BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Makanan - Pemeriksaan Boraks Pada Bakso yang Dijual Pedagang Kaki Lima dan Warung Bakso di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru Tahun 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Makanan

  Menurut UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman.

  Berdasarkan defenisi dari WHO, makanan adalah semua substansi yang dibutuhkan oleh tubuh tidak termasuk air, obat-obatan, dan substansi-substansi lain yang digunakan untuk pengobatan. Terdapat tiga fungsi makanan. Pertama, makanan sebagai sumber energi karena panas dapat dihasilkan dari makanan seperti juga energi. Kedua, makanan sebagai zat pembangun karena makanan berguna untuk membangun jaringan tubuh yang baru, memelihara, dan memperbaiki jaringan tubuh yang sudah tua. Ketiga, makanan sebagai zat pengatur karena makanan turut serta mengatur proses alami, kimia, dan proses faal dalam tubuh (Chandra, 2006).

  Menurut Notoatmodjo (2003) didalam Mulia (2005) ada empat fungsi pokok makanan bagi kehidupan manusia, yakni :

  1. Memelihara proses tubuh dalam pertumbuhan/perkembangan serta mengganti jaringan tubuh yang rusak

  2. Memperoleh energi guna melakukan aktifitas sehari-hari

  

7

  3. Mengatur metabolisme dan mengatur berbagai keseimbangan air, mineral dan cairan tubuh yang lain

  4. Berperan didalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai penyakit.

  Agar makanan dapat berfungsi sebagaimana mestinya, kualitas makanan harus diperhatikan. Kualitas tersebut mencakup ketersediaan zat-zat (gizi) yang dibutuhkan dalam makanan dan pencegahan terjadinya kontaminasi makanan dengan zat-zat yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan.

2.2. Bahan Tambahan Pangan

2.2.1. Defenisi Bahan Tambahan Pangan

  Menurut UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan, bahan tambahan pangan merupakan bahan yang ditambahkan kedalam pangan untuk memengaruhi sifat dan/atau bentuk pangan.

  Berdasarkan defenisi yang dikeluarkan oleh Komisi Codex Alimentarus yaitu suatu badan antarpemerintah yang terdiri atas sekitar 20 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menyebutkan bahwa bahan tambahan makanan adalah bahan apapun yang biasanya tidak dimakan sendiri sebagai suatu makanan.

  Biasanya tidak digunakan sebagai bahan khas untuk makanan, baik mempunyai nilai gizi atau tidak, yang bila ditambahkan dengan sengaja pada makanan untuk tujuan teknologi (Mukono, 2010). Pemakaian bahan tambahan pangan di Indonesia diatur oleh Departemen Kesehatan. Sementara pengawasannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Dirjen POM).

  Di Amerika, keduanya dilakukan oleh Food and Drug Administration (Saparinto, 2006).

  Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012, bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. Bahan tambahan pangan yang digunakan dalam pangan hendaknya harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1). Tidak diperlakukan sebagai bahan baku pangan. 2). Dapat mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan untuk tujuan teknologis pada pembuatan, pengolahan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan dan/atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat pangan tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung. 3). tidak termasuk cemaran atau bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi.

2.2.2. Fungsi Bahan Tambahan Pangan

  Fungsi bahan tambahan pangan yaitu:

  1. Meningkatkan kualitas pangan

  2. Secara ekonomis akan menghemat biaya produksi

  3. Sebagai pengawet pangan dengan cara mencegah pertumbuhan dan aktivitas mikroba perusak pangan (menahan proses biokimia) atau mencegah terjadinya reaksi kimia yang dapat menurunkan mutu pangan

  4. Menjadikan warna dan aroma yang lebih menarik sehingga menambah dan merangsang timbulnya selera makan

  5. Menjadikan pangan lebih baik dan menarik, lebih renyah, dan enak rasanya (Mukono, 2010).

2.2.3. Bahan Tambahan Pangan yang Diizinkan

  Menurut Peraturan Menteri Kesehatan R.I Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP), BTP hanya boleh digunakan tidak melebihi batas maksimum penggunaan dalam kategori pangan. Jenis BTP yang digunakan dalam pangan terdiri atas beberapa golongan sebagai berikut :

  1. Antibuih (Antifoaming Agent) Antibuih (Antifoaming Agent) adalah bahan tambahan pangan yang digunakan untuk mencegah atau mengurangi pembentukan buih.

  2. Antikempal (Anticaking Agent) Antikempal (Anticaking Agent) adalah bahan tambahan pangan untuk mencegah mengempalnya produk pangan.

  3. Antioksidan (Antioxcidant) Antioksidan (Antioxcidant) adalah bahan tambahan pangan untuk mencegah atau menghambat kerusakan pangan akibat oksidasi.

  4. Bahan Pengkarbonasi (Cabonating Agent) Bahan Pengkarbonasi (Cabonating Agent) adalah bahan tambahan pangan untuk membentuk karbonasi di dalam pangan.

  5. Garam Pengemulsi (Emulsifying Salt ) Garam Pengemulsi (Emulsifying Salt ) adalah bahan tambahan pangan untuk mendispersikan protein dalam keju sehingga mencegah pemisahan lemak.

  6. Gas Untuk Kemasan (Packaging Gas) Gas Untuk Kemasan (Packaging Gas) adalah bahan tambahan pangan berupa gas, yang dimasukkan ke dalam kemasan pangan sebelum, saat maupun setelah kemasan diisi dengan pangan untuk mempertahankan mutu pangan dan melindungi pangan dari kerusakan.

  7. Humektan (Humectant) Humektan (Humectant) adalah bahan tambahan pangan untuk mempertahankan kelembaban pangan.

  8. Pelapis (Glazing Agent) Pelapis (Glazing Agent) adalah bahan tambahan pangan untuk melapisi permukaan pangan sehingga memberikan efek perlindungan dan/atau penampakan mengkilap.

  9. Pemanis (Sweetener) Pemanis (Sweetener) bahan tambahan pangan berupa pemanis alami dan pemanis buatan yang memberikan rasa manis pada produk pangan.

  a. Pemanis Alami (Natural Sweetener) Pemanis Alami (Natural Sweetener) adalah pemanis yang dapat ditemukan dalam bahan alam meskipun prosesnya secara sintetik ataupun fermentasi.

  b. Pemanis Buatan (Artificial Sweetener) Pemanis Buatan (Artificial Sweetener) adalah pemanis yang diproses secara kimiawi, dan senyawa tersebut tidak terdapat di alam.

  10. Pembawa (Carrier) Pembawa (Carrier) adalah bahan tambahan pangan yang digunakan untuk memfasilitasi penanganan, aplikasi atau penggunaan bahan tambahan pangan lain atau zat gizi didalam pangan dengan cara melarutkan, mengencerkan, mendispersikan atau memodifikasi secara fisik bahan tambahan pangan atau zat gizi tanpa mengubah fungsinya dan tidak mempunyai efek teknologi pada pangan.

  11. Pembentuk Gel (Gelling Agent).

  Pembentuk Gel (Gelling Agent) adalah bahan tambahan pangan untuk membentuk gel.

  12. Pembuih (Foaming Agent) Pembuih (Foaming Agent) adalah bahan tambahan pangan untuk membentuk atau memelihara homogenitas dispersi fase gas dalam pangan berbentuk cair atau padat.

  13. Pengatur Keasaman (Acidity Regulator) Pengatur Keasaman (Acidity Regulator) adalah bahan tambahan pangan untuk mengasamkan, menetralkan dan/atau mempertahankan derajat keasaman pangan.

  14. Pengawet (Preservative) Pengawet (Preservative) adalah bahan tambahan pangan untuk mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman, penguraian, dan perusakan lainnya terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme.

  15. Pengembang (Raising Agent) Pengembang (Raising Agent) adalah bahan tambahan pangan berupa senyawa tunggal atau campuran untuk melepaskan gas sehigga meningkatkan volume adonan.

  16. Pengemulsi (Emulsifier) Pengemulsi (Emulsifier) adalah bahan tambahan pangan untuk membantu terbentuknya campuran yang homogen dari dua atau lebih fase yang tidak tercampur seperti minyak dan air.

  17. Pengental (Thickener) Pengental (Thickener) adalah bahan tambahan pangan untuk meningkatkan viskositas pangan.

  18. Pengeras (Firming Agent) Pengeras (Firming Agent) adalah bahan tambahan pangan untuk memperkeras, atau mempertahankan jaringan buah dan sayur, atau berinteraksi dengan bahan pembentuk gel untuk memperkuat gel.

  19. Penguat Rasa (Flavour Enhancer) Penguat Rasa (Flavour Enhancer) adalah bahan tambahan pangan untuk memperkuat dan memodifikasi rasa dan/atau aroma yang telah ada dalam bahan pangan tanpa memberikan rasa dan/atau aroma baru.

  20. Peningkat Volume (Bulking Agent) Peningkat Volume (Bulking Agent) adalah bahan tambahan pangan untuk meningkatkan volume pangan.

  21. Penstabil (Stabilizer) Penstabil (Stabilizer) adalah bahan tambahan pangan untuk menstabilkan sistem dispersi yang homogen pada pangan.

  22. Peretensi Warna (Colour Retention Agent) Peretensi Warna (Colour Retention Agent) adalah bahan tambahan pangan yang dapat mempertahankan, menstablkan, atau memperkuat intensitas warna pangan tanpa menimbulkan warna baru.

  23. Perisa (Flavouring) Perisa (Flavouring) adalah bahan tambahan pangan berupa preparat konsentrat dengan atau tanpa ajudan perisa (flavouring adjunct) yang digunakan untuk memberi flavour dengan pengecualian rasa asin, manis, dan asam.

  Perisa (Flavouring) dikelompokkan menjadi :

  a. Perisa alami

  b. Perisa identik alami

  c. Perisa artifisial

  24. Perlakuan Tepung (Flour Treatment Agent) Perlakuan Tepung (Flour Treatment Agent) adalah bahan tambahan pangan yang ditambahkan pada tepung untuk memperbaiki warna, mutu adonan dan atau pemanggangan, termasuk bahan pengembang adonan, pemucat dan pematang tepung.

  25. Pewarna (Colour) Pewarna (Colour) adalah bahan tambahan pangan berupa pewarna alami dan pewarna sintetis, yang ketika ditambahkan atau diaplikasikan pada pangan, mampu memberi atau memperbaiki warna.

  a. Pewarna Alami (Natural Colour) Pewarna Alami (Natural Colour) adalah pewarna yang dibuat melalui proses ekstraksi, isolasi, atau derivatisasi (sisntesis parsial) dari tumbuhan, hewan, mineral atau sumber alami lain, termasuk warna identik alami.

  b. Pewarna Sintetis (Synthetic Colour) Pewarna Sintetis (Synthetic Colour) adalah pewarna yang diperoleh secara sintesis kimiawi.

  26. Propelan (Propellant) Propelan (Propellant) adalah bahan tambahan pangan berupa gas untuk mendorong pangan keluar dari kemasan.

  27. Sekuestran (Sequestrant) Sekuestran (Sequestrant) adalah bahan tambahan pangan yang dapat mengikat ion logam polivalen untuk membentuk kompleks sehingga meningkatkan stabilitas dan kualitas pangan.

2.2.4. Bahan Tambahan Pangan yang Tidak Diizinkan

  BTP yang tidak diizinkan atau dilarang digunakan dalam makanan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan sebagai berikut :

  1. Asam borat dan senyawanya (Boric acid)

  11. Dulkamara (Dulcamara)

  18. Minyak tansi (Tansy oil) 19. Minyak sasafras (Sasafras oil).

  17. Minyak kalamus (Calamus oil)

  16. Biji tonka (Tonka bean)

  15. Dihidrosafrol (Dihydrosafrole)

  14. Sinamil antranilat (Cinnamyl anthranilate)

  13. Nitrobenzen (Nitrobenzene)

  12. Kokain (Cocain)

  10. Nitrofurazon (Nitrofurazone)

  2. Asam salisilat dan garamnya (Salicylic acid and its salt)

  9. Minyak nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils)

  8. Kloramfenikol (Chloramphenicol)

  7. Kalium klorat (Potassium chlorate)

  6. Kalium bromat (Potassium bromate)

  5. Formalin (Formaldehyde)

  4. Dulsin (Dulcin)

  3. Dietilpirokarbonat (Diethylpyrocarbonate, DEPC)

  Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak (2004), diketahui dari 8 unit analisa mie aceh yang diperiksa, ada dua sampel yang mengandung formalin dengan kadar sebesar 0,31 mg/kg dan 0,11 mg/kg. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Simamora (2006), dari 12 sampel lontong yang diperiksa terdapat 10 sampel lontong yang mengandung boraks dengan kadar tertinggi 2,0238 g/kg.

2.2.5. Batasan Secara Teknis Bahan Tambahan Pangan

  Secara teknis, bahan tambahan pangan dibagi menjadi dua kategori :

  1. Bahan tambahan pangan tersebut secara langsung dan sengaja

  (intensional) ditambahkan selama proses produksi yag tujuannya adalah

  untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, memantapkan bentuk atau rupa serta menambah cita rasa dengan mengendalikan keasaman atau kebasaan.

  2. Bahan tambahan pangan yang terdapat dalam bahan makanan dalam jumlah yang sangat kecil sebagai akibat dari proses pengolahan dan sebagai zat aditif yang keberadaannya tidak sengaja (incidental) (Mukono, 2010).

2.3. Bahan Pengawet

  Menurut Preservative in Food Regulation 1974/1975 (UK), bahan pengawet adalah setiap senyawa atau bahan yang mampu manghambat, menahan/ menghentikan proses fermentasi, pengasaman atau bentuk kerusakan lainnya, bahan yang dapat memberikan perlindungan bahan makanan dari pembusukan tetapi tidak termasuk ke dalam golongan bahan tambahan makanan yang lain (Mukono, 2010).

  Federal Food, Drug, and Cosmetic Act menyatakan bahwa setiap zat

  kimia yang bila ditambahkan ke dalam bahan pangan cenderung untuk mencegah atau menghambat kerusakannya disebut zat pengawet kimia (Desrosier, 2008).

  Menurut pakar gizi, secara garis besar batasan zat pengawet dibedakan menjadi tiga yaitu :

  1. GRAS (Generally Recognized As Safe) yang umumnya bersifat alami, sehingga aman dan tidak berefek racun sama sekali.

  2. ADI (Acceptable Daily Intake), yang selalu ditetapkan batas pengunaanhariannya (daily intake) guna melindungi kesehatan konsumen.

  3. Zat pengawet yang memang tidak layak dikonsumsi atau berbahaya seperti boraks dan formalin. Formalin sebagai pengawet bisa menyebabkan kanker paru-paru serta gangguan pada alat pencernaan dan jantung. Sedangkan boraks dapat menyebabkan gangguan pada otak, hati, dan kulit (Manurung, 2012).

2.3.1. Tujuan Penggunaan Bahan Pengawet

  Bahan pengawet merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang paling tua penggunaannya. Pada permulaan peradaban manusia, asap telah digunakan untuk mengawetkan daging, ikan, dan jagung. Demikian juga pengawetan dengan menggunakan garam, asam, dan gula sudah dikenal sejak dahulu kala. Kemudian dikenal penggunaan bahan pengawet, untuk mempertahankan pangan dari gangguan mikroba sehingga pangan tetap awet seperti semula.

  Secara umum, penambahan bahan pengawet pada pangan bertujuan sebagai berikut:

  1. Menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada pangan baik yang bersifat patogen maupun yang tidak patogen

  2. Memperpanjang umur simpan pangan

  3. Tidak menurunkan kulaitas gizi, warna, cita rasa, dan bau bahan pangan yang diawetkan

  4. Tidak untuk menyembunyikan keadaan pangan yang berkualitas rendah

  5. Tidak untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyaratan

  6. Tidak untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan (Cahyadi, 2009).

  2.3.2. Teknik Penambahan Bahan Pengawet

  Penambahan bahan pengawet dalam makanan dilakukan dengan cara :

  1. Pencampuran : Untuk makanan yang berbentuk cairan atau setengah cair

  2. Pencelupan : Untuk makanan yang berbentuk padat

  3. Penyemprotan: Sama dengan pencelupan, yaitu untuk bahan makanan padat dan konsentrasi bahan pengawet yang diperlukan agak tinggi

  4. Pengasapan : Untuk bahan makanan yang dikeringkan, bahan pengawet yang sering digunakan adalah belerang dioksida atau derifatnya.

  5. Pelapisan pada pembungkus : Dengan cara penambahan/pelapisan 90 bahan pengawet pada pembungkus bahan makanan (Mukono, 2010).

  2.3.3. Manfaat Pengawetan Makanan

  Menurut Chandra (2006), manfaat yang dapat diperoleh dalam mengawetkan makanan antara lain :

  1. Segi ekonomi Makanan yang diawetkan dapat didistribusikan ke daerah manapun tanpa mengurangi kualitas makanan.

  Dengan begitu, penyaluran makanan ini dapat berjalan maksimal tanpa harus mengkhawatirkan masalah waktu.

  2. Mempermudah transportasi Makanan mudah sekali membusuk di tempat yang memiliki iklim tropis seperti Indonesia. Dengan adanya pengawetan, makanan dapat dipertahankan kualitasnya sehingga dapat dibeli dengan mudah dan tidak berbahaya serta dapat menghemat biaya transportasi.

  3. Mudah dihidangkan Sebagian makanan yang telah diawetkan dapat langsung dihidangkan karena bagian yang tidak diperlukan telah dibuang. Hal ini membuat hidup masyarakat modern saat ini menjadi lebih praktis.

  4. Bermanfaat dalam keadaan tertentu Pada kondisi bencana alam, kelaparan, pengungsian dan kondisi darurat lainnya, bantuan makanan yang telah diawetkan dari daerah lain dapat segera disalurkan ke daerah tersebut.

2.3.4. Bahan Pengawet yang Diizinkan

  Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan R.I Nomor 033 Tahun 2012 tentang bahan tambahan pangan, ada 34 jenis pengawet yang diizinkan untuk ditambahkan ke dalam makanan dan minuman adalah sebagai berikut:

  1. Asam sorbat dan garamnya (Sorbic acid and its salts) :

  a. Asam sorbat (Sorbic acid)

  b. Natrium sorbat (Sodium sorbate)

  c. Kalium sorbat (Potassium sorbate) d. Kalsium sorbat (Calcium sorbate)

  2. Asam benzoat dan garamnya (Benzoic acid and its salts) :

  e. Kalium metabisulfit (Potassium metabilsuphite)

  8. Nitrat (Nitrates) :

  b. Natrium nitrit (Sodium nitrite)

  a. Kalium nitrit (Potassium nitrite)

  7. Nitrit (Nitrites) :

  6. Nisin(Nisin)

  h. Kalium bisulfit (Potassium bisulphite)

  g. Kalsium bisulfit (Calcium bisulphite)

  f. Kalium sulfit (Potassium sulphite)

  d. Natrium metabisulfit (Sodium metabisulphite)

  a. Asam benzoat (Benzoic acid)

  c. Natrium bisulfit (Sodium bisulphite)

  b. Natrium sulfit (Sodium sulphite)

  a. Belerang dioksida (Sulphur dioxide)

  5. Sulfit (Sulphites) :

  4. Metil para-hidroksibenzoat (Methyl para-hydroxybenzoate)

  3. Etil para-hidroksibenzoat (Ethyl para-hydroxybenzoate)

  d. Kalsium benzoat (Calcium benzoic)

  c. Kalium benzoat (Kalium benzoate)

  b. Natrium benzoat (Sodium benzoate)

  a. Natrium nitrat (Sodium nitrate) b. Kalium nitrat (Potassium nitare)

  9. Asam propionat dan garamnya (Propionic acid and its salts) :

  a. Asam propionat (Propionic acid)

  b. Natrium propionat (Sodium propionate)

  c. Kalsium propionat (Calcium propionate)

  d. Kalium propionat (Potassium propionate)

  10. Lisozim hidroklorida (Lysozyme hydrochloride)

2.3.5. Bahan Pengawet yang Tidak Diizinkan

  1. Asam Salisilat (Aspirin) Sering ditemukan pada buah dan sayur. Zat ini merupakan suatu antiseptik yang berfungsi untuk memperpanjang masa keawetan. Namun demikian, seringkali petani menyemprotkan asam salisilat ke tanaman buah dan sayur sebagai cara untuk mngusir hama tanaman.

  2. Formalin Penggunaan formalin bukan untuk makanan, melainkan sebagai antiseptik, germisida, dan pengawet nonpangan. Di pasaran, formalin bisa ditemukan dalam bentuk yang sudah diencerkan, dengan kandungan formaldehid 10-40%

  3. Boraks (Asam Borat) Meskipun bukan pengawet makanan, boraks sering puladigunakan sebagai pengawet makanan. Selain sebagai pengawet, bahan ini berfungsi untuk mengenyalkan makanan.

  4. Potassium Chlorate Potassium Chlorate juga telah dinyatakan dilarang untuk bahan tambahan

  makanan. Bahan ini seringkali di gunakan oleh pedagang makanan untuk mengawetkan makanan.

  5. Kloramfenikol Merupakan suatu antibiotika, namun sering di salahgunakan untuk pengawet susu karena dapat mematikan mikroba pengurai yang terdapat di dalam susu.

6. Dyethylpylocarbonate (DEPC)

  Bahan berbahaya ini sering digunakan oleh produsen makanan dan minuman untuk pengawet. DEPC berfungsi sebagai anti mikroba untuk jamur, ragi dan bakteri pada produk-produk minuman ringan (nonkarbonasi), minuman sari buah dan minuman hasil fermentasi.

  7. Potassium Bromate Potassium Bromate tidak boleh digunakan sebagai bahan tambahan

  makanan mengingat merupakan bahan kimia yang dalam dosis berlebih dalam tubuh dapat menyebabkan muntah-muntah, diare, methemoglobinemia, dan reinjury (Yuliarti, 2007).

2.4. Boraks

2.4.1. Pengertian Boraks Asam borat merupakan senyawa bor yang dikenal dengan nama boraks.

  Boraks adalah senyawa kimia turunan dari logam berat boron (B). Asam borat terdiri atas tiga macam senyawa, yaitu : asam ortoborat (H

  3 BO 3 ), asam metaborat

  (HBO

  2 ), dan asam piroborat (H

2 B

  4 O 7 ). Komposisi dan bent bentuk asam borat

  mengandung 99,0% dan 100,5% H

  3 BO 3 . Mempunyai bobot bobot molekul 61,83

  dengan B = 17,50%; ; H = 4,88 %; O = 77,62 %. Boraks adalah se h seyawa berbentuk kristal transparan atau tau granul putih, tidak berwarna dan tidak be k berbau serta agak manis serta stabil pada pada suhu dan tekanan normal. Dalam air, boraks boraks akan berubah menjadi natrium hidroks droksida dan asam borat.

  Senyawa asam sam borat ini mempunyai sifat-sifat kimia se sebagai berikut : jarak lebur sekitar 171°C 171°C, larut dalam 18 bagian air dingin, 4 bagia gian air mendidih, 5 bagian gliserol 85% 85% dan tak larut dalam eter. Kelarutan dalam lam air bertambah dengan penambahan a n asam klorida, asam sitrat atau asam tartrat. M t. Mudah menguap dengan pemanasan da dan kehilangan satu molekul airnya pada suhu suhu 100°C yang secara perlahan berub bah menjadi asam metaborat (HBO

  2 ). Asam bor borat merupakan

  asam lemah dan gar garam alkalinya bersifat basa. Satu gram as asam borat larut sempurna dalam30 ba 30 bagian air, menghasilkan larutan yang je jernih dan tidak berwarna. Asam bor borat tak tercampur dengan alkali karbonat at dan hidroksida (Cahyadi, 2009).

  Asam boraks ks merupakan zat pengawet berbahaya yang g tidak diizinkan sebagai campuran baha ahan makanan (Syah, 2005).

Gambar 2.1 Stuktur Kimia Boraks (Sumber : Anonim, 2013)

  2.4.2. Fungsi Boraks

  Boraks merupakan pembersih, fungisida, herbisida dan insektisida yang bersifat toksik. Dalam kondisi toksik yang kronis (karena mengalami kontak dalam jumlah sedikit demi sedikit namun dalam jangka waktu yang panjang) akan mengakibatkan tanda-tanda merah pada kulit, seizure, dan gagal ginjal. Boraks juga dapat mengakibatkan iritasi pada kulit, mata atau saluran respirasi, mengganggu kesuburan dan janin. Boraks umumnya digunakan untuk mematri logam, pembuatan gelas, sebagai pengawet kayu dan pembasmi kecoa. Namun zat ini sering disalahgunakan sebagai campuran untuk pembuatan bakso, kerupuk, pempek, pisang molen, pangsit, tahu, dan bakmi (Saparinto, 2006).

  2.4.3. Boraks pada Makanan

  Meskipun bukan pengawet makanan, boraks sering pula digunakan sebagai pengawet makanan. Selain sebagai pengawet, bahan ini berfungsi pula mengenyalkan makanan. Makanan yang sering ditambahkan boraks diantaranya adalah bakso, lontong, mie, kerupuk, dan berbagai makanan tradisional seperti “lempeng” dan “alen-alen”. Di masyarakat daerah tertentu boraks juga dikenal dengan sebutan garam bleng, bleng atau pijer dan sering digunakan untuk mengawetkan nasi untuk dibuat makanan yang sering disebut legendar atau gendar (Yuliarti, 2007).

  Menurut Depkes RI (2002) didalam Pane (2013), Efek boraks yang diberikan pada makanan dapat memperbaiki struktur dan tekstur makanan. Seperti contohnya bila boraks diberikan pada bakso dan lontong akan membuat bakso/lontong tersebut sangat kenyal dan tahan lama, sedangkan pada kerupuk yang mengandung boraks jika digoreng akan mengembang dan empuk serta memiliki tekstur yang bagus dan renyah. Parahnya, makanan yang telah diberi boraks dengan yang tidak atau masih alami, sulit untuk dibedakan jika hanya dengan panca indera, namun harus dilakukan uji khusus boraks di Laboratorium.

2.4.4. Mekanisme Toksisitas Boraks

  Menurut (Lu,1995) didalam (Pane, 2013), Proses masuknya boraks ke dalam tubuh yaitu melalui oral dimana manusia memakan makanan yang mengandung boraks. Kemudian boraks yang masuk ke dalam tubuh diabsorbsi secara kumulatif oleh saluran pencernaan (usus/lambung) dan selaput lendir (membran mukosa) dan sedikit demi sedikit boraks terakumulasi. Konsumsi boraks secara terus menerus dapat mengganggu gerak pencernaan usus dan dapat mengakibatkan usus tidak mampu mengubah zat makanan sehingga tidak dapat diserap dan diedarkan keseluruh tubuh. Kemudian boraks didistribusikan lewat peredaran darah oleh vena porta ke hati. Hati mempunyai banyak tempat pengikatan. Kadar enzim yang memetabolisme xenobiotik di dalam hati juga tinggi terutama enzim sitokrom P-450. Enzim ini membuat sebagian besar toksikan menjadi kurang toksik dan lebih mudah larut dalam air sehingga lebih mudah diekskresikan oleh hati.

  Boraks yang terdapat dalam makanan akan diserap oleh tubuh dan disimpan secara kumulatif dalam hati, otak, atau testis, sehingga dosis boraks dalam tubuh menjadi tinggi. Efek negatif boraks apabila terdapat dalam makanan, maka dalam jangka waktu lama walau hanya sedikit akan terjadi akumulasi (penumpukan) pada otak, hati, lemak dan ginjal. Pemakaian dalam jumlah banyak dapat menyebabkan demam, depresi, kerusakan ginjal, nafsu makan berkurang, gangguan pencernaan, kebodohan, kebingungan, radang kulit, anemia, kejang, pingsan, koma bahkan kematian. Pada dosis cukup tinggi, boraks dalam tubuh akan menyebabkan timbulnya gejala pusing-pusing, muntah, mencret, dan kram perut. Bagi anak kecil dan bayi, bila dosis dalam tubuhnya mencapai 5 gram atau lebih, akan menyebabkan kematian. Pada orang dewasa, kematian akan terjadi jika dosisnya telah mencapai 10 – 20 gr atau lebih (Yuliarti, 2007).

2.4.5. Efek Boraks Terhadap Kesehatan Efek farmakologi dan toksisitas asam borat merupakan bakterisida lemah.

  Larutan jenuhnya tidak membunuh Staphylococcus aureus. Oleh karena toksisitas lemah sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengawet pangan. Walaupun demikian, pemakaian berulang atau dosis berlebihan dapat mengakibatkan toksik (keracunan). Asam borat juga bersifat teratogenik pada anak ayam. Absorbsinya melalui saluran cerna, sedangkan ekskresinya yang utama melalui ginjal. Jumlah yang relatif besar ada pada otak, hati, dan ginjal sehingga perubahan patologinya dapat dideteksi melalui otak dan ginjal (Cahyadi, 2009).

  Boraks biasanya bersifat racun bagi sel-sel tubuh, berbahaya bagi semua susunan syaraf pusat, ginjal dan hati. Jika tertelan akan menimbulkan kerusakan pada usus, otak dan ginjal. Jika digunakan berulang secara kumulatif akan tertimbun dalam otak, hati dan jaringan lemak. Asam boraks ini akan menyerang sistem syaraf pusat dan menimbulkan gejala, mual, muntah, diare, iritasi kulit, dan gangguan sirkulasi darah (Syah, 2005).

  Pengaruhnya terhadap organ tubuh tergantung konsentrasi yang dicapai dalam organ tubuh. Karena kadar tertinggi tercapai pada waktu diekskresi maka ginjal merupakan organ yang paling terpengaruh dibandingkan dengan organ yang lain. Dosis tertinggi yaitu 10-20 gr/kg berat badan orang dewasa dan 5 gr/kg berat badan anak-anak akan menyebabkan keracunan bahkan kematian. Sedangkan dosis terendah yaitu dibawah 10-20 gr/kg berat badan orang dewasa dan kurang dari 5 gr/kg berat badan anak-anak (Saparinto dan Hidayati, 2006). Dilihat dari efek farmakologi dan toksisitasnya, maka asam borat dilarang digunakan dalam pangan (Cahyadi, 2009).

2.5. Bakso

2.5.1. Pengertian Bakso

  Menurut SNI 01-3818-1995, bakso merupakan produk makanan berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ternak, dengan kadar daging tidak kurang dari 50 % dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang diizinkan (Sugiharti, 2009).

  Menurut Widyaningsih (2006), selain daging, dalam pembuatan bakso juga ditambahkan garam dapur (NaCl), tepung tapioka, dan bumbu kemudian bakso dibentuk bulat menyerupai kelereng dengan berat 25-30 gr per butir. Tekstur bakso yang kenyal merupakan ciri spesifik produk olahan ini. Variasi bakso terjadi karena perbedaan bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan, proporsi daging dengan tepung dan proses pembuatannya.

  Kandungan bakso yang mengandung protein tinggi, kadar air yang tinggi dan pH netral membuat bakso rentan terhadap kerusakan dan hanya akan bertahan selama satu hari (Widyaningsih, 2006). Industri bakso umumnya memiliki target masa simpan selama 4 hari, yaitu 1 hari berada di pabrik, 1 hari berada di pedagang grosir, 1 hari berada di pedagang menengah, dan 1 hari berada di pedagang keliling (Sugiharti, 2009).

  Demi menjaga kualitas bakso agar tidak rusak, biasanya para produsen bakso menggunakan bahan pengawet. Bahan pengawet ini memegang peranan penting dalam melindungi dan memanipulasi sifat fisik dan organoleptik bahan pangan. Jenis bahan pengawet yang sering digunakan oleh produsen bakso adalah boraks dan formalin karena harganya yang relatif murah dan memiliki daya awet yang tinggi (Sugiharti, 2009).

2.5.2. Proses Pembuatan Bakso

  Menurut Widyaningsih (2006), tahapan proses dalam pembuatan bakso adalah sebagai berikut :

  1. Pemotongan daging Daging segar yang telah dipilih dihilangkan lemak dan uratnya kemudian dipotong-potong kecil untuk memudahkan proses penggilingan. Es batu dimasukkan pada waktu penggilingan untuk menjaga elastisitas daging, sehingga bakso yang dihasilkan akan lebih kenyal.

  2. Penggilingan Daging yang telah dipotong-potong dimasukkan ke dalam mesin penggilingan daging sehingga daging akan menjadi hancur dan lumat. Es batu dimasukkan pada waktu penggilingan. Fungsi es batu agar menghasilkan bakso yang lebih kenyal. Semakin halus hasil penggilingan daging, tekstur bakso yang dihasilkan juga akan semakin baik.

  3. Pencampuran Daging yang telah dilumat dicampur dengan tapioka dan bumbu-bumbu yang telah dihaluskan. Bila perlu digiling kembali sehingga daging, tapioka, dan bumbu-bumbu dapat tercampur homogen (rata) membentuk adonan yang halus.

  4. Pencetakan Adonan yang terbentuk dituang ke dalam wadah, siap untuk dicetak berbentuk bulatan bola kecil. Cara mencetak dapat dilakukan dengan tangan, yaitu dengan cara mengepal-ngepal adonan dan kemudian ditekan sehingga adonan yang telah memadat akan keluar berupa bulatan atau dapat juga digunakan sendok kecil untuk mencetaknya.

  5. Perebusan Bulatan-bulatan bakso yang telah terbentuk kemudian langsung direbus di dalam panci yang berisi air mendidih. Perebusan dilakukan sampai bakso matang yang ditandai dengan mengapungnya bakso ke permukaan.

  6. Pendinginan Bakso yang telah matang ditiriskan, setelah dingin dan tiris, bakso dapat dikemas atau dipasarkan.

2.5.3. Ciri-Ciri Bakso yang Baik

  Menurut Widyaningsih (2006), bakso yang baik adalah bakso yang terbuat dari daging yang berkualitas dan biasanya memiliki komposisi 90 % daging dan

  10 % tepung tapioka. Selain itu, sebaiknya daging yang digunakan dalam pembuatan bakso merupakan daging yang tidak berlemak karena bakso yang dibuat dengan daging yang berkadar lemak tinggi akan menghasilkan tekstur bakso menjadi kasar.

  Ciri-ciri bakso yang baik adalah : 1. Berbau khas bakso.

  2. Memiliki tekstur yang agak kasar.

  3. Tingkat kekenyalannya sedang.

  4. Berwarna abu-abu segar merata di semua bagian.

2.5.4. Ciri-Ciri Bakso yang Mengandung Pengawet

  Menurut Syah (2005), cukup sulit menentukan apakah suatu makanan mengandung boraks. Hanya lewat uji laboratorium, semua bisa jelas. Namun, penampakan luar memang bisa dicermati karena ada perbedaan yang bisa dijadikan pegangan untuk menentukan suatu makanan aman dari boraks atau tidak. Bakso yang mengandung boraks lebih kenyal dibandingkan dengan bakso tanpa boraks, bila digigit akan kembali kebentuk semula, tahan lama atau awet beberapa hari, warnanya tampak lebih putih (Rahmanita, 2011).

2.6. Perilaku

2.6.1. Defenisi Perilaku

  Dari aspek biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Manusia mempunyai bentangan yang sangat luas, sepanjang kegiatan yang dilakukan manusia tersebut antara lain : berjalan, berbicara, bekerja, menulis, membaca, berpikir, dll.

  Secara singkat aktivitas manusia dikelompokkan menjadi 2 yakni :

  a) Aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain, misalnya : berjalan, bernyanyi, tertawa, dll.

  b) Aktivitas yang tidak dapat diamati oleh orang lain, misalnya : berpikir, berfantasi, bersikap, dll.

  Menurut Skinner (1938), seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian perilaku manusia terjadi melalui proses “S – O – R” atau Stimulus → Organisme → Respon.

  Berdasarkan teori “S – O – R” tersebut, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu :

  1. Perilaku Tertutup (Covert Behavior) Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan, dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan.

  Contoh : Ibu hamil tahu pentingnya periksa kehamilan untuk kesehatan bayi dan dirinya sendiri adalah merupakan pengetahuan (knowledge).

  Kemudian ibu tersebut bertanya kepada tetangganyadi mana tempat periksa kehamilan yang dekat adalah merupakan sikap (attitude).

  2. Perilaku Terbuka (Overt Behavior) Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar.

  Contoh : Seorang ibu hamil memeriksakan kehamilannya kepuskesmas atau bidan paktik, seorang penderita TB Paru minum obat anti TB secara teratur, seorang anak menggosok gigi setelah makan (Notoatmodjo, 2010).

2.6.2. Ranah (Domain) Perilaku

A. Pengetahuan (Knowledge)

  Menurut Notoatmodjo (2010), Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh malalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata).

  Secara garis besar pengetahuan seseorang dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu : a. Tahu (Know)

  Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu.

  Misalnya : tahu bahwa buah tomat banyak mengandung vitamin C, jamban adalah tempat membuang air besar, penyakit demam berdarah ditularkan oleh gigitan nyamuk Aedes Aegypti.

  b. Memahami (Comprehension) Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut,tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. Misalnya : orang yang memahami cara pemberantasan penyakit demam berdarah, bukan hanya menyebutkan 3M (mengubur, menutup, dan menguras), tetapi harus dapat menjelaskan mengapa harus mengubur, menutup, dan menguras tempat penampungan air tersebut.

  c. Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain. Misalnya : seseorang yang telah paham tentang proses perencanaan, ia harus dapat membuat perencanaan program kesehatan di tempat ia bekerja atau dimana saja.

  d. Analisis (Analysis) Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalahatau objek yang diketahui. Misalnya : dapat membedakan antara nyamuk Aedes Aegypti dengan nyamuk biasa, dapat membuat diagram siklus cacing kremi.

  e. Sintesis (Synthesis) Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Misalnya : dapat membuat atau meringkas dengan kata-kata atau kalimat sendiri hal-hal yang telah dibaca atau didengar, dapat membuat kesimpulan tentang artikel yang telah dibaca. f. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu.

  Misalnya : seorang ibu dapat menilai atau menentukan seorang anak menderita malnutrisi atau tidak, seseorang dapat menilai manfaat ikut KB bagi keluarga.

B. Sikap (Attitude)

  Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Menurut Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap adalah merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku.

  Seperti halnya pengetahuan, sikap ada beberapa tingkatan yakni :

  a. Menerima (Receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau menerima dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek) b. Merespon (Responding)

  Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

  c. Menghargai (Valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah. d. Bertanggung jawab (Responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko (Notoatmodjo, 2003).

C. Tindakan (Practice)

  Menurut Notoatmodjo (2003), tindakan adalah gerak atau perbuatan dari tubuh setelah mendapat rangsangan atau adaptasi dari dalam maupun dari luar tubuh atau lingkungan. Tindakan seseorang terhadap stimulus tertentu akan banyak ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan perasaannya terhadap stimulus tersebut.

  Tindakan ini dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan menurut kualitasnya, yaitu: a. Praktik terpimpin (Guided response)

  Apabila seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantug pada tuntunan atau menggunakan panduan.

  Misalnya : seorang ibu memeriksakan kehamilannya tetapi masih menunggu diingatkan oleh bidan atau tetangganya.

  b. Praktik secara mekanisme (Mechanism) Apabila seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis.

  Misalnya : seorang ibu selalu membawa anaknya ke Posyandu untuk ditimbang, tanpa harus menunggu perintah darir kader atau petugas kesehatan. c. Adopsi (Adoption) Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang.

  Artinya, apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas (Notoatmodjo, 2010).

2.7. Kerangka Konsep

  Permenkes R.I Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan Pemeriksaan laboratorium secara Uji Kualitatif

  • Ada - Tidak ada
  • Umur - Lama usaha
  • Modal usaha
  • Tingkat Pendidikan Perilaku Pedagang Bakso :
  • Pengetahuan

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

  Karakteristik Pedagang Bakso :

  Keberadaan boraks :

  Pemeriksaan boraks Bakso

Dokumen yang terkait

II. RIWAYAT PENYAKIT SEBELUMNYA - Analisis Risiko Pajanan Gas SO2 dan NO2 Sumber Transportasi terhadap Gangguan Saluran Pernafasan pada Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terpadu Amplas Kecamatan Medan Amplas Kota Medan

0 0 50

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Udara 2.1.1. Definisi Pencemaran Udara - Analisis Risiko Pajanan Gas SO2 dan NO2 Sumber Transportasi terhadap Gangguan Saluran Pernafasan pada Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terpadu Amplas Kecamatan Medan Ampla

0 0 34

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Risiko Pajanan Gas SO2 dan NO2 Sumber Transportasi terhadap Gangguan Saluran Pernafasan pada Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terpadu Amplas Kecamatan Medan Amplas Kota Medan

0 0 40

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja 2.1.1 Pengertian Remaja - Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Vulva Hygiene terhadap pH Organ Genitalia Internal pada Siswi SMAN 1 Tiga Panah Kabupaten Karo Tahun 2013

0 0 35

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Vulva Hygiene terhadap pH Organ Genitalia Internal pada Siswi SMAN 1 Tiga Panah Kabupaten Karo Tahun 2013

0 0 10

Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Vulva Hygiene terhadap pH Organ Genitalia Internal pada Siswi SMAN 1 Tiga Panah Kabupaten Karo Tahun 2013

0 1 18

d) Penyuluhan e) Lampiran 1 - Perilaku Kader dalam Pemantauan Pertumbuhan Balita di Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung

0 0 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Balita - Perilaku Kader dalam Pemantauan Pertumbuhan Balita di Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Perilaku Kader dalam Pemantauan Pertumbuhan Balita di Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung

0 1 8

Pemeriksaan Boraks Pada Bakso yang Dijual Pedagang Kaki Lima dan Warung Bakso di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru Tahun 2014

0 0 27