LEGAL OPINION HAK ANAK MENDAPAT PERLINDU

LEGAL OPINION
HAK ANAK MENDAPAT PERLINDUNGAN DI DALAM HUKUM
Pricilia Ryana/8111416319
[email protected]
Pendahuluan
Anak pada dasarnya adalah manusia yang terlahir ke dunia dan masih suci.
Namun sering kali, pada kenyataannya masih banyak anak yang tidak
mendapatkan hak-haknya, ia tidak mendapatkan pendidikan yang layak, tidak
ada yang mengasuh, tidak mendapat perawatan dan hak-hak lainnya. Dalam
implementasinya, anak merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan
suatu bangsa, penentu masa depan dan penerus generasi. Namun demikian
kita sadari bahwa kondisi anak masih banyak yang memprihatinkan. Hal ini
dapat dilihat bahwa belum semua anak mempunyai akta kelahiran; belum
semua anak diasuh oleh orang tua, keluarga maupun orang tua asuh atau wali
dengan baik; masih belum semua anak mendapatkan pendidikan yang
memadai; masih belum semua anak mempunyai kesehatan optimal; masih
belum semua anak-anak kelompok minoritas dan anak-anak yang berhadapan
dengan hukum mendapatkan perlindungan khusus. Anak diartikan sebagai
kelompok umur tertentu dari manusia. Akan tetapi dalam kenyataannya, arti
penting dan peran anak tersebut mengalami berbagai macam masalah.
Kompleksitas masalah anak bersinggungan dengan struktur dan sistem yang

berkembang, yang berjalan dan ditetapkan dalam suatu institusi, pemerintah
bahkan negara. Dinamika yang berjalan dalam satu institusi, pemerintah atau
negara akan menentukan bentuk dan karakteristik permasalahan anak. Oleh
karena itu, masalah anak mencakup beberapa hal, yaitu:1
1. Visi mengenai pembangunan yang berpihak kepada kepentingan anak
dan yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak yang
terintegrasi ke dalam sistem dan model pembangunan.
2. Sistem hukum perlindungan anak belum sepenuhnya terintegrasi ke
dalam norma hukum positif dan penegakan hukum anak belum
maksimal.
3. Realitas anak-anak yang berada dalam situasi sulit seperti pekerja anak,
anak jalanan, anak korban kekerasan, penyalahgunaan anak, pelacuran
anak, dan sejumlah masalah anak-anak lainnya memerlukan intervensi
khusus, karena semakin nyata ditemukan dalam masyarakat dan negara
Indonesia
Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
pada Pasal 28B ayat 2 bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh, dan berkembang ,serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, aturan tersebut adalah sebagai bentuk komitmen Negara
Indonesia untuk memberikan perlindungan kepada anak.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, yang dimaksut dengan anak yang berhadapan dengan
hukum (children in conflict with the law), adalah sebagai berikut :
“Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah Anak yang berkonflik
dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang
menjadi saksi tindak pidana.
1 Muhammad Joni dan Tanamas Zulchaina Z, 2004, Konsep Perlindungan Hak Asasi Anak dalam
Tata Hukum Indonesia, Gramedia, Pustaka Utama, hlm. 23.

Melihat kecendrungan yang ada di media saat ini, baik media cetak
maupun media elektronik, jumlah tindak pidana yang dilakukan oleh anak
(juvenile delinquency) semakin meningkat dan semakin beragam modusnya.
Masalah delinkuensi anak ini merupakan masalah yang semakin kompleks dan
perlu segera diatasi, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Menurut Romli
Atmasasmita dalam Wagiati Soetodjo, motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari
kenakalan anak adalah sebagai berikut :2
Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah :
a) Faktor intelegentia;
b) Faktor usia;
c) Faktor kelamin;

d) Faktor kedudukan anak dalam keluarga.
Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah :
a) Faktor rumah tangga;
b) Faktor pendidikan dan sekolah;
c) Faktor pergaulan anak;
d) Faktor massa media.
Berbagai faktor tersebut memungkinkan bagi anak untuk melakukan
kenakalan dan kegiatan kriminal yang dapat membuat mereka terpaksa
berhadapan dengan hukum dan sistem peradilan. Anak yang melakukan tindak
pidana ini bisa disebut pula dengan anak yang berhadapan dengan hukum.
Terkait upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum, sistem peradilan pidana anak harus dimaknai secara luas, ia
tidak hanya dimaknai hanya sekedar penanganan anak yang berhadapan
dengan hukum semata. Namun sistem peradilan pidana anak harus juga
dimaknai mencakup akar permasalahan (root causes) mengapa anak
melakukan perbuatan pidana dan upaya pencegahannya. Lebih jauh, ruang
lingkup sistem peradilan pidana anak mencakup banyak ragam dan
kompleksitas isu mulai dari anak melakukan kontak pertama dengan polisi,
proses peradilan, kondisi tahanan, dan reintegrasi sosial, termasuk pelakupelaku dalam proses tersebut. Dengan demikian, istilah sistem peradilan
pidana anak merujuk pada legislasi, norma dan standar, prosedur, mekanisme

dan ketentuan, institusi dan badan yang secara khusus diterapkan terhadap
anak yang melakukan tindak pidana.3
Selain itu, berbagai instrumen hukum nasional yang menjadi dasar
penyusunan yakni UndangUndang Dasar 1945, Undang-undang No. 39 tahun
1999 tentang HAM dan Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Dalam Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak. :
1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan;
2. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlingungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
2 Soetodjo, Wagiati, 2006. Hukum Pidana Anak. Bandung, PT. Refika Aditama. Hal. 17.
3 Anna Volz, Advocacy Strategies Training Manual: General Comment No.10: Children’s Rights
in Juvenile Justice, Defence for Children International, 2009. Dalam Yayasan Pemantau Hak
Anak, Anak yang Berhadapan dengan Hukum dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia
Internasional, Internet, hal 1. Diakses pada 22 Maret 2017.


Perkara yang terjadi dalam kasus ini merupakan perkara yang masuk
dalam kualifikasi tindak pidana. Terpidana dalam kasus ini ialah RH yang
berusia 17 Tahun. Awal mula terjadinya peristiwa tindak pidana ini adalah,
bahwa anak RH pada hari Rabu 8 Februari 2017 sekitar pukul 21.00 WITA
bertempat di Anjungan Pantai Seruni Kelurahan Pallantikang Kecamatan
Bantaeng Kabupaten Bantaeng sedang mengendarai motor bersama temannya
(saksi HE), yang disaat bersamaan sedang ada Pengaturan Lalu Lintas
disekitaran pantai seruni oleh gabungan petugas Satpol PP, DLLAJ dan
Kepolisian karena akan melintas Rombongan Bupati Bantaeng beserta Tamu
setelah pertemuan di Resto Lantai 2 Pantai Seruni.
Anak RH beralasan rem motor yang tidak berfungsi dengan baik
menerobos masuk dalam pengaturan jalan tersebut sehingga dihentikan oleh
Satpol PP untuk menghindari tabrakan terhadap rombongan Bupati Bantaeng.
Petugas Satpol PP mengamankan dan memeriksa Anak RH, kemudian
ditemukan senjata tajam jenis badik yang diselipkan dipinggang sebelah kanan
anak RH. Selanjutnya anak RH dibawa ke Kantor Polres Bantaeng untuk
diproses hukum.
Anak RH menjalani masa penahanan ditingkat Penyidikan sejak tanggal
8-15 Februari 2017 di Rutan Polres Bantaeng dan perpanjangan Jaksa Penuntut

Umum sejak tanggal 16-23 Februari 2017 di Rutan Bantaeng. Kemudian Jaksa
penuntut Umum sejak tanggal 22-26 Februari 2017 dititipkan Rutan
Bantaeng.Menjalani proses Persidangan tanggal 23 Februari-19 Maret 2017.
Tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah 3 bulan kurungan
penjara, kemudian hakim memutuskan dengan kurungan penjara selama 1
bulan 15 hari.
Analisis Aturan Hukum
Dasar hukum yang digunakan sebagai dasar untuk memberikan legal
opinion dalam permasalahan ini, antara lain :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 23 Tentang Perlindungan Anak;
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana;
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak;
5. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman;
6. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
1. Undang – Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Pengadilan
Pidana Anak Pasal 81 Ayat (2) yang berisi “Pidana Penjara yang
dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama ½ (satu perdua)
dari maksimum ancaman Pidana Penjara bagi orang dewasa”

2. Undang – Undang No. 23 Tahun 2002 Pasal Tentang Perlindungan Anak
Pasal 4 menyebutkan bahwa : “Setiap anak berhak untuk dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dari sudut
pandang anak sebagai pelaku hukuman badan bagi anak sudah
sangat jelas diluar dari kewajaran dalam proses hidup, tumbuh,
berkembang anak; mengingat di Kabupaten Bantaeng tidak ada
rumah tahanan bagi anak atau panti rehabilitasi khusus anak,

tentunya potensi pengetahuan kejahatan dan kriminalitas akan
bertambah dibandingkan dengan pengetahuan yang layak dan
seharusnya didapatkan oleh seorang anak.
3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Pasal 9 (1) menyebutkan bahwa:
“Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran
dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat
kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”. Mulai dari
proses penyidikan sampai proses Persidangan tanpa adanya
pengalihan hukuman badan sampai adanya putusan Pengadilan bagi
ABH tentunya menjadi bagian penghalang dari proses pendidikan

anak, sebab anak dalam hal ini akan tertinggal jauh dalam proses
pendidikan. Tidak sedikit anak yang berhenti sekolah akibat
mendapatkan hukuman badan disebabkan oleh stigma negative yang
didapatkan sebagai pelaku criminal membuat anak malu terhadap
teman-teman dilingkungan Sekolah atau karena malu tinggal kelas
sebab dalam menjalani hukuman badan tidak mengikuti proses belajar
di Sekolah.
4. Bahwa Undang – Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan
Anak Pasal 1 ayat 12 menyebutkan bahwa : “Hak Anak adalah
bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi,
dan dipenuhi oleh Orang Tua, Keluarga, masyarakat, negara,
pemerintah, dan pemerintah daerah. Penasehat Hukum terdakwa
ingin menyampaikan bahwa anak sebagai pelaku tindak pidana
hanyalah sebagai korban, korban dekadensi moral dan akhlak,
sehingga yang wajib mempertanggungjawabkannya adalah orangtua,
keluarga, masyarakat, Negara, dan bahkan oleh pemerintah.
5. Bahwa Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Pasal 16 ayat 3
menyebutkan bahwa “Penangkapan, penahanan, atau tindak
pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan
hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai

upaya terakhir.” hukuman badan atau kurungan bagi anak sangat
tidak efektif sebagai bentuk pembinaan terhadap anak, Data perkara
anak di Pengadilan Negeri Bantaeng tahun 2014 sebanyak 8 perkara
diantaranya 2 kasus kekerasan terhadap anak, 2 kasus senjata tajam,
2 kasus Lalulintas, 1 kasus penganiayaan dan 1 kasus pencurian.
Sedangkan pada tahun 2015 perkara anak berhadapan dengan hukum
cukup signifikan kenaikannya sampai 162% dengan 21 kasus
diantaranya 9 kasus pencurian, 8 Kasus senjata tajam, 1 kasus
perjudian, 1 kasus penganiayaan dan 1 kasus kejahatan kesusilaan.
Dan pada tahun 2016 angka kenaikan perkara Anak 4,7 %, dengan 30
kasus diantaranya 22 kasus Senjata tajam, 3 kasusu pencurian, 2
kasus penganiayaan, 1 kasus pencabulan, I kasus lalu lintas dan 1
kasus pembunuhan.4
4 Surat Pengadilan Negeri Bantaeng tentang Data PErkara Anak tahun 2014-2016, Nomor W22U5/190/HK/III/2017, tertanggal 13 MAret 2017.

Melihat data perkara anak tersebut, maka sepatutnya sebagai bentuk
pembinaan terhadap tindak pidana anak tanpa menghilangkan hak-haknya
sebagai anak sebagaimana diatur dalam undang-undang yang paling efektif
adalah mengembalikan kepada orangtua, ataupun jika diharuskan
mendapatkan hukuman badan tidak sepantasnya ditempatkan di Rutan yang

bercampur dengan orang Dewasa, tempat yang layak bagi ABH untuk
menjalani hukuman badan adalah Panti Rehabilitasi atau Lembaga
Pemasyarakatan Khusus Anak.
Uji Syarat
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak membagi tiga bagian terhadap anak yang perkara dengan hukum,
hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa:
“Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut sebagai
anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang
disebabkan oleh tindak pidana.” Dari ketentuan Pasal 1 ayat (4) tersebut dapat
kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan anak korban adalah anak yang
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami suatu tindak pidana.
Kasus yang dialami oleh anak akhir-akhir ini cendrung mengalami peningkatan
hal ini dapat kita lihat dari pemberitaan yang ada baik melalui media cetak
maupun elektronik, melihat kondisi yang ada dibutuhkan suatu upaya yang
serius dalam menanggulangi tindak kekerasan terhadap anak. Peran aktif dari
para aparat penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan terhadap anak
sangat diperlukan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat. Dalam

Undang-Undang disebutkan bentuk perlindungan yang diberikan kepada anak
yang berhadapan dengan hukum sebagaimana yang tercantum dalam pasal 64
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 90 ayat (1) menjelaskan bahwa Anak
korban dan Anak saksi berhak atas“ upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga”. Yang dimaksud
dengan rehabilitasi medis tersebut adalah proses kegiatan pengobatan secara
terpadu dengan memulihkan kondisi fisik anak, anak korban dan atau anak
saksi. Kemudian yang dimaksud dengan rehabilitasi sosial adalah proses
kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar
anak korban, dan atau anak saksi dapat kembali melaksanakan fungsi sosial
dalam kehidupan di masyarakat.
Untuk kasus konflik ini dapat dikategorikan kedalam syarat alternatif
karena dalam konflik tersebut melanggar berbagai peraturan hukum yang ada
didalam UUD dan Undang- undang. Syarat alternatif ini sangat cocok untuk
kasus perlindungan hukum terhadap anak yang sedang terjadi, dimana syarat
alternatif ini menggabungkan beberapa jenis pidana-pidana yang terdapat di
Hukum nasional dan dapat menjatuhkan keseluruhan atau salah satunya yang
dianggap sangat cocok dengan kasus yang ada.
Kesimpulan
Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dengan
pendekatan restorative justice membawa dampak yang positif terhadap
penanganan perkara anak, adanya pemisahan dan pengaturan yang tegas
tentang anak yang berhadapan dengan hukum yang meliputi anak yang Jurnal
Ilmu Hukum 2015 162 berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban

tindak pidana, anak yang menjadi saksi tindak pidana. Penyelesaian perkara
anak yang berhadapan dengan hukum selama ini proses penyelesaiannya
melalui lembaga peradilan dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak penyelesaian perkara anak dapat
diselesaiakan di luar peradilan melalui diversi dengan melibatkan semua pihak
untuk duduk bersama baik itu pihak pelaku, korban dan saksi dalam
menyelesaikan konflik yang terjadi dengan menggunakan pendekatan
restorative justice yang mengutamakan pemulihan keadaan dari pada
pembalasan dalam penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan
hukum dan mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak demi
kesejahteraannya.
Anak berhadapan dengan hukum hakikatnya juga adalah sebagai korban
oleh karena itu Hukuman badan terhadap ABH sangat tidak efektif khususnya
di Kabupaten Bantaeng, akibatnya anak menjadi putus sekolah, kuantitas
Tahanan anak semakin meningkat, pendidikan negatif terhadap anak semakin
bertambah dalam Lembaga Pemasyarakatan sebab bercampur bersama
tahanan dewasa.
Pemerintah daerah berperan aktif dan maksimal dalam memberikan
pendampingan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum baik ditingkat
penyidik sampai di tingkat peradilan.
Pihak legislatif mengatur regulasi yang baik dan tepat untuk memberikan
perlindungan terhadap anak berhadapan dengan hukum serta menyediakan
sarana terhadap terpidana anak berupa panti rehabilitasi anak nakal atau
Lembaga Pemasyarakatan Khusu Anak.
Bagaimanapun solusi yang terbaik adalah mencegah agar anak terhindar
dalam tindak pidana sebab dampak negatif catatan kriminal adalah akan
menciptakan stigma pada anak karena pernah dinyatakan bersalah oleh
pengadilan serta mengalami berbagai kesulitan ketika si anak akan mengurus
keperluan administrasi pendaftaran sekolah, mencari pekerjaan dan lain
sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Soetodjo, Wagiati, 2006. Hukum Pidana Anak. Bandung, PT. Refika
Aditama.
Jurnal
Edy Wibowo. SH., MH., 2017. Kebijakan Penanganan Perkara Anak
BErhadapan Dengan Hukum.MH Varia Peradilan Tahun XXXII No 374,
Januari 2017.
Anna Volz, Advocacy Strategies Training Manual: General Comment
No.10: Children’s Rights in Juvenile Justice, Defence for Children
International, 2009. Dalam Yayasan Pemantau Hak Anak, Anak yang
Berhadapan dengan Hukum dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia
Internasional, Internet, hal 1. Diakses pada 22 Maret 2017.
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 23 Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman