Analisis Terhadap Tindak Pidana Yang Terdapat Dalam Pemilhan Kepala Daerah

(1)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU:

Wibawanto, Agung. Memenangkan Hati dan Pikiran Rakyat. Yogyakarta: PEMBARUAN, 2005.

Edwin, Doni. Pilkada Langsung Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance. Jakarta: Partnership dan Pusat Kajian Ilmu Politik,2004.

Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 1983.

Abidin, Zainal. Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika, 1995.

Marpaung, Leden. Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Masalah Prevensinya. Jakarta: Sinar Grafika, 1997.

Bassar, Sudrajat. Tindak-tindak Pidana Tertentu. Bandung: Remadja Karya, 1984.

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung-Jakarta: PT Eresco, 1996.

Santoso, Topo. Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Peran Lembaga Peradilan Dalam Sengketa Pilkada. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2005.

Saleh, Roeslan. Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: PT Ghalia Indonesia, 1982.


(2)

Huda, Chairul. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta: Kencana, 2005.

Sianturi, S. R. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Alumni AHAEM-PTHAEM, 1986.

Saleh, Roeslan. Masih Saja Tentang Kesalahan. Jakarta: Karya Dunia Fikir, 1994.

Nugraha, Safri. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: FHUI, 2005.

Aji, Yance Prasetya. Potet Buram Pilkada Kab. Sukabumi. Bandung: Konsorium Paradigma Cinta Rakyat, 2006.

MEDIA INTERNET:

www. Google. Com www. Hukumonline. Com www. Liputan6. Com www. Kompas. Co. Id pilkadabali. Blog. Com

KAMUS:

W. J. S. Poerwadaminta, Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

UUD Negara Republik Indonesia 1945

UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah


(3)

Peraturan MA No. 02 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota.

Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum


(4)

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU YANG MELAKUKAN

TINDAK PIDANA DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH

A. Pertanggungjawaban Pidana

1 Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Alf Ross, pernah mengemukakan pendapatnya sekitar apakah yang dimaksud dengan seseorang bertanggungjawab atas perbuatannya, (on guilt, Responsibility and punishment). Kesalahan, pertanggungjawaban dan pidana adalah ungkapan-ungkapan yang terdengar dan digunakan dalam percakapan sehari-hari, dalam moral, agama, dan hukum. Tiga unsur itu berkaitan satu dengan yang lain, dan berakar dalam satu keadaan yang sama, yaitu adanya suatu pelanggaran terhadap suatu sistem aturan-aturan. Sistem aturan itu dapat bersifat luas dan aneka macam( hukum perdata, hukum pidana aturan moral dan sebagainya). Kesamaan dari ketiganya adalah bahwa mereka meliputi suatu rangkaian aturantentang tingkah laku yang diikuti oleh suatu kelompok tertentu. Jadi sistem yang melahirkan konsepsi kesalahan, pertanggungjawab dan pemidanaan itu adalah sistem normatif.23

Berpangkal tolak pada sistem normatif yang melahirkan konsepsi kesalahan, pertanggung jawab dan pemidanaan itu, dicobanya menganalisa tentang pertanggung jawab pidana. Yang dimaksud dengan bertanggung jawab atas dilakukannya perbuatan pidana berarti yang bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana karena

23

Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, PT Ghalia Indonesia,Jakarta,1982 hal 33


(5)

perbuatan itu. Bahwa pidana itu dapat dikenakan secara sah berarti bahwa untuk tindakan itu telah ada aturannya dalam suatu sistem hukum tertentu dan sistem hukum itu berlaku atas perbuatan ini. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa tindakan ini dapat dibenarkan oleh sistem hukum tersebut. Inilah dasar konsepsinya.

Seperti telah diterangkan dimuka, Alf Ross berpendapat bahwa keadilan adalah kesamaan. Syarat kesamaan berarti bahwa tidak seorangpun diperlakukan sewenang-wenang atau tanpa dasar berbeda dari orang-orang lain. Sedangkan arti kesamaan itu ditentukan berdasarkan ukuran-ukuran norma kesusilaan dan nnorma-norma hukum yang berlaku. Oleh karenanya ia berpendapat bahwa keputusan yang patut dan adil adalah keputusan yang terjadi sesuai dengan norma yang berlaku.

Dan kini, pendapatnya tentang keadilan diterapkannya dalam rumusannya tentang pertanggungjawab pidana, yaitu adalah patut dan adil seseorang dijatuhkan pidana karena perbuatannya jika memang telah ada aturannya dalam sistem hukum tertentu dan sistem hukum itu berlaku atas perbuatan tersebut. Persoalan pertanggung jawab pidana termasuk dalam persoalan keadilan.

Perlu dicatat keterangan Ross lebih jauh, bahwa dalam penegasan tentang pertanggungjawab itu dinyatakan adanya suatu hubungan antara kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat dan akibat-akibat hukum yang diisyaratkan. Hubungan antara keduanya ini tidak bersifat kodrat atau tidak bersifat kausal, melainkan diadakan oleh aturan hukum. Jadi pertanggungjawab itu adalah pernyataan dari suatu keputusan hukum.

Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian juga


(6)

dijatuhi pidana, sebagaimana telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan, sebab azas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah: tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen staf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sir rea)24

Penulis seperti pompe mengatakan bahwa ada kesalahan jika perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa “verwijtbaar” (dapat dicela) dan “vermijdbaar” (dapat dihindari). Sedangkan mezger menerangkan bahwa kesalahan adalah syarat-syarat yang mendasarkan celaan peronlijk terhadap orang yang melakukan perbuatan. Sedangkan yang dirumuskan oleh Simons bahwa: “kesalahan adalah adanya keadaan psychis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tada”. A.A.G. Peters (dalam bukunya Opzet en scld in het strfrecht, deventer 1966) kesalahan dikemukakannya sebgai suatu pengertian instrumental. Dan dalam hubungan tulisan ini yang lebih penting lagi adalah bahwa pandangan Peters ini olehnya dikaitkan dengan pemikiran tentang kepatutan keadilan dan demokratisnya keputusan.25

Jika ada pelanggaran norma dan sanksinya, selalu akan ada pertanggungjawab. Pertanggungjawab dapat terjadi dalam bentuk menjatuhkan denda, memenjarakan dalam rumah penjara, dimasukkan dalam rumah sakit jiwa, dijatuhi hukuman matidan dengan banyak bentuk-bentuk lain lagi. Dasar bagi pertanggungjawab ini adalah kesalahan, yang hanya ada karena keharusan adanya aksi yang harus dibenarkan pula.

24

Moeljatno, Hukum Pidana II, Rineka Cipta, Jakarta, 1995 hal 153

25


(7)

Sementara itu mempertanggungjawabkan dalam hukum pidana, jika kita ingin bersifat kemanusiaan, haruslah pula ia suatu tindakan yang masuk akal dan berkesusilaan, demikian dikemukakan Peters.

2 Kesalahan dan Kemampuan bertanggungjawab

Berdasarkan teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, maka tindak pidana merupakan sesuatu yang bersifat eksternal dari pertanggungjawaban pembuat. Dilakukannya tindak pidana merupakan syarat eksternal kesalahan. Namun demikian, selain syarat eksternal untuk adanya kesalahan adapula syarat internal. Dalam hal ini persyaratan yang justru terletak pada diri pembuat. Konkretnya, kondisi pembuat yang dapat dipersalahkan atas suatu tindak pidana. Syarat (internal) tersebut karenanya merupakan unsur pertanggungjawaban pidana.

Kesalahan selalu bertalian dengan pembuat tindak pidana. Kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana, karena sebenarnya dapat berbuat lain. Dicelanya subjek hukum manusia karena melakukan tindak pidana, hanya dapat dilakukan terhadap mereka yang keadaan batinnya normal. Dengan kata lain, untuk adanya kesalahan pada diri pembuat diperlukan syarat, yaitu keadaan batin yang normal. Moeljatno mengatakan, ”hanya terhadap orang-orang yang keadaan jiwanya normal sajalah, dapat kita harapkan akan mengatur tingkah lakunya sesuai dengan pola yang telah dianggap baik dalam masyarakat.”26Oleh karena itu, hanya orang yang keadaan

26


(8)

batinnya normal memenuhi persyaratan untuk dinilai, apakah dapat dicela atas suatu tindak pidana yang dilakukannya.

Keadaan batin yang normal ditentukan oleh factor akal pembuat. Akalnya dapat membeda-bedakan perbuatn yang dapat dilakukan dan perbuatan yang tidak boleh dilakukan. Kemampuan pembuat untuk membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, menyebabkan yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, ketika melakukan suatu tindak pidana. Dapat dipertanggungjawabkan karena akalnya yang sehat dapat membimbing kehendaknya untuk menyesuaikan dengan yang ditentukan oleh hukum. Padanya diharapkan untuk selalu berbuat sesuai dengan yang ditentukan oleh hukum.

Dapat dipertanggungjawabkan pembuat dalam hal ini berarti pembuat memenuhi syarat untuk dapat dipertanggungjawabkan. Mengingat asas ‘tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan’, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan. Dengan demikian, keadaan batin pembuat yang normal atau akalnya mampu membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, atau dengan kata lain mampu bertanggungjawab, merupakan sesuatu yang berada diluar pengertian kesalahan. Mampu bertanggungjawab adalah syarat kesalahan adalah syarat kesalahan, sehingga bukan merupakan bagian dari kesalahan itu sendiri. Oleh karena itu, terhadap subjek hukum manusia, mampu bertanggungjawab merupakan unsur pertanggungjawaban pidana, sekaligus syarat adanya kesalahan.

Kebanyakan undang-undang merumuskan syarat kesalahan secara negative. KUHP diseluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan


(9)

bertangungjawab, yang diatur ialah kebalikannya,yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab27. Demikian misalnya Pasal 44 KUHP. Dalam KUHP yang sekarang berlaku, tidak mampu bertanggungjawab ditandai oleh salah satudari dua hal, yaitu: jiwa yang cacat atau jiwa yang terganggu karena penyakit. Tidak mampu bertanggungjawab adalah ketidaknormalan ‘keadaan’ batin pembuat, karena cacat jiwa atau gangguan penyakit jiwa, sehingga padanya tidak memenuhi persyaratan untuk diperiksa apakah patut dicela atau tidak karena perbuatannya. Dengan kata lain, seseorang dipandang mampu bertanggungjawab jika tidak ditemukan keadaan-keadaan tersebut.

Tidak normalnya keadaan batin pembuat menyebabkan dirinya tidak dapat membeda-bedakan perbuatan yang benar dan salah atau perbuatan yang diperbolehkan atau dilarang. Tidak dapat dipertaggungjawabkan mengakibatkan tidak dapat dijatuhi pidana. Berarti, ketika ditemukan tanda (sebab) seseorang tidak mampu bertanggungjawab dan karenanya dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, maka proses pertanggungjawabannya berhenti sampai disini. Orang itu hanya dapat dikenakan tindakan, tetapi tidak dapat dikenakan pidana. Tidak perlu diperiksa apakah ada salah satu bentuk kesalahan dan alasan penghapusan kesalahan pada dirinya. Sementara itu, kurang dapat dipertanggungjawabkan hanya berakibat pengurangan pidana, tetapi tidak dimaksudkan untuk menghapuskan pidana. Persoalan lainnya, apakah terhadap orang yang kurang dapat dipertanggungjawabkan itu proses hukumnya diteruskan hingga diselidiki mengenai bentuk kesalahan dan ketiadaan alasan penghapus kesalahan. Sebaiknya, jika kurang

27


(10)

dapat bertanggungjawab tidak dimaksudkan untuk menghapuskan pidana, maka perumusannya dalam paragraph yang terpisah dengan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

3 Bentuk-bentuk Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana

Diterimanya kesalahan dalam pengertian normatif, menyebabkan terbentuknya kesalahan pembuat, sangat tergantung dari hasil penilaian atas keadaan batin pembuat. Dalam hal ini keadaan batin yang kemudian mendorong pikiran pembuat untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu atau menimbulkan akibat yang dilarang undang-undang. Dengan demikian, kesalahan umumnya ditandai adanya penggunaan pikiran pembuat, yang kemudian dari hal itu lahir suatu kelakuan (atau tidak melakukan) atau timbul suatu akibat yang dilarang dalam hukum pidana. Terhadap tindak pidana yang dirumuskan secara formal, pembuat mengarahkan pikirannya untuk mewujudkan perbuatan yang dilarang. Sedangkan terhadap tindak pidana materiil, pikiran pembuat tertuju untuk menimbulkan akibat yang dilarang. Dengan demikian, kehendak dan pengetahuannya telah mendorong pikirannya untuk melakukan sesuatu, yang ternyata suatu tindak pidana. Dalam hal ini, isi kesalahan ditentukan oleh penggunaan pikiran pembuat yang diarahkan pada terjadinya tindak pidana.

Penggunaan pikirannya secara salah, yaitu ditujukan untuk mewujudkan tindak pidana, merupakan pertanda adanya kesalahan. Tidak terdapat adanya pertanda kesalahan, jika tindak pidana terjadi terlepas dari pengunaan pikiran pembuatnya. Ketentuan hukum yang memungkinkan orang yang belum cukup umur (anak-anak),


(11)

yaitu mereka yang berusia antara delapan sampai delapan belas tahun, (Pasal 1 huruf a Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak) yang melakukan tindak pidana, juga didasarkan pada hal ini. Tidak dipidananya pembuat disini, karena pada anak-anak belum dilekatkan kewajiban untuk mengguanakan pikiran sebagaimana yang ditentukan oleh hukum. Dengan kata lain, dalam hal tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak tidak dapat dicelakan terhadapnya, maka padanya tidak dapat dikatakan telah ada kesalahan.

Seorang pembuat juga tidak diliputi kesalahan, jika tindak pidana terjadi karena perbuatan diluar control pikirannya. Perbuatan tersebut timbul bukan karena (perintah) pikiran pembuat. Dalam hal ini tidak dipidananya pembuat karena perbuatan terjadi diluar control pikirannya. Dengan demikian, dapat dikatakan tidak terdapat pertanda kesalahan. Tidak adanya pertanda kesalahan bukan karena pembuat tidakdapat menghindari tindak pidana tersebut, tetapi memang perbuatan tersebut tidak usah dihindari. Tindak pidana yang terjadi karena perbuatan yang di luar kontrol pembuatnya, umumnya dipandang sebagai defence. Dengan demikian, tindak pidana dipandang sebagai involuntary conduct dan karenanya tidak memenuhi syarat sebagai

mens rea.28

Pikiran pembuatlah yang menentukan tentang dilakukannya atau timbulnya akibat suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Dengan kata lain, seharusnya pikiran pembuat harus tertuju untuk sejauh mungkin dapat berbuat lain, selain tindak pidana. Dalam hukum pidana penggunaan pikiran yang kemudian

28

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan menuju kepada Tiada Pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, Kencana, Jakarta, 2005, hal.103


(12)

mengarahkan pembuatnya melakukan tindak pidana, disebut sebagai bentuk kesalahan yang secara teknis disebut dengan kesengajaan. Kesengajaan merupakan tanda yang paling utama untuk menentukan adanya kesalahan pembuat.29

Kesengajaan dapat terjadi, jika pembuat telah menggunakan pikirannya secara salah. Dalam ha ini, pikirannya dikuasai oleh keinginan dan pengetahuannya, yang tertuju pada suatu tindak pidana. Hornsby mengatakan, “wanting, thinking, and intentinally doing as an interdependent triad conceps.” ‘Kehendak’, ‘berpikir’, ‘dengan sengaja melakukan’ merupakan konsep-konsep yang saling berhubungan. Kesengajaan ditujukan kepada terjadinya tindak pidana yang bersifat melawan hukum. Tindak pidana disini selain merupakan perbuatan atau akibat yang mencocoki rumusan undang-undang yang melarangnya, juga bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Termasuk tindak pidana adalah perbuatan-perbuatan yang mempunyai pertalian dengan tindak pidana yang dilakukan orang lain. Singkatnya, termasuk tindak pidana adalah percobaan dan penyertaan yang dapat dipidana. Dalam hal mana perbuatan, percobaan dan penyertaan itu bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.30

Dapat dicelanya pembuat justru karena dia telah mengarahkan kehendak dan pengetahuannya itu untuk melakukan tindak pidana dengan sengaja. Dengan kata lain, penilaian dapat dicelanya pembuat karena tidak berbuat lain selaintindak pidana atau berbuat yang tidak diharapkan masyarakat atau tidak menghindari terjadinya tindak pidana, terutama dilakukan dengan melihat apakah suatu tindak pidana terjadi

29

Ibid , 104

30


(13)

Karena kesengajaan pembuatnya. Demikian pula halnya dengan tindak pidana penyertaan. Baik dalam suruh lakukan, turut serta melakukan, penganjuran, dan pembantuan, selain dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan dengan ketentuan Pasal 55 dan 56 KUHP, masih diperlukan kesengajaan untuk memepertanggungjawabkan pembuatnya. Menngerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana, baik dalam bentuk suruh lakukan maupun dalam bentuk suruh lakukan maupun dalam bentuk penganjuran, hanya dapat dipertanggungjawabkan apabila dilakukan dengan sengaja. Selain itu, untuk adanya turut serta melakukan diperlukan adanya kerjasama yang sadar, sehinnga hal ini hanya mungkin terjadi kalau ada kesengajaan.31Demikian pula halnya terhadap pembantuan. “Pada asasnya tiap kesengajaan memberi bantuan dapat dikualifikasi sebagai pembantuan.”32 Kesengajaan pembantu haruslah diarahkan pada terjadinya atau dipermudahnya terjadi kejahatan.33

Percobaan dan penyertaan hanya dapat dipertanggungjawabkan terhadap pembuat apabila pada waktu melakukan perbuatan tersebut, batin pembuat menghendaki dan mengetahui hal tersebut. Selain itu, percobaan dan penyertaan, tidak dipertanggungjawabkan terhadap pembuatnya jika pada diri pembuat terdapat bentuk kesalahan lain (kealpaan). Kesengajaan sebagai pertanda adanya kesalahan menyebabkan sekalipun hai itu tidak dimuat dalam rumusan tindak pidana, tetapi selalu harus diperhatikan untuk mempertanggungjawabkan seseorang. Tidak dimuatnya unsur kesengajaan dalam hal ini, hanya mempunyai dampak dalam

31

Roeslan saleh, Op. ,cit., 31

32

Ibid., 40

33


(14)

lapangan acara (pembuktian). Dalam KUHP, terkadang Undang-Undang memang secara eksplisit menentukan kesengajaan dalam rumusan tindak pidana. Kadang-kadang justru hanya secara implicit. Dengan kata lain kesengajaan ‘diobjektifkan’. Bahkan, tidak jarang kesengajaan tidak ‘tampak’ dalam rumusan tindak pidana. Perumusan secara eksplisit ataupun samar-samar tentang kesengajaan dalam rumusan tindak pidana, hanya sebagai alat bantu untuk menafsirkan rumusan tindak pidana tersebut. Tentunya juga menjadi alat bantu untuk menentukan kesalahan pembuat.

Kesengajaan misalnya dirumuskan dengan berbagai istilah. ‘Dengan sengaja’ merupakan perumusan kesengajaan yang paling gamblang. Hal ini tampak misalnya dalam Pasal 187, 281, 304, 310, 333, 338, 354, dan 372 KUHP. Namun demikian, adakalanya hal tercermin dari istilah ‘yang diketahuinya’ (misalnya dalam Pasal 24, 220,dan 419 KUHP), ‘sedang diketahuinya’ (Pasal 110, 250,dan 275 KUHP), ‘sudah tahu’ (Pasal 483 ke-2 KUHP), ‘dapat mengetahui’ (Pasal 164 dan 464 KUHP), telah dikenalnya (Pasal 245 dan 247 KUHP), ‘telah diketahuinya’ (Pasal 282 KUHP), ‘bertentangan dengan pengetahuannya’ (Pasal 311 KUHP), ‘pengurangan hak secara curang’ (Pasal 397), ‘dengan tujuan yang nyata’ (Pasal 310), ‘dengan maksud’, atau tersirat dari kata-kata kerja yang ada dalam rumusan tindak pidana.34

Sementara itu, kesengajaan masih diklasifikasi dalam corak-corak tertentu. Umumnya dibedakan tiga corak kesengajaan, yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai keharusan, dan kesengajaan. Menurut Roeslan Saleh, dalam hal ini,”maksud pembuat tertuju kepada sesuatu yang lain, tetapi padanya sementara itu

34

S. R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHAEM-PTHAEM, Jakarta, 1986, hal.191


(15)

ada pula keyakinan, bahwa yang dimaksud ini tidak akan dapat dicapai tanpa timbulnya akibat yang sebenarnya tidak diinginkan.”35Dengan demikian, kesengajaan kemudian hanya dibedakan dalam corak kesengajaan sebagai keharusan dan kesengajaan sebagai kemungkinan.

Kesengajaan sebagai keharusan dapat terjadi, apabila tujuan yang hendak dicapai pembuat hanya dapat terwujud dengan melakukan perbuatan tersebut. Kesengajaan karena kemungkinan dapat ditentukan, baik jika pembuat mengetahui perbuatannya juga mempunyai jangkauan untuk dalam keadaan-keadaan tertentu akan terjadi suatu akibat, ataupun pembuat berpikir ‘apa boleh buat’ untuk mencapai tujuan tertentu dia melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.

Pertanda kesalahan yang lain, secara teknis hukum pidana disebut dengan kealpaan. Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang bersifat eksepsional. Artinya, tidak semua perbuatan yang terjadi karena kealpaan pembuatnya dapat dicela. Dapat dicela pembuat terutama merujuk pada yang melakukan tindak pidana dengan kesengajaan. Sedangkan pada kealpaan adalah pengecualian. Hanya apabila undang-undang menentukan suatu perbuatan yang terjadi karena kealpaan menyebabkan pembuatnya juga dapat dicela, yang merupakan tindak pidana. Corak kealpaan terdiri dari kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari. Kealpaan yang disadari terjadi jika pembuat idak menggunakan pikirannyadengan baik, sehingga timbul akibat yang dilarang. Pembuatnya tidak mengetahui apa yang seharusnya dia ketahui. Sama artinya tidak mengetahui yang dapat diketahuinya, dan tidak menduga apa yang

35


(16)

dapat diduganya.36 Pada kealpaan yang tidak disadari, pembuat justru sama sekali tidak terpikir bahwa perbuatannya dapat mengakibatkan tindak pidana, padahal seharusnya dia memikirkannya.37

B. Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Dalam Pemilihan Kepala Daerah menurut Peraturan Hukum Positif yang ada di Indonesia (UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah)

Didalam UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur secara tegas mengenai pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana dalam pemilihan kepala daerah, hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, dan Pasal 119, yang mana mengatur mengenai ketentuan pidana pemilihan Kepala daerah dan wakil Kepala Daerah.

Dalam Pasal 115 UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berisi :

(1) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dan orang yang kehilangan hak pilihnya tersebut mengadukan, diancam

36

S. R. Sianturi, Op. Cit., 196

37


(17)

dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah).

(3) Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan surat yang menurut suatu aturan dalam Undang-Undang ini diperlukan untuk menjalankan suatu perbuatan dengan maksud untuk digunakan sendiri atau orang lain sebagai seolah-olah surat sah atau tidak dipalsukan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah). (4) Setiap orang yang dengan sengaja dan mengetahui bahwa suatu surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tidak sah atau dipalsukan, menggunakannya, atau menyuruh orang lain menggunakannya sebagai surat sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah).

(5) Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekuasaan yang ada padanya saat pendaftaran pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan kepala daerah menurut undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).

(6) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi Pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).

Dalam Pasal 116 UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berisi :


(18)

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kampanye di luar jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh KPUD untuk masing-masing pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah). (3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan kampanye pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf g, huruf h, huruf i dan huruf j dan Pasal 79 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(4) Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).

(5) Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya kampanye, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).

(6) Setiap orang yang memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3), diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 24 (dua puluh empat) bulan


(19)

dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(7) Setiap orang yang dengan sengaja menerima atau memberi dana kampanye dari atau kepada pihak-pihak yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1), dan/atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(8) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dalam laporan dana kampanye sebagaimana diwajibkan oleh Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Dalam Pasal 117 UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berisi :

(1) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih Pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).


(20)

(3) Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja mengaku dirinya sebagai orang lain untuk menggunakan hak pilih, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling lama 60 (enam puluh) hari dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000,00 ( satu juta rupiah).

(4) Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000,00 ( dua ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah).

(5) Setiap orang yang dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(6) Seorang majikan atau atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang pekerja untuk memberikan suaranya, kecuali dengan alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(7) Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara mendampingi seorang pemilih selain yang diatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(8) Setiap orang yang bertugas membantu pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) dengan sengaja memberitahukan pilihan si pemilih kepada orang lain, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).


(21)

Dalam Pasal 118 UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berisi :

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak berharga atau menyebabkan Pasangan calon tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suaranya berkurang, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel, diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

(3) Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya hasil pemungutan suara yang sudah disegel, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling lama 2 (dua) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(4) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah hasil penghitungan suara dan/atau berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara, diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Sedangkan dalam Pasal 119 mengatur mengenai pidana Jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja oleh penyelenggara atau pasangan calon, ancaman pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana yang diatur dalam Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, dan Pasal 118.


(22)

BAB IV

PERAN LEMBAGA PERADILAN DALAM

SENGKETA PILKADA

A. Sengketa Pilkada 1. Pengertian

Yang dimaksud dengan sengketa Pilkada adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (4) dan Pasal 104 UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan kedua atas UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dari Pasal-Pasal tersebut sengketa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: sengketa yang kewenangan penyelesaiannya ada di tangan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan sengketa yang kewenangan penyelesaiannya ada di tangan lembaga peradilan.

Sengketa Pilkada yang penyelesaiannya ditangani oleh Panwaslu adalah sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan Pilkada. Sengketa ini diselesaikan berdasarkan Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005 Pasal 111 ayat (4) dan (5), yang dibedakan lagi menjadi:

a. Laporan yang bersifat sengketa dan tidak mengandung unsur-unsur pidana, diselesaikan oleh Panitia Pengawas Pilkada.

b. Laporan yang bersifat sengketa mengandung unsur tindak pidana, penyelesaiannya diteruskan kepada aparat penyidik.

Sedangkan sengketa Pilkada yang penyelesaiannya ditangani oleh lembaga peradilan, dalam hal ini Mahkamah Agung, adalah sengketa hasil penetapan Pilkada (atau disebut juga sengketa hasil Pilkada) sebagaimana diatur dalam Pasal 106 UU


(23)

No.32 Tahun 2004 Jo Peraturan MA No. 02 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota.

2. Permasalahan Hukum yang Terjadi dalam Pilkada

Perkembangan berdemokrasi di daerah tumbuh luar biasa sejak lahirnya kebijakan otonomi daerah. Seluruh kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat sesuai dengan amanat undang-undang yang lahir di era reformasi – kecuali jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Walikota di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Di beberapa daerah pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) melahirkan ketidakpuasan yang berujung pada pengajuan keberatan atas hasil Pilkada tersebut ke pengadilan dengan alasan yang beragam.

Di Maluku Utara misalnya, penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah telah menimbulkan kekacauan dan berakhir dengan menyisakan sejumlah permasalahan. Bahkan, pihak KPUD Maluku Utara dipandang tidak mampu melaksanakan pemilihan Kepala Daerah sesuai dengan aturan yang berlaku. Hasil penghitungan suara yang diperoleh masing-masing calon kepala daerah menimbulkan kontroversi. Akibatnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat mengambil alih peran untuk melakukan penghitungan ulang.

Intervensi KPU Pusat berawal dari keterangan KPU Provinsi Maluku Utara (Malut) dengan KPUD Kabupaten/Kota Malut terkait kesimpangsiuran penandatanganan dua dokumen. Ada dua dokumen sertifikat perhitungan suara yang


(24)

sama, tetapi dengan angka perhitungan yang berbeda. Hal ini nampak aneh karena sudah jelas angkanya berbeda tetapi penandatanganannya sama.38 Buah intervensi tersebut menghasilkan penetapan hasil pemilihan kepala daerah Maluku Utara oleh KPU Pusat dan membatalkan penetapan KPUD Provinsi Maluku Utara.

Secara teoritis, intervensi pusat kepada daerah memang dapat dibenarkan yaitu apabila terjadi kemacetan dalam proses demokrasi. Kemacetan demokrasi dimaksud adalah kondisi apabila elit daerah, baik eksekutif (birokrat) maupun legislatif (politisi), melakukan konspirasi dengan mengabaikan aspirasi dan kepentingan rakyat daerah untuk kepentingan kelompok elit itu sendiri. Apabila hal itu yang terjadi, maka campur tangan pusat, baik pemerintah pusat maupun pimpinan pusat partai politik dapat dibenarkan dengan argumen untuk melindungi kepentingan rakyat.39

Dalam soal pengambilalihan, KPU Pusat menggunakan Pasal 122 ayat (3) UU No 22 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa apabila terjadi hal-hal yang mengakibatkan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota tidak dapat menjalankan tugasnya, tahapan penyelenggaraan Pemilu untuk sementara dilaksanakan oleh KPU setingkat di atasnya. Persoalannya, KPU Provinsi Maluku Utara berhasil menjalankan tugasnya, bahkan sudah mengumumkan pemenang Pilkada. Jadi, tidak ada kriteria yang membuktikan bahwa KPU Provinsi Maluku Utara tidak dapat menjalankan tugasnya,

38

Koran Sindo, 23 November 2007

39

Abdul Gaffar Karim (Editor), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Cetakan I, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 185.


(25)

karena telah dibuktikan dengan selesainya semua tahapan Pilkada sampai dikeluarkannya Keputusan KPU Provinsi Maluku Utara No. 20/Kep/PGWG/2007 pada tanggal 16 November 2007, KPUD Malut telah menetapkan pasangan Thaib-Abdul sebagai pemenang pilkada Gubernur Malut.

Pasal 122 ayat (3) di atas sebenarnya memberikan celah kepada KPU Pusat untuk mengambil alih tugas KPU Provinsi dan KPU Kabupaten. Tetapi, pengaturannya tidak jelas. Tidak dijelaskan secara rinci dalam kondisi dan alasan apa KPU Pusat dapat mengambil alih tugas KPUD tersebut. Apakah dapat dibenarkan apabila KPU Pusat bersandar pada Pasal 122 ayat (3) untuk mengambil alih kewenangan KPUD dan melakukan rekapitulasi suara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dengan alasan rapat pleno KPUD Maluku Utara beberapa kali mengalami deadlock (jalan buntu). Jelas bahwa dalam persoalan ini KPU Pusat bertindak atas dasar pertimbangan dan penafsiran sendiri sebab tidak ada satu Pasal pun dalam UU No 32 Tahun 2004, PP No 6 Tahun 2007 dan UU No 22 tahun 2007 yang memberikan kewenangan kepada KPU Pusat untuk mengadakan rekapitulasi ulang, apalagi menetapkan pasangan calon terpilih Gubernur/Wakil Gubernur.

Kasus sengketa pilkada yang lain terjadi di Sulawesi Selatan.40 Sengketa yang berujung pada putusan MA tersebut diputuskan untuk dilakukan pemungutan suara

40

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/04/07/Sorotan/sorot01.htm, diakses tanggal 20 Juli 2008


(26)

ulang di daerah pemilihan Kabupaten Gowa, Bone, Bantaeng dan Tana Toraja. MA menengarai telah terjadi penggelembungan suara di beberapa daerah tersebut. Namun, putusan PK dari MA menyatakan hakim keliru menerapkan hukum dalam sengketa pilkada Sulsel. Disebutkan, yang berwenang untuk memutuskan dilakukan perhitungan suara dan pemungutan ulang adalah panitia pemilih kecamatan (PPK), penggelembungan jumlah daftar pemilih tetap pada hakikatnya menjadi wewenang Panitia Pengawas Pemilihan untuk menanganinya. MA memutuskan menolak keberatan yang disampaikan pasangan calon gubernur Amin Syam dan calon wakil gubernur Mansyur Ramly. Putusan yang dikeluarkan melalui rapat permusyawaratan MA itu dipimpin langsung Ketua MA, Bagir Manan, tertanggal 18 Maret 2008. Dengan demikian, pasangan pemenang Pilkada Sulsel ditetapkan kepada Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu'mang (Sayang) yang terpilih pada November 2007.

Berbeda dengan sengketa pilkada Depok.41 Awal konflik pilkada Depok ketika salah satu pasangan dari lima pasangan, yaitu Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad mengajukan keberatan ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat pada 11 Juli 2005 dengan menggugat KPU Kota Depok. Alasannya, terdapat kesalahan perhitungan suara sehingga pasangan itu dirugikan. Sebelumnya, KPU Depok mengumumkan hasil perhitungan suara pilkada 2005. Pasangan Nur Mahmudi Isma’il-Yuyun Wirasaputra meraih 232.610 suara atau 43,90 persen, disusul pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad 206.781 suara (39,03 persen), Yus Ruswandi-Soetadi

41


(27)

Dipowongso 34.096 (6,44 persen), Abdul Wahab Abidin-Ilham Wijaya 32.481 suara (6,13 persen) dan Harun Heryana-Farkhan 23.850 (4,5 persen).

Pada 4 Agustus 2005, Pengadilan Tinggi Jawa Barat mengeluarkan putusan No 01/Pilkada/2005/PT Bandung yang mengabulkan permohonan dari pemohon dan menyatakan batal hasil perhitungan suara 6 Juli 2005 serta menetapkan jumlah perhitungan suara yang benar, yaitu suara Badrul Kamal-Sihabuddin Ahmad menjadi 269.551, sedangan suara Nur Mahmudi Isma’il turun menjadi 204.828. Keputusan ini-pun menganulir kemenangan pasangan Nur Mahmudi-Yuyun W dan memenangkan pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin.

Atas putusan PT Jabar tersebut, KPU Depok menolak dan mengajukan memori Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) pada 16 Agustus 2005. Pada 8 September 2005 MA mengumumkan pembentukan Majelis PK perkara sengketa Pilkada Depok dan menetapkan lima hakim agung. MA akhirnya memutuskan mengabulkan permohonan PK dari KPU Depok, membatalkan putusan PT Jabar di Bandung tanggal 4 Agustus 2005, dan menolak keberatan dari permohonan Badrul Kamal-Syihabuddin ihwal pilkada Depok. Dengan putusan MA ini berarti Nur Mahmudi Isma’il-Yuyun Wirasaputra sah dan punya kekuatan hukum yang tetap sebagai Walikota dan Wakil Walikota Depok. Pada 3 Januari 2006, pasangan Badrul Kamal mengajukan permohonan keberatan atas putusan MA ke Mahmakah Konstutusi (MK). Oleh MK, sengketa (pilkada) ini merupakan wewenang MA.


(28)

Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa penyelesaian sengketa pilkada diserahkan melalui proses hukum di Mahkamah Agung di satu sisi. Sementara, di sisi lain putusan sengketa pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung di beberapa daerah menuai kontroversi. Sebagai contoh, putusan sengketa Pilkada Sulawesi Selatan (Sulsel), Maluku Utara (Malut) dan pilkada Depok yang berbuntut kontroversi tersebut menunjukkan ketidakjelasan putusan hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (MA). Padahal putusan itu seharusnya mencerminkan penyelesaian terakhir sengketa pilkada.

Harapan adanya putusan hukum yang mengikat dan bisa dihormati semua pihak yang bersengketa nampaknya sulit dicapai. Putusan Mahkamah Agung yang memerintahkan dilakukannya pilkada ulang atau perhitungan ulang hasilnya digugat lagi. Tentu saja persoalan akan bertambah runyam. Wajar apabila banyak orang yang menggugat putusan MA. Hal ini yang menyebabkan tingkat kepercayaan publik terhadap MA agak rendah, dan banyak pihak yang berkeinginan agar penyelesaian sengketa pilkada dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi.

Setelah lahirnya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, telah memungkinkan MK untuk memutus perselisihan hasil pilkada. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan rezim pilkada menjadi rezim pemilu. Permasalahannya adalah apa konsekuensi yuridis perubahan rezim pilkada menjadi rezim pemilu.


(29)

B. Peran Lembaga Peradilan dalam Sengketa Hasil Pilkada

Reformasi dapat diakui mampu meletakkan dasar-dasar substansial bagi pembangunan demokrasi di indonesia. Salah satu produk reformasi di bidang pembangunan demokrasi adalah Undang-undang yang mengatur penyelenggaraan pemilihan presiden Republik Indonesia secara langsung. Hal ini sangat jauh berbeda dengan kondisi sebelumnya. Sebagai refresentasi dari rakyat MPR menentukan pemimpin Negara, rakyatlah yang menentukan siapa pemimpin negara yang dikehendaki. Sedangkan sebelum reformasi hal tersebut tidak diberikan wewenang untuk memilih presiden dan wakil presiden.

Pengalaman pertama, dalam pemilihan pesiden secara langsung dinilai berbagai kalangan berjalan lancer dan aman. Hal inipun yang kemudian mendapat pujian dari berbagai negara seperti Amerika, Perancis dan Inggris.42

Keadaan demikian membuat sikap optimis bahwa pembangunan demokrasi di indonesia akan berjalan dengan baik, sehingga mendorong terciptanya proses demokrasi di Indonesia secara cepat, utuh dan menyeluruh.

Dengan kondisi yang demikian maka, disahkanlah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 18 UUD 1945. sebagai pelaksanaan dari ketentuan Undang-undang Pmerintahan Daerah tersebut dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

42

Yance Prasetya Aji,Potret Buram Pilkada Kab. Sukabumi 2005, konsorium Paradigma Cinta Rakyat, Bandung, 2006, hal. 3


(30)

Dalam konsep berpikir para wakil rakyat saat itu, bagaimana menetapkan konsep-konsep dasar pemilihan kepala daerah secara langsung, belum tergambar intrik-intrik yang bakal tumbuh dan bahkan berkembang akibat pelaksanaan Pilkada.43 Tidak terbayangkan kejadian atau peristiwa-peristiwa yang sangat rawan terjadinya konflik horizontal antar masa pendukung peserta Pilkada. Menurut pendapat sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Institut Titian Perdamaian, LBH jakarta, Perludem, KIPP, KRHN, dan Cetro, Tahapan penetapan hasil Pilkada merupakan potensi terbesar pecahnya konflik, disebabkan ketidakpuasan calon dan masa pendukungnya.44 Kondisi ini disebabkan adanya pandangan masyarakat bahwa “Tata Cara penetapan hasil Pilkada sama dengan tata cara penetapan Pemenang Pilpres”, yaitu bahwa apabila pasangan calon yang memperoleh 50 persen lebih dinyatakan sebagai pemenang dan bila tidak ada pasangan calon yang mencapai 50 persen lebih dilakukan pemilihan ulang padahal menurut ketentuan Pasal 107 UU No. 32 Tahun 2004 dinyatakan “calon yang memperoleh suara lebih dari 25 persen dan terbanyak maka dinyatakan sebagai pemenang”.

Keadaan tersebut, membuat masa pendukung tidak bisa meneria kekalahan, karena pasangan calon hanya dipilih oleh sedikit orang. Ketidakpuasan/keberatan tentang hasil penghitungan suara hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Konstitusi45 untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, yang

43

Ibid,.hal. 4

44

Tempo Interaktif, Jakarta: “Tahap Penetapan Hasil Pilkada Paling Rawan”, Seni, 06 Juni 2005.

45


(31)

pada awalnya sangat mengkhawatirkan masyarakat mengingat track record lembaga ini dalam menangani berbagai kasus.46

1. Kewenangan Lembaga Peradilan/Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Pilkada

Perubahan Ketiga UUD 1945 telah melahirkan lembaga baru yang menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman, yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.47 Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Perubahan menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Melalui UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, terminologi pemilihan kepala daerah dirubah menjadi pemilihan umum kepala daerah. Bab I Pasal 1 UU No. 22 tahun 2007 mempunyai maksud bahwa Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik

46

Danggu Konradus, “jangan Diamkan Sengketa Pilkada”. www: http/google, Jumat 26 Agustus 2005

47

UU Mahkamah Konstitusi No. 24 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1). Lihat Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta, Konstitusi Press, 2005), hlm.3-4


(32)

Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan demikian, apabila pemilihan kepala daerah masuk rezim pemilu maka penanganan sengketa hasil pemilihan kepala daerah menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan Pasal 24C ayat (1) Perubahan UUD 1945. Persoalannya, UU No 32 tahun 2004 masih mengatur perselisihan hasil pilkada menjadi kewenangan Mahkamah Agung sehingga perlu adanya regulasi lebih lanjut untuk mempertegas pengaturan mengenai sengketa hasil pemilihan kepala daerah.

Melalui UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sengketa pilkada telah dialihkan dari MA ke MK. Peralihan locus penyelesaian sengketa tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 236C yang menyatakan bahwa “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.”

Bunyi Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tersebut dari sudut legal drafting menimbulkan persoalan. Pertama, menurut Jimly Asshiddiqie,48 Pasal 236C mempunyai penafsiran ganda. Frase “paling lama” dalam kalimat tersebut praktiknya bisa lebih cepat (satu atau dua hari, pen), apalagi latar belakang munculnya Pasal itu semata-mata hanya ingin memberi waktu persiapan kepada MK. Misalnya, apabila

48

”Mengkritisi revisi UU Pemda dari Ilmu Peraturan Perundang-undangan”, http.www. hukumonline.com, diakses tanggal 5 Mei 2008


(33)

dalam jangka waktu satu bulan sejak disahkan UU No. 12 tahun 2008 MK sudah siap, maka perselisihan hasil pilkada dapat langsung ditangani oleh MK. Penafsiran kedua, maksud “paling lama” adalah sebelum 18 bulan. Artinya, meskipun MK sudah mempunyai persiapan yang matang, sengketa tersebut tidak serta merta atau belum dapat dialihkan. Untuk memastikan mana yang benar, maka penafsiran ganda tersebut dapat dibawa ke MK untuk judicial review. Namun demikian, hal ini kemungkinannya kecil karena sulit mencari alasan konstitusionalnya. Untuk itu, Jimly mengembalikan persoalan ini kepada pembentuk undang-undang yaitu Presiden dan DPR.

Hal senada juga dikatakan oleh Bagir Manan49 bahwa kata ”paling lama” itu bisa jadi besok. Seharusnya isi Pasal itu bukan menggunakan frase ”paling lama” 18 bulan, melainkan dijelaskan dengan kalimat, semua sengketa pilkada yang sudah diselesaikan oleh MA, kemudian sengketa yang baru ditangani oleh MK. Dengan demikian, sebuah undang-undang akan memberikan kepastian dan konsisten.

Kedua, sebuah Pasal dalam undang-undang akan tetap dinyatakan berlaku apabila dalam undang-undang perubahannya tidak secara tegas dinyatakan telah dihapus atau diubah dengan rumusan Pasal yang baru. UU No 12 Tahun 2008 tidak mengubah Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004 yang merupakan dasar kewenangan MA untuk memutus sengketa pilkada. Pasal 106 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004 berbunyi:

49

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/04/07/Sorotan/sorot01.htm, diakses tanggal 20 Juli 2008


(34)

“Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah”.

Pola pikir anggota DPR dalam membahas undang-undang tersebut keliru karena lebih mengedepankan proses peralihan dibandingkan dasar hukum utamanya, yakni Pasal 106. Hal tersebut akan menimbulkan kontradiksi substantif di dalam UU Pemda terbaru karena di satu sisi memuat teknis pengalihan tetapi di sisi lain justru ”menjamin” kondisi awalnya tetap ada. Untuk mempertegas atau memberikan kapastian hukum tentang kewenangan penyelesaian sengketa pilkada masuk dalam wewenang MK dapat dilakukan pertama, diatur kembali dalam UU pilkada secara tersendiri dan menyatakan Pasal 106 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004 tidak berlaku atau; kedua, dapat dimasukkan ke dalam UU MK yang sekarang sedang direvisi.

Beralihnya penyelesaian sengketa pilkada ke MK akan membawa harapan baru karena penyelesaian oleh MK relatif tidak menimbulkan konflik yang berarti. Hal ini dibuktikan dari pengalaman MK dalam menangani sengketa pemilu. Namun demikian, yang perlu dipikirkan adalah, apabila dalam suatu kasus yang telah diputus ternyata terdapat bukti baru, apakah MK akan membuka upaya hukum peninjauan kembali sebagaimana pranata di MA? Di samping itu, beberapa Pasal yang terdapat dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Pemilihan Umum perlu dilakukan perubahan misalnya, Bab I Pasal 1 dapat ditambah dengan norma yang berbunyi “Kepala daerah dan Wakil


(35)

Kepala Daerah adalah Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota”. Bab III tentang Tata Cara Mengajukan Permohonan, Pasal 5 ayat (2) seharusnya ditambah huruf (d) yang berbunyi “calon kepala daerah dan wakil kepala daerah”. Bab II Pasal 3 ditambah dengan huruf (d) “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”. Pasal 4 ditambah dengan huruf (d) yang berbunyi “terpilihnya calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”.

UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32 tahun 2004 telah membawa perubahan besar terhadap penyelenggaraan pilkada di Indonesia. Perubahan itu antara lain dialihkannya penanganan sengketa hasil pilkada dari MA ke MK. Hal ini merupakan penegasan tentang masuknya pilkada dalam rezim pemilu.

Adanya perubahan tersebut telah menimbulkan banyak persoalan sehingga terdapat beberapa hal yang menjadi pekerjaan rumah. Beberapa pekerjaan rumah tersebut antara lain: pertama, Pasal 22E UUD 1945 yang menjadi sandaran hukum penyelenggaraan pemilu sebaiknya dilakukan perubahan sehingga berbunyi “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kepala daerah dan Wakil Kerpala Daerah”. Kedua, tentang peran regulasi pemerintah dalam pilkada. Empat Pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang meminta Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksana tidak dilakukan perubahan. Padahal, apabila pilkada sudah beralih ke rezim pemilu, PP tersebut mutlak tidak diperlukan lagi. Yang diperlukan adalah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagaimana diatur dalam UU No. 22 tahun 2007 tentang


(36)

Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Empat Pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang tidak ikut direvisi yaitu: Pasal 65 ayat (4) yang berbunyi ”Tata cara pelaksanaan masa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tahap pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”; Pasal 98 ayat (3) yang menegaskan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai, pemberian bantuan kepada pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah”; Pasal 94 ayat (2) yang menyatakan bahwa “tanda khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”; dan Pasal 114 ayat (4) yaitu “tata cara untuk menjadi pemantau pemilih dan pementauan pemilihan serta pencaburan hak sebagai pemantau diatur dalam Peraturan Pemerintah”.

Ketiga, tentang pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, mekanisme pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu, pertama dengan usul DPRD dan kedua tanpa usul DPRD. Persoalan akan muncul pada pemberhetian kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui cara yang pertama. UU No. 32 tahun 2004 Pasal 29 jo Pasal 123 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menegaskan bahwa “pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan kepada Presiden dan berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD, bahwa Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah melanggar sumpah/janji jabatan dan tidak melaksanakan kewajibannya”.


(37)

Banyaknya persoalan yang ditimbulkan akibat adanya perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah itu, adalah sebuah keniscayaan untuk segera diterbitkannya UU Mahkamah Konstitusi yang baru dan UU Pilkada yang nantinya akan menjadi rujukan komprehensif penyelenggaraan pilkada di seluruh Indonesia. Pengaturan lebih lanjut dalam kedua UU tersebut diharapkan dapat mengantipasi berbagai kendala yang mungkin muncul.

2. Peran Lembaga Peradilan/Mahkamah Konstitusi

Hakim Konstitusi M Laica Marzuki mengatakan, ketentuan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum telah memungkinkan Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada). Ada pengertian baru dalam memandang Pilkada dalam Undang-Undang itu, ujarnya di depan audiens dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jum’at (17) lalu. Pendapat Laica ini menengok pada amanah Konstitusi, tepatnya

pada Pasal 24 C Ayat (1) UUD 1945. Pasal itu memang memberikan kewenangan pada MK untuk memutus perselisihan hasil Pemilu. Dalam produk UU anyar itu, ujarnya, Pilkada sudah dianggap sebagai general election, sehingga masuk ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memutus jika terjadi persengketaan. Sayangnya, menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kewenangan mewasiti perseteruan hasil Pilkada itu masih ada di tampuk kuasa Mahkamah Agung (MA).Pendapat Laica ini berhulu pada peristiwa sengketa hasil Pilkada di Depok 2005 silam. Sengketa hasil Pilkada untuk pemilihan walikota itu


(38)

telah merembet pada pertikaian antara dua massa pendukung partai besar pengusung calon. Kejadian itu, oleh para pakar tatanegara dianggap bakal berimplikasi pada sistem ketatanegaraan secara luas.Namun keyakikan pribadi Laica ini menimbulkan pertanyaan dari Widodo, salah seorang pengajar hukum tata negara dari Universitas Al-Azhar. Dengan adanya kewenangan itu, maka akan terjadi dualisme kewenangan sebab masih ada norma lain mengatakan bahwa sengketa itu ada di tangan MA. Nantinya akan terjadi dualisme kewenangan dari dua lembaga berbeda,ujarnya.50

Perselisihan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi sesungguhnya memiliki karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapai sehari-hari oleh peradilan biasa.51 Keputusan yang diminta oleh pemohon dan diberikan oleh Mahkamah Konstitusi akan membawa akibat hukum yang tidak hanya mengenai orang seorang, tetapi juga orang lain, lembaga negara dan aparatur pemerintah atau masyarakat pada umumnya, terutama sekali dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (Judicial review).52

Nuansa public interest yang melekat pada perkara-perkara semacam itu akan menjadi pembeda yang jelas dengan perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara yang pada umunya menyangkut kepentingan pribadi dan individu berhadapan dengan individu lain ataupun dengan pemerintah. Ciri inilah yang akan membedakan penerapan hukum acara di Mahkamah Konstitusi dengan hukum acara di pengadilan-pengadilan lainnya.

Oleh karena terjadinya praktek hukum acara yang merujuk pada undang-undang hukum acara yang lain timbul karena kebutuhan yang kadang-kadang dihadapkan

50

Hukumonline.com, didownload rabu 22 april 2009

51

Hal ini disebabkan oleh karena adanya sifat kepentingan umum yang tersangkut di dalamnya, meskipun andaikata permohonan hanya diajukan oleh seseorang atau individu tertentu.

52

Perbedaan kewenangan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung dalam hal

Judicial Review yaitu dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar harus dimohonkan kepada Mahakamah Konstitusi, sedangkan pengujian seluruh peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung.


(39)

kepada Mahkamah Konstitusi, maka ketentuan yang memberlakukan aturan Hukum Acara Pidana, Perdata, dan Tata Usaha Negara secara mutatis mutandis dapat diberlakukan dengan menyesuaikan aturan dimaksud dalam praktek hukum acaranya. Hanya saja jika terjadi pertentangan dalam praktek hukum acara pidana dan TUN dengan aturan hukum acara perdata maka secara mutatis mutandis juga aturan hukum acara perdata tidak akan diberlakukan. Meskipun aturan ini tidak dimuay dalam UU Mahakamah Konstitusi, akan tetapi telah diadopsi dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), baik sebelum maupun sesudah praktek yang merujuk undang-undang hukum acara lain itu digunakan dalam praktek


(40)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

 Tindak pidana dalam pemilihan kepala daerah dapat dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yaitu:

1. Tindak pidana yang berkenaan dengan penetapan pemilih dan pemenuhan persyaratan peserta pemilu.

2. Tindak pidana yang berkenaan dengan kampanye.

3. Tindak pidana yang berkenaan dengan pemungutan suara dan hasil pemungutan suara.

 Kebanyakan undang-undang merumuskan syarat kesalahan secara negative. KUHP diseluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertangungjawab, yang diatur ialah kebalikannya,yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab. Tidak mampu bertanggungjawab adalah ketidaknormalan ‘keadaan’ batin pembuat, karena cacat jiwa atau gangguan penyakit jiwa, sehingga padanya tidak memenuhi persyaratan untuk diperiksa apakah patut dicela atau tidak karena perbuatannya. Dengan kata lain, seseorang dipandang mampu bertanggungjawab jika tidak ditemukan keadaan-keadaan tersebut.


(41)

 Dengan berubahnya rezim pemilihan kepala daerah menjadi rezim pemilihan umum, maka penyelesaian sengketa pilkada yang semula menjadi kewenangan Mahkamah Agung beralih ke Mahkamah Konstitusi sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peralihan tersebut tentunya mengakibatkan banyaknya persoalan yang semestinya perlu ada pengaturan lebih lanjut baik dalam UU Mahkamah Konstitusi maupun UU Pemerintahan Daerah. Ada baiknya jika pengaturan tentang Pilkada diatur tersendiri dan dikeluarkan dari UU Pemerintahan Daerah.

B. Saran

 Peradilan memiliki peran penting untuk menyelesaikan konflik dan sengketa. Hal ni juga berlaku untuk sengketa hasil Pilkada. Para pihak yang tidak puas atas keputusan penyelenggara pilkada yaitu KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dapat membawa masalah ini ke Lembaga peradilan yang berhak mengadili. Oleh karena itu, peranan hakim yang mengadili sengketa Pilkada itu sanat penting. Salah satu syarat penting dari hakim yang mengadili sengketa Pilkada tesebut adalah pemahaman yang kuat mengenai sistem dan proses serta kerangka ukum pemilu/Pilkada.


(42)

 Keberhasilan Pilkada mestinya tidak hanya dilihat dari selesainya seluruh tahapan sampai pengumuman pemenang. Keberhasilan Pilkada mestinya juga dilihat dari diselesaikannya segala konflik dan sengketa secara hukum dan pihak yang dirugikan dapat mengemalikan haknya melalui peradilan yang adil dan tidak memihak.


(43)

BAB II

TINDAK PIDANA YANG TERDAPAT DALAM PEMILIHAN

KEPALA DAERAH

Untuk menjamin pemilihan Kepala Daerah yang jujur dan adil diperlukan perlindungan bagi para pemilih, bagi para pihak yang mengikuti pemilihan umumnya dari segala ketakutan, intimidasi, penyuapan, penipuan, dan praktek-praktek curang lainnya, yang akan mempengaruhi kemurnian hasil pemilihan Kepala Daerah. Jika pemilihan dimenangkan melalui cara-cara curang, maka sulit dikatakan para pemimpin atau para legislator yang terpilih di parlemen merupakan wakil-wakil rakyat. Guna melindungi kemurnian pemilihan Kepala Daerah yang sangat penting bagi demokrasi itulah para pembuat Undang-undang telah menjadikan perbuatan curang dalam pemilihan kepala Daerah sebagai suatu tindak pidana.

Secara umum, keseluruhan tindak pidana dalam pemilihan kepala daerah dapat dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yaitu:

A.Tindak pidana yang berkenaan dengan penetapan pemilih dan pemenuhan persyaratan peserta pemilu

Yang termasuk dalam tindak pidana ini antara lain yaitu:

1. Dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar untuk keperluan daftar pemilih


(44)

3. Dengan sengaja memalsukan surat yang diperlukan dalam penyelengaraan pilkada

4. Dengan sengaja menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat yang tidak sah atau dipalsukan dalam penyelenggaraan pilkada

5. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih.

6. Dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat palsu yang diperlukan bagi persyaratan sebagai calon kepala daerah/wakil kepala daerah

B.Tindak pidana yang berkenaan dengan kampanye

yang termasuk dalam tindak pidana ini antara lain yaitu:

1. Dengan sengaja melakukan kampanye di luar jadwal waktu yang ditentukan 2. Dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan kampanye (dibagi

ke dalam 2 tindak pidana dengan membedakan larangan ke dalam dua golongan).

3. Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan yang melarang merka melibatkan diri dalam kampanye.

4. Dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau menggangu jalannya kampanye


(45)

6. Dengan sengaja menerima atau memberi dana kampanye kepada/dari negara asing, lembaga swasta asing, LSM asing, warga negara asing, BUMN/BUMD, penyumbang yang tidak jelas identitasnya

7. Dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dalam laporan dana kampanye

C.Tindak pidana yang berkenaan dengan pemungutan suara dan hasil pemungutan suara

Yang termasuk dalam tindak pidana ini antara lain yaitu:

1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan menghalang-halangi seseorang utnuk menggunakan hak pilihnya

2. Dengan sengaja memeberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang untuk tidak menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah

3. Dengan sengaja mengaku dirinya sebagai orang lain untuk menggunakan hal pilih

4. Dengan sengaja menggunakan hak pilihnya lebih dari satu kali 5. Dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara

6. Tidak memberikan kesempatan kepada bawahan atau pekerja untuk memberikan suaranya

7. Dengan sengaja mendampingi pimilih dalam bilik suara, kecuali dalam hal pemilih tunanetra, tunadaksa, atau mempunyai halangan fisik lain


(46)

8. Petugas yang membantu pemilih tunanetra, tunadaksa atau yang mempunyai halangan fisik lain, dengan sengaja memberitahukan pilihan pemilih kepada orang lain

9. Dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak berharga, atau menyebabkan pasangan calon tertentu mendapat tambahan suara atau pengurangan suara

10.Dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel

11.Karena kelalaian merusak atau menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel

12.Dengan sengaja mengubah hasil penghitungan suaradan/atau berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara

13.Ketentuan tentang ancaman pidana bagi tindak pidana pilkada adalah sebagai berikut

14.Di samping pidana penjara, untuk semua tindak pidana ditetapkan pidana denda yang dapat dijatuhkan secara kumulatif atau alternatif (dan/atau); 15.Ditetapkan adanya pidana minimum khusus;

16.Pidana penjara berkisar dari paling singkat 15 hari sampai paling lama 3 tahun, dan pidana denda dari paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) sampai paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dengan demikian, untuk kasus-kasus tindak pidana pilkada tidakdapat dikenakan penahanan.


(47)

17.Jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja oleh penyelenggara atau pasangan calon, ancaman pidananya ditambah sepertiga dari pidana yang telah diatur.


(48)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu persyaratan pelaksanaan sistem demokrasi adalah keikutsertaan rakyat dalam proses pemerintahan. Masyarakat mempunyai akses ke sistem pemerintahan memberikan partisipasi dalam memilih siapa yang akan menjadi pemimpin mereka. Dalam sistem Negara dimana terbentuk Lembaga Perwakilan Rakyat, maka kemauan rakyat itu diwakilkan kepada mereka yang duduk dalam lembaga perwakilan rakyat.

Diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia mempunyai tujuan untuk memberdayakan masyarakat lokal. Sebelumnya pemilhan kepala daerah seringkali turut dipengaruhi oleh pemerintah pusat atau oleh pemerintah provinsi untuk pemilihan kepala daerah kabupaten. Di era reformasi kewenangan untuk memilih seorang kepala daerah sepenuhnya dilakukan oleh rakyat.

Pemilihan kandidat politik untuk bursa eksekutif dan legislative di zaman serba terbuka sekarang ini, tampaknya seperti sedang mengadopsi model atau event pasar produk bisnis komersial. Tiba-tiba dengan tempo singkat, menyeret sejumlah besar pelaku terlibat langsung dan tidak langsung dalam menanggapi event ini. Di antara mereka saling menjajaki satu sama lain, membuka penawaran, saling berpromosi, adu kompetisi, memobilisasi resources, negosiasi alot, menggandeng spekulan, serta memacu mobilitas dan popularitas. Pemilihan langsung telah mendekatkan antara kandidat dengan masyarakat. Seleksi pimpinan Nasional sampai kepemimpinan lokal


(49)

dilaksanakan langsung. Pemilih akan menjatuhkan pilihannya kepada sang idola saat sudah berada di bilik suara. Pemilu 2004 menjadi pengalaman pertama rakyat menitipkan kepercayaannya langsung kepada tokoh pilihannya. Pemilihan DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden yang berlangsung dua tahap ternyata menjadi ajang pencitraan publik figur bagi para kontestan di atas panggung Nasional.

Demikianlah kelak pemilihan kandidat politik di tingkat lokal. Rakyat memilih langsung siapa yang pantas sesuai menjadi Kepala Daerah di wilayahnya. Bupati, Walikota dan gubernur adalah jabatan-jabatan publik untuk siapa saja yang ingin maju tampil menjadi kontestan. Bursa pencalonan lebih terbuka, kompetitif dan partisipatif. Sementara siklus dan rotasi kepemimpinan di pastikan berjalan dinamis sambil memberi ruang-ruang kebebasan sepanjang proses transisi demokratik yang tak mungkin lagi terhindarkan. Sekarang siapa yang dapat menjadi kandidat politik? Kesempatan terbuka bagi siapapun yang ingin optimal meraihnya.2

Permasalahan yang muncul adalah adanya berbagai macam tindak pidana yang dilakukan yang merebak diberbagai daerah dalam memilih seorang kepala daerah. Sampai sekarang pun ada kesulitan untuk mendapatkan bukti-bukti tertulis guna memprosesnya secara hukum. Padahal hukum di Indonesia senantiasa menuntut adanya bukti-bukti tertulis itu untuk dapat mengajukan seseorang ke pengadilan dengan tuduhan telah melakukan tindak pidana dalam pemilihan kepala daerah.

2

Agung wibawanto, Memenangkan Hati dan Pikiran Rakyat, PEMBARUAN, Yogyakarta, 2005, hal.6


(50)

Saat ini di berbagai daerah setelah pilkada marak dengan aksi protes atas hasil pilkada, di mana protes-protes yang ada, terkadang menjurus ke penggunaan kekuatan fisik. Tuntutan keberatan atas hasil pilkada banyak dilakukan oleh pasangan calon yang kalah, yang pada umumnya bermuara pada kehendak untuk membatalkan hasil pilkada dan dilakukan pilkada ulang.Tuntutan atau gugatan dilakukan dengan cara mengajukan permohonan keberatan atas hasil pilkada ataupun tuntutan penyelesaian segera dugaan tindak pidanayang terkait dengan pelaksanaan pilkada. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar, namun ironis dan sangat memprihatinkan, karena dengan banyaknya gugatan pasangan calon yang kalah, justru membuktikan bahwa masyarakat negeri ini kebanyakan belum memiliki kedewasaan dalam berpolitik dan berdemokrasi. 3

Sulit memang menerima kekalahan dengan lapang dada, karena pada dasarnya setiap diri manusia selalu menginginkan kemenangan, bukan kekalahan. Sayangnya, mereka hanya berfikir kemenangan, sehingga hanya siap menang tetapi tidak siap kalah. Ketika kalah, emosi lebih dikedepankan. Kemarahan, kebencian, dan ketidakpuasan meledak, serta tindakan perlawanan atas kemenangan orang lain dilakukannya. Secara psikologis, hal itu pasti diliputi suasana permusuhan, labil, dan mudah terprovokasi. Mengutip apa yang dikatakan Edward Stevens dalam bukunya yang berjudul "The Morals Game" (1974)4. Dalam "penjara sosial", terkadang seseorang termakan oleh ideologi kelompok yang begitu kuatnya, sehingga tidak dapat membedakan antara sesuatu yang benar dengan propaganda.Sebenarnya, tuntut

3

Ibid.,hal7

4


(51)

menuntut atau gugat menggugat tidak perlu terjadi, apabila kita semua dapat mengendalikan emosi ataupun ambisi pribadi, serta mau mawas diri. Pengajuan tuntutan atau gugatan itu sesuatu hal yang wajar, karena pada hakekatnya hal tersebut merupakan hak pribadi. Namun demikian, hak tersebut perlu juga diperhatikan, serta yang terpenting harus mendasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Jangan sampai kita menuntut hak, tetapi justru melanggar hak orang lain, bahkan melanggar hukum.

Maraknya gugatan keberatan hasil pilkada yang ada saat ini, pada umumnya diajukan tanpa terkait dengan kesalahan hasil perhitungan suara, tetapi lebih banyak mengarah pada mekanisme dalam pelaksanaan pilkada khususnya terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan KPUD. Gugatan dengan objek surat edaran KPUD ataupun keputusan-keputusan KPUD lainnya yang berisi petunjuk teknis pelaksanaan pilkada tentunya tidak tepat, karena KPUD selaku Panitia Pelaksana pilkada punya kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menetapkan peraturan teknis yang menyangkut mekanisme atau tata cara atau proses pelaksanaan pilkada itu sendiri, dan UU juga telah tegas membatasi bahwa kompetensi atau kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menangani sengketa pilkada ditentukan hanya sebatas penetapan hasil pilkada oleh KPUD saja, serta keputusan yang dikeluarkan oleh KPUD terkait dengan petunjuk teknis pelaksanaan pilkada, tidak termasuk objek keberatan. Karena itu, jika yang diajukan penggugat/pemohon tidak terkait dengan petunjuk teknis pelaksanaan pilkadan atau mengenai masalah di luar hasil penghitungan suara, secara juridis, gugatan tersebut tidak memenuhi persyaratan


(52)

materiil dan formal, dan permohonan harus dinyatakan tidak diterima. Dengan sendirinya berarti gugatan selayaknya harus ditolak.

Banyak kalangan yang meyakini bahwa pemilihan kepala daerah memiliki potensi memicu konflik dimasyarakat. Sumber potensi konflik terkait dengan dua hal,

pertama berasal dari karakteristik politik lokal dan tingkah laku rata-rata elit atau pemilih yang belum sepenuhnya kondusif bagi sebuah penyelenggaraan pemilihan langsung. Kedua Sumber rawan konflik berikutnya yaitu terdapatnya kelemahan pada beberapa ketentuan didalam peraturan perundang-undangan tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), baik UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah maupun Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 mengenai Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Kelemahan dimaksud terdeteksi pada seluruh siklus Pilkada mulai dari tahap persiapan hingga setelah Pilkada. Dengan kata lain, ketentuan-ketentuan Pilkada belum dapat berfungsi sebagai aturan main guna membatasi tingkah laku pemilih, pendukung dan kandidat pilkada. Konsekuensinya, ketentuan perundang-undangan berpotensi besar untuk gagal berfungsi sebagai mekanisme penegakan hukum dalam proses Penyelenggaraan Pilkada.5

5

Donni Edwin, Pilkada Langsung Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance,


(53)

B. Permasalahan

1. Tindak Pidana apa saja yang terdapat dalam Pemilihan Kepala Daerah?

2. Bagaimanakah Pertanggungjawaban pelaku yang melakukan Tindak Pidana dalam Pemilihan Kepala Daerah?

3. Bagaimana peran Lembaga Peradilan dalam menyelesaikan Sengketa dalam Pemilihan Kepala Daerah?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pelaku yang melakukan Tindak Pidana dalam Pemilihan Kepala Daerah

2. Untuk mengetahui bagaimana Peran Lembaga Peradilan dalam menyelesaikan sengketa dalam pemilihan Kepala Daerah

3. Untuk mengetahui tentang Tindak Pidana apa saja yang terdapat dalam Pemilihan Kepala Daerah

Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sekedar sumbangan pemikiran dalam rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya, perkembangan


(54)

Hukum Pidana dan khususnya mengenai Tindak Pidana yang terdapat dalam Pemilihan Kepala Daerah.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pembuat undang-undang dalam menetapkan kebijaksanaan lebih lanjut sebagai upaya untuk memberikan pertanggungjawaban yang sesuai dengan perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dalam Pemilihan Kepala Daerah.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada penegak hukum dan lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Konstitusi dan lembaga-lembaga lainnya dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan Pemilihan Kepala Daerah sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil penelitian di Perpustakaan, skripsi yang berjudul Analisis terhadap tindak pidana yang terdapat dalam pemilihan Kepala Daerah ini belum ada yang memiliki atau membahas baik dalam bentuk disertasi, makalah, majalah, artikel, bahan-bahan diskusi, seminar dan lokakarya. Oleh karena itu maka dapat dianggap penulisan skripsi ini memiliki keaslian.

Apabila ditemukan ada skripsi yang berjudul dengan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggungjawab sepenuhnya.


(55)

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Tindak Pidana.

Banyak sekali terdapat diantara sarjana-sarjana dalam bidang Hukum Pidana yang menggunakan istilah yyang berbeda-beda untuk menunjuk kepada Tindak Pidana.

Moeljatno, memakai istilah “ Perbuatan Pidana”. Beliau tidak menggunakan istilah Tindak Pidana. Perbuatan pidana menurut beliau dirumuskan sebagai berikut :

“Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.”6

Sedangkan Utrecht menggunakan istilah “Peristiwa Pidana”. Demikian juga penggunaan istilah yang berbeda untuk menunjuk kepada tindak pidana diberikan oleh Mr. M. H. Tirtaamidjaja, beliau menggunakan istilah “Pelanggaran Pidana”

Namun diantara keanekaragaman penggunaan istilah tersebut pada dasarnya adalah menunjuk kepada pengertian yang sama, yakni yang berasal dari strafbaar feit. Strafbar Feit adalah diambil dari bahasa belanda yang apabila diterjemahkan secara harafiah berarti peristiwa pidana.

Menurut Simons, bahwa strafbar feit ialah perbutan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (shculd) seseorang yang mampu bertanggungjawab.

6


(56)

Kesalahan dalam pengertian ini termasuk juga kesalahan dalam arti luas yang meliputi dolus (sengaja) dan culpalate(alpa dan lalai).7

Van Hamel menjelaskan bahwa strafbar feit sebagai perbuatan manusia yang diuraikan oleh Undang-undang, melawan hukum, patut atau bernilai unutuk dipidana (strafwaardig), dan dapat dicela karena kesalahan.8

Sedangkan sarjana Pompe menguraikan dua macam definisi tentang strafbaar feit ini 9, yakni :

a. Defenisi yang bersifat teoritis

Maksudnya ialah berupa pelanggaran terhadap norma (kaidah/tata hukum), yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang harus dijatuhkan pidana untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Defenisi ini sekaligus merujuk kepada tujuan hukum pidana yaitu mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum yang sesuai dengan UUD 1945.

b. Defenisi yang bersifat hukum positif

memberikan pengertian bahwa starbaar feit ialah suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung perbuatan (handeling) dan pengabaian (nelaten), tidak berbuat/berbuat pasif, biasanya dilakukan dalam beberapa

7

A. Zainal Abidin.,Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal. 224

8

Ibid., hal.225

9


(1)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang sedalam-dalamnya penulis panjatkan kehadirat Tuhan

Yang Maha Esa karena dengan berkat dan rahmat-Nya, penulis masih diberi

kesempatan, kesehatan dan kemudahan dalam mengerjakan skripsi ini, serta doa

yang selalu dipanjatkan yang tiada henti-hentinya oleh kedua orang tua penulis.

Penulisan skripsi ini diajukan untuk melengkapi syarat guna memperoleh

gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini

penulis menyadari bahwa hasil yang diperoleh masih jauh dari sempurna. Oleh sebab

itu dengan segala kerendahan hati penulis akan menerima kritik dan saran demi

kesempurnaan skripsi ini.

Namun terlepas dari segala kekurangan yang ada pada penulisan skripsi ini,

penulis tidak terlepas dari bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak, untuk itu

penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Abul Khair, SH, M.Hum, sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan

dan bimbingan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.Hum, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai Pembantu Dekan II


(2)

5. Bapak M. Husni, SH, MH, sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Nurmalawati, SH, M.Hum, sebagai Sekertaris Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sebagai Dosen Pembimbing

I yang telah banyak memberikan bantuan, pengarahan dan dukungan dalam

menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Armansyah,SH, M.H, sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak

memberikan bantuan, pengarahan dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi

ini.

8. Bapak M. Siddik,SH,M.Hum sebagai Penasihat Akademik selama penulis

menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Ibu Nurmalawati, SH, M.Hum, sebagai Sekertaris Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sebagai Dosen Pembimbing

I, dan seluruh dosen yang telah banyak memberikan dedikasi yang sangat

besar kepada penulis serta para pegawai Tata Usaha Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang telah membantu selama penulis menjalani

study di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(3)

11.Juga tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada abangku Hamonangan Sidauruk dan adikku Agnesia Sidauruk yang

telah memberikan kasih sayang, doa dan motivasi yang tak terhingga kepada

penulis.

12.Rekan-rekan di Fakultas Hukum Andi, Ramses, Doli, Bayhaqi, Maripa, Bona,

Martin, Morten, Josua, Jahrent, Emi, Melin, Teti.

13.Teman-teman di kost Panegara 7a Junis,B’monang, Richie, Mardin, Niel, dan

lain-lain, yang telah membantu penulis dalam menulis skripsi ini dan

menemani hari-hari penulis di kost Panegara.

14.Seluruh teman-teman di PERMAHI, GMKI, dan KMK.

15.Seluruh rekan-rekan di Fakultas Hukum USU.

Akhir kata kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua

pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu

hukum di Indonesia.

Medan, Mei 2009 Penulis

Hasudungan P Sidauruk


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iv

ABSTRAKSI... vi

BAB I PENDAHULUAN A..Latar Belakang ... 1

B..Perumusan Masalah ... 6

C..Tujuan dan Manfaat Penulisan... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana... ... 8

2. Unsur-unsur Tindak Pidana... ... 11

3. Pengertian Pilkada... 14

4. Pengertian Tindak Pidana Pilkada ... 16

5. Perkembangan Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan Pilkada ... 17

F. Metode Penelitian ... 20

G. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II TINDAK PIDANA YANG TERDAPAT DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH A. Tindak Pidana yang berkenaan dengan Penetapan Pemilih dan pemenuhan persyaratan Pemilu...23


(5)

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH

A. Pertanggungjawaban Pidana

1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana... 28 2. Kesalahan dan Kemampuan bertanggungjawab... 31 3. Bentuk-bentuk Kesalahan dan Pertanggungjawaban

Pidana……….. ... 34 B. Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana dalam Pemilihan

Kepala Daerah menurut Perauran Hukum Positif yang

ada di Indonesia...40

BAB IV PERAN LEMBAGA PERADILAN DALAM SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH

A. Sengketa Pilkada ………... ... 46 B. Peran Lembaga Peradilan dalam Sengketa Hasil

Pilkada ………... 53

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan……….. ... 64 B. Saran………... 65


(6)

ABSTRAK

Nurmalawaty, SH,M.Hum1

Armansyah, SH,M.H

Hasudumgan Parlindungan Sidauruk

Diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia mempunyai tujuan untuk memberdayakan masyarakat lokal. Sebelumnya pemilhan kepala daerah seringkali turut dipengaruhi oleh pemerintah pusat atau oleh pemerintah provinsi untuk pemilihan kepala daerah kabupaten. Di era reformasi kewenangan untuk memilih seorang kepala daerah sepenuhnya dilakukan oleh rakyat. Pemilu 2004 menjadi pengalaman pertama rakyat menitipkan kepercayaannya langsung kepada tokoh pilihannya. Pemilihan DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden yang berlangsung dua tahap ternyata menjadi ajang pencitraan publik figur bagi para kontestan di atas panggung Nasional.

Permasalahan yang sering terjadi ialah tindak pidana apa saja yang terdapat dalam Pemilihan Kepala Daerah yang terjadi pada saat ini, bagaimanakah pertanggungjawaban pelaku yang melakukan Tindak Pidana dalam Pemilihan Kepala Daerah, dan bagaimana peran Lembaga Peradilan dalam menyelesaikan Sengketa dalam Pemilihan Kepala Daerah.

Metode yang digunakan dalam penulisan ini metode yuridis normatif, dimana penelitian hukum normatif biasanya dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan maka disebut juga dengan metode kepustakaan. Penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data sekunder yang berkaitan dengan pemilihan Kepala Daerah.

Peradilan memiliki peran penting untuk menyelesaikan konflik dan sengketa. Hal ni juga berlaku untuk sengketa hasil Pilkada. Para pihak yang tidak puas atas keputusan penyelenggara pilkada yaitu KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dapat membawa masalah ini ke Lembaga peradilan yang berhak mengadili. Oleh karena itu, peranan hakim yang mengadili sengketa Pilkada itu sanat penting. Salah satu syarat penting dari hakim yang mengadili sengketa Pilkada tesebut adalah