BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tanggung Jawab Hukum Suami atau Istri Dalam Perceraian Terhadap Anak (Studi Kasus Putusan No. 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aturan perkawinan di Indonesia tidak saja dipengaruhi oleh adat setempat, tetapi juga

  dipengaruhi oleh berbagai ajaran Agama, seperti Agama Hindu, Budha, Kristen serta Agama Islam. Adanya beragam pengaruh dalam masyarakat tersebut mengakibatkan terjadinya banyak aturan yang mengatur masalah perkawinan. Perbedaan dalam cara melakukan perkawinan sebagai pengaruh dari pengaturan perkawinan membawa konsekuensi pada cara hidup kekeluargaan, kekerabatan, dan kekayaan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.

  Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebabkan terjadinya unifikasi dalam bidang perkawinan bagi seluruh warga negara Indonesia. Undang- undang Perkawinan tersebut diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975 bersamaan dengan saat berlakunya Peraturan Pelaksanaannya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

  Manusia adalah subjek hukum, pendukung hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum, sedangkan perkawinan merupakan suatu lembaga, yang sangat mempengaruhi kedudukan seseorang di bidang hukum. Oleh karena itu, negara berusaha untuk mengatur perkawinan, dengan suatu Undang-undang Nasional, yang dimaksudkan berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia, yaitu dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (selanjutnya dalam tesis ini disebut dengan Undang-undang Perkawinan), yang diharapkan dapat menciptakan unifikasi hukum di bidang hukum perkawinan atau hukum

  1 keluarga.

  Dalam ketentuan Pasal 1 Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Terjalinnya ikatan lahir dan bathin tersebut merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal merupakan tujuan ideal yang tinggi dan mencakup

  2

  pengertian jasmani dan rohani yang melahirkan keturunan, sehingga dapat diartikan bahwa perkawinan haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.

  Pemutusan karena sebab-sebab lain selain kematian diberikan suatu pembatasan yang ketat. Sehingga suatu pemutusan ikatan perkawinan yang berupa perceraian hidup merupakan jalan

  3 terakhir, karena setelah itu tidak ada jalan yang lain.

  Perkawinan merupakan penyatuan masing-masing sifat, pola pikir dan kebiasaan yang berbeda. Oleh karena itu didalam kehidupan berkeluarga, selalu ada permasalahan atau konflik yang terjadi diantara pasangan suami istri. Apabila konflik tersebut tidak dapat diselesaikan sendiri maka dapat menyebabkan berakhir dan putusnya ikatan perkawinan yang disebut dengan perceraian. Dalam Undang-undang Perkawinan dan KUHPerdata disebutkan sebab berakhirnya perkawinan.

Pasal 38 Undang-undang perkawinan menyebutkan alasan putusnya perkawinan karena: 1. Kematian,

1 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan Dan Keluarga di Indonesia, Badan Penerbit

  Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal.1 2 3 Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, CV. Rajawali, Medan, 1986, hal. 3 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1976, hal. 16

  2. Perceraian dan 3.

  Atas keputusan Pengadilan.

  Pasal 199 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan alasan bubarnya perkawinan karena:

  1. Kematian; 2.

  Tidak hadirnya si suami atau si isteri selama sepuluh tahun, yang disusul oleh perkawinan baru isteri atau suaminya.

  3. Keputusan Hakim setelah pisah meja dan ranjang dan pendaftaran Catatan Sipil.

  4. Perceraian.

  Perceraian adalah bubarnya suatu perkawinan dengan putusan hakim yang berwenang atas tuntutan salah seorang dari suami atau istri berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan

  4

  oleh peraturan Perundang-undangan. Bubarnya perkawinan karena perceraian tidak dapat dilakukan hanya atas dasar kesepakatan suami istri, untuk melakukan perceraian harus ada cukup

  5

  alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri. Perceraian harus melalui suatu proses yaitu dilakukan didepan sidang pengadilan yang berwenang dan sebelum diambil keputusan, hakim diwajibkan untuk mendamaikan suami istri yang akan bercerai.

  Apabila upaya hakim untuk mendamaikan suami istri yang akan bercerai tidak tercapai

  6 maka proses perceraian tetap dilanjutkan sampai terbitnya akta perceraian.

  Perceraian memang bukan hal yang dilarang. Namun untuk mempertahankan prinsip kekal dan abadi suatu perkawinan seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-undang

4 Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan Dan Kekeluargaan Perdata

  Barat, Gitama Jaya, Jakarta, 2005, hal. 135 5 6 Pasal 39 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan R.Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet. Ke-28,PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1996,

Pasal 221

  Perkawinan, maka Undang-undang Perkawinan mengatur alasan-alasan seseorang boleh mengajukan cerai yang ditentukan secara limitatif. Peraturan ini dibuat untuk mempersulit

  7 terjadinya perceraian.

  Adapun alasan yang dimaksud, tercantum dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang- undang Perkawinan dan diulang lagi sama bunyinya dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, sebagai berikut: a.

  Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b.

  Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya; c.

  Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d.

  Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain; e.

  Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/istri; f.

  Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada

  8 harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

  Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menyatakan bahwa gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan. Tata cara mengajukan gugatan tersebut diatur dalam peraturan perundangan

  7 Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta Undang-undang dan Peraturan Pelaksanaannya , Gitama Jaya, Jakarta, 2003, hal. 139 8 Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1976, hal.37. tersendiri (Pasal 40). Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi mereka yang beragama lainnya Pasal 63 ayat 1

  9 Undang-undang Perkawinan dan Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

  Menurut Subekti, perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atas

  10

  tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu. Hukum perkawinan adalah sebagian dari Hukum Keluarga dan Hukum Keluarga ini adalah bagian dari Hukum Perdata. Masalah perceraian merupakan bagian dari masalah perkawinan. Karena itu masalah perceraian

  11 senantiasa diatur oleh Hukum Perkawinan.

  Perceraian sering terjadi dalam masyarakat. Peningkatan angka perceraian dalam keluarga merupakan salah satu ciri masyarakat modern, tidak terkecuali di Indonesia. Hal itu mungkin berhubungan dengan nilai-nilai kehidupan keluarga yang sudah mulai bergeser karena pengaruh budaya asing yang masuk secara sadar atau tidak sadar ke dalam rumah tangga masyarakat Indonesia. Peningkatan ini dapat dilihat dari jumlah perceraian yang tercatat melalui prosedur hukum di pengadilan, baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri. Di Pengadilan Agama misalnya, menangani perkara khusus Umat Islam, perkara perceraian menempati peringkat teratas dari semua perkara yang ditanganinya.

  Selain berpengaruh terhadap suami atau istri, perceraian juga berakibat kepada anak-anak yang lahir dalam perkawinan. Menurut Pasal 41 Undang-undang Perkawinan dijelaskan bahwa akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian terhadap anak-anak adalah :

  9 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung, 1990, hal.170. 10 11 Subekti, Pokok-Pokok Dari Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1975, hal.42.

  Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal.118.

  1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata- mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak- anak maka pengadilan yang akan memutuskan; 2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut menanggung biaya pemeliharaan dan pendidikan anak;

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

  Hal ini berarti, meskipun terjadi perceraian tetapi tidak membuat hapus kewajiban orang tua terhadap kesejahteraan anak-anaknya.

  Apabila orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya, maka kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan putusan pengadilan. Dalam Pasal 33 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali anak yang bersangkutan.

  Berdasarkan Pasal 50 ayat (1) Undang-undang Perkawinan, pelaksanaan pengasuhan anak akan diurus oleh seorang wali yang ditunjuk. Jadi, perwalian (Voogdij) itu terjadi sebagai akibat dari pencabutan kekuasaan orang tua (Ouderlijke macht) terhadap anak-anak. Biasa juga terjadi apabila orang tuanya meninggal dunia, maka hal yang demikian ini anak harus dibawah

  12 perwalian.

  Dalam Undang-undang Perkawinan, kekuasaan orang tua bersifat tunggal tidak hapus karena perceraian. Selama perkawinan berlangsung dengan baik artinya tidak putus di tengah jalan, maka kewajiban pemeliharaan oleh orang tua atas anaknya tidak menimbulkan masalah, suami istri dapat secara bersama-sama dan saling membantu serta dengan penuh kasih sayang menunaikan kewajibannya memelihara anak mereka. Namun disaat perkawinan tidak dapat lagi diteruskan, saat itulah timbul permasalahan siapa yang paling berhak memelihara anak pasca perceraian orang tuanya. Untuk menentukan siapa yang paling tepat diantara ayah dan ibu tidak mempertimbangkan kemampuan finansial saja, tetapi harus dengan mempertimbangkan sifat, perilaku dan kebiasaan, keadaan jasmani, rohani dan spiritual, serta mempertimbangkan kesalahan siapa yang menjadi penyebab terjadinya perceraian.

  Perlindungan anak dalam kasus perceraian orang tua berkaitan erat dengan kekuasaan orang tua setelah putusnya ikatan perkawinan. Walaupun perkawinan telah putus karena perceraian, kedua orang tua tetap berkewajiban memelihara anak-anak mereka. Hanya dalam implementasinya kekuasaan orang tua tersebut dilakukan dengan situasi dan kondisi yang berbeda yaitu di satu sisi ibu memegang hak pemeliharaan anak dan di sisi lain ayah diwajibkan

  13 membiayai pemeliharaan anak tersebut.

  Ketika terjadi perceraian orang tua, biasanya anaklah yang menjadi korban. Orang tua beranggapan bahwa dalam perceraian mereka, persoalan anak akan dapat diselesaikan nanti setelah masalah perceraian diselesaikan. Padahal tidak demikian adanya, dan tidak sedemikian

12 Iman Jauhari, Kajian Yuridis Terhadap Perlindungan Hak-Hak Anak Dan Penerapannya di Sumatera

  Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2005, hal. 48 13 Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sederhananya, bahwa penyelesaian terbaik bagi anak akan dapat dengan mudah dicapai. Dalam kondisi apapun harus tetap diingat bahwa anak adalah juga individu yang mempunyai hak-hak dasar yang diakui sebagaimana halnya orang dewasa. Ini berarti bahwa anak adalah subjek kehidupan, bukan objek yang dapat diperlakukan sesuka hati orang dewasa (orang tua). Oleh sebab itu, dalam kasus perceraian orang tua, anak merupakan salah satu subjek. Karena anak adalah salah satu unsur dari suatu keluarga dan mengalami hubungan-hubungan pribadi yang

  14

  pertama-tama dalam keluarga dengan orang tuanya, maka dalam kasus perceraian orang tua kepentingan anak tetap dan harus menjadi prioritas utama dan pertama.

  Seharusnya orang tua dapat mengorbankan perasaan dan membuang perasaan egois demi anak-anak, karena sesungguhnya tolak ukur kesuksesan seseorang sebagai orang tua adalah kesuksesan anak yang merupakan hasil dari pendidikan dan pengasuhan yang diterapkan pada anak-anak mereka.

  Terdapat beberapa peraturan yang mengatur tentang anak di Indonesia, seperti Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dalam Pasal 41 secara implisit mengatur mengenai hak anak untuk tetap dipelihara oleh kedua orang tuanya sampai anak dewasa dan mandiri walaupun orang tuanya telah bercerai.

  “Anak-anak yang menghadapi masalah dalam kasus perceraian orang tuanya,

  15

  dikategorikan sebagai anak terlantar.” ”Anak terlantar adalah anak yang memerlukan

  16 pelayanan secara khusus”. 14 15 Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hal.23.

  Setyowati Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam PerUndang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 1986, hal.38. Secara fisik anak-anak yang mengalami masalah dalam kasus perceraian orang tua memang tidak bermasalah, tetapi secara psikologis, mereka bermasalah dan pantas mendapat perlindungan. Jadi sebenarnya anak korban perceraian harus mendapat perlindungan khusus tanpa menunggu harus diterlantarkan dahulu oleh orang tuanya. Karena tidak boleh dilupakan bahwa anak adalah keturunan yang berasal dari perkawinan. Akibat dari perceraian itu pula, tidak sedikit anak yang dilahirkan dari perkawinan harus menanggung derita yang berkepanjangan. Terhadap adanya perbedaan keinginan berbagai masalah hukum dalam pengasuhan anak jika telah bercerai, misalnya siapa yang harus memelihara anak-anak mereka, hak-hak apa saja yang harus diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Majelis Hakim wajib memeriksa dan mengadili setiap bagian dalam gugatan para pihak, termasuk juga tuntutan hak pengasuhan anak.

  Kasus perceraian sebagaimana diputuskan oleh Pengadilan Negeri Medan tertanggal 25 September 2007 No. 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn, hak pengasuhan terhadap dua orang anak yang masih di bawah umur bernama SAS dan NOS jatuh kepada ayahnya yaitu DBS, sementara salah seorang anak di bawah umur tersebut yaitu NOS berada dalam penguasaan ibunya yaitu AFLT, yang sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya. Sehingga walaupun hak pengasuhan anak dipegang oleh ayahnya namun dalam pelaksanaannya tidak akan mudah dijalankan.

  Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, perlu suatu penelitian lebih lanjut mengenai tanggung jawab hukum suami atau istri dalam perceraian terhadap anak yang akan dituangkan ke dalam judul tesis “Tanggung Jawab Hukum Suami atau Istri dalam Perceraian Terhadap Anak (Studi Kasus Putusan Nomor: 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn)”.

16 Sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979

B. Permasalahan

  Adapun permasalahan pokok yang akan diteliti lebih lanjut dalam tesis ini adalah: 1. Apa yang merupakan dasar pertimbangan hukum hakim dalam menentukan tanggung jawab pengasuhan anak setelah perceraian?

  2. Bagaimanakah akibat hukum dari tidak terlaksananya hak dan kewajiban terhadap anaknya setelah perceraian kedua orang tuanya?

  3. Bagaimanakah upaya yang dapat dilakukan oleh suami atau istri apabila salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap anak sesuai putusan pengadilan?

C. Tujuan Penelitian

  Adapun yang merupakan tujuan dari tesis ini adalah untuk mendapatkan gambaran dan jawaban dari permasalahan masalah, sehingga dapat memberikan penjelasan sebagai berikut :

  1. Untuk mengetahui yang merupakan dasar pertimbangan hakim dalam menentukan tanggung jawab pengasuhan anak setelah perceraian.

  2. Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan oleh pemegang tanggung jawab pengasuhan anak apabila salah satu orang tua tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap anak sesuai putusan pengadilan.

  3. Untuk mengetahui yang menyebabkan kesulitan dalam melaksanakan putusan pengadilan yang telah mewajibkan orang tua untuk membiayai anaknya setelah perceraian.

D. Manfaat Penelitian

  Adapun manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu hukum perdata khususnya yang berkaitan dengan hak asuh anak dibawah umur dalam hal terjadinya perceraian.

  2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan pedoman bagi praktisi hukum dalam perkara hak asuh anak di bawah umur dalam hal terjadinya perceraian serta lebih lanjut dapat menjadi landasan pengembangan lebih lanjut.

E. Keaslian Penelitian

  Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Pasca Sarjana Magister Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, belum ada penelitian sebelumnya dengan judul “Tanggung Jawab Hukum Suami atau Istri Terhadap Anak Dalam Perceraian”

  Namun pernah ada penelitian dari Mahasiswa Magister Ilmu Hukum dan Magister Kenotariatan dengan judul : 1.

  Saudari Kadriah (NIM. 94310511), Mahasiwa Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Setelah Perceraian (Penelitian di Kabupaten Pidie)”, dengan permasalahan yang diteliti adalah: a.

  Bagaimana pelaksanaan tanggung jawab orang tua atas pemeliharaan anak dan nafkah hidup anak setelah perceraian? b.

  Faktor apa yang menyebabkan orang tua melalaikan tanggung jawabnya terhadap anak? c. Bagaimana penyelesaian yang diambil sehingga anak tetap mendapatkan hak-haknya secara layak?

2. Saudari Fransisca M.U. Bangun (NIM 037011028), Mahasiswa Magister Kenotariatan

  Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Setelah Perceraian (Kajian Putusan Pengadilan Negeri Kelas I A Medan)”, dengan permasalahan yang diteliti adalah: a.

  Bagaimanakah putusan Pengadilan Negeri dalam menentukan tanggung jawab orang tua terhadap anak setelah perceraian? b.

  Upaya apakah yang dapat dilakukan apabila orang tua tidak memenuhi kewajiban terhadap anak sesuai putusan pengadilan? c.

  Apakah yang menyebabkan kesulitan dalam melaksanakan putusan pengadilan yang telah mewajibkan orang tua untuk membiayai anaknya setelah perceraian?

3. Saudari Syarifah Tifany (NIM 037011076), Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas

  Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Pengasuhan Anak Setelah Terjadinya Perceraian (Kajian Putusan Pengadilan Agama Binjai)”, dengan permasalahan yang diteliti adalah: a.

  Apa yang menjadi hak-hak anak serta apa kewajiban orang tua terhadap anaknya dalam hukum islam? b.

  Bagaimana menemukan hak pengasuh anak (hadhanah) di Pengadilan Agama Binjai jika terjadi perceraian? c.

  Bagaimana eksekusi putusan perkara-perkara hadhanah di Pengadilan Agama Binjai? Judul dalam permasalahan beberapa penelitian sebagaimana disebutkan diatas ternyata judul dan permasalahannya tidak ada yang serupa atau sama dengan yang diteliti saat ini. Oleh karena itu penelitian ini asli dan secara akademis dapat saya pertanggungjawabkan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

  Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifikasi atau

  17

  proses tertentu terjadi, dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta

  18 yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.

  Teori adalah merupakan suatu prinsip atau ajaran pokok yang dianut untuk mengambil suatu tindakan atau memecahkan suatu masalah. Landasan teori merupakan ciri penting bagi penelitian ilmiah untuk mendapatkan data. Teori merupakan alur penalaran atau logika (flow of

  

reasoning/logic), terdiri dari seperangkat konsep atau variable, defenisi dan proposisi yang

  19 disusun secara sistematis.

  Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa “perkembangan ilmu hukum selain tergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan

  20

  imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.” Teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang disamping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi

  

21

parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum.

  Menurut Maria Sumardjono, teori adalah “Seperangkat proposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefenisikan dan saling berhubungan antar variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variabel dengan

  22

  variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel tersebut.”

  17 M.Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, FE-UI, Jakarta, 1996, hal. 203. 18 19 Ibid, hal. 16 20 J.Supranto MA, Metode Penelitian Hukum dan statistic, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal 194 21 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1986, hal. 6 22 Otje Salman dan Anton F Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005, hal. 21 Maria Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Gramedia, Yogyakarta, 1989, hal. 12 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistimasikan penemuan-penemuan penelitian, memuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk

  23 dinyatakan benar.

  Teori yang digunakan sebagai pisau analisis pada penelitian ini adalah teori Tanggung jawab Hukum yang dikemukakan oleh Han Kelsen. Kelsen mengatakan bahwa seseorang bertanggung jawab atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa ia memikul tanggungjawab hukum, dalam arti ia bertanggung jawab atas sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan.

  Tiap-tiap manusia memiliki kebebasan, tapi dalam hidup bersama ia memikul tanggungjawab menciptakan hidup bersama yang tertib. Tapi untuk mewujudkan hidup bersama

  24 yang tertib itu, perlu pedoman-pedoman objektif yang harus dipatuhi bersama pula.

  Hans Kelsen juga mengatakan bahwa hukum telah menentukan pola perilaku tertentu, maka tiap orang seharusnya berprilaku sesuai pola yang ditentukan itu. Singkatnya orang harus

  25 menyesuaikan diri dengan apa yang telah ditentukan.

  Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut. Adapun kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tanggung jawab hukum sebagaimana dikemukakan oleh Hans kelsen suatu konsep yang berhubungan dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa ia

  23 24 Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal.17. 25 Bernard L.Tanya, dkk, Teori Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hal. 201.

  Ibid memikul tanggung jawab hukum, berarti bahwa ia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan hukum yang bertentangan. Biasanya yakni dalam hal sanksi ditujukan kepada

  26 pelaku langsung, seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.

  Lebih lanjut menurut Hans Kelsen, tiap-tiap manusia memiliki kebebasan, tetapi dalam hidup bersama ia memikul tanggung jawab menciptakan hidup bersama yang tertib, oleh karena itu dibutuhkan pedoman-pedoman yang objektif yang harus dipatuhi secara bersama pula. Pedoman inilah yang disebut hukum. Jika hukum telah menentukan pola perilaku tertentu, maka

  27 tiap orang seharusnya berperilaku sesuai pola yang ditentukan itu.

  Tanggung jawab hukum terkait dengan konsep hak dan kewajiban hukum. Konsep kewajiban biasanya dilawankan dengan konsep hak, istilah hak yang dimaksud disini adalah hak hukum (legal right). Penggunaan linguistik telah membuat dua perbedaan hak yaitu jus in rem dan jus in personam. Jus in rem adalah hak atas suatu benda, sedang jus in personam adalah hak yang menuntut orang lain atas suatu perbuatan atau hak atas perbuatan orang lain. Pembedaan ini sesungguhnya juga bersifat ideologis berdasarkan kepentingan melindungi kepemilikan privat dalam hukum perdata. Jus in rem tidak lain adalah hak atas perbuatan orang lain untuk tidak

  28 melakukan tindakan yang mengganggu kepemilikan.

  Persepsi orang tentang hukum itu beraneka ragam, tergantung dari sudut mereka memandangnya. Kalangan hakim akan memandang itu dari sudut pandang profesi mereka

  29

  sebagai hakim, kalangan ilmuwan hukum akan memandang hukum itu dari sudut profesi

  26 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni dengan judul buku asli “General Theory of Law and State” alih bahasa Somardi, Rumidi Pers, Jakarta, 2001, hal. 65 27 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia

  Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hal. 127 28 Jimly Asshiddiqie, dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hal. 66-67. 29 Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali Pers, Jakarta Cetakan 2, 1989, hal. 1 keilmuwan mereka, rakyat kecil akan memandang hukum dari sudut pandang mereka, dan sebagainya.

  Menurut Oxford English Dictionary, sebagaimana yang dikutip oleh Achmad Ali bahwa pengertian hukum yaitu kumpulan aturan, perUndang-undangan atau hukum kebiasaan, dimana suatu negara atau masyarakat mengakuinya sebagai suatu yang mempunyai kekuasaan mengikat

  30 terhadap warganya.

  Sedangkan menurut Utrecht sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali bahwa hukum adalah himpunan petunjuk hidup, perintah-perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam sesuatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau

  31 penguasa masyarakat itu.

  Berarti hukum bukan hanya sekedar kaidah melainkan juga sebagai gejala sosial dan sebagai sesi kebudayaan. Sedangkan Achmad Ali memberikan pengertian hukum yaitu seperangkat kaidah atau ukuran yang tersusun dalam satu sistem, yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh manusia sebagai warga masyarakat dalam kehidupan bermasyarakatnya, yang bersumber baik dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain yang diakui berlakunya oleh otoritas tertinggi dalam masyarakat tersebut, serta benar-benar dilakukan oleh warga masyarakat (sebagai satu keseluruhan) dalam kehidupannya dan jika kaidah tersebut dilanggar akan memberikan kewenangan bagi otoritas tertinggi untuk

  32 menjatuhkan sanksi yang sifatnya eksternal.

  Persoalan tujuan hukum dikaji melalui tiga sudut pandang, antara lain :

  30 31 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2002, hal. 31 32 Ibid, hal. 32 Ibid, hal. 35

  a.

  Dari sudut pandang ilmu hukum positif-normatif atau yuridis dogmatik, dimana tujuan hukum dititik beratkan pada segi kepastian hukumnya.

  b.

  Dari sudut pandang filsafat hukum, dimana tujuan hukum dititik beratkan pada segi keadilan.

  c.

  Dari sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum dititik beratkan pada segi

  33 kemanfaatannya.

  Secara konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Dalam hal ini diupayakan ketiganya dapat diwujudkan seluruhnya secara

  34 bersama-sama karena memungkinkan pertentangan-pertentangan di antara ketiga tujuan itu.

  Hukum hanya merupakan salah satu sarana kontrol sosial, kebiasaan keyakinan, agama, dukungan dan pencelaan kelompok, penekanan dari kelompok-kelompok interest dan pengaruh dari pendapat umum merupakan sarana-sarana yang lebih efisien dalam mengatur tingkah laku manusia.

  Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini menjadikan kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu : kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan

  35 (Gerechtigkeit).

  Penegakan hukum merupakan suatu usaha mewujudkan ide-ide yang bersifat abstrak menjadi kenyataan. Jadi penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan- 33 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,

  Yogyakarta, Cetakan I, 1993, hal. 60 35 34 Ibid Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.Cit, hal. 1 keinginan hukum di sini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat Undang-undang yang

  36 dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu.

  Hukum dan penegakan hukum dalam era reformasi ini tidak dapat dipisahkan dari perilaku politik elit penguasa. Keterkaitan hukum dan penegak hukum dalam perilaku politik tersebut hanya dapat terjadi dalam suatu negara yang tidak demokratis dimana transparansi,

  37 supremasi hukum dan promosi dan perlindungan HAM dikesampingkan.

  Penegakan hukum menurut Badan Kontak Profesi Hukum Lampung menyatakan bahwa : a. Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan menilai dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan (social engineering) dan mempertahankan (social control) dan kedamaian pergaulan hidup.

  b.

  Penegakan hukum merupakan perpaduan dari sistem nilai-nilai (warden system), dan sistem

  38 aturan-aturan perilaku (gadragregelensystem).

  Kondisi yang diresahkan masyarakat saat ini tidak semata-mata terletak pada ketidakpuasan terhadap praktek peradilan (yang dapat disebut sebagai penegakan hukum dalam arti sempit), tetapi justru ketidakpuasan terhadap penegakan hukum dalam arti luas, yaitu penegakan seluruh norma/tatanan, kehidupan masyarakat (di bidang politik, sosial, ekonomi, pertahanan-keamanan dan sebagainya).

  Penegakan hukum sangat berkaitan erat dengan budaya hukum dan pengetahuan/pendidikan hukum. Budaya hukum dan pengetahuan/pendidikan hukum diperlukan 36 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologi, Sinar Baru, Bandung, 1983,

  hal. 24 37 Keseluruhan HAM, dilihat dari sudut hukum pada hakekatnya merupakan “kepentingan hukum” yang sepatutnya mendapat perlindungan, antara lain perlindungan lewat hukum pidana. 38 Badan Kontak Profesi Hukum Lampung, Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1977, hal. 180

  untuk mendukung reformasi hukum harus diupayakan bersama oleh seluruh aparat penegak hukum, masyarakat/asosiasi profesi hukum, lembaga pendidikan hukum dan bahkan oleh seluruh aparat pemerintah dan warga masyarakat pada umumnya. Namun, Undang-undang itu tidak sempurna, memang tidak mungkin Undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-undang tidak kunjung lahir seperti Peraturan Pemerintah terhadap Pasal 43 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Meskipun tidak lengkap atau tidak jelas Undang- undang harus dilaksanakan.

  Jadi dalam hal penegakan hukum juga perlu dibahas mengenai aparat penegak hukumnya seperti Polisi disebut sebagai “alat negara penegak hukum”, Jaksa disebut sebagai pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk tertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan, Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas Kekuasaan Kehakiman.

  Menurut ketentuan umum Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

  Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Oleh karena Undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya, harus menemukan hukumnya.

  Ketidak harmonisan dalam rumah tangga ada kalanya masih dapat diatasi, tetapi ada juga yang harus diakhiri dengan perceraian. Sama halnya dengan perkawinan, perceraian juga merupakan masalah keluarga yang tidak hanya melibatkan suami istri saja melainkan pada

  39

  kebiasaannya seluruh keluarga ikut serta menyelesaikannya. Tapi bagaimanapun juga putusnya hubungan perkawinan akan selalu membawa pengaruh yang buruk pada keluarga.

  Pengadilan dalam hal ini adalah merupakan satu-satunya lembaga yang berhak menangani permasalah ini, selain ditentukan Pasal 63 ayat (1) a (absolut kompetensi), juga ditunjuk oleh Pasal 25 (relatif kompetensi) yakni Pengadilan Agama atau Pengadilan Umum (Pengadilan Negeri) dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat

  40 tinggal suami isteri, suami atau isteri.

  Dalam Pasal 39 ayat (1) UUP disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak tidak berhasil, selanjutnya dalam ayat (2) dijelaskan bahwa untuk dapat melakukan perceraian harus cukup alasan bahwa antara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri. Untuk pelaksanaannya lebih lanjut diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yaitu perceraian dapat terjadi dengan alasan : a.

  Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan b.

  Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

  39 40 Lili Rasjidi, Op.Cit., hal. 9 H.M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, Cetakan 3, 1985, hal. 106 c.

  Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

  d.

  Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

  e.

  Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

  f.

  Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada

  41 harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

  Menurut UUP putusnya hubungan perkawinan karena terjadinya perceraian akan menimbulkan akibat hukum terhadap anak, bekas suami isteri dan harta bersama. Akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 41 UUP yaitu : a.

  Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata- mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak- anak, Pengadilan memberi keputusannya.

  b.

  Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan biaya yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

  c.

  Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

41 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan Tambahan Undang- undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan , PT. Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan 22, 1987, hal.

  473-474.

  Dari ketentuan Pasal 41 UUP, jelas memberi perlindungan terhadap anak dimana kedua orang tua harus bertanggung jawab dalam hal pemeliharaan anak bahkan ibu juga berkewajiban untuk menanggung biaya pemeliharaan anak apabila bapak tidak mampu.

  Mengenai harta bersama, Pasal 37 UUP menyebutkan bahwa : “Bila terjadi perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Dari bunyi Pasal 37 UUP ini dapat diketahui bahwa akibat hukum yang menyangkut harta bersama atau harta pencaharian ini UUP menyerahkan penyelesaiannya kepada para pihak yang bercerai tentang hukum mana dan hukum apa yang akan berlaku dan jika tidak ada kesepakatan antara kedua pihak, hakim dapat mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya. Hal ini berarti Undang-undang membuka kemungkinan berlakunya hukum lain yakni Hukum Agama, BW, Hukum Adat dan Hukum Adat yang berlaku di golongan Timur Asing Tionghoa, golongan Eropah, golongan yang dipersamakan dengan golongan Eropah serta golongan Pribumi.

  Menurut Dadang Hawari bahwa perceraian itu berdampak luar biasa yang mesti diperhatikan oleh pasangan suami-isteri yang akan bercerai mengenai psikologis anak dimana akan mempengaruhi perkembangan jiwa dan mental dan bahkan berdampak lebih buruk lagi. Oleh sebab itu pasangan suami-isteri yang akan bercerai terlebih dahulu memikirkan psikologis

  42 dan masa depan anak-anak.

  Terhadap permasalahan itu, pengadilan yang berhubungan sebagai suatu lembaga pencari keadilan dalam memberikan keputusannya harus didasarkan pertimbangan-pertimbangan kemanusian selain dari adanya pertimbangan yang didasarkan kepada Undang-undang.

  2. Kerangka Konsepsi

  42 Dadang Hawari, Psikiater dan Konsultan Pernikahan, Cek & Ricek, No.447/ Thn.IX/ Rabu, 21-27 Maret 2007. Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan untuk sebagai dasar penelitian hukum. Oleh karena itu dalam penelitian ini dapat didefenisikan beberapa konsep dasar agar dapat diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

  Perkawinan hapus, jikalau satu pihak meninggal. Selanjutnya ia hapus juga, jikalau satu pihak kawin lagi setelah mendapat izin hakim, bilamana pihak yang lainnya meninggalkan tempat tinggal hingga sepuluh tahun lamanya dengan tiada ketentuan nasibnya. Akhirnya perkawinan dapat dihapus karena perceraian.

  Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.

  Tuntutan untuk mendapatkan perceraian dapat diajukan kepada hakim secara gugat biasa dalam perkara perdata, tetapi harus didahului dengan meminta izin pada Ketua Pengadilan Negeri untuk menggugat. Sebelum izin ini diberikan, hakim harus lebih dahulu mengadakan percobaan untuk mendamaikan kedua belah pihak (verzoeningscomparitie).

  Selama perkara itu berlangsung, Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan ketetapan- ketetapan sementara, misalnya dengan memberikan izin pada si isteri untuk bertempat tinggal sendiri terpisah dari suaminya, memerintahkan supaya si suami memberikan nafkah tiap-tiap kali pada isterinya serta anak-anaknya yang turut pada isterinya itu dan sebagainya. Juga hakim dapat memerintahkan supaya kekayaan suami atau kekayaan bersama disita agar jangan dihabiskan oleh suami selama perkara perkara masih dilangsungkan.

  Larangan untuk bercerai atas permufakatan, sekarang ini sudah lazim diseludupi dengan cara mendakwa si suami berbuat zina. Pendakwaan itu lalu diakui oleh si suami. Dengan begitu

  43 alasan sah untuk memecahkan perkawinan telah dapat “dibuktikan” di muka hakim.

  Gemeenschap hapus dengan perceraian dan selanjutnya dapat diadakan pembagian

  kekayaan gameenschap itu (scheiding en deling). Apabila ada perjanjian perkawinan, pembagian ini harus dilakukan menurut perjanjian tersebut.

  Kepada isteri, jika ia tidak mempunyai penghasilan cukup dan kepada anak-anak yang diserahkan pada isteri itu oleh hakim dapat ditetapkan tunjangan nafkah yang harus dibayar oleh suami tiap waktu tertentu. Permintaan untuk diberikan tunjangan nafkah ini oleh si isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatannya untuk mendapatkan perceraian atau tersendiri.

  Penetapan jumlah tunjangan oleh hakim diambil dengan mempertimbangkan kekuatan dan keadaan si suami. Apabila keadaan ini tidak memuaskan dapat mengajukan permohonanya supaya penetapan itu oleh hakim ditinjau kembali. Adakalanya juga, jumlah tunjangan itu ditetapkan sendiri oleh kedua belah pihak atas dasar permufakatan. Juga diperbolehkan untuk merubah dengan perjanjian ketentuan-ketentuan mengenai tunjangan tersebut yang sudah ditetapkan dalam keputusan hakim. Jikalau seorang janda kawin lagi, ia kehilangan haknya untuk menuntut tunjangan dari bekas suaminya.

  Perceraian mempunyai akibat pula, bahwa kekuasaan orang tua (ouderlijke macht) berakhir dan berubah menjadi “perwalian” (voogdij). Karena itu, jika perkawinan itu terhadap anak-anak yang masih dibawah umur. Penetapan wali oleh Hakim dilakukan setelah mendengar keluarga dari pihak ayah maupun dari pihak ibu yang rapat hubungannya dengan anak-anak tersebut. Hakim merdeka untuk menetapkan ayah atau ibu menjadi wali, tergantung dari siapa 43 R.Subekti, Op cit, Pasal 288 yang dipandang paling cakap atau baik mengingat kepentingan anak-anak. Penetapan wali ini juga dapat ditinjau kembali oleh hakim atas permintaan ayah atau ibu berdasarkan perubahan keadaan.

G. Metode Penelitian

  Agar mendapat hasil yang maksimal guna tercapainya bagian dari penulisan ini, maka diperlukan kecermatan dan usaha yang cukup untuk mengumpulkan dan mengolah data, dengan baik serta layak. Untuk itu dilakukan penelitian yang meliputi: 1.

   Jenis Penelitian dan Pendekatan Masalah

Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Perdata (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 43 101

Tanggung Jawab Hukum Suami atau Istri Dalam Perceraian Terhadap Anak (Studi Kasus Putusan No. 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn)

0 59 130

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)

2 4 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Tanggung Jawab Hukum Bank Dalam Menyelesaikan Kredit Macet (Studi pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Kabanjahe)

0 1 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penegakan Hukum Terhadap Kasus Penggelapan Premi Asuransi (Analisis Putusan No. 1952/Pid.B/2013/PN-Mdn)

0 0 24

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Tanggung Jawab Induk Perusahaan Sebagai Penjamin Dalam Kepailitan Anak Perusahaannya

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Keagenen (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tanggung Jawab Werda Notaris Terhadap Akta Yang Dibuatnya

0 5 23

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Perdata (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 2 13

BAB II DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENENTUKAN TANGGUNG JAWAB PENGASUHAN ANAK SETELAH PERCERAIAN A. Perceraian dan Akibat Hukumnya 1. Perceraian - Tanggung Jawab Hukum Suami atau Istri Dalam Perceraian Terhadap Anak (Studi Kasus Putusan No. 209/Pdt.G/20

0 0 41