Estetika barat Pendidikan seni rupa UNNE

BAHAN AJAR

MATA KULIAH
ESTETIKA BARAT

DISUSUN OLEH
TRIYANTO
NIP. 195701031983031003

JURUSAN SENI RUPA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
TAHUN 2015
0

BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-I S.D.3

POKOK BAHASAN I
PENGERTIAN ESTETIKA DAN LINGKUP KAJIANNYA
1. TUJUAN PERKULIAHAN:
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan

pengertian estetika dan ruang lingkup kajiaanya, serta dapat memahami tentang
teori keindahan.
2. Materi Perkuliahan
2.1 Pengertian Estetika
Estetika merupakan gabungan dari ilmu pengetahuan dan filsafat. Kata
estetika dikutip dari bahasa Yunani aisthetikos, atau aisthanomai

yang berarti

mengamati dengan indera (Lexicon Webster Dic: 1977:18). Pengertian tersebut juga
berkaitan dengan istilah aesthesis (bahasa Yunani) yang mempunyai pengertian
pengamatan.
Feldman dalam hal ini melihat estetika sebagai ilmu pengetahuan pengamatan
atau ilmu pengetahuan inderawi, mengacu pada kesan-kesan inderawi. Demikian juga
J. Addison, memadankan estetika dengan teori cita rasa, dilandasi tradisi empirisme
dan teori yang mengacu kepada tradisi lain yakni menurut pandangan Platonis dan
Neoplatonis. Struktur teori ini telah dikembangkan menjadi lima bagian yakni: (1)
persepsi, (2) cita rasa, (3) produk mental, (4) objek pengamatan, (5) pertimbangan
cita rasa ( Dickie, 1989) sehingga jika dilihat dari kelima struktur tersebut maka teori
pengamatan identik dengan teori cita rasa.

Secara luas estetika mempunyai pengertian, semua pemikiran filosofis
keindahan (yang berkaitan dengan seni). Estetika muncul tatkala para filusuf memiliki
pemikiran terbuka untuk meneliti , dan memiliki perasaan haru ( Paul Valery). Seperti
yang diutarakan Hegel bahwa filsafat seni membentuk bagian yang sangat penting
dalam struktur filsafat. Estetika sebagai filsafat seni, telah berkaitan dengan etika dan
logika. Karena itu estetika, etika dan logika membentuk tritunggal ilmu-ilmu normatif
di dalam filsafat. Jerome Stolnitz menggaris bawahi bahwa estetika dianggap sebagai
1

telaah filsafat keindahan dan keburukan. Selain itu, dikatakan bahwa estetika adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat dasar nilai-nilai nonmoral

yang

berkaitan dengan karya seni.
Di sisi lain John Hosper mendefinisikan estetika sebagai salah satu cabang
filsafat yang berkaitan dengan proses penciptaan karya estetis., artinya estetika tidak
hanya

sekedar


mempermasalahkan

tentang

objek

seni,

melainkan

seluruh

permasalahan yang berkaitan dengan suatu “karya yang indah”. Demikian halnya
Plato mengutarakan ciri-ciri dan hukum keindahan, Aristoteles dalam hal ini
merumuskan keindahan sebagai suatu yang baik dan menyenangkan, sedangkan
Politinus menulis tentang ilmu dan kebajikan yang indah. Orang Yunani juga
mengemukakan bahwa keindahan berkaitan dengan tradisi atau adat kebiasaan, selain
itu mereka juga mengenal pengertian keindahan yang bersifat kasat mata, dikenal
dengan sebutan symetria, misal pada karya seni visual , dan harmonia untuk

keindahan dalam seni musik yang berkaitan dengan pendengaran. Jadi pengertian
estetika secara luas meliputi keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral dan
keindahan intelektual.
Beberapa ahli pikir menyatakan bahwa keindahan tersusun dari berbagai
keselarasan dan perlawanan unsur-unsurnya seperti garis, bentuk, nada dan kata-kata,
ada pula yang berpendapat bahwa keindahan adalah kesatuan dari hubungan bentuk
yang terdapat di antara pencerapan inderawi, sehingga bisa dibedakan antara
ekstraestetis dan intraestetis. Keindahan yang menyangkut pengalaman estetis
seseorang yang berkaitan dengan segala sesuatu yang tidak secara langsung dicerap
melalui indera, disebut ekstraestetis, sedangkan intraestetis adalah segala sesuatu yang
bersifat kasat mata, berkaitan dengan penglihatan (jiwo katon), berupa keindahan
bentuk, warna, garis, tekstur, ruang, cahaya dan sejumlah kualita pokok tertentu
antara lain; kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry)
keseimbangan (balance), irama (rytme), perulangan (repetion), perlawanan,
(contrast), dominasi (emphasis) (lihat Read; 1998)
Estetika sebagai bagian dari kebudayaan dalam berkesenian berisi tentang (1)
nilai-nilai,(2) pedoman, (3) gagasan-gagasan vital, (4) kepercayaan atau keyakinan
tentang berkesenian. Nilai atau pedoman tersebut digunakan untuk menciptakan dan
memahami suatu karya seni. Kendati kedinamisan perkembangan suatu kebudayaan
akan mengakibatkan


terjadinya pergeseran nilai-nilai.dan konsep estetika,secara

kontektual, estetika ditentukan oleh keadaan, kebudayaan dan peradaban yang
2

berlaku. Sebagai contoh, dari sudut pandang ekonomi “kecil itu indah” atau
“sederhana itu indah” (konsep estetika Jepang). Pengertian estetika dari berbagai
sudut pandang ilmu pengetahuan lainnya misal, “pikiran original itu indah” dan dari
sudut pandang teknologi, bisa mengatakan: “teknologi itu indah” atau “rasional itu
indah”. Sehingga konsep estetika bukan saja untuk para pencipta karya seni, tetapi
bisa untuk siapa saja yang dapat menentukan dan merasakan keindahan secara
kontekstual berdasarkan tingkat apresiasi, situasi dan latar belakang budaya.
Akhirnya pengertian estetika meliputi totalitas dari esensi kehidupan yang
mampu menggelitik jiwa manusia, dan berlaku terhadap apa saja yang dirasakan
manusia sejalan dengan konsep hidup dan jamannya. Gejala semacam ini merupakan
suatu kenyataan, bahwa estetika bukan lagi suatu yang perlu diagungkan seperti yang
pernah terjadi pada abad pertengahan, melainkan telah melebur dalam totalitas yang
disebut dengan era “Estetika Paripurna” (Sutrisno 1999). Salah satu yang paling
penting dalam konsep estetika ini adalah keindahan yang melekat pada karya seni atau

merupakan ruh dari suatu karya seni.

Dalam estetika modern, lebih cenderung

membicarakan tentang seni dan pengalaman estetik, karena keindahan bukan
pengertian yang bersifat abstrak tetapi merupakan suatu gejala kongkret yang dapat
ditelaah dengan pengamatan empiris serta dapat diuraikan secara sistematis.
Sebelum abad ke 18 muncul teori keindahan yang mempermasalahkan tentang
hakikat keindahan dan setelah abad ke 18, mulai dibicarakan tentang keindahan yang
adiluhung dan keindahan yang dangkal, di antaranya adalah: Kant, Shaftesbury,
Hutcheson, Burke, dan Alison (sebelum abad ke18). Mereka menyoroti tentang teori
selera (taste theory) dengan menggunakan “pengalaman keindahan” sebagai
pendekatan analisisnya. Selain itu mereka juga mengaitkan seni dalam estetika
dengan rasa indah, halus, dan luhung Kemudian setelah abad ke 18 arti kata “indah”
disamakan dengan “sesuatu yang mempunyai nilai estetis” lazim digunakan untuk
mengkaitkan seni dengan alam. Sehingga masalah keindahan dibahas melalui dua
teori yakni teori estetika dan teori seni. Secara rinci akan dibicarakan dalam mata
kuliah estetika 2.
2.2 Lingkup Kajian Estetika.
2.2.1 Hubungan antara Keindahan dan Kebudayaan.

Keindahan adalah filsafat tentang segala sesuatu yang indah atau ilmu tentang
keindahan dan “cita rasa”. In essence, aesthetics is philosophy of the beautiful, the
science of beauty and “taste” ( Hope M. Smith, 1968) Mengacu dari pendapat Smith
3

tersebut, keindahan tidak terlepas dari kebudayaan, karena kebudayaan merupakan
penentu corak, typical, gaya hidup suatu kelompok masyarakat sebagai pendukung
kebudayaan tersebut.
Di sisi lain manusia sebagai mahluk multidimensi mempunyai peran untuk
mencipta dan mengamati suatu karya seni sesuai dengan cita rasanya. Konsep
keindahan dan cita rasa ini terbentuk dan mengacu dari ajaran-ajaran agama dan
konsep budaya dari masing-masing kelompok. Estetika sebagai sub sistem
kebudayaan dalam berkesenian berisi tentang (1) nilai-nilai, (2) pedoman, (3)
gagasan-gagasan vital, (4) kepercayaan atau keyakinan tentang berkesenian. Nilai
atau pedoman tersebut digunakan untuk menciptakan dan memahami karya seni.
Kebudayaan secara hakiki mempunyai pengertian sebagai keseluruhan
pengetahuan, kepercayaan dan nilai-nilai yang isinya berupa sistem-sistem makna
atau sistem-sistem simbol. Fungsinya bukan hanya digunakan atau menjadi pedoman
strategi adaptasi dalam menghadapi lingkungan dan sumber daya alam, tetapi
sekaligus berfungsi sebagai pedoman strategi dalam menghadapi lingkungan sosial

dan lingkungan kebudayaan itu sendiri (Suparlan Parsudi 1995 ). Budaya sebagai
acuan bagi suatu masyarakat yang bersifat normatif, maka ia mampu melahirkan
“gaya hidup” tertentu, serta memberi makna yang dapat membedakan dengan
kelompok lain. Misal kebudayaan Jawa berbeda dengan kebudayaan Irian, Sumatra,
Bali dst, demikian juga kebudayaan Indonesia, berbeda dengan kebudayaan Jepang,
Korea, Eropa atau India. Di dalam suatu kebudayaan mengandung

unsur-unsur

seperti ilmu pengetahuan, kepercayaan (termasuk agama) dan nilai-nilai (etika dan
estetika). Agama dalam hal ini merupakan salah satu unsur dari kebudayaan telah
beroperasi dan berperan melalui kebudayaan. Agama bersifat Illahi sebagai sistem
kepercayaan terhadap adikodrati, yang berkaitan dengan nilai, norma, kelembagaan
dan simbol-simbol tertentu. Sehingga agama sebagai pedoman bagi ketepatan
kebudayaan, telah berfungsi untuk menstrukturkan kebudayaan, dan beroperasi
melalui sistem simbol pada tingkat emosional, kognitif, subjektif dan individual.
Keberadaan kebudayaan itu telah didukung oleh manusia, maka dengan sendirinya
manusia tidak dapat terlepas dari kebudayaan tersebut, karena budaya merupakan
wujud/ ekspresi dari eksistensi manusia,
Manusia adalah mahluk multidemensi, yang pada awalnya seperti halnya

mahluk yang lain memiliki jasmani dan kebutuhan biologis, tetapi untuk membedakan
manusia dengan mahluk lain adalah pada kebutuhan integratif, suatu kebutuhan yang
4

berkenaan dengan hakikat manusia sebagai mahluk berpikir, bermoral dan bercitarasa, mencakup etika-estetika dan seni. Kendatipun masih ada dua kebutuhan lainnya
sebagai penunjang kehidupan manusia yakni kebutuhan primer; adalah kebutuhan
yang bersumber pada aspek biologis berkaitan dengan kelangsungan hidup seperti
sandang, pangan, dan papan. Dan kebutuhan sekunder atau sosial; merupakan suatu
kebutuhan yang berkaitan dengan keterlibatan hidup orang lain.
Etika dalam hal ini merupakan nilai-nilai moral menyangkut agama terdiri dari
(a) kesediaan untuk bertanggung jawab, (b) kejujuran, (c) kemandirian moral, (d)
prinsip sikap baik-buruk (lihat Magnis Suseno; 1998). Sedangkan seni, desain,
teknologi dan ilmu pengetahuan merupakan perwujudan dari kebudayaan. Secara
realitas karya seni / desain tidak lebih dari fenomena praktis kebutuhan manusia atau
sebagai proyeksi diri manusia dalam dimensi lain yang mencerminkan suatu sikap
budaya dari kelompok manusia dalam membangun lingkungannya. (Malvin Rader:
1990). Sikap budaya dalam hal ini merupakan suatu keyakinan dalam diri manusia
untuk memberi makna kultural dan makna sosial terhadap setiap pemikiran dan
perbuatan manusia. Selain itu mampu memperkaya nilai-nilai dan khasanah
peradapan rohani di sekitarnya. Sedangkan keindahan merupakan ruh dari kesenian

dan sebagai sistem dalam kebudayaan dalam berkesenian yang berisi nilai- nilai,
pedoman-pedoman, gagasan vital serta kepercayaan atau keyakinan tentang
berkesenian.
Manusia juga memiliki empat demensi yakni (1) dimensi pengalaman (2)
dimensi pikir, (3) dimensi rasa, (4) dimensi keyakinan. Semua dimensi tersebut
mengarahkan manusia menjadi manusia yang manusiawi dan manusia yang utuh. Jika
perkembangan dari salah satu aspek dimensi tidak seimbang maka akan menjadikan
manusia yang kurang manusiawi. Untuk menjadikan manusia yang utuh dan
seimbang

diperlukan

keseimbangan

untuk mengembangkan

dimensi-dimensi

rohaninya. Dimensi-dimensi tersebut digambarkan sebagai berikut:
FILSAFAT

AGAMA
(KEYAKINAN)

(PIKIR)

( PIKIR)

SENI

ILMU

(RASA)

(PENGALAMAN)

5

Karakteristik dari tiap-tiap dimensi adalah sebagai berikut :
 Agama bersifat trasendental, dasarnya kepercayaan, pengabdian penuh dan
takwa, ajarannya ’apa seharusnya’ (das sollen) , bertujuan meraih
keselamatan, harmoni, kedamaian, konsep berdasarkan filsafat masingmasing.
 Ilmu, bersifat nalar, logis, mempunyai sistem dan metode, bersumber pada
fakta, empiri (das sein) ’apa adanya’.

Bertujuan untuk membuktikan

kebenaran secara khusus dan terbatas, serta mempunyai fungsi untuk
deskripsi, prediksi dan kontrol pada kenyataan empiris.
 Filsafat, bersifat nalar, logis, tidak ada metoda yang spekulatif, bertujuan
untuk mencapai kebenaran yang menyeluruh serta mendasar dalam sistem
konsepsional, berfungsi untuk kearifan hidup.
 Seni, menciptakan realita baru dari kenyataan empiris. Bentuknya ekspresi
realita baru secara sensoris dengan simbol dalam kebulatan dunia besar.
Berdasarkan apresiasi dari pengalaman manusia, serta mengandung das sollen
dan das sein.
Keempat karakter tersebut mempunyai persamaan dan perbedaan dalam hal
cara kerja, sumber, wujud dan fungsi masing-masing dimensi. Pada mulanya keempat
dimensi pengetahuan tersebut tidak mempunyai batas yang jelas, namun dalam
perkembangannya batas-batas tersebut semakin jelas dan berkembang menjadi
spesialisasi. Di bidang ilmu terdapat tiga penggolongan besar yakni ilmu alam, ilmu
sosial, dan humaniora. Saat ini penggolongan tersebut kurang lebih berkembang
sampai 700 disiplin ilmu.
Kesenian

termasuk

dalam

bidang

ilmu

humaniora

pada

tiap-tiap

kebudayaan/bangsa mempunyai perbedaan perincian yang berkisar antara 9 sampai
dengan 10 ilmu antara lain; bahasa, sastra, sejarah, filsafat, dan seni. Bidang
humaniora ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang hakikat manusia.
Khusus dalam hal seni memberikan keindahan sebagai pengalaman tersendiri yang
membedakan manusia dengan mahluk lain yang tidak mampu menjadikan lebih
bersifat manusia.

6

2.2.2 Hubungan antara Seni, Estetika dan Filsafat Seni.
Kata seni pada umumnya selalu dihubungkan dengan bentuk seni plastis
atau seni visual, walaupun sebenarnya kata seni telah mencakup berbagai cabang seni
lain seperti; seni sastra, seni musik, seni tari, seni drama dan seterusnya. Berdasarkan
penggolongan seni, cabang-cabang seni tersebut mempunyai kekhasan. Namun suatu
difinisi yang berlaku umum terhadap semua cabang seni ini akan menjadi titik tolak
yang baik. Dalam hal ini Schopenhauer pertama kali mengatakan bahwa semua
cabang seni bersumber pada kondisi seni musik, pernyataan itu sering disalah
tafsirkan padahal pemikiran Schopenhauer bertumpu pada kualitas abstrak dari seni
musik. Alasannya di dalam seni musik seniman menciptakan pesonanya secara
langsung untuk peminatnya, tanpa adanya campur tangan media komunikasi yang
bisa digunakan untuk tujuan-tujuan lain. Selanjutnya dikatakan bahwa seorang arsitek
seharusnya mengekspresikan dirinya dalam bentuk bangunan-bangunan yang
mempunyai tujuan praktis dan seorang penyair wajib menggunakan kata-kata yang
berkaitan dengan percakapan sehari-hari. Demikian halnya dengan seorang pelukis
harus mampu mengungkapkan dirinya lewat pembabaran dunia visual.
Menurut Schopenhauer hanya para komponis yang benar-benar bisa bebas
mencipta karya seni lepas dari kesadarannya sendiri, tidak mempunyai tujuan lain
kecuali agar dapat menyenangkan. Kendatipun semua seniman mempunyai tujuan
yang sama yakni menyenangkan publik. Sehingga seni secara sederhana
didefinisikan sebagai usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk yang meyenangkan dan
bentuk-bentuk tersebut dapat memberikan kepuasan rasa ’indah’. Terpenuhinya rasa
indah akan terjadi, jika seseorang pengamat dapat meresapi kesatuan atau harmoni
dari tata susunan bentuk.
Seni sebagai kegiatan budi pikiran seniman, secara mahir diciptakan sebagai
suatu karya yang mengekspresikan perasaan seniman. Hasil ciptaan itu merupakan
kebulatan organis dalam suatu bentuk tertentu dari unsur-unsur bersifat ekspresif yang
termuat dalam suatu medium inderawi. Sebagai suatu kesatuan organis, karya seni
terdiri dari beberapa unsur ekspresif dalam suatu bentuk tertentu. Setiap bagian atau
unsurnya tidak berdiri sendiri, tetapi membentuk satu kesatuan organis ( catatan :
sedangkan kesatuan dari unsur-unsur mekanis adalah unsur-unsur yang tersusun dari
luar dan tidak saling berhubungan, sehingga masing-masing unsur dapat saling
bertukar tempat dengan tanpa merusak kesatuan dalam suatu komposisi.)
7

. Estetika, secara umum mempunyai pengertian sebagai suatu cabang filsafat
yang memperhatikan atau berhubungan dengan gejala yang indah yang terdapat pada
alam maupun seni. Pandangan ini mengandung pengertian yang sempit. Penggunaan
istilah estetika berbeda dengan filsafat keindahan, karena estetika semata-mata tidak
lagi menjadi permasalahan di dalam ilmu filsafat. Estetika memuat bahasan ilmiah
yang

berkaitan dengan karya seni, sehingga estetika termasuk lingkup bahasan

ilmiah, yang mencakup tentang keindahan dalam seni, pengalaman seni, gaya atau
aliran seni, dan perkembangan seni.
Masalah-masalah yang diketengahkan dalam kajian estetika menurut George
T.Dickie adalah pertama, pernyataan kritis yang menggambarkan, menafsirkan, atau
menilai karya-karya seni yang khas. Kedua, pernyataan yang bersifat umum oleh para
ahli sastra, musik atau seni visual untuk memberikan ciri khas genre-genre artistik,
missal tragedi, bentuk sonata, lukisan abstrak dst . Ketiga, ada pertanyaan tentang
keindahan seni imitasi.
Menurut Louis Kattsof, estetika adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan
struktur dan peran dari keindahan, khususnya dalam seni. Sehingga muncul teori-teori
tentang seni, teori tentang keindahan, serta hal-hal yang menjelaskan tentang arti
keindahan, keindahan subjektif dan objektif serta masalah peran keindahan dalam
kehidupan manusia. Pada intinya persoalan pokok estetika meliputi empat hal yakni
(1) nilai estetika (esthetic value); (2) pengalaman estetis (esthetic experience) ; (3)
Prilaku pencipta /seniman; dan (4) seni/ karya seni.
Selain pembagian estetika yang berkaitan dengan esensi dan pokok
permasalahan, menurut ruang lingkupnya estetika dibagi menjadi dua bagian, pertama
estetika falsafahi, terdiri dari : pertama, filsafsat keindahan, teori seni indah dan
filsafat kritik; kedua, estetika ilmiah yang meliputi: ilmu seni, psikologi seni,
sosiologi seni, antropologi seni, semiologi seni, sejarah seni dan filsafat seni.
Filsafat

seni

merupakan

bidang

pengetahuan

yang

senantiasa

mempermasalahkan seni atau keindahan dalam karya seni. Filsafat seni berhubungan
dengan teori penciptaan seni, pengalaman seni dan kritik seni (Lucius Garvin).
Filsafat seni bagi Joseph Brennan, merupakan telaah mengenai asas-asas umum
penciptaan dan apresiasi seni. John Hosper memandang filsafat seni lebih sempit dari
pada estetika, alasannya filsafat meliputi konsep-konsep seni dan persoalan-persoalan
yang timbul dalam karya seni. Berkaitan dengan pendapat dari para ahli tersebut,

8

Thomas Munro merinci berbagai persoalan yang berkaitan dengan filsafat seni atau
estetika modern sebagai berikut :
(1) Penggolongan sistematika seni
(2) Morfologi estetis; telaah deskriptif tentang bentuk seni dan gaya dalam
berbagai seni.
(3) Teori sejarah seni: berkaitan dengan adanya kecenderungan utama, pola-pola,
pengaruh-pengaruh,

sebab

akibat,

dan

gaya-gaya

dalam

seni

yang

berhubungan dengan factor budaya.
(4) Sosiologi seni; menjelaskan kausal antara karya seni dengan kondisi social
budaya masyarakat atau sebaliknya.
(5) Semiologi seni; membahas tentang masalah-masalah bahasa seni berupa tanda,
symbol, serta konsep-konsep dalam seni.
(6) Ragam dan gaya seni, membahas tentang hal-hal yang berhubungan dengan
sifat dasar manusia, pribadi dan social.
(7) Pengetahuan tentang jenis akibat yang cenderung memperngaruhi manusia
dalam berbagai kondisi..
Pembagian filsafat berdasarkan karakteristik filosofis adalah; spekulatif,
mendasar, menyeluruh dan logis. Bentuk ajarannya adalah sistemik konsepsional.
Berikut ini disajikan dua penggolongan yaitu penggolongan berdasarkan subjek dan
penggolongan bersadarkan objek antara lain sebagai berikut :
Penggolongan Filsafat Berdasarkan Subjek :

ADA

PENGETAHUAN

PENILAIAN

ONTOLOGIA : MANUSIA
THEOLOGIA : TUHAN
COSMOLOGIA: ALAM

LOGIKA
ANTROPOLOGIA

ETIKA
ESTETIKA

9

Penggolongan Filsafat Berdasarkan Objek;
ADA

UMUM

KHUSUS

MUTLAK

TIDAK MUTLAK

ALAM

ONTOLOGIA
THELOGIA
COSMOLOGIA

MANUSIA

: MANUSIA
: TUHAN
: ALAM

MANUSIA
AKAL
TINGKAH LAKU

:ANTROPOLOGIA
: LOGIKA
:ETIKA

KEINDAHAN

:ESTETIKA

(Model dikutip dari Sumardjo, 2000)

2.2.3 Hubungan antara Tiga Aspek dalam Seni: Karya Seni, Seniman, dan
Publik Seni
Lingkup kajian dalam filsafat keindahan ini terdiri dari tiga kenyataan;
pertama, objek seni atau segala sesuatu yang berkaitan dengan seni; kedua, pendapat
(pandangan) tentang seni dan; ketiga, adalah fakta. Kenyataan pertama berupa objek
seni yang meliputi karya seni; aktivitas penciptaan/seniman dan pengamat atau publik
seni. Ketiganya mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisah-pisahkan.
Secara rinci dijelaskan sebagai berikut:
(1). Karya / benda seni
Karya atau benda seni ini terdiri dari bentuk dan isi. Bentuk dalam hal ini
mempunyai pengertian suatu kesatuan organis yang terdiri dari unsur-unsur seni,
yang memiliki nilai ekspresi atau nilai ungkap. Unsur-unsur tersebut terdiri dari
representasi, kualitas keinderaan (sensasi) dan konotasi. Representasi merupakan
perwujudan ekspresi, yang mengandung sensasi /sensori (suara, warna, bentuk,
tekstur, ruang, cahaya, dst). Sensori ini merupakan kualitas keinderaan/ kepekaan
terhadap rangsangan yang menciptakan suasana perasaan misal, rasa segar, senang,
bahagia, sedih dst. Di sisi lain wujud tidak hanya dipahami secara tuntas sebagai
wujud, tetapi ada sisa sesuatu yang tidak bisa tertangkap indera yakni isi atau makna.
10

Dalam hal ini untuk memperoleh makna/ isi,perlu melakukan konotasi terhadap
karya/ benda seni dengan cara mengkaitkan antara unsur, prinsip dan lingkup budaya.
Bentuk dan isi dalam suatu karya seni merupakan satu kesatuan. Bentuk lebih
menekankan pada munculnya kesatuan di antara unsur-unsurnya dalam bentuk
organis. Sedangkan isi adalah unsur-unsur yang membentuk struktur dalam ’kesatuan
arti’ atau makna. Karya seni bisa diterima oleh penikmat atau publik seni, jika nilainilai yang terdapat karya seni tersebut juga bisa diterima oleh publik pengamat seni.
Dengan demikian maka akan terjadi komunikasi seni. Komunikasi akan terjadi jika
publik/ pengamat seni mempunyai pengalaman seni atau pengalaman estetik.
Karya seni terwujud berdasarkan medium tertentu, yakni; (1) medium
pendengaran (audio) menghasilkan seni audio; seni sastra, dan musik (2) Medium
penglihatan (visual) menghasilkan seni visual (seni rupa): seni patung, seni lukis,
arsitektur dst. (3) gabungan keduanya, akan melahirkan bidang seni audio visual : seni
tari, seni teater, seni film dst. Aspek tinjauan seni sebagai benda atau karya seni
(artefak) menyangkut masalah:
 Nilai seni ( nilai intrinsik, nilai ekstrinsik, dan nilai hidup)
 Material seni
 Bentuk dan isi seni (imajinasi, metafora, simbol, mimesis, ekspresi, subjek
matter dan tema.)
 Makna seni
(2) Seniman/ Aktivitas Penciptaan ;
Sebagai pemilik ide, seniman memiliki sejumlah nilai-nilai intraestetik
maupun ekstraestetik, yang kemudian diekspresikan dalam sebuah wujud atau benda/
karya seni. Berkaitan aktivitas penciptaan ini seni identik dengan ekspresi, artinya
seni merupakan penjelmaan bentuk-bentuk ekspresi dari nilai- nilai kemanusiaan yang
bersifat individual maupun sosial. Aspek seniman dalam seni menyangkut masalah
kreativitas dan ekspresi yang berkaitan dalam penciptaan karya seni antara lain :
tujuan karakteristik seni, keunikan, orsinalitas, keontentikan karya seni, dan gaya
(style). Teori ekspresi seni yang mengacu dari seniman (lihat Leo Tolstoi) seni adalah
ekspresi atau ungkapan perasaan seniman akibat pengalaman hidupnya yang
bertujuan bukan untuk kepentingan pribadi tetapi untuk kepentingan umum.
(3) Publik Seni / Pengamat Seni :

11

Masyarakat yang mempunyai karakteristik dan kemampuan untuk membaca
dan

menerima suatu produk seni tergolong dalam publik atau pengamat seni.

Sehingga tidak semua masyarakat adalah pengamat/ publik seni ini. Penemuan nilai
seni dan munculnya pengalaman seni dalam pengamat/ public seni merupakan
peristiwa penting dalam lahirnya fenomena seni. Pandangan ini muncul ketika ada
permasalahan filosofis tentang : komunikasi seni, relasi seni, wacana seni, pendidikan
seni, interpertasi seni, evaluasi seni dan selera seni ( lihat Yokop Sumardjo: 1995).
Sehingga untuk mengetahui persoalan karakter masyarakat dalam public seni
diperlukan peran serta bidang kajian sosiologi, psikologi dan antrophologi seni.
(4) Nilai Seni:
Benedetto Croce, seorang filusuf seni mengatakan bahwa seni pada karya atau
suatu benda itu tidak pernah ada, sebab seni itu ada di dalam jiwa pengamatnya. (seni
identik dengan keindahan). Bagi Benedetto, nilai merupakan masalah yang mendasar
yang terdapat dalam bidang etika (kebaikan), kebenaran (logika) dan estetika
(keindahan), di samping terdapat pula pada peristiwa perasaan yang lain seperti
keadilan, kebahagiaan, kegembiraan, kegelisahan dan seterusnya ( lihat Yakop
Sumardjo: 1995). Semuanya menyangkut tentang subjektivitas dan objektivitas, juga
sekaligus menyangkut hal-hal khusus dan universal, budaya kontekstual dan esensi
universal. Keindahan yang menyangkut seni, mengandung nilai-nilai universal dan
sekaligus juga kontekstual budaya.
(5) Pengalaman Seni.
Pengalaman

seni

ini

diperlukan

dalam

berkomunikasi

seni

yakni

mengkomunikasikan nilai-nilai, kualitas perasaan,dan kualitas medium seni itu
sendiri. Dalam proses berkomunikasi atau berinteraksi diperlukan pengalaman yang
melibatkan kegiatan penginderaan, nalar, emosi dan intuisi. Pengalaman seni
berlangsung dalam suatu proses yang berkaitan dengan waktu. Ada suatu pendapat
yang mengatakan bahwa hakikat seni terletak pada pengalaman seni bukan pada ilmu
dan filsafat seni. Sedangkan analisis pengalaman seni meliputi pengalaman artistik,
empati, jarak estetis dan unsur-unsur serta struktur pengalaman seni.
Hakikat seni kontekstual tidak dapat dipisahkan dari; ideology, sosial,
masalah infrastruktur, struktur perkembangan sejarah seni, tradisi seni, akulturasi
budaya, masalah seni, elit budaya, seni popular, seni rakyat, seni massa, seni elit
istana, seni modern dan seni postmodern. Secara keseluruhan rangkaian dalam
pembicaraan ini adalah topik permasalahan dalam estetika ataupun filsafat seni.
12

Permasalahan yang masih panjang diperdebatkan adalah masalah ekspresi seni dalam
sepanjang sejarah seni. Selain itu tidak dapat dipungkiri bahwa pemikir besar Yunani
kuno, Plato dan Aristoteles telah meletakan dasar-dasar persoalan filosofis seni
sampai sekarang.
Berikut bagan eksistensi seni hubungan antara empat aspek dalam seni yakni
karya seni, seniman, publik seni dan konteks seni, seperti yang telah dijelaskan di
atas.
NILAI-NILAI SENI

SENIMAN

KARYA SENI

PUBLIK SENI

TEORI EKSPRESI

TEORI FORMALIS

TEORI RELASI

PENGALAMAN SENI

KONTEKS SENI
Aspek Konteks seni menyangkut persoalan nilai-nilai dasar dalam suatu masyarakat.

(6) Konteks Seni
Hakikat seni pada konteks : Seni merupakan konsep yang mendapat
kesepakatan dari masyarakat sejamannya. Hakikat seni dapat ditelusur dari berbagai
institusi seni maupun institusi yang bukan seni yang ada dalam masyarakat yang
bersangkutan.
3。TUGAS / LATIHAN :
Membaca dan membuat resume ; hasil resume didiskusikan secara berkelompok.
Diskusikan dengan anggota kelompok saudara tentang ruang lingkup, aliran dan
hubungan anatara estetika dan seni.


Buat laporan kelompok hasil diskusi Saudara dalam suatu kertas kerja
(paparan) untuk disampaikan dalam forum diskusi kelas.

13

POKOK BAHASAN 2

Nilai Karya Seni
1. Tujuan Perkuliahan
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan
pengertian, fungsi, dan jenis nilai serta dapat menjelaskan nilai karya seni yang meliputi nilai
intrinsik, ekstrinsik, dan instrumental.

2. Materi Perkuliahan
2.1. Nilai : Pengertian, Fungsi, dan Jenis- Jenisnya
Nilai, baik sebagai sebuah kata maupun sebagai suatu istilah sudah sering dikenal,
didengar, bahkan sering diucapkan. Namun demikian sangat dimungkinkan masih cukup
banyak orang yang belum mengetahui secara lebih mendalam apa arti, fungsi, makna, atau
jenis-jenis nilai. Acapkali kata atau istilah nilai dipakai begitu saja tanpa mempersoalkan tepat
atau tidak penggunaannya. Nilai, baik sebagai kata atau istilah memiliki pengertian,
makna,dan fungsi yang penting dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan. Demikian
pula jenis-jenis nilai juga cukup banyak sejalan dengan bidang-bidang kehidupan yang ada di
dalam masyarakat; tak terkecuali dalam bidang kehidupan seni. Artinya semakin kompleks
bidang kehidupan masyarakat semakin kompleks kemunculan sebuah nilai.
Kata atau istilah nilai, sesungguhnya, bukan sesuatu yang bersifat kuantitatif atau
menunjuk pada sesuatu yang bersifat konkret, melainkan

menunjuk pada sesuatu yang

bersifat kualitatif dan abstrak. Nilai dalam bahasan ini bukan score atau biji, yang berfungsi
sebagai angka yang menandai prestasi seseorang seperti yang tertera dalam raport atau
laporan hasil belajar. Melainkan harga atau sifat-sifat/ hal-hal yang penting atau berguna bagi
manusia ( Lihat KBBI; 1996: 690 ). Dari sisi filsafat The Liang Gie menjelaskan bahwa
istilah nilai sering dipakai sebagai suatu kata benda abstrak yang berarti keberhargaan (worth)
atau kebaikan (goodness). Selanjutnya ia mengatakan bahwa nilai atau value adalah
kemampuan yang dipercayakan pada sesuatu benda untuk memuaskan keinginan manusia,
dan penyebab ketertarikan minat seseorang atau suatu golongan terhadap benda tersebut.
Nilai dalam hal ini mempunyai makna suatu realitas psikologis karena sebagai penetu nilai
adalah jiwa manusia bukan bendanya.
Sesuai dengan penjelasan tersebut terlihat bahwa nilai merupakan sesuatu yang
bersifat abstrak dan menunjuk pada suatu kualitas tertertu dari suatu objek yang menarik
minat atau perhatian. Minat dan perhatian itu muncul karena ada sesuatu yang berkualitas
pada suatu objek dan berharga bagi diri seseorang. Pada gilirannya akan menimbulkan daya
tarik dan mendorong untuk bersikap dan bertindak untuk dapat memperoleh atau
menggunakannya. Suatu kualitas objek yang dianggap berharga bagi seseorang menandakan

14

bahwa objek itu memiliki nilai dan suatu yang bernilai

acapkali menimbulkan makna

tertentu. Suatu nilai, selain berharga juga mempunyai potensi untuk menimbulkan makna
dengan lain kata, makna merupakan implikasi lebih lanjut dari persepsi suatu keberhargaan.
Setiap benda yang berharga memiliki sebuah makna bagi seseorang. Misal, rokok, kendati
tidak menyehatkan, tetapi bagi sebagian besar orang menjadi salah satu kebutuhan yang
tidak dapat ditinggalkan. Karena ada suatu nilai yang melekat pada rokok yaitu kualitas
tertentu sangat berharga yang dirasakan sebagian orang untuk memenuhi salah satu
kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu tidak mengherankan jika rokok sangat bermakna bagi
mereka yang membutuhkan. Banyak fakta yang dapat dijadikan bukti bahwa rokok dapat
mendorong seseorang untuk bersikap dan bertindak untuk mengupayakan dengan berbagai
cara agar ia dapat memperoleh, memiliki, dan menikmatinya.

Contoh sederhana tersebut menyiratkan pengertian bahwa nilai merupakan sesuatu
yang dapat mempengaruhi pikiran, sikap, tindakan, atau gaya hidup seseorang atau
sekelompok orang, bahkan masyarakat. Dalam hal demikian, nilai memiliki fungsi
sebagai variabel bebas yang berpengaruh dalam membentuk pikiran, sikap, tindakan,
atau gaya hidup. Dengan kata lain nilai dapat berfungsi sebagai dasar, acuan, rujukan,
pedoman bagi para pemiliknya untuk menentukan arah berpikir, bersikap, dan berbuat
dalam melakukan sesuatu. Fungsi ini menunjukkan bahwa nilai merupakan sumber
dasar pembentukan pola berpikir, pola bertindak, dan pola atau gaya hidup. Tegasnya
dengan nilai, suatu kebudayaan dapat hidup dan berkembang.
Kebutuhan hidup manusia sangat beragam, kompleks, dan bertingkat-tingkat atau
berjenjang sehingga jenis nilai juga sangat kompleks dan beragam (lihat : Piddington
dalam Suparlan, 1985). Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain faktor
lingkungan alam, sosial, budaya, dan teknologi variabel ruang dan waktu, juga sangat
ikut menentukan jenis, tingkat, kuantitas, dan kualitas kebutuhan hidup.

Dilihat dari

pandangan filsafat ada empat macam jenis nilai, yaitu nilai logika (kebenaran), nilai
etika (kebaikan), nilai keindahan (estetika) dan nilai kekudusan (agama). Masingmasing jenis nilai ini tentu memiliki batasan wilayah dan sifat yang berbeda. Namun
tetap memiliki fungsi yang sama, yaitu menjadi dasar, acuan, rujukan atau pedoman
untuk memenuhi tuntutan kebutuhan yang relevan sesuai dengan bidangnya (lihat :
The Liang Gie 2005 : 112). Selanjutnya dari wawasan sosial-budaya Gie, juga
mengetengahkan jenis nilai, antara lain nilai yang berkenaan dengan : kepercayaan,
pengetahuan, moral, ekonomi, politik, hukum, komunikasi, pendidikan, kesehatan,
keamanan, kekerabatan, perkawinan, dan teknologi. Masing-masing jenis nilai ini ada
15

dan dibutuhkan untuk mengatur atau mengendalikan cara-cara berpikir, bersikap,
bertindak dalam rangka memenuhi dan mengembangkan kehidupan sosial budaya
masyarakat yang amat kompleks itu. Tanpa adanya nilai maka kehidupan manusia
tidak akan menjadi tertib atau teratur, liar, tidak berkembang sesuai dengan harkat dan
martabatnya. Tegasnya, tanpa nilai kehidupan manusia tidak berbeda dengan
kehidupan mahluk lain atau binatang.
2. 2. Nilai dalam Karya Seni
Jika dikatakan bahwa kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan
(Koentjaraningrat 1984) maka

karya seni adalah produk atau hasil salah satu

kreativitas kebudayaan di samping hasil-hasil kreativitas kebudayaan yang lainnya..
Berbeda dengan hasil kreativitas kebudayaan lainnya, karya seni memiliki ciri
tersendiri

yaitu

perwujudannya

senantiasa

dikemas

melalui

pertimbangan-

pertimbangan atau kaidah-kaidah estetis. Penggunaan kaidah-kaidah estetis inilah
yang menyebabkan perwujudan seni memiliki citarasa keindahan. Karena itu tidaklah
mengherankan jika secara umum orang mengatakan bahwa seni senantiasa identik
dengan keindahan atau seni adalah perwujudan perasaan akan keindahan itu sendiri.
Menurut Bahtiar (1982) karya seni merupakan salah satu jenis simbol yang masuk
dalam kategori simbol ekspresif yakni simbol pengungkapan perasaan yang, tentu
saja, perwujudannya dikemas melalui bentuk-bentuk estetis.
Sebagai salah satu hasil kreativitas kebudayaan maka karya seni tentu memiliki nilai
tersendiri yang berbeda dengan nilai hasil-hasil kebudayaan yang lainnya. Dalam
wawasan kebudayaan karya seni dilihat sebagai suatu perwujudan manusia dalam
upaya mengungkapkan perasaan akan keindahan yang dipedomani atau dipengaruhi
oleh nilai-nilai sosial budaya dan lingkungan yang menyelimutinya (lihat Melalatoa
1992; Koentjaraningrat 1987). Oleh karena itu nilai karya seni bukan hanya sekadar
perwujudan benda fisik yang berkeindahan tertentu yang lepas dari aspek-aspek lain
yang mempengaruhinya.
Secara sederhana, dengan menggunakan perspektif filsafat, nilai karya seni dapat
dikategorikan dalam tiga jenis nilai, yaitu nilai intrinsik, nilai ekstrinsik, dan nilai
instrumental (lihat : The Liang Gie 2005; ). Berdasarkan perspektif ini uraian berikut
di bawah ini akan menjelaskannya lebih lanjut.
2. 2.1. Nilai Intrinsik
Kata intrinsik artinya adalah yang terkandung di dalamnya (Depdikbud 1989 :
37). Dari arti kata ini kata intrinsik menunjuk pada sesuatu yang ada pada atau dalam
16

suatu objek. Pada karya seni, dengan demikian, yang dimaksud dengan nilai intrinsik
adalah kualitas atau sifat yang memiliki harga tertentu itu terletak

pada bentuk

fisiknya. Dengan kata lain nilai intrisik karya seni adalah nilai perbentukan fisik dari
suatu karya, yaitu kualitas atau sifat dari perbentukan fisik itu yang menimbulkan
rasa atau kesan indah. Menurut Anwar (1985 : 76-77) suatu perbentukan fisik karya
seni

yang menimbulkan rasa indah dianggap memiliki nilai normal karena ia

memperlihatkan fungsi-fungsi psikologis dan sosiologis yang bersangkutan dengan
terbentuknya keselarasan (harmoni). Sebaliknya, karya seni mempunyai nilai
negatif,abnormal, jelek, bila gagal memenuhi salah satu fungsinya yakni
memperlihatkan arah yang menimbulkan rasa atau kesan tidak indah atau
bertentangan dengan tujuannya.
Pada musik, nilai intrinsiknya antara lain terletak pada unsur nada, melodi,
irama, dan harmoni. Pada tari, nilai intrinsiknya antara lain terletak pada unsur gerak
dan pola lantai(wiraga) irama (wirama),

pengungkapan atau ekspresinya (wirasa),

dan, bahkan mungkin terletak pada penampilan pakaian atau busananya (wirupa).
Sedangkan pada karya seni rupa nilai intrinsiknya

terletak pada struktur dan

bentuknya.
Dalam karya seni rupa yang dimaksud dengan struktur adalah susunan atas
serangkaian unsur-unsur rupa (visual) yang terdapat di dalamnya. Unsur-unsur rupa
atau visual itu antara lain adalah garis, bidang, warna, gelap terang, ruang, dan
tekstur.
Garis sebagai salah satu unsur rupa bisa diartikan sebagai : tanda atau markah
yang membekas pada suatu permukaan dan memiliki arah (dalam hal ini bisa berupa
grafis yang konkret yang terbentuk oleh suatu goresan yang membetuk irama), batas
suatu bidang/permukaan, dan sifat atau kualitas yang melekat pada objek yang
memanjang (Sunaryo 2000:7; lihat juga : Kartika 2004 : 40-41; Wong 1986 : 5).
Djelantik (2000:19) mengemukakan bahwa terbentuknya garis dapat menimbulkan
kesan tertentu pada pengamat, missal garis kencang berkesan keras, keras, sementara
itu garis yang membelok atau melengkung berkesan luwes, lemah gemulai.
Menurut beberapa pendapat ahli (Sunaryo 2000, Kartika 2004; Wong 1986;)
bahwa unsur-unsur rupa seperti : bidang, ruang, warna, dan tekstur dijelaskan konsep
atau pengertiannya sebagai berikut. Bidang sebagai unsur rupa dapat dipahami
sebagai sesuatu yang pipih, terbentuk oleh dua buah ujung garis yang bertemu pada
satu titik. Ia bersifat datas karena tidak memiliki massa/volume.

Ruang dsapat
17

dipahami setelah ada sosok atau bentuk yang mengisinya atau unsur yang
mengikutinya. Ruang mempunyai tiga dimensi, yaitu panjang, lebar, dan tinggi.
Dalam seni rupa dua dimensi, kesan ruang diciptakan oleh ilusi yang dibuat dengan
pengolahan garis dan dibantu oleh warna sebagai unsur penunjang yang mampu
menciptakan ilusi sinar atau bayangan yang meliputi gelap dan terang sehingga
memiliki kesan tiga dimensi. Warna merupakan kualitas rupa yang membedakan
kedua objek atau bentuk yang identik dengan raut, ukuran, dan gelap terangnya.
Tekstur adalah sifat atau kualitas permukaan suatu benda. Ia dapat halus, kasar,
polos, licin, mengkilap, berkerut, lunak, keras dan lain sebagainya. Tekstur terdiri atas
tekstur visual dan tekstur taktil. Yang pertama dicerap me;lalui penglihatan yang
kedua dirasakan dengan melihat dan rabaan tangan. Tekstur taktil dapat berupa tekstur
nyata dan tekstur semu.
Struktur atau susunan unsur-unsur tersebut jika ditata atau dikomposisikan
sedemikian rupa dengan menggunakan kaidah-kaidah estetis yang acapkali dikenal
dengan istilah prinsip kesatuan, irama, keseimbangan, proporsi, dominasi, variasi, dan
harmoni akan menentukan kualitas keindahan fisik suatu karya seni rupa (Lihat The
Liang Gie. 2005; Djelantik 2004; Sunaryo 2000; Kartika 2004; Wong 1`986). Dngan
kata lain dapat ditegaskan bahwa nilai intrinsik karya seni rupa dapat dilihat dari
bagaimana kaidah-kaidah estetis itu digunakan dalam penataan susunan unsur-unsur
yang terdapat di dalamnya.
2. 2.2. Nilai Ekstrinsik
Berlawanan arti dengan kata atau istilah intrinsik di atas, kata atau istilah
eksrinsik berarti sesuatu yang berada di luar atau di balik suatu objek atau benda.
Dalam kamus kata ekstrinsik berarti berasal dari luar atau tidak merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari sesuatu (Depdikbud 1989 : 223).

Merujuk pengertian ini

maka yang dimaksud dengan nilai ekstrinsik ialah kualitas atau harga yang berada di
luar atau di balik suatu perwujudan fisik. Kualitas atau harga ini merupakan sesuatu
yang tidak konkret yakni berupa pengertian, makna, pesan, dan ajaran atau informasi
lainnya yang berharga. Nilai yang demikian ini dapat pula disebut dengan nilai
simbolis, artinya dalam posisi ini karya seni adalah sebagai simbol yang memiliki
makna, pesan, atau harapan-harapan di luar bentuk fisiknya itu.
Dalam kenyataan, banyak sekali dijumpai karya seni yang hadir tidak hanya
sekadar menciptakan bentuk fisik yang bernilai estetis semata melainkan juga

18

membawa pesan-pesan, harapan-harapan, atau muatan-muatan makna di luar bentuk
estetisnya itu.
Sebagai contoh, misalnya karya-karya pelukis Indonesia di zaman prakemerdekaan yang menggelorakan semangat perjuangan atau nasionalisme melalui
bentuk-bentuk fisik dengan tema-tema tertentu seperti tema perjuangan, penindasan,
penderitaan, dan lain sebagainya akibat penjajahan Belanda dan Jepang. Demikian
pula pada zaman pasca kemerdekaan hingga pada era modern sekarang banyak
dijumpai karya-karya seni rupa yang selain menampilkan bentuk-bentuk fisik estetis
yang kreatif juga membawa pesan, harapan, muatan-muatan makna tertentu di luar
bentuk fisiknya. Pada karya-karya instalasi misalnya, seniman bukan hanya sekadar
menciptakan bentuk-bentuk kreatif yang unik, menarik, dan bahkan terasa absurd,
tetapi lebih dari itu mereka ingin menyampaikan sesuatu di balik karya nya. Dengan
kata lain karya tersebut berfungsi sebagai simbol dari apa yang sejatinya dirasakan
atau diinginkan.
2. 2.3. Nilai Instrumental
Kata instrumental merupakan kata sifat dari kata instrumen yang berarti alat
atau peralatan. Pengertian kata alat atau peralatan adalah segala benda atau barang
yang dapat digunakan sebagai sarana mermbantu atau melakukan suatu tugas untuk
mengerjakan kepentingan tertentu (lihat : Dedikbud 1996 : 382). Sebagai contoh, alatalat musik adalah benda atau barang-barang yang memiliki tugas untuk memunculkan
nada-nada tertentu bila dimainkan atau digunakan. Peralatan musik tersebut selain
secara visual memiliki nilai bentuk atau struktur tertentu juga

memiliki nilai

instrumental sebagai benda atau barang yang berfungsi untuk memunculkan nadanada tertentu jika dimainkan. Oleh karena itu, tidak akan ada arti atau harganya jika
suatu alat musik tertentu meskipun secara visual memiliki nilai fisik atau bentuk yang
indah tetapi tidak dapat digunakan atau dimainkan dengan baik dalam upaya
menghasilkan nada-nada tertentu yang diinginkan dalam suatu permainan musik.
Dalam konteks seni rupa, suatu karya dapat dikatakan memiliki nilai
instrumental jika karya tersebut secara fisik dapat digunakan untuk melakukan tugas
dalam rangka memenuhi suatu keperluan tertentu.

Banyak contoh yang dapat

dikemukan untuk menunjukkan hal tersebut. Peralatan

musik sebagaimana

disebutkan di atas, alat guitar misalnya, secara visual atau fisik merupakan hasil

19

karya seni rupa yang memiliki nilai keindahan struktur dan bentuk tersendiri (nilai
intrinsiknya).
Namun demikian hal itu belumlah cukup jika guitar itu tidak dapat digunakan
atau dimainkan secara baik sebagai alat untuk bermain musik. Dengan demikian nilai
instrumental guitar bukan hanya terletak pada nilai keindahan bentuknya saja tetapi
lebih dari itu justru terletak pada fungsi alat itu ketika dimainkan yaitu apakah
memenuhi keperluan yang diinginkan atau tidak. Contoh lain bisa ditunjukkan pada
karya-karya seni perabot atau peralatan rumah tangga (mebeler). Suatu karya mebeler
kursi atau meja misalnya, nilai instrumentalnya terletak pada tingkat kenyamanan
barang tersebut ketika digunakan. Artinya meskipun secara visual mebeler tersebut
desainnya bagus akan tetapi ketika digunakan tidak memenuhi kenyamanan
fungsinya, sebagai tempat duduk atau menulis, maka nilai instrumentalnya menjadi
rendah. Termasuk dalam kategori nilai instrumental ini adalah karya-karya seni rupa
yang memiliki fungsi fisik sebagai tempat atau konstruksi.
Dalam karya-karya arsitektur, bangunan atau unsur bangunan misalnya,
dikatakan memiliki nilai instrumental jika secara fisik bangunan atau unsur bangunan
tertentu memenuhi fungsinya sebagai tempat yang nyaman dan memenuhi fungsi
konstruksinya .yang menjamin keamanan penggunanya. Secara khusus, misalnya,
unsur bangunan berupa tiang dengan berbagai bentuknya yang indah secara visual
akan kehilangan nilai instrumentalnya jika tidak mampu memenuhi fungsinya dalam
menopang atau menyangga suatu balok di atasnya secara maksimal. Dalam sejarah
seni rupa Yunani atau Romawi kuno, dapat dilihat karya-karya seni tiang bangunan
dengan bentuk kapitelnya yang sangat indah dan menarik namun secara konstruktif
tetap kuat menopang balok yang berada di atasnya.
Contoh-contoh lain nilai instrumental karya seni rupa dapat ditunjukkan pada
hasil karya desain peralatan elektronika, misalnya berbagai bentuk kamera, telepon
seluler (hand-phone), dan

komputer (note book). Alat atau instrumen tersebut

sekarang ini mengalami perkembangan yang luar biasa dari segi desain bentuk,
ukuran, dan kegunaannya. Barang-barang tersebut selain desain bentuknya bagus,
ukurannya yang bersifat portable, juga semakin canggih kegunaannya dalam
memenuhi tuntutan kebutuhan pemakainya yang menghendaki kepraktisan,
kemudahan, dan kenyamanan penggunaannya. Semakin praktis, mudah, dan nyaman
penggunaan alat-alat tersebut semakin tinggi nilai instrumentalnya.

20

Dalam pengertian yang lebih luas, nilai instrumental karya seni bukan hanya
yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat fisik teknis sebagaimana dijelaskan di
atas. Ada kalanya, nilai instrumental karya seni ini dimaknai secara abstrak sebagai
media atau sarana untuk menyampaikan suatu misi atau pesan tertentu. Sebagai
contoh, misalnya karya seni poster, baliho, patung, atau lukisan dapat dianggap
memiliki nilai instrumental ketika karya seni tersebut dipakai sebagai media atau
sarana untuk menyampaikan pesan-pesan atau misi tertentu kepada khalayak baik
yang bersiafat komersial atau non-komersial. Itu sebabnya ada kalanya

dapat

dijumpai karya seni (rupa) yang difungsikan sebagai media atau sarana promosi,
persuasi, atau edukasi.
3. Tugas
 Diskusikan dengan anggota kelompok Saudara tentang jenis-jenis dan makna
nilai dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan Saudara.

Masih dalam

kelompok diskusi Saudara, amati dan identifikasi beberapa jenis karya seni
rupa dilihat dari nilai intrinsik, ekstrinsik, dan instrumentalnya.
 Buat laporan kelompok hasil diskusi Saudara dalam suatu kertas kerja
(paparan) untuk disampaikan dalam forum diskusi kelas.

21

POKOK BAHASAN III (PERTEMUANKE-4-6)
ESTETIKA KLASIK DOGMATIS
1.Tujuan Perkuliahan
Mahasiswa dapat menjelaskan dan/atau membandingkan konsep-konsep
estetika klasik-dogmatis yang meliputi konsep estetika platonisme dan konsep
estetika neo-platonisme.
2. Materi Perkuliahaan
2.1 Estetika Platonisme
Ada dua tokoh filsuf penting yang perlu dikemukakan dalam kelompok faham
estetika platonisme, yaitu Plato dan Aristatoles.Uraian penjelasan singkat mengenai
pemikiran dua tokoh filsuf tersebut dibahas dalam paparan di bawah ini sebagai
berikut.
2.1.1 Plato
Dalam tulisan Sahman (1993) dijelaskan beberapa pemikiran tentang pemikian
Plato mengenai hakikat keindahan. Pandangan Plato mengenai konsep keindahan
dikembangkan berdasarkan teori atau konsep tentang idea atau eidos. Plato
berpendapat bahwa keindahan sebagai konsep idea memiliki esksistensinya sendiri
terlepas dari eksistensi yang lain. Eksistensi idea bersifat transendental dan berada
pada alam spiritual yang serba sempurna. Dunia idea merupakan kenyataan yang
sesungguhnya yang paling sempurna dan menjadi contoh atau model yang abadi dan
dilihat sebagai landasan untuk membuat kenyataan yang bersifat fisik. Kenyataankenyataan fisik yang bersifat alamiah bukanlah kenyataan yang sesungguhnya.
Eksistensi dari kenyataan fisik atau alamiah hakikatnya adalah kenyataan semu atau
tiruan dari kenyataan idea.
Dalam kaitan dengan seni, keindahan yang muncul bersifat semu atau tiruan
dari keindahan yang ada di dunia idea. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
keindahan seni adalah imitasi yang bersifat mimesis (meniru) dari keindahan
sesungguhnya yang berada di dunia idea.
Dengan menganggap bahwa seni pada hakikatnya adalah imitasi atau mimesis
dari dunia idea, Plato ingin menunjukkan bahwa keindahan seni memiliki kedudukan
22

atau derajatnya lebih rendah jika dibandingkan dengan keindahan idea. Dikatakan
demikian karena

keindahan seni yang muncul bersifat semu atau hanyalah

merupakan tiruan yang, tentu saja, tidak akan

pernah memiliki kesempurnaan.

Dengan kata lain bagi Plato, seni sebaiknya tidak meingimitasi apa pun yang ada di
sekitar kita sebagai sesuatu yang pernah ditahui atau dikenal sebelumnya. Seni yang
baik, dengan demikian, mempersyaratkan adanya peran inspirasi dalam arti menyatu
dengan

keindahan idea (a communion with the idea of beauty). Pandangan ini

menyiratkan bahwa sesungguhnya Plato tidak menyukai seni apa pun yang bersifat
imitatif. Eidos (idea keindahan) menjadi kata kunci yang harus dijadikan sebagai
acuan dalam membuat karya seni. Jika keindahan idea yang diacu, maka karya yang
dibuat akan berpartisipasi di dalam eidos, artinya akan ikut menjadi indah karena
mendapat aliran atau emanasi eidos keindahan itu.
Untuk mencapai eidos, bisa dilakukan melalui nous (arti harafiahnya adalah
intelegensi atau kemampuan menalari secara dialektis). Sebelum memasuki dunia
yang tidak sempurna, nous sempat melihat eidos. Eidos tertanam dalam jiwa atau
nous (yang dimaksud jiwa pranatal, jiwa yang belum diturunkan ke dunia menyatu
dengan raga) untuk selama-lamanya, dan dapat dikenali dengan anamnesis
(pengenalan kembali). Lewat communion with the idea of beauty seniman akan
mengamnanesis eidos. Namun produk anamnesis ini tidak pernah akan sesempurna
eidos itu sendiri, apalagi setelah jiwa atau nous itu terikat pada raga (jiwa
pascanatal).Keterikatan kepada raga menjadikan jiwa tak m