataannya, ketimpangan selalu ada dan tidak pernah
hilang. Tafsir ayat-ayat gender dengan pendekatan feminisme liberal telah banyak
dilakukan oleh para feminis Muslim seperti yang telah disebut di muka. Dalam tafsir
ini, jika didapat ayat yang tersurat mendiskreditkan perempuan, seperti kepemimpinan
5 Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada
pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme
mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu.
6 Sosialisme atau sosialis adalah sistem sosial dan ekonomi yang ditandai dengan kepemilikan sosial dari alatalat produksi dan manajemen koperasi ekonomi, serta teori politik dan gerakan yang mengarah pada
pembentukan sistem tersebut.
7 Marxisme adalah sebuah paham yang berdasar pada pandangan-pandangan Karl Marx. Marx menyusun
sebuah teori besar yang berkaitan dengan sistem ekonomi, sistem sosial, dan sistem politik. Pengikut teori ini
disebut sebagai Marxis.
8 Radikal adalah suatu perbuatan kasar yang tidak sesuai dengan norma dan aturan.
9 Ekofeminisme salah satu cabang feminis gelombang ketiga yang mencoba menjelaskan keterkaitan alam dan
perempuan terutama yang menjadi titik fokusnya adalah kerusakan alam yang mempunyai keterkaitan langsung

dengan penindasan perempuan.

4

laki-laki atas perempuan, kesaksian perempuan, dan kasus poligami, maka itu
dikatakan sebagai bias patriarkhi yang terdapat dalam struktur kebudayaan Arab saat
ayat-ayat tersebut diturunkan. Sehingga, corak tafsirnya kemudian adalah
dekonstruksi pemahaman teks dan mengalihkannya kepada basis filosofis feminisme
liberal yang menekankan persamaan dan kesetaraan. Hasilnya, jika laki-laki bisa
menjadi pemimpin, maka perempuan pun harus bisa, jika laki-laki menjadi saksi
cukup dengan 1 orang, maka demikian pula perempuan, jika laki-laki bisa menjadi
imam shalat, begitu pula perempuan, dan laki-laki tidak berpoligami karena
perempuan pun tidak. 10
2. Biografi Amina Wadud Muhsin
Aminah Wadud Muhsin adalah salah seorang tokoh feminis muslimah yang
lahir di Amerika Serikat pada tahun 1952. Beliau adalah seorang guru besar
(profesor) pada commonwealth University, di Richmond Virginia.
Dalam buku lain penulis menemukan bahwa Amina Wadud adalah seorang
mualaf katurunan Afrika yang lahir disebuah desa Beteshda, Maryland, Amerika
Serikat pada tanggal 25 September 1952. Ia lahir dengan nama Mary Teasly.

Semenjak kecil dia sudah mengalami banyak pengalaman pahit sebagai seorang
keturunan Afrika. Dia merasakan persoalan mulai dari etnis, warna kulit, status sosial,
hingga jenis kelamin. Meskipun demikian, Amina adalah seorang anak yang memiliki
semangat membaca dan belajar yang tinggi sehingga dia berusaha sungguh-sungguh
untuk menuntut ilmu hingga menjadi tokoh yang dikenal saat ini.11
Penelitian Amina Wadud mengenai perempuan dalam Al-Qur'an yang tertuang
dalam judul bukunya Qur'an and Woman muncul dalam suatu konteks historis yang
erat kaitannya dengan pengalaman dan pergumulan orang -orang perempuan afrika
-Amerika dalam upaya memperjuangkan keadilan gender. Karena selama ini sistem
relasi laki-laki dan perempuan di masyarakat memang seringkali mencerminkan
adanya bias-bias patriarkhi, dan sebagai implikasinya maka perempuan kurang
mendapat keadilan secara lebih proporsional.
Karya Amina Wadud tersebut sesungguhnya merupakan kegelisahan
intelektual yang dialami Amina Wadud mengenai ketidakadilan gender dalam
masyarakatnya. Salah satu sebabnya adalah pengaruh ideologi - doktrin penafsiran Al10 Mintaraga Eman Surya, Tafsir Ayat-Ayat Gender dalam Al-Qur’an dengan Pendekatan Ekofeminisme: Kritik
Terhadap Tafsir Feminisme Liberal, Muwazah, Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
11 Irsyadunnas, Hermeneutika Feminis dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer. (Yogyakarta: Kaukaba
Dipantara, 2014) hal. 69

5


Qur'an yang dianggap bias patriarkhi. Dalam buku tersebut Amina Wadud mencoba
melakukan dekontruksi dan rekonstruksi terhadap model penafsiran klasik yang syarat
dengan bias patriarkhi.
Salah satu asumsi dasar yang dijadikan kerangka pikir Amina Wadud adalah
bahwa Al-Qur'an merupakan sumber nilai tertinggi yang secara adil mendudukkan
laki-laki perempuan setara (equal). Oleh karena itu, perintah atau petunjuk islam
yang termuat dalam Al-Qur'an mestinya harus diinterpretasikan dalam konteks
historis yang spesifik. Dengan kata lain , situasi sosio-historis-kultural atau lokustempus ketika ayat Al-Qur'an itu turun harus diperhatikan mufassir ketika hendak
menafsirkan Al-Qur'an. Tidak hanya itu, bahkan kultural background yang melingkupi
seorang mufassir juga perlu diperhatikan karena sangat memengaruhi hasil penafsiran
terhadap Al-Qur'an.12
3. Pemikiran Penafsiran
Amina secara tegas menyebut salah satu kategori penafsiran tentang
perempuan yang bias gender yakni kategori tafsir tradisional. Tafsir yang pada
umumnya ditulis secara eksklusif oleh kaum laki-laki ini dinilai memperlihatkan
kecenderungan ideologi patriarki. Hanya pengalaman kaum laki-lakilah yang
dimasukkan dalam penafsiran sementara perempuan dan pengalaman serta
perspektifnya ditafsirkan menurut pandangan laki-laki. Karena itu, untuk menghindari
terjadinya bias pada penafsiran Amina berupaya untuk menafsirkan Al-Qur’an dengan

merujuk langsung kepada Al-Qur’an.
Amina nampak lebih independen dalam penafsirannya karena ia menolak
penafsiran mufasir terdahulu yang menurutnya didominasi oleh kaum laki-laki dan
dipandang sangat bias gender meskipun pada beberapa sebagian penafsiran ia tetap
memaparkan pendapat mufasir terdahulu sebagai bahan perbandingan dan analisa.
Pendapat mufasir yang sesekali dikutipnya yakni seperti Sayyid Quthb dalam kitab Fī
Ẓilal Al Quran, al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasysyaf, dan lain lain. Adapun
sebagai sumber terjemahan al-Qur’an, Amina menggunakan kitab The Glorious
Qur’an: Text and Translation karya Muhammad Marmaduke Pickthall dan kadang
menggunakan terjemahan A. Yusuf Ali yakni The Holy Qur’an Text, Translation and
Commentary. Amina tidak menjadikan sunnah sebagai sumber penafsirannya.
Menurutnya, karyanya tersebut berbicara fokus tentang Al-Qur’an dan perempuan
bukan tentang perempuan dalam Islam. Selain itu, kontradiksi historis dalam literatur
12 M. Yusron, dkk, Studi Kitab Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta:Teras,2006), hlm. 78

6

hadis serta kualitas hadis yang perlu diteliti juga menjadi alasan dia tidak
menggunakan hadis dalam penafsirannya. Selain itu, ia juga menegaskan bahwa
kasetaraan laki-laki dan perempuan dalam Al-Qur’an tidak dapat dihapuskan oleh

hadis Nabi. Kalaupun kontradiksi demikian ada, maka ia memilih untuk mengikuti
Al-Qur’an.
Selain menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber penafsiran, realitas atau
konteks juga menjadi salah satu sumber penafsirannya. Menurutnya, pemahaman
yang produktif terhadap teks Al-Qur’an tidak cukup dengan hanya mengandalkan teks
semata yang pemahamannya dilakukan secara literal. Lebih jauh, sebuah penafsiran
harus mempertimbangkan konteks, baik konteks ayat ketika turun maupun konteks
yang melingkupi penafsir. Sikap semacam ini sesungguhnya merupakan satu
konsekuensi logis dari pernyataan bahwa Al-Qur’an itu shalih li kulli zaman wa
makan, bahwa Al-Qur’an itu universal dan cocok untuk segala ruang dan waktu.
Amina Wadud tidak hanya mengkritik keterbatasan sebagian besar model
penafsiran konvensional yang dianggapnya atomistik dan sangat parsial. Dia
menawarkan alternatif metodologi yang lebih komprehensif dan teratur. Metode ini
disebutnya dengan hermeneutika tauhid yang menekankan betapa kesatuan Al-Qur’an
mampu merambah seluruh bagiannya. Daripada hanya menerapkan beberapa makna
sekaligus pada satu ayat, dengan sekali-kali merujuk ke berbagai ayat lain, lebih baik
mengembangkan sebuah kerangka berdasarkan pemikiran yang sistematis untuk
mengkorelasikan dan menunjukkan dampak hubungan yang sesuai dengan Al-Qur’an.
Salah satu tujuan dari hermeneutika tauhid adalah untuk menjelaskan adanya
dinamika antara aspek universal dan partikular dari Al-Qur’an. Yang terpenting adalah
Al-Qur’an berusaha menetapkan dasar pedoman yang universal. Berbeda dengan
pesan moral Al-Qur’an yang sifatnya universal, ayat-ayat Al-Qur’an sangat dibatasi
oleh partikularitas ruang dan waktu. Amina mengemukakan metode hermeneutika
sebagai salah metode penafsiran yang dalam pengaplikasiannya tidak terlepas dari
tiga aspek yakni, 1) dalam konteks apa teks tersebut ditulis atau dalam konteks apa
ayat al-Qur’an turun, 2) bagaimana komposisi teks dari segi gramatika maupun tata
bahasanya, bagaimana teks menyampaikan dan apa yang disampaikannya, 3)
bagaimana keseluruhan teks (ayat) yakni pandangan hidupnya.13
4. Contoh Penafsiran Amina Wadud Muhsin
13 Helfina Ariyanti, Peran Perempuan Dalam Al Quran (Studi Epistemologi Penafsiran
Amina Wadud dan Zaitunah Subhan terhadap Isu Gender), TESIS., UIN Sunan Kalijaga., hal. 80

7

a. Pembagian Waris
Ketika berbicara tentang harta warisan, Amina Wadud mengkritik penafsiran
lama yang menganggap bahwa rumus 1:2 adalah rumus pasti yang berlaku untuk lakilaki dan perempuan. Menurut Amina Wadud prinsip dasar pembagian waris itu adalah
asas manfaat keadilan. Ayat-ayat tentang pembagian waris merupakan ayat yang
bersifat sosiologis dan merupakan salah satu alternatif saja, bukan satu-satunya dan
bukan pula suatu kewajiban untuk mengikutinya.
b. Nuzyus dalam Al-Qur’an
Dalam Al Quran surat An Nisa ayat 34 dan 128 diterangkan ketika merujuk
pada perempuan, kata nusyuz berarti ketidak patuhan istri kepada suami, sedangkan
yang merujuk kepada laki-laki, berarti suami bersikap keras kepada istrinya karena
tidak mau memberikan haknya.
Amina Wadud menafsirkannya bahwa kata nusyuz dapat digunakan untuk
laki-laki ataupun perempuan, maka ketika kata nusyuz disandingkan dengan
perempuan (istri) tidak dapat diartikan sebagai ketidak patuhan kepada suami,
melainkan lebih pada pengertian adanya gangguan keharmonisan dalam keluarga.
Lalu bagaimaa solusi ketika terjadi nusyuz baik oleh laki-laki ataupun
perempuan ? Al-Qur’an rupanya menawarkan berbagai solusi diantaranya melalui
bantuan arbiters atau hakim seperti disebut dalam QS.4:128. Jika solusi tersebut
masih menemui jalan buntu maka bisa dilakukan solusi yang lebih drastis, boleh
dipisahkan (pisah ranjang). Langkah terakhir hanya boleh dilakukan dalam kasuskasus ekstrim, yakni memukul mereka.14
C. KESIMPULAN
Penafsiran Al-Qur’an dalam analisis gender mulai berkembang karena adanya
feminis dari kalangan muslim yang merasa kurang puas dengan penafsiran yang sudah
ada. Dalam kasus ini adalah Amina Wadud Muhsin yang beranggapan bahwa
penafsiran ayat-ayat gender dalam Al-Qur’an diikuasai oleh bias patriarkhi karena
keberdaan penafsir laki-laki lebih dominan pada zamannya. Karena merasa adanya
ketimpangan gender dalam penafsiran Al-Qur’an ini, Amina Wadud membentuk
sebuah metode yang diharapkannya dapat menafsirkan Al-Qur’an dengan lebih
komprehensif dan teratur dari yang tadinya dianggap atomistik dan sangat parsial.
Metode ini disebutnya dengan hermeneutika tauhid yang menekankan betapa

14 M. Yusron, Studi Kitab Tafsir..., hal.98

8

kesatuan Al-Qur’an mampu merambah seluruh bagiannya, sehingga memiliki
penafsiran yang lebih obje

DAFTAR PUSTAKA
Subhan,Zaitunah, Al Quran dan Perempuan, Jakarta:Prenadamedia Group,2015
Ismail,Nurjannah, penafsiran mufasir dan feminis muslim terhadap ayat-ayat Al
quran yang berwawasan gender, Pusat Studi Wanita IAIN Ar-Raniry Banda
Aceh.
Surya,Mintaraga Eman, Tafsir Ayat-Ayat Gender dalam Al-Qur’an dengan
Pendekatan Ekofeminisme: Kritik Terhadap Tafsir Feminisme Liberal,
Muwazah, Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
Irsyadunnas, Hermeneutika Feminis dalam Pemikiran Tokoh Islam
Kontemporer,Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014.
Yusron., dkk, Studi Kitab Tafsir Kontemporer, Yogyakarta:Teras,2006.
Ariyanti,Helfina, Peran Perempuan Dalam Al Quran(Studi Epistemologi Penafsiran
Amina Wadud dan Zaitunah Subhan terhadap Isu Gender), TESIS., UIN Sunan
Kalijaga.

9