MAKALAH SISTEM SOSIAL BUDAYA INDONESIA.d

MAKALAH SISTEM SOSIAL BUDAYA INDONESIA
KEMISKINAN PADA ETNIS PAPUA

Disusun Oleh:
Kelompok 8
1. Presiensi Fauzi Zakharis

07031181520182

2. Lilik Nurindah Sari

07031181520192

3. Khoirunnisa

07031181520200

4. Reza Firdaus

07031281520156


5. Luthfiyah Shafira

07031281520157
Dosen Pembimbing :
Dra.Hj. Rogaiyah., M.SI

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2016

1

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa karena atas
berkat rahmat-Nya. Kami dapat menyusun makalah Sistem Sosial Budaya
Indonesia khususnya tentang pembahasan “Kemiskinan pada Etnis Papua”.
Makalah ini dibuat dalam rangka meningkatkan pembelajaran mata kuliah
Sistem Sosial Budaya Indonesia. Pemahaman tentang manusia dan hal – hal yang

berkaitan

dengannya sangat

agar beberapa masalah

dapat

diperlukan
diselesaikan

dengan suatu
dan

dihindari

tujuan
sekaligus

memperdalam wawasan bagi kita semua.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dra. Hj. Rogaiyah M.Si.,
selaku Dosen Sistem Soaial Budaya Indonesia di Universitas Sriwijaya yang telah
membimbing kami. Teman-teman kami khususnya kelompok 8. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih kepada sumber-sumber inspirasi makalah ini.
Makalah ini, tentunya masih jauh dari kesempurnaan karena kami juga
masih

dalam proses pembelajaran.

Oleh

karena

itu, kritik

dan

saran sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk
para pembaca. Terima kasih atas perhatiannya dan jikalau ada kesalahan kata
maupun tulisan Kami mohon maaf.


Inderalaya, Februari 2016

Penulis

i

2

DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................................i
Daftar Isi............................................................................................................ii
Bab I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penulisan Makalah.................................................................... 2
Bab II : BATASAN KONSEP
2.1 Definisi Paradigma dan Definisi Sosial...............................................3
2.2 Pengertian Teori Etnometodologi.................................................5

2.3 Hubungan Paradigma Definisi Sosial dengan Teori Etnometodologi..8
Bab III : PEMBAHASAN
3.1 Masalah Kemiskinan pada Etnis Papua................................................10
3.2 Penyebab Kemiskinan pada Etnis Papua.......................................19
3.3 Upaya Mengatasi Kemiskinan pada Etnis Papua..............................20
Bab IV : PENUTUP
Kesimpulan......................................................................................22
Daftar Pustaka......................................................................................23

ii
3

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah suatu Negara yang banyak mempunyai beraneka ragam

suku, etnis, ras dan agama. Banyak sekali kekayaan alam yang tersebar dari

Sabang sampai Merauke. Tidak hanya kaya akan alam tetapi Indonesia juga kaya
akan budayanya berupa suku, etnis, ras, dan berbagai agama (SERA) yang
berbeda – beda dan setiap daerah mempunyai budaya masing-masing. Suku-suku
di daerah pedalaman Indonesia masih kental akan warisan nenek moyang mereka,
yang dijaga dan dilestarikan secara turun temurun dari jaman dulu sampai saat ini.
Ada nilai positif dan negatif dari keanekaragaman yang ada di Indonesia.
Sisi positifnya adalah Indonesia akan penuh dengan keragaman budaya karena
tidak semua Negara mempunyai keanekarageman seperti yang ada di
Indonesia.Sisi negatifnya adalah rawan terjadi konflik di kalangan masyarakat.
Jika terjadi konflik di kalangan masyarakat secara terus menerus tentunya akan
menurunkan citra Indonesia di mata internasional serta, mengancam ketahanan
nasional. Bukan hanya ketahanan yang akan terancam tetapi persatuan dan
kesatuan

antarmasyarakat

di

Indonesia


juga

akan

terpecah

sehingga

mengakibatkan banyak Negara yang akan memanfaatkan keadaan tersebut.
Hal ini berhubungan erat dengan teori dalam ilmu Sosiologi dalam
meninjau permasalahan dalam masyarakat terutama persoalan yang menyangkut
etnis, dalam makalah ini kami mengangkat konflik yang terjadi di Papua untuk
dianalisis lebih lanjut mengenai penyebab masalah pada etnis Papua melalui
Paradigma Definisi Sosial. Selain daerah yang rentan terjadi konflik antar suku,
Papua juga dimasukkan ke dalam daerah dengan angka indeks kemiskinan yang
tinggi dan daerah yang mempunyai tingkat perbedaan yang tinggi dengan Jakarta.
Tantangan-tantangan yang berhubungan dengan kemiskinan di Indonesia tidak

4


hanya berkaitan banyaknya jumlah penduduk miskin, tetapi juga besarnya
perbedaan antar daerah-daerah, propinsi-propinsi, kabupaten-kabupaten dan kotakota.

1.2

Rumusan Masalah
1. Apa masalah sosial yang terjadi pada etnis Papua?
2. Mengapa kemiskinan terjadi pada etnis Papua?
3. Bagaimana upaya mengatasi kemiskinan pada etnis Papua?

1.3

Tujuan Penulisan Makalah
1. Sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Sistem Sosial Budaya
Indonesia.
2. Untuk lebih memahami apa yang dimaksud dengan Paradigma
Definisi Sosial.
3. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan etnometodologi.
4. Untuk mengetahui penyebab masalah kemiskinan yang terjadi di
Papua.

5. Untuk mengetahui solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan di
Papua.

5

BAB II
BATASAN KONSEP
2.1 Pengertian Paradigma dan Definisi Sosial
Istilah paradigma cenderung merujuk kepada dunia pola pikir atau pun
teknis penyelesaian masalah yang dilakukan oleh manusia. Istilah yang satu ini
pertama kali diperkenalkan oleh seorang ilmuan bernama Thomas Kuhn melalui
buku buatannya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution. Saat
pertama kali diperkenalkan, istilah Paradigma tidak dijelaskan secara gamblang
oleh Thomas Khun. Pada waktu itu, paradigma hanya diutarakan sebagai
termonologi kunci yang dipakai dalam model perkembangan ilmu pengetahuan
saja. Beberapa saat kemudian, barulah istilah Paradigma terdefenisi secara jelas
oleh Robert Fridrichs (merupakan orang pertama yang mengungkapkan apa itu
paradigma secara jelas dan gamblang).
Secara etimologis, istilah paradigma pada dasarnya berasal dari bahasa
Yunani yaitu dari kata “para” yang artinya di sebelah atau pun di samping, dan

kata “diegma” yang artinya teladan, ideal, model, atau pun arketif. Sedangkan
secara terminologis, istilah paradigma diartikan sebagai sebuah pandangan atau
pun cara pandang yang digunakan untuk menilai dunia dan alam sekitarnya, yang
merupakan gambaran atau pun perspektif umum berupa cara – cara untuk
menjabarkan berbagai macam permasalahan dunia nyata yang sangat kompleks.
Selain pengertian di atas, berikut pengertian kata paradigma yang coba
diutarakan oleh para ahli :
Thomas Kuhn

6

Menurut Thomas Kuhn, pengertian paradigma adalah landasan berpikir atau
pun konsep dasar yang digunakan / dianut sebagai model atau pun pola yang
dimaksud para ilmuan dalam usahanya, dengan mengandalkan studi – studi
keilmuan yang dilakukannya.
Robert Freidrichs (1970)
Menurut Robert Freidrichs, paradigma merupakan kumpulan tata nilai yang
membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga
terbentuk citra subjektif seseorang terhadap realita sehingga berujung pada
ketentuan bagaimana cara untuk menangani realita tersebut.

Menurut Patton(1975)
Sebuah pandangan dunia, sebuah sudut pandang umum, atau cara untuk
menguraikan kompleksitas dunia nyata.
C. J. Ritzer (1980)
Menurut C. J. Ritzer, paradigma adalah pandangan mendasar para ilmuan
mengenai apa yang menjadi pokok permasalahan yang seharusnya dipelajari oleh
satu cabang ilmu pengetahuan tertentu.
Guba
Menurut Guba, pengertian paradigma adalah sekumpulan keyakinan dasar yang
membimbing tindakan manusia.

 Pradigma Definisi Sosial
Paradigma sosial tidak berangkat dari sudut pandang fakta sosial yang
objektif, seperti struktur-struktur makro dan pranata-pranata sosial yang
ada di dalam masyarakat. Paradigma definisi sosial justru bertolak dari
proses berpikir manusia itu sendiri sebagai individu. Dalam merancang

7

dan mendefinisikan makna dan interaksi sosial, individu dilihat sebagai
pelaku tindakan yang bebas tetapi tetap bertanggung jawab. Artinya, di
dalam bertindak atau berinteraksi seseorang tetap di bawah pengaruh
bayang-bayang struktur sosial dan pranata-pranata dalam masyarakat.
Tetapi fokus perhatian paradigma ini tetap pada individu dengan
tindakannya itu. Jadi, menurut paradigma definisi sosial tindakan sosial
tidak pertama-tama menunjuk kepada struktur sosial tetapi, sebaliknya
bahwa struktur sosial itu merujuk pada agregat definisi (makna tindakan)
yang telah dilakukan oleh individu-individu anggota masyarakat itu.
(Veeger, 1993).

2.2

Pengertian Teori Etnometodologi
Istilah etnometodologi (ethnomethodology), yang berakar pada bahasa

Yunani, berarti “metode” yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah
kehidupan sehari-hari. Bila dinyatakan secara sedikit berbeda, dunia dipandang
sebagai penyelesaian masalah secara praktis secara terus menerus .Manusia
dipandang rasional, tetapi dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari,
mereka menggunakan “penalaran praktis,” bukan logika formula.
Sebagaimana yang akan kita lihat, Etnometodologi tak lebih hanya dari teori
perilaku yang abstrak. Ia merupakan teori yang empiris mengenai bagaimana
orang

menangkap

pengalaman

sosialnya

sehari-hari.

Secara

empiris

Etnometodologi mempelajari konstruksi realitas seseorang disaat interaksi
berlangsung.
Walaupun pendekatan ini timbul di tahun 1950-an, doktrinnya dikuliahkan
oleh

Harold

Garfinkel

di

West

Coust-UCLA,

tetapi

perkembangan

Etnometodologi prakarsa Garfinkel, murid, serta mahasiswanya baru disadari
profesi-profesi lain setelah akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an.
Mengingat peranannya begitu besar sebagai penemu, maka pembahasan ini kita
pusatkan pada perumusan Gafinkel sendiri.

8

“Kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat dan rangkaian prosedur dan
pertimbangan (metode) yang dengannya masyarakat bisa dapat memahami,
mencari tahu, dan betindak berdasarkan situasi dimana mereka menemukan diri
mereka sendiri.” (Heritage, 1984:4)
Etnometodologi memusatkan perhatian pada kehidupan sehari-hari.
Penggambaran Grafinkel tentang etnometodologi sebagai realitas objektif yang
terdapat fakta sosial didalamnya. Etnometodologi mencari capaian praktis yang
dihasilkan pada tingkat lokal dan endogen. Hal ini, dapat diorganisasikan secara
ilmiah, dilaporkan secara reflektif, berkesinambungan, pencapaian praktis, selalu,
hanya, pasti dan menyeluruh, tanpa henti dan tanpa peluang menghindar,
melampaui, atau menunda.
Salah satu pendirian Grafinkel mengenai etnometodologi yakni “dapat
dijelaskan secara reflektif”. Para aktornya menekankan pada analisis maupun cara
yang diberikan dan diterima (atau di tolak) oleh orang lain. Dalam menganalisis
penjelasan para pakar etnometodologi menganut pendirian ketakacuhan
etnometodologis. Artinya, mereka tidak menilai sifat dasar penjelasan, tetapi lebih
menganalisis penjelasan itu dilihat dari sudut pandang bagaimana cara penjelasan
itu digunakan dalam tindakan praktis. Mereka memperhatikan penjelasan dan
metode yang digunakan pembicara dan pendengar untuk mengajukan, memahami
dan menerima atau menolak penjelasan.1
 Diversifikasi Etnometodologi
Zimmerman

menyatakan

ada

beberapa

jenis

etnometodologi.



Etnometodologi mencakup sejumlah penyelidikan yang kurang lebih berbeda dan
adkalanya saling bertentangan.” (1978:6)
Studi setting institusional. Studi yang dilakukan dengan setting santai
dan noninstitusional seperti rumah. Kemudian dilanjutkan ke arah studi praktik
sehari-hari, di berbagai setting institusional ruang pengadilan, setting rumah sakit,
dan kantor polisi. Tujuannya adalah memahami bagaimana orang atau pekerja
1

Teori Sosiologi Modern, George Ritzer- Douglas j. Goodman, 2008, halaman 324

9

menjalankan tugas-tugas resmi mereka, dalam proses tersebut, membangun
institusi tempat dijalankannya tugas-tugas tersebut.
Analisis percakapan. Tujuan dari analisis ini adalah “memahami secara
rinci struktur-struktur fundamental interaksi percakapan”(Zimmerman, 1988:429).
Analisis ini didasarkan pada asumsi bahwa percakapan adalah prinsip dari bentukbentuk relasi antar pribadi lainnya (Gribson, 2000)
 Etnometodologis dalam penelitian kuantitatif
Etnometodologis berupaya untuk memahami bagaimana masyrakat
memandang, menjelaskan, dan menggambarkan tata hidup mereka sendiri. Teori
ini berusaha memahami bagaimana orang-orang mulai melihat, menerangkan, dan
menguraikan keteraturan dunia tempat mereka hidup. Seorang peneliti kuantitatif
yang menerapkan sudut pandang ini berusaha menginterpretasikan kejadian dan
peristiwa sosial sesuai dengan sudut pandang dari objek penelitiannya.2
 Etnometodologi dalam metode penelitian kuallitatif
Metode kualitatif seperti yang didefinisikan oleh Tylor dan Bogdan adalah
suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Arti deskriptif itu
sendiri mengacu pada ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari
orang – orang (aktor/subyek) itu sendiri. Pendekatan ini langsung menunjukan
plot daripada sang aktor dalam setting itu secara keseluruhan, individu dalam
batasan yang sangat holistik (Furchon, 1992:19-20 & Maleong, 2004:4).
Jane Richie mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai upaya untuk
menyajikan dunia sosial, dan perspektif – perspektif di dalam dunia, dari segi
konsep, perilaku, persepsi dan persoalan manusia yang diteliyti (Maleong,
2004:6). Definisi ini mengajak kita untuk memahami hubungan antara
etnometodologi

dan

kualitatif.

Dalam

kerangka

penelitian

kualitatif,

etnometodologi berperan sebagai sebuah landasan teori dalam metode tersebut
(Maleong, 2004:14-24). Seperti yang diketahui etnometodologi berkutat pada
2

www.pustaka.ut.ac.id

10

studi dunia subyektif tentang kesadaran, persepsi dan tindakan individu dalam
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya sesuai dengan kaidah penelitian
kualitatif. Persamaannya adalah sama – sama menek ankan pada dunia subyektif
dengan fisiografi sosial yang dilibatinya.
 Sintetis dan Integrasi
Salah satu parameter etnometodologi dapat bersintetis dan berintregasi
adalah dengan meluasnya ke bidang yang searah dengan aliran utama sosiologi.
Contoh yang baik adalah analisis Heritage dan Greatbatch (1986) tentan metode
yang digunakan untuk menghasilkan tepuk tangan dari pendengar studi Clayman
(1993) tentang ejekan.3
Namun para ahli sosiologi menyadari bahwa harus ada tindakan untuk
membatasi perkembangan etnometodologi karena dianggap berkembang ke arah
berlawanan dengan sintetis teoritis.

2.3

Hubungan

Paradigma

Definisi

Sosial

dengan

Teori

Etnometodologi
Menurut Ritzer merupakan suatu ilmu yang berparadigma majemuk, karena
mempunyai tiga paradigma yaitu paradigma fakta sosial, paradigma definisi
sosial, dan paradigma definisi sosial. Menurutnya ketiga paradigma tersebut
dibedakan satu dengan yang lain dengan tiga hal.
1. Acuan atau contoh yang dijadikan teladan
2. Teori
3. Metode
Menurut Ritzer metode penilitian yang kita gunakan sangat tergantung pada
paradigma yang kita anut. Paradigma Definisi sosial berorientasi pada karya Max
3

Teori Sosiologi Modern, George Ritzer- Douglas j. Goodman, 2008, halaman 352

11

Weber mengenai tindakan sosial dalam paradigma ini pokok bahasan s.osiologi
terdiri atas definisi situasi serta dampaknya terhadap tindakan sosial
Paradigma definisi sosial dikemukakan oleh Weber sebagai studi tentang
tindakan sosial antar hubungan sosial.maksud dari tindakan sosial yakni tindakan
individu yang mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan
kepada orang lain. Sebaliknya tindakan individu yang diarahkan kepada benda
mati atau objek fisik semata tanpa ada hubungan dengan orang lain bukan
merupakan tindakan sosial.
Dari pendapat diatas dapat dikaitkan hubungan antara Paradigma definisi
sosial dengan Teori entometodologi adalah Teori etnometodologi merupakan
salah satu kajian dari definisi sosial yang merupakan bagian dari paradigma.
Paradigma definisi sosial yang memfokuskan untuk mempelajari tindakan
sosial memiliki hubungan erat dengan teori etnometodologi yang juga
menitikberatkan pada studi mengenai kegiatan manusia sehari-hari.

12

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kemiskinan sebagai Masalah Sosial pada Etnis Papua
3.1.1 Pengertian atau Definisi Kemiskinan
Soekanto (1995:406) berpendapat bahwa kemiskinan diartikan
sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara
dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak
mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam
kelompok tersebut.
Berkaitan dengan posisi manusia dalam lingkungan sosial,
bukan kebutuhan pokok yang menentukan, melainkan bagaimana
posisi pendapatannya di tengah-tengah masyarakat sekitarmya.
Kebutuhan objektif manusia untuk dapat hidup secara manusiawi
ditentukan oleh komposisi pangan apakah bernilai gizi cukup dengan
protein dan kalori, sesuai dengan tingkat umur, jenis kelamin, sifat
pekerjaan, keadaan iklim, dan lingkungan alam yang dimilikinya.
Kesemuanya dapat tersimpul dalam barang dan jasa serta
tertuangakan dalam nilai uang sebagai patokan bagi penetapan
minimal yang diperlukan. Dengan demikian, garis kemiskinan dapat
ditetapkan melalui pendapatan minimal (versi Bank Dunia, di kota 75
dolar AS, dan 50 dolar AS di pedesaan, per jiwa setahun, 1973). Atas
dasar ukuran ini maka mereka yang hidup di bawah kemiskinan
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal dan
keterampilan.

13

2. Tidak memiliki kemungkinan unruk memperoleh aset produksi
dengan kekuatan sendiri seperti untuk memiliki tanah garapan dan
modal usaha.
3. Tingkat pendidikan mereka rendah, tidak sampai tamat sekolah
dasar karena harus membantu orang tua mencari tambahan
penghasilan.
4. Kebanyakan tinggal di desa sebagai pekerja bebas (self employed)
berusaha apa saja.
5. Banyak tinggal di kota berusia muda, dan tidak mempunyai
keterampilan.
3.1.2 Macam-Macam Kemisikinan
1. Kemiskinan absolut
Kemiskinan absolute yaitu kemiskinan yang dipandang dimana
orang-orang miskin melihat tingkat pendapatan di bawah garis
kemiskinan, atau pendapatannya tidak dapat memenuhi kebutuhan
hidup minimum. Kebutuhan hidup minimum yaitu antara lain pangan,
sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan, kalori, GNP
perkapita dan pengeluaran konsumsi.
Kemiskinan absolut diukur dari satu set standar yang konsisten,
tidak tergantung waktu dan tempat/negara. Sebuah contoh dari
pengukuran absolute yaitu persentase dari populasi mengonsumsi
makanan dibawah jumlah yang cukup menopang kebutuhan hidup
manusia (kira-kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki-laki dewasa).
Bank Dunia mendefenisikan kemiskinan absolute sebagai hidup
dengan pendapatan dibawah _USD $1/hari dan kemiskinan menengah
untuk pendapatan $2/hari. Dengan definisi ini maka diperkirakan pada
tahun 2001 1,1 milyar orang di dunia mengonsumsi kurang dari
$1/hari

dan 2,7 milyar orang di dunia mengonsumsi kurang dari

$2/hari.
14

2. Kemiskinan Relatif yaitu kemiskinan yang dilihat berdasarkan
perbandingan antara tingkat pendapatan dengan tingkat pendapatan
lainnya. Contoh, seseorang tergolong kaya (mampu)

pada desa

tertentu bisa jadi yang termiskin pada masyarakat desa lainnya.
Disamping itu,terdapat bentuk-bentuk kemiskinan tertentu yang
sekaligus

menjadi

faktor

penyebab

kemiskinan

(asal

mula

kemiskinan), yaitu : (1). Kemiskinan natural, (2) kultural, (3)
struktural.
a. Kemiskinan natural, keadaan miskin karena awalnya memang
miskin. Kelompok masyarakat ini tergolong miskin karena tidak
memiliki sumber daya, baik sumber daya alam, manusia,
pembangunan atau kalupun mereka ikut serta dalam pembangunan
mereka hanya mendapat imbalan pendapatan yang rendah. Menurut
Baswir, kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan
oleh factor-faktor alamiah karena cacar, sakit, usia lanjut, atau
bahkan bencana alam. Kondisi kemiskinan seperti ini menurut
Kartasasmita disebut “persisten porverty” artinya kemiskinan yang
kronis atau turun-temurun. Daerah seperti ini pada umumnya
adalah daerah yang kritis sumber dayanya atau daerah yang
terisolasi.
b. Kemiskinan kultural, mengacu pada sikap seseorang atau
kelompok, masyarakat yang disebabkan gaya hidup,kebiasaa hidup
dimana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasas
kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah untuk
diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha
memperbaiki dan mengubah tingkat kehidupannya. Akibatnya,
tingkat pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang dipakai
secara umum. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Baswir
bahwa ia miskin karena factor budaya seperti malas, tidak disiplin
dan boros.

15

c. Kemiskinan struktural, kemiskinan yang disebabkan oleh factorfaktor manusia, seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil,
distribusi asset produksi yang tidak merata,korupsi dan kolusi serta
tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok
masyarakat tertentu. Selanjutnya Sumodiningrat mengatakan
bahwa munculnya kemiskinan structural disebabkan karena
menangggulangi kemiskinan natural, yaitu dengan direncanakan
bermacam-macam

program

dan

kebijakan.

Namun

karena

pelaksanaannya tidak seimbang, pemilikan sumber daya tidak
merata, kesempatan yang tidak sama, menyebabkan keikutsertaan
masyarakat menjadi tidak merata pula. Sehingga menimbulkan
struktur masyarakat yang timpang.
3.1.3 Kemiskinan Struktural sebagai Masalah Sosial Etnis Papua

Kemiskinan bangsa ini berkaitan erat dengan struktur sosial yang
ada, diman rakyat mengalami ketidakberdayaan ketika menghadapi
struktur sosial didalam sedikit mengubah nasibnya. Kemiskinan yang
demikian ini sering disebut kemiskinan struktural . penganut teori
modernisasi pada umumnya, bahwa kemiskinan yang terjadi pada
seorang individu atau kelompok karena individu atau kelompok ini
malas atau berbudaya malas bejerja atau karena terus-menerus
menderita sakit. Dalam perspektif modernisasi jelas bahwa factor
utama penyebab kemiskinan adalah etos kerja,tidak dimilikinya etika
berwirausaha atau budaya yang tidak biasa kerja keras. Akan tetapi
dengan perspektif modernisasi, penganut strukturalis bahwa sumber
yang menyebabkan kemiskinan ialah struktur yang tidak adil dan ulah
kelas sosial yang berkuasa, yang sering kali mengeksploitas
masyarakat miskin dengan kekuasaan dan kekayaan yang dimilikinya.
Kemiskinan yang disebabkan karena struktur sosial inilah yang disebut
kemiskinan struktural yang dialami etnis dari Papua.
16

Selo Soemardjan mendefinisikan kemiskinan struktural sebagai
kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena
struktur sosial masyarakat ini memungkinkan golongan masyarakat ini
tidak menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya
tersedia bagi mereka. Secara teoritis, kemiskinan struktural dapat
diartikan sebagai suasana kemiskinan yang dialami oleh masyarakat
yang penyebab utamanya bersumber pada struktur sosial yang berlaku
sedemikian rupa sehingga keadaan kelompok yang termasuk golongan
miski tampak tidak berdaya mengubah nasibnya dan tidak mampu
mengubah keadaan hidupnya. Strukur sosial telah mengurung dan
mengekang mereka dalam suasana kemiskinan secara turun temurun
selama bertahun-tahun.
Sejalan dengan ini, kita dapat meninjau mengapa Papua termasuk
dalam kemiskinan struktural. Masyarakat Papua pada umumnya masih
memegang teguh nilai budaya dan adat setempat yang memiliki pola
pikir sederhana dengan keterbatasan sumber daya, ditambah lagi
kurangnya kesempatan bagi masyarakat Papua untuk ikut serta dalam
pengambilan keputusan. Hal ini kemudian menghalangi mereka untuk
mengakses dan memakai sumber daya yang ada (baik itu alam, sosial
ekonomi, politik, hukum atau budaya) yang adalah hak mereka. Sejak
era Orde Baru, kesempatan masyarakat asli Papua untuk terlibat dalam
sektor perekonomian sangat kurang. Masyarakat asli Papua tidak dapat
memenuhi

penghidupan

mereka

sendiri

karena

kebanyakan

kesempatan untuk mengembangkan usaha diberikan kepada mereka
yang sudah memiliki modal sendiri.
Kecenderungan untuk mempekerjakan penduduk non-Papua
menyebabkan rasa rendah diri di kalangan penduduk asli Papua serta
menciptakan ketidakseimbangan kesempatan yang juga membuah
semakin besarnya kesenjangan antar kelompok masyarakat antara
penduduk Papua dan non-Papua. Ketidakseimbangan kesempatan ini

17

berkontribusi dalam lokalisasi kekerasan struktural dan menimbulkan
kekecewaan di kalangan penduduk asli Papua. Di bagian selatan
Papua, pendatang non-Papua didatangkan untuk bekerja pada pelbagai
perkebunan investasiminyak kelapa sawit yang direncanakan akan
melebihi jumlah pekerja dari kalangan penduduk asli Papua.
Hal ini terlihat dari keadaan sebagai berikut: Papua memiliki dua
sektor perekonomian yang dominan, pertambangan dan pertanian,
yang menyumbangkan 76% dari total PDRB. Salah satu karakter
utama dari penduduk asli Papua adalah subsistensi. Namun, karakter
ini tidak sesuai dengan kesempatan yang disediakan oleh dunia usaha;
industri pertambangan padat modal menghasilkan 57% PDRB dan
hanya menyerap 0,6% angkatan kerja, sedangkan sektor pertanian
menghasilkan 19% PDRB dengan 75% angkatan kerja. Dalam sektor
bisnis, keterlibatan penduduk asli Papua sangat rendah dan hampir
semua pengusaha adalah migran. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan
perekonomian tidak mencerminkan keadilan distribusi termasuk akses
terhadap kebutuhan dasar. Ketidakadilan kesempatan berakar dari
prasangka dan rasisme yang diakibatkan oleh penduduk asli Papua
yang diposisikan sebagai inferior seperti yang terdokumentasi dalam
gagasan-gagasan dasar yang menjadi latar belakang perumusan
Undang-Undang Otonomi Khusus untuk Propinsi Papua dalam
bentuk wilayah dengan pemerintahan sendiri pada tahun 2001
mengenai kondisi penduduk asli Papua: 75% tidak memiliki akses
terhadap pendidikan yang layak, 50% tidak pernah mendapatkan
pendidikan formal atau tidak lulus dari sekolah dasar, 22% hanya lulus
dari sekolah dasar, 10% lulus dari sekolah menengah umum, dan 2%
lulus dari universitas. Dalam jajaran Pegawai Negeri Sipil hanya 35%
posisi Eselon II dalam Pemerintah Propinsi Papua yang ditempati oleh
penduduk Asli Papua dan untuk Eselon III hanya 26%.

18

3.1.4 Data Sekunder : Berdasarkan Wawancara dengan Mahasiswa
Universitas

Sriwijaya yang berasal dari Etnis

Papua

Kostan Gaston Ewani adalah mahasiswa FKIP jurusan penjas yang lahir
di Jayapura tanggal 10 Oktober 1996. Ia tinggal di Sintani yang berdekatan
dengan bandara Jayapura. Menurut pengamatan Kostan keadaan sosial di daerah
tempat tinggalnya masyarakat cenderung hidup mengelompok, sehingga terlihat
jelas adanya batasan antar suku. Mayoritas pekerjaan masyarakat di daerah tempat
tinggalnya berprofesi sebagai petani, nelayan, dan berdagang. Ia mengamati
keadaan ekonomi di daerah tempat tinggalnya melalui perbandingan harga barang
kebutuhan di Papua dengan kota Palembang ternyata berbeda jauh, harga barang
kebutuhan di Papua relatif lebih mahal mengingat barang yang dibutuhkan harus
didatangkan dari luar kota melalui akses pesawat terbang.
Menurut pengakuan dari Kostan daerah yang masih primitif hanya
beberapa daerah seperti Wamena, Puncak Jaya, Jalimo Tengah, Puncak Katens,
dan Mambramo. Sedangkan dia sendiri tinggal di Jayapura yang merupakan
daerah perkotaan di Papua yang cukup maju. Sedangkan di bidang pendidikan
untuk daerah primitif masih sangat kurang karena sangat jauh dari pusat perkotaan
dan sebagian besar daerah tersebut berada di daerah pegunungaan.
Berdasarkan pengamatan Kostan mengenai keadaan sosial, ekonomi,
serta pendidikan di Papua masih sangat jauh dengan kota-kota yang lain ia
berharap pemerintah lebih memperhatikan kota Papua terutama daerah yang

19

masih memegang teguh budaya-budaya lama yang menyebabkan mereka sulit
untuk menerima kemajuan-kemajuan zaman.
3.1.5

Data Sekunder :
Berita terkini dari Papua
“Enam Kebutuhan Sehari-Hari Ini Harganya Selangit di Papua”
Selain dikenal sebagai pulau dengan infrastruktur yang masih
sangat terbatas, Papua juga dikenal dengan harga-harga kebutuhan
pokok yang sangat mahal. Penyebabnya beragam, mulai dari minimnya
infrastruktur hingga kendala transportasi logistic. Selain itu, demografi
yang berbukit-bukit juga menjadi salah satu penyebabnya. Oleh karena
itu, kebutuhan pokok hanya bisa dikirim dengan menggunakan pesawat.
Tak heran harga-harga kebutuhan pokok di Papua sangatlah mahal
dibandingkan wilayah lainnya di Indonesia. Beberapa kebutuhan poko
berikut tercatat memiliki harga yang tak masuk akal.
 Air Mineral
Air mineral di Papua harganya bisa dibilang sangat-sangat mahal. Anda
perlu mengeluarkan Rp. 7.500 untuk segelas air mineral, dan Rp.
40.000 untuk ukran 1,5 liter. Sungguh sebuah harga yang fantastis
hanya untuk segelas air minum.
 Gas Elpiji
Gas elpiji 12 kilogram non-subsidi di Kota dan Kabupaten Sorong,
Provinsi Papua Barat belakangan ini mengalami kelangkaan serta harga
di tingkat pengecer mencapai Rp 500 ribu per tabung.
Informasi dari berbagai sumber juga menyebutkan jika sejumlah
pengecer elpiji Sorong menjual gas elpiji 12 kilogram non-subsidi di
kisaran Rp 400 sampai Rp 500 ribu per tabung, itupun dengan stok
terbatas.

20

 Nasi Padang
Jika di Pulau Jawa kita cukup membayar Rp.20.000-Rp.30.000 per
porsi nasi padang, di Papua tampaknya kita akan lebih memilih untuk
membawa bekal sendiri dari rumah. Harga seporsi nasi padang di Papua
mencapai Rp. 80.000 per porsinya. Cukup untuk makan 3-4 orang jika
kita membelinya di pulau Jawa.
 Bensin
Gubernur Papua Lukas Enembe merasa heran dengan hiruk pikuk yang
terjadi di Jakarta terkait rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak
(BBM) beberapa waktu lalu. Tentu saja, masyarakat Papua sudah sejak
lama harus membeli bensin dengan harga selangit, jauh dari harga
normal yan berlaku di pulau Jawa. Harga BBM di Papua lebih mahal
puluhan kali lipat daripada di Jakarta. Warga Papua harus membayar
sebesar Rp. 100.000 per liternya
 Semen
Tak heran sangat sulit mendapatkan harga yang murah untuk sebuah
rumah permanen di Papua. Hal itu tentu sangat beralasan, sebab harga
semen di Papua sangatlah mahal, bahkan bisa lebih mahal dari upah
tukang bangunannya sendiri, yaitu mencapai 2 juta Rupiah per saknya.
 Beras Kualitas Rendah
Bahan pangan yang sangat esensial bagi kehidupan warga Indonesia
yang mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok ini, juga tak luput
dari banderol yang sangat mahal di tanah Papua. Di Papua, kita harus
membayar kurang lebih 750 ribu untuk 25 kilogram beras. Harga
sefantastis itu semakin mencengagkan karena hanya diganjar dengan
beras kualitas rendah pula.
Sumber

:

http://infoterkini-15.blogspot.co.id/2016/02/harga-mahal-di-

papua.html

21

3. 2 Penyebab Kemiskinan Masyarakat Papua
1.

Rendahnya Tingkat Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan seseorang dapat memicu terjadinya
kemiskinan. Hal ini

karena individu tersebut tidak memiliki

pengetahuan atau pendidikan, keterampilan yang memadai yang dapat
digunakan untuk mencari penghasilan dan dapat menaikkan taraf hidup
individu tersebut serta mampu memenuhi kebutuhannya. Data
pemerintah daerah kabupaten Jayawijaya menunjukkan bahwa sebanyak
362 dari 598 guru-guru sekolah dasar hanya menyelesaikan pendidikan
sampai tingkat SMA atau SPG. Data tersebut menunjukkan masih
rendahnya taraf pendidikan masyarakat Papua.
2. KurangnyaKreativitas
Jika seseorang dapat menggunakan kretivitasnya, tidak dipungkiri
mereka dapat memiliki penghasilan yang dapat menaikkan taraf hidup
mereka. Mereka dapat menggunakan sarana prasarana dan segala aspek
yang ada untuk mencari dan mendapatkan sumber penghasilan.
3. Tingkat Kelahiran yang Tinggi
Tingkat kelahiran yang tinggi ini juga dapat memicu terjadinya
kemiskinan di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh adanya pengeluaran
biaya yang lebih besar, sehingga dapat dimungkinkan harta kekayaannya
lama kelamaan akan terkuras. Namun hal ini berbeda untuk kelompok
sosial yang memiliki penghasilan yang cukup bahkan lebih atau tetap.
Mereka menganggap masih mampu menghidupi anggota keluarganya.
Maka mereka tidak dianggap sebagai kelompok sosial miskin. Hal ini
tampak sebagian besar di kota-kota besar.
4. Pengaruh Lingkungan Hidup atau Tempat Tinggalnya
Lingkungan hidup dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan.
Seseorang yang berada di lingkungan miskin pasti akan ikut terbawa

22

arus kemiskinan. Apalagi individu-individu dalam kelompok tersebut
adalah individu-individu yang tidak mampu mengurusi dirinya sendiri
dan tidak mampu memenuhi kebutuhannya serta berada dalam
gelombang kebodohan atau kelompok yang anggota kelompoknya
senantiasa malas untuk bekerja.
5.

Keturunan
Tingkat ekonomi dari kelompok sosialnya dapat mempengaruhi
dengan jelas. Individu yang berasal dari golongan miskin, tidak menutup
kemungkinan akan memyebabkan ia ikut miskin. Karena orang tuanya
tidak mampu mencukupi segala kebutuhannya, sehingga mereka
menganggap kehidupannya adalah takdir yang telah digariskan oleh
Yang Maha Kuasa. Sehingga kurang adanya kemauan dan usaha untuk
mengubah keadaannya.

3.3 Upaya Mengatasi Kemiskinan Di Papua
Kemiskinan merupakan masalah multi dimensi dan lintas sector
yang dipengaruhi oleh factor yang saling berkaitan antara lain; tingkat
pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi,
geografis, jender, dan kondisi lingkungan.
Berikut beberapa Solusi dan Upaya untuk mengatasi masalah kemiskinan di
Papua :
1. Pembangunan dari Sudut Pandang Masyarakat bukan dari sudat pandang
penguasa karena yang mempunyai pembangunan itu rakyat;
2. Pemerintah Sebagai Fasilitator, Koordinator dan Pelaku Pembangunan
bukan hanya sebagai subjek pembangunan;
3. Menjaga Momentum Darurat (Emergency) supaya pembanguna di papua
selalu menjadi perhatian tiap saat;

23

4. Membuka Pusat Logistik untuk Titik-Titik Strategis Pembangunan karena
luas wilayah papua sulit dijangkau kalau terpusat di Jayapura;
5. Pembentukan TIM Terpadu Untuk Mempermudah Pelayanan agar dalam
pembangunan saling koordinasi antar unit pemerintah;
6. Konsisten untuk Membangun Kepercayaan;
7. Memberi Kepercayaan Berdasarkan Kompetensi sehingga tidak asal
menempatkan pejabat;
8. Perlu Kebijakan Penggunaan Anggaran Bersifat Khusus karena di papua
tidak semua sistem penggunaan anggaran nasional bias dijalankan;
9. Bekerja Ibarat Mesin Disertai Remunerasi. Penerapan renumerasi agar
tidak terjadi korupsi;
10. Pengawasan dan Pengendalian juga demi memastikan pembangunan
berjalan dan minimalisasi korupsi;
11. Perlunya Lembaga Satuan Anti Korupsi (SAK) di Papua;
12. Welcome Pada Investor Untuk Publik Private Partnership;
13. Membangun Perumahan dan Permukiman;
14. Mengembangkan Komunikasi Yang Humanis dan Rendah Hati;
15. Revitalisasi Pendidikan dan Revolusi Pengembangan SDM di Papua;
16. Distribusi Anggaran Melalui Tiga Komponen (Pemerintah, Adat dan
Agama);
17. Revitalisasi Kesehatan di Propinsi Papua.

24

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang sangat penting
untuk dikaji dalam bahasan teori etnometodologi. Kemiskinan sendiri terbagi lagi
sebagaimana pembahasan di atas. Sejalan dengan ini, kita dapat meninjau
mengapa Papua termasuk dalam kemiskinan struktural. Masyarakat Papua pada
umumnya masih memegang teguh nilai budaya dan adat setempat yang memiliki
pola pikir sederhana dengan keterbatasan sumber daya, ditambah lagi kurangnya
kesempatan bagi masyarakat Papua untuk ikut serta dalam pengambilan
keputusan. Hal ini kemudian menghalangi mereka untuk mengakses dan memakai
sumber daya yang ada (baik itu alam, sosial ekonomi, politik, hukum atau budaya)
yang adalah hak mereka. Sejak era Orde Baru, kesempatan masyarakat asli Papua
untuk terlibat dalam sektor perekonomian sangat kurang. Masyarakat asli Papua
tidak dapat memenuhi penghidupan mereka sendiri karena kebanyakan
kesempatan untuk mengembangkan usaha diberikan kepada mereka yang sudah
memiliki modal sendiri. Selanjutnya, setiap masalah pasti memiliki solusi.

25

DAFTAR PUSTAKA
Setiadi, Elly M dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi.
Sunanto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi Edisi Revisi. Jakarta : Lembaga
Penerbit FE UI.
Denzin, Norman K. 1969.Symbolic Interacsionisme and Ethnometodology: A
Proposed Synthetic. American Sosiology and view. 34 (Desember): 922934.
Hill, Richard J, dan Kathleen Stone Crittenden (Eds) : 1968.Processing of the
Purdue Symposium on Etnomethodology: Purdue Research Foundation.
Mehan, Hugh, dan Houston dan Houstonn wood. 1975.The Reality of
Ethnometodology. New York : John willey dan Sons, Inc.
Agus Sumule, Ph.D, Mencari Jalan Tengah: Otonomi Khusus Provinsi Papua.
2003. Jakarta: Gramedia.
Natalis, Pigai. Edisi 29 Juli 2012.Dialog Solusi Jakarta dan Papua. Jakarta: Opini
Koran Sinar Harapan.
Kompas. 2008. Ekspedisi Tanah Papua Laporan Jurnalistik. Jakarta : Penerbit
Kompas.
Poloma, M Margaret. 2003. Sosiologi Kontemporer. Jakarta : Rajawali Pers.
Veeger, J Karel. 1993. Pengantar Sosiologi, Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta
Gramedia Pustaka Utama.

26