BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Dukungan Psikososial Keluarga - Dukungan Psikososial Keluarga dalam Penyembuhan Pasien NAPZA di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara – Medan

  1.1 Dukungan Psikososial Menurut Hawari (2004) dukungan psikososial merupakan terapi yang bertujuan untuk memulihkan kembali kemampuan adaptasi agar yang bersangkutan dapat kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sosial.

  Sedangkan menurut Philip (1988) bahwa dukungan psikososial keluarga adalah dukungan psikologi yang termasuk bagian dari dukungan sosial keluarga dimana mendukung individu dalam mengembangkan bantuan terhadap keadaan afektif dan emosional yang menghasilkan peningkatan kesehatan. Kahn (1985) menyatakan bahwa dukungan psikososial keluarga mengacu kepada dukungan- dukungan sosial yang bermanfaat bagi kesehatan keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses/diadakan oleh keluarga.

  1.2 Konsep Keluarga Menurut Bossard dan Ball (1966) bahwa keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya dengan seseorang. Di keluarga itu seseorang dibesarkan, bertempat tinggal, berinteraksi satu dengan yang lain, dibentuknya nilai-nilai, pola pemikiran, dan kebiasaannya. Keluarga juga berfungsi sebagai seleksi segenap budaya luar dan mediasi hubungan anak dengan lingkungannya (Notosoedirjo dan Latipun, 2005).

  Burges dkk. (1963) dalam Friedman (1998) mendefenisikan keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah, dan ikatan adopsi, para anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah tangga, atau jika mereka hidup secara terpisah, mereka tetap menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah mereka, anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dalam peran-peran sosial keluarga seperti suami- istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan, saudara dan saudari, serta keluarga sama-sama menggunakan kultur yang sama, yaitu kultur yang diambil dari masyarakat dengan beberapa ciri unik tersendiri.

  Tipe-tipe keluarga secara umum yang dikemukakan untuk mempermudah pemahaman tentang keluarga:

  1. Keluarga inti (konjugal) adalah keluarga yang menikah, sebagai orang tua, atau pemberian nafkah; keluarga inti terdiri dari suami, istri, dan anak mereka—anak kandung, anak adopsi, atau keduanya.

  2. Keluarga orientasi (keluarga asal) adalah unit keluarga yang di dalamnya seseorang dilahirkan.

  3. Keluarga besar adalah keluarga inti dan orang-orang yang berhubungan (oleh darah), yang paling lazim menjadi anggota keluarga orientasi yaitu salah satu teman keluarga inti. Berikut ini termasuk “sanak keluarga” --- kakek/nenek, tante, paman dan sepupu.

  Setiap anggota keluarga memiliki kebutuhan dasar fisik, pribadi, dan harapan-harapan dari semua individu yang ada dalam unit tersebut. Sebuah keluarga diharapkan dapat bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan dari orang tua dan anak-anak, ini menjadi satu tugas yang sulit karena harus memperioritaskan kebutuhan individu yang beraneka ragam pada saat tertentu (Friedman, 1998).

  Setiap anggota keluarga memiliki kebutuhan dasar fisik, pribadi dan sosial yang berbeda. Menurut Friedman (1998) bahwa keluarga memiliki 5 fungsi dasar, yaitu :

  1. Fungsi Afektif Merupakan fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengna orang lain.

  2. Fungsi Sosialisasi Merupakan fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah.

  3. Fungsi Reproduksi Merupakan fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.

  4. Fungsi Ekonomi Merupakan fungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu dalam meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

  Merupakan fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas yang tinggi (Setiadi, 2006).

  1.3 Tujuan Dukungan Psikososial Keluarga Ada beberapa ahli menyatakan tujuan pemberian dukungan psikososial keluarga, yaitu: a. Menurut Hogue 1997

  Tujuan dukungan psikososial keluarga sebagai dukungan pemeliharaan dan emosional bagi anggota keluarga. Dukungan pemeliharaan di sini bertujuan memenuhi kebutuhan psikososial keluarga.

  b. Menurut Friedman 1985 Tujuan dukungan psikososial keluarga untuk membantu individu dalam keluarga agar tidak didominasi oleh reaktivitas emosi dan untuk mencapai tingkat diferensiasi diri yang lebih tinggi.

  c. Menurut Maramis Pemberian dukungan psikososial keluarga bertujuan untuk menghilangkan, mengubah atau menghambat gejala-gejala yang ada, mengoreksi prilaku yang terganggu dan mengembangkan pertumbuhan kepribadian secara positif.

  Dapat ditarik kesimpulan dari pendapat beberapa ahli di atas bahwa pemberian dukungan psikososial keluarga bertujuan untuk mencapai keadaan psikologis yang seimbang. Di mana pencapaian itu tentunya tidak lepas dari peran serta antar anggota keluarga dalam memberikan sugesti positif pada setiap

  1.4 Jenis Dukungan Psikososial Keluarga

  a. Internal Dukungan psikososial internal adalah dukungan psikososial yang diberikan oleh saudara kandung atau hubungan ikatan suami istri. Hal ini sering juga disebut dukungan keluarga inti.

  b. Eksternal Dukungan psikososial eksternal adalah dukungan psikososial dari luar keluarga inti, misalnya teman, kerabat. Dukungan eksternal ini biasanya diberikan oleh orang yang istimewa atau mempunyai hubungan sosial yang cukup dekat dengan anggota keluarga tersebut.

  Sedangkan menurut Caplan (1976) dalam Friedman (1998), jenis dukungan psikososial keluarga adalah: a. Dukungan Informasional

  Adalah keluarga berfungsi sebagai pengumpul dan penyebar informasi tentang dunia. Di sini keluarga merupakan sumber yang dipercaya untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan oleh anggota keluarga untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi.

  Keluarga dapat menyediakan informasi dengan menyarankan tempat, dokter, dan terapi yang baik bagi dirinya dan tindakan spesifik bagi individu untuk informasi dan pemberi informasi (Niven, 2000). b. Dukungan penilaian Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah dan sebagai sumber dan validator identitas keluarga. Keluarga berperan sebagai pembimbing dan penilai terhadap masalah yang dihadapi oleh anggota keluarga dan bertujuan membantu anggota keluarga sehingga anggota keluarga mendapatkan perhatian, arahan, santunan, sebagai bentuk penghargaan.

  Dukungan ini merupakan dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian yang positif terhadap individu. Dukungan keluarga ini dapat membantu meningkatkan strategi koping pasien dengan strategi-strategi alternatif berdasarkan pengalaman yang berfokus pada aspek-aspek positif (Niven, 2000).

  c. Dukungan Instrumental Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan kongkrit. Di mana keluarga merupakan tempat yang dapat diandalkan untuk mendapatkan bantuan ketika anggota keluarga membutuhkannya. Dukungan ini meliputi penyediaan dukungan jasmaniah seperti pelayanan, bantuan finansial dengan menyediakan dana untuk biaya pengobatan, dan material berupa bantuan nyata (Instrumental Support/ Material Support), kritis, termasuk didalamnya bantuan langsung seperti saat seseorang membantu pekerjaan sehari-hari, menyediakan informasi dan fasilitas, menjaga dan merawat saat sakit serta dapat membantu menyelesaikan masalah (Niven, 2000).

  d. Dukungan Emosional Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Dukungan ini memungkinkan anggota keluarga memperoleh kerekatan (kedekatan) emosional sehingga menimbulkan rasa aman, tenang, tentram dan damai yang ditunjukkan dengan sikap tenang dan bahagia. Jika stres mengurangi perasaan seseorang akan hal yang dimiliki dan dicintai maka dukungan dapat menggantikannya sehingga akan dapat menguatkan kembali perasaan dicintai tersebut. Apabila dibiarkan terus menerus dan tidak terkontrol maka akan berakibat hilangnya harga diri (Niven, 2000).

  1.5 Sumber Dukungan Psikososial Menurut Rock dan Dooley (1985), ada dua sumber dukungan psikososial yaitu sumber artifisial dan natural. Dukungan psikososial yang natural diterima seseorang melalui interaksi sosial dalam kehidupannya secara spontan dengan orang-orang yang berada disekitarnya, misalnya anggota keluarga (anak, istri, suami dan kerabat), teman dekat dan relasi. Dan yang dimaksud dengandukungan psikososial artifisial adalah dukungan psikososial yang dirancang ke dalam dan melalui berbagai sumbangan sosial.

  Sumber dukungan psikososial yang bersifat natural bebeda dengan sumber dukungan psikososial yang bersifat artifisial dalam sejumlah hal. Perbedaan hal tersebut terletak dalam hal sebagai berikut :

  Keberadaan sumber dukungan psikososial natural bersifat apa adanya tanpa - dibuat-buat sehingga lebih mudah diperoleh dan bersifat spontan.

  Sumber dukungan psikososial yang natural memiliki kesesuaian dengan - norma yang berlaku tentang kapan sesuatu harus diberikan.

  Sumber dukungan psikososial yang natural berakar dari hubungan yang - telah berakar lama.

  Sumber dukungan psikososial yang natural memiliki keragaman dalam - penyampaian dukungan psikososial, mulai dari pemberian barang-barang nyata hingga sekedar menemui seseorang dengan menyampaikan salam Sumber dukungan psikososial yang natural terbatas dari beban dan label - psikologis (Friedman, 1998).

  1.6 Dukungan Keluarga selama Masa Rehabilitasi Untuk membantu secepatnya pemulihan (recovery) korban narkoba amat diperlukan dukungan keluarga seperti ayah, ibu, saudara, istri, suami, dan keluarga dekat lainnya. Menyembuhkan pecandu narkoba memang tidak semudah menyembuhkan penyakit lainnya, namun tidak berarti tidak bisa sembuh. Karena itulah dukungan keluarga dari pecandu sangat dibutuhkan, di mana meskipun mereka telah sembuh tidak menutup kemungkinan untk mengalami kekambuhan (relaps). Kecanduan narkoba merupakan penyakit kronik relapsing, mudah menjadi kronis dan seringkali mengalami kekambuhan, berpotensi mengubah daya pikir, perilaku dan sikap manusia penggunanya.

  Menurut Martono (2006), hal-hal yang dapat dilakukan keluarga untuk mendukung pasien penyalahgunaan NAPZA selama masa rehabilitasi adalah:

  Memotivasi anggota keluarga selama masa rehabilitasi; Dalam hal ini

  keluarga tetap memotivasi pasien NAPZA agar tetap optimis terhadap penyembuhannya. Dalam proses rehabilitasi, korban NAPZA bukanlah sebagai objek namun sebagai subjek, karena berhasil tidaknya proses rehabilitasi sangat ditentukan oleh mereka sendiri. Banyak korban NAPZA yang gagal dalam rehabilitasi karena mereka sendiri tidak yakin bisa pulih dari ketergantungan narkoba. Seseorang yang memiliki optimisme akan membangun lebih banyak kemampuan melalui usaha mereka secara terus menerus (Visimedia, 2006).

  Belajar untuk percaya; Keluarga perlu untuk mulai belajar mempercayai

  anggota keluarga mereka yang menjadi korban narkoba. Keluarga jangan hanya melihat hal yang negatif dalam diri mereka, namun juga perhatikan hal yang positif dan berikan penghargaan untuk hal yang positif tersebut. Dengan mencurigai anggota keluarga yang menjadi korban narkoba, keluarga memberi beban yang tidak perlu kepadanya dan membuat mereka menjadi rendah diri.

  Memperbaiki komunikasi; Dalam keluarga pecandu narkoba sulit

  dan searah. Mengingat hal tersebut keluarga perlu membahas masalah dan menyusun rencana cara mengatasinya. Masalah-masalah yang ada dalam keluarga perlu dibahas secara terbuka. Keluarga perlu mendengarkan pandangan dan pendapat anggota keluarga yang menjadi korban narkoba dalam menyelesaikan masalah tersebut. Cara berkomunikasi yang baik perlu dilatih sehingga korban merasa menjadi bagian dari keluarga.

  Membagi tanggung jawab; Selama masa terapi banyak tanggung jawab

  korban narkoba dalam keluarga yang diabaikan sehingga keluarga mengambil alih tanggung jawab tersebut. Keluarga perlu berupaya untuk secara bertahap menyerahkan kembali tanggung jawab tersebut kepada mereka. Keluarga tidak boleh membiarkan mereka hidup tanpa tanggung jawab. Keluarga harus menyadari bahwa menghargai diri harus muncul dari dalam diri mereka, bukan dari dorongan luar sehingga korban narkoba perlu mulai menemukan jati dirinya dengan kembali mengambil perannya dalam keluarga.

  Tidak berharap terlalu tinggi; Setelah melakukan terapi pada korban narkoba, mereka pasti mengalami perubahan yang positif pada perilakunya.

  Namun tentu saja masih ada perilaku yang negatif. Akan tetapi, keluarga sering memusatkan perhatiannya hanya pada perilaku negatif. Keluarga berharap perubahan tersebut berlangsung sesuai dengan keinginan mereka. Keluarga perlu menyadari bahwa pemulihan korban narkoba membutuhkan waktu. Keluarga perlu sabar dan mendukung pemulihan korban narkoba sesuai dengan kemampuan mereka. kekambuhan kembali (relaps) sering terjadi. Pencegahan relaps pada saat rehabilitasi sangat penting. Selain proses penyembuhan yang menjadi lebih sulit, korban juga harus menghadapi kendala dari dalam dirinya sendiri yaitu hilangnya kepercayaan diri untuk bangkit sehingga keluarga sangat dibutuhkan untuk dapat menerima korban tanpa menghakimi mereka, mendampingi pasien dalam berjuang kembali untuk tidak relaps lagi. Selain itu keluarga juga harus dapat mengidentifikasi faktor-faktor baik internal maupun eksternal penyebab terjadinya

  relaps sehingga mereka dapat membantu mengatasinya (Marlatt 1996 dalam Barry 1998).

  Resosialisasi keluarga; Ketika diketahui bahwa ada anggota keluarga

  yang menjadi pengguna narkoba maka keluarga cenderung mengisolasi diri dari orang terdekatnya. Bahkan sesudah pecandu pulih, mereka masih was-was jika orang lain bertanya tentang keadaan pecandu. Keluarga tidak boleh cemas akan hal tersebut namun mereka harus mulai kembali bersosialisasi sehingga dapat juga meresosialisasikan pecandu kepada keluarga yang lain dan kepada masyarakat.

  2.1 Pengertian NAPZA NAPZA adalah singkatan untuk narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lain. Menurut UU RI Nomor 35 tahun 2009, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, ketergantungan. Penyalahgunaan zat adalah penggunaan secara terus menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit (Stuart & Sundeen, 1998, dikutip dari Purba, dkk. 2010)

  2.2 Jenis-Jenis NAPZA NAPZA dapat dibagi ke dalam beberapa golongan yaitu:

  a. Narkotika Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Undang-Undang No. 35 tahun 2009). Narkotika alamiah berasal dari tumbuh-tumbuhan yang dalam jumlah relatif kecil diperoleh melalui proses yang sederhana, sedangkan narkotika sintetis maupun semisintetis muncul karena alasan sangat terbatasnya narkotika alamiah yang tersedia. Yang termasuk ke dalam jenis narkotika alamiah adalah :

  a) Candu (Opium) yang diperoleh dari tanaman bernama Papaver Somniferum, atau lebih dikenal sebagai poppy. Morphine (morfin) adalah opioda alamiah yang mempunyai daya analgesik yang kuat, berbentuk kristal, berwarna putih dan berubah menjadi kecoklatan dan tidak berbau, opium mentah mengandung 4-21 % morfin. Morfin merupakan juga suatu b) Heroin yang atau disebut diasetilmorfin berasal dari bahan pokok morfin dan merupakan opioda semisintetis berupa serbuk putih yang berasa pahit.

  Di pasar gelap heroin dipasarkan dalam ragam warna karena dicampur dengan bahan lain seperti gula, coklat, tepung susu dan lain-lain sekitar 24 %.

  c) Kokain adalah Alkoloida dari daun tumbuhan Erythoxylon Coca sejenis tumbuhan yang tumbuh di lereng pegunungan Andes di Amerika Selatan.

  Masyarakat India Inca suka mengunyah daun koka dalam upacara ritual untuk menahan lapar atau letih.

  d) Kanabis (ganja) adalah tanaman yang sudah di keringkan dan dirajang kemudian dilinting seperti tembakau lalu dibentuk seperti rokok. Kanabis (ganja) mengandung delta-9 tetra-hidrokanabinol (THC) (Sumiat dkk. 2009).

  b. Psikotropika Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002, psikotropika adalah zat atau obat, baik sintesis maupun semisintesis yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat yang tergolong dalam psikotropika (Hawari, 2006) adalah stimulansia yang membuat pusat syaraf menjadi sangat aktif karena merangsang syaraf simpatis. Termasuk dalam golongan stimulan adalah amphetamine, ekstasy (metafetamin), dan fenfluramin. Amphetamine sering disebut dengan speed, yang dapat mengubah perasaan dan pikiran sehingga perasaan dapat terganggu. Sedative dan hipnotika seperti barbiturat dan benzodiazepine merupakan golongan stimulan yang dapat mengakibatkan rusaknya daya ingat dan kesadaran, ketergantungan secara fisik dan psikologis bila digunakan dalam waktu lama (Purba, dkk. 2010).

  c. Zat Adiktif Lainnya Zat adiktif lainnya adalah zat, bahan kimia, dan biologi dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan lingkungan hidup secara langsung dan tidak langsung yang mempunyai sifat karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif dan iritasi. Bahan-bahan berbahaya ini adalah zat adiktif yang bukan termasuk ke dalam narkotika dan psikotropika, tetapi mempunyai pengaruh dan efek merusak fisik seseorang jika disalahgunakan (Wresniwiro dkk. 1999). Adapun yang termasuk zat adiktif ini antara lain: minuman keras (minuman beralkohol) yang meliputi minuman keras golongan A (kadar ethanol 1 % sampai 5 %) seperti bir, green sand; minuman keras golongan B (kadar ethanol lebih dari 5% sampai 20%) seperti anggur malaga; dan minuman keras golongan C (kadar ethanol lebih dari 20% sampai 55%) seperti brandy, wine, whisky. Zat dalam alkohol dapat mengganggu aktivitas sehari-hari bila kadarnya dalam darah mencapai 0,5% dan hampir semua akan mengalami gangguan koordinasi bila kadarnya dalam darah 0,10 % (Marviana dkk. 2000). Zat adiktif lainnya adalah nikotin, votaile, dan solvent/inhalasia. (Purba, dkk. 2010)

  Pengaruh NAPZA pada tubuh disebut intoksikasi. Selain intoksikasi, ada juga sindroma putus zat yaitu sekumpulan gejala yang timbul akibat penggunaan zat yang dikurangi atau dihentikan. Tanda dan gejala intoksikasi dan putus zat berbeda pada jenis zat yang berbeda.

  a. Tanda dan Gejala Intoksikasi Opiat : eforia, mengantuk, bicara cadel, konstipasi, dan penurunan - kesadaran.

  Ganja : eforia, mata merah, mulut kering, banyak bicara dan tertawa, nafsu - makan meningkat, gangguan persepsi Sedatif-Hipnotik : pengendalian diri berkurang, jalan sempoyongan, - perubahan persepsi, penurunan kemampuan menilai Alkohol : mata merah, bicara cadel, jlan sempoyongan, perubahan persepsi, - penurunan kemampuan menilai Amfetamine : selalu terdorong untuk bergerak, berkeringat, gemetar,

  • cemas, depresi, paranoid (Purba, dkk. 2010)

  b. Tanda dan Gejala Putus Zat Opiat : nyeri, mata dan hidung berair, perasaan panas dingin, diare, gelisah,

  • tidak bisa tidur Ganja : jarang ditemukan - Sedatif-Hipnotik : cemas, tangan gemetar, perubahan persepsi, gangguan - daya ingat, tidak bisa tidur Alkohol : cemas, depresi, muka merah, mudah marah, tangan gemetar, - mual muntah, tidak bisa tidur Amfetamine : cemas, depresi, kelelahan, energi berkurang, kebutuhan tidur
  • meningkat (Purba, dkk. 2010)

  2.4 Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA Harboenangin (dikutip dari Purba, dkk. 2010) mengemukakan ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang menjadi pecandu narkoba yaitu faktor eksternal dan faktor internal.

  a. Faktor Internal

  a) Faktor Kepribadian Kepribadian seseorang turut berperan dalam prilaku ini. Hal ini lebih cenderung terjadi pada usia remaja. Remaja yang menjadi pecandu biasanya memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah. Perkembangan emosi yang terhambat, dengan ditandai oleh ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah cemas, pasif, agresif, dan cenderung depresi, juga turut mempengaruhi. Selain itu, kemampuan untuk memecahkan masalah secara adekuat berpengaruh terhadap bagaimana ia mudah mencari pemecahan masalah dengan cara melarikan diri. Menurut Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (2010) bahwa remaja yang menyalahgunakan NAPZA umumnya tidak mandiri dan menganggap segala sesuatunya harus diperoleh dari lingkungan.

  b) Intelegensia untuk konseling di klinik rehabilitasi pada umumnya berada pada taraf di bawah rata-rata dari kelompok usianya. c) Usia Mayoritas pecandu narkoba adalah remaja. Berdasarkan Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (2010) bahwa sekitar dua juta orang pengguna NAPZA di Indonesia, mayoritas pengguna berumur 20-25 tahun. 90 % pengguna adalah pria. Usia pertama kali menggunakan NAPZA rata-rata 19 tahun. Menurut Rahmah (2008) bahwa usia remaja merupakan periode yang paling rawan terhadap penyalahgunaan NAPZA, karena masa remaja merupakan masa pencarian identitas diri, saat di mana remaja mulai muncul rasa penasaran, ingin tahu, serta ingin mencoba berbagai hal yang baru berisiko tinggi. Alasan remaja menggunakan narkoba karena kondisi sosial, psikologis yang membutuhkan pengakuan, dan identitas dan kelabilan emosi; sementara pada usia yang lebih tua, narkoba digunakan sebagai obat penenang.

  Oleh karena itu, sangat mungkin jika semakin hari akan semakin bertambah jumlah pengedar dan pengguna NAPZA di kalangan anak- anak dan remaja.

  d) Dorongan Kenikmatan dan Perasaan Ingin Tahu Narkoba dapat memberikan kenikmatan yang unik dan tersendiri.

  Mulanya merasa enak yang diperoleh dari coba-coba dan ingin tahu atau Lama kelamaan akan menjadi satu kebutuhan yang utama. e) Pemecahan Masalah Pada umumnya para pecandu narkoba menggunakan narkoba untuk menyelesaikan persoalan. Hal ini disebabkan karena pengaruh narkoba dapat menurunkan tingkat kesadaran dan membuatnya lupa pada permasalahan yang ada.

  b. Faktor Eksternal

  a) Keluarga Keluarga merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab seseorang menjadi pengguna narkoba. Berdasarkan hasil penelitian tim UKM Atma Jaya dan Perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta (1995), terdapat beberapa tipe keluarga yang berisiko tinggi anggota keluarganya terlibat penyalahgunaan narkoba, yaitu:

  1) Keluarga yang memiliki riwayat (termasuk orang tua) mengalami ketergantungan narkoba.

  2) Keluarga dengan manajemen yang kacau, yang terlihat dari pelaksanaan aturan yang tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan ibu (misalnya ayah bilang ya, ibu bilang tidak). 3) Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya penyelesaian yang memuaskan semua pihak yang berkonflik. Konflik maupun antar saudara. 4) Keluarga dengan orang tua yang otoriter. Dalam hal ini, peran orang tua sangat dominan, dengan anak yang hanya sekedar harus menuruti apa kata orang tua dengan alasan sopan santun, adat istiadat, atau demi kemajuan dan masa depan anak itu sendiri – tanpa diberi kesempatan untuk berdialog dan menyatakan ketidaksetujuannya. Pola asuh orang tua yang terlalu mengendalikan anak (otoriter) atau terlalu membebaskan anak (permisif) dapat mengawali perilaku pengguna NAPZA. 5) Keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga yang menuntut anggotanya mencapai kesempurnaan dengan standar tinggi yang harus dicapai dalam banyak hal. 6) Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan dengan alasan yang kurang kuat, mudah cemas dan curiga, sering berlebihan dalam menanggapi sesuatu. Sementara itu, Rahmah (2008) mengemukakan bahwa gambaran pola asuh orang pada remaja pengguna NAPZA adalah kurangnya upaya kedua orang tua dalam menerapkan disiplin pada remaja sesuai dengan standar tingkah laku yang sudah dibuat sebelumnya, kurangnya kejelasan komunikasi antara orang tua dan remaja, tidak adanya dukungan dalam remaja anak.

  b) Faktor Kelompok Teman Sebaya (Peer Group) Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan kelompok, yaitu cara teman-teman atau orang-orang seusia untuk mempengaruhi seseorang agar berprilaku seperti kelompok itu. Menurut Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (2010), bila seorang remaja tidak bisa berinteraksi dengan kelompok teman yang lebih populer atau yang berprestasi (misalnya dalam bidang olahraga dan akademik), hal tersebut dapat menyebabkan frustasi sehingga ia mencari kelompok lain yang dapat menerimanya.

  Sinaga (2007) melaporkan bahwa faktor penyebab penyalahgunaan NAPZA pada remaja adalah teman sebaya (78,1 %). Hal ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh teman kelompoknya sehingga remaja menggunakan narkoba. Hasil penelitian ini relevan dengan studi yang dilakukan oleh Hawari (1990) yang memperlihatkan bahwa teman kelompok yang menyebabkan remaja memakai NAPZA mulai dari tahap coba-coba sampai ketagihan.

  c) Faktor Kesempatan Ketersediaan narkoba dan kemudahan memperolehnya juga dapat disebut sebagai pemicu seseorang menjadi pecandu. Indonesia yang sudah menjadi tujuan pasar narkoba internasional, menyebabkan obat- obatan ini mudah diperoleh. Pengalaman feel good saat mencoba drugs akan semakin memperkuat keinginan untuk memanfaatkan kesempatan dan akhirnya menjadi pecandu.

  d) Faktor Lingkungan Sekolah NAPZA. Sekolah yang kurang disiplin dan tidak tertib, sering tidak ada pelajaran pada waktu jam sekolah, pelajaran yang diberikan secara membosankan, guru yang kurang pandai mengajar dan kurang mampu berkomunikasi dengan siswa, serta sekolah tidak mempunyai fasilitas untuk menyalurkan kreatifitas siswa, merupakan ciri-ciri sekolah yang berisiko tinggi terhadap adanya penyalahgunaan NAPZA pada murid- muridnya.

  2.5 Dampak Penyalahgunaan NAPZA Penyalahgunaan NAPZA mempunyai dampak yang sangat luas baik bagi pemakainya (diri sendiri), keluarga, pihak sekolah (pendidikan), serta masyarakat, bangsa dan negara (Martono, 2006).

  Bagi diri sendiri; Penyalahgunaan NAPZA dapat mengakibatkan

  terganggunya fungsi otak dan perkembangan moral pemakainya, intoksikasi (keracunan), overdosis (OD) yang dapat menyebabkan kematian karena terhentinya pernapasan dan pendarahan otak, kekambuhan, gangguan perilaku (mental sosial), gangguan kesehatan, menurunnya nilai-nilai, dan masalah ekonomi dan hukum.

  Bagi keluarga; Penyalahgunaan NAPZA dalam keluarga dapat

  mengakibatkan suasana nyaman dan tentram dalam keluarga terganggu. Di mana orang tua akan merasa malu karena memiliki anak pecandu, merasa bersalah, dan berusaha menutupi perbuatan anak mereka. Stress keluarga meningkat, merasa putus asa karena pengeluaran yang meningkat akibat pemakaian narkoba atau

  Bagi pendidikkan atau sekolah; NAPZA akan merusak disiplin dan

  motivasi yang sangat tinggi untuk proses belajar. Penyalahgunaan NAPZA berhubungan dengan kejahatan dan perilaku asosial lain yang mengganggu suasana tertib dan aman, rusaknya barang-barang sekolah dan meningkatnya perkelahian.

  Bagi masyarakat, bangsa dan negara; Penyalahgunaan NAPZA

  mengakibatkan terciptanya hubungan pengedar narkoba dengan korbannya sehingga terbentuk pasar gelap perdagangan NAPZA yang sangat sulit diputuskan mata rantainya. Masyarakat yang rawan narkoba tidak memiliki daya tahan dan kesinambungan pembangunan terancam. Akibatnya negara mengalami kerugian karena masyarakatnya tidak produktif, kejahatan meningkat serta sarana dan prasarana yang harus disediakan untuk mengatasi masalah tersebut.

  2.6 Tingkat Pemakaian Zat NAPZA Terdapat beberapa tingkatan pemakaian zat NAPZA yaitu, a) pemakaian coba-coba (experimental use) yang bertujuan hanya ingin mencoba memenuhi rasa ingin tahu. Sebagian pemakai erhenti menggunakannya dann sebagian lagi meneruskannya, b) pemakaian sosial (social use) yang be rtujuan hanya untuk bersenang-senang (saat rekreasi atau santai). Sebagian pemakai tetap bertahan pada tahap ini, namun sebagian lagi meningkat ke tahap selanjutnya, c) pemakaian situasional (situasional use), pemakaian pada saat mengalami keadaan tertentu (ketegangan, kesedihan, kekecewaan), d) penyalahgunaan (abuse), pemakaian ini sebagai suatu pola penggunaan yang bersifat patologis/klinis sosial atau pekerjaannya, e) ketergantungan (dependence), telah terjadi toleransi dan gejala putus zat, bila pemakaian zat dihentikan atau dikurangi atau tidak ditambah dosisnya (Depkes, 2000).

  2.7 Rehabilitasi Menurut Depkes (2001), rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan nonmedis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Purba,dkk. 2010).

  Menurut Hawari (2004) bahwa sesudah klien penyalahgunaan/ ketergantungan NAPZA menjalani program terapi (detoksifikasi) dan konsultasi medik selama satu minggu dan dilanjutkan dengan program pemantapan (pascadetoksifikasi) selama dua minggu maka yang bersangkutan dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi. Lama rawat di unit rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena tergantung pada jumlah dan kemampuan sumber daya, fasilitas, dan sarana penunjang kegiatan yang tersedia di rumah sakit (Purba, dkk. 2010).

  Depkes (2001) menyatakan bahwa kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi sebagai besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving) terhadap dapat mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi, mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA, pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya, mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari- hari dengan baik, dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja dan dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan dengan lingkungannya (Purba, dkk. 2010).

  Ada beberapa jenis rehabilitasi yang dilakukan untuk penyembuhan pasien NAPZA, yaitu rehabilitasi psikososial, rehabilitasi kejiwaan, rehabilitasi komunitas, dan rehabilitasi keagamaan (Purba, dkk. 2010). Semua jenis rehabilitasi ini mampu menekan risiko seminimal mungkin terlibat kembali pasien dalam penyalahgunaan NAPZA.

  a. Terapi Medis Terapi medis adalah upaya yang dijalankan berdasarkan pertanggungjawaban ilmu kedokteran. Terapi medis ketergantungan narkotika dan zat adiktif lainnya digolongkan atas, terapi detoksifikasi dan terapi maintenance (pemeliharaan).

  Terapi detoksfikasi dilakukan di praktik-praktik dokter (baik puskesmas terdekat maupun praktek dokter swasta), di rumah sakit atau klinik khusus.

  Beberapa jenis obat yang digunakan dalam terapi detoksifikasi antara lain, klonidin, metadon, kodein dan bruprenorfin. Lamanya program terapi detoksifikasi juga berbeda-beda yaitu, 3-4 minggu berobat jalan atau 7-10 hari rawat inap.

  Secara medis, terapi pemeliharaan dijalankan dengan tiga media, terapi psikofarmaka, terapi pelaku dan self-help group (Depkes, 2000). b. Terapi Psikososial Program rehabilitasi psikososial merupakan persiapan untuk kembali ke masyarakat (reentry program). Oleh karena itu, klien perlu dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan misalnya dengan berbagai kursus atau balai latihan kerja di pusat-pusat rehabilitasi. Dengan demikian diharapkan bila klien selesai menjalani program rehabilitasi dapat melanjutkan kembali sekolah/kuliah atau bekerja (Purba, dkk. 2010).

  Di indonesia ada dua institusi yang bergerak dalam bidang ini yaitu, Departemen Sosial dan Kepolisian. Umumnya institusi dikelola berdasarkan pada tingkah laku ketergantungan narkotika dan psikotropika yang melanggar disiplin dan tatanan moral masyarakat.

  c. Terapi Komunitas Berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam satu tempat. Dipimpin oleh mantan pemakai yang dinyatakan memenuhi syarat sebagai konselor, setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan. Tenaga profesional hanya sebagai konsultan saja. Di sini klien dilatih keterampilan mengelola waktu dan perilakunya secara efektif dalam kehidupannya sehari- hari sehingga dapat mengatasi keinginan menggunakan narkoba lagi (craving) dan mencegah relaps. Dalam kegiatan ini semua klien ikut aktif dalam proses membahayakan orang lain. Tiap anggota bertanggung jawab terhadap perbuatannya, penghargaan bagi yang berprilaku positif dan hukuman bagi yang berprilaku negatif diatur oleh mereka sendiri (Purba, dkk. 2010). d. Terapi Keagamaan Rehabilitasi keagamaan masih perlu dilanjutkan karena waktu detoksifikasi tidaklah cukup untuk memulihkan klien rehabilitasi menjalankan ibadah sesuai keyakinan agamanya masing-masing. Pendalaman, penghayatan, dan pengamalan keagamaan atau keimanan ini dapat menumbuhkan kerohanian (spiritual power) pada diri seseorang sehingga mampu menekan risiko seminimal mungkin terlibat kembali dalam penyalahgunaan NAPZA apabila taat dan rajin menjalankan ibadah (Purba, dkk. 2010).

Dokumen yang terkait

Gambaran Peran Keluarga Dalam Pemulihan Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

11 71 87

Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Frekuensi Kekambuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah Propsu Medan

8 64 67

Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Pasien Minum Obat di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan

14 109 73

Hubungan Pengetahuan Keluarga tentang Perilaku Kekerasan dengan Kesiapan Keluarga dalam Merawat Pasien di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan

18 157 71

Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kekambuhan Pasien Skizofrenia di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara - Medan

30 131 90

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Gambaran Dukungan Keluarga dalam Memenuhi Kebutuhan Spiritual Pasien Stroke di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 22

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Dukungan Keluarga 1.1 Definisi Keluarga - Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi di RSUD dr. Pirngadi Medan

0 0 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gangguan Jiwa 2.1.1 Pengertian Gangguan Jiwa - Pengaruh Pemberdayaan Keluarga Melalui Edukasi Terhadap Kemampuan Merawat Pasien Gangguan Jiwa di Kota Medan pada Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013

0 0 50

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan - Pengetahuan Keluarga tentang Perawatan Klien Halusinasi di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013

0 1 39

Dukungan Psikososial Keluarga dalam Penyembuhan Pasien NAPZA di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara – Medan

0 0 18