Hubungan Pengetahuan Keluarga tentang Perilaku Kekerasan dengan Kesiapan Keluarga dalam Merawat Pasien di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan

(1)

Hubungan Pengetahuan Keluarga

tentang Perilaku Kekerasan

dengan Kesiapan Keluarga dalam Merawat Pasien

di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan.

Oleh

MARSONO SIMATUPANG

061101061

Skripsi

Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara


(2)

Judul : Hubungan Pengetahuan Keluarga tentang Perilaku Kekerasan dengan Kesiapan Keluarga dalam Merawat Pasien di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan

Peneliti : Marsono Simatupang NIM : 061101061

Jurusan : Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

Tahun : 2008/2009

Pembimbing Penguji

... ...Penguji 1 (Jenny M. Purba, S.Kp, MNS) (Jenny M. Purba, S.Kp, MNS)

NIP. 19740108 200003 2001 NIP.

... Penguji 2 (Siti Zahara, S.Kp, MNS) NIP.

...Penguji 3 (Farida , S.Kep, M.Kep)

NIP.

Fakultas Keperawatan telah menyetujui skripsi ini sebagai bagian dari persyaratan kelulusan Sarjana Keperawatan.

Pembantu Dekan I

……… Erniyati, S.Kp, MNS


(3)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur kehadhirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmat-Nya yang telah memberikan kekuatan dan kesempatan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi, dengan judul ”Hubungan Penegtahuan Keluarga tentang Perilaku Kekerasan dengan Kesiapan Keluarga dalam Merawat Pasien di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan”.

Proposal penelitian ini terlaksana karena arahan, masukan, dukungan dan koreksi dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M. Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Jenny M Purba, S.Kp, MNS sebagai dosen pembimbing dalam menyelesaikan proposal ini.

3. Ibu Rika Endah N, S.Kp, M.Pd sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan selama saya menyelesaikan akademik di Fakultas Keperawatan.

4. Seluruh dosen dan civitas akademik Fakultas Keperawatan USU yang telah memberi bimbingan selama perkuliahan.

5. Terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua saya yang selalu memberikan dukungan dan doa dalam menyelesaikan skripsi.

6. Teman-teman sejawat Fakultas Keperaatan USU 2006, terima kasih atas bantuan dan semangatnya selama ini.


(4)

Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan dan pihak-pihak yang membutuhkan dan penulis sangat mengharapkan adanya saran yang bersifat membangun untuk perbaikan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Medan, Juni 2010


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

UCAPAN TERIMA KASIH ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR SKEMA ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian... 4

1.3. Pertanyaan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pengetahuan ... 6

2.1.1. Pengertian Pengetahuan ... 6

2.1.2. Tingkat Pengetahuan ... 8

2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan ... 9

2.2. Konsep Keluarga ... 10

2.2.1. Definisi Keluarga ... 11

2.2.2. Fungsi Keluarga ... 12

2.2.3. Tugas Keluarga dalam Bidang Kesehatan ... 13

2.3. Faktor-faktor Kesiapan Keluarga ... 16

2.4. Perilaku Kekerasan ... 22

2.4.1. Definisi Perilaku Kekerasan ... 22

2.4.2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Perilaku Kekerasan pada Gangguan Jiwa ... 23

2.4.3. Tindakan Keperawatan pada Pasien Perilaku Kekerasan ... 26

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1. Kerangka Konseptual ... 28

3.2. Defenisi Operasional ... 29

3.3. Hipotesa ... 30

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Desain Penelitian ... 31

4.2. Populasi dan Sampel Penelitian ... 31

4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 32

4.4. Pertimbangan Etik ... 32

4.5. Instrumen Penelitian ... 33

4.5.1. Kuesioner Penelitian ... 33

4.5.2. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas ... 35


(6)

4.5.4. Analisa Data ... 37

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian ... 38

5.1.1. Karakteristik Responden ... 38

5.1.2. Pengetahuan Keluarga ... 40

5.1.3 Kesiapan Keluarga ... 40

5.1.4 Hubungan Pengetahuan Keluarga dengan Kesiapan Keluarga ... 41

5.2. Pembahasan ... 42

5.2.1. Pengetahuan Keluarga ... 42

5.2.2. Kesiapan Keluarga ... 43

5.2.3 Hubungan Pengetahuan Keluarga dengan Kesiapan Keluarga ... 44

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 47

6.2. Rekomendasi ... 47

6.2.1. Bagi Praktek Keperawatan ... 48

6.2.2. Bagi Penelitian Keperawatan ... 48

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Persetujuan Menjadi Responden Penelitian Lampiran 2 Lembar Kuesioner

Lampiran 3 Jadwal Penelitian

Lampiran 4 Surat Izin Survey awal Penelitian

Lampiran 5 Surat hasil Penelitian dari Rumah Sakit Daerah Provsu Medan Lampiran 6 Hasil Analisa Data

Lampiran 7 Anggaran Dana Penelitian


(7)

DAFTAR SKEMA

Skema 1 Kerangka Konsep Penelitian Hubungan Pengetahuan Keluarga tentang Perilaku Kekerasan dengan Kesiapan Keluarga dalam Merawat Pasien di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan ... ...28


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden (n=32) ... 39 Tabel 2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Keluarga

tentang Perilaku Kekerasan (n=32) ... 40 Tabel 3 Distribusi Frekuensi Kesiapan Keluarga dalam Merawat pasien

Perilaku Kekerasan (n=32) ... 40 Tabel 4 Hubungan Pengetahuan Keluarga tentang Perilaku Kekerasan


(9)

Judul Penelitian : Hubungan Pengetahuan Keluarga tentang Perilaku Kekerasan dengan Kesiapan Keluarga dalam Merawat Pasien di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan

Jurusan : Sarjana Keperawatan Peneliti : Marsono Simatupang Tahun Akademik : 2009/2010

ABSTRAK

Perilaku kekerasan merupakan salah satu bentuk perilaku yang sering ditunjukkan oleh pasien gangguan jiwa. Pengetahuan keluarga yang adekuat sangat dibutuhkan dalam merawat pasien dengan perilaku kekerasan. Menerima kenyataan adalah kunci pertama proses penyembuhan dan pengendalian perilaku kekerasan pasien. Penelitian deskriftif korelasi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dengan kesiapan keluarga dalam merawat pasien. Dengan ini digunakan teknik purposive sampling, sebanyak 32 responden berpartisipasi pada penelitian ini. Instrumen penelitian terdiri dari kuesioner karakteristik responden, kuesioner pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dan kuesioner kesiapan keluarga dalam merawat pasien. Data disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden (90,6 %) memiliki pengetahuan yang baik tentang perilaku kekerasan, dan memiliki kesiapan yang cukup sebanyak 84,4 %. Pada penelitian ini r = 0,138 ; p = 0,45 ; p > 0,05 . Hal ini menunjukkan bahwa hipotesa penelitian (Ha) ditolak yaitu hubungan rendah antara tingkat pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dengan kesiapan keluarga dalam merawat pasien dirumah. Karena banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi kesiapan keluarga dalam merawat pasien yaitu struktur keluarga, sistem pendukung, sumber daya keluarga. Oleh karena itu perawat harus mampu memberikan pendidikan kesehatan jiwa dan mampu melibatkan peran serta keluarga dalam merawat pasien dirumah dan keluarga diharapkan dapat melaksanakan lima tugas kesehatan keluarga.


(10)

Judul Penelitian : Hubungan Pengetahuan Keluarga tentang Perilaku Kekerasan dengan Kesiapan Keluarga dalam Merawat Pasien di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan

Jurusan : Sarjana Keperawatan Peneliti : Marsono Simatupang Tahun Akademik : 2009/2010

ABSTRAK

Perilaku kekerasan merupakan salah satu bentuk perilaku yang sering ditunjukkan oleh pasien gangguan jiwa. Pengetahuan keluarga yang adekuat sangat dibutuhkan dalam merawat pasien dengan perilaku kekerasan. Menerima kenyataan adalah kunci pertama proses penyembuhan dan pengendalian perilaku kekerasan pasien. Penelitian deskriftif korelasi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dengan kesiapan keluarga dalam merawat pasien. Dengan ini digunakan teknik purposive sampling, sebanyak 32 responden berpartisipasi pada penelitian ini. Instrumen penelitian terdiri dari kuesioner karakteristik responden, kuesioner pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dan kuesioner kesiapan keluarga dalam merawat pasien. Data disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden (90,6 %) memiliki pengetahuan yang baik tentang perilaku kekerasan, dan memiliki kesiapan yang cukup sebanyak 84,4 %. Pada penelitian ini r = 0,138 ; p = 0,45 ; p > 0,05 . Hal ini menunjukkan bahwa hipotesa penelitian (Ha) ditolak yaitu hubungan rendah antara tingkat pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dengan kesiapan keluarga dalam merawat pasien dirumah. Karena banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi kesiapan keluarga dalam merawat pasien yaitu struktur keluarga, sistem pendukung, sumber daya keluarga. Oleh karena itu perawat harus mampu memberikan pendidikan kesehatan jiwa dan mampu melibatkan peran serta keluarga dalam merawat pasien dirumah dan keluarga diharapkan dapat melaksanakan lima tugas kesehatan keluarga.


(11)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut (Purba, 2008). Menurut Stuart dan Laraia (1998), perilaku kekerasan dapat dimanifestasikan secara fisik (mencederai diri sendiri, peningkatan mobilitas tubuh), psikologis (emosional, marah, mudah tersinggung, dan menentang), spiritual (merasa dirinya sangat berkuasa, tidak bermoral). Perilaku kekerasan merupakan suatu tanda dan gejala dari gangguan skizofrenia akut yang tidak lebih dari satu persen (Andri, 2008).

Perilaku kekerasan menjadi masalah di banyak Negara seperti Amerika, Australia, dan negara-negara maju lainnya. Bentuk kekerasan yang sering terjadi seperti perkelahian, pemukulan, penyerangan dengan senjata, tawuran, perampokan, perkosaan, penganiayan, dan pembunuhan (Evan, 2000 & Shalaa, 2001 dikutip dari Budiharto dkk, 2003).

Menurut Towsend (1996 dalam Purba, 2008), terdapat beberapa teori yang menyebabkan terjadinya perilaku kekerasan. Salah satunya adalah berdasarkan teori psikologik yaitu teori psikoanalitik dan teori pembelajaran. Pada teori psikoanalitik menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri


(12)

rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan kekuatan yang dapat meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Sedangkan berdasarkan teori pembelajaran, anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran orang tuanya sendiri. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa. Hal ini terkait dengan pengetahuan keluarga dan pola asuh keluarga.

Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan mental merupakan awal usaha memberikan ilklim kondusif bagi anggota keluarganya. Sebab keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan langsung pada setiap keadaan sakit klien. Keluarga mempunyai peranan baik sebagai penyebab, penyulit, maupun penyembuhan. Keluarga sebagai unit bertanggung jawab untuk membantu anggota keluarga mengembangkan potensi, membantu pencapaian cita-cita atau tujuan individu dan keluarga dan menggalakkan autonomi dan fleksibilitas diantara anggota keluarga ( Keliat, 1992 ).

Mengingat bahwa lingkungan pergaulan yang pertama adalah keluarga, maka tingkah laku agresif (kekerasan) dalam keluarga harus dihindarkan sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga meupakan salah satu penyembuhan yang sangat berarti. Agar tercapai dukungan yang optimal maka keluarga harus memiliki pengatahuan dan kemampuan yang berkaitan dengan lima tugas kesehatan keluarga yaitu menganal masalah kesehatan, mengambil keputusan yang tepat untuk mengatasi masalah, merawat anggota keluarga yang mempunyai masalah kesehatan,


(13)

memodifikasi lingkungan untuk mampu memanfaatkan fasilitas kesehatan secara tepat (Keliat, 1992).

Berdasarkan data di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan bahwa jumlah pasien gangguan jiwa pada tahun 2008 tercatat sebanyak 1.814 pasien rawat inap yang keluar masuk rumah sakit dan 23.532 pasien rawat jalan di rumah sakit tersebut. Pada data yang diperoleh mulai januari sampai april 2009 tercatat bahwa 1.790 pasien rawat inap dan 3.885 pasien rawat jalan yang mengalami gangguan jiwa skizofrenia paranoid dan gangguan psikotik dengan gejala curiga berlebihan, galak, dan bersikap bermusuhan. Gejala ini merupakan tanda dari pasien yang mengalami perilaku kekerasan (Medikal Record, 2009).

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada bulan September 2009 terhadap tiga keluarga pasien didapat data bahwa mereka tidak tahu merawat pasien dirumah, mereka juga megatakan kesulitan dalam memberikan obat pada pasien dan agak kesal menghadapi perilaku pasien yang suka marah-marah bahkan mengamuk tanpa alasan yang jelas.

Berdasarkan latar belakang peneliti tertarik untuk melakukan penelitian hubungan pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasa dengan kesiapan keluarga merawat pasien.


(14)

1.2. Pertanyaan Penelitian

1.2.1. Bagaimana pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan pada pasien dengan gangguan jiwa ?

1.2.2. Bagaimana kesiapan keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan pada pasien dengan gangguan jiwa ?

1.2.3. Bagaimana hubungan pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dengan kesiapan keluarga merawat pasien ?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Mengidentifikasi pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan 1.3.2 Mengidentifikasi kesiapan keluarga merawat pasien perilaku kekerasan

1.3.3 Mengetahui hubungan antara pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dengan kesiapan keluarga merawat pasien

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak, yaitu :

1.4.1. Praktek Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi tambahan bagi perawat tentang gambaran pengetahuan keluarga sehingga memudahkan perawat dalam memberikan pendidikan kesehatan dan menyelenggarakan pertemuan keluarga di rumah sakit jiwa.


(15)

1.4.2 Pendidikan Keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi bagi mahasiswa keperawatan sehingga dapat menjadi perawat yang dapat mengidentifikasi kebutuhan pasien dan keluarga.

1.4.3. Penelitian Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data tambahan bagi penelitian berikutnya yang terkait dengan pengetahuan keluarga dan kesiapan keluarga merawat pasien gangguan jiwa..


(16)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pengetahuan 2.1.1. Pengertian Pengetahuan

Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu knowledge. Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa defenisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar ( knowledge is justified true belief ). Sedangkan terminologi menurut Drs. Sidi Gazalba ( 1992 ) pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pengetahuan tersebut adalah hasil dari kenal, sadar insaf, mengerti dan pandai.

Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala sesuatu perbuatan manusia untuk memahami suatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama dari pada yang tidak didasari oleh pengetahuan ( Notoadmojo, 1993 ). Pengetahuan dapat berwujud barang-barang fisik, pemahamannya dilakukan dengan cara persepsi baik lewat indera maupun lewat akal, dapat pula objek yang dipahami oleh manusia berbentuk ideal atau yang bersangkutan dengan masalah kejiwaan.

Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan mental merupakan awal usaha dalam memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluraganya. Keluarga selain dapat meningkatkan dan mempertahankan kesehatan mental anggota keluarga, juga


(17)

dapat menjadi sumber problem bagi anggota keluarga yang mengalami persoalan kejiwaan keluarganya ( Notosoedirdjo & Latipun, 2005 )

Berdasarkan penelitian dari bahan National Mental Health Assosiation/NHMA ( 2001 ), diperoleh bahwa banyak ketidakmengertian ataupun kesalahpahaman keluarga mengenai gangguan jiwa, keluarga menganggap bahwa seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak akan pernah sembuh lagi. Namun faktanya, NHMA mengemukakan bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa dapat sembuh dan dapat mulai kembali melakukan aktivitasnya.

National Mental Health Association ( NMHA ) mengemukakan hal-hal yang perlu diketahui oleh keluarga agar dapat menyikapi dan mengontrol emosi dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa ( Koening, 1996 ), yaitu :

 Membangun harapan yang realistis dalam keluarga dan kepada penderita gangguan jiwa sehingga keluarga memiliki kesabaran dan tetap mendukung anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa.

 Pendekatan secara spiritual membantu keluarga dalam menghadapi penderita gangguan jiwa.

 Mencari bantuan dari petugas kesehatan ataupun sumber media lainnya dalam mendapatkan informasi yang benar tentang gangguan jiwa.

 Komunikasi sangat penting untuk membangun kepercayaan antara keluarga dengan penderita gangguan jiwa. Komunikasi yang baik


(18)

secara tidak langsung dapat membuat penderita gangguan jiwa dapat mengungkapkan perasaan yang dirasakannya dan kelurga diharapkan mengerti bahwa kondisi yang mereka alami membahayakan apabila penderita gangguan jiwa mempercayai untuk mengungkapkan perasaannya.

2.1.2. Tingkat Pengetahuan dalam domain kognitif

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan : 1. Tahu ( know )

Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali ( recall ) sesuatau yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. Oleh sebab itu tahu merupakan tingkat penegtahuan yang paling rendah.

2. Memahami

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat mengintrepetasikan materi tersebut secara benar.

3. Aplikasi

Aplikasi diartikan sebgai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real ( sebenarnya ). Aplikasi ini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.


(19)

4. Analisis

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sam lain.

5. Sintesis

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu objek bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formasi-formasi yang ada.

6. Evaluasi

Evaluasi berkaitan dengan kemepuan untuk melekukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan pada suatu kriteri yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Notoadmojo ( 2003 ) pengetahuan dipengaruhi oleh faktor : a. Pendidikan

Pendidikan adalah proses belajar yang berarti terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan ke arah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, keluarga atau masyarakat. Beberapa hasil penelitian mengenai pengaruh pendidikan terhadap perkembangan pribadi, bahwa pada umumnya pendidkan itu mempertinggi taraf intelegensi individu.


(20)

b. Persepsi

Persepsi, mengenal dan memilih objek sehubungan dengan tindakan ysng akan diambil.

c. Motivasi

Motivasi merupakan dorongan, keinginan dan tenaga penggerak yang berasal dari dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu dengan mengesampingkan hal-hal yang dianggap kurang bermanfaat. Dalam mencapai tujuan dan munculnya motivasi dan memerlukan rangsangan dari dalam individu maupun dari luar. Motivasi murni adalah motivasi yang betul-betul disadari akan pentingnya suatu perilaku akan dirasakan suatu kebutujan.

d. Pengalaman

Pengalaman adalah sesuatu yang dirasakan ( diketahui, dikerjakan ) juga merupakan kesadaran akan suatu hal yang tertangkap oleh indera manusia. Faktor eksternal yang mempengaruhi pengetahuan antara lain meliputi : lingkungan, sosial, ekonomi, kebudayaan dan informasi. Lingkungan sebagi faktor yang berpengaruh bagi pengembangan sifat dan perilaku individu. Sosial ekonomi, penghasilan sering dilihat untuk memliki hubungan antar tingkat penghasilan dengan pemamfaatan.

2.2 Konsep Keluarga 2.2.1. Defenisi Keluarga

Pengertian keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial. Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya. Sedangkan dalam dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh


(21)

adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya, walaupun di antara mereka tidak terdapat hubungan darah (Shochib, 1998).

Keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya dengan seseorang. Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampu membentuk homoestatis akan dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota keluarganya dan kemungkinan dapat meningkatkan ketahanan para anggota kelurganya dari gangguan-gangguan mental dan ketidakstabilan emosional anggota keluarganya. Usaha kesehtan mental sebaiknya dan seharusnya dimulai dari keluarga. Karena itu perhatian utama dalam kesehatan mental adalah menggarap keluarga agar dapat memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan mental ( Notosoedirdjo & Latipun, 2005 ).

Sebagai bagian dari tugasnya untuk menjaga kesehatan anggota keluarganya, keluarga perlu menyusun dan menjalankan aktivitas-aktivitas pemeliharaan kesehatan berdasarkan atas apakah anggota keluarga yakin menjadi sehat dan mencari informasi mengenai kesehatan yang benar yang dapat bersumber dari petugas kesehatan langsung ataupun media massa ( Friedman, 1998 ).

2.2.2. Fungsi Keluarga

Menurut Effendy ( 1998 ), ada beberapa fungsi keluarga yang dapat dijalankan keluarga :

 Fungsi pendidikan, dalam hal ini tugas keluarga adalah mendidik dan menyekolahkan anak unuk mempersiapkan kedewasaan dan masa depan anak bila kelak dewasa nanti.


(22)

 Fungsi sosialisasi anak, tugas keluarga dalam menjalankan fungsi ini adalah bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik.

 Fungsi perlindungan, keluarga melindungi anak dan anggota keluarga dari tindakan-tindakan yang tidak baik, sehingga anggota keluarga merasa terlindungi dan merasa aman.

 Fungsi perasaan, keluarga menjaga secara instuitif, merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota lainya dalam berkomunikasi dan berinteraksi satu dengan lainya sehingga ada saling pengertian satu sama lain.

 Fungsi religius, keluarga memperkenalkan dan mengajak anggota keluarga dalam kehidupan beragama untuk menenamkan keyakinan bahwa ada kekuatan lainya yang mengatur kehidupan ini dan akan ada kehidupan lain setelah dunia ini.

 Fungsi ekonomis, keluarga dalam hal ini mencari sumber-sumber kehidupan dalam memenuhi fungsi-fungsi keluarga lainnya.

 Fungsi biologis, keluarga meneruskan keturunan sebagai generasi penerus.

2.2.3. Tugas Keluarga dalam bidang kesehatan

Untuk dapat mencapai tujuan kesehatan keluarga, keluarga harus memiliki tugas dalam pemeliharaan kesehatan para anggotanya dan saling memelihara.

Tugas kesehatan yang harus dilakukan oleh keluarga ( Freeman, 1981 dikutip dari Effendy, 1998 ) yaitu :

1) Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggotanya. Keluarga menegnal perkembangan emosional dari anggota keluarganya


(23)

dan tingkah laku ataupun aktivitas yang normal atau tidak untuk dilakukan. Hal ini erat hubungannya dengan pengetahuan keluarga akan gejala-gejala gangguan jiwa.

2) Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat. Segera setelah keluarga mengetahui bahwa ada kondisi anggota keluarag tidak sesuai dengan normal maka sebaiknya keluarga memutuskan dengan cepat tindakan yang harus dilakukan untuk keseimbangan anggota keluarganya dengan segera membawanya ke petugas kesehatan.

3) Memberikan pertolongan kepada anggota keluarganya yang sakit dan yang tidak dapat membantu diri sendiri karena cacat fisik ataupun mental. Karena penderita gangguan jiwa tidak bisa mandiri untuk memenuhi kebutuhan aktivitas hidupnya.

4) Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga. Keluarga membuat iklim yang kondusif bagi penderita gangguan jiwa di lingkungan rumah agar merasa nyaman dan merasa tidak diikucilkan dari keluarga.

5) Mempertahankan hubungan timbale balik antara keluarga dan lembaga-lembaga kesehtan yang menunjukkan pemanfaatan dengan baik fasilitas-fasilitas kesehtan yang ada. Untuk kesembuhan penderita gangguan jiwa, keluarga harus memiliki banyak informasi mengenai kesehtan jiwa anggota keluarganya dari lembaga petugas kesehatan yang ada.


(24)

Ketidakmampuan keluarga dalam melaksanakan tugas kesehatan terdiri atas : 1) Ketidaksanggupan mengenai masalah kesehatan keluarga karena

 Kurangnya pengetahuan / ketidakmampuan fakta akan penyakit ganggguan jiwa.

 Rasa takut akibat masalah yang dihadapi serta aib yang harus dihadapi membuat keluarga tidak fokus dalam mengenal masalah gangguan jiwa yang dihadapi anggota keluarga.

2) Ketidaksanggupan keluarga mengambil keputusan dalam melakukan tindakan yang tepat, disebabkan karena :

 Tindakan memahami mengenai sifat, berat dan luasnya masalah gangguna jiwa yang dihadapi keluarga.

 Keluarga tidak sanggup memecahkan masalah karena kurang pengetahuan dan kurang baik itu dalam hal biaya, tenaga dan waktu dalam penanganan anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa.

 Tidak sanggup memilih tindakan diantara beberapa pilihan.

 Tidak tahu tentang fasilitas kesehatan yang ada

 Sikap negatif terhadap masalah kesehatan yang ada

 Fasilitas kesehatan yang tidak terjangkau terutama bagi keluarga yang ada di pedesaan.


(25)

3) Ketidakmampuan merawat anggota keluarga yang sakit, disebabkan karena :

 Tidak mengetahui keadaan penyakit misalnya sifat, penyebabnya, gejala dan perawatannya

 Kurang atau tidak ada fasilitas yang diperlukan untuk perawatan

 Tidak seimbang sumber-sumber yang ada dalam keluarga, misalnya keuangan dan fasilitas fisik untuk perawatan.

 Konflik individu dalam keluarga, keluarga tidak peduli dan lebih menyalahkan satu dengan lainnya mengenai keadaan anggota keluarganya.

4) Ketidakmampuan menggunakan sumber di masyarakat guna memelihara keehatan disebabkan karena :

 Rasa asing dan tidak ada dukungan dari masyarakat, adanya anggapan dan pemahaman masyarakat yang negative terhadap gangguan jiwa membuat keluarga merasa malu.

 Tidak tahu bahwa fasilitas kesehatan itu ada

 Kurang percaya terhadap petugas dan lembaga kesehatan.

2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Keluarga dalam Manerima

Pasien Gangguan Jiwa

Rivai ( 1996 ) mengatakan bahwa rumah sakit jiwa seringkali mengalami kesulitan memulangkan klien ke pihak keluarga, sebab setiap kali hanya dalam waktu beberapa hari akan kambuh kembali, selain itu keluarga pasien sering menolak


(26)

menerima kembali dengan berbagai macam alasan serta kurangnya pengertian terhadap penanganan dan perawatan pasien mantan gangguan jiwa.

Rivai kemudian menambahkan bahwa pasien dengan perawatan pasien dengan gangguan jiwa di rumah sakit jiwa memang memerlukan waktu yang lama, terutama pasien dengan gangguan jiwa kronis ( menahun ), disebabkan kurangnya keterlibatan keluarga untuk ikut serta cara perawatannya sehari-hari, sehingga keluarga tidak siap dan tidak dapat beradaptasi dengan pasien lagi.

Dalam proses perencanaan kepulangan klien gangguan jiwa dari RSJ di awali dengan pertemuan yang pada proses keperawatan disebut dengan proses pangkajian. Proses pengkajian ini penting dilakukan untuk memperoleh data dari pasien dan keluarga sehingga dapat ditemukan masalah yang dihadapi pasien dan keluarga berhubungan dengan keadaan kesehatan pasien dan perawatannya di rumah. Biasanya yang dikaji adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kesiapan mereka menerima kepulangan pasien gangguan jiwa dan faktor-faktor tersebutlah yang palng banyak menjadi alasan keluarga menolak kehadiran klien gangguan jiwa ditengah-tengah keluarga mereka ( Suyasa, 1994 dalam Dep Kes RI 1994 ).

Adapun beberapa faktor yang perlu dikaji adalah sebagai berikut : a. Pengetahuan keluarga

Sebagai sebuah keluarga, seharusnya mengetahui tentang peran dan tanggung jawab dalam proses keperawatan yang direncanakan untuk perawatan klien dirumah. Faktor ini adalah salah satu faktor yang sering kali diabaikan oleh pihak keluarga padahal peran keluarga dalam proses penyembuhan merupakan peran yang paling penting ( Suyasa, 1994 dalam Dep Kes RI 1994 ).


(27)

Keluarga harus menambah pengetahuan dan melengkapi dirinya dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat memperlakukan mereka dalam keluarga secara baik dan memadai, bersifat teraupetik dan membawa anggota keluarga tersebut kepada kesembuhan yang seteru. Perlakuan-perlakuan keluarga terhadap salah satu anggota keluarga yang mengidap perilaku kekerasan, apabila tidak disertai pengetahuan dan sikap yang benar dapat mengakibatkan kekambuhan kembali.( Chandra, 2004 ).

Penelitian lain juga menunjukkan perlunya terapi pada keluarga diberikan untuk kesiapan keluarga dalam menerima kepulangan pasien jiwa dengan membekali mereka pengetahuan-pengetahuan tentang perawatan pasien perilaku kekerasan untuk mendukung kesembuhan penderita ( Ayub & Wigan, 2004 ).

Sebuah keluarga dengan penderita gangguan jiwa perlu menegetahui dan menyadari keadaan diri penderita, mengambil keputusan untuk menetukan bagaimana sikap yang sebaiknya diambil agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Banyak keluarga yang berpendapat bahwa penderita boleh berhenti minum obat ( berobat ) apabila gejal-gejala sudah menghilang / berkurang, juga banyak keluarga yang berpendapat bahwa penderita gangguan jiwa hanya perlu medikasi ( obat-obatan ) untuk dapat sembuh saat proses pemulihannya dirumah. Hal ini jelas keliru, terapi bagi penderita gangguan jiwa bukan hanya pemberian obat dan rehabilitasi medik, namun diperlukan peran keluarga guna resosialiosasi dan pencegahan kekambuhan ( Vijay, 2005 ).


(28)

b. Sruktur keluarga

Struktur keluarga meliputi pola dan proses komunukasi yang memungkinkan anggota keluarga untuk mengekspresikan marahnya, sedih, gembira, komunikasi yang terbuka, komunikasi yang dapat menyelesaikan konflik keluarga, suasana emosi yang hangat, saling percata, menghargai, memperhatikan dan mnerima. Pelaksanaan peran yang dilakukan keluarga, nilai-nilai yang dimilki dan dianut keluarga yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, norma sosial yang dianut oleh masyarakat turut mempengaruhi kesiapan keluarga ( Suyasa, 1994 dalam Dep Kes RI, 1994 ).

Menerima kenyataan adalah kunci pertama proses penyembuahan atau pengendalian perilaku kekerasan. Keluarga harus bersikap menerima, tetap berkomunikasi dan tidak mengasingkan penderita. Tindakan kasar, berantakan atau mengucilkan justru akan membuat penderita semakin depresi bahkan cenderung bersikap kasar. Akan tetapi, terlalu memanjakan juga tidak baik ( Chandra, 2004 ).

Tetapi yang kita temukan pada kenyataannya justru keluarga menjadi emosional, kritis, bahkan bermusuhan, jauh dari sikap hangat yang dibutuhkan ketika berhadapan dengan penderita memicu kekambuhan ( Sumarjo, 2004 ).

c. Sistem Pendukung

Keluarga sebagai sebuah kelompok yang dapat menimbulkan, mencegah atau memperbaiki masalah kesehatan yang dalam hal ini adalah gangguan jiwa yang ada dalam kelompoknya sendiri, oleh karena itu keluarga merupakan sistem yang terutama sebagai pendukung bagi klien setelah pulang dari rumah sakit jiwa. Maka dukungan keluarga dan lingkungan menjadi faktor yang penting ( Suyasa, 1994 dalam Dep Kes RI, 1994 ).


(29)

Keluarga pasien diharapkan memberikan perhatian khusus kepada penderita. Biasanya keluarga yang memiliki anggota keluarga yang menderita gangguan mental menyembungikannya sehingga tidak terlihat oleh tamu-tamu yang datang ke rumah mereka. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena penderita akan merasa dikucilkan. Yang harus dilakukan adalah menyapa penderita setiap hari dan memberikan perhatian agar mereka tidak disingkirkan ( Chandra, 2004 ).

Kesedian keluarga untuk tetap merawat dan tetap mengakuinya sebagai bagian dari orang yang sisanyangi sangatlah diperlukan agar mereka tetap merasa dihargai sebagai manusia layaknya. Dukungan keluarga dan teman merupakan salah satu obat penyembuhan yang sangat berarti bagi penderita. Dengan dibentuknya kelompok keluarga gangguan jiwa dimasyarakat akan memungkin pasien dan keluarga gangguan jiwa di masyarakat akan memungkinkan klien dan keluarga mengadakan diskusi dan tukar pengalaman dalam mengatasi gejala yang timbul pada pasien gangguan jiwa. Sayangnya masyarakat sendiri justru mengasingkan keberadaan penderita gangguan jiwa sehingga hal ini turut mempengaruhi sikap keluarga terhadap pasin bahkan gangguan jiwa dianggap sebagai penyakit yang membawa aib bagi keluarga sehingga diputuskan untuk dibuang oleh keluarganya sendiri, akhirnya faktor lingkungan dalam keluarga justru tidak mendukung kesembuhan pasien ( Sumarjo, 2004 ).

Penyakit jiwa sampai saat ini memang masih dianggap sebagai penyakit yang memalukan, menjadi aib bagi si penderita dan keluarganya sendiri. Masyarakat kita menyebut penyakit jiwa pada tingkat yang paling parah seperti “gila”, sehingga penderita harus disembunyikan atau dikucilkan, bahkan lebih parah lagi ditelantarkan


(30)

oleh keluarganya. Sebenarnya tidak ada alasan yang kuat secara etis untuk melakukan diskriminasi dan perlakuan buruk terhadap penderita kelainan jiwa. Karena pengucilan dan diskriminasi justru memperburuk kondisi penderita itu sendiri. Tempat terbaik bagi penderita gangguan jiwa bukan di panti rehabilitasi atau di rumah sakit jiwa, apalagi dijalanan. Tempat terbaik bagi mereka adalah berada di tengah-tengah keluarganya, diantaranya orang-orang yang dicintainya. Yang mereka btuhkan adalah perhatian, pengertian, dukungan, cinta dan kasih sayang. Perhatian dan kasih sayang tulus dari keluarga dan orang-orang terdekatnya akan sangat membantu proses penyembuhan kondisi jiwanya ( Tarjum, 2004 ). Sudah seharusnya keluarga dapat mengurangi persepsi dan diskriminasi terhadap penderita gangguan jiwa dalam keluarga dan memberikan dukungan sosial kepadanya, rasa empati, penerimaan, mendorong untuk mulai berinteraksi sosial, dan dorongan untuk tidak berputus asa dan terus berusaha. Terapi sosial ini akan sangat membantu penderita gangguan jiwa dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang menjadi stressor bagi penderita ( Nash, 2005 ).

Penyakit gangguan jiwa ini sesungguhnya dapat teratasi dengan syarat ditangani secara tepat dan cepat. Dukungan moril dari keluarga dan orang-orang terdekat jelas sangat penting bagi penderita. Ironisnya penerimaan merupakan hal tersulit yang dapat diperoleh seorang penderita. Masih banyak orang tua yang malu mengakui anaknya adalah pengidap gangguan jiwa. Penyangkalan ini justru semakin menjauhkan penderita dari kemungkinan untuk sembuh ( Indriani, 2005 ).


(31)

d. Sumber daya keluarga

Sumber keuangan seperti ekonomi dan sumber keluarga. Pekerjaan pasien yang lalu baik pekerjaan yang pokok maupun sambilan. Kemampuan pasien untuk melakukan pekerjaan di rumah sakit jiwa dan kemungkinan klien untuk kembali ke pekerjaan semula atau harus mengganti pekerjaan yang baru ( Suraya, 1994 dalam Dep Kes RI 1994 ).

Faktor ini juga adalah faktor yang penting di kaji dari keluarga karena pada umumnya kemampuan finansial keluarga pasien dengan gangguan jiwa tidak memungkinkan untuk membiayai penyembuhan penyakit yang cenderung berjalan kronis sehingga kejadian seperti ini memicu tindakan dan sikap keluarga terhadap penolakan pasien gangguan jiwa ( Chandra, 2004 ).

Vijay ( 2005 ) juga mengatakan bahwa perawatan yang dibuthkan penderita gangguan jiwa menimbulkan dampak yang besar bagi keluarga, yaitu dampak ekonomi yang ditimbulkan berupa hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah bagi penderita maupun keluarga yang harus merawat serta tingginya biaya perawatan yang harus ditanggung.

2.4. Perilaku Kekerasan

2.4.1. Definisi Perilaku Kekerasan

Perilaku kekerasan sukar diprediksi. Setiap orang dapat bertindak keras tetapi ada kelompok tertentu yang memiliki resiko tinggi yaitu pria berusia 15-25 tahun, orang kota, kulit hitam, atau subgroup dengan budaya kekerasan, peminum alkohol (Tomb, 2003 dalam Purba, 2008).


(32)

Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yng tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut (Purba, 2008). Menurut Stuart dan Sundeen (1995), perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif.

Perasaan marah normal bagi tiap individu. Namun, pada klien perilaku kekerasan mengungkapkan rasa kemarahan secara fluktuasi sepanjang rentang adaptif dan maladaptif. Marah merupakan perasaan jengkel yang tiimbul sebagai respons terhadap kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang tidak dirasakan sebagai ancaman (Stuart & Sundeen, 1995). Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktivitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat biasanya ada kesalahan, yang mungkin nyata-nyata kesalahannya atau mungkin juga tidak. Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal ini disalurkan maka akan terjadi perilaku agresif (Purba, 2008).

Keberhasilan individu dalam berespon terhadap kemarahan dapat menimbulkan respon asertif yang merupakan kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain dan akan memberikan kelegaan pada individu serta tidak akan menimbulkan masalah. Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan melarikan diri atau respon melawan dan menentang. Respon melawan dan menentang merupakan respon yang maladaptif yaitu agresi-kekerasan.


(33)

Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan. Pasif merupakan respons lanjutan dari frustasi dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan yang sedang dialami untuk menghindari suatu tuntutan nyata. Agresif adalah perilaku menyertai marah dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih dapat terkontrol. Perilaku yang tampak dapat berupa muka masam, bicara kasar, menuntut, dan kasar disertai kekerasan. Amuk atau kekerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri. Individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Apabila marah tidak terkontrol sampai respons maladaptif (kekerasan) maka individu dapat menggunakan perilaku kekerasan (Purba, 2008).

2.4.2. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Perilaku Kekerasan pada Klien Gangguan Jiwa

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekrasan menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam Purba, 2008) adalah:

1. Teori Biologik

Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap perilaku:

a. Neurobiologik

Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila


(34)

ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.

b. Biokimia

Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine, asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap stress.

c. Genetik

Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.

d. Gangguan Otak

Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.


(35)

2. Teori Psikologik a. Teori Psikoanalitik

Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.

b. Teori Pembelajaran

Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.

3. Teori Sosiokultural

Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga


(36)

berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.

2.4.3 Tindakan Keperawatan pada Pasien Perilaku Kekerasan

Menurut Purba (2008), beberapa tindakan keperawatan yang dapat dilakukan pada pasien perilaku kekerasan dapat meliputi tindakan untuk pasien dan tindakan untuk keluarga. Tindakan untuk pasien meliputi bina hubungan saling percaya agar pasien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan perawat, diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan yang dialami, perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan, perilaku kekerasan yang biasa dilakukan pada saat marah, akibat dari perilakunya, cara mengontrol perilaku kekerasan secara fisik, obat, sosial/verbal, dan spiritual.

Tindakan untuk keluarga pasien perilaku kekerasan meliputi diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan (penyebab, tanda dan gejala, perilaku yang muncul dan akibat dari perilaku tersebut), anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien dan memberi pujian bila pasien dapat melakukan kegiatan yang positif, diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan bila pasien menunjukkan gejala-gejala perilaku kekerasan, diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi pasien yang perlu sesgera dilaporkan kepada perawat seperti melempar atau memukul benda/orang lain.


(37)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual dalam penelitian ini menjelaskan dugaan adanya hubungan tingkat pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dengan kesiapan keluarga dalam merawat pasien yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan.

Pengetahuan Keluarga tentang Perilaku kekerasan :

• Pengertian

• Penyebab

• Tanda dan Gejala

• Cara Mengontrol Perilaku Kekerasan

Kesiapan Keluarga Merawat Pasien : - Struktur Keluarga - Sistem Pendukung - Sumber Daya Keluarga

- Baik - Cukup - Kurang

- Baik - Cukup - Kurang


(38)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasi yaitu jenis penelitian yang digunakan untuk mengetahui hubungan suatu variabel dengan variabel yang lain yang diusahakan dengan mengidentifikasi kedua variabel yang ada pada responden yang sama dan dilihat bagaimana hubungan antara keduanya ( Notoadmojo, 2002 ). Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi bagaimana hubungan antara pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dengan kesiapan keluarga dalam merawat pasien di RS Jiwa Daerah Provsu Medan.

4.2. Populasi dan Sampel

4.2.1. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian adalah seluruh keluarga dari pasien perilaku kekerasan yang sedang menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan.

4.2.2. Sampel Penelitian

Dalam penelitian ini penentuan besar sampel dilakukan dengan menggunakan tabel power analisis ( Polit & Hungler, 1999 ) yang memperkirakan jumlah sampel

berdasarkan derajat Ketepatan ( α ) yang besarnya 0.05, analisis kekuatan ( β ) dan efek size ( γ ) sehingga didapatkan sampel sebanyak 32 orang.


(39)

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan cara purposive sampling dengan mengambil responden yang tersedia saat itu dan telah memenuhi kriteria sampel yang telah ditentukan terlebih dahulu ( Nursalam, 2003 ).

Adapun kriteria yang ditentukan untuk subjek penelitian ini antara lain : 1. Keluarga ( ayah, ibu, kakak, dan adik ) yang memiliki anggota keluarga

dengan masalah utama perilaku kekerasan yang mengalami rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan.

2. Tinggal serumah dengan pasien.

3. Terlibat langsung dalam perawatan pasien di rumah. 4. Bersedia menjadi partisipan dalam penelitian ini.

4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan pada tanggal 17 Januari – 13 Februari 2010. Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan bahwa Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan adalah rumah sakit yang digunakan sebagai lahan praktek pendidikan keperawatan dan memiliki jumlah pasien yang menderita gangguan jiwa yang banyak karena rumah sakit sebagai rujukan.

4.4 Pertimbangan Etik

Sebelum dilaksanakan penelitian, peneliti terlebih dahulu mengajukan surat permohonan kepada Fakultas Keperawatan dan Direktur Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara untuk mendapatkan persetujuan penelitian. Selanjutnya, setelah mendapat izin, peneliti menyerahkan langsung lembar persetujuan kepada calon responden. Peneliti terlebih dahulu memperkenalkan diri, kemudian


(40)

menjelaskan maksud, tujuan dan prosedur penelitian kepada calon responden. Jika calon responden bersedia untuk dijadikan objek penelitian, maka calon responden terlebih dahulu harus menandatangani lembar persetujuan. Jika calon responden menolak untuk diteliti maka peneliti akan tetap menghormati haknya.

Untuk menjaga kerahasiaan reponden, peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data (kuesioner) yang diisi oleh responden. Lembar tersebut hanya diberi nomor kode tertentu. Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden dijamin oleh peneliti dan hanya dipergunakan dalam penelitian ini saja.

4.5. Instumen Penelitian 4.5.1 Kuesioner Penelitian

Sesuai dengan permasalahan dan variabel yang diungkap dalam penelitian ini, maka instrumen yang digunakan adalah kuesioner dan kuesioner tersebut dimodifikasi sendiri oleh peneliti dengan berpedoman pada konsep dan tinjauan pustaka.

Kuesioner ini berisi pertanyaan tentang data demografi, pernyataan tentang pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dan kesiapan keluarga merawat pasien. Data demografi meliputi umur, jenis kelamin, suku, agama, tingkat pendidikan, dan pekerjaan. Data pengetahuan keluarga meliputi item-item tentang defenisi perilaku kekerasan, penyebab perilaku kekerasan, tanda dan gejala, dan cara mengontrol. Sedangkan pengukuran kesiapan keluarga dalam merawat meliputi item-item tentang pengetahuan keluarga, struktur keluarga, sistem keluarga, dan sumber daya keluarga.


(41)

Kuesioner pengetahuan keluarga digunakan untuk mengidentifikasi pengetahuan keluarga tersebut tentang perilaku kekerasan yaitu defenisi perilaku kekerasan terdiri dari 4 pernyataan yaitu 3 pernyataan positif ( 1, 2, dan 4 ) dan satu pernyataan negatif ( 3 ). Penyebab perilaku kekerasan terdiri dari 4 pernyataan yaitu 4 pernyatan positif ( 5, 6, 7, dan 8 ) dan tidak ada pernyataan negatif. Tanda dan gejala terdiri dari 4 pernyataan yaitu 4 pernyataan positif ( 9, 10, 11, dan 12 ) dan tidak ada pernyataan negatif. Cara mengontrol terdiri dari 4 pertanyaan yaitu 3 pertanyaan positif ( 13, 14, dan 16 ) dan satu pertanyaan negatif ( 15 ). Kuesioner pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan berjumlah 16 dalam bentuk pernyataan jawaban “ Benar “ dan “ Salah “( Burn & Grove, 1993 ).

Kuesioner kesiapan keluarga terdiri dari 16 pernyataan yang disusun dalam bentuk tertutup dengan menggunakan skala likert. Jawaban dari responden dibuat dalam 4 (empat) pilihan yaitu Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Setuju (S), Sangat Setuju (SS). Untuk jawaban Sangat Tidak Setuju (STS) bernilai 0, Tidak Setuju (TS) bernilai 1, Setuju (S) bernilai 2, dan Sangat Setuju (SS) bernilai 3.

Kategori Penilaian Pengetahuan Keluarga :

1. Baik, apabila skor 75 – 100 % ( responden menjawab 12 – 16 soal dengan jawaban benar ) .

2. Cukup, apabila skor 56 – 74 % ( responden menjawab 6 – 11 soal dengan jawaban benar ) .

3. Kurang, apabila skor < 56 % ( responden menjawab < 6 soal dengan jawaban benar ) .


(42)

Kategori Kesiapan Keluarga dalam Merawat Pasien : 1. Baik = 32 - 48

2. Cukup = 17 - 31 3. Kurang = 0 - 16

4.5.2. Uji Validitas dan Uji Reabilitas

Uji validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen yang valid atau sahih mempunyai validitas tinggi (Arikunto, 2006). Uji validitas pada penelitian ini dengan menggunakan metode uji validitas isi yaitu sejauh mana sebuah instrumen penelitian memuat rumusan sesuai dengan isi yang dikehendaki menurut tujuan tertentu (Setiadi, 2007). Uji validitas instrumen ini dilakukan oleh staf pengajar Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yaitu oleh ibu Jenny M Purba, S.Kp, MNS.

Uji reliabilitas instrumen adalah suatu uji yang dilakukan untuk mengetahui seberapa besar derajat atau kemampuan alat ukur mampu mengukur secara konsisten sasaran yang diukur. Bila suatu alat ukur dipakai dua kali untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relatif konsisten, maka alat ukur tersebut reliabel (Setiadi, 2007).

Uji reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji cronbach alpha. Uji reliabilitas ditujukan kepada 10 orang responden yang sesuai dengan kriteria sampel dalam penelitian ini (Nursalam & Pariani, 2001). Data yang diperoleh dianalisa dengan sistem komputerisasi. Menurut Ghozali ( 2005 dikutip dari Ginting, 2008) suatu instrumen dikatakan reliabel apabila diperoleh nilai cronbach alpha lebih dari 0,60.


(43)

4.5.3. Pengumpulan Data

Pada tahap awal peneliti mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian pada institusi pendidikan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Kemudian mengirimkan permohonan izin yang diperoleh ke tempat penelitian yaitu Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan. Setelah mendapat izin, peneliti akan melaksanakan pengumpulan data penelitian pada saat keluarga datang berkunjung ke rumah sakit jiwa.

Peneliti menentukan responden berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Kemudian peneliti menjelaskan tentang tujuan, waktu, manfaat, dan proses kuesioner serta menanyakan kesediaan untuk menjadi responden atau subjek dalam peneliatian ini. Calon responden yang bersedia, diminta untuk menandatangani lembar persetujuan. Selanjutnya responden diminta untuk mengisi kuesioner yang diberikan peneliti dan diberi kesempatan bertanya jika ada yang tidak dimengerti.

Setelah semua responden mengisi kuesiner tersebut, peneliti memeriksa kelengkapan data, dan memastikan tidak ada pernyataan yang tidak terjawab. Jika ada data yang kurang lengkap, maka dapat segera dilengkapi. Kemudian seluruh data dikumpulkan untuk dianalisa.

4.5.4. Analisa Data

Setelah semua data terkumpul, maka peneliti melakukan analisa data melalui beberapa tahap, yaitu dimulai dengan melakukan editing untuk memeriksa kelengkapan data dan memastikan semua jawaban telah diisi, kemudian tabulating (memindahkan) data dari daftar pertanyaan ke dalam tabel yang dipersiapkan, processing yaitu peneliti memasukkan data dari kuesioner ke dalam program


(44)

komputer dengan menggunakan program komputerisasi. Setelah itu, cleaning yaitu peneliti memeriksa atau mengecek kembali data yang telah dimasukkan (entry) untuk mengetahui adanya kesalahan atau tidak. Dan dianalisa dengan menggunakan statistik deskriptif dengan menggunakan uji Pearson Product Moment.

Hasil pengolahan data pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dan kesiapan keluarga dalam merawat pasien akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase.


(45)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Pada bab ini menguraikan hasil penelitian melalui pengumpulan data terhadap 32 orang responden di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan yang dilaksanakan pada 17 Januari – 13 Februari 2010. Data hasil penelitian ini menguraikan tentang karakteristik responden dan pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan serta kesiapan keluarga merawat pasien.

5.1.1. Karakteristik Responden

Tabel 1 menunjukkan bahwa usia responden berada pada rentang usia 32-42 tahun (37,5 %), jenis kelamin wannita (59,4 %), suku batak (62,5 %), agama Islam (65,6 %), pekerjaan responden adalah wiraswasta sebanyak 37,5 %. Pendidikan mayoritas responden adalah SMA (71,9 %) dan penghasilan responden Rp 800.000,- sebanyak 37,5 %.


(46)

Tabel 1 Distribusi frekuensi karakteristik responden (n=32)

Karakteristik Frekuensi Persentase

Usia 21-31 32-42 43-53 54-64 Jenis Kelamin Pria Wanita Suku Batak Jawa Melayu Lain-lain Agama Islam Protestan Katolik Pendidikan Terakhir SMP SMA Perguruan Tinggi Pekerjaan Tidak bekerja

Pegawai Negeri Sipil Wiraswasta

Ibu Rumah Tangga Lain-lain

Penghasilan keluarga per bulan

< Rp 800.000

Rp 800.000-1.500.000 > Rp 1.500.000

Hubungan dengan pasien Ayah Ibu Abang Kakak Adik Lain-lain 4 12 10 6 13 19 20 8 3 1 21 10 1 2 23 7 3 6 12 5 6 12 9 11 2 4 5 5 7 9 12,5 37,5 31,3 18,8 40,6 59,4 62,5 25,0 9,4 3,1 65,6 31,3 3,1 6,3 71,9 21,9 9,4 18,8 37,5 15,6 18,8 37,5 28,1 34,4 6,3 12,5 15,6 15,6 21,9 28,1


(47)

5.1.2. Pengetahuan Keluarga

Berdasarkan tabel 2 menunjukkan mayoritas responden (90,6 %) memiliki pengetahuan yang baik tentang perilaku kekerasan dan 9,4 % responden mempunyai pengetahuan yang cukup. Sementara itu, tidak ada seorang pun responden yang memiliki pengetahuan yang kurang tentang perilaku kekerasan

Tabel 2 Distribusi frekuensi pengetahuan keluarga tentang perilaku

kekerasan (n=32)

Pengetahuan Keluarga Frekuensi Persentase

Baik 29 90,6

Cukup 3 9,4

Total 32 100

5.1.3. Kesiapan Keluarga

Tabel 3 memperlihatkan sebagian besar responden (84,4 %) memiliki kesiapan dalam kategori cukup. Sedangkan responden yang mempunyai kesiapan baik sebanyak 15,6 %.

Tabel 3 Distribusi frekuensi kesiapan keluarga dalam merawat pasien

perilaku kekerasan (n=32)

Kesiapan Keluarga Frekuensi Persentase

Baik 5 15,6

Cukup 27 84,4


(48)

5.1.4. Hubungan tingkat pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dengan Kesiapan keluarga merawat pasien.

Tabel 4. Hasil uji Pearson terhadap Tingkat Pengetahuan Keluarga tentang

Perilaku Kekerasan terhadap Kesiapan Keluarga dalam Merawat pasien di ruang rawat inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan (n= 32).

Variabel 1 Variabel 2 r p-value Keterangan Tingkat

pengetahuan Keluarga

Kesiapan Keluarga merawat pasien

0,138 0,450 Hubungan positif dengan interpretasi rendah

Dari tabel 4, dapat dilihat bahwa dalam penelitian ini, didapatkan nilai koefisien korelasi Pearson Product Moment atau “r” sebesar 0.138 (p = 0,45). Kedua variabel tersebut memiliki hubungan positif dengan interpretasi rendah. Kemudian hubungan antara kedua variabel tersebut dapat dikatakan signifikan, dimana p>0.05.


(49)

5.2. Pembahasan

5.2.1 Pengetahuan Keluarga tentang Perilaku Kekerasan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 90,6 % responden memiliki pengetahuan yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa hampir seluruh responden sudah mengetahui dan memahami tentang perilaku kekerasan yang ditunjukkan terhadap anggota keluarga yang sedang sakit. Tingkat pengetahuan ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Pada penelitian ini sebanyak 71,9 % responden memiliki latar belakang pendidikan SMA dan 21,9 % responden adalah lulusan dari perguruan ting gi.

Hal ini didukung oleh pendapat Notoadmojo ( 2003 ) yang mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pendidikan adalah pengetahuan. Pada umumnya pendidikan itu akan mempertinggi taraf intelegensia individu tersebut.

Data ini juga didukung oleh hasil penelitian Ayub dan Wiguna ( 2004 ) dimana dalam penelitiannya dinyatakan bahwa salah satu hal yang paling penting bagi keluarga adalah mencari pengetahuan sebanyak-banyaknya tentang perilaku kekerasan sehingga keluarga memiliki keterampilan mengahadapi gejala perilaku kekerasan. Dalam penelitiannya juga ditegaskan bahwa banyak haal yang dapat meningkatkan terjadinya kekambuhan yang harus kelurga ketahui.

Tarjum ( 2004 ) menyatakan, bahwa keluarga harus mengubah persepsi mereka yang berpendapat kalau perilaku kekerasan tidak bisa disembuhkan, padahal perilaku kekerasan yang kronis sekalipun, apabila diberikan pengobatan yang ruitn disertai perhatian dari keluarga ternyata dapat disembuhkan.


(50)

5.2.2. Kesiapan Keluarga

Dari hasil distribusi frekuensi dan persentase kesiapan keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan diperoleh responden ( 15,6 % ) dengan kategori baik dan responden ( 84,4 % ) dengan kategori kesiapan cukup. Hal ini menunjukkan bahwa responden sudah cukup siap untuk merawat pasien dirumah.

Sarwono ( 2004 ) menyatakan bahwa penerimaan oleh keluarga pasien haruslah menjadi yang utama didapatkan oleh penderita perilaku kekerasan. Data ini turut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Irwanto ( 2004 ) dimana dalam penelitiannya menemukan berbagai bentuk sikap keluarga dalam merespon kehadiran penderita gangguan jiwa yang terjadi akibat adanya misperspsi sehingga berujung pada tindakan yang tidak membantu kesembuhan gangguan jiwa. Ketidaktahuan ini menyebabkan persepsi yang keliru, bahwa penyakit gangguan jiwa merupankan aib bagi penderita maupun bagi keluarga, sehingga penderita harus disembunyikan atau dikucilkan. Penderita yang seharusnya menerima dukungan, perhatian dan kasih sayang keluarga dan orang-orang terdekatnya justru mendapatkan diskriminasi dan perlakuan yang buruk dari keluarga sendiri. Hal ini jelas tidak mendukung proses kesembuhan mereka.


(51)

5.2.3 Hubungan pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dengan kesiapan keluarga dalam merawat pasien.

Dalam penelitian ini dapat dilihat bahwa, koefisien korelasi Pearson Product Moment atau “r” sebesar 0.138 (p = 0,45). Kedua variabel tersebut memiliki hubungan rendah. Hasil analisa kemudian kedua variabel tersebut dapat dikatakan tidak signifikan, dimana p>0.05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesa penelitian (Ha) ditolak yaitu hubungan rendah antara tingkat pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dengan kesiapan keluarga dalam merawat pasien dirumah. Karena banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi kesiapan keluarga dalam merawat pasien yaitu struktur keluarga, sistem pendukung, sumber daya keluarga.

Struktur keluarga meliputi pola dan proses komunukasi yang memungkinkan anggota keluarga untuk mengekspresikan marahnya, sedih, gembira, komunikasi yang terbuka, komunikasi yang dapat menyelesaikan konflik keluarga, suasana emosi yang hangat, saling percata, menghargai, memperhatikan dan mnerima. Pelaksanaan peran yang dilakukan keluarga, nilai-nilai yang dimilki dan dianut keluarga yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, norma sosial yang dianut oleh masyarakat turut mempengaruhi kesiapan keluarga ( Suyasa, 1994 dalam Dep Kes RI, 1994 ).

Menerima kenyataan adalah kunci pertama proses penyembuhan atau pengendalian perilaku kekerasan. Keluarga harus bersikap menerima, tetap berkomunikasi dan tidak mengasingkan penderita. Tindakan kasar, berantakan atau mengucilkan justru akan membuat penderita semakin depresi bahkan cenderung bersikap kasar. Akan tetapi, terlalu memanjakan juga tidak baik ( Chandra, 2004 ).


(52)

Keluarga sebagai sebuah kelompok yang dapat menimbulkan, mencegah atau memperbaiki masalah kesehatan yang dalam hal ini adalah gangguan jiwa yang ada dalam kelompoknya sendiri, oleh karena itu keluarga merupakan sistem yang terutama sebagai pendukung bagi klien setelah pulang dari rumah sakit jiwa. Maka dukungan keluarga dan lingkungan menjadi faktor yang penting ( Suyasa, 1994 dalam Dep Kes RI, 1994 ).

Keluarga pasien diharapkan memberikan perhatian khusus kepada penderita. Biasanya keluarga yang memiliki anggota keluarga yang menderita gangguan mental menyembungikannya sehingga tidak terlihat oleh tamu-tamu yang datang ke rumah mereka. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena penderita akan merasa dikucilkan. Yang harus dilakukan adalah menyapa penderita setiap hari dan memberikan perhatian agar mereka tidak disingkirkan ( Chandra, 2004 ).

Kesedian keluarga untuk tetap merawat dan tetap mengakuinya sebagai bagian dari orang yang disanyangi sangatlah diperlukan agar mereka tetap merasa dihargai sebagai manusia layaknya. Dukungan keluarga dan teman merupakan salah satu obat penyembuhan yang sangat berarti bagi penderita. Dengan dibentuknya kelompok keluarga gangguan jiwa dimasyarakat akan memungkin pasien dan keluarga mengadakan diskusi dan tukar pengalaman dalam mengatasi gejala yang timbul pada pasien gangguan jiwa. Sayangnya masyarakat sendiri justru mengasingkan keberadaan penderita gangguan jiwa sehingga hal ini turut mempengaruhi sikap keluarga terhadap pasien bahkan gangguan jiwa dianggap sebagai penyakit yang membawa aib bagi keluarga sehingga diputuskan untuk


(53)

dibuang oleh keluarganya sendiri, akhirnya faktor lingkungan dalam keluarga justru tidak mendukung kesembuhan pasien ( Sumarjo, 2004 ).

Sumber daya keluarga adalah faktor yang penting di kaji dari keluarga karena pada umumnya kemampuan finansial keluarga pasien dengan gangguan jiwa tidak memungkinkan untuk membiayai penyembuhan penyakit yang cenderung berjalan kronis sehingga kejadian seperti ini memicu tindakan dan sikap keluarga terhadap penolakan pasien gangguan jiwa ( Chandra, 2004 ).

Vijay ( 2005 ) juga mengatakan bahwa perawatan yang dibutuhkan penderita gangguan jiwa menimbulkan dampak yang besar bagi keluarga, yaitu dampak ekonomi yang ditimbulkan berupa hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah bagi penderita maupun keluarga yang harus merawat serta tingginya biaya perawatan yang harus ditanggung.


(54)

BAB 6

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan hasil penelitian data dan pembahasan dapat diambil kesimpulan dan saran mengenai hubungan pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dengan kesiapan keluarga merawat pasien.

6.1. Kesimpulan

 Mayoritas responden ( 90,6 % ) memiliki tingkat pengetahuan yang baik.

 Sebagian responden ( 84,4 % ) memiliki kesiapan yang cukup untuk merawat pasien dirumah.

 Tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dengan kesiapan keluarga merawat pasien dirumah ( r = 0,138 ; p = 0,45 ; p > 0,05 ). Ada faktor - faktor lain yang mempengaruhi kesiapan keluarga dalam merawat pasien antara lain : faktor ekonomi, proses komunikasi dalam keluarga, perhatian keluarga.


(55)

6.2. Rekomendasi

6.2.1. Untuk Praktek Keperawatan

Pada penelitian ini didapatkan keluarga memiliki pengetahuan yang baik tentang perilaku kekerasan yang seharusnya memiliki kesiapan tinggi dalam merawat pasien perilaku kekerasan untuk mengurangi tingkat kekambuhan pasien. Oleh karena perawat mampu memberikan pendidikan kesehatan jiwa dan mampu melibatkan peran serta keluarga dalam merawat pasien dirumah dan keluarga diharapkan dapat melaksanakan lima tugas kesehatan keluarga.

6.2.2. Untuk penelitian selanjutnya.

Penelitian selanjutnya dipertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapan keluarga merawat pasien di rumah dan faktor lain yang dapat menyebabkan kekambuhan pasien.


(56)

DAFTAR PUSTAKA

Andri. (2008). Kongres Nasional Skizofrenia V Closing The Treatment Gap for

Schizophrenia. Dibuka pada

September 2009.

Arikunto, Suharsini. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi VI. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Ayub & Wigan. (2004). Dekatkan Pelayanan Kesehatan Jiwa ke Masyarakat. Dapat

dibuka pada

Budiharto, dkk. (2003). Karakteristik Individu yang Berhubungan dengan Perilaku Kekerasan pada Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di Jakarta Timur. Jurnal Keperawatan Indonesia. Vol VII No. 2

Burn & Grove (1993). The Practise of Nursing Research : Conduct, critique & utilization ( 2th ed). Philadelphia : W. B. Saunders.

Chandra, L.S. (2004). Schizophrenia Anonymous, A Better Future. Dapat dibuka pada

Dempsey & Dempsey. (2002). Riset Keperawatan dan Latihan. Edisi 4. Jakarta: EGC.

Dep Kes RI. (1994). Kumpulan Materi Kesehatan Mental. Makalah tidak diterbitkan. Bogor.

Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Edisi 3). Jakarta: Balai Pustaka.

Effendy. (1998). Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. (Ed.2). Jakarta : EGC.

Friedman. (1998). Keperawatan Keluarga: Teori dan Praktek. (Ed.3.). Jakarta: EGC. Ginting, P. (Ilmu dan Metode Riset. 2008). Filsafat Medan: USU Press.

Indirani, F. (2005). Mereka Bilang Aku Gila. Dapat dibuka pada


(57)

Keliat. (1996). Peran Serta Keluarga dalam Perawatan Klien Gangguan Jiwa. Jakarta : EGC.

Notoadmojo, S. (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka Cipta.

Notosoedirdjo & Latipun. (2005). Kesehatan Mental, Konsep dan Penerapan. Jakarta: EGC.

Nursalam & Pariani, S. (2001). Metodologi Riset Keperawatan: Pedoman Praktis Penyusunan. Surabaya.

Nash, J. F. (2005). Penerimaan Keluarga Skizofrenia. Dapat dibuka pada

Polit, D., F. & Hungler, B.P. (1995). Nursing Research: Principle and Methods. (5th ed). (Philadelphia: J.B Lippincoott Company.

Purba, J. M, dkk. (2008). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan: Usu Press

Rivai. (1996). Ulasan Program Pertemuan & Penyuluhan Keluarga Klien dalam Konteks Asuhan Keperawatan di RSJP Bogor. Dapat dibuka pada

Sarwono. (2004). Pengaruh Opini Publik terhadap Teori, Diagnosa dan Terapi

Gangguan Jiwa. Dapat dibuka pada

20 Mei 2010.

Setiadi. (2008). Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Graha Ilmu. Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Shochib, M. (1998). Pola Asuh Orang tua dalam Membentuk Anak Mengembangkan

Disiplin Diri. Jakarta: Rineka Cipta.

Soemarjo. (2004). Pasien Penyakit Jiwa Butuh Kasih Sayang. Dapat dibuka pada

Stuart GW, Sundeen. (1995). Principles and Practice of Psykiatric Nursing. (5th ed). St. Louis Mosby Year Book


(58)

Tarjum. (2004). Sakit Jiwa Aib?. Dapat dibuka pada pada tanggal 9 September 2009.

Vijay. (2005). Cara Pencegahan dan Pencegahan Gangguan Jiwa. Dapat dibuka pada


(59)

Lampiran 1

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN

Hubungan Pengetahuan Keluarga tentang Perilaku Kekerasan dengan Kesiapan Keluarga dalam Merawat Pasien di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu

Medan

Oleh

Marsono Simatupang

Saya adalah mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan dalam menyelesaikan tugas akhir di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dengan kesiapan keluarga dalam merawat pasien di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan.

Untuk keperluan tersebut saya mengharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Selanjutnya saya memohon kesediaan Saudara untuk mengisi lembar kuosioner saya dengan jujur apa adanya. Partisipasi Saudara dalam penelitian ini bersifat bebas untuk menjadi peserta penelitian atau menolak tanpa ada sanksi apapun. Jika Anda bersedia menjadi peserta penelitian ini, silahkan Saudara menandatangani formulir ini.

Medan, Januari 2010

Peneliti Responden


(60)

Lampiran 2

LEMBAR KUESIONER

KODE:

Bagian 1 : Data Demografi

Petunjuk Pengisian :

Saudara/i akan ditanyakan tentang data pribadi. Jawablah pertanyaan berikut ini sesuai dengan keadaan Saudara/i sebenarnya dan berilah tanda (√) pada kolom yang disediakan.

1. Umur : ... tahun 2. Jenis kelamin ( ) 1. Pria ( ) 2. Wanita 3. Suku

( ) 1. Batak ( ) 4. Minang

( ) 2. Jawa ( ) 5. Lain-lain, sebutkan... ( ) 3. Melayu

4. Agama

( ) 1. Islam ( ) 4. Buddha

( ) 2. Protestan ( ) 5. Hindu


(61)

5. Pendidikan Terakhir

( ) 1. Tidak sekolah ( ) 4. SMA

( ) 2. SD ( ) 5. Perguruan Tinggi

( ) 3. SMP 6. Pekerjaan

( ) 1. Tidak Bekerja ( ) 4. Ibu rumah tangga ( ) 2. Pegawai Negeri Sipil ( ) 5. Lain-lain, sebutkan... ( ) 3. Wiraswasta

7. Penghasilan keluarga per bulan

( ) 1. < Rp800.000 ( ) 3. Rp > 1.500.000 ( ) 2. Rp 800.000-1.500.000

8. Hubungan dengan pasien

( ) 1. Ayah ( ) 4. Kakak

( ) 2. Ibu ( ) 5. Adik


(62)

Bagian 2 : Hubungan pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dengan kesiapan keluarga dalam merawat pasien di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan.

Petunjuk pengisian :

Pada halaman berikut terdapat sejumlah pertanyaan yang menyangkut pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dengan kesiapan keluarga dalam merawat pasien. Untuk setiap pernyataan berikanlah tanda () di tempat yang menggambarkan keberlakuan pernyataan tersebut dalam kehidupan Anda sehari-hari.

LEMBAR KUESIONER PENGETAHUAN KELUARGA TENTANG PERILAKU KEKERASAN

No Defenisi Perilaku Kekerasan Benar Salah

1. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan emosi yang merupakan campuran perasaan frustasi dan benci atau marah.

2. Perilaku kekerasan merupakan bentuk ekspresi kemarahan yang tidak sesuai.

3. Perilaku kekerasan adalah tindakan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah.

4. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan dirinya sendiri.


(63)

No Penyebab Perilaku Kekerasan Benar Salah

5. Frustasi adalah salah satu penyebab kekerasan.

6. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku kekerasan apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi.

7. Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan. 8. Pada dasarnya manusia itu mempunyai kebutuhan

untuk dihargai.

No Tanda dan Gejala Perilaku Kekerasan Benar Salah

9. Pasien perilaku kekerasan cenderung mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

10. Gejala yang ditimbul pada pasien perilaku kekerasan adalah bicara kasar, suara tinggi, menjerit atau berteriak.

11. Ciri khas pasien perilaku kekerasan adalah murka merah dan tegang, pandangan tajam dan suka mengepal tangan.

12. Pasien suka melempar atau memukul benda dan orang lain.


(64)

No Cara Mengontrol Perilaku Kekerasan Benar Salah

13. Salah satu upaya untuk mengatasi perilaku kekerasan adalah dengan cara tarik nafas dalam dan pukul kasur atau bantal.

14. Untuk mengurangi resiko perilaku kekerasan keluarga dapat melatih pasien cara bicara yang baik bila sedang marah.

15. Keluarga tidak perlu mengajari pasien cara mengungkapkan perasaan marah dengan baik dan benar.

16. Keluarga harus menganjurkan pasien untuk minum obat sesuai dengan prinsip 5 benar yaitu : benar obat, benar pasien, benar dosis, benar waktu, benar pemakaian.

LEMBAR KUESIONER

KESIAPAN KELUARGA MERAWAT

NO. PERNYATAAN JAWABAN

STS TS S SS

1.

2.

3.

Struktur Keluarga

Pasien bisa dibentak bila tidak menuruti peraturan di rumah.

Pasien harus diperlakukan sama dengan anggota keluarga lainnya di rumah .


(65)

4.

5.

6.

7.

8.

9.

merawat pasien.

Keluarga memberikan pujian bila pasien dapat melakukan kegiatan di rumah, seperti menyapu, cuci piring, memasak.

Sistem Pendukung

Keluarga memberikan waktu dan diri bagi pasien untuk mendengar keluhan pasien dan membantu menyelesaikan masalahnya.

Keluarga sebaiknya memotivasi pasien minum obat secara teratur walaupun terkadang timbul efek samping obat seperti lidah kaku dan tangan gemetaran.

Keluarga memotivasi pasien untuk melakukan kegiatan di rumah.

Keluarga harus mengingatkan pasien untuk melakukan latihan yang sudah diajarkan oleh perawat selama dirawat di rumah sakit.

Sumber Daya Keluarga

Keluarga menyediakan dana khusus untuk biaya perobatan dan perawatan pasien.


(66)

10.

11.

12.

Keluarga merasa terbebani karena harus melanjutkan pengobatan dan perawatan pasien di rumah.

Keluarga sulit membagi waktu menemani pasien berobat ke puskesmas atau rumah sakit untuk kontrol ulang.

Keluarga sebaiknya membantu pasien untuk mengerjakan kegiatan rumah yang sesuai dengan kemampuannya seperti menyapu rumah, cuci piring, memasak.


(67)

Lampiran 3

JADWAL PENELITIAN

No Kegiatan September Oktober Desember

-Maret

April Mei Juni

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Mengajukan judul

2 Menetapkan judul penelitian

3 Menyiapkan proposal penelitian 4 Mengajukan sidang proposal

5 Sidang proposal penelitian

6 Revisi proposal penelitian

7 Mengajukan izin penelitian

8 Pengumpulan data

9 Analisa data

10 Penyusunan laporan/skripsi

11 Pengajuan sidang skripsi

12 Ujian siding

13 Revisi

14 Mengumpulkan skripsi

Diketahui Oleh, Dosen Pembimbing

(Jenny M. Purba , SKp, MNS ) NIP. 19740108 200003 2001


(68)

Frequencies

Statistics

Tingkat

Pengetahuan Kesiapan Keluarga

N Valid 32 32

Missing 0 0

Sum 35 59

Tingkat Pengetahuan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Baik 29 90.6 90.6 90.6

Cukup 3 9.4 9.4 100.0

Total 32 100.0 100.0

Kesiapan Keluarga

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Baik 5 15.6 15.6 15.6

Cukup 27 84.4 84.4 100.0


(69)

Correlations

Correlations

Tingkat

Pengetahuan Kesiapan Keluarga

Tingkat Pengetahuan Pearson Correlation 1 .138

Sig. (2-tailed) .450

N 32 32

Kesiapan Keluarga Pearson Correlation .138 1

Sig. (2-tailed) .450


(70)

CURRICULUM VITAE

Nama : Marsono Simatupang

Tempat/tanggal lahir : Sibolga, 11 April 1988 Jenis kelamin : Laki-laki

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jl. Jati no 24 Sibolga Riwayat Pendidikan :

1. SD Swasta RK 3 Kotamadya Sibolga Tahun 1994-2000 2. SLTP Swasta Fatima Kotamadya Sibolga Tahun 2000-2003 3. SMAN 2 Plus Matauli Kabupaten Tapteng Tahun 2003-2006 4. S1 Fakultas Keperawatan USU Tahun 2006-sekarang


(71)

Lampiran 7

RENCANA ANGGARAN PENELITIAN

PROPOSAL

− Biaya rental dan print skripsi Rp. 75.000

− Biaya internet Rp. 25.000

− Fotocopy sumber-sumber tinjauan pustaka Rp. 50.000

− Fotocopy perbanyak skripsi Rp. 150.000

− CD Rp. 5.000

PENGUMPULAN DATA

− Izin penelitian Rp. 100.000

− Transportasi Rp. 70.000

− Fotocopy kuisioner dan persetujuan penelitian Rp. 50.000

ANALISA DATA DAN PENYUSUNAN LAPORAN

− Biaya rental dan print Rp. 100.000

− CD Rp. 5.000

− Penjilidan Rp. 20.000

− Fotocopy laporan penelitian Rp. 50.000

BIAYA TAK TERDUGA Rp. 100.000 +


(1)

10.

11.

12.

Keluarga merasa terbebani karena harus melanjutkan pengobatan dan perawatan pasien di rumah.

Keluarga sulit membagi waktu menemani pasien berobat ke puskesmas atau rumah sakit untuk kontrol ulang.

Keluarga sebaiknya membantu pasien untuk mengerjakan kegiatan rumah yang sesuai dengan kemampuannya seperti menyapu rumah, cuci piring, memasak.


(2)

Lampiran 3

JADWAL PENELITIAN

No Kegiatan September Oktober Desember

-Maret

April Mei Juni

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Mengajukan judul

2 Menetapkan judul penelitian

3 Menyiapkan proposal penelitian 4 Mengajukan sidang proposal

5 Sidang proposal penelitian

6 Revisi proposal penelitian

7 Mengajukan izin penelitian

8 Pengumpulan data

9 Analisa data

10 Penyusunan laporan/skripsi

11 Pengajuan sidang skripsi

12 Ujian siding

13 Revisi

14 Mengumpulkan skripsi

Diketahui Oleh, Dosen Pembimbing

(Jenny M. Purba , SKp, MNS ) NIP. 19740108 200003 2001


(3)

Frequencies

Statistics

Tingkat

Pengetahuan Kesiapan Keluarga

N Valid 32 32

Missing 0 0

Sum 35 59

Tingkat Pengetahuan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Baik 29 90.6 90.6 90.6

Cukup 3 9.4 9.4 100.0

Total 32 100.0 100.0

Kesiapan Keluarga

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Baik 5 15.6 15.6 15.6

Cukup 27 84.4 84.4 100.0


(4)

Correlations

Correlations

Tingkat

Pengetahuan Kesiapan Keluarga

Tingkat Pengetahuan Pearson Correlation 1 .138

Sig. (2-tailed) .450

N 32 32

Kesiapan Keluarga Pearson Correlation .138 1

Sig. (2-tailed) .450


(5)

CURRICULUM VITAE

Nama : Marsono Simatupang

Tempat/tanggal lahir : Sibolga, 11 April 1988 Jenis kelamin : Laki-laki

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jl. Jati no 24 Sibolga Riwayat Pendidikan :

1. SD Swasta RK 3 Kotamadya Sibolga Tahun 1994-2000 2. SLTP Swasta Fatima Kotamadya Sibolga Tahun 2000-2003 3. SMAN 2 Plus Matauli Kabupaten Tapteng Tahun 2003-2006 4. S1 Fakultas Keperawatan USU Tahun 2006-sekarang


(6)

Lampiran 7

RENCANA ANGGARAN PENELITIAN

PROPOSAL

− Biaya rental dan print skripsi Rp. 75.000

− Biaya internet Rp. 25.000

− Fotocopy sumber-sumber tinjauan pustaka Rp. 50.000 − Fotocopy perbanyak skripsi Rp. 150.000

− CD Rp. 5.000

PENGUMPULAN DATA

− Izin penelitian Rp. 100.000

− Transportasi Rp. 70.000

− Fotocopy kuisioner dan persetujuan penelitian Rp. 50.000

ANALISA DATA DAN PENYUSUNAN LAPORAN

− Biaya rental dan print Rp. 100.000

− CD Rp. 5.000

− Penjilidan Rp. 20.000

− Fotocopy laporan penelitian Rp. 50.000

BIAYA TAK TERDUGA Rp. 100.000 +