Penanganan Pendidikan Anak Anak terlanta

Jurusan Pendidikan Agama Islam – FTIK – Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

PENANGANAN PENDIDIKAN ANAK-ANAK TERLANTAR
Oleh : Ali Rohmad
Jurusan Pendidikan Agama Islam – Fakultas Tarbiyah & Ilmu Keguruan (FTIK)
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung
A. Pendahuluan
Tidak dapat diingkari lagi, bahwa bagi kehidupan setiap bangsa,
pendidikan memiliki peran yang amat penting dalam menopang
kelangsungan pertumbuhan dan perkembangan bangsa tersebut menuju
pencapaian cita-citanya. Untuk itu, di Indonesia, setelah situasi dan
kondisi ketahanan nasional dalam pemerintahan orde baru dipandang
memungkinkan, sejak tanggal 2 Mei 1984 pemerintah mencanangkan
gerakan wajib belajar enam tahun pada Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan
Sekolah Dasar (SD) atau yang sederajat bagi anak usia sekolah (7-12
tahun), dan dalam jangka waktu sepuluh tahun kemudian terhitung sejak
tanggal 2 Mei 1994 pemerintah memperpanjang gerakan wajib belajar itu
menjadi sembilan tahun dengan memasukkan Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP) yakni Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Sekolah
Menengah Pertama (SMP) atau yang sederajad ke dalam jenjang
pendidikan dasar.

Wajib belajar enam tahun yang selama ini dinilai sangat sukses
menggiring anak-anak usia sekolah untuk menempuh pendidikan pada
sekolah dasar yang menurut pidato kenegaraan presiden Republik
Indonesia Soeharto di depan sidang Dewan Perewakilan Rakyat Indonesia
tanggal 16 Agustus 1991, bahwa tahun 1990-1991 partisipasi murni dari
26.013.400 penduduk usia 7-12 tahun mencapai 99.6%; terbukti belum
tuntas benar menggiring seluruh anak usia sekolah untuk bersekolah pada
sekolah dasar. Artinya, masih ada 0.4% anak-anak usia sekolah yang
tercatat oleh petugas pendataan/sensus penduduk yang tidak bersekolah
pada sekolah dasar, itu belum termasuk sejumlah anak terlantar yakni
anak-anak usia sekolah yang kehidupannya serba tidak berkecukupan,
tidak terpelihara, tidak terawat, dan tidak terurus yang tidak terjangkau

1

Jurusan Pendidikan Agama Islam – FTIK – Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

oleh rekaman petugas sensus penduduk atau petugas catatan sipil, sebagai
contoh yang menonjol adalah anak-anak yang hidup menjadi gelandangan
(Jawa : gelandangan cilik) yang lazim juga menjadi pengemis. Menurut

Menteri Sosial dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2 periode 20092014M, Salim Segaf Al Jufri, bahwa “anak terlantar di Indonesia yang
usianya dibawah 18 tahun terus bertambah dan kini jumlahnya telah
mencapai 5,4 juta orang”.1
Rekaman wartawan “Jawa Pos” terhadap sejumlah gelandangan
cilik yang biasa mangkal di sekitar stasiun kereta api Gubeng, Semut,
Pasar Turi di kotamadya Surabaya memperlihatkan bahwa mereka
melewati hidupnya sehari-hari secara berkelompok di tempat-tempat
tertentu, setiap kelompok bergabung antara empat hingga enam anak,
umurnya sekitar 7-16 tahun, kelompok itu tanpa ikatan apa-apa kecuali
ikatan rasa solidaritas yang terus menyala.2 Hampir dapat dipastikan,
bahwa gelandangan cilik seperti inipun terdapat di kota-kota lain dalam
wilayah Republik Indonesia bahkan juga di negara-negara lain sebagai
negara berkembang maupun negara maju.
Di tengah-tengah kehidupan gelandangan cilik yang penuh ketidak
pastian pakaian, makanan, tempat tinggal tersebut; penulis berkeyakinan
bahwa dalam diri mereka masih terdapat cita-cita untuk bersekolah demi
mempersiapkan masa depan yang lebih cemerlang. Namun karena untuk
dapat bertahan hidup sehari-hari saja begitu sulit, maka keinginan mereka
itupun kandas dan berantakan sebelum diupayakan realisasinya. Terkait
dengan ini, dalam catatan Forester dinyatakan, bahwa “Masalah paling

mendasar yang dialami oleh anak terlantar adalah kecilnya kemungkinan
untuk mendapatkan kesempatan dibidang pendidikan yang layak”.3

1

"Anak Terlantar RI Capai 5,4 Juta", Minggu, 14 Maret 2010, online,
http://www.antaranews.com/berita/177764/anak-terlantar-ri-capai-54-juta, diakses 10-032014.
2
Vide, “Kelompok Gelandangan Cilik yang Memburu Hidup di Surabaya”,
Jawa Pos, Maret 1986.
3
Forester, “Anak Terlantar : Generasi Harapan Bangsa yang Terlupakan”,
online, http://forester-rimbawan.blogspot.com/2009/04/anak-terlantar-generasi-harapanbangsa.html, diakses 10-03-2014.

2

Jurusan Pendidikan Agama Islam – FTIK – Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

Setelah mencermati gerakan wajib belajar yang telah dicanangkan
oleh pemerintah Republik Indonesia, dan mencermati pula kehidupan

komunitas gelandangan cilik; penulis merasa termotivasi untuk mengkaji
secara akademis mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penanganan
pendidikan anak-anak terlantar di Indonesia. Apalagi perjalanan era
reformasi sejak 1998 M telah memperlihatkan membawa perbaikanperbaikan tertentu, termasuk di bidang pendidikan.
B. Asal Usul
Tidak terlalu sulit menelusuri secara mendalam untuk menemukan
hal-hal yang menyebabkan seorang anak hidup menjadi gelandangan. Dari
penelusuran ini akan ditemukan beraneka ragam penyebab. Selanjutnya,
tentu tidak mudah menemukan mana penyebab terdominan yang
memunculkan hidup anak menjadi gelandangan dalam masyarakat.
Apabila diperhatikan dari asal usulnya, menurut hemat penulis,
keberaneka-ragaman penyebab timbulnya gelandangan cilik itu dapat
dibedakan menjadi dua macam saja. Pertama, karena keturunan
(hereditas), bahwa gelandangan cilik itu dilahirkan dari rahim seorang
wanita gelandangan yang secara naluriah memeliharanya sejak anak
tersebut masih berada dalam kandungan. Ini memperlihatkan, bahwa status
sosial sebagai gelandangan secara langsung dia dapatkan sejak sebelum
dilahirkan ke alam dunia. Dalam perkembangan selanjutnya, tentu saja
secara sosial dia akan amat kesulitan membebaskan dan melepaskan diri
dari kungkungan predikat sebagai gelandangan cilik dan dari status anak

gelandangan, lebih-lebih dia berpenampilan jembel, dan tidak mampu
mempersamai serta tidak mampu mendekati anak-anak non-gelandangan
dalam pergaulan sehari-hari. Kedua, karena lingkungan pergaulan antar
sesama manusia. Diakui atau tidak, terkadang pergaulan antar sesama
manusia itu dapat menjadi kejam, dapat menyengsarakan pihak-pihak
tertentu yang mungkin saja belum dapat dipastikan kuantitas dan kualitas
kesalahan yang dilakukannya. Maka dapat dimaklumi, bilamana sebagian
gelandangan cilik yang biasa terdapat di kota-kota besar selama ini adalah
berasal dari rahim wanita non-gelandangan yang semula hidup satu rumah
3

Jurusan Pendidikan Agama Islam – FTIK – Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

tangga bersama bapak, ibu, dan saudara-saudaranya; tetapi kemudian dia
meninggalkan (baca : minggat dari) rumahnya setelah ada sebab-sebab
tertentu yang secara langsung atau tidak langsung memaksanya.
Gelandangan cilik yang berasal dari rahim wanita non-gelandangan ini
tentu tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa dirinya akan
menjalani hidup yang demikian. Ada anak yang meninggalkan rumahnya
kemudian menjadi gelandangan cilik, karena diusir oleh orang tuanya

setelah kenakalannya dianggap keterlaluan dan memalukan keluarga suatu
misal menghabiskan uang hasil iuran di sekolah, karena merasa tidak tahan
dengan perlakuan ayah/ibu tiri yang dianggap kejam, karena hanyut oleh
rayuan manis orang lain seperti oknum penculik yang bermaksud
mentelantarkannya.4
C. Deskripsi Kehidupan
Gelandangan cilik bisa dikatakan sebagai anak terlantar, terasing,
lagi terisolir dari kehidupan khalayak ramai yang harus dikasihani dan
dinaikkan taraf kehidupannya. Lebih dari itu, gelandangan cilik menjalani
hidup dengan selalu mengembara/berkelana, berpindah-pindah dari satu
tempat ke tempat lain, tidak memiliki tempat tinggal yang tetap,
pakaiannya compang-camping dan lusuh, tidak ada yang bisa dimakan
melainkan sisa-sisa makanan yang tertinggal/terbuang di tempat-tempat
tertentu atau dari meminta-minta. Hal ini secara asosiatif dapat
menimbulkan kesan, bahwa gelandangan cilik itu tidur di tempat-tempat
kumuh dan jorok, mengorek-ngorek tempat sampah atau meminta-minta
guna mendapatkan makanan, tidak mendapatkan bimbingan dari orang
tuanya, tidak berpendidikan formal. Gelandangan cilik telah terbiasa
dengan ketidak disiplinan, terbiasa hidup dengan keinginan sendiri,
terbiasa hidup tanpa mengindahkan kaidah-kaidah normatif yang berlaku

umum dalam masyarakat.
Kalau senantiasa menjadi gelandangan, betapa suram/gelap
kehidupan masa depannya. Di samping itu, karena jumlah gelandangan

4

Vide, Ibid.

4

Jurusan Pendidikan Agama Islam – FTIK – Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

cilik itupun sampai saat ini tampak tidak semakin sedikit, maka
kesuraman/kegelapan hari depannya itupun dapat berpengaruh secara
negatif terhadap pelaksanaan pembangunan nasional. Kebuta hurufannya
sebagai akibat tidak berpendidikan formal serta kebiasannya tidak
mematuhi norma-norma yang berlaku umum dalam masyarakat, maka
secara jelas tidak akan mampu mendorong timbulnya partisipasi aktif
terhadap pelaksanaan pembangunan nasional, melainkan justru sebaliknya
secara jelas dapat menghambat pembangunan nasional, dan lebih dari itu

akan menambah beban kerja bagi pemerintah dan masyarakat yang selama
ini dirasakan sudah semakin berat. Ketidak-biasaannya mengendalikan diri
demi pencapaian tujuan nasional, secara jelas akan membutakannya
terhadap urgensi ketertiban, keteraturan, kedisiplinan, dan lain-lain sebagai
syarat utama mulusnya perputaran roda pembangunan nasional.
Karena manusia merupakan makhluq individu sekaligus makhluq
sosial, maka dalam pengembaraannya itu ternyata antar gelandangan cilik
itu dapat beraudensi dan kemudian membentuk kelompok-kelompok sosial
(social groups) berdasarkan rasa solidaritas sesama. Sehingga lingkungan
sosial merekapun bisa dibedakan menjadi dua macam, yaitu lingkungan
sosial primer dan lingkungan sosial sekunder.5 Lingkungan sosial primer
ditandai oleh adanya hubungan yang erat antara anggota satu dengan yang
lain, anggota yang satu saling kenal mengenal dengan yang lain.
Sebaliknya, lingkungan sosial skunder ditandai oleh adanya hubungan
yang longgar antara anggota satu dengan yang lain, anggota yang satu
dengan yang lain kurang/tidak saling kenal mengenal.
Dalam lingkungan sosial primer, bilamana terdapat gelandangan
cilik yang tertimpa musibah seperti sakit fisik yang mengakibatkan ia tidak
mampu pergi ke mana-mana, maka sebagai bukti solidaritas antar sesama
gelandangan cilik, teman-teman sekelompoknyalah yang merawatnya,

mencarikan makanan dan obat-obatan untuknya, bahkan sampai memberi
hiburan bagi yang sedang sakit tersebut.
5

Vide, Aswab Mahasin, Gelandangan : Pandangan Ilmuwan Sosial, 4th ed,
LP3ES, Jakarta, 1994, hal. 100.

5

Jurusan Pendidikan Agama Islam – FTIK – Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

Kondisi individu yang “serba tidak” di atas dan hidup dalam
lingkungan pergaulan yang secara edukatif tidak menguntungkan tersebut,
ternyata bisa memunculkan ciri-ciri khusus pada gelandangan cilik. Dari
sejumlah gelandangan cilik yang ditampung dan dibina dalam suatu
asrama di daerah rumah sakit Fatmawati Jakarta didapati ciri-ciri psikis
seperti di bawah ini.6
1. Lekas tersinggung perasaannya. Bilamana digoda oleh temannya,
gelandangan cilik lekas marah. Kemarahannya terkadang dilampiaskan
jauh melebihi penyebabnya, tidak proporsional terhadap teman yang

telah menggoda.
2. Lekas putus asa dan cepat mutung. Bilamana menghadapi persoalan,
gelandangan cilik tampak lekas putus ada, kemudian nekat menuruti
kemauan dirinya tanpa dapat dipengaruhi secara mudah oleh pihak lain
yang membantunya.
3. Menginginkan kasih sayang. Sebenarnya gelandangan cilik itu masih
menginginkan kasih sayang dari orang lain. Tetapi karena hampir tidak
pernah memiliki pengalaman mengenai aktualisasi kasih sayang, dia
tampak menjadi liar, merasa tidak terikat oleh siapa saja. Kemudian
dengan caranya sendiri, ternyata dia menunjukkan rasa keterikatannya
pada orang lain yang disenangi.
4. Bilamana diajak bicara, gelandangan cilik itu tidak mau bertatap muka,
tidak mau memandang orang lain secara terbuka, semacam ada rasa
curiga terhadap orang yang dianggap asing.
5. Perkembangan jiwa gelandangan cilik sangat labil. Ini sulit berubah
meskipun dia telah bertambah usia, telah diberi pengalaman

dan

ketrampilan khusus. Dalam pemberian pengalaman ini pertama-tama

dia tampak antusias, namun beberapa saat kemudian muncul
kemalasannya yang ditandai oleh tindakan membolos. Berarti dia sulit
bertahan dalam suatu pekerjaan yang menuntut pola tingkah laku
disiplin.

6

Vide, ibid, hal. 131-133.

6

Jurusan Pendidikan Agama Islam – FTIK – Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

6. Gelandangan biasanya telah memiliki suatu ketrampilan, hanya saja
cara mengaplikasikannya bisa jadi tidak mengikuti aturan normatif
tertentu.
Suatu hal yang patut disayangkan adalah dalam kondisi yang
“serba tidak” itu, ada saja pihak-pihak tertentu yang secara ekonomik
justru berusaha mengeksploitasi gelandangan cilik demi keuntungan
pribadi dan atau gank. Sejumlah gelandangan cilik dimanage/diorganisir
sedemikian rupa untuk menjadi peminta-peminta, pencuri, pencopet,
penjambret, pengamen, dan lain-lain yang harus bekerja keras. Setiap hari,
gelandangan

cilik

yang telah

masuk

perangkap

ini

diharuskan

menyetorkan harta benda seperti uang dalam jumlah yang telah ditetapkan
oleh penguasanya (baca : bos), bila tidak, dia akan mendapatkan hukuman
tertentu. Akibatnya, posisi gelandangan cilik yang demikian jelas lebih
tragis, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, penderitaan mereka bertumpuktumpuk dan seakan-akan tiada pernah berakhir. Keadaan seperti ini
merupakan kendala tersendiri yang harus diperhitungkan oleh pihak-pihak
yang

harus

menangani

pendidikan

mereka,

supaya

mampu

mengantisipasinya dengan setepat dan secermat mungkin.
D. Status Kewarga Negaraan
Yang disebut sebagai “penduduk Indonesia”, secara yuridis, adalah
berbeda dengan yang disebut sebagai “warga negara” Indonesia. Dalam
buku bahan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(P4) yang berwarna kunyit, disebutkan bahwa “penduduk Indonesia adalah
keseluruhan penghuni negara RI, baik yang warga negara Indonesia
sendiri maupun warga negara asing yang dalam jangka waktu tertentu,
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, berdomisili di
wilayah RI”.7 Sementara itu Undang-Undang Dasar 1945 bab X pasal 26
(1) menyebutkan bahwa “yang menjadi warga negara ialah orang-orang

7
Bahan Penataran P4, warna kunyit, BP7 Pusat, Jakarta, 1993, hal. 121-122.
UUD 1945 dan Perubahannya (hasil amandemen) Bab X pasal 26 ayat 2 menyatakan :
“Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di
Indonesia”.

7

Jurusan Pendidikan Agama Islam – FTIK – Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan
undang-undang sebagai warga negara”.8
Oleh karena sejumlah gelandangan cilik yang selama ini hidup
dalam kota-kota tertentu di Indonesia adalah berasal/dilahirkan dari dalam
daerah Indonesia, bukan berasal dari luar negeri, maka menjadi jelaslah
bahwa status mereka sebenarnya adalah sebagai Warga Negara Indonesia
(WNI) sekaligus sebagai penduduk Indonesia, meskipun belum/tidak
memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Dengan kata lain, mereka
berstatus sebagai warga negara Indonesia asli, rakyat Indonesia, orangorang yang bernaung di bawah pemerintah Republik Indonesia, juga
berstatus sebagai penduduk/penghuni negara Indonesia.
E. Penanggung Jawab
Diketahui bahwa batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 telah
memuat pasal-pasal mengenai hubungan antara negara dengan warga
negara. Pasal-pasal itu berisi konsep negara dalam berbagai aspek
kehidupan : politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan,
serta ke arah mana negara, bangsa, rakyat Indonesia akan bergerak
mencapai cita-cita nasionalnya sebagaimana termaktub dalam pembukaan
UUD 1945 alinea keempat. Pasal-pasal tersebut secara eksplisit mengatur
“hak” dan “kewajiban” bagi negara (baca : pemerintah) dan warga negara.
Hak

merupakan

istilah

untuk

menyebut

sesuatu

yang

harus

didapat/diterima oleh negara atau warga negara, sedang kewajiban
merupakan

istilah

untuk

menyebut

sesuatu

yang

harus

disampaikan/diberikan oleh negara atau warga negara.
Bangsa Indonesia memandang bahwa hak tidak terlepas dari
kewajiban. Hak dan kewajiban hanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat
dipisah-pisahkan. Hak dan kewajiban merupakan suatu kesatuan, dalam
arti setiap hak pasti mengandung kewajiban, dan sebaliknya setiap
kewajiban pasti mengandung hak. Secara global bisa dikatakan, bahwa
dalam hal-hal tertentu seperti pajak yang menjadi hak negara, maka

8

Bahan Penataran P4, warna merah putih, BP7 Pusat, Jakarta, 1993, hal. 6.

8

Jurusan Pendidikan Agama Islam – FTIK – Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

menjadi kewajiban warga negara untuk membayarnya; dan dalam hal-hal
tertentu seperti pendidikan yang menjadi hak warga negara, maka menjadi
kewajiban negara untuk mengusahakan sistem penyelenggaraannya.
Ditegaskan oleh UUD 1945 bab XIII pasal 31 (1) bahwa “tiap-tiap
warga negara berhak mendapat pengajaran”.9 Pengajaran itu lazim
dilaksanakan melalui jalur pendidikan sekolah yang diselenggarakan
melalui

kegiatan

belajar

mengajar

secara

berjenjang

dan

berkesinambungan : pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi. Ditegaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia
nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 11
ayat 1 bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan
layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan
yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.10 Karena di
atas telah dikatakan, bahwa gelandangan cilik yang selama ini terdapat di
Indonesia adalah warga negara Indonesia, berarti mereka itu berhak
mendapatkan pengajaran/pendidikan dan serendah-rendahnya adalah
pendidikan dasar, mereka harus tamat sekolah dasar enam tahun dan tamat
SLTP tiga tahun. Hak bagi mereka sebagai warga negara untuk
mendapatkan

pendidikan

tersebut

adalah

menjadi

kewajiban

negara/pemerintah Republik Indonesia untuk memenuhinya. Yang sudah
jelas, hak tersebut telah dinanti-nantikan kedatangannya oleh mereka,
meskipun penantian itu tampak tidak menarik perhatian para kuli tinta
untuk mengeksposnya.
Ditegaskan pula oleh UUD 1945 bab XIV pasal 34 bahwa “fakir
miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.11 Oleh karena
gelandangan cilik tersebut bisa dikategorikan sebagai amak-anak terlantar,

9

Ibid, hal. 7, dan dalam UUD Tahun 1945 dan Perubahannya (hasil
amandemen) bab XIII pasal 31 (1) “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”
(2) “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya”.
10
Undang-Undang Republik Indonesia nomoe 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, dalam file pdf.
11
Bahan Penataran P4, Warna Merah Putih, op.cit, hal. 8; vide, UUD Tahun
1945 dan Perubahannya (hasil amandemen) bab XIV pasal 34 (1).

9

Jurusan Pendidikan Agama Islam – FTIK – Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

maka negara oleh pasal ini dituntut untuk memeliharanya. Negara
Republik Indonesia sesuai dengan kemampuannya dituntut memenuhi
kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal, keamanan, kesehatan,
pendidikan dan sarana belajar yang memadai bagi sejumlah gelandangan
cilik yang berstatus sebagai warga negara Indonesia. Ini menunjukkan
bahwa penanganan pendidikan anak-anak terlantar di Indonesia adalah
yang utama menjadi tanggung jawab negara/pemerintah Republik
Indonesia yang dalam orde baru telah bertekad untuk melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen.
Namun karena UU RI nomor 20 tahun 2003 pasal 8 menyatakan
bahwa

“Masyarakat

berhak

berperan

serta

dalam

perencanaan,

pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan”,12 maka
untuk menangani pemeliharaan dan pendidikan anak-anak terlantar
tersebut, negara/pemerintah bisa melibatkan masyarakat seperti para
usahawan, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), dan yayasan pendidikan
lainnya.
F. Rekomendasi
1. Kepada pemerintah
a. Supaya anak-anak terlantar yang berstatus sebagai warga negara
Indonesia dapat memperoleh haknya dalam menempuh pendidikan,
minimal pendidikan dasar, sebaiknya pemerintah (Pemerintah
Pusat berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah Propinsi dan
Pemerintah

Daerah

Kabupaten/Kota)

terus

meningkatkan

pemeliharaan dan pembinaan terhadap mereka dari segi kuantitas
dan kualitas dalam tempat tertentu semisal diasramakan.
b. Supaya tidak semakin direpotkan mengurusi anak-anak terlantar
yang kuantitasnya tampak meningkat terus, sebaiknya pemerintah
berusaha meminimalisir laju pertambahan kelahiran mereka suatu
misal dengan jalan memandulkan gelandangan dewasa dan
gelandangan cilik melalui tindakan medis sterilisasi (vasektomi
12

Undang-Undang Republik Indonesia nomoe 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, dalam file pdf.

10

Jurusan Pendidikan Agama Islam – FTIK – Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung

dan tubektomi), serta terus meningkatkan pemasyarakatan Norma
Keluarga

Kecil

Bahagia

dan

Sejahtera

(NKKBS)

dalam

masyarakat.
2. Kepada masyarakat
Supaya tanggung jawab pemerintah dalam memenuhi hak
pemeliharaan dan pendidikan anak-anak terlantar dapat dilaksanakan
dengan semakin baik, sebaiknya masyarakat terus meningkatkan
partisipasi aktifnya dalam menangani mereka.
= HAR =

11