Mengelola Keuangan Rumah Tangga Yang Isl

Mengelola Keuangan Rumah Tangga Yang Islami
Nov 15, 2013 Artikel, Motivasi Diri 0

Oleh: Prof Muhammad (Ketua Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Yogyakarta)
Harta dalam Islam merupakan amanah dan hak milik seseorang.
Kewenangan untuk menggunakannya terkait erat dengan adanya kemampuan
(kompetensi) dan kepantasan (integritas) dalam mengelola aset atau dalam
istilah prinsip kehati-hatian perbankan (prudential principle).
Prinsip Islam mengajarkan bahwa “Sebaik-baik harta yang shalih (baik)
adalah dikelola oleh orang yang berkepribadian shalih (amanah dan
profesional).”
Hak bekerja dalam arti kebebasan berusaha,
berdagang, memproduksi barang maupun jasa untuk mencari rezki Allah
secara halal merupakan hak setiap manusia tanpa diskriminasi antara laki
dan perempuan. Bila kita tahu bahwa kaum wanita diberikan oleh Allah
hak milik dan kebebasan untuk memiliki, maka sudah semestinya mereka
juga memiliki hak untuk berusaha dan mencari rezki.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji seseorang yang mengkonsumsi hasil usahanya
sendiri dengan sabdanya: “Tidaklah
seseorang mengkonsumsi makanan lebih baik dari mengkonsumsi makanan
yang diperoleh dari hasil kerja sendiri, sebab nabi Allah, Daud, memakan

makanan dari hasil kerjanya.” (HR. Bukhari). “Semoga Allah
merahmati seseorang yang mencari penghasilan secara baik, membelanjakan
harta secara hemat dan menyisihkan tabungan sebagai persediaan di saat
kekurangan dan kebutuhannya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Hal ini
menunjukkan bahwa Islam menghendaki setiap muslim untuk dapat mengelola
usaha dan berusaha secara baik, mengelola dan memenej harta secara
ekonomis, efisien dan proporsional serta memiliki semangat dan kebiasaan
menabung untuk masa depan dan persediaan kebutuhan mendatang. Prinsip
ini sebenarnya menjadi dasar ibadah kepada Allah agar dapat diterima
(mabrur) karena saran, niat dan caranya baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:“Sesungguhnya Allah itu baik dan hanya menerima yang baik-baik
saja.” (HR. Muslim).
Kesadaran
akuntabilitas (ma’uliyah) dalam bidang keuangan itu yang mencakup aspek
manajemen pendapatan dan pengeluaran timbul karena keyakinan adanya
kepastian audit dan pengawasan dari Allah subhanahu wa ta’ala seperti sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:

“Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan beranjak dari tempat

kebangkitannya di hari kiamat sebelum ia ditanya tentang empat hal, di
antaranya tentang hartanya; dari mana dia memperoleh dan bagaimana ia
membelanjakan.” (HR. Tirmidzi).
NAFKAH DALAM KELARGA

Secara
prinsip, fitrah kewajiban memberikan nafkah merupakan tanggung jawab
suami sehingga wajib bekerja dengan baik melalui usaha yang halal dan
wanita sebagai kaum istri bertanggung jawab mengelola dan merawat aset
keluarga. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Kaum
laki-laki itu adalah pengayom bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian
dari harta mereka…” (QS. An-Nisa:34). Dengan demikian, posisi
kepala rumah tangga bagi suami paralel dengan konsekuensi memberi nafkah
dan komitmen perawatan keluarganya secara lazim. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallamsecara proporsional telah mendudukkan posisi masing-masing bagi suami istri dalam
sabdanya: “Setiap
kalian adalah pengayom dan setiap pengayom akan dimintai
pertanggungjawaban atas apa yang harus diayominya. Suami adalah pengayom

bagi keluarganya dan bertanggung jawab atas anggota keluarga yang
diayominya. Istri adalah pengayom bagi rumah tangga rumah suaminya dan
akan dimintai pertanggungjawaban atas aset rumah tangga yang
diayominya…” (HR. Bukhari) Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan putrinya,
Fatimah dengan Ali radhiyallahu ‘anhuma beliau berwasiat kepada menantunya: “Engkau
berkewajiban bekerja dan berusaha sedangkan ia berkewajiban mengurus (memenej)
rumah tangga.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Jadi,
sharing suami-istri dalam aspek keuangan keluarga adalah dalam bentuk
tanggung jawab suami untuk mencari nafkah halal dan tanggung jawab istri
untuk mengurus, mengelola, merawat dan memenej keuangan rumah tangga.
Meskipun demikian, bukan berarti suami tidak boleh memberikan bantuan
dalam pengelolaan aset dan keuangan rumah tangganya bila istri kurang
mampu atau memerlukan bantuan. Dan juga sebaliknya tidak ada larangan
Syariah bagi istri untuk membantu suami terlebih ketika kurang mampu
dalam memenuhi kebutuhan keluarga dengan cara yang halal dan baik serta
tidak membahayakan keharmonisan dan kebahagiaan rumah tangga selama
suami mengizinkan, bahkan hal itu akan bernilai kebajikan bagi sang
istri. Bukankah Khadijah radhiyallahu ‘anha. ikut andil dalam membantu mencukupi kebutuhan


keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. sebagai bentuk ukhuwah dan tolong menolong dalam
kebajikan. (QS.Al-Maidah:2)
Prinsip
keadilan Islam menjamin bagi kaum wanita hak untuk mencari karunia
Allah (rezki) sesuai kodrat tabiatnya dan ketentuan syariat dengan niat
mencukupi diri dan keluarga untuk beribadah kepada Allah secara khusyu’.
Meskipun demikian, istri harus memiliki keyakinan bahwa tugas utama
dalam keluarganya adalah mengatur urusan rumah tangga dan mengelola
keuangan keluarga bukan mencari nafkah. Para Ahli tafsir (Mufassirin)
menyimpulkan dari surat An-Nisa: 32 : “bagi para lelaki ada bahagian
dari apa yang mereka usahakan dan bagi para wanita (pun) ada bahagian
dari apa yang mereka usahakan…”, prinsip dasar hak dan kebebasan
wanita untuk berusaha mencari rezki. Sejarah Islam di masa Nabi telah
membuktikan adanya sosial kaum wanita dalam peperangan, praktek
pengobatan dan pengurusan logistik. Di samping itu mereka juga terlibat
dalam aktivitas perniagaan dan membantu suami dalam pertanian.
MANAJEMEN KEUANGAN KELUARGA
Manajemen
keuangan keluarga islami harus dilandasi prinsip keyakinan bahwa
penentu dan pemberi rezki adalah Allah dengan usaha yang diniati untuk

memenuhi kebutuhan keluarga agar dapat beribadah dengan khusyu’ sehingga
memiliki komitmen dan prioritas penghasilan halal yang membawa berkah
dan menghindari penghasilan haram yang membawa petaka. Rasulullah
bersabda: “Barang siapa berusaha dari yang haram kemudian menyedekahkannya, maka ia
tidak mempunyai pahala dan dosa tetap di atasnya.”
Dalam riwayat lain disebutkan: “Demi
Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah seorang hamba memperoleh
penghasilan dari yang haram kemudian membelanjakannya itu akan mendapat
berkah. Jika ia bersedekah, maka sedekahnya tidak akan diterima.
Tidaklah ia menyisihkan dari penghasilan haramnya itu kecuali akan
menjadi bekal baginya di neraka. Sesungguhnya Allah tidak akan menghapus
kejelekan dengan kejelekan, tetapi menghapus kejelekan itu dengan
kebaikan sebab kejelekan tak dapat dihapus dengan kejelekan pula.” (HR. Ahmad) Dan
sabdanya: “Daging yang tumbuh dari harta haram tidak akan bertambah kecuali neraka lebih
pantas baginya.” (HR. Tirmidzi).
Seorang
wanita shalihah akan selalu memberi saran kepada suaminya ketika hendak
mencari rezki, “Takutlah kamu dari usaha yang haram sebab kami masih
mampu bersabar di atas kelaparan, tetapi tidak mampu bersabar di atas
api neraka.” Demikian pula sebaliknya suami akan berwasiat kepada

istrinya untuk menjaga amanah Allah dalam mengurus harta yang

dikaruniakan-Nya, agar dibelanjakan secara benar tanpa boros, kikir
maupun haram. Firman Allah yang memuji hamba-Nya yang baik: “..Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu)
di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan:67)
Dalam mencari pendapatan, Islam tidak memperkenankan seseorang untuk ngoyo
dalam pengertian berusaha di luar kemampuannya dan terlalu terobsesi
sehingga mengorbankan atau menelantarkan hak-hak yang lain baik kepada
Allah, diri maupun keluarga seperti pendidikan dan perhatian kepada anak
dan keluarga. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya
bagi dirimu, keluargamu dan tubuhmu ada hak atasmu yang harus engkau
penuhi, maka berikanlah masing-masing pemilik hak itu haknya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Allah
telah menegaskan bahwa bekerja itu hendaknya sesuai dengan batas-batas
kemampuan manusia.(QS.Al-Baqarah:286). Namun bila kebutuhan sangat
banyak atau pasak lebih besar daripada tiang maka dibutuhkan kerjasama
yang baik dan saling membantu antara suami istri dalam memperbesar
pendapatan keluarga dan melakukan efisiensi dan penghematan sehingga

tiang penyangga lebih besar dari pada pasak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Janganlah
kamu bebani mereka dengan apa-apa yang mereka tidak sanggup memikulnya.
Dan apabila kamu harus membebani mereka di luar kemampuan, maka
bantulah mereka.” (HR. Ibnu Majah).
Dalam manajemen keuangan
keluarga juga tidak dapat dilepaskan dari optimalisasi potensi keluarga
termasuk anak-anak untuk menghasilkan rezki Allah. Islam senantiasa
memperhatikan masalah pertumbuhan anak dengan anjuran agar anak-anak
dilatih mandiri dan berpenghasilan sejak usia remaja di samping berhemat
agar pertumbuhan ekonomi keluarga muslim dapat berjalan lancar yang
merupakan makna realisasi keberkahan secara kuantitas maka Islam
melarang orang tua untuk memanjakan anak-anak sehingga tumbuh menjadi
benalu, tidak mandiri dan bergantung kepada orang lain. Firman Allah
Swt. di awal (QS. An-Nisa [4]:6) mengisyaratkan bahwa kita wajib
mendidik dan membiasakan anak-anak untuk cakap mengurus, mengelola dan
mengembangkan harta, sehingga mereka dapat hidup mandiri yang nantinya
akan menjadi kepala rumah tangga bagi laki-laki dan pengurus keuangan
keluarga bagi perempuan, di samping anak terlatih untuk bekerja,
meringankan beban dan membantu orang tua.

PEMBELANJAAN DAN POLA KONSUMSI ISLAMI

Pengeluaran
atau pembelanjaan adalah mengelola harta yang halal untuk mendapatkan
manfaat material ataupun spiritual sehingga membantu para anggota
keluarga dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam hal ini terdapat beberapa
jenis pembelanjaan yang bermanfaat bagi generasi yang akan datang, dan
pembelanjaan dengan jalan baik (amal shaleh) untuk mendapatkan pahala di
akhirat, seperti zakat dan sedekah.

Syariat Islam mengajarkan beberapa aturan yang mengatur pembelanjaan keluarga muslim, di antaranya
secara garis besar adalah:

1. Komitmen pembelanjaan dan pemenuhan kebutuhan dana adalah kewajiban suami

Suami
bertanggung jawab mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya sesuai
dengan kebutuhan dan batas-batas kemampuannya. Allah berfirman: “Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan

Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan
(sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. At-Thalaq [65]:7)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “barang siapa yang menafkahkan hartanya
untuk istri, anak dan penghuni rumah tangganya, maka ia telah bersedekah.”
(HR. Thabrani). Hadits ini mengisyaratkan bahwa pemenuhan kebutuhan
dana atau pembelanjaan untuk anggota keluarga itu akan berubah dari
bentuk pengeluaran yang bersifat material (nafkah) menjadi pengeluaran
yang bersifat spiritual ibadah (infaq) yang membawa pahala dari Allah.
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam Haji Wada’: “Ayomilah
kaum wanita (para istri) karena Allah, sebab mereka adalah mitra
penolong bagimu. Kamu telah memperistri mereka dengan amanah Allah dan
kemaluan mereka menjadi halal bagimu dengan kalimat Allah. Kamu berhak
melarang mereka untuk membiarkan orang yang engkau benci memasuki
kediamanmu. Mereka berhak atasmu untuk dipenuhi kebutuhan nafkah dan
pakaian secara lazim.”
Menjawab pertanyaan seorang sahabat tentang kewajiban suami terhadap istrinya,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dia
memberinya makan ketika dia makan dan memberinya pakaian ketika ia
berpakaian, serta janganlah dia meninggalkannya kecuali sekadar pisah

ranjang dalam rumah. Ia tidak boleh memukul wajahnya dan
menjelek-jelekkannya.” Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan pernah mendatangi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bercerita bahwa Abu Sufyan adalah seorang suami yang

pelit, “ia
tidak pernah memberiku dan anak-anakku nafkah secara cukup. Oleh karena
itu aku pernah mencuri harta miliknya tanpa sepengetahuannya.” Lalu rasul
bersabda: “Ambillah dari hartanya dengan ma’ruf (baik-baik) sebatas apa yang dapat
mencukupimu dan anakmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Seorang sahabat bercerita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa dia mempunyai
uang satu dinar. Rasulullah bersabda: “Bersedekahlah
dengannya untuk dirimu, kemudian sahabat itu bertanya, ‘bagaimana jika
aku mempunyai sesuatu yang lain?’ rasul menjawab, ‘bersedekahlah
dengannya untuk istrimu.’ Kemudian ia bertanya lagi, ‘dan bagaimana jika
aku mempunyai sesuatu yang lain?’ Rasul menjawab, ‘bersedekahlah
dengannya untuk pelayanmu.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
2. Kewajiban menafkahi orang tua yang membutuhkan

Di
antara kewajiban anak adalah memberi nafkah kepada orang tuanya yang

sudah lanjut usia (jompo) sebagai salah satu bentuk berbuat baik kepada
orang tua, seperti diisyaratkan Al-Qur’an: “Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra:23). Rasul bersabda: “Kedua
orang tua itu boleh makan dari harta anaknya secara ma’ruf (baik) dan
anak tidak boleh memakan harta kedua orang tuanya tanpa seizin mereka.” (HR. Dailami)
Menurut
Ibnu Taimiyah, seorang anak yang kaya wajib menafkahi bapak, ibu dan
saudara-saudaranya yang masih kecil. Jika anak itu tidak melaksanakan
kewajibannya, berarti ia durhaka terhadap orang tuanya dan berarti telah
memutuskan hubungan kekerabatan. Selain itu, suami dan istri harus
percaya bahwa memberi nafkah kepada kedua orang tua adalah suatu
kewajiban seperti halnya membayar utang kedua orang tua yang bersifat
mengikat dan bukan sekadar sukarela. Hal itu tidak sama dengan
memberikan sedekah kepada kerabat yang membutuhkan yang sifatnya
kebajikan.

3. Istri Boleh Membantu Keuangan Suami

Jika
seorang suami tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangganya karena
fakir, istri boleh membantu suaminya dengan cara bekerja atau berdagang.
Hal itu merupakan salah satu bentuk ta’awun ‘ala birri wat taqwa
(saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan) yang dianjurkan
Islam. Selain itu, istri pun boleh memberikan zakat hartanya kepada

suaminya yang fakir atau memberi pinjaman kepada suami apabila suami
tidak termasuk fakir yang berhak menerima zakat.
4. Istri Bertanggung Jawab Mengatur Keuangan Rumah Tangga

Telah
dijelaskan bahwa suami wajib berusaha dan bekerja dari harta yang halal
dan istri bertanggung jawab mengatur belanja dan konsumsi keluarga
dalam koridor mewujudkan lima tujuan syariat Islam, yaitu dalam rangka
memelihara agama, akal, kehormatan, jiwa dan harta. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam: “Istri adalah pengayom bagi rumah tangga suaminya dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas aset rumah tangga yang diayominya…” (HR. Bukhari). “Bila
seorang istri menyedekahkan makanan rumah tanpa efek yang merusak
kebutuhan keluarga, maka dia mendapat pahala dari amalnya. Demikian pula
suami mendapatkan pahala dari hasil usahanya, demikian pula pelayan
mendapatkan bagian pahala tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. Tahbrani).
5. Istri berkewajiban untuk hemat dan ekonomis.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak akan jatuh miskin orang yang
berhemat”. (HR. Ahmad). Selain itu ia harus realistis menerima apa yang dimilikinya (qana’ah).
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh beruntung orang yang masuk Islam,
diberi rezki cukup dan menerima apa yang Allah berikan kepadanya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
6. Seimbang Antara Pendapatan dan Pengeluaran yang Bermanfaat

Istri
tidak boleh membebani suami dengan beban kebutuhan dana di luar
kemampuannya. Ia harus dapat mengatur pengeluaran rumah tangganya
seefisien mungkin menurut skala prioritas sesuai dengan penghasilan dan
pendapatan suami, tidak boros dan konsumtif. (QS. Al-Baqarah:236, 286)
Abu bakar pernah berkata: “Aku membenci penghuni rumah tangga yang membelanjakan atau
menghabiskan bekal untuk beberapa hari dalam satu hari saja.”
Islam
menganjurkan umatnya untuk bekerja dan berusaha dengan baik . Islam
juga menganjurkan agar hasil usahanya dikeluarkan untuk tujuan yang baik
dan bermanfaat. Keluarga muslim dalam mengelola pembelanjaan, harus
berprinsip pada pola konsumsi islami yaitu berorientasi kepada kebutuhan
(need) di samping manfaat (utility) sehingga hanya
akan belanja apa yang dibutuhkan dan hanya akan membutuhkan apa yang
bermanfaat. (QS. Al-Baqarah:172, Al-Maidah:4, Al-A’raf:32). Dalam
berumah tangga, suami-istri hendaknya memiliki konsep bahwa pembelanjaan
hartanya akan berpahala jika dilakukan untuk hal-hal yang baik dan
sesuai dengan perintah agama. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya tidaklah

kamu menafkahkan suatu nafkah dengan ikhlas karena Allah kecuali kamu mendapat
pahala darinya.” (Muttafaq ‘Alaih).
7. Skala Prioritas Pengeluaran (Perlu/Needs Vs Ingin/Wants)
Islam
mengajarkan agar pengeluaran rumah tangga muslim lebih mengutamakan
pembelian kebutuhan-kebutuhan pokok sehingga sesuai dengan tujuan
syariat. Ada tiga jenis kebutuhan rumah tangga, yaitu:
a. Kebutuhan primer,
yaitu nafkah-nafkah pokok bagi manusia yang diperkirakan dapat
mewujudkan lima tujuan syariat (memelihara jiwa, akal, agama, keturunan
dan kehormatan). Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan, minum,
tempat tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan dan pernikahan.
b. Kebutuhan sekunder,
yaitu kebutuhan untuk memudahkan hidup agar jauh dari kesulitan.
Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi sebelum kebutuhan primer terpenuhi.
Kebutuhan ini pun masih berhubungan dengan lima tujuan syariat.
c. kebutuhan pelengkap.
Yaitu kebutuhan yang dapat menambah kebaikan dan kesejahteraan dalam
kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini bergantung pada kebutuhan
primer dan sekunder dan semuanya berkaitan dengan tujuan syariat.
Prioritas
konsumsi dan pembelanjaan ini juga terkait dengan prioritas hak-hak
yaitu hak terhadap diri (keluarga), Allah (agama), orang lain. Orang
lain juga diukur menurut kedekatan nasab dan rahim, yang paling utama
adalah orang tua kemudian saudara. (QS.Al-Anfal:75) Aplikasi
aturan-aturan di atas menuntut peran ibu rumah tangga untuk
memperhitungkan pengeluaran rumah tangga secara bulanan berdasarkan tiga
kebutuhan di atas, dengan tetap menyesuaikannya dengan pendapatan,
sehingga rumah tangga muslim terhindar dari masalah-masalah perekonomian
yang ditimbulkan atau sikap boros untuk hal yang bukan primer.

Islam
mengharamkan pengeluaran yang berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan
karena dapat mengundang kerusakan dan kebinasaan. Allah berfirman: “Dan
jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan
kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (suatu mentaati Allah)
tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah
sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian
Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. Al-Isra’:16).

Selain itu, bergaya hidup mewah merupakan salah satu sifat orang-orang yang kufur terhadap nikmat
Allah. Firman-Nya: “Pemuka-pemuka
yang kafr di antara kaumnya dan yang mendustakan akan menemui hari
akhirat (kelak) dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan di
dunia…” (QS. Al-Mu’minun:33). Nabi juga sangat membenci gaya hidup mewah: “Makan,
minum dan berpakaianlah sesukamu, sebab yang membuat kamu berbuat
kesalahan itu dua perkara: bergaya hidup mewah dan berprasangka buruk.” (HR. Ibnu Umar
dan Ibnu Abbas).
8. Bersikap Pertengahan dalam Pembelanjaan

Islam
mengajarkan sikap pertengahan dalam segala hal termasuk dalam manajemen
pembelanjaan, yaitu tidak berlebihan dan tidak pula kikir atau terlalu
ketat. Sikap berlebihan adalah sikap hidup yang dapat merusak jiwa,
harta dan masyarakat, sementara kikir adalah sikap hidup yang dapat
menimbun, memonopoli dan menganggurkan harta. Kedua pola ekstrim dalam
konsumsi itu memiliki mendekati sifat mubadzir. Firman Allah: “Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu)
di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqon :67) “Dan
janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah
kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan
menyesal.” (QS. Al-Isra:29) “dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu
adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.” (QS. Al-Isra’: 26-27)
Sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Allah
akan memberikan rahmat kepada seseorang yang berusaha dari yang baik,
membelanjakan dengan pertengahan dan dapat menyisihkan kelebihan untuk
menjaga pada hari ia miskin dan membutuhkannya.” (HR. Ahmad). “Tidak akan miskin orang
yang bersikap pertengahan dalam pengeluaran.” (HR. Ahmad).
Jika
pembelanjaan kita telah sesuai dengan aturan-aturan Islam, Allah akan
memajukan usaha kita serta melipatgandakan pahala dan berkah-Nya. Bahkan
Allah akan memberikan kelebihan hasil usaha agar kita dapat menyimpan
dan menabungnya untuk menjaga datangnya hal-hal yang tidak terduga atau
untuk menjaga kelangsungan hidup generasi yang akan datang.

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (Studi Empiris Pada Perusahaan Property dan Real Estate Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

47 440 21

STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA EMPIRIS PADA PASIEN RAWAT INAP PATAH TULANG TERTUTUP (Closed Fracture) (Penelitian di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang)

11 138 24

STUDI PENGGUNAAN SPIRONOLAKTON PADA PASIEN SIROSIS DENGAN ASITES (Penelitian Di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang)

13 140 24

STUDI PENGGUNAAN ACE-INHIBITOR PADA PASIEN CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) (Penelitian dilakukan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan)

15 136 28

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

Efek Pemberian Ekstrak Daun Pepaya Muda (Carica papaya) Terhadap Jumlah Sel Makrofag Pada Gingiva Tikus Wistar Yang Diinduksi Porphyromonas gingivalis

10 64 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Analisa studi komparatif tentang penerapan traditional costing concept dengan activity based costing : studi kasus pada Rumah Sakit Prikasih

56 889 147

Analisis Pengaruh Faktor Yang Melekat Pada Tax Payer (Wajib Pajak) Terhadap Keberhasilan Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan

10 58 124

Perancangan Sistem Informasi Akuntansi Laporan Keuangan Arus Kas Pada PT. Tiki Jalur Nugraha Ekakurir Cabang Bandung Dengan Menggunakan Software Microsoft Visual Basic 6.0 Dan SQL Server 2000 Berbasis Client Server

32 174 203