Kebebasan Berpikir dalam Filsafat manusia

PENGANTAR FILSAFAT & DASAR-DASAR
LOGIKA

Disusun oleh:
Asmaul Husnah (09311351650215)

FAKULTAS ILMU SOSIAL & ILMU POLITIK
UNIVERSITAS NASIONAL
JAKARTA
2014

Kebebasan Berpikir dan Masalah Eksistensi Manusia

Berpikir adalah suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan
yang benar. Pada dasarnya manusia selalu berpikir, hanya saja kerap kali
manusia membatasi pikiran mereka terhadap ide atau pandangan
tertentu. Hal ini menjadikan manusia dibedakan menjadi 2 kelompok,
manusia yang berpikir dan manusia yang bebas berpikir. Perbedaan dari
kedua kelompok tersebut adalah manusia yang berpikir adalah manusia
yang


hanya

berpikir

mengenai

hal-hal

atau

permasalahan

yang

dikehendaki atau diinginkan, misalnya manusia berpikir bagaimana cara
mendapatkan uang untuk membeli makanan. Sementara manusia yang
bebas berpikir adalah manusia yang memiliki kebebasan dalam berpikir
dan menuntut kebenaran atas ide-ide atau permasalahan yang ada,
misalnya berpikir mengapa manusia bisa sering merasa tidak puas,
bahkan berpikir tentang ide ketuhanan.

Apakah Tuhan memang ada? Bagi manusia yang bebas berpikir,
akan banyak pikiran atau pertanyaan yang menuntut kebenaran atas ide
ketuhanan, misalnya bagaimana wujud Tuhan? Atau dimanakah Tuhan
berada? Tapi, bagi manusia yang berpikir, ide ketuhanan merupakan buah
dari keyakinan yang mereka dapatkan dari ajaran baik agama maupun
orang tua.
Kebebasan berpikir sangat dibutuhkan oleh manusia dalam
kehidupannya.

Alasannya

adalah

dengan

memikirkan

segala

kemungkinan yang ada, maka manusia akan mencari tahu kebenaran dari

ide-ide yang muncul dipikiran mereka. Kemajuan ilmu teknologi misalnya,
tidak akan mungkin ada teknologi smartphone dengan fitur touch screen,
atau tidak mungkin ada perkembangan jaringan internet yang semakin

cepat. Kemajuan tersebut tidak akan mungkin ada apabila tidak ada
manusia yang berpikir bahwa ponsel dengan layar sentuh pasti akan lebih
mudah digunakan dan menarik, atau pasti ada cara agar akses informasi
dan berkomunikasi dengan orang lain di belahan dunia yang lain menjadi
lebih cepat tanpa harus membeli buku atau media cetak dan bepergian
dengan alat transportasi.
Namun demikian, kebebasan dalam berpikir tetap harus terikat
dengan norma yang ada. Hal ini agar hasil dari kebebasan berpikir
manusia tidak merugikan atau membawa dampak yang buruk, karena
kebebasan berpikir tidak hanya mempengaruhi berbagai aspek kehidupan
melainkan juga eksistensi manusia dalam kehidupannya. Mengapa
demikian?

Menjadi

suatu


kebutuhan

dasar

manusia

untuk

mempertahankan eksistensinya. Masalah eksistensi manusia bukan
hanya sekedar jati diri, tapi juga bagaimana ia harus memenuhi kebutuhan
hidup, bertahan hidup, dan berhubungan dengan orang lain.
Manusia hidup sebagai makhluk sosial, dan hal ini menjadi salah
satu alasan mengapa manusia harus memiliki eksistensi. Saat ia berpikir
ia dapat bertahan hidup hanya dengan bergantung pada alam, seperti
memperoleh makanan saat lapar, mendapat minum saat haus, dan
berlindung di suatu tempat tertentu dari panas dan hujan, maka ia belum
sepenuhnya memikirkan eksistensi dirinya. Mengapa? Karena, akan ada
musim dari cuaca yang membawa manusia pada kesulitan untuk bertani
atau berkebun sehingga tidak ada tanaman pangan yang dapat tumbuh.

Akan ada cuaca ekstrim yang mungkin dapat menghancurkan tempat
tinggalnya. Akan ada musim dimana sungai tempat ia mendapatkan air
mengering.
Masalah eksistensi manusia juga terkait dengan berhubungan
dengan orang lain. Setiap manusia memiliki kebutuhan yang berbeda
dalam menjalani hidup, hal ini menimbulkan ide untuk melakukan

pertukaran atau dikenal dengan sebutan barter. Saat A memiliki banyak
karung yang berisi beras, ia bersepakat dengan B untuk bertukar dengan
sejumlah sayur-sayuran. Pada masa sekarang, hal tersebut dapat dimulai
dengan hidup bertetangga, atau dapat juga dilihat dari hubungan erat
antara produsen makanan dengan masyarakat konsumen. Hubungan
saling membutuhkan ini menunjukkan bahwa manusia dapat bertahan
hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya untuk mengisi eksistensinya.
Eksistensi
bermasyarakat,

manusia
manusia


juga

terkait

membutuhkan

dengan

jati

identitas

diri.

untuk

Dalam
memulai

eksistensinya. Identitas dapat berupa status pernikahan, pekerjaan,

kewarganegaraan, suku, maupun agama. Hasil kebebasan berpikir
manusia terkait jati diri ini adalah adanya golongan sosial, atau di masa
lalu dikenal sebagai kasta sosial, yakni golongan bangsawan, golongan
pengusaha, golongan cendikiawan, hingga golongan miskin. Indikator dari
golongan tersebut cenderung pada jumlah harta kekayaan mereka. Hal ini
bertahan hingga saat ini. Contohnya, saat ini pengusaha besar di
beberapa negara seperti Korea dan Cina kerap kali melakukan pernikahan
politik

demi

mempertahankan

atau

meningkatkan

eksistensinya.

Pekerjaan juga dapat mempengaruhi eksistensi manusia. Umumnya,

semakin bagus dan tinggi jabatan seseorang, semakin baik pula sikap dan
pandangan orang lain.
Masalah eksistensi manusia terkait suku, dalam hal ini warna kulit,
menjadi permasalahan yang cukup serius pada zaman dulu, misalnya di
Amerika pada tahun 1950-an. Saat itu, perbedaan antara kulit putih
dengan kulit hitam sangat kentara. Orang kulit hitam dianggap hina dan
diperlakukan seperti budak oleh orang kulit putih sekalipun orang kulit
putih tersebut dari golongan bawah. Bahkan, orang kulit putih pada masa
itu tidak segan untuk menghina, bersikap kasar, hingga membunuh orang
kulit hitam.

Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi manusia dipengaruhi oleh
berbagai faktor dan cara berpikir dari orang itu sendiri. Seiring dengan
perkembangan zaman, manusia saat ini semakin bebas dalam berpikir,
sehingga pertikaian karena adanya perbedaan warna kulit, agama,
maupun kewarganegaraan, mulai teratasi. Ide adanya perbedaan
membawa manusia untuk berpikir bahwa pada akhirnya jalan terbaik
untuk mengatasi permasalahan yang ada adalah menerima dan
menghargai perbedaan itu sendiri. Dengan demikian, masalah eksistensi
manusia semakin teratasi.