KONSEP MANUSIA SEBAGAI HEWAN YANG BERBIC

MAKALAH:
KONSEP MANUSIA SEBAGAI HEWAN YANG BERBICARA:
RELASI BAHASA DAN BERFILSAFAT
DALAM PERSPEKTIF AJARAN AGAMA (ISLAM)

Tugas Akhir Semester:
Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Filsafat Ilmu Pengetahuan
Dosen Pengampu:
Dr. Oesman Arif, M. Pd

Oleh:
Sopyan Ali
S111308010

PROGRAM STUDI LINGUISTIK
MINAT UTAMA LINGUISTIK DESKRIPTIF
PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2014

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Dalam hal membahas hubungan bahasa dan filsafat sekiranya telah
menjadi hal yang umum bahwa para sarjana bahasa selalu menempatkan filsafat
ke dalam posisi yang prestius. Menurut Oesman (2009: 22), ini dikarenakan
obyek filsafat adalah pemikiran manusia, merupakan sesuatu yang tidak tampak
oleh mata, namun cakupannya lebih luas daripada ilmu lainnya karena meliputi
segala yang ada. Maka, tidaklah begitu mengherankan mengingat filsafat adalah
inti dari semua ilmu termasuk ilmu bahasa. Kajian bahasa pertamakali pun
justru dilakukan oleh filosof dan bukan oleh ahli bahasa. Pada jaman dulu, para
filsuf memecahkan berbagai macam masalah filsafat melalui pendekatan
analisis bahasa. Seorang linguis, Edward Sapir berpendapat bahwa bahasa,
menurut pendapat yang paling kuat – merupakan potensi terbesar yang
menjadikan individu itu sebagai makhluk sosial. Pendapat ini mengandung dua
hal. Pertama, komunikasi manusia satu dengan yang lainnya di masyarakat
tidak mudah diperoleh tanpa bahasa. Kedua, adanya bahasa kolektif antar
individu dalam suatu golongan/umat berfungsi sebagai lambang yang tetap dan
khas bagi solidaritas antar individu penuturnya (Katsoff, 1989: 48–63).
Kalau kita hendak berpikir sejenak tentang hakikat manusia, maka akan

kita temukan berbagai macam jawaban tentang bagaiamana manusia itu. Akan

tetapi kalau dirujuk pada pemahaman keislaman, manusia dapat didefinisikan
sebagai “alhayawan alnatiq” yang artinya ‘hewan’ atau makhluk yang
berbahasa. Karena kemampuan berbahasa ini lah yang membedakan manusia
dari makhluk yang lainnya dari ciptaan Tuhan. Dengan kemampuan berbahasa
pula, manusia dapat berkomunikasi, berinterakasi, dan berbudaya. Tidak
mengherankan jika para ahli bahasa menyatakan bahwa hakikat terdalam dari
manusia tidak lain adalah bahasa. Terlebih jika disandingkan dengan kenyataan
adanya agama yang memberikan ajarannya melalui wahyu bertujuan untuk
memanusiakan manusia, maka keberadaan bahasa sebagai piranti memahami
wahyu menjadi sesuatu yang memang nyata.
Dalam konteks tradisi Islam, perkembangan ilmu bahasa sedemikian
sangat penting dan mendasar. Seperti yang dituturkan oleh ahli‐ahli sejarah,
bahwa ilmu yang berkembang lebih awal pada fase‐fase perkembangan Islam
adalah ilmu kebahasaan. Ini bisa diketahui bersama karena memang dalam
kenyataan masyarakat muslim yang dalam istilah Rippin (1990 dalam Esha,
2011: 6) disebut sebagai scripturalis faith yaitu masyarakat yang keimanannya
sangat dipengaruhi oleh teks‐teks wahyu, dimana mereka menaruh perhatian
penting terhadap bahasa sebagai piranti untuk memahami wahyu. Al‐Qur’an

sebagai wahyu bagi umat Islam telah menjadi teks sentral dalam peradaban.
Dasar‐dasar ilmu dan budaya Islam tumbuh dan berdiri di atas landasan di mana
teks sebagai pusatnya. Peradaban teks (hadharah al‐nash) yang tercipta dalam

konteks ini bagaimana pun tidak dapat dilepaskan dari ilmu kebahasaan dimana
piranti pemahaman teks itu berada (Zaid, 2005: 1). Di satu sisi, kita sebagai
manusia yang beragama, hendaknya dalam berkeyakinan kepada Tuhan harus
disertai dengan kesadaran akal, bukan sekedar kesadaran yang bersifat
tradisional yakni melestarikan warisan nenek moyang, betapapun corak dan
konsep agama yang kita anut tersebut.
Dalam hal pengembangan filsafat sebagai suatu disiplin ilmu, kitab suci
orang Islam, al-Quran menyeru manusia mengamati setiap sesuatu yang ada di
langit dan di bumi serta yang ada pada diri manusia sendiri untuk mengenal
hakikat kebenaran. Dalam konteks pembicaraan ini, bahasa sebagai bagian
penting dalam diri manusia merupakan sesuatu yang perlu dikaji untuk
mencapai pengenalan hakikat kekuasaan Tuhan. Jika kita pertalikan persoalan
pokok yang digarap oleh ahli-ahli filsafat sejak periode awal, yaitu mereka yang
berfokus pada hakikat alam dan hakikat diri, jelas bahwa Islam memang
menganjurkan penelitian yang demikian. Sebagaimana yang difirmankan Tuhan
orang Islam, Allah SWT dalam Al-Qur’an, terjemahannya:

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal".
(QS Ar-Rum: 22).
Beberapa masalah yang ingin di bahas didalam makalah ini adalah;
1. Bagaimana kedudukan ilmu linguistik dalam perspektif kajian keislaman.

2. Bagaimana relasi linguistik, dan hakikat bahasa dengan berfikir
(berfilsafat) dalam konsep manusia sebagai hewan yang berbicara.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Linguistik dan Filsafat dalam Agama Islam
Istilah ‘linguistik Islami’ dalam konteks ini tidak harus dilihat sebagai
suatu usaha mewujudkan konflik baru dalam linguistik, yaitu antara lingusitik
Barat dengan linguistik Islam. Penggunaan istilah linguistik Islam pada
pembahasan makalah ini, tidak lain adalah usaha membentuk suatu kerangka
logis dan berfilsafat yang mengejawantahkan ilmu linguistik yang mendukung
epistemologi Islam, sesuai dengan gagasan pengetahuan keislaman. Oleh
karenanya, tidak harus ada kesalahfahaman bahwa dengan mengutarakan
gagasan linguistik yang berteraskan epistemologi Islam kita perlu menyirnakan

konsep-konsep umum tentang bahasa yang selama ini diuraikan dalam tradisi
linguistik Barat, baik tentang unit-unit bahasa seperti fonem, morfem, kata,
frasa, klausa, dan wacana maupun tentang berbagai konsep seperti dialek,
intonasi, stilistika dan sebagainya. Islam memandang tradisi bernalar yang
diperoleh manusia melalui bahasa, baik dari segi ilmu pelafalan, penulisan,
maupun pendengarannya menghasilkan dampak budi pekerti (akhlaq) dalam
bertindak dan berperilaku. Bahasa menghubungkan seseorang terhadap aspek
mentalistik dan tindakan atas suatu konsep pemikiran (Amin, 2008: 69).

Perkembangan filsafat di dunia Islam tersebut menjadi pesat dengan
adanya usaha penerjemahan berbagai macam buku ilmu pengetahuan terutama
filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Namun demikian, bukan berarti bahwa
sebelum itu, bangsa Arab Muslim belum mengenal dan mempunyai filsafat,
baik dalam pengertian sebagai cara atau sistem berfikir, maupun sebagai
“kebenaran/kebijaksanaan” yang merupakan produk dari kerja filsafat. Mereka
telah mengenal istilah “al-hikmah” yang berarti “kebijaksanaan” dan usaha
untuk mencarinya. Setelah masuknya istilah falsafah (filsafat) ke dalam
perbendaharaan bahasa dan tradisi bangsa Arab Muslim, maka kedua istilah
tersebut dipakai dalam pengertian yang sama atau secara bergantian untuk
menyatakan pengertian filsafat dan filosof dalam dunia Islam pada saat itu

(Omar, 1979: 25)
Filsafat bahasa ketika dipandang sebagai piranti dalam mengungkap
fenomena agama dapat dilihat melalui pertukaran gagasan keagamaan dalam
suatu komunikasi, baik antar individual maupun kolektif, selalu menggunakan
sistem tanda. Sistem tanda inilah yang memungkinkan komunikasi. Karenanya,
hubungan antara tanda melahirkan sistem yang memungkinkan pertukaran
gagasan antar manusia. Sistem itu menjelma menjadi struktur tanda atau bahasa.
Bahasa juga berarti sistem nilai yang melingkupi seluruh tindak gerak manusia.
Tradisi, budaya, adat, cara berfikir dan sebagainya termuat dalam bahasa.
Sementara, bahasa sebagai alat komunikasi kita sebut, meminjam

istilah

Saussure, speech (selanjutnya kita sebut wicara atau ujaran). Dalam hal ini,

bahasa berperan sangat penting. Bahasa adalah satu-satunya entitas di mana
ajaran-ajaran agama dikomunikasikan. Tanpanya, agama tidak akan ada.
Bahkan dunia sekalipun nihil tanpanya (Barthes, 1973: 14).
Melalui bahasa, agama hadir di tengah-tengah, bahkan di jantung
kehidupan manusia. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa dalam bahasa, agama

diperebutkan demi kekuasaan. Karenanya, agama dapat di reduksi pada bahasa.
Eksistensi agama terletak pada bahasanya. Bahasa agama yang hadir di tengahtengah kita, baik dalam bentuk jargon atau pun hasil dari pemikiran mendalam,
selalu diyakini kebenarannya. Diyakini pula bahwa bahasa yang digunakan
untuk pengetahuan agama memiliki referensi objektif. Misalnya mengenai
Tuhan. Ketika kitab suci berbicara Tuhan, berarti Tuhan ada secara objektif “di
sana”. Bahkan aturan yang dibuat berdasarkan bahasa agama benar-benar
difirmankan Tuhan. Tidak ada yang membantah hal ini.

Meski demikian,

bahasa agama tetap saja tidak memiliki referensi indrawi. Karena panca indra
manusia, dan bahkan rasio sekalipun terbatas ketika berbicara tentang
metafisika (termasuk juga tentang ihwal ketuhanan). Indra dan rasio manusia
hanya dapat bersentuhan dengan fenomena (benda sebagaimana tampaknya),
tidak dengan nomena (benda pada dirinya) (Hardiman, 2004: 141).
Apa yang selama ini dirumuskan sebagai pengetahuan, di dasarkan pada
fenomena, atau apa yang tampak, tidak bersentuhan dengan benda pada dirinya
‘thing in its self’. Begitupun dengan metafisika, dalam hal ini Tuhan, yang kita
lihat bukan Tuhan pada dirinya. Melainkan dari fenomena alam lah manusia


bisa menyimpulkan adanya Tuhan. Hanya iman yang menjamin objektifitas
informasi dalam agama. Bahasa agama dalam bentuk wahyu dan interpretasi
atas wahyu, selanjutnya dipandang sebagai ajaran universal. Kategori universal
bahasa agama berarti apa yang di ajarkan dalam teks suci berlaku bagi seluruh
umat manusia. Ajaran abadi yang tak tergerus oleh ruang dan waktu. Pada saat
kitab suci itu turun barangkali memang ajaran kitab suci tersebut sifatnya
partikular. Karena ia hadir untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi
saat itu. Akan tetapi, ketika zaman sudah berubah, dengan persoalan yang
berubah pula, ajaran dari kitab suci tersebut menjadi normatif. Artinya apa yang
terjadi secara historis pada saat turunnya kitab suci, dengan kategori
universalnya, menjadi hilang. Bahasa agama yang digunakan pada periode
berikutnya sudah menjadi prinsip umum yang universal (Mubarak, 2007: 12).
2.2 Konsep Manusia Sebagai Hewan yang Berbicara (Berfikir)
Tuhan

orang

Muslim,

Allah


SWT

memuliakan

manusia

dan

melebihkannya dari makhluk-Nya yang lain dengan mengaruniakannya akal dan
kemampuan berpikir. Agama Islam menjadikan akal sebagai salah satu dasar
ijtihad (usaha) dalam mempertimbangkan aqidah (keyakinan) yang termaktub
dan tersirat di dalam al-Qur’an dan juga sebagai sesuatu yang akan di mintai
pertanggungjawaban oleh Allah SWT kelak di akhirat (kehidupan setelah
kematian). Untuk itu, mengabaikan peran akal dianggap sebagai suatu bentuk
kesalahan atau sebuah dosa. Hal ini sebagaimana yang di firmankan-Nya dalam
al-Quran Surah al-Mulk, ayat 10. Al-Quran menyeru kepada manusia supaya

menggunakan akal-pikiran dan mengingatkan akan adanya pertanggungjawaban
di akhirat kelak, dan melalui firman-Nya Surah al-Isra’ ayat 36 . “Dan janganlah

kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungjawabannya”, secara tegas Agama Islam mengajarkan kepada
orang Muslim untuk tidak mudah ber-taklid atau menjadi pengikut buta agama
dari kepercayaan nenek moyang yang ada sebelumnya dimana dalam tradisinya
seringkali mengesampingkan peran akal. Utusan Allah (Rasul) terakhir dalam
agama Islam, Nabi Muhammad S.A.W, melalui riwayat al-Tarmizi, beliau
bersabda, "Janganlah engkau menjadi pengikut buta". Pada konteks ini, usaha
berpikir (ijtihad), yang juga didalamnya termasuk berfilsafat dianggap sangat
penting perannya dalam memahami ajaran agama Islam, khususnya ketika
menafsirkan teks-teks wahyu di dalam al-Qur’an untuk kemudian dirujuk
sebagai sumber hukum Syari’at Islam oleh Ulama’ (para cendikiawan Islam).
Dalam filsafat Islam, manusia di sebut sebagai ‘al-hayawanu natiq’ yakni
hewan yang berbahasa (menurut tafsiran Ulama’, diartikan sebagai berpikir).
Istilah natiq atau berbahasa di sini mengandung maksud bahwa manusia sebagai
makhluk yang mampu menggunakan akalnya untuk mengungkap tanda-tanda
(ayat) kebesaran Tuhan yang terdapat di jagat raya atau alam semesta ini dan
kemampuannya untuk merumuskan makna dibalik tanda-tanda tersebut.
Merumuskan makna di sini sebagaimana yang dikatakan al-Attas (1995: 121)
yaitu karena dengan kemampuan berbahasa, manusia dapat mempertimbangkan,


membedakan sekaligus menjelaskan segala sesuatu yang dilihat maupun yang
dirasakannya. Lebih jelasnya, kata natiq (berbahasa) dalam bahasa Arab
diturunkan dari akar kata yang sama dengan nutq, kemudian istilah ini dipakai
dalam suatu bidang keilmuan wacana al-mantiq (ilmu logika), yakni keilmuan
yang berkaitan dengan persoalan pembentukan hujah (melogiskan objek
argumentasi). Logika adalah cabang filsafat yang mempelajari dasar-dasar dan
aturan penalaran yang dapat membimbing seseorang untuk memperoleh
kesimpulan yang benar, namun ternyata logika tidak hanya menyangkut
kegiatan berpikir untuk mencari kebenaran saja tetapi juga memecahkan
masalah secara tepat, efektif, efisien dan aman (Oesman, 2012: 13 & 108).
Konsep “hewan berbahasa” (al-hayawan al-natiq) atau makhluk
rasional, dan kemampuan manusia menciptakan lambang-lambang linguistik
dalam pola-pola yang bermakna (seperti kata, frasa, klausa, dan wacana),
dimungkinkan dilakukan karena adanya sesuatu yang abstrak yaitu logika
(al-‘aql). ‘Aql atau logika merupakan‘suatu ikatan’ yang merujuk kepada satuan
yang aktif dan dapat disadari, mengikat dan menghimpun objek-objek keilmuan
kedalam pola pelambangan (kata-kata). Akal di sini memiliki kedudukan yang
sama dengan hati, ruh, dan diri. Akal atau logika merupakan substansi abstrak
dan keberadaanya menjadi alat bagi ruh rasional untuk mengenal dan
membedakan kebenaran dari kepalsuan. Akal merupakan hakikat yang
mendasari penafsiran diri manusia. Bahasa yang menyatu dalam konsep akal
atau logika itu adalah bagian penting dalam konsep manajemen diri manusia

dan sekaligus menjadi dasar dari pengetahuan manusia tentang dirinya (al-Attas,
1995: 121).
Islam memandang ilmu linguistik, khususnya dalam hal menyangkut
kajian hakikat bahasa sebagai suatu kemampuan bawaan (innate faculty) yang
menjadi sifat fitrah (alamiah) setiap manusia, tak pandang dari belahan dunia
manapun manusia tersebut berasal. Al-Qur’an sebagai kitab suci dan sumber
induk pengetahuan bagi orang Muslim, menerangkan tentang pengkaruniaan
bahasa kepada manusia, dalam al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
“Tuhan yang Maha pemurah yang mengajarkan Qur’an. Dia
menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbahasa.”
(Surah al-Rahman, ayat 1-4)
Dari ayat Qur’an di atas dapat kita pahami bahwa pada dasarnya Allah
SWT menciptakan manusia sekaligus mengkaruniakannya kemampuan dalam
berbahasa, dengan kata lain, ‘language faculty’, disebut juga potensi berbahasa.
Pada konsepnya kemampuan ini telah ada pada setiap diri manusia sejak
dilahirkan ke dunia. Menurut Chomsky (2000:81), alat atau organ bahasa ini
telah tumbuh pada fase embrio (potensi pembawaan ini, disebutnya sebagai
language acquisition device (LAD), ini dapat diperoleh melalui pengalaman dan
pengajaran, dimungkinkan melalui perantara sosial seperti keluarga dan teman,
lembaga pendidikan serta masyarakat sekitar. LAD ini menurut Chomsky
meliputi pengkajian tentang Tata Bahasa Universal yang termasuk didalamnya
mendeskripsikan ilmu bunyi suatu ujaran, menghubungkan kata menjadi

wacana, dan pembentukan makna ujaran, kesemua ini kita kenal sebagai
fonologi, sintaksis dan semantik (Chomsky, 2000:81).
Dalam pandangan Islam, potensi bahasa yang dikaruniakan Tuhan,
berkaitan erat dengan konsep pengkaruniaan ilmu sejak manusia dalam alam
arwah, yaitu sebelum ruh ditiupkan ke jasad manusia (embrio) (al-Attas,
1995:174). Tentang bagaimana manusia ketika masih di alam arwah telah
berkomunikasi

dengan

Allah

SWT

(dasar

ilmu

tauhid/kepercayaan).

Sebagaimana yang di firmankan-Nya dalam terjemahan al-Qur’an:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi". (kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)" (Surah al-A’raf, ayat 172)
Pada al-Qur’an ayat 172, Surah al-A’raf di atas sangatlah jelas menerangkan
bahwa manusia telah dikaruniakan potensi/kemampuan berbahasa sebelum lahir
ke dunia, meski komunikasi manusia (pada saat itu) dengan Tuhan, Allah SWT
tentu bukan dalam bentuk bahasa tertentu sebagaimana yang kita gunakan di
alam manusia pada umumnya. Selain itu, dari penjelasan pemberian potensi
bahasa tersebut menghantarkan kita kepada penjelasan tentang proses turunnya
ilmu (pengetahuan), yaitu bagaimana manusia menerima pengetahuan tentang

penciptanya, sebagai dasar ilmu tauhid atau konsep ke-Esaan Tuhan.
Maksudnya, sejak masih di dalam alam arwah setiap manusia (embrio) telah di
karuniakan pengetahuan ketuhanan. Pada dasarnya manusia mengenal akan
adanya Tuhan sebagai Sang Pencipta, manusia tahu akan dirinya sebagai
ciptaan Tuhan (sebagaimana Muslim mengakui adanya satu Tuhan, yaitu Allah
SWT), dan dari pengetahuan itu pula manusia memahami tentang hakikat lain
dari segala ciptaan Tuhan. Oleh karenanya, seorang Sufi (ahli agama Islambiasanya yang menekuni bidang ilmu tertinggi dalam Islam, Tasawwuf) pernah
mengatakan “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya”.
Dengan demikian pemakalah mengemukakan suatu sudut pandang
filsafat berbeda tentang bagaimana Islam menempatkan linguistik sebagai
“suatu kajian ilmiah/’saintific knowledge’ tentang bahasa berdasarkan ilmu
tasawwuf, ringkasnya cara pandang Islam”. Meski ajaran Agama Islam dikaji
dalam bahasanya, yaitu bahasa Arab, namun ini tidak berarti meremehkan peran
bahasa lain, firmanNya SWT: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul
(utusan/nabi) melainkan dengan bahasa kaumnya agar ia dapat memberikan
penjelasan yang jelas kepada mereka” (Surah Ibrahim, Ayat 4). Hal mendasar
yang secara langsung berkaitan dengan linguistik dan anjuran berpikir logis
(berfilsafat) dalam Islam adalah hakikat bahasa sebagai alat dari kegiatan
berpikir itu sendiri. Menurut pemakalah, persoalan hakikat bahasa merupakan
permasalahan yang fundamental dalam perbincangan filsafat bahasa dan
pendidikan bahasa. Dapat kita renungkan implikasinya, bahwa tanpa adanya

pemahaman jelas tentang hakikat bahasa, pendidikan bahasa tidak akan dapat
berlangsung di atas landasan yang tepat. Strategi pengajaran dan pembelajaran
bahasa sekiranya tidak akan berhasil mencapai inti dari pendidikan bahasa.
BAB III
KESIMPULAN
Usaha pemakalah dalam menguraikan pemahaman tentang cara pandang
umat Islam terhadap konsep berkesinambungannya kegiatan berbahasa dan
berpikir filosofis, dan sikap kita sebagai manusia beragama terhadap disiplin
linguistik dapat di kejawantahkan dengan logis melalui sisi keilmiahan Kitab
Suci keyakinan umat Islam, yang diturunkan 1400an tahun yang lalu itu.
Meskipun pemahan kita tentang ilmu linguistik selama ini telah sedemikian
lamanya berada dalam jalur pemikiran, filsafat dan pandangan Barat dalam
mendeskripsikan karunia kebahasaan, yang notabenenya, patut kita syukuri
dengan cara melatih memikirkannya. Pemakalah meyakini ada banyak aspek
keilmiahan yang dapat diterangkan oleh agama, baik itu dari sudut pandang
agama Islam, Kristen, Kong Hu Chu, Budha dan Hindu sekalipun untuk
mengkritisi dan merelasikan kemampuan nalar logis umum menuju khusus,
yaitu melalui cara pandang agama/jalan hidup kita masing-masing. Namun,
tidak dapat dipungkiri bahwa kita juga telah banyak berhutang budi kepada
ilmuan Barat dalam berbagai aspek yang mengejawantahkan dimensi keilmuan,
khususnya ilmu bahasa (linguistics), baik dalam klasifikasi dan penjabaran alat

ucap linguistik maupun dalam penelitian tentang kategori dan fungsi bahasa itu
sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Arif, Oesman. 2012. Membangun Logika Baru dan Pemikiran Modern. Klaten:
Penaloza Publisher.
Arif, Oesman. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Filsafat Timur dan Barat-Edisi ke Dua.
Non Publisher: Buku Pegangan Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan UNS.
al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1995. Prolegomena to the Metaphysics of
Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of
Islam. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and
Civilization (ISTAC).
Amin, Usman. 2008. Falsafah al-Lughah al-Arobiyah: Filsafat Bahasa Arab.
Bandung: PSIBA Press.
Barthes, Roland. 1973. Element of Semiology. New York: Hill & Wang
Chomsky, Noam, A. 2000. New Horizons in the Study of Language and Mind –
Massachusetts Institute of Technology. Cambridge: Cambridge
University Press.
Katsoff, O. Louis. (1989) Pengantar Filsafat. Alih bahasa oleh Soejono
Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kaelan. (1998) Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya. Yogyakarta:
Paradigma.
Lee, Book-mi. 1995. Are Human Beings Endowed with Language Ability?”
dalam Muslim Educational Quarterly.
Omar, Muhammad. 1979. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Solikhan, Umar. (2008) artikel Landasan Metafisika dalam Perkembangan
Linguistik dalam Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif:
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Zaid, Nasr Hamid. 2005. Tekstualitas al-Qur’an:Kritik Terhadap Ulumul
Qur’an. Yogyakarta. LKiS.