FIBRILLATION, DYSPHAGIA, SEX AND STROKE SEVERITY) TERHADAP KEJADIAN PNEUMONIA PADA PENDERITA STROKE AKUT

  2

  2 HUBUNGAN SKOR KLINIS A DS (AGE, ATRIAL FIBRILLATION, DYSPHAGIA, SEX AND STROKE SEVERITY) TERHADAP KEJADIAN PNEUMONIA

  PADA PENDERITA STROKE AKUT dr. Chairil Amin Batubara, M.Ked (Neu), Sp.S DEPARTEMEN NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP. H. ADAM MALIK, MEDAN 2015

KATA PENGANTAR

  Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya ilmiah ini dibuat untuk mewujudkan tridarma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat) dalam hal publikasi hasil penelitian.

  Dalam pelaksanaan Karya ilmiah, penulis telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik bantuan materi maupun bantuan dukungan moril. Rasa hormat dan terimakassih juga Saya persembahkan kepada (Alm) Prof. dr. Darulkutni Nasution, Sp.S (K) dan Dr.dr. Aldy S Rambe, Sp.S (K).

  Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua.

  Medan, September 2015 Penulis dr. Chairil Amin Batubara, Mked(Neu) Sp.S

  

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR

   i DAFTAR ISI ii DAFTAR TABEL iii DAFTAR SINGKATAN iv DAFTAR LAMPIRAN v

  Abstract vi

BAB I PENDAHULUAN

   1 I.1. Latar Belakang

   1 I.2. Rumusan Masalah

   4 I.3. Tujuan Penelitian

   4 I.3.1. Tujuan Umum

   4 I.3.2. Tujuan Khusus

   4 I.4. Hipotesis

   5 I.5. Manfaat

   5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

   6 II.1 STROKE

   6 II.1.1. Definisi

   6

   II.1.2. Faktor Risiko

   20 III.2.1. Populasi Sasaran

   21 III.4. Rancangan Penelitian

   21 III.3. Batasan Operasional

   21 III.2.5. Kriteria Eksklusi

   20 III.2.4. Kriteria Inklusi

   20 III.2.3. Besar Sampel

   20 III.2.2. Populasi Terjangkau

   20 III.2. Subjek Penelitian

   6 II.1.3. Klasifikasi

   20 III.1. Tempat dan Waktu

   19 BAB III METODE PENELITIAN

   17 II.5. KERANGKA KONSEPSIONAL

  II.4. SCREENING TEST UNTUK DISFAGIA

   11 II.3. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA 15 PNEUMONIA PADA PENDERITA STROKE

   9 II.2. PNEUMONIA PADA STROKE

   7 II.1.4. Patofisiologi

   23

III.5. Pelasanaan Penelitian

   23 III.5.1. Instrumen Penelitian

   23 III.5.2. Pengambilan Sampel

   23 III.5.3. Kerangka Operasional

   24 III.5.4. Variabel yang Diamati

   25 III.5.5. Analisa Statistik

   25 III.5.6. Jadwal Penelitian

   25 III.5.7. Biaya Penelitian

   26 III.5.8. Personalia Penelitian

   26 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

   27 IV.1. HASIL PENELITIAN

   27 IV.1.1 Karateristik Subjek Penelitian

   27

  2

  2 IV.1.2. Hubungan skor klinis A DS terhadap kejadian 29 pneumonia pada penderita stroke iskemik

IV.1.3. Nilai sensitifitas dan spesifisitas dari skor klinis 30

  2

2 A DS

  2

  2 IV.1.4. Hubungan tiap komponen skor A DS terhadap

   31 Kejadian pneumonia pada penderita stroke akut

IV.2. PEMBAHASAN

   33 IV.2.1. Karakteristik Demografi Subjek Penelitian

   33

  2

  2 IV.2.2. Hubungan tiap komponen skor A DS terhadap 34 Kejadian pneumonia pada penderita stroke akut

BAB V KESIMPULAN

   38 DAFTAR PUSTAKA

   39 LAMPIRAN

   44

  

DAFTAR TABEL

  Tabel. 1 Gambaran karakteristik demografik subjek penelitian

  2

  2 Tabel. 2 Hubungan skor A DS dengan insidens pneumonia pada

  penderita stroke iskemik

  2

  2 Tabel. 3 Nilai sensitifitas dan spesifisitas masing-masing dari skor A DS

  Tabel. 4 Hubungan usia dengan kejadian pneumonia pada penderita stroke akut Tabel. 5 Hubungan disfagia dengan kejadian pneumonia pada penderita stroke akut Tabel. 6 Hubungan seks dengan kejadian pneumonia pada penderita stroke akut Tabel. 7 Hubungan keparahan stroke (NIHSS) dengan kejadian pneumonia pada stroke akut

DAFTAR SINGKATAN

  2

2 A DS Age, Atrial Fibrillation, Dysphagia, Sex, And Stroke Severity

  SKRT Survei Kesehatan Rumah Tangga ASNA Asean Neurologic Association NIHSS National Institutes of Health Stroke Scale PIS Perdarahan intraserebral PSA Perdarahan subarakhnoid TIA Transient Ischemic Attack CDC Center for Disease Control PDPI Perhimpunan Dokter Paru Indonesia CT SCAN Computed Tomography Scan EKG Elektrokardiograf SPSS Statistical Product and Science Service FK USU Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP Rumah Sakit Umum Pusat

DAFTAR LAMPIRAN

  LAMPIRAN 1 LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN LAMPIRAN 2 LEMBAR PENGUMPULAN DATA LAMPIRAN 3 NATIONAL INSTITUTE OF HEALTH STROKE SCALE (NIHSS) LAMPIRAN 4 SCREENING TEST DISFAGIA

  2

2 LAMPIRAN 5 SKOR KLINIS A DS

  ABSTRACT Intoduction: Pneumonia is one of the most frequent medical complications of stroke, which is consistently associated with a high attributable

  2

  2

risk of early mortality in acute stroke. The A DS score is a new valid tool for

predicting poststroke pneumonia. The purpose of this study was to confirm our

  2

  2

hypothesized that there was association between A DS score and incidence of

pneumonia in acute phase of stroke patients.

  Methods: This cross sectional study observed 32 acute stroke patients who stayed in Adam Malik General Hospital from September until November 2012. Patients were excluded if admitted with pneumonia or others pulmonary infections and were using antiobiotics. A 10-point score was derived for prediction o f poststroke pneumonia ( Age ≥ 75 years = 1, Atrial fibrillation = 1, Dysphagia = 2, male Sex = 1, stroke Severity, National Institutes of Health

  2

  2 Stroke Scale 0 DS ). Patients were followed in

  • – 4 = 0, 5 – 15 = 3, ≥ 16 = 5 ; A acute phase and pneumonia was diagnosed based on Center for Disease Control criterias that were adopted by Indonesia Association of Lung Doctors.

  Results: There were 32 subjects in this study, consist of 40,6% male

and 59,4% female, with the mean of age 62,38 years. The proportion of

pneumonia varied between 6,25% in patients with a score of <5 point to 62,5% in patients with a score of ≥ 5 points. There was a significant associaton

  2

  2 between A DS score and incidence of pneumonia in patients with acute stroke (p=0,038), with a significant positive correlation (r = 0,200 ; p = 0,040). An

  2

  2 A DS score of ≥ 5 predicts with a sensitivity of 90,9% and a specificity of 70%

  2

  2 the occurrence of poststroke pneumonia; an A DS score of ≥ 6 yields a sensitivity of 90,9% and a specificity of 100%.

  Conclusion: There was a significant positive weak association between

  2

  2 A DS score and incidence of pneumonia in acute stroke patients, and this score had high sensitivity and spesificity in predicting poststroke pneumonia.

  Further prospective study with larger subjects is needed to confirm this study.

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Stroke merupakan salah satu sumber penyebab gangguan otak pada

  usia masa puncak produktif dan menempati urutan kedua penyebab kematian

  (1)

  sesudah penyakit jantung pada sebagian besar negara di dunia. Di Amerika Serikat, stroke menempati urutan ketiga penyebab kematian setelah penyakit

  (2)

  jantung dan kanker, Biaya perawatan stroke adalah sangat besar, pada tahun

  (1)

  2004 diperkirakan 53,6 miliar dolar Amerika. Di Indonesia, menurut survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, stroke merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan yang utama yang harus ditangani segera,

  (3)

  tepat dan cermat. Di Indonesia juga telah dilakukan penelitian yang berskala cukup besar oleh survei ASNA (Asean Neurologic Association) di 28 rumah sakit di seluruh Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada penderita stroke akut yang dirawat di rumah sakit, dan dilakukan survei mengenai faktor-faktor risiko, lama perawatan dan mortalitas serta morbiditasnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita laki-laki lebih banyak dari perempuan dan profil usia di bawah 45 tahun cukup banyak yaitu 11,8%, usia 45-64 tahun berjumlah

  

(4)

54,7% dan di atas usia 65 tahun 33,5%.

  Lebih dari 40% penderita stroke mempunyai prognosis outcome yang jelek, meliputi kematian, dan disabilitas dalam 3 bulan setelah serangan

  (5)

  stroke. Banyak penelitian telah mengidentifikasi komplikasi awal selama perawatan sebagai faktor potensial utama yang dapat dimodifikasi yang

  (6,7,8)

  mempengaruhi mortalitas dan morbiditas stroke. Infeksi saluran kemih dan terutama pneumonia merupakan komplikasi yang serius pada penderita stroke.

  (9)

  Komplikasi ini dilaporkan terjadi 5 – 65% pada penderita stroke akut. Penelitian Vermeij, dkk, 2009 mendapati 15% infeksi terjadi pada penderita stroke dalam 7 hari masa rawatan (stroke-associated infection), dimana 7,5%

  (9)

  menderita pneumonia dan 4,4% infeksi saluran kemih. Penelitian Koennecke HC, dkk, 2011, dalam waktu 3 tahun, mendapati dari 16.518 penderita stroke

  (10) iskemik dan hemoragik, 12,2% mengalami komplikasi berupa pneumonia.

  Pneumonia erat kaitannya dengan risiko mortalitas yang tinggi pada stroke fase akut, sehingga identifikasi yang segera pada pasien dengan risiko tinggi mendapatkan pneumonia dapat menentukan panderita stroke yang

  (6) memerlukan pengawasan ketat dan pengobatan profilaksis.

  Parameter klinis seperti keparahan stroke, disfagia, usia dan diabetes telah menunjukkan hubungan yang erat dengan pneumonia pada penderita

  (6)

  stroke. Penelitian Chumbler, dkk, 2010 mendapati bahwa usia > 70 tahun, disfagia, nilai NIHSS dan riwayat menderita pneumonia sebelumnya dapat

  (11)

  digunakan untuk mengetahui risiko pneumonia post-stroke. Penelitian Sellar, dkk, 2007 menyimpulkan bahwa pneumonia pada penderita stroke berkaitan dengan usia tua ( > 65 tahun ), disartria, keparahan disabilitas poststroke,

  (12) gangguan kognitif dan abnormalitas hasil tes menelan air.

  Namun demikian sampai saat ini belum didapati sistim skor untuk memprediksi pneumonia pada penderita stroke yang dapat digunakan dengan rutin secara klinis dan pada penelitian-penelitian. Hoffmann, dkk, 2012 meneliti

  2

  2

  suatu sistim skor A DS untuk memprediksi pneumonia pada penderita stroke iskemik akut. Dimana A=age (usia), A=atrial fibrilasi, D=disfagia, S=sex (jenis kelamin) dan S=stroke severity (keparahan stroke) yang dinilai dengan NIHSS.

  2

  2 Penelitiannya menyimpulkan skor A DS merupakan alat yang valid untuk

  memprediksi pneumonia post stroke dan mungkin sebagai petunjuk pengawasan pada penderita stroke dengan risiko tinggi menderita pneumonia atau penatalaksanaan profilaksis pneumonia. Dari penelitiannya tersebut

  2

  2

  didapatkan bahwa skor klinis A DS ≥ 4 memiliki sensitifitas 91% dan

  (6) spesifisitas 57% untuk memprediksi kejadian poststroke pneumonia.

I.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang penelitian yang dikemukakan di atas, maka dirumuskanlah masalah sebagai berikut, apakah terdapat hubungan skor klinis

  2

2 A DS terhadap kejadian pneumonia pada penderita stroke akut ?

I.3. Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan :

1.3.1 Tujuan Umum :

  2

  2 Untuk mengetahui hubungan skor klinis A DS terhadap kejadian pneumonia pada penderita stroke akut.

  1.3.2. Tujuan Khusus :

  2

  2

  1. Untuk mengetahui hubungan skor klinis A DS terhadap kejadian pneumonia pada penderita stroke akut yang dirawat di ruangan rawat inap Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan.

  2. Untuk mengetahui hubungan masing-masing komponen skor

  2

  2

  klinis A DS (age/usia, atrial fibrilasi, disfagia, sex/jenis kelamin dan

  stroke severity (NIHSS)) terhadap kejadian pneumonia pada penderita stroke akut yang dirawat di ruangan rawat inap Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan.

  3. Untuk melihat gambaran karakteristik demografi penderita stroke akut yang dirawat di ruangan rawat inap Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan.

  I.4. Hipotesis

  2

  

2

Ada hubungan skor klinis A DS terhadap kejadian pneumonia pada penderita stroke akut.

  I.5. Manfaat

  2

  2 Dengan mengetahui hubungan skor klinis A DS terhadap kejadian

  pneumonia pada penderita stroke akut, dapat diupayakan tindakan preventif terhadap kejadian pneumonia pada penderita stroke akut, sehingga outcome menjadi lebih baik.

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN II.1. STROKE II.1.1. Definisi Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat

  gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa ada

  (3,13)

  penyebab lain yang jelas selain vaskuler. Definisi ini mencakup stroke akibat infark otak (stroke iskemik), perdarahan intraserebral (PIS) non traumatik, perdarahan intraventrikuler dan beberapa kasus perdarahan

  (14) subarakhnoid (PSA).

  Iskemik adalah kurangnya aliran darah ke otak sehingga mengganggu

  (15,16)

  kebutuhan darah dan oksigen di jaringan otak. Sedangkan hemoragik adalah keluarnya darah ke jaringan otak dan ke ektravaskular di dalam

  (16) kranium.

II.1.2. Faktor Risiko

  Penelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai faktor-faktor yang dipertimbangkan sebagai risiko yang kuat terhadap timbulnya stroke.

  (1,15,17)

  Faktor risiko timbulnya stroke:

  1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :

  a. Umur

  b. Jenis kelamin

  c. Ras dan suku bangsa

  d. Faktor turunan e. Berat badan lahir rendah

  2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi

  a. Prilaku:

  1. Merokok

  2. Diet tidak sehat: lemak, garam berlebihan, asam urat, kolesterol, kurang buah

  3. Alkoholik

  4. Obat-obatan: narkoba (kokain), anti koagulansia, antiplatelet, amfetamin, pil kontrasepsi

  5. Kurang gerak badan

  b. Fisiologis

  1. Penyakit hipertensi

  2. Penyakit jantung

  3. Diabetes mellitus

  4. Infeksi/lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus

  5. Gangguan ginjal

  6. Kegemukan (obesitas)

  7. Polisitemia, viskositas darah meninggi & penyakit perdarahan

  8. Kelainan anatomi pembuluh darah

  9. Stenosis karotis asimtomatik

II.1.3. Klasifikasi

  Dasar klasifikasi yang berbeda

  • – beda diperlukan, sebab setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan, pencegahan dan prognosa yang berbeda,

  (18) walaupun patogenesisnya sama. I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya :

  1. Stroke iskemik

  a. Transient Ischemic Attack (TIA)

  b. Thrombosis serebri

  c. Emboli serebri

  2. Stroke Hemoragik

  a. Perdarahan intraserebral

  b. Perdarahan subarakhnoid

  II. Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu

  1. Transient Ischemic Attack (TIA)

  2. Stroke in evolution

3. Completed stroke

  III. Berdasarkan jenis tipe pembuluh darah

  1. Sistem karotis

  2. Sistem vertebrobasiler

  IV. Berdasarkan tipe infark :

  1. Total Anterior Circulation Infarction

  2. Partial Anterior Circulation Infarction

  3. Posterior Circulation Infarction

  4. Lacunar Infarction

  V. Klasifikasi Stroke Iskemik berdasarkan kriteria kelompok peneliti

  (15,19)

  TOAST

  1. Aterosklerosis arteri besar

  2. Kardioembolisme

  3. Oklusi pembuluh darah kecil (Lakunar)

  4. Stroke akibat dari penyebab lain yang menetukan

  5. Stroke akibat dari penyebab lain yang tak dapat ditentukan:

  a. Dua atau lebih penyebab teridentifikasi

  b. Tidak ada evaluasi

  c. Evaluasi tidak lengkap

II.1.4. Patofisiologi

  Pada level makroskopik, stroke iskemik paling sering disebabkan oleh emboli dari ekstrakranial atau trombosis di intrakranial, tetapi dapat juga disebabkan oleh berkurangnya aliran darah otak. Pada level seluler, setiap proses yang mengganggu aliran darah ke otak dapat mencetuskan suatu kaskade iskemik, yang akan mengakibatkan kematian sel-sel otak dan infark

  (20)

  otak. Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti (core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di luar daerah

  core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel

  • – sel otak dan jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsi
  • – fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologis.

  Tingkat iskemiknya makin ke perifer makin ringan. Daerah penumbra iskemik, di luarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah hiperemik akibat adanya aliran darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat direperfusi dan sel-sel otak berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan jika tidak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat berangsur-angsur

  (4) mengalami kematian.

  Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara bertahap,

  (15)

  yaitu: Tahap 1 :

  a. Penurunan aliran darah

  b. Pengurangan O

  2

  c. Kegagalan energi

  d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion Tahap 2 :

  a. Eksitoksisitas dankegagalan homeostasis ion

b. Spreading depression

  Tahap 3 : Inflamasi Tahap 4 : Apoptosis

  Perdarahan otak merupakan penyebab stroke kedua terbnyak setelah infark otak, yaitu 20-30% dari semua stroke di Jepang dan Cina. Sedangkan di Asia Tenggara (ASEAN), pada penelitian stroke oleh Misbach (1997) menunjukkan stroke perdarahan 26%, terdiri dari lobus 10%, ganglionik 9%,

  (21) serebellar 1%, batang otak 2% dan subarakhnoid 4%.

  Pecahnya pembuluh darah di otak dibedakan menurut anatominya atas perdarahan intraserebral dan subarakhnoid. Sedangkan berdasarkan penyebabnya, perdarahan intraserebral dibagi menjadi perdarahan intraserebral primer dan sekunder. Perdarahan intraserebral primer (hipertensif) disebabkan oleh hipertensif kronik yang menyebabkan vaskulopati serebral dengan akibat pecahnya pembuluh darah otak. Sedangkan perdarahan sekunder (bukan hipertensif) terjadi antara lain akibat anomali vaskular kongenital, koagulopati, obat anti koagulan. Diperkirakan hampir 50% penyebab perdarahan intraserebral adalah hipertensif kronis, 25% karena

  (21) anomali kongenital dan sisanya penyebab lain.

  Pada perdarahan intraserebral, pembuluh yang pecah terdapat di dalam otak atau massa pada otak, sedangkan pada perdarahan subarakhnoid, pembuluh yang pecah terdapat di ruang subarakhnoid, di sekitar sirkulus arteriosus Willisi. Pecahnya pembuluh darah disebabkan oleh kerusakan dinding arteri

  (21) (arteriosklerosis) atau karena kelainan kongenital atau trauma.

II.2 PNEUMONIA PADA STROKE

  Pneumonia merupakan salah satu komplikasi medis yang paling sering pada penderita stroke dan sebagai penyebab demam yang paling sering dalam 48 jam setelah serangan stroke. Pneumonia akan meningkatkan risiko

  (8)

  kematian 3 kali lipat pada penderita stroke. Penelitian Vermeij, dkk, 2009 menunjukkan bahwa infeksi sebagai komplikasi stroke yang terbanyak adalah pneumonia, dimana 7,5% (separuh dari total infeksi pada penderita stroke (15%)) adalah penderita pneumonia. Dan ditemukan juga outcome yang jelek saat keluar rumah sakit 9,5 kali, outcome jelek dalam 1 tahun 12 kali dan angka mortalitas 3,3 kali lebih tinggi dibandingkan dari penderita stroke yang tidak

  (9)

  pneumonia. Kebanyakan pneumonia tersebut disebabkan sebagai akibat aspirasi yaitu terhinhalasinya kolonisasi bakteri yang ada di faring ataupun

  (8)

  gingiva. Pneumonia yang terjadi juga dapat merupakan hospital-

  aquired/nasocomial pneumonia yaitu inflamasi dari parenkim paru yang disebabkan agen infeksius dan tidak muncul pada saat masuk rumah sakit, dimana keadaan tersebut didapat lebih dari 48 jam setelah masuk r umah

  (22) sakit.

  Bakteri penyebab tersering dari pneumonia aspirasi pada orang dewasa

  (23)

  meliputi:

  • Enterobacteriaceae - S. Aureus - S. Pneumoniae - H. influenzae.

  Sedangkan bakteri penyebab tersering pada hospital-aquired/nasocomial

  pneumonia di Amerika:

  • P. aeruginosa (21%)
  • Acinetobacter spp. (6%)
  • Patogen enteric : Enterobacter spp. (9%)
  • K. pneumoniae (8%)

  (23) - S. aureus mencapai 2% sampai 64%.

  Diagnosis umumnya ditegakkan secara klinis dengan konfirmasi oleh hasil kultur cairan pleura, punksi paru atau kultur darah. Diagnosis dengan demikian dapat dibuat menurut kriteria diagnosis CDC (Center for Disease Control),

  (22)

  yaitu: Pneumonia harus memenuhi satu dari kriteria berikut:

  1. Ronki atau dullness pada perkusi toraks. Ditambah satu dari :

  a. Onset baru sputum purulen atau perubahan karakteristiknya. b. Isolasi kuman dari kultur darah.

  c. Isolasi kuman dari bahan yang didapat dari aspirat transtrakeal, biopsi atau hapusan bronkus.

  2. Gambaran radiologik berupa infiltrat baru atau yang progresif, konsolidasi, kavitasi, atau efusi pleura. Dan satu dari: a. Onset baru sputum purulen atau perubahan karakteristiknya.

  b. Isolasi kuman dari kultur darah.

  c. Isolasi kuman dari bahan yang didapat dari aspirat transtrakeal, biopsi atau hapusan bronkus.

  d. Isolasi virus atau deteksi antigen virus dari sekret saluran nafas.

  e. Diagnostik titer antibodi tunggal (IgM) atau peningkatan 4 kali titer IgG dari kuman.

  Diagnosis lain dapat dibuat dengan kriteria The Center for Disease

  

Control (CDC-Atlanta) yang telah diadaptasi oleh PDPI (Perhimpunan

(24,25)

  Dokter Paru Indonesia), yaitu: Pneumonia ditegakkan atas dasar: 1. Gambaran foto toraks terdapat infiltrat baru atau progresif.

  2. Ditambah dua di antara kriteria berikut:

a. Batuk – batuk bertambah.

  b. Perubahan karakteristik dahak/ sekret purulen c. C (diukur di aksila).

  Suhu tubuh ≥ 38

  d. Pemeriksaan fisik: ditemukan tanda

  • – tanda konsolidasi, suara nafas bronkial dan ronki.
e.

  Leukositosis (≥10.000) atau leukopenia (<4500) Pencegahan dan deteksi pneumonia pada penderita stroke akut dapat dilakukan sebagai berikut:

  (26)

  • Pneumonia akibat disfagia atau gangguan refleks menelan, erat hubungannya dengan aspirasi pneumonia, oleh karena itu maka tes refleks batuk perlu dilakukan untuk mengidentifikasi risiko pneumonia.
  • Pemberian pipa nasogastrik segera (dalam 48 jam) dianjurkan pada pasien gangguan menelan.
  • Pencegahan aspirasi dapat dilakukan dengan:

   Elevasi kepala 30-45  Menghindari sedasi berlebihan  Mempertahankan tekanan cuff endotrakeal yang tepat pada pasien dengan intubasi dan trakeostomi.

   Memonitor volume residual lambung selama pemberian makanan secara enteral  Menghindari pemakaian pipa nasogastrik yang lama  Seleksi diit yang tepat pada pasien dengan disfagia.

   Mengaspirasi sekret subglotis secara teratur  Rehabilitasi fungsi menelan.

  Penatalaksanaan pneumonia pada penderita stroke meliputi:

  (26)

  • Pemberian antibiotik sesuai indikasi (kalau perlu tes resistensi kuman), antara lain:

   Tanpa komorbiditas: macrolide (azitromisin, klaritromisin atau eritromisin) atau doksisiklin.  Disertai penyakit lain seperti diabetes melitus, alkoholisme, keganasan, penyakit jantung serta penyakit imunosupresi: fluorokuinolon (moksifloksasin, gemifloksasin atau levofloksasin) atau beta-laktam dengan macrolide. Alternatif lainnya adalah ceftriakson dan doksisiklin sebagai pengganti macrolide.

  Fisioterapi (chest therapy) dengan spirometri, inhalasi ritmik dan - menepuk-nepuk dada.

II.3. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA PNEUMONIA PADA PENDERITA STROKE

  Chumbler, dkk, 2010 melakukan penelitian dan menghasilkan 3 level sistem skor untuk memprediksi terjadinya pneumonia pada stroke akut. Faktor- faktor yang dapat memprediksi terjadinya pneumonia pada penelitiannya meliputi adanya riwayat menderita pneumonia (nilai 4), disfagia (nilai 4), nilai NIHSS yang tinggi pada saat masuk (NIHSS ≥ 2 nilai 3), penurunan kesadaran (nilai 3) dan usia lebih dari 70 (niai 2) tahun. Kemudian membagi menjadi 3 level, yaitu: nilai 0 memiliki risiko rendah terjadinya pneumonia pada fase akut (2,1%), nilai 1- 3 memiliki risiko sedang (4,2%) dan nilai ≥ risiko tinggi

  (11) (22,9%).

  Skor pneumonia dalam penelitian Kwon, dkk, 2006 menunjukkan faktor- faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya pneumonia meliputi: skor NIHSS, usia, jenis kelamin, pemakaian ventilasi mekanik dan disfagia. Penelitian Sellars, dkk, 2007 menghasilkan bahwa faktor-faktor berikut: usia > 65 tahun, disartria atau tidak dapat berbicara karena afasia, skor modified

  Rankin Scale

  ≥ 4, skor Abbreviated Mental Test < 8 dan ketidakmampuan melakukan tes menelan air, jika ditemukan 2 atau lebih akan mendapatkan

  (12) pneumonia dengan sensitifitas 90,9% dan spesifisitas 75,6%.

  Petroianni, dkk, 2006 menyatakan bahwa usia tua secara independen berkaitan dengan pneumonia pada pasien stroke, dikarenakan usia tua berkaitan dengan

  (27)

  kondisi medis komorbid dan gangguan menelan dan refleks batuk. Jenis kelamin laki-laki merupakan prediktor terjadinya pneumonia pada penderita stroke, hal ini sesuai dengan penelitian Reid, dkk, 2008 yang menunjukkan bahwa pasien laki-laki memiliki risiko yang tinggi untuk stroke-associated

  (28) pneumonia.

  Penelitian Hoffman, dkk, 2012 & Perry L, dkk, 2001 menyatakan bahwa nilai skor NIHSS yang tinggi berkaitan dengan penurunan tingkat kesadaran

  (29) dan penurunan refleks bulbar, yang membuat aspirasi lebih mungkin terjadi.

  Penelitian Martino, dkk, 2005 menyatakan bahwa disfagia juga merupakan prediktor dari terjadinya pneumonia pada penderita stroke, dimana penderita yang disfagia sangat rentan terjadinya aspirasi, sehingga risiko terjadinya

  (30)

  pneumonia semakin besar. Hubungan fibrilasi atrial dengan pneumonia

  (31)

  ditunjukkan hanya pada studi Ovbiagele, dkk, 2006. Dimana fibrilasi atrial merupakan penyebab dari stroke kardioemboli, yang berkaitan dengan infark

  (6,32) kortikal dan keparahan stroke yang lebih besar.

  Hoffmann, dkk, 2012 mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pneumonia pada penderita stroke, yang mana faktor-faktor tersebut

  2

  2

  dimasukkan ke dalam suatu skor klinis A DS : age (usia), atrial fibrillation, disfagia, sex (jenis kelamin) dan stroke severity (yang dinilai dengan NIHSS).

  Faktor-faktor ini diteliti terbatas pada populasi penderita stroke iskemik akut,

  (6)

  sementara aplikasi skor ini pada populasi stroke hemoragik akut belum ada dilakukan penelitian.

II.4. SCREENING TEST UNTUK DISFAGIA

  Disfagia sering terjadi pada penderita stroke, yang akan meningkatkan risiko aspirasi dan pneumonia. Screening menelan merupakan langkah awal untuk mengidentifikasi risiko disfagia dan aspirasi. Deteksi awal dari disfagia memungkinkan tindakan yang segera dalam penatalaksanaan, sehingga menurunkan morbiditas, masa rawatan dan biaya perawatan pasien.

  (33)

  Tes menelan air sebaiknya digunakan sebagai screening risiko terjadinya aspirasi pada penderita stroke. Cara melakukannya sebagai berikut:

  (13)

  • Penderita stroke yang akan dilakukan tes screening menelan harus bisa didudukkan tegak dan sadar setidaknya selama 15 menit. Jika tidak maka tes tidak dapat dilakukan dan penderita tidak diperbolehkan makan/ minum dari mulut.
  • Periksa apakah rongga mulut panderita bersih atau tidak. Jika kotor, maka segera dibersihkan.
  • Dudukkan penderita dan berikan satu sendok air sebanyak 3 kali. Letakkan jari di garis tengah di atas dan bawah laring lalu rasakan saat penderita menelan. Kemudian perhatikan apakah ada tanda- tanda: ketidakmampuan menelan, batuk, tersedak atau perubahan kualitas suara (suruh penderita menyebut ”aah”). Jika ada tanda-tanda tersebut maka penderita tidak diperbolehkan makan/ minum dari mulut.

  Selanjutnya penderita disuruh minum dengan jumlah air yang lebih

  • besar dari gelas dan diamati tanda-tanda seperti sebelumnya. Jika ada tanda-tanda tersebut maka penderita tidak diperbolehkan makan/ minum dari mulut.

  Jika hal tersebut dapat dilakukan penderita stroke maka makanan/

  • (13) minuman dapat diberikan melalui mulut.

II.5. KERANGKA KONSEPSIONAL

STROKE AKUT

  2

2 SKOR KLINIS A DS

  A = Age (Usia): Hoffmann, dkk, 2012: Skor A2DS2 merupakan alat yang valid untuk memprediksi pneumonia post stroke dan

  Petroianni, dkk, 2006: usia tua secara mungkin sebagai petunjuk pengawasan independen berkaitan dengan pneumonia pada penderita stroke dengan risiko tinggi pada pasien stroke, dikarenakan usia tua menderita pneumonia atau penatalak- berkaitan dengan kondisi medis komorbid sanaan profilaksis pneumonia. dan gangguan menelan dan refleks batuk

  A = Atrial Fibrillation: Vermeij, dkk, 2009: Infeksi saluran kemih dan terutama pneumonia merupakan

  Hubungan fibrilasi atrial dengan pneumonia komplikasi yang serius pada penderita ditunjukkan hanya pada studi Ovbiagele, stroke. Komplikasi ini dilaporkan terjadi dkk, 2006. Dimana fibrilasi atrial merupakan 5-65% pada penderita stroke akut. penyebab dari stroke kardioemboli, yang berkaitan dengan infark kortikal dan keparahan stroke yang lebih besar.

  Koennecke HC, dkk, 2011: dalam waktu 3 tahun, mendapati dari 16.518 penderita D = Disfagia: stroke iskemik dan hemoragik, 12,2% mengalami komplikasi berupa

  Penelitian Martino, dkk, 2005: disfagia juga pneumonia. merupakan prediktor dari terjadinya pneumonia pada penderita stroke, dimana penderita yang disfagia sangat rentan terjadinya aspirasi, sehingga risiko terjadinya

  Kumar S, dkk, 2010: Pneumonia akan pneumonia semakin besar. meningkatkan risiko kematian 3 kali lipat pada penderita stroke.

  S = Sex (Jenis Kelamin): Reid, dkk, 2008: pasien laki-laki memiliki risiko yang tinggi untuk stroke-associated pneumonia .

  S = Stroke Severity (NIHSS): Penelitian Hoffman, dkk, 2012 & Perry L, dkk, 2001: nilai skor NIHSS yang tinggi berkaitan dengan penurunan tingkat kesadaran dan penurunan refleks bulbar, yang membuat aspirasi lebih mungkin terjadi.

  PNEUMONIA

BAB III METODE PENELITIAN III.1. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Departemen/SMF Neurologi FK USU/ RSUP. H. Adam Malik Medan dari tanggal 19 September 2012 – 17 November 2012. III.2. Subjek Penelitian Subjek penelitian diambil dari populasi pasien rumah sakit. Penentuan subjek penelitian dilakukan menurut metode sampling konsekutif. III.2.1 Populasi Sasaran Semua penderita stroke akut yang ditegakkan dengan pemeriksaan klinis dan CT-Scan kepala. III.2.2. Populasi Terjangkau Semua penderita stroke akut yang dirawat di ruang rawat inap neurologi FK USU / RSUP. H. Adam Malik Medan III.2.3. Besar Sampel

  (34)

  Besar sampel dihitung dengan rumus:

  2

  (1 Zα√ P – P ) + Zβ√ Pa (1 – Pa) n = P

  • – Pa = 1,96

  Zα = Deviat baku α (α = 0,05) => Zα Zβ = Deviat baku β (β = 0,10) => Zβ = 1,282

2 DS

  ) P

  P = Proporsi pneumonia dengan skor klinis A

  2

  ==> 39,4% (

  Hoffmann, dkk, 2012

  • – Pa ==> Selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna (25%) Pa = Proporsi yang ditentukan peneliti

  (P

  • – 25% = 0,394 – 0,25 = 0,144) Maka n = 32,17

  ~ minimal 32 orang.

  III.2.4. Kriteria Inklusi 1. Penderita stroke akut yang dirawat di ruang rawat inap RSUP H.

  2. Memberikan persetujuan ikut serta dalam penelitian ini

  III.2.5. Kriteria Eksklusi

  1. Penderita stroke akut yang pada saat masuk telah menderita pneumonia atau infeksi paru lainnya.

  2. Penderita stroke akut yang telah mendapatkan antibiotik pada saat masuk rumah sakit.

  III.3. Batasan Operasional

  1. Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global, dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler.

  (3,14)

  2. Fase akut stroke adalah jangka waktu antara awal mula serangan stroke yang berlangsung sampai satu minggu.

  (4)

  Adam Malik Medan dan telah dilakukan pemeriksaan klinis dan CT- Scan kepala.

  3. Pneumonia adalah peradangan dari parenkim paru yang disebabkan

  (22)

  oleh agen infekius yang ditegakkan dengan kriteria The Center for

  

Disease Control (CDC-Atlanta) yang telah diadaptasi oleh PDPI

(24,25) (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia).

  2

  2

  4. Skor klinis A DS adalah skor klinis yang dinilai pada saat penderita stroke masuk ke rumah sakit (dalam fase akut), yang terdiri dari 10 poin untuk memprediksi pneumonia pada penderita stroke (Age (usia) ≥ 75 tahun = 1, Atrial Fibrillation = 1, Disfagia = 2, Sex (jenis kelamin) laki-laki = 1 dan Stroke severity dinilai dengan NIHSS 0-4=0, 5-15=3,

  (6) ≥ 16=5)).

  5. Atrial fibrilasi ditandai dengan ketidakteraturan kontraksi dari atrial, dimana elektrokardiogram menunjukkan tidak adanya gelombang P

  (35) dengan fluktuasi yang cepat dan interval R-R yang tidak teratur.

  6. Disfagia adalah suatu gangguan menelan yang berkaitan dengan kesulitan dalam memindahkan makanan/cairan dari mulut ke

  (36)

  lambung. Disfagia dapat dideteksi dengan menggunakan screening

  (13) test untuk disfagia.

  7. Stroke severity dinilai dengan National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS). NIHSS merupakan pengkuran kuantitatif defisit neurologis berkaitan dengan stroke yang dapat memprediksi outcome stroke jangka panjang, terdiri dari 12 pertanyaan: tingkat kesadaran, respon terhadap pertanyaan, respon terhadap perintah, gaze palsy, pemeriksaan lapangan pandang, facial palsy, motorik, ataksia,

  (35,36)

  sensori, bahasa, disartria dan inatensi. Nilai skor 0

  • – 4
menunjukkan stroke ringan (mild), 5

  • – 15 stroke sedang (moderately

  severe ) dan ≥ 16 menunjukkan stroke berat (severe/ very severe).

  (6)

  III.4 Rancangan Penelitian

  Penelitian ini bersifat deskriptif dengan metode pengambilan data secara potong lintang.

  III.5. Pelaksanaan Penelitian

  III.5.1. Instrumen Penelitian :

  1. Head Computed Tomography Scan (CT Scan): CT Scan yang digunakan adalah X-Ray CT System, merk Hitachi seri W 450.

  2. Foto Toraks: menggunakan X-Ray merk Hitachi tipe P-O-105H-B dan tipe PM 155VCII(U51).

  3. Kultur darah: menggunakan reagen Bactec kemudian akan diinkubasikan menggunakan Bactec 9050. Setelah bakteri tumbuh dikultur di Mc Conkey atau Blood agar. Jenis bakteri dilihat menggunakan mikroskop olympus optical model CH20BIMF200 dan model 8MOI88.

  4. Elektrokardiograf (EKG): yang digunakan tipe MAC 500 dengan nomor seri 510003266.

  III.5.2. Pengambilan Sampel

  Semua penderita stroke akut yang masuk ke ruang rawat inap neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan telah ditegakkan dengan anamnese, pemeriksaan fisik (toraks), pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan CT Scan kepala yang diambil secara konsekutif dan yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak ada kriteria eksklusi, dilakukan foto toraks. Dinilai skor klinis A

  2 DS

  2 . Kemudian diamati jika muncul tanda-tanda pneumonia maka ditegakkan dengan kriteria The Center for Disease Control (CDC-Atlanta) yang telah diadaptasi oleh PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia).

III.5.3. Kerangka Operasional

  Penderita Stroke Anamnese

  Pemeriksaan fisik (toraks) Pemeriksaan neurologis

  Head CT Scan

  Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

  Surat persetujuan ikut penelitian

  2

2 Skor klinis A DS

  Pneumonia Tidak Pneumonia

III.5.4. Variabel yang Diamati

2 DS

III.5.5. Analisa Statistik :

  2 DS

  2 DS

  severity (NIHSS)) dengan kejadian pneumonia pada penderita stroke akut digunakan uji Fisher.

  c. Untuk mengetahui hubungan masing-masing komponen skor klinis A

  dengan kejadian pneumonia pada penderita stroke akut digunakan uji Lamda.

  2

  Analisa dan penyajian data dilakukan sebagai berikut :

  b. Untuk melihat hubungan dan kekuatan hubungan antara skor klinis A

  a. Analisa deskriptif digunakan untuk melihat gambaran karakteristik demografi yang disajikan dalam bentuk tabulasi.

  (age/usia, atrial fibrilasi, disfagia, sex/jenis kelamin dan stroke

  Data hasil penelitian akan dianalisa secara statistik dengan bantuan program komputer Windows SPSS (Statistical Product and Science Service).

  2 Variabel Terikat : Pneumonia

  Variabel Bebas : Skor A

  2

III.5.6. Jadwal Penelitian

  Penelitian akan dilaksanakan mulai tanggal 19 September 2012

  • – 17 November 2012.

  Kegiatan Waktu

  Persiapan

  09 Agustus

  • – 18 September 2012 Pengumpulan data

  19 September

  • – 17 November 2012 Analisis data

  18 November

  • – 24 November 2012 Penyusunan laporan

  26 November

  • – 30 November 2012
Penyajian laporan

  01 Desember 201

  III.5.7. Biaya Penelitian

  Biaya pencetakan lembar pengumpulan data = Rp 200.000 Penulisan laporan penelitian = Rp 500.000 Jumlah

  = Rp 700.000

  III.5.8. Personalia Penelitian

  Peneliti Utama : dr. Chairil Amin Batubara, M.Ked (Neu.) Pembimbing : 1. dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S

  2. dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S (K)

  3. Prof. dr. Darulkutni Nasution, Sp.S (K)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN IV.1. HASIL PENELITIAN IV.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian Dari keseluruhan pasien stroke akut yang dirawat di ruang rawat inap Neurologi FK USU/ RSUP. H. Adam Malik Medan pada periode September

  hingga November 2012, terdapat 32 pasien stroke akut yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sehingga diikutkan dalam penelitian.

  Dari 32 orang penderita stroke akut yang ikut dalam penelitian, 18 orang (56,2%) menderita stroke iskemik akut dan 14 orang (43,8%) stroke hemoragik.