BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH - Analisis Terhadap Tindak Pidana Yang Terdapat Dalam Pemilhan Kepala Daerah

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH A. Pertanggungjawaban Pidana

  1 Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Alf Ross, pernah mengemukakan pendapatnya sekitar apakah yang dimaksud dengan seseorang bertanggungjawab atas perbuatannya, (on guilt, Responsibility and

  punishment ). Kesalahan, pertanggungjawaban dan pidana adalah ungkapan-ungkapan

  yang terdengar dan digunakan dalam percakapan sehari-hari, dalam moral, agama, dan hukum. Tiga unsur itu berkaitan satu dengan yang lain, dan berakar dalam satu keadaan yang sama, yaitu adanya suatu pelanggaran terhadap suatu sistem aturan- aturan. Sistem aturan itu dapat bersifat luas dan aneka macam( hukum perdata, hukum pidana aturan moral dan sebagainya). Kesamaan dari ketiganya adalah bahwa mereka meliputi suatu rangkaian aturantentang tingkah laku yang diikuti oleh suatu kelompok tertentu. Jadi sistem yang melahirkan konsepsi kesalahan,

   pertanggungjawab dan pemidanaan itu adalah sistem normatif.

  Berpangkal tolak pada sistem normatif yang melahirkan konsepsi kesalahan, pertanggung jawab dan pemidanaan itu, dicobanya menganalisa tentang pertanggung jawab pidana. Yang dimaksud dengan bertanggung jawab atas dilakukannya perbuatan pidana berarti yang bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana karena 23 Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, PT Ghalia

  Indonesia,Jakarta,1982 hal 33 perbuatan itu. Bahwa pidana itu dapat dikenakan secara sah berarti bahwa untuk tindakan itu telah ada aturannya dalam suatu sistem hukum tertentu dan sistem hukum itu berlaku atas perbuatan ini. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa tindakan ini dapat dibenarkan oleh sistem hukum tersebut. Inilah dasar konsepsinya.

  Seperti telah diterangkan dimuka, Alf Ross berpendapat bahwa keadilan adalah kesamaan. Syarat kesamaan berarti bahwa tidak seorangpun diperlakukan sewenang- wenang atau tanpa dasar berbeda dari orang-orang lain. Sedangkan arti kesamaan itu ditentukan berdasarkan ukuran-ukuran norma kesusilaan dan nnorma-norma hukum yang berlaku. Oleh karenanya ia berpendapat bahwa keputusan yang patut dan adil adalah keputusan yang terjadi sesuai dengan norma yang berlaku.

  Dan kini, pendapatnya tentang keadilan diterapkannya dalam rumusannya tentang pertanggungjawab pidana, yaitu adalah patut dan adil seseorang dijatuhkan pidana karena perbuatannya jika memang telah ada aturannya dalam sistem hukum tertentu dan sistem hukum itu berlaku atas perbuatan tersebut. Persoalan pertanggung jawab pidana termasuk dalam persoalan keadilan.

  Perlu dicatat keterangan Ross lebih jauh, bahwa dalam penegasan tentang pertanggungjawab itu dinyatakan adanya suatu hubungan antara kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat dan akibat-akibat hukum yang diisyaratkan. Hubungan antara keduanya ini tidak bersifat kodrat atau tidak bersifat kausal, melainkan diadakan oleh aturan hukum. Jadi pertanggungjawab itu adalah pernyataan dari suatu keputusan hukum.

  Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian juga dijatuhi pidana, sebagaimana telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan, sebab azas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah: tidak dipidana jika tidak ada

  

  kesalahan (Geen staf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sir rea) Penulis seperti pompe mengatakan bahwa ada kesalahan jika perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa “verwijtbaar” (dapat dicela) dan “vermijdbaar” (dapat dihindari). Sedangkan mezger menerangkan bahwa kesalahan adalah syarat-syarat yang mendasarkan celaan peronlijk terhadap orang yang melakukan perbuatan.

  Sedangkan yang dirumuskan oleh Simons bahwa: “kesalahan adalah adanya keadaan psychis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tada”. A.A.G. Peters (dalam bukunya Opzet en scld in het strfrecht, deventer 1966) kesalahan dikemukakannya sebgai suatu pengertian instrumental. Dan dalam hubungan tulisan ini yang lebih penting lagi adalah bahwa pandangan Peters ini olehnya dikaitkan

   dengan pemikiran tentang kepatutan keadilan dan demokratisnya keputusan.

  Jika ada pelanggaran norma dan sanksinya, selalu akan ada pertanggungjawab. Pertanggungjawab dapat terjadi dalam bentuk menjatuhkan denda, memenjarakan dalam rumah penjara, dimasukkan dalam rumah sakit jiwa, dijatuhi hukuman matidan dengan banyak bentuk-bentuk lain lagi. Dasar bagi pertanggungjawab ini adalah kesalahan, yang hanya ada karena keharusan adanya aksi yang harus dibenarkan pula. 24 25 Moeljatno, Hukum Pidana II, Rineka Cipta, Jakarta, 1995 hal 153 Roeslan Saleh, op cit ., hal 35

  Sementara itu mempertanggungjawabkan dalam hukum pidana, jika kita ingin bersifat kemanusiaan, haruslah pula ia suatu tindakan yang masuk akal dan berkesusilaan, demikian dikemukakan Peters.

  2 Kesalahan dan Kemampuan bertanggungjawab Berdasarkan teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, maka tindak pidana merupakan sesuatu yang bersifat eksternal dari pertanggungjawaban pembuat. Dilakukannya tindak pidana merupakan syarat eksternal kesalahan. Namun demikian, selain syarat eksternal untuk adanya kesalahan adapula syarat internal. Dalam hal ini persyaratan yang justru terletak pada diri pembuat. Konkretnya, kondisi pembuat yang dapat dipersalahkan atas suatu tindak pidana. Syarat (internal) tersebut karenanya merupakan unsur pertanggungjawaban pidana.

  Kesalahan selalu bertalian dengan pembuat tindak pidana. Kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana, karena sebenarnya dapat berbuat lain. Dicelanya subjek hukum manusia karena melakukan tindak pidana, hanya dapat dilakukan terhadap mereka yang keadaan batinnya normal. Dengan kata lain, untuk adanya kesalahan pada diri pembuat diperlukan syarat, yaitu keadaan batin yang normal. Moeljatno mengatakan, ”hanya terhadap orang-orang yang keadaan jiwanya normal sajalah, dapat kita harapkan akan mengatur tingkah lakunya sesuai dengan pola yang

  

  telah dianggap baik dalam masyarakat.” Oleh karena itu, hanya orang yang keadaan

26 Moeljatno,Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hal.160

  batinnya normal memenuhi persyaratan untuk dinilai, apakah dapat dicela atas suatu tindak pidana yang dilakukannya.

  Keadaan batin yang normal ditentukan oleh factor akal pembuat. Akalnya dapat membeda-bedakan perbuatn yang dapat dilakukan dan perbuatan yang tidak boleh dilakukan. Kemampuan pembuat untuk membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, menyebabkan yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, ketika melakukan suatu tindak pidana. Dapat dipertanggungjawabkan karena akalnya yang sehat dapat membimbing kehendaknya untuk menyesuaikan dengan yang ditentukan oleh hukum. Padanya diharapkan untuk selalu berbuat sesuai dengan yang ditentukan oleh hukum.

  Dapat dipertanggungjawabkan pembuat dalam hal ini berarti pembuat memenuhi syarat untuk dapat dipertanggungjawabkan. Mengingat asas ‘tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan’, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan. Dengan demikian, keadaan batin pembuat yang normal atau akalnya mampu membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, atau dengan kata lain mampu bertanggungjawab, merupakan sesuatu yang berada diluar pengertian kesalahan. Mampu bertanggungjawab adalah syarat kesalahan adalah syarat kesalahan, sehingga bukan merupakan bagian dari kesalahan itu sendiri. Oleh karena itu, terhadap subjek hukum manusia, mampu bertanggungjawab merupakan unsur pertanggungjawaban pidana, sekaligus syarat adanya kesalahan.

  Kebanyakan undang-undang merumuskan syarat kesalahan secara negative. KUHP diseluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertangungjawab, yang diatur ialah kebalikannya,yaitu ketidakmampuan

  

  bertanggungjawab . Demikian misalnya Pasal 44 KUHP. Dalam KUHP yang sekarang berlaku, tidak mampu bertanggungjawab ditandai oleh salah satudari dua hal, yaitu: jiwa yang cacat atau jiwa yang terganggu karena penyakit. Tidak mampu bertanggungjawab adalah ketidaknormalan ‘keadaan’ batin pembuat, karena cacat jiwa atau gangguan penyakit jiwa, sehingga padanya tidak memenuhi persyaratan untuk diperiksa apakah patut dicela atau tidak karena perbuatannya. Dengan kata lain, seseorang dipandang mampu bertanggungjawab jika tidak ditemukan keadaan- keadaan tersebut.

  Tidak normalnya keadaan batin pembuat menyebabkan dirinya tidak dapat membeda-bedakan perbuatan yang benar dan salah atau perbuatan yang diperbolehkan atau dilarang. Tidak dapat dipertaggungjawabkan mengakibatkan tidak dapat dijatuhi pidana. Berarti, ketika ditemukan tanda (sebab) seseorang tidak mampu bertanggungjawab dan karenanya dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, maka proses pertanggungjawabannya berhenti sampai disini.

  Orang itu hanya dapat dikenakan tindakan, tetapi tidak dapat dikenakan pidana. Tidak perlu diperiksa apakah ada salah satu bentuk kesalahan dan alasan penghapusan kesalahan pada dirinya. Sementara itu, kurang dapat dipertanggungjawabkan hanya berakibat pengurangan pidana, tetapi tidak dimaksudkan untuk menghapuskan pidana. Persoalan lainnya, apakah terhadap orang yang kurang dapat dipertanggungjawabkan itu proses hukumnya diteruskan hingga diselidiki mengenai bentuk kesalahan dan ketiadaan alasan penghapus kesalahan. Sebaiknya, jika kurang 27 A. Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, hal.260 dapat bertanggungjawab tidak dimaksudkan untuk menghapuskan pidana, maka perumusannya dalam paragraph yang terpisah dengan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

  3 Bentuk-bentuk Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana Diterimanya kesalahan dalam pengertian normatif, menyebabkan terbentuknya kesalahan pembuat, sangat tergantung dari hasil penilaian atas keadaan batin pembuat. Dalam hal ini keadaan batin yang kemudian mendorong pikiran pembuat untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu atau menimbulkan akibat yang dilarang undang-undang. Dengan demikian, kesalahan umumnya ditandai adanya penggunaan pikiran pembuat, yang kemudian dari hal itu lahir suatu kelakuan (atau tidak melakukan) atau timbul suatu akibat yang dilarang dalam hukum pidana. Terhadap tindak pidana yang dirumuskan secara formal, pembuat mengarahkan pikirannya untuk mewujudkan perbuatan yang dilarang. Sedangkan terhadap tindak pidana materiil, pikiran pembuat tertuju untuk menimbulkan akibat yang dilarang. Dengan demikian, kehendak dan pengetahuannya telah mendorong pikirannya untuk melakukan sesuatu, yang ternyata suatu tindak pidana. Dalam hal ini, isi kesalahan ditentukan oleh penggunaan pikiran pembuat yang diarahkan pada terjadinya tindak pidana.

  Penggunaan pikirannya secara salah, yaitu ditujukan untuk mewujudkan tindak pidana, merupakan pertanda adanya kesalahan. Tidak terdapat adanya pertanda kesalahan, jika tindak pidana terjadi terlepas dari pengunaan pikiran pembuatnya. Ketentuan hukum yang memungkinkan orang yang belum cukup umur (anak-anak), yaitu mereka yang berusia antara delapan sampai delapan belas tahun, (Pasal 1 huruf a Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak) yang melakukan tindak pidana, juga didasarkan pada hal ini. Tidak dipidananya pembuat disini, karena pada anak-anak belum dilekatkan kewajiban untuk mengguanakan pikiran sebagaimana yang ditentukan oleh hukum. Dengan kata lain, dalam hal tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak tidak dapat dicelakan terhadapnya, maka padanya tidak dapat dikatakan telah ada kesalahan.

  Seorang pembuat juga tidak diliputi kesalahan, jika tindak pidana terjadi karena perbuatan diluar control pikirannya. Perbuatan tersebut timbul bukan karena (perintah) pikiran pembuat. Dalam hal ini tidak dipidananya pembuat karena perbuatan terjadi diluar control pikirannya. Dengan demikian, dapat dikatakan tidak terdapat pertanda kesalahan. Tidak adanya pertanda kesalahan bukan karena pembuat tidakdapat menghindari tindak pidana tersebut, tetapi memang perbuatan tersebut tidak usah dihindari. Tindak pidana yang terjadi karena perbuatan yang di luar kontrol pembuatnya, umumnya dipandang sebagai defence. Dengan demikian, tindak pidana dipandang sebagai involuntary conduct dan karenanya tidak memenuhi syarat sebagai

   mens rea.

  Pikiran pembuatlah yang menentukan tentang dilakukannya atau timbulnya akibat suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Dengan kata lain, seharusnya pikiran pembuat harus tertuju untuk sejauh mungkin dapat berbuat lain, selain tindak pidana. Dalam hukum pidana penggunaan pikiran yang kemudian 28 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan menuju kepada Tiada

  Pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, Kencana, Jakarta, 2005, hal.103 mengarahkan pembuatnya melakukan tindak pidana, disebut sebagai bentuk kesalahan yang secara teknis disebut dengan kesengajaan. Kesengajaan merupakan

   tanda yang paling utama untuk menentukan adanya kesalahan pembuat.

  Kesengajaan dapat terjadi, jika pembuat telah menggunakan pikirannya secara salah. Dalam ha ini, pikirannya dikuasai oleh keinginan dan pengetahuannya, yang tertuju pada suatu tindak pidana. Hornsby mengatakan, “wanting, thinking, and

  

intentinally doing as an interdependent triad conceps.” ‘Kehendak’, ‘berpikir’,

‘dengan sengaja melakukan’ merupakan konsep-konsep yang saling berhubungan.

  Kesengajaan ditujukan kepada terjadinya tindak pidana yang bersifat melawan hukum. Tindak pidana disini selain merupakan perbuatan atau akibat yang mencocoki rumusan undang-undang yang melarangnya, juga bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Termasuk tindak pidana adalah perbuatan-perbuatan yang mempunyai pertalian dengan tindak pidana yang dilakukan orang lain. Singkatnya, termasuk tindak pidana adalah percobaan dan penyertaan yang dapat dipidana. Dalam hal mana perbuatan, percobaan dan penyertaan itu bersifat melawan hukum atau

   bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.

  Dapat dicelanya pembuat justru karena dia telah mengarahkan kehendak dan pengetahuannya itu untuk melakukan tindak pidana dengan sengaja. Dengan kata lain, penilaian dapat dicelanya pembuat karena tidak berbuat lain selaintindak pidana atau berbuat yang tidak diharapkan masyarakat atau tidak menghindari terjadinya tindak pidana, terutama dilakukan dengan melihat apakah suatu tindak pidana terjadi 29 30 Ibid , 104 Ibid, hal.104 Karena kesengajaan pembuatnya. Demikian pula halnya dengan tindak pidana penyertaan. Baik dalam suruh lakukan, turut serta melakukan, penganjuran, dan pembantuan, selain dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan dengan ketentuan Pasal 55 dan 56 KUHP, masih diperlukan kesengajaan untuk memepertanggungjawabkan pembuatnya. Menngerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana, baik dalam bentuk suruh lakukan maupun dalam bentuk suruh lakukan maupun dalam bentuk penganjuran, hanya dapat dipertanggungjawabkan apabila dilakukan dengan sengaja. Selain itu, untuk adanya turut serta melakukan diperlukan adanya kerjasama yang sadar, sehinnga hal ini hanya mungkin terjadi kalau ada

  

  kesengajaan. Demikian pula halnya terhadap pembantuan. “Pada asasnya tiap

  

  kesengajaan memberi bantuan dapat dikualifikasi sebagai pembantuan.” Kesengajaan pembantu haruslah diarahkan pada terjadinya atau dipermudahnya

   terjadi kejahatan.

  Percobaan dan penyertaan hanya dapat dipertanggungjawabkan terhadap pembuat apabila pada waktu melakukan perbuatan tersebut, batin pembuat menghendaki dan mengetahui hal tersebut. Selain itu, percobaan dan penyertaan, tidak dipertanggungjawabkan terhadap pembuatnya jika pada diri pembuat terdapat bentuk kesalahan lain (kealpaan). Kesengajaan sebagai pertanda adanya kesalahan menyebabkan sekalipun hai itu tidak dimuat dalam rumusan tindak pidana, tetapi selalu harus diperhatikan untuk mempertanggungjawabkan seseorang. Tidak dimuatnya unsur kesengajaan dalam hal ini, hanya mempunyai dampak dalam 31 32 Roeslan saleh, Op. ,cit., 31 33 Ibid., 40 Ibid., 42

  lapangan acara (pembuktian). Dalam KUHP, terkadang Undang-Undang memang secara eksplisit menentukan kesengajaan dalam rumusan tindak pidana. Kadang- kadang justru hanya secara implicit. Dengan kata lain kesengajaan ‘diobjektifkan’. Bahkan, tidak jarang kesengajaan tidak ‘tampak’ dalam rumusan tindak pidana. Perumusan secara eksplisit ataupun samar-samar tentang kesengajaan dalam rumusan tindak pidana, hanya sebagai alat bantu untuk menafsirkan rumusan tindak pidana tersebut. Tentunya juga menjadi alat bantu untuk menentukan kesalahan pembuat.

  Kesengajaan misalnya dirumuskan dengan berbagai istilah. ‘Dengan sengaja’ merupakan perumusan kesengajaan yang paling gamblang. Hal ini tampak misalnya dalam Pasal 187, 281, 304, 310, 333, 338, 354, dan 372 KUHP. Namun demikian, adakalanya hal tercermin dari istilah ‘yang diketahuinya’ (misalnya dalam Pasal 24, 220,dan 419 KUHP), ‘sedang diketahuinya’ (Pasal 110, 250,dan 275 KUHP), ‘sudah tahu’ (Pasal 483 ke-2 KUHP), ‘dapat mengetahui’ (Pasal 164 dan 464 KUHP), telah dikenalnya (Pasal 245 dan 247 KUHP), ‘telah diketahuinya’ (Pasal 282 KUHP), ‘bertentangan dengan pengetahuannya’ (Pasal 311 KUHP), ‘pengurangan hak secara curang’ (Pasal 397), ‘dengan tujuan yang nyata’ (Pasal 310), ‘dengan maksud’, atau

   tersirat dari kata-kata kerja yang ada dalam rumusan tindak pidana.

  Sementara itu, kesengajaan masih diklasifikasi dalam corak-corak tertentu. Umumnya dibedakan tiga corak kesengajaan, yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai keharusan, dan kesengajaan. Menurut Roeslan Saleh, dalam hal ini,”maksud pembuat tertuju kepada sesuatu yang lain, tetapi padanya sementara itu 34 S. R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni

  AHAEM-PTHAEM, Jakarta, 1986, hal.191 ada pula keyakinan, bahwa yang dimaksud ini tidak akan dapat dicapai tanpa

  

  timbulnya akibat yang sebenarnya tidak diinginkan.” Dengan demikian, kesengajaan kemudian hanya dibedakan dalam corak kesengajaan sebagai keharusan dan kesengajaan sebagai kemungkinan.

  Kesengajaan sebagai keharusan dapat terjadi, apabila tujuan yang hendak dicapai pembuat hanya dapat terwujud dengan melakukan perbuatan tersebut. Kesengajaan karena kemungkinan dapat ditentukan, baik jika pembuat mengetahui perbuatannya juga mempunyai jangkauan untuk dalam keadaan-keadaan tertentu akan terjadi suatu akibat, ataupun pembuat berpikir ‘apa boleh buat’ untuk mencapai tujuan tertentu dia melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.

  Pertanda kesalahan yang lain, secara teknis hukum pidana disebut dengan kealpaan. Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang bersifat eksepsional. Artinya, tidak semua perbuatan yang terjadi karena kealpaan pembuatnya dapat dicela. Dapat dicela pembuat terutama merujuk pada yang melakukan tindak pidana dengan kesengajaan. Sedangkan pada kealpaan adalah pengecualian. Hanya apabila undang- undang menentukan suatu perbuatan yang terjadi karena kealpaan menyebabkan pembuatnya juga dapat dicela, yang merupakan tindak pidana. Corak kealpaan terdiri dari kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari. Kealpaan yang disadari terjadi jika pembuat idak menggunakan pikirannyadengan baik, sehingga timbul akibat yang dilarang. Pembuatnya tidak mengetahui apa yang seharusnya dia ketahui.

  Sama artinya tidak mengetahui yang dapat diketahuinya, dan tidak menduga apa yang

35 Roeslan Saleh, Masih Saja tentang Kesalahan, Karya Dunia Fikir, Jakarta, 1994, hal.37

  

  dapat diduganya. Pada kealpaan yang tidak disadari, pembuat justru sama sekali tidak terpikir bahwa perbuatannya dapat mengakibatkan tindak pidana, padahal

   seharusnya dia memikirkannya.

  

B. Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Dalam Pemilihan Kepala

Daerah menurut Peraturan Hukum Positif yang ada di Indonesia (UU

Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun

2004 Tentang Pemerintahan Daerah)

  Didalam UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor

  32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur secara tegas mengenai pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana dalam pemilihan kepala daerah, hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, dan Pasal 119, yang mana mengatur mengenai ketentuan pidana pemilihan Kepala daerah dan wakil Kepala Daerah.

  Dalam Pasal 115 UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berisi : (1) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.

  100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah). (2) Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dan orang yang kehilangan hak pilihnya tersebut mengadukan, diancam 36 37 S. R. Sianturi, Op. Cit., 196 Chairul Huda,Op. cit., 108 dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah). (3) Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan surat yang menurut suatu aturan dalam Undang-Undang ini diperlukan untuk menjalankan suatu perbuatan dengan maksud untuk digunakan sendiri atau orang lain sebagai seolah-olah surat sah atau tidak dipalsukan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah). (4) Setiap orang yang dengan sengaja dan mengetahui bahwa suatu surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tidak sah atau dipalsukan, menggunakannya, atau menyuruh orang lain menggunakannya sebagai surat sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah). (5) Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekuasaan yang ada padanya saat pendaftaran pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan kepala daerah menurut undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah). (6) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi Pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).

  Dalam Pasal 116 UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berisi :

  (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kampanye di luar jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh KPUD untuk masing-masing pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). (2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah). (3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan kampanye pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf g, huruf h, huruf i dan huruf j dan Pasal 79 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). (4) Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah). (5) Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya kampanye, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah). (6) Setiap orang yang memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3), diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (7) Setiap orang yang dengan sengaja menerima atau memberi dana kampanye dari atau kepada pihak-pihak yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1), dan/atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (8) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dalam laporan dana kampanye sebagaimana diwajibkan oleh Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

  Dalam Pasal 117 UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berisi : (1) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (2) Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih Pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

  (3) Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja mengaku dirinya sebagai orang lain untuk menggunakan hak pilih, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling lama 60 (enam puluh) hari dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000,00 ( satu juta rupiah). (4) Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000,00 ( dua ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah). (5) Setiap orang yang dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (6) Seorang majikan atau atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang pekerja untuk memberikan suaranya, kecuali dengan alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (7) Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara mendampingi seorang pemilih selain yang diatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (8) Setiap orang yang bertugas membantu pemilih sebagaimana dimaksud dalam

  Pasal 89 ayat (2) dengan sengaja memberitahukan pilihan si pemilih kepada orang lain, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

  Dalam Pasal 118 UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berisi : (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak berharga atau menyebabkan Pasangan calon tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suaranya berkurang, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (2) Setiap orang yang dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel, diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

  (3) Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya hasil pemungutan suara yang sudah disegel, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling lama 2 (dua) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah). (4) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah hasil penghitungan suara dan/atau berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara, diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

  Sedangkan dalam Pasal 119 mengatur mengenai pidana Jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja oleh penyelenggara atau pasangan calon, ancaman pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana yang diatur dalam Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, dan Pasal 118.

BAB IV PERAN LEMBAGA PERADILAN DALAM SENGKETA PILKADA A. Sengketa Pilkada

1. Pengertian

  Yang dimaksud dengan sengketa Pilkada adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (4) dan Pasal 104 UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan kedua atas UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dari Pasal-Pasal tersebut sengketa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: sengketa yang kewenangan penyelesaiannya ada di tangan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan sengketa yang kewenangan penyelesaiannya ada di tangan lembaga peradilan.

  Sengketa Pilkada yang penyelesaiannya ditangani oleh Panwaslu adalah sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan Pilkada. Sengketa ini diselesaikan berdasarkan Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005 Pasal 111 ayat (4) dan (5), yang dibedakan lagi menjadi: a.

  Laporan yang bersifat sengketa dan tidak mengandung unsur-unsur pidana, diselesaikan oleh Panitia Pengawas Pilkada.

  b.

  Laporan yang bersifat sengketa mengandung unsur tindak pidana, penyelesaiannya diteruskan kepada aparat penyidik.

  Sedangkan sengketa Pilkada yang penyelesaiannya ditangani oleh lembaga peradilan, dalam hal ini Mahkamah Agung, adalah sengketa hasil penetapan Pilkada (atau disebut juga sengketa hasil Pilkada) sebagaimana diatur dalam Pasal 106 UU No.32 Tahun 2004 Jo Peraturan MA No. 02 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota.

2. Permasalahan Hukum yang Terjadi dalam Pilkada

  Perkembangan berdemokrasi di daerah tumbuh luar biasa sejak lahirnya kebijakan otonomi daerah. Seluruh kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat sesuai dengan amanat undang-undang yang lahir di era reformasi – kecuali jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Walikota di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

  Di beberapa daerah pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) melahirkan ketidakpuasan yang berujung pada pengajuan keberatan atas hasil Pilkada tersebut ke pengadilan dengan alasan yang beragam.

  Di Maluku Utara misalnya, penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah telah menimbulkan kekacauan dan berakhir dengan menyisakan sejumlah permasalahan.

  Bahkan, pihak KPUD Maluku Utara dipandang tidak mampu melaksanakan pemilihan Kepala Daerah sesuai dengan aturan yang berlaku. Hasil penghitungan suara yang diperoleh masing-masing calon kepala daerah menimbulkan kontroversi. Akibatnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat mengambil alih peran untuk melakukan penghitungan ulang.

  Intervensi KPU Pusat berawal dari keterangan KPU Provinsi Maluku Utara (Malut) dengan KPUD Kabupaten/Kota Malut terkait kesimpangsiuran penandatanganan dua dokumen. Ada dua dokumen sertifikat perhitungan suara yang sama, tetapi dengan angka perhitungan yang berbeda. Hal ini nampak aneh karena

  

  sudah jelas angkanya berbeda tetapi penandatanganannya sama. Buah intervensi tersebut menghasilkan penetapan hasil pemilihan kepala daerah Maluku Utara oleh KPU Pusat dan membatalkan penetapan KPUD Provinsi Maluku Utara.

  Secara teoritis, intervensi pusat kepada daerah memang dapat dibenarkan yaitu apabila terjadi kemacetan dalam proses demokrasi. Kemacetan demokrasi dimaksud adalah kondisi apabila elit daerah, baik eksekutif (birokrat) maupun legislatif (politisi), melakukan konspirasi dengan mengabaikan aspirasi dan kepentingan rakyat daerah untuk kepentingan kelompok elit itu sendiri. Apabila hal itu yang terjadi, maka campur tangan pusat, baik pemerintah pusat maupun pimpinan pusat partai

   politik dapat dibenarkan dengan argumen untuk melindungi kepentingan rakyat.

  Dalam soal pengambilalihan, KPU Pusat menggunakan Pasal 122 ayat (3) UU No

  22 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa apabila terjadi hal-hal yang mengakibatkan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota tidak dapat menjalankan tugasnya, tahapan penyelenggaraan Pemilu untuk sementara dilaksanakan oleh KPU setingkat di atasnya. Persoalannya, KPU Provinsi Maluku Utara berhasil menjalankan tugasnya, bahkan sudah mengumumkan pemenang Pilkada. Jadi, tidak ada kriteria yang membuktikan bahwa KPU Provinsi Maluku Utara tidak dapat menjalankan tugasnya, 38 Koran Sindo, 23 November 2007

39 Abdul Gaffar Karim (Editor), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Cetakan I, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 185.

  karena telah dibuktikan dengan selesainya semua tahapan Pilkada sampai dikeluarkannya Keputusan KPU Provinsi Maluku Utara No. 20/Kep/PGWG/2007 pada tanggal 16 November 2007, KPUD Malut telah menetapkan pasangan Thaib- Abdul sebagai pemenang pilkada Gubernur Malut.

  Pasal 122 ayat (3) di atas sebenarnya memberikan celah kepada KPU Pusat untuk mengambil alih tugas KPU Provinsi dan KPU Kabupaten. Tetapi, pengaturannya tidak jelas. Tidak dijelaskan secara rinci dalam kondisi dan alasan apa KPU Pusat dapat mengambil alih tugas KPUD tersebut. Apakah dapat dibenarkan apabila KPU Pusat bersandar pada Pasal 122 ayat (3) untuk mengambil alih kewenangan KPUD dan melakukan rekapitulasi suara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dengan alasan rapat pleno KPUD Maluku Utara beberapa kali mengalami deadlock (jalan buntu). Jelas bahwa dalam persoalan ini KPU Pusat bertindak atas dasar pertimbangan dan penafsiran sendiri sebab tidak ada satu Pasal pun dalam UU No 32 Tahun 2004, PP No 6 Tahun 2007 dan UU No 22 tahun 2007 yang memberikan kewenangan kepada KPU Pusat untuk mengadakan rekapitulasi ulang, apalagi menetapkan pasangan calon terpilih Gubernur/Wakil Gubernur.

   Kasus sengketa pilkada yang lain terjadi di Sulawesi Selatan. Sengketa yang

  berujung pada putusan MA tersebut diputuskan untuk dilakukan pemungutan suara

  40

   diakses tanggal 20 Juli 2008 ulang di daerah pemilihan Kabupaten Gowa, Bone, Bantaeng dan Tana Toraja. MA menengarai telah terjadi penggelembungan suara di beberapa daerah tersebut.

  Namun, putusan PK dari MA menyatakan hakim keliru menerapkan hukum dalam sengketa pilkada Sulsel. Disebutkan, yang berwenang untuk memutuskan dilakukan perhitungan suara dan pemungutan ulang adalah panitia pemilih kecamatan (PPK), penggelembungan jumlah daftar pemilih tetap pada hakikatnya menjadi wewenang Panitia Pengawas Pemilihan untuk menanganinya. MA memutuskan menolak keberatan yang disampaikan pasangan calon gubernur Amin Syam dan calon wakil gubernur Mansyur Ramly. Putusan yang dikeluarkan melalui rapat permusyawaratan MA itu dipimpin langsung Ketua MA, Bagir Manan, tertanggal 18 Maret 2008.

  Dengan demikian, pasangan pemenang Pilkada Sulsel ditetapkan kepada Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu'mang (Sayang) yang terpilih pada November 2007.

   Berbeda dengan sengketa pilkada Depok. Awal konflik pilkada Depok ketika

  salah satu pasangan dari lima pasangan, yaitu Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad mengajukan keberatan ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat pada 11 Juli 2005 dengan menggugat KPU Kota Depok. Alasannya, terdapat kesalahan perhitungan suara sehingga pasangan itu dirugikan. Sebelumnya, KPU Depok mengumumkan hasil perhitungan suara pilkada 2005. Pasangan Nur Mahmudi Isma’il-Yuyun Wirasaputra meraih 232.610 suara atau 43,90 persen, disusul pasangan Badrul Kamal- Syihabuddin Ahmad 206.781 suara (39,03 persen), Yus Ruswandi-Soetadi

  41 kompas cibermedia 26 juli 2006 Dipowongso 34.096 (6,44 persen), Abdul Wahab Abidin-Ilham Wijaya 32.481 suara (6,13 persen) dan Harun Heryana-Farkhan 23.850 (4,5 persen).

  Pada 4 Agustus 2005, Pengadilan Tinggi Jawa Barat mengeluarkan putusan No 01/Pilkada/2005/PT Bandung yang mengabulkan permohonan dari pemohon dan menyatakan batal hasil perhitungan suara 6 Juli 2005 serta menetapkan jumlah perhitungan suara yang benar, yaitu suara Badrul Kamal-Sihabuddin Ahmad menjadi 269.551, sedangan suara Nur Mahmudi Isma’il turun menjadi 204.828. Keputusan ini-pun menganulir kemenangan pasangan Nur Mahmudi-Yuyun W dan memenangkan pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin.

  Atas putusan PT Jabar tersebut, KPU Depok menolak dan mengajukan memori Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) pada 16 Agustus 2005. Pada 8 September 2005 MA mengumumkan pembentukan Majelis PK perkara sengketa Pilkada Depok dan menetapkan lima hakim agung. MA akhirnya memutuskan mengabulkan permohonan PK dari KPU Depok, membatalkan putusan PT Jabar di Bandung tanggal 4 Agustus 2005, dan menolak keberatan dari permohonan Badrul Kamal-Syihabuddin ihwal pilkada Depok. Dengan putusan MA ini berarti Nur Mahmudi Isma’il-Yuyun Wirasaputra sah dan punya kekuatan hukum yang tetap sebagai Walikota dan Wakil Walikota Depok. Pada 3 Januari 2006, pasangan Badrul Kamal mengajukan permohonan keberatan atas putusan MA ke Mahmakah Konstutusi (MK). Oleh MK, sengketa (pilkada) ini merupakan wewenang MA.

  Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa penyelesaian sengketa pilkada diserahkan melalui proses hukum di Mahkamah Agung di satu sisi. Sementara, di sisi lain putusan sengketa pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung di beberapa daerah menuai kontroversi. Sebagai contoh, putusan sengketa Pilkada Sulawesi Selatan (Sulsel), Maluku Utara (Malut) dan pilkada Depok yang berbuntut kontroversi tersebut menunjukkan ketidakjelasan putusan hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (MA). Padahal putusan itu seharusnya mencerminkan penyelesaian terakhir sengketa pilkada.

  Harapan adanya putusan hukum yang mengikat dan bisa dihormati semua pihak yang bersengketa nampaknya sulit dicapai. Putusan Mahkamah Agung yang memerintahkan dilakukannya pilkada ulang atau perhitungan ulang hasilnya digugat lagi. Tentu saja persoalan akan bertambah runyam. Wajar apabila banyak orang yang menggugat putusan MA. Hal ini yang menyebabkan tingkat kepercayaan publik terhadap MA agak rendah, dan banyak pihak yang berkeinginan agar penyelesaian sengketa pilkada dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi.

  Setelah lahirnya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, telah memungkinkan MK untuk memutus perselisihan hasil pilkada. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan rezim pilkada menjadi rezim pemilu.

  Permasalahannya adalah apa konsekuensi yuridis perubahan rezim pilkada menjadi rezim pemilu.

B. Peran Lembaga Peradilan dalam Sengketa Hasil Pilkada

  Reformasi dapat diakui mampu meletakkan dasar-dasar substansial bagi pembangunan demokrasi di indonesia. Salah satu produk reformasi di bidang pembangunan demokrasi adalah Undang-undang yang mengatur penyelenggaraan pemilihan presiden Republik Indonesia secara langsung. Hal ini sangat jauh berbeda dengan kondisi sebelumnya. Sebagai refresentasi dari rakyat MPR menentukan pemimpin Negara, rakyatlah yang menentukan siapa pemimpin negara yang dikehendaki. Sedangkan sebelum reformasi hal tersebut tidak diberikan wewenang untuk memilih presiden dan wakil presiden.

  Pengalaman pertama, dalam pemilihan pesiden secara langsung dinilai berbagai kalangan berjalan lancer dan aman. Hal inipun yang kemudian mendapat pujian dari

   berbagai negara seperti Amerika, Perancis dan Inggris.

  Keadaan demikian membuat sikap optimis bahwa pembangunan demokrasi di indonesia akan berjalan dengan baik, sehingga mendorong terciptanya proses demokrasi di Indonesia secara cepat, utuh dan menyeluruh.

  Dengan kondisi yang demikian maka, disahkanlah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 18 UUD 1945. sebagai pelaksanaan dari ketentuan Undang-undang Pmerintahan Daerah tersebut dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil 42 Kepala Daerah.

  Yance Prasetya Aji,Potret Buram Pilkada Kab. Sukabumi 2005, konsorium Paradigma Cinta Rakyat, Bandung, 2006, hal. 3

  Dalam konsep berpikir para wakil rakyat saat itu, bagaimana menetapkan konsep- konsep dasar pemilihan kepala daerah secara langsung, belum tergambar intrik-intrik

  

  yang bakal tumbuh dan bahkan berkembang akibat pelaksanaan Pilkada. Tidak terbayangkan kejadian atau peristiwa-peristiwa yang sangat rawan terjadinya konflik horizontal antar masa pendukung peserta Pilkada. Menurut pendapat sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Institut Titian Perdamaian, LBH jakarta, Perludem, KIPP, KRHN, dan Cetro, Tahapan penetapan hasil Pilkada merupakan potensi terbesar pecahnya konflik, disebabkan ketidakpuasan calon dan masa

  

  pendukungnya. Kondisi ini disebabkan adanya pandangan masyarakat bahwa “Tata Cara penetapan hasil Pilkada sama dengan tata cara penetapan Pemenang Pilpres”, yaitu bahwa apabila pasangan calon yang memperoleh 50 persen lebih dinyatakan sebagai pemenang dan bila tidak ada pasangan calon yang mencapai 50 persen lebih dilakukan pemilihan ulang padahal menurut ketentuan Pasal 107 UU No. 32 Tahun 2004 dinyatakan “calon yang memperoleh suara lebih dari 25 persen dan terbanyak maka dinyatakan sebagai pemenang”.

  Keadaan tersebut, membuat masa pendukung tidak bisa meneria kekalahan, karena pasangan calon hanya dipilih oleh sedikit orang. Ketidakpuasan/keberatan tentang hasil penghitungan suara hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada

45 Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, yang

  43 44 Ibid,.hal. 4 Tempo Interaktif, Jakarta: “Tahap Penetapan Hasil Pilkada Paling Rawan”, Seni, 06 Juni 2005. 45 Pasal 106 ayat (1), Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. pada awalnya sangat mengkhawatirkan masyarakat mengingat track record lembaga

   ini dalam menangani berbagai kasus.

1. Kewenangan Lembaga Peradilan/Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Pilkada

  Perubahan Ketiga UUD 1945 telah melahirkan lembaga baru yang menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman, yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara

  

  bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Pasal

  24C ayat (1) UUD 1945 Perubahan menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

  Melalui UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, terminologi pemilihan kepala daerah dirubah menjadi pemilihan umum kepala daerah. Bab I Pasal 1 UU No. 22 tahun 2007 mempunyai maksud bahwa Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik 46 Danggu Konradus, “jangan Diamkan Sengketa Pilkada”. www: http/google, Jumat 26

  Agustus 2005 47 UU Mahkamah Konstitusi No. 24 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1). Lihat Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta, Konstitusi Press, 2005), hlm.3-4

  Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dokumen yang terkait

Analisis Terhadap Tindak Pidana Yang Terdapat Dalam Pemilhan Kepala Daerah

0 49 77

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENYEBABKAN KEMATIAN ISTRI OLEH SUAMI

1 17 51

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA OLEH DEBT COLLECTOR YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM MENAGIH KREDIT BERMASALAH

1 4 13

BAB II PENGATURAN SISTEM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA A. Pengaturan Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah Dalam Hukum Positif Indonesia - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pengguna Ijazah Palsu Dalam Pemilihan Kepala Desa Kabu

0 0 45

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN ORANGTUA TERHADAP ANAK KANDUNGNYA A. Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Analisis Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Y

1 2 36

BAB II DASAR HUKUM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA YANG MENYIMPAN AMUNISI TANPA HAK - Kajian Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku yang Menyimpan Amunisi Tanpa Hak

1 1 14

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN A. Ketentuan Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/P

0 9 21

BAB II PENGATURAN MENGENAI SANKSI PIDANA BERSYARAT TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pembunuhan, Pidana, dan Pemidanaan 1. Tindak Pidana Pembunuhan - Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan

0 0 32

BAB II HUBUNGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG A. Keterkaitan Tindak Pidana Korupsi dengan Tindak Pidana - Penggunaan Instrumen Anti Pencucian Uang Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN - Analisis Terhadap Tindak Pidana Yang Terdapat Dalam Pemilhan Kepala Daerah

0 0 22