BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Motivasi 2.1.1 Pengertian Motivasi - Pengaruh Motivasi Diri Remaja dan Dukungan Keluarga Terhadap Perilaku Seks Beresiko Remaja Pada Seks Pranikah Di Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Motivasi

2.1.1 Pengertian Motivasi

  Motivasi berasal dan kata “motif’ yang artinya daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam diri subjek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Berawal dan kata “motif’, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan/mendesak (Sardiman, 2003).

  Menurut Purwanto (2002) motivasi adalah suatu usaha yang disadari untuk menggerakkan, mengarahkan dan menjaga tingkah laku seseorang agar ia terdorong untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil atau tujuan tertentu. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa motivasi adalah suatu perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai oleh timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan (Hamalik, 2002).

  Beberapa definisi motivasi tersebut, pada dasarnya mengandung maksud/arti yang sama yaitu bahwa motivasi adalah dorongan yang menyebabkan terjadinya suatu perbuatan guna mencapai suatu tujuan. Motivasi merupakan akibat dari interaksi seseorang dengan situasi tertentu yang dihadapi. Menurut Robbins (2006) menyatakan definisi dari motivasi yaitu kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi beberapa kebutuhan individual.

  Sedangkan menurut Siagian (2006) menyatakan bahwa motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk menggerakkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau ketrampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya. Dari pengertian in jelaslah bahwa dengan memberikan motivasi yang tepat, maka karyawan akan terdorong untuk berbuat semaksimal mungkin dalam melaksanakan tugasnya dan mereka akan meyakini bahwa dengan keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan dan berbagai sasarannya, maka kepentingan-kepentingan pribadinya akan terpelihara pula.

  Sunarti (2003) menyatakan ada tiga faktor utama yang memengaruhi motivasi yaitu perbedaan karakteristik individu, perbedaan karakteristik pekerjaan, dan perbedaan karakteristik lingkungan kerja. Dalam rangka mendorong tercapainya produktivitas kerja yang optimal maka seorang manajer harus dapat mempertimbangkan hubungan antara ketiga faktor tersebut dan hubungannya terhadap perilaku individu. Pada dasarnya motivasi individu dalam bekerja dapat memacu karyawan untuk bekerja keras sehingga dapat mencapai tujuan mereka. Hal ini akan meningkatkan produktivitas kerja individu yang berdampak pada pencapaian tujuan dari organisasi.

  Purnomo (2004) menyatakan ada tiga faktor sebagai sumber motivasi yaitu: 1. Kemungkinan untuk berkembang 2.

  Jenis pekerjaan, dan 3. Apakah mereka dapat merasa bangga menjadi bagian dari organisasi tempat mereka bekerja.

  Disamping itu ada beberapa aspek yang berpengaruh terhadap motivasi kerja individu, yaitu rasa aman dalam bekerja, mendapatkan gaji yang adil dan kompetitif, lingkungan kerja yang menyenangkan, penghargaan atas prestasi kerja dan perlakuan yang adil dari manajemen. Dengan melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan, pekerjaan yang menarik dan menantang, kelompok dan rekan-rekan kerja yang menyenangkan, kejelasan akan standar keberhasilan serta bangga terhadap pekerjaan dan perusahaan dapat menjadi faktor pemicu kerja karyawan.

2.1.2 Komponen Motivasi

  Motivasi mempunyai tiga komponen utama yaitu kebutuhan, dorongan dan tujuan. Kebutuhan terjadi bila individu merasa ada ketidakseimbangangan antara apa yang mereka miliki dengan apa yang mereka harapkan. Dorongan merupakan kekuatan mental untuk melakukan kegiatan dalam rangka memenuhi harapan.

  Dorongan merupakan kekuatan mental yang berorientasi pada pemenuhan harapan atau pencapaian tujuan. Dorongan yang berorientasi pada tujuan tersebut merupakan inti daripada motivasi (Dimyati, 2002).

1. Kebutuhan

  Teori motivasi berdasarkan Kebutuhan dikemukakan oleh Arikunto (2007), menyatakan bahwa ada tiga hal penting yang menjadi kebutuhan manusia, yaitu: a.

  Need for achievement (kebutuhan akan prestasi) b.

  Need for afiliation (kebutuhan akan hubungan sosial/hampir sama dengan soscialneed-nya Maslow) c.

  Need for Power (dorongan untuk mengatur) 2. Dorongan

  Kebutuhan-kebutuhan pada diri seseorang a. Tingkah laku individu yang didorong oleh kebutuhan berprestasi akan tampak sebagai berikut:

  1). Berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara baru 2). Mencari umpan balik tentang perbuatannya 3) Mengambil tanggung jawab atas perbuatannya b. Tingkah laku individu yang didorong oleh kebutuhan persahabatan akan tampak sebagai berikut:

  1) Lebih memerhatikan segi hubungan pribadi yang ada dalam pekerjaan 2) Melakukan pekerjaan lebih efektif apabila bekerjasama 3) Mencari persetujuan atau kesepakatan dari orang lain 4) Lebih suka dengan orang lain daripada sendirian c. Tingkah laku individu yang didorong oleh kebutuhan berkuasa akan tampak sebagai berikut:

  1). Berusaha menolong orang lain walaupun pertolongan itu tidak diminta 2) Sangat aktif menentukan arah kegiatan organisasi 3) Sangat peka terhadap struktur pengaruh antarpribadi 3. Tujuan

  Tujuan merupakan hal yang ingin dicapai oleh seseorang atau individu dalam suatu organisasi. (Sutrisno, 2010). Tujuan tersebut mengarahkan semua perilaku seseorang, dalam hal ini perilaku belajar individu untuk dapat memahami dan mengerti tentang perilaku seks berisiko pada remaja.

2.1.3 Jenis dan Sifat Motivasi

  Menurut jenisnya motivasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu motivasi primer dan motivasi skunder. Motivasi primer adalah motivasi yang didasarkan pada motif-motif dasar. Motif-motif dasar tersebut umumnya berasal dari segi biologis atau jasmani manusia. Sedangkan motivasi sekunder adalah motivasi yang dipelajari.

  Sebagai contoh, orang yang lapar akan tertarik pada makanan tanpa belajar (Dimyati; 2002).

  Sifat motivasi dibagi menjadi dua yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi/dorongan yang dikarenakan orang tersebut senang melakukannya. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah dorongan terhadap perilaku seseorang yang ada di luar perbuatan yang dilakukannya. Seseorang yang mempunyai motivasi atau dorongan yang lahir dan dalam dirinya sendiri akan lebih mudah dalam mencapai suatu keberhasilan dibandingkan dengan orang yang membutuhkan motivasi atau faktor pendorong yang berasal dari luar dirinya. Hal ini terjadi karena adanya inisiatif atau kemauan serta keinginan untuk selalu meraih sesuatu yang diharapkan oleh seseorang yang bermotivasi intrinsik tersebut. Biasanya orang yang demikian memiliki sifat aktif. Lain halnya dengan orang yang memiliki sifat pasif yang selalu harus digerakkan oleh pihak lain sehingga kemauan untuk berusaha meraih cita-cita sedikit lamban.

2.1.4 Fungsi Motivasi

  Untuk memperoleh hasil belajar yang baik diperlukan adanya motivasi. Makin tepat motivasi yang diberikan, akan berhasil pula dalam mempelajari suatu pelajaran.

  Jadi motivasi ini akan senantiasa menentukan intensitas usaha belajar bagi para siswa. Sehubungan dengan hal tersebut ada tiga fungsi motivasi, antara lain: a.

  Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi.

  b.

  Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai.

  c.

  Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.

2.2 Konsep Perilaku

2.2.1 Definisi Perilaku

  Dari segi aspek biologis, perilaku menurut Notoatmodjo (2006) adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari segi biologis makhluk hidup mulai dari binatang sampai manusia, mempunyai aktifitas masing masing. Manusia sebagai salah satu makhluk hidup mempunyai kegiatan yang sangat luas, sepanjang kegiatan yang dilakukannya, yaitu antara lain: berjalan, berbicara, bekerja, menulis, membaca, berpikir, dan seterusnya.

  Secara singkat, aktifitas manusia tersebut dikelompokkan menjadi 2 yakni: a. Akivitas-aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain misalnya: berjalan, bernyanyi, tertawa dan sebagainya.

  b.

  Aktivitas yang tidak dapat diamati orang lain (dari luar) misalnya: berpikir, berfantasi, bersikap dan sebagainya Perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Menurut Ensikiopedia Amerika perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan reaksi organisme terhadap lingkungannya. Skinner (1938) seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan Skinner (1938) dalam Notoatamodjo (2007).

  Skinner (1938) dalam Notoatamodjo (2010), menyatakan faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku.

  Determinan perilaku dibedakan menjadi dua yaitu: 1.

  Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

  2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini merupakan faktor dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

  Selanjutnya seorang ahli psikologi Skiner yang dikutip Notoatmodjo (2007) merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian perilaku manusia terjadi melalui melalui proses: Stimulus

  →Organisme→Respons, sehingga teori Skiner ini disebut teori “ S-O-R “ (stimulus–organisme–respons), Selanjutnya, teori Skiner menjelaskan adanya dua jenis respons, yaitu : a.

  Responden respon atau refleksif, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu yang disebut eliciting stimuli, karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap. Misalnya: makanan lezat akan menimbulkan nafsu untuk makan, cahaya terang akan menimbulkan reaksi mata tertutup dan sebagainya.

  b.

  Operan respons atau instrumental respons, yakni respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimuli atau rangsangan yang lain. Perangsang yang terakhir ini disebut reinforcing stimuli atau reinforcer, karena berfungsi untuk memperkuat respons.

  Berdasarkan teori “S–O–R” tersebut maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu : a. Perilaku tertutup (Covert behavior )

  Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang, respons seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk “unubservable behavior” atau “covert behavior” yang dapat diukur adalah pengetahuan dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

  b. Perilaku terbuka (Overt behavior ).

  Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau “observable

  behavior ” (Notoatmodjo, 2007).

2.2.2 Ilmu-ilmu Dasar Perilaku

  Uraian–uraian sebelumnya disebutkan bahwa perilaku itu terbentuk di dalam diri seseorang dari dua faktor utama yakni : stimulus merupakan faktor dari luar diri seseorang tersebut (factor eksternal), dan respons merupakan faktor dari dalam diri orang yang bersangkutan/factor internal (Notoatmodjo, 2007).

  Faktor eksternal atau stimulus adalah faktor lingkungan, baik lingkungan fisik, maupun non fisik dalam bentuk sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Dari penelitian-penelitian yang ada faktor eksternal yang paling besar perannya dalam membentuk perilaku manusia adalah faktor sosial dan budaya dimana seseorang tersebut berada. Sedangkan faktor internal yang menentukan seseorang itu merespons stimulus dari luar adalah: perhatian, pengamatan, persepsi, motivasi, fantasi, sugesti dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007).

  Faktor sosial sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku antara lain, struktur sosial, pranata-pranata sosial dan permasalahan-permasalahan sosial yang lain. Ilmu yang mempelajari masalah-masalah ini adalah sosiologi. Faktor budaya sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku seseorang antara lain: nilai-nilai, adat istiadat, kepercayaan, kebiasaan masyarakat, tradisi dan sebagainya. Ilmu yang mempelajari masalah-masalah ini adalah antropologi. Sedangkan faktor- faktor internal yang mempengaruhi terbentuknya perilaku seperti perhatian, motivasi, persepsi, inteligensi, fantasi dan sebagiannya dicakup oleh psikologi. Dapat disimpulkan bahwa ilmu perilaku dibentuk atau dikembangkan dari 3 cabang ilmu yaitu, psikologi, sosiologi dan antropologi sehingga dalam ilmu perilaku terdapat konotasi atau pengertian jamak “ilmu- ilmu perilaku” atau “behavioral sciences (Notoatmodjo, 2007).

2.2.3 Domain Perilaku

  Perilaku adalah keseluruhan (totalitas) pemahaman dan seseorang yang merupakan hasil bersama antara faktor internal dan eksternal. Perilaku seseorang sangat kompleks dan mempunyai bentangan yang sangat luas (Notoatmodjo, 2010). Benyamin Blomm (1908) seorang ahli psikologi pendidikan, membedakan adanya 3 area wilayah, ranah atau domain perilaku ini yakni kognitif (cognitive), afektif

  

(affective ) dan psikomotor (chompsyotor). Kemudian oleh ahli pendidikan di

  Indonesia, ke tiga domain diterjemahkan ke dalam cipta (kognitif), rasa (afektif) dan karsa (psikomotor), atau peri cipta, peri rasa dan peri tindak (Notoatmodjo, 2007).

  Dalam perkembangan selanjutnya berdasarkan pembagian domain oleh Bloom ini dan untuk kepentingan pendidikan praktis, dikembangkan menjadi tiga tingkat ranah perilaku sebagai berikut:

1. Pengetahuan (Knowledge)

  Pengetahuan (knowledge) berarti apa yang telah diketahui, dalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pengetahan atau tahu ialah mengerti sesudah melihat,atau tahu sesudah menyaksikan, mengalami atau diajar.

  Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya seperti mata, telinga, hidung dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat di pengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata).

  Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda. Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkatan pengetahuan yaitu: a. Tahu (Know )

  Tahu diartikan hanya sebagai recall (mengingat kembali) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima, oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.

  b. Memahami (Comprehension) Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tertentu, tidak dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpresatikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. Misalnya orang yang memahami cara pemberantasan penyakit demam berdarah, bukan sekedar menyebutkan 3 M (mengubur, menutup, dan menguras), tetapi harus dapat menjelaskan mengapa harus menutup, menguras dan sebagainya tempat-tempat penampungan air tersebut.

  c. Aplikasi (Aplication) Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain.

  d. Analisis (Analysis) Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. e. Sintesis (Synthesis ) Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki.

  f. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.

2. Sikap (Attitude)

  Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Desmita (2006) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok: a.

  Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.

  b.

  Kehidupan emosional atau evaluasi tehadap suatu objek.

  c.

  Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave).

  Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total

  

atitude ). Dalam penentuan sikap yang utuh ini pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan

emosi memegang peranan penting.

  Menurut Purwanto (2002) sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecendrungan untuk bertindak terhadap suatu obyek. Ciri ciri sikap adalah: a.

  Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungannya dengan obyeknya. Sifat ini membedakannya dengan sifat-sifat biogenetis seperti lapar, haus, kebutuhan akan istirahat.

  b.

  Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan karena itu pula sikap dapat berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat- syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.

  c.

  Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu obyek. Dengan kata lain, sikap itu terbentuk, dipelajari, atau berubah senantiasa berkenaan dengan suatu obyek tertentu yang dirumuskan dengan jelas.

  d.

  Obyek sikap itu dapat merupakan suatu hal tertentu, tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut.

  e.

  Sikap mempunyai segi motivasi dan segi-segi perasaan. Sikap inilah yang membedakan sikap dan kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang. Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. Dalam sikap positif, kecendrungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek tertentu. Sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecendrungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai obyek tertentu. Sikap dibedakan atas beberapa tingkatan: a.

  Menerima (Receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulasi yang diberikan (objek).

  b.

  Merespon (Responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dan sikap.

  c.

  Menghargai (Valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

  d.

  Bertanggung jawab (Responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang tinggi.

3. Tindakan atau Praktek (Practice) Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour).

  Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan. Tindakan dibedakan atas beberapa tingkatan: a.

  Persepsi (Perception) Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.

  b.

  Respon terpimpin (Guided Response)

  Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.

  c.

  Mekanisme (Mecanism) Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.

  d.

  Adopsi (Adoption) Adopsi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.

2.2.4 Teori Mengenai Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku

1. Teori WHO

  Tim kerja WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu adalah karena adanya 6 alasan pokok, yaitu: a.

  Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain.

  b.

  Kepercayaan sering atau diperoleh dari orang tua, kakek dan nenek. Seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu.

  c.

  Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dan pengalaman sendiri atau dan orang lain yang paling dekat.

  d.

  Orang penting sebagai referensi Perilaku orang, lebih-lebih anak kecil, lebih banyak dipengaruhi oleh orang-orang yang dianggap penting. Apabila seseorang itu penting untuknya, maka apa yang ia katakan atau perbuat cenderung untuk dicontoh. e.

  Sumber-sumber daya (resources) Maksudnya adalah fasilitas-fasilitas uang waktu tenaga dan sebagainya. Semua itu berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau kelompok masyarakat, yang dapat bersifat positif ataupun negatif.

  f.

  Perilaku normal, kebiasaan nilai-nilai, dan penggunaan sumber-sumber di dalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup yang pada umumnya disebut kebudayaan (Notoadmodjo, 2007).

2.3 Dukungan Sosial

2.3.1 Orang Penting Sebagai Referensi

  Dukungan sosial sangat diperlukan oleh siapa saja dalam berhubungan dengan orang lain demi melangsungkan hidupnya di tengah-tengah masyarakat. “Perkawinan dan keluarga barang kali merupakan suatu dukungan sosial yang paling penting” (Rodin dan Salovey dalam Smet, 1994:133). Seseorang yang sudah menikah atau memiliki teman pendamping yang dapat dipastikan akan memberikan dukungan sosial ketika seseorang dihadapkan pada situasi-situasi yang menekan. “Dukungan sosial merupakan salah satu fungsi dari ikatan sosial, dan ikatan-ikatan sosial tersebut menggambarkan tingkat kualitas umum dan hubungan interpersonal” (Rock, dalam Smet, 1994 :134).

  Dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal dan nonverbal, bantuan yang nyata atau tindakan yang diberikan oleh orang lain atau didapat karena hubungan mereka dengan lingkungan dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi dirinya (Gottlieb, dalam Smet, 1994 :135).

  Sarafino dalam Smet, (1994 :136) mengatakan bahwa “dukungan sosial mengacu pada kesenangan yang dirasakan, penghargaan akan kepedulian, atau membantu orang menerima dan orang-orang atau kelompok-kelompok lain”. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah salah satu fungsi dari ikatan sosial yang mengacu pada kesenangan, ketenangan, bantuan bermanfaat yang berupa informasi verbal atau nonverbal, bantuan nyata atau tindakan, yang diterima seseorang dan orang lain atau kelompok lain, yang didapat karena adanya hubungan sosial (interaksi), dimana hal itu memengaruhi perilakunya.

  a.

  Fungsi Dasar Dukungan Sosial Cohen dan Willis (dalam Bishop, 1994:170) mengatakan bahwa dukungan sosial mempunyai empat fungsi dasar yaitu:

  1) Dukungan sosial membantu individu untuk merasa lebih baik terhadap dirinya sendiri dan hubungannya dengan orang lain.

  2) Ketika suatu kejadian dirasakan ambigu atau tidak dapat dipahami, orang lain dapat menawarkan informasi-informasi yang penting tentang bagaimana cara memahami dan mengatasi kejadian itu.

  3) Memberikan bantuan secara langsung yang berbentuk barang atau jasa untuk orang lain.

  4) Membantu menghabiskan waktu dengan orang lain dalam suatu aktivitas rekreasi atau waktu luang, dan menolong individu mengatasi situasi yang sulit dengan menambahkan perasaan yang positif.

  b.

  Jenis-jenis Dukungan Sosial House (dalam Smet, 94:136) membedakan empat jenis atau dimensi dukungan sosial yaitu:

  1) Dukungan Emosional adalah mencakup ungakapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan.

  2) Dukungan Penghargaan yaitu terjadi lewat ungkapan hormat (penghargaan) positif untuk orang itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain.

3) Dukungan Instrumental yaitu mencakup bantuan secara langsung.

  4) Dukungan Informatif yaitu mencakup memberi nasehat, petunjuk-petunjuk, saran- saran atau umpan balik.

  Dukungan sosial sangat diperlukan oleh siapa saja baik orang normal maupun abnormal untuk berhubungan dengan orang lain. Arti dan cakupan mengenai makna dari dukungan sosial sangat luas dan mendalam. Dukungan sosial yang didapat oleh setiap individu sangat beragam. Dukungan sosial yang diterimapun tergantung pada keadaannya. Dukungan emosional lebih terasa dan dibutuhkan jika diberikan pada orang yang sedang mengalami musibah atau kesusahan. Sama halnya dengan individu yang abnormal atau mengalami kelainan baik pada fisik maupun psikologisnya, pemberian dukungan sosial ini sangat berarti bagi orang tersebut.

  Dukungan sosial yang diterima seseorang pada saat dan waktu yang tepat dapat memberikan semangat atau motivasi pada individu tersebut dalam menjalani kehidupan dengan semangat karena ada seseorang yang memperhatikan dan mendukungnya.

2.3.2 Dukungan Keluarga

  Menurut Sarwono (2008), dukungan adalah suatu upaya yang diberikan kepada orang lain, baik moril maupun materil untuk memotivasi orang tersebut dalam melaksanakan kegiatan. Menurut Santoso (2001), dukungan yaitu suatu usaha untuk menyokong sesuatu, atau suatu daya upaya untuk membawa sesuatu.

  Bailon dan Maglaya dalam Sudiharto (2007) menyatakan bahwa keluarga adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka hidup dalam satu rumah tangga, melakukan interaksi satu sama lain menurut peran masing-masing, serta menciptakan dan mempertahankan suatu budaya. Keluarga juga dapat diartikan suatu kelompok yang terdiri dan dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan darah, perkawinan, atau adopsi serta tinggal bersama.

  Dukungan keluarga merupakan suatu proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan berbeda-beda pada setiap tahap siklus kehidupan (Friedman, 1998). Sudiharto (2007) menyatakan, setiap anggota keluarga mempunyai struktur peran formal dan informal. Misalnya, ayah mempunyai peran formal sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah. Peran informal ayah adalah sebagai panutan dan pelindung keluarga. Struktur kekuatan keluarga meliputi kemampuan berkomunikasi, kemampuan keluarga untuk saling berbagi, kemampuan sistem pendukung diantara anggota keluarga, kemampuan perawatan diri, dan kemampuan menyelesaikan masalah.

2.3.3 Fungsi Dukungan Keluarga

  Caplan (1964) dalam Friedman (1998) menjelaskan bahwa keluarga memiliki beberapa fungsi dukungan yaitu: a.

  Dukungan informasional Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator (penyebar) informasi tentang dunia. Menjelaskan tentang pemberian saran, sugesti, informasi yang dapat digunakan mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi.

  b.

  Dukungan penilaian Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator indentitas anggota keluarga di antaranya memberikan support, penghargaan, perhatian.

  c.

  Dukungan instrumental Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, di antaranya: kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, terhindarnya penderita dan kelelahan. d.

  Dukungan emosional Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dan dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan.

  2.3.4 Sumber Dukungan Keluarga

  Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan sosial yang dipandang oleh keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses/diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan). Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial kelurga internal, seperti dukungan dan suami/istri atau dukungan dan saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal (Friedman 1998).

  2.3.5 Manfaat Dukungan Keluarga

  Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan. Namun demikian, dalam semua tahap siklus kehidupan, dukungan sosial keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Friedman, 1998).

  Wills (1985) dalam Friedman (1998) menyimpulkan bahwa baik efek-efek penyangga (dukungan sosial menahan efek-efek negatif dan stres terhadap kesehatan) dan efek-efek utama (dukungan sosial secara langsung memengaruhi akibat-akibat dari kesehatan) pun ditemukan. Sesungguhnya efek-efek penyangga dan utama dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan boleh jadi berfungsi bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit dan di kalangan kaum tua, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi (Ryan dan Austin dalam Friedman, 1998).

2.3.6 Faktor yang Memengaruhi Dukungan Keluarga

  Menurut Feiring dan Lewis (1984 dalam Friedman 1998), ada bukti kuat dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil secara kualitatif menggambarkan pengalaman-pengalaman perkembangan. Anak-anak yang berasal dari keluarga kecil menerima lebih banyak perhatian daripada anak-anak dari keluarga yang besar. Selain itu, dukungan yang diberikan orangtua (khususnya ibu) juga dipengaruhi oleh usia.

  Faktor-faktor yang memengaruhi dukungan keluarga lainnya adalah kelas sosial ekonomi orangtua. Kelas sosial ekonomi disini meliputi tingkat pendapatan, pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan. Dalam keluarga kelas menengah, suatu hubungan yang lebih adil mungkin ada, sementara dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih otoritas atau otokrasi. Selain itu orang tua dengan kelas sosial menengah mempunyai tingkat dukungan, afeksi dan keterlibatan yang lebih tinggi daripada orang tua dengan kelas sosial rendah (Akhmadi, 2010).

  Faktor-faktor yang memengaruhi dukunagan keluarga adalah: 1. Faktor internal a.

  Pendidikan dan tingkat pengetahuan Keyakinan seseorang terhadap adanya dukungan terbentuknya oleh variabel intelektual yang terdiri dari pengetahuan, latar belakang pendidikan, dan pengalaman masa lalu. Kemampuan kognitif akan membentuk cara berpikir seseorang termasuk kemampuan untuk memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan kesehatan.

  b.

  Faktor emosi Seseorang yang mempunyai respon stres dalam setiap perubahan hidupnya cenderung berespon terhadap berbagai tanda sakit, mungkin dilakukan dengan cara mengkhawatirkan bahwa penyakit tersebut dapat mengancam nyawanya.

  c.

  Spiritual Aspek spiritual dapat dilihat bagaimana seseorang menjalani kehidupannya, mencakup nilai dan keyakinan yang dilaksanakan hubungan antar keluarga atau teman, dan kemampuan mencari harapan dan arti hidup.

2. Faktor eksternal a.

  Praktik di keluarga Cara bagaimana keluarga memberikan dukungan biasanya mempengaruhi remaja dalam menjaga kesehatannya. Misalnya orang tua yang sering mengajak anaknya memeriksakan kesehatan rutin, maka ketika punya anak dia akan melakukan hal yang sama. b.

  Faktor sosial ekonomi Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang, dia akan tanggap terhadap terhadap gejala penyakit yang dirasakannya, sehingga akan segera mencari pengobatan ketika merasa ada gangguan pada kesehatannya.

  c.

  Latar belakang budaya Latar belakang budaya seseorang memengaruhi keyakinan, nilai dan kebiasaan, dalam memberikan dukungan termasuk cara pelaksanaan kesehatan pribadi (Hady, 2009).

2.4 Perilaku Seksual Remaja

  Menurut Sarwono (2008), perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dari lawan jenisnya maupun dengan sesama jenisnya. Seperti yang kita ketahui umumnya remaja laki-laki lebih mendominasi dalam melakukan tindak perilaku seksual bila dibandingkan dengan remaja perempuan. Hal ini dikarenakan banyaknya faktor yang membuat remaja laki-laki untuk menyalurkan hasrat seksualitasnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa negara maju menunjukkan bahwa remaja laki-laki lebih banyak melakukan hubungan seksual pada usia lebih muda bila dibandingkan dengan remaja perempuan.

  Sedangkan faktor-faktor yang memengaruhi perilaku seksual yang terjadi pada remaja, antara lain:

  1. Faktor Internal a.

  Tingkat perkembangan seksual (fisik/psikologis) Dimana perbedaan kematangan seksual akan menghasilkan perilaku seksual yang berbeda pula. Misalnya anak yang berusia 4-6 tahun berbeda dengan anak 13 tahun.

  b.

  Pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi Anak yang memiliki pemahaman secara benar dan proporsional tentang kesehatan reproduksi cenderung memahami resiko perilaku serta alternatif cara yang dapat digunakan untuk menyalurkan dorongan seksualnya.

  c.

  Motivasi Perilaku yang pada dasarnya berorientasi pada tujuan atau termotivasi untuk memperoleh tujuan tertentu. Perilaku seksual seseorang memiliki tujuan untuk memperoleh kesenangan, mendapatkan perasaan aman dan perlindungan, atau untuk memperoleh uang, misalnya pekerja seks seksual (PSK).

  2. Faktor Eksternal a.

  Keluarga Kurangnya komunikasi secara terbuka antara orang tua dengan remaja dapat memperkuat munculnya perilaku menyimpang pada remaja.

  b.

  Pergaulan Pada masa pubertas, perilaku seksual pada remaja sangat dipengaruhi oleh lingkungan pergaulannya dimana pengaruh dari teman sebaya sebagai pemicu terbesar dibandingkan orangtuanya atau anggota keluarga lainnya. c.

  Media massa Kemajuan teknologi mengakibatkan maraknya timbul berbagai macam media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan yang paling dicari oleh remaja adalah internet. Dari internet, remaja dapat dengan mudah mengakses informasi yang tidak dibatasi umur, tempat dan waktu. Informasi yang diperoleh biasanya akan diterapkan dalam kehidupan kesehariannya. Banyaknya perilaku seksual yang terjadi muncul karena adanya dorongan seksual atau kegiatan yang tujuannya hanya untuk mendapatkan kesenangan organ seksual melalui berbagai perilaku. Hal ini sejalan dengan pendapat Wahyudi (2004), beberapa perilaku seksual secara rinci dapat berupa:

  1. Berfantasi merupakan perilaku membayangkan dan mengimajinasikan aktivitas seksual yang bertujuan untuk menimbulkan perasaan erotisme.

  2. Pegangan tangan dimana perilaku ini tidak terlalu menimbulkan rangsangan seksual yang begitu kuat namun biasanya muncul keinginan untuk mencoba perilaku lain.

  3. Cium kening berupa sentuhan pipi dengan pipi atau pipi dengan bibir.

  4. Cium basah berupa sentuhan bibir ke bibir.

  5. Meraba merupakan kegiatan pada bagian-bagian sensitive rangsang seksual seperti leher, dada, paha, alat kelamin dan lain-lain.

  6. Berpelukan, perilaku ini hanya menimbulkan perasaan tenang, aman, nyaman disertai rangsangan seksual (apabila mengenai daerah sensitif).

  7. Masturbasi (wanita) atau Onani (laki-laki) merupakan perilaku merangsang organ kelamin untuk mendapatkan kepuasan seksual dan dilakukan sendiri.

  8. Oral seks merupakan perilaku seksual dengan cara memasukkan alat kelamin ke dalam mulut lawan jenis.

  9. Petting merupakan seluruh perilaku yang non intercourse (hanya sebatas pada menggesekkan alat kelamin).

  10. Intercourse (senggama) merupakan aktivitas seksual dengan memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin wanita.

2.5 Kesehatan Reproduksi

  Sesuai dengan defenisi WHO (1992) dalam Anshor (2006), kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan, dalam segala aspek yang berhubungan dengan system reproduksi, fungsi serta prosesnya. Pengertian sehat di sini tidak semata-mata berarti bebas penyakit atau bebas dari kecacatan namun juga sehat secara mental serta sosial kultural. Remaja perlu mengetahui kesehatan reproduksi agar memiliki informasi yang benar mengenai proses reproduksi serta berbagai faktor yang ada di sekitarnya. Dengan informasi yang benar diharapkan remaja memiliki sikap dan tingkah laku yang bertanggung jawab mengenai proses-proses reproduksi yang dialaminya.

  Pengetahuan dasar yang perlu diberikan kepada remaja agar mereka mempunyai wawasan kesehatan reproduksi yang baik adalah:

  1. Pengenalan mengenai sistem, proses dan fungsi alat reproduksi (aspek tumbuh kembang remaja).

  2. Mengapa remaja perlu mendewasakan usia kawin serta bagaimana merencanakan kehamilan agar sesuai dengan keinginannya dan pasangannya.

  3. Pengenalan mengenai Penyakit menular seksual dan HIV/AIDS serta dampaknya terhadap kondisi kesehatan reproduksi.

  4. Bahaya narkoba dan miras pada kesehatan reproduksi.

  5. Peran dan pengaruh media terhadap perilaku seksual.

  6. Kekerasan seksual dan bagaimana menghadapinya.

  7. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi termasuk memperkuat kepercayaan diri agar mampu menangkal hal-hal yang bersifat negatif.

  8. Hak-hak reproduksi.

2.6 Hubungan Seksuai Pra-Nikah

  Hubungan seksual ialah masuknya penis ke dalam vagina. Bila terjadi ejakulasi (pengeluaran cairan sperma) dengan posisi alat kelamin laki-laki berada dalam vagina memudahkan pertemuan sel telur yang menyebabkan terjadinya pembuahan dan kehamilan, sedangkan hubungan seksual pra-nikah merupakan tindakan seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing individu (Anonim, 2005).

  Berbagai perilaku seksual remaja yang belum saatnya untuk melakukan hubungan seksual secara wajar antara lain dikenal sebagai berikut:

  1. Masturbasi atau onani yaitu suatu kebiasaan buruk berupa manipulasi terhadap alat genital dalam rangka menyalurkan hasrat seksual pemenuhan kenikmatan yang sering kali menimbulkan guncangan pribadi dan emosi.

  2. Berpacaran dengan berbagai perilaku seksual yang ringan seperti sentuhan, pegangan tangan sampai ciuman dan sentuhan-sentuhan seks yang pada dasarnya adalah keinginan untuk menikmati dan memuaskan dorongan seksual.

  3. Berbagai kegiatan yang mengarah kepada pemuasan dorongan seksual yang pada dasarnya menunjukkan tidak berhasilnya seseorang dalam mengendalikan atau kegagalan dalam mengalihkan dorongan tersebut ke kegiatan lain yang masih dapat dikerjakan. Contohnya, menonton atau membaca hal-hal yang berbau pornogafi, dan berfantasi.

  4. Dorongan atau hasrat untuk melakukan hubungan seksual selalu muncul pada remaja, oleh karena itu bila ada penyaluran yang tidak sesuai (pra-nikah) maka harus dilakukan usaha untuk memberi pengertian dan pengetahuan mengenai hal tersebut (Gunarsa, 2000).

  Ada beberapa faktor yang memengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seks untuk pertama kali:

  1. Waktu/saat mengalami pubertas. Saat itu mereka tidak pernah memahami tentang apa yang dialaminya.

  2. Kontrol sosial kurang tepat yaitu terlalu ketat atau terlalu longgar.

  3. Frekuensi pertemuan dengan pacarnya. Mereka mempunyai kesempatan untuk melakukan, pertemuan yang makin sering tanpa kontrol yang baik sehingga hubungan akan makin mendalam.

  4. Kondisi keluarga yang tidak memungkinkan untuk mendidik anak-anak untuk memasuki masa remaja dengan baik.

  5. Status ekonomi. Mereka yang hidup dengan fasilitas yang berkecukupan akan mudah mendapatkan akses ke tempat-tempat rawan yang memungkinkan adanya kesempatan melakukan hubungan seksual. Sebaliknya kelompok yang ekonomi lemah tetapi banyak kebutuhan/tuntutan, mereka mencari kesempatan memanfaatkan dorongan seksnya demi mendapatkan sesuatu.

  6. Tekanan dari teman sebaya. Kelompok sebaya kadang-kadang saling ingin menunjukkan kematangannya. Misalnya : mereka (pria) ingin menunjukkan bahwa mereka mampu membujuk pasangannya untuk melakukan hubungan seks.

  7. Adanya keinginan untuk menunjukkan cinta pada pacarnya.

  8. Penerimaan aktifitas seksual dari pacarnya.

  9. Terjadinya peningkatan rangsangan seksual akibat peningkatan kadar hormon seksual.

2.7 Dampak dari Melakukan Hubungan Seksual Pra-Nikah

2.7.1 Aspek Medis

  Dari aspek medis, melakukan hubungan seksual pra-nikah memiliki banyak konsekuensi, yaitu sebagai berikut:

  a. Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD) pada Usia Muda

  Mudanya usia ditambah lagi minimnya informasi tentang “bagaimana seorang perempuan bisa hamil”, mempertinggi kemungkinan terjadinya kasus kehamilan yang tidak diinginkan. Menurut data PKBI (Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia) 37.700 perempuan mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Dari jumlah itu 30% adalah masih remaja; 27,0% belum menikah; 12,5% masih berstatus pelajar dan sisanya adalah ibu rumah tangga (Adiningsih, 2007).

  b. Aborsi

  Dengan status mereka yang belum menikah, maka besar kemungkinan kehamilan tersebut tidak dikehendaki dan aborsi merupakan salah satu alternatif yang kerap diambil oleh remaja. Setiap tahun terdapat sekitar 2,6 juta kasus aborsi di Indonesia, yang berarti setiap jam terjadi sekitar 300 tindakan pengguguran janin dengan resiko kematian ibu. Menurut Deputi Bidang Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Siswanto Agus Wilopo, sedikitnya 700 ribu di antaranya dilakukan oleh remaja (perempuan) berusia di bawah 20 tahun. Sebanyak 11,13% dari semua kasus aborsi dilakukan karena kehamilan yang tidak dinginkan (Adiningsih, 2007).

  3. Meningkatkan resiko terkena kanker rahim Boyke Dian Nugroho mengungkapkan bahwa hubungan seksual yang dilakukan sebelum usia 17 tahun resiko terkena penyakit kanker mulut rahim menjadi empat hingga lima kali lipat lebih tinggi (Adiningsih, 2007).

c. Terjangkit Penyakit Menular Seksual (PMS)

  PMS adalah penyakit yang dapat ditularkan dan seseorang kepada orang lain melalui hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan baik melalui vagina, oral maupun anal. Bila tidak diobati dengan benar, penyakit mi dapat berakibat serius bagi kesehatan reproduksi, seperti terjadinya kemandulan, kebutaan pada bayi yang barn lahir bahkan kematian. Ada banyak macam penyakit yang bisa digolongkan sebagai PMS. Di Indonesia yang banyak ditemukan saat ini adalah gonore (GO), sifillis (raja singa), herpes kelamin, kiamidia, tikomoniasis vagina, kutil kelamin hingga HIV/AIDS (Djuanda, 2005).

2.7.2 Aspek Sosial-Psikologis

  Dari aspek-psikologis, melakukan hubungan seksual pra-nikah akan menyebabkan remaja menjadi memiliki perasaan dan kecemasan tertentu, sehingga bisa memengaruhi kondisi kualitas sumber daya manusia (remaja) di masa yang akan datang. Kualitas SDM remaja ini adalah: a.

  Kualitas Mentalis; kualitas mentalis remaja laki-laki dan perempuan yang terlibat perilaku seksual pra-nikah akan rendah bahkan cenderung memburuk. Mereka tidak memiliki etos kerja dan disiplin yang tinggi, karena dibayangi masa lalunya. Cepat menyerah pada nasib, tidak sanggup menghadapi tantangan dan ancaman hidup, rendah diri dari berkompetisi.

  b.

  Kualitas kesehatan reproduksi; hal ini erat kaitannya dengan dampak medis karena dampak fisik perempuan khususnya. Sedangkan laki-laki akan memiliki resiko terkena impotensi. c.

  Kualitas keberfungsian keluarga; seandainya mereka (remaja) menikah dengan cara terpaksa, akan mengakibatkan kurang dipahaminya peran-peran baru yang disandangnya untuk membentuk keluarga yang sakinah d. Kualitas ekonomi keluarga; kualitas ekonomi yang dibangun oleh keluarga yang menikah karena terpaksa, akan mengalami kurangnya persiapan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga.

  e.

  Kualitas pendidikan; remaja yang terlibat perilaku seksual pra-nikah, kernudian menikah, tentunya akan memiliki keterbatasan terhadap pendidikan formal.

  f.

  Kualitas partisipasi dalam pembangunan. Karena kondisi fisik, mental dan sosial yang kurang baik, remaja yang terlibat perilaku seksual pra-nikah, tidak dapat berpatisipasi dalam pembangunan (Iniany, 2005).

2.8 Landasan Teori

  Beberapa teori lain yang telah dicoba untuk mengungkapkan determinan perilaku dan analisis faktor-faktor yang memengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan antara lain: 1.

  Teori WHO Tim kerja dan WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu berprilaku tertentu adalah karena adanya 4 alasan pokok: a.

  Pemikiran dan perasaan (thought and feeling) yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan-kepercayaan dan penilaian-penilaian seseorang terhadap objek. b.

Dokumen yang terkait

Studi Kualitatif Perilaku Seks Pranikah Remaja Putri Di Kota Gunungsitoli Tahun 2013

10 70 131

Pengaruh Motivasi Diri Remaja dan Dukungan Keluarga Terhadap Perilaku Seks Beresiko Remaja Pada Seks Pranikah Di Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun

2 82 127

Komunikasi Remaja Pelaku Seks Pranikah (Studi Kasus Pada Remaja Putri Pelaku Seks Pranikah Di Lingkungan XXII Kelurahan Helvetia Tengah Kecamatan Medan Helvetia)

1 74 100

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Remaja 2.1.1. Definisi Remaja - Pengaruh Antara Komunikasi Orangtua-Remaja dan Teman Sebaya terhadap Perilaku Seks Pranikah Pada Remaja Putri di SMPN dan MTSN Kecamatan Tambang Riau Tahun 2013

0 2 49

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja 2.1.1 Defenisi Remaja - Faktor- faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Seks Pranikah Remaja di SMA Negeri 5 Pematangsiantar Tahun 2015

0 0 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku 2.1.1 Pengertian Perilaku - Perilaku Remaja Tentang Penyalahgunaan Narkoba Di Sekolah MAN Marenu Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padang Lawas.

0 0 21

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku 2.1.1 Pengertian Perilaku - Gambaran Perilaku Tentang Seks Bebas Pada Pelajar SMA Kemala Bhayangkari 1 Medan Tahun 2012

0 0 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Motivasi 2.1.1. Pengertian Motivasi - Motivasi Masyarakat Dalam Pemanfaatan Pelayanan Puskesmas Kesatria Di Kecamatan Siantar Timur Kota Pematangsiantar

0 0 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja 2.1.1 Pengertian Remaja - Studi Kualitatif Perilaku Seks Pranikah Remaja Putri Di Kota Gunungsitoli Tahun 2013

0 0 27

Studi Kualitatif Perilaku Seks Pranikah Remaja Putri Di Kota Gunungsitoli Tahun 2013

0 2 15