Perkembangan Analisa dalam Trajektori St

Perkembangan Analisa
dalam Trajektori Studi Politik
Indonesia
Rajif Dri Angga

Pengantar
Dinamika kepolitikan di Indonesia tetap menjadi daya tarik sekaligus
tantangan tersendiri bagi ilmuwan politik yang mengkaji Indonesia untuk
menjelaskan

fenomena

sosial

politik

dengan

keberagaman

corak


pendekatan. Trajektori studi politik Indonesia menawarkan bentangan
fenomena politik yang menantang para Indonesianis non-Indonesia untuk
mengkajinya lebih jauh dengan perspektif dan lokus analisa tertentu.
Perspektif

metodologis

kepolitikan

di

yang

Indonesia

digunakan
telah

ilmuwan


membawa

untuk

implikasi

mengkaji

logis

bagi

berkembangnya corak analisa tertentu yang secara generik mendominasi
kajian politik Indonesia. Lokus analisa yang dicoba ditelaah ilmuwan juga
merefleksikan

perkembangan

trend


kajian

tertentu

yang

acapkali

memberikan corak kekhasan trajektori politik Indonesia dari masa ke masa.
Dalam

melakukan

analisa

politik

Indonesia,


ilmuwan

politik

mengkategorisasikan fokus kajiannya ke dalam tiga trajektori, yaitu 1)
trajektori politik Indonesia era kolonial dan pasca kolonial awal (19451966), 2) trajektori politik Indonesia pasca kolonial, 3) trajektori politik
Indonesia pasca reformasi. Masing-masing trajektori memunculkan analisaanalisa politik yang bersandar pada basis teoritik dan ranah kajian
tertentu. Fokus bahasan utama dalam tulisan ini dititikberatkan pada
telaah mengenai review singkat atas analisa politik yang muncul pada
masing-masing

trajektori

politik.

Lebih

lanjut,

tulisan


ini

hendak

memetakan apa yang berbeda dan apa yang sama dalam cara Indonesianis
membaca kepolitikan di Indonesia sejauh yang dapat ditelisik dalam

tulisan-tulisan mereka. Selain itu, tulisan ini juga akan difokuskan pada
pembahasan mengenai pendekatan dominan sekaligus pendekatan yang
terpinggirkan dalam kajian analisa politik Indonesia.

Analisa

politik

dalam

trajektori


era

kolonialisme

dan

pasca

kolonialisme awal
Fase trajektori politik era kolonialisme ini dititikberatkan pada
pembacaan politik Indonesia dengan melihat basis sosial-ekonomi dan
budaya politik masyarakat. Dari kacamata analisa tersebut muncul kajian
mendalam tentang struktur sosial masyarakat Indonesia yang dikaji oleh JS
Furnivall. Dalam studinya, Furnivall (1939) memandang bahwa struktur
masyarakat Hindia Belanda bukanlah sebuah kesatuan entitas masyarakat
yang homogen melainkan masyarakat yang plural yang dihubungkan oleh
interaksi dan relasi ekonomi. Konsep ‘plural society’ Furnivall sedikit
banyak telah menjelaskan bahwa di dalam masyarakat yang plural terdapat
beberapa sistem sosial yang saling berdampingan satu sama lain tanpa
kesatuan


politik

yang

konkret.

Furnivall

juga

menekankan

bahwa

pembagian kerja didasarkan pada golongan etnisitas dan interaksi di antara
mereka hanya terjadi di pasar dalam mekanisme transaksional.
Kajian analisa politik Indonesia pada trajektori pasca kolonial awal
(1945-1965) diperkaya dengan karya etnografis Clifford Geertz (1981) yang
menjelaskan kajian tentang Indonesia dari basis budaya politik masyarakat.

Buku klasik The Religion of Java (diterjemahkan sebagai Abangan, Santri,
dan Priyayi) dapat dianggap telah memberi kontribusi nyata dalam melihat

masyarakat Indonesia dari perspektif di luar mainstream saat itu .

Tesis

yang diajukan Geertz adalah bahwa sistem sosial masyarakat Jawa secara
umum dibangun di atas basis struktur-struktur sosial yang berlainan
namun bersifat komplementer dan hidup berdampingan secara kultural Hal
ini dimungkinkan karena masyarakat tersebut secara aktif membentuk dan
mengorganisasi simbol-simbol sebagai sarana untuk mengaktualisasikan
integrasi dalam struktur sosial tersebut (Geertz 1981, hh. VII-VIII).

Analisa politik dalam trajektori pasca kolonialisme (1966-1998)
Dalam fase yang berlangsung selama periode kekuasaan Orde Baru
ini, analisis politik difokuskan pada kajian tentang karakter negara Orde
Baru dan relasinya dengan masyarakat dan kapitalis. Para Indonesianis
yang mengkaji politik Indonesia pada trajektori tersebut memberikan
labelisasi terhadap negara Orde Baru dengan poin kunci pada negara Orde

Baru dengan derajat otonomi tertentu. Fokus utama kajian pada trajektori
studi politik ini menitikberatkan pada sifat negara Orde Baru dan relasinya
dengan masyarakat. Bagian ini ini akan menjelaskan bagaimana para
Indonesianis menjelaskan negara Orde Baru dan labelisasi atas karakter
yang melekat pada rezim otoritarianisme ini. Trajektori pada masa ini juga
ditandai

dengan

terjadinya

pergeseran

dari

fokus

kajian

yang


menitikberatkan pada konstruksi nation-building dan identitas primordial
(etnisitas dan agama) menuju fokus kajian yang melihat negara sebagai
entitas yang hegemonik dan monolitik (Nordholt & Klinken 2007, hh. 4-5).
Kajian tentang politik Indonesia pada trajektori ini dipahami dengan
melihat negara sebagai aktor kunci dalam kontestasi politik. Indonesianis
Benedict R O’G Anderson (1983) dan Ruth McVey (1982) merupakan dua
ilmuwan politik yang mengkaji politik Indonesia dengan melihat negara
sebagai kekuatan dominan yang sama sekali otonom dari intervensi
kekuatan

dan

aktor

lain

termasuk

masyarakat.


Dalam

pandangan

Anderson, negara Indonesia yang diproklamasikan pada akhir Perang Dunia
II merupakan kelanjutan dari tatanan politik yang telah berlangsung di era
kolonial. Watak dasar yang melekat pada tatanan politik kolonial secara
integratif juga melekat dan teraktualisasi pada tatanan politik Orde Baru.
Dengan kacamata historis-komparatif, Anderson menjelaskan bahwa negara
Orde Baru harus dipahami sebagai negara yang otonom dan berdiri sendiri
terlepas dari kontrol masyarakat karena negara tumbuh lebih kuat dari
masyarakatnya. Sejalan dengan analisa Ben Anderson, Ruth McVey (1982)
menggunakan label ‘beambtenstaat’ yang dipakai oleh Harry J Benda (1966)
untuk menjelaskan birokrasi negara kolonial untuk membandingkannya
dengan karakter negara birokratis Orde Baru. Karakter dasar yang
dianggap sama dari kedua tatanan politik yang berbeda tersebut nampak

dari dominasi birokrasi baik sipil maupun militer, kebijakan floating mass,
dan pendekatan teknokratis dalam proses pembangunan.
Kajian tentang politik Orde baru juga diperkaya dengan analisa
tentang derajat otonomi relatif negara Orde Baru. Dalam fokus kajian ini,
muncul analisa Dwight King (1982) yang melihat politik Orde Baru sebagai
tatanan ‘bureaucratic authoritarianism’. Konsep ini sebenarnya pertama kali
diintrodusir oleh Guillermo O’Donnell untuk menjelaskan konteks yang
hampir serupa di Amerika Latin. Karakteristik dasar otoritarianisme
birokratis menurut King terletak pada hadirnya dominasi militer yang
oligarkis sebagai sebuah institusi yang berkolaborasi dengan teknokrat sipil
dalam pembuatan kebijakan. Menurut King, Orde Baru merupakan rezim
politik yang dikuasai oleh kolaborasi antara elit birokrasi sipil dan militer
yang menggunakan pendekatan teknokratis dalam pembuatan kebijakan
dan

penggunaan

mekanisme

demobilisasi

massa

demi

memastikan

ketertiban dan keselarasan.
Selain Dwight Y King, Olle Törnquist (1990) menjelaskan Orde Baru
sebagai fenomena ‘rent capitalist state’ dimana negara dengan kapasitas
sumberdayanya mampu menjadi subjek dengan otonomi relatif. Kekuatan
otonom negara didapat dari praktek memungut rente atas produksi dan
eksploitasi

sumberdaya

minyak

bumi.

Mengingat lemahnya

borjuasi

domestik, kelompok pemburu rente lahir dan berasal dari birokrasi negara
yang kuat. Negara menjalankan relasi timbal balik dimana negara bertindak
sebagai patron dan kapitalis domestik berperan sebagai klien yang
membutuhkan proteksi ekonomi.
Rezim Orde Baru yang dilabelisasi sebagai bentuk ‘bureaucratic
authoritarianism’ dan ‘rent capitalist state’ tersebut seringkali dibarengi

dengan mekanisme korporatisasi negara sebagai salah satu mekanisme
yang bertujuan untuk menciptakan keharmonisan dan keselarasan relasi
negara dan masyarakat dengan menghilangkan konflik antarkelas sosial.
Dalam konteks ini, Donald Porter (2005) menjelaskan korporatisme yang
dipahami sebagai sistem dari perwakilan kepentingan yang menghasilkan
‘kesatuan

yang

terencana’

dari

sebuah

kepentingan

asosiasional

masyarakat kepada struktur pembuatan keptusan dan arena pembuatan

kebijakan public di dalam negara. Bentuk ideal dari korporatisme ini sendiri
berupa pengakuan, perizinan dan keangotaan wajib dari kategori yang telah
didesain oleh negara.
Jika analisa Anderson, McVey, Dwight King, dan Porter senantiasa
menitikberatkan analisanya pada variabel negara yang berdiri kuat dan
mengkooptasi masyarakatnya, maka analisa politik yang akan dijelaskan ini
cenderung memandang pada pentingnya peran kapital dan arus-arus modal
internasional dalam menjelaskan fenomena negara Orde Baru (Nordholt &
van Klinken 2007, h. 6). Pendekatan ekonomi politis dan perspektif
strukturalis menawarkan alternatif pendekatan untuk membaca politik
Indonesia saat itu dengan menempatkan relasi negara dan bisnis sebagai
variabel kunci. Salah satu Indonesianis, studi Andrew McIntyre (1990)
dalam

sektor

tekstil

dan

farmasi

menjelaskan

bahwa

perubahan

fundamental secara masif telah terjadi dalam perekonomian Indonesia
dimana kelompok pengusaha telah terbentuk dan beroperasi di kancah
internasional (Nordholt & van Klinken 2007, hh. 6-7). Sejak tahun 1980-an,
representasi bisnis semakin menguat dan menjadi salah satu kekuatan
politik yang perlu diperhitungkan terutama pasca oil-boom ketika Orde Baru
merasa perlu melakukan perubahan basis ekonomi dan politiknya ke arah
yang lebih plural. Poin penting dalam studi tersebut adalah kontinuitas
relasi patron-klien yang terjadi antara negara dan bisnis di era tersebut.

Trajektori studi transisi politik (1990-an)
Fokus kajian utama dalam trajektori studi transisi politik Indonesia
yang berlangsung pada dekade 1990-an menjelaskan bagaimana pengaruh
munculnya wacana dan aktor pro demokrasi yang menempatkan dirinya
sebagai kekuatan oposisi terhadap legitimasi rezim Soeharto.

Dalam

trajektori ini, muncul analisa yang dijelaskan Anders Uhlin (1997) dengan
menitikberatkan

pada

relevansi

dan

signifikansi

peran

wacana

demokratisasi yang muncul sebagai fenomena difusi transnasional terhadap
perkembangan

kekuatan

oposisi

rezim

Orde

Baru.

Menurut

Uhlin,

munculnya aktor-aktor pro-demokrasi menjelang keruntuhan Orde Baru
sangat dipengaruhi oleh munculnya gagasan demokrasi yang melintasi

batas-batas teritori nasional dan pengaruh gerakan demokratisasi yang
terjadi di Filipina dan Eropa Timur. Pluralitas ideologi yang berkembang
pada dekade 1990-an mesti dipahami bukan saja dalam konteks domestik
melainkan dalam konteks yang lebih global.
Kajian yang hampir serupa juga nampak dari tulisan Edward Aspinall
(2005)

yang

berkembang

lebih

menekankan

sepanjang

periode

pada
akhir

dimensi
kekuasaan

aktor

oposisi

Soeharto.

yang

Menurut

Aspinall, munculnya kekuatan oposisi terhadap rezim Soeharto dipelopori
oleh

kelas

menengah

yang

semakin

berkembang

sebagai

dampak

perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat. Kelas menengah (terutama
yang berasal dari kalangan akademisi, LSM, mahasiswa, dan pengusaha)
dimungkinkan menjadi aktor oposisi yang kuat karena basis sumberdaya
yang dimiliki.

Analisa politik dalam trajektori pasca transisi (1998-sekarang)
Pasca keruntuhan rezim Orde Baru pada 1998, kajian politik
Indonesia mengalami pergeseran fokus dan lokus kajian dalam cara
ilmuwan menganalisa politik Indonesia. Seiring dengan kejatuhan rezim
otoritarianisme Orde Baru, sentralitas negara sebagai aktor yang omnipoten
mengalami degradasi dan pada akhirnya terdispersi baik dari segi fokus
maupun lokus. Di level fokus kajian, analisa politik yang diberkembang
pada periode pasca transisi tidak hanya menitikberatkan pada aktor negara
namun juga melibatkan aktor lain di luar negara (civil society dan economic
society). Pada periode ini, negara tidak lagi menjadi aktor dominan dalam

politik Indonesia. Di level lokus kajian, penjelasan studi politik pada era
reformasi ditandai dengan pergeseran lokus kajian dari level nasional ke
level lokal. Memahami politik Indonesia yang berfokus pada negara tidak
lagi mampu menjelaskan dinamika politik Indonesia secara komprehensif.
Kajian politik Indonesia dalam trajektori pasca reformasi sedikit
banyak menjelaskan tentang munculnya aktor-aktor politik informal yang
berkompetisi satu sama lain dan mengambil alih sebagian peran dan
kapasitas negara. Dalam periode ini, muncul analisa tentang ‘local bossism’
oleh John T. Sidel (2005) yang menganalisa praktek informal politics di

Filipina, Thailand, dan Indonesia. Fenomena local bossism dipahami
sebagai munculnya local strongmen yang mengisi ruang ketidakhadiran
negara dalam konteks lemahnya kapasitas fungsi negara. Namun, praktek
local bossism tidak boleh semata-mata dipahami dalam konotasinya yang

negatif dan destruktif karena dalam realitasnya, kehadiran local bossism
justru berhasil menarik modal dan investasi yang implikasinya pada
pertumbuhan ekonomi.
Selain John T. Sidel yang menganalisa praktek local bossism dalam
politik di level lokal, kajian Syarif Hidayat (2007) juga menjelaskan
fenomena yang hampir serupa dalam konteks politik lokal di propinsi
Banten. Hidayat menjelaskan aktivitas negara bayangan (shadow state)
yang dimainkan oleh pebisnis penting di daerah tersebut yang menguasai
kontrak-kontrak penting dari pemerintah dan terus menerus berupaya
mengontrol DPRD

sebagai lembaga

legislatif sekaligus

otoritas

yang

mengangkat pejabat eksekutif (Hidayat 2007).
Analisa tentang informal politics di ranah politik lokal juga mendapat
kajian mendalam dari van Klinken dan Aspinall (2011) yang menjelaskan
kompetisi, korupsi, dan jalinan relasi yang melibatkan kelompok pengusaha
bisnis konstruksi dengan elit lokal dan birokrasi. Klinken & Aspinall
menjelaskan bagaimana pebisnis konstruksi yang sebagian besar berasal
dari mantan pejuang GAM menguasai bisnis konstruksi dan proses tender
dengan melakukan illegality dan pada tahap tertentu dibarengi dengan
mekanisme kekerasan. Berbeda Klinken dan Aspinall, Marcuse Mietzner
(2011) melihat aspek illegality dalam proses pendanaan pemilihan langsung
kepala daerah dimana para pengusaha mendanai proses pencalonan kepala
daerah dengan jaminan proteksi monopoli sumberdaya.
Dalam menjelaskan politik Indonesia, muncul ilmuwan politik seperti
Simon Phillpot (2000) dan Ariel Heryanto (2005) yang mengkaji Indonesia
dengan

pendekatan

discourse

analysis.

Keduanya

mengkaji

politik

Indonesia dengan menganalisa cara ilmuwan menganalisa politik Indonesia.
Menurut Phillpot, analisa tentang bagaimana politik Indonesia
dasarnya

tidak pernah

ada. Indonesia

hanya

dapat dibaca

pada

dengan

‘menghadirkan’ Indonesia sebagai konstruksi para ilmuwan yang mengkaji

Indonesia. Politik Indonesia adalah hasil dari konstruksi para Indonesianis
yang dianggap sebagai realitas.
Lebih jauh Heryanto menjelaskan bahwa apa yang dibayangkan orang
dalam menganalisa

politik Indonesia

perlu

dipahami bukan

sebagai

fenomena yang muncul by nature dalam nuansa yang bersifat a-historis dan
a-politis dengan implikasi pada kekaburan pemahaman atas konteks dan
lingkungan sosial-politik. Pergeseran tersebut setidaknya dapat dimengerti
secara lebih komprehensif dengan mengkaitkannya dengan konteks sosialpolitik

yang

melingkupinya.

Dominasi

pendekatan

tertentu

dalam

memahami politik Indonesia juga merefleksikan pergulatan mainstream
perspektif tertentu yang secara diskursif dipengaruhi oleh ideologi dan
konteks politik tertentu.

Pola keajegan dalam membaca politik Indonesia
Penjelasan singkat atas berbagai analisa para Indonesianis di atas
setidaknya dapat memberikan ilustrasi tentang variasi corak pendekatan
yang melahirkan kekhasan ilmuwan dalam membaca politik Indonesia.
Analisa terhadap struktur sosial masyarakat kolonial, labelisasi terhadap
rezim Orde Baru, serta kajian politik pasca transisi merupakan highlights
analisa politik yang dimunculkan sepanjang rentang trajektori kolonial
hingga periode transisi pasca Soeharto. Namun demikian, dari sekian
banyak analisa para Indonesianis tersebut akan ditemukan pola-pola
keajegan yang hampir selalu dimunculkan dalam menjelaskan seberapa
plural politik Indonesia. Keseluruhan analisa yang ada hampir selalu
menunjukkan kontinuitas pola-pola patrimonial baik selama periode pasca
kolonial hingga era pasca Soeharto.
Keajegan pola patrimonialisme dalam penjelasan para Indonesianis
terhadap politik Indonesia semakin meneguhkan anggapan bahwa politik
Indonesia

tidak

terlalu

banyak

berubah

dan

malah

menunjukkan

kontinuitas dengan periode sebelumnya. Desentralisasi kekuasaan dan
demokratisasi semata-mata hanya memindahkan praktek-praktek relasi
patron-klien dari level nasional ke level lokal. Relasi klientelistik antara
birokrasi negara dengan borjuasi lokal juga muncul kembali di aras lokal

yang ditandai oleh fenomena ‘informal poltics’ dalam proses pengambilan
kebijakan.
Pola rezim ‘neo-patrimonialisme’ David Brown (1994) menjelaskan
fenomena negara Orde Baru dengan melihat sisi personal Soeharto sebagai
patron yang dikelilingi oleh klien-klien yang saling berkompetisi satu sama
lain untuk mendapat akses yang lebih besar dalam monopoli sumberdaya.
Pola relasi klientelistik juga diketengahkan oleh analisa Törnquist (1990)
yang menjelaskan bahwa praktik mengumpulkan rente merupakan basis
material dari hubungan patron-klien dalam politik Indonesia. Lebih jauh, di
era pasca Soeharto, Nordholt (2005) juga kembali menekankan bahwa di
samping

menumbuhkan

demokrasi

di

tingkat

lokal,

kebijakan

desentralisasi juga membuka peluang bagi aktor informal untuk masuk ke
ranah politik lokal dalam relasi patron-klien. Pola yang sama juga menjadi
analisa John T Sidel (2005) ketika menjelaskan fenomena local bossism di
Indonesia, Filipina, dan Thailand. Demikian juga dengan analisa Syarif
Hidayat (2007) yang menganalisa praktek patronase yang melibatkan
Jawara sebagai fenomena ‘shadow

state’ dan

di saat yang hampir

bersamaan, van Klinken dan Aspinall (2011) juga menganalisa relasi
patron-klien dalam sektor bisnis konstruksi.
Kenyataan semacam itu setidaknya memberikan ilustrasi bahwa para
pengkaji politik Indonesia

masih

menempatkan pola

patrimonialisme

sebagai sebuah kontinuitas keajegan yang hanya sedikit bergeser ke
sentrum kekuasaan lokal. Analisa para Indonesianis semakin menegaskan
bahwa transisi pasca Soeharto yang dibarengi desentralisasi kekuasaan
tidak

banyak

membawa

perubahan

yang

berarti—kalau

bukan

kontinuitas—terutama menyangkut relasi negara, bisnis, dan aktor informal
lainnya. Sejauh yang dapat dilacak, pola patrimonialisme yang ada saat ini
hanya merupakan (meminjam istilah van Klinken) ‘changing continuities’
dari keajegan fenomena yang berlangsung—kalau harus dirunut—bahkan
sejak era kerajaan Nusantara (Nordholt & van Klinken 2007, h. 2).

Pergeseran fokus dan lokus
Jika

pola

patrimonialisme

dianggap

sebagai

pattern

sekaligus

karakter yang senantiasa dilekatkan dalam setiap analisa politik Indonesia,
maka harus diakui bahwa pergeseran fokus dan lokus kajian juga terjadi
secara

signifikan.

Demokratisasi

pasca

Soeharto

dan

desentralisasi

kekuasaan yang sedemikian besar membawa konsekuensi logis bagi
pergeseran fokus dan lokus tersebut. Keruntuhan hegemoni negara pasca
transisi demokrasi menandai kebangkitan aktor non-negara yang berupaya
menggantikan dominasi kekuatan negara terutama di level lokal. Analisa
politik Indonesia pasca Soeharto secara jelas menunjukkan pergeseran
semacam ini.
Pergeseran fokus kajian dalam analisa politik Indonesia

mesti

dipahami dalam konteks melemahnya dominasi kekuatan negara dengan
kekuasaan yang terdispersi sedemikian masif terutama pasca penerapan
desentralisasi (Nordholt 2005). Negara yang otonom dan kuat tidak lagi
dihadirkan sebagai aktor dominan dalam analisa ilmuwan yang mengkaji
politik Indonesia di era pasca Soeharto. Dalam trajektori politik di era ini,
para Indonesianis mulai menggeser fokus kajian dari monosentrisme
negara-nasional ke polisentrisme di level lokal. Kekuasaan tidak lagi dapat
dipahami secara lebih komprehensif hanya dengan melihat dinamika politik
nasional di Jakarta, melainkan mesti pula diperluas ke level dinamika
politik lokal.
Konteks pergeseran ini juga mesti dipahami dengan membandingkan
kajian politik Indonesia di era Orde Baru dengan analisa politik Indonesia
pasca Soeharto. Jika pada era Orde Baru, para Indonesianis menjelaskan
politik Indonesia dengan menitikberatkan pada aktor negara dengan derajat
otonomi tertentu yang dilabelisasi semacam state quo state, beambtenstaat,
bureaucratic authoritarianism, dan rent-capitalist state.

Trajektori politik

Indonesia pasca Soeharto diperkaya dengan analisa yang menekankan
aspek

informal

politics

di

ranah

lokal.

Aktor

non-negara

semakin

diperhitungkan sebagai salah satu kekuatan politik yang berpengaruh.

Perspektif dominan dalam analisa politik Indonesia
Selain dimensi keajegan dan pergeseran-pergeseran yang terjadi
dalam membaca politik Indonesia, kecenderungan munculnya perspektif
dominan juga dapat dikaji lebih jauh.

Sejauh yang dapat dipahami,

perspektif dominan dalam cara ilmuwan membaca politik Indonesia adalah
perspektif pluralis elit yang nampak dalam karya-karya mereka. Perspektif
pluralis elit mengasumsikan bahwa dalam struktur sosial masyarakat
selalu terdapat individu-individu dan kelompok-kelompok yang saling
berkompetisi

satu

sama

lain

dalam

mendapatkan

sumberdaya

dan

kekuasaan (Mas’oed 1989, h. xv). Menurut perspektif ini, negara dengan
derajat otonomi tertentu merupakan entitas yang dikuasai segelintir elit
penguasa dengan akses istimewa atas sumberdaya dan kekuasaan. Relasi
negara dengan kelompok bisnis menjadi kajian utama perspektif ini. Dalam
kubu besar perspektif pluralis, muncul analisa-analisa yang mengkaji
negara

Orde

Baru

dengan

labelisasi

state

quo

state,

bureaucratic

authoritarianism, neo-patrimonialism, dan bureaucratic polity.

Perspektif non-mainst ream dalam membaca politik Indonesia
Bagian

ini

akan

menjelaskan

perspektif

non-mainstream

yang

digunakan ilmuwan dalam mengkaji politik Indonesia. Setidaknya ada dua
pendekatan yang dianggap cukup jarang digunakan ilmuwan ketika
menjelaskan dinamika politik Indonesia; pertama, analisa kelas Max Lane
(2008) dan kedua, paradigma interpretif dalam karya Geertz (1981) serta
Klinken dan Aspinall (2011). Meskipun analisa Lane tidak dijelaskan dalam
uraian di atas, namun secara eksplisit penulis menempatkan kajiannya ke
dalam rentang trajektori pasca kolonial (1966-1998). Dalam menjelaskan
politik Indonesia, Lane menggunakan analisa kelas dengan mengkaji
bagaimana kedudukan dan relasi antar kelas yang ada di Indonesia. Lane
mengkategorisasikan

periode

sejarah

Indonesia

berdasarkan

basis

pertarungan antar berbagai kekuatan politik dominan.
Melalui analisa kelas, Lane menjelaskan fenomena Orde Baru sebagai
transformasi dari kasta ke kelas yang dikaitkan dengan pertumbuhan

ekonomi yang digariskan selama Orde Baru. Kebijakan pembangunan rezim
developmentalistik Orde Baru telah menghasilkan lapisan struktur sosial
yang didasarkan pada kelas dan bukan lagi stratifikasi kasta yang
diwariskan oleh Hinduisme. Namun demikian, dengan tidak adanya
industrialisasi sebagaimana yang terjadi di Eropa Barat, proses pembilahan
sosial tidak menghasilkan sebuah polarisasi antara kelas kapitalis dengan
kelas buruh. Hal ini berimplikasi pada skema hubungan industrial di
Indonesia yang didasarkan pada hubungan kekeluargaan paternalistik dan
bukannya hubungan diametral kelas pemodal dan buruh.
Proses pertumbuhan ekonomi telah menghasilkan apa yang Lane
labelkan sebagai kelas patron yang memiliki kontrol yang besar dalam
akses sumberdaya. Munculnya kelas patron disebabkan karena meskipun
terjadi transformasi dari kasta ke kelas, warisan kasta masih menyisakan
budaya patron-client dalam kehidupan sosial masyarakat. Menurut Lane,
kelas patron kapitalis ini lah yang mendominasi aspek penting dalam politik
dan ekonomi selama Orde baru dan bahkan pasca reformasi (Lane
2008).Terpinggirkannya analisa kelas dalam studi politik Indonesia tidak
dapat dilepaskan dari marginalisasi kelompok Kiri pasca berkuasanya Orde
Baru. Wacana pemikiran kiri tidak mendapat tempat dalam kajian politik
Indonesia seperti halnya analisa struktural lainnya, seperti Arief Budiman
dan

Richard Robison. Selain

itu, dominasi perspektif pluralis

yang

menitikberatkan pada relasi patron-klien juga membantu mengaburkan dan
mengingkari masalah-masalah kelas. Padahal, jika ditelisik lebih jauh,
Indonesia Orde Baru juga berkontribusi dalam memproduksi ketimpangan
kelas yang cukup tajam (Nordholt & van Klinken 2007, h. 11).
Selain analisa kelas, perspektif interpretif terutama etnometodologi
juga dapat dianggap sebagai perspektif non-mainstream dalam kajian
Indonesia.

Karya

Geertz (1981)

tentang

pembilahan

struktur

sosial

masyarakat Jawa dianggap paling mewakili karya antropologis dalam
memahami basis budaya politik masyarakat Jawa. Secara metodologis,
paradigma interpretif berupaya menjelaskan realitas sosial politik dari
perspektif objek yang ditelitinya. Dalam konteks ini, apa yang dijelaskan
dan dimaknai oleh masyarakat Mojokuto sebagai abangan, santri, dan

priyayi merupakan realitas sosial terlepas dari persoalan kategorisasinya
yang problematis. Selain itu, kajian Klinken & Aspinall (2011) mengenai
relasi informal politics dalam bisnis konstruksi juga dijelaskan dengan
metode etnografis dalam paradigma interpretif. Kedua ilmuwan ini berusaha
keluar dari mainstream pendekatan normatif dan institusionalis yang
mendominasi penjelasan mengenai permasalahan di sektor konstruksi di
Indonesia. keduanya menawarkan alternatif pendekatan lain yang tidak
sekadar mendasarkan analisanya pada asumsi normatif semata namun
berusaha memahami realitas yang ada dari pemaknaan dan interpretasi
masyarakat.

Kesimpulan
Analisa terhadap struktur sosial masyarakat kolonial, labelisasi
terhadap rezim Orde Baru, serta kajian politik pasca transisi merupakan
snapshot analisa politik yang dimunculkan sepanjang rentang trajektori

kolonial hingga periode transisi pasca Soeharto. Namun demikian, dari
sekian banyak analisa para Indonesianis tersebut akan ditemukan polapola keajegan yang hampir selalu dimunculkan di samping juga pergeseranpergeseran

dalam

menjelaskan

seberapa

plural

politik

Indonesia.

Keseluruhan analisa yang ada hampir selalu menunjukkan kontinuitas
pola-pola patrimonial baik selama periode pasca kolonial hingga era pasca
Soeharto. Demokratisasi pasca Soeharto dan desentralisasi kekuasaan yang
sedemikian besar membawa konsekuensi logis bagi pergeseran fokus dan
lokus analisa politik Indonesia.****

Daftar Referensi:
Anderson,

BRO’G

comparative

1983,

‘Old state

new

society:

Indonesia’s New

Order

in

historical perspectives’, Journal of Asian Studies, Vol. XLIII, no. 3,

hh. 477-496.
Aspinall, E 2005, Opposing Soeharto: compromise, resistance, and regime change in
Indonesia, Stanford University Press, California.
Benda, HJ 1966, ‘The pattern of administrative reforms in the closing years of Dutch rule in
Indonesia’, Journal of Asian Studies, no. 25, hh. 589-605.
Brown, D 1994, ‘Neo-patrimonialism and national integration in Indonesia’ dalam D
Brown, The state and ethnic politics in Southeast Asia, Routledge, NY.
Furnivall, JS 1939, Netherlands Indie, a study of plural economy.
Geertz, C 1981, Abangan, Santri dan Priyayi, Pustaka Jaya, Jakarta.
Hadiz, V R 2003, ‘Desentralization and democracy in Indonesia: a critique of neoinstitutionalist perspectives’, working paper series 53, City University of Hong
Kong, Hong Kong.
Heryanto, A 2005, ‘Ideological baggage and orientations of the social sciences in Indonesia’
dalam VR Hadiz & D Dhakidae (eds.), Social science and power in Indonesia,
Equinox Publishing Asia Pte Ltd, Jakarta & Singapore.
Hidayat, S 2007, ‘Shadow state..? Bisnis dan politik di Provinsi Banten’ dalam HS
Nordholt & G van Klinken (eds.), Politik Lokal di Indonesia, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
King, D 1982, ‘Indonesia’s New Order as a bureaucratic polity, a neo patrimonial regime or
bureaucratic authoritarian regime: What difference does it make?’
Anderson

&

A

Kahin

(eds.),

Interpreting

Indonesian

dalam

BRO’G

politics;

Thirteen

contributions to the debate, Cornell University Press, Ithaca.
Klinken, G van & Aspinall, E 2011, ‘Building relations: Corruption, competition, and
cooperation

in the construction industry’ dalam E Aspinall & G van Klinken (eds.),

The state and illegality in Indonesia, KITLV Press, Leiden.
Lane, M 2008, Unfinished nation: Indonesia before and after Suharto, Verso, London.
MacIntyre, A 1990, Businnes and Politics in Indonesia, Allen & Unwin, Sydney.

McVey, R 1982, ‘The beambtenstaat in Indonesia’ dalam BRO’G Anderson & A Kahin,
Interpreting Indonesian politics: thirteen contribution to the debate, Cornell
University Press, Ithaca NY.
Mas’oed, M 1989, Ekonomi dan struktur politik Orde Baru 1966-1971, LP3ES, Jakarta.
Mietzner, M 2011, ‘Funding pilkada: Illegal campaign financing in Indonesia’s local
elections’ dalam E Aspinall & G van Klinken (eds.), The state and illegality in
Indonesia, KITLV Press, Leiden.
Nordholt, H & van Klinken, G (eds.) 2007, Politik Lokal di Indonesia, Yayasan Obor
Indonesia.
Nordholt, HS 2005, ‘Decentralisation in Indonesia: Less State, More Democracy’ dalam
Törnquist, Politicising democracy, the new local politics of democratisation
International Palgrave, New York.
Philpott, S 2000, Meruntuhkan Indonesia: Postkolonial dan Otoritarianisme, LKiS,
Jakarta.
Porter, D 2005. Managing Politics and Islam in Indonesia. London : Taylor and Francis.
Sidel, JT 2005, ‘Bossism and Democracy in the Philippines, Thailand, and Indonesia:
Towards an Alternative Framework for the Study of ‘Local Strongmen’ dalam O
Tornquist, Politicising democracy, the new local politics of democratisation,
International Palgrave, New York.
Törnquist, O 1990, ‘Rent capitalism, state, and democracy’ dalam A Budiman (ed.), State
and civil society in Indonesia, Monash Asia Institute, Clayton.
Uhlin, A 1997, ‘The Indonesian pro-democracy movement and transnational diffusion of
democratic ideas’ dalam A. Uhlin, Indonesia and the third wave of democratization,
Curzon press, hh. 237- 250.