Pengaruh Motivasi Diri Remaja dan Dukungan Keluarga Terhadap Perilaku Seks Beresiko Remaja Pada Seks Pranikah Di Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun

(1)

PENGARUH MOTIVASI DIRI REMAJA DAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP PERILAKU SEKS BERESIKO

REMAJA PADA SEKS PRANIKAH DI KECAMATAN SIANTAR KABUPATEN SIMALUNGUN

TESIS

Oleh

RISMA PANJAITAN 097032168/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE EFFECT OF SELF-MOTIVATION OF ADOLESCENTS ON RISKY SEXUAL BEHAVIOR OF PRE MARITAL

INKECAMATAN SIANTAR KABUPATEN SIMALUNGUN

THESIS

By

RISMA PANJAITAN 097032168/IKM

POSTGRADUATE STUDY PROGRAM OF HEALTH SCIENCE FACULTY OF COMMUNITY HEALTH

SUMATERA UTARA UNIVERSITY MEDAN


(3)

PENGARUH MOTIVASI DIRI REMAJA DAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP PERILAKU SEKS BERESIKO

REMAJA PADA SEKS PRANIKAH DI KECAMATAN SIANTAR KABUPATEN SIMALUNGUN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) Dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan Ilmu Perilaku (PKIP)

Pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

RISMA PANJAITAN 097032168/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : PENGARUH MOTIVASI DIRI REMAJA DAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP

PERILAKU SEKS BERESIKO REMAJA PADA SEKS PRANIKAH DI KECAMATAN SIANTAR KABUPATEN SIMALUNGUN

Nama Mahasiswa : RISMA PANJAITAN Nomor Induk Mahasiswa : 097032168

Program studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Promosi Kesehatan Ilmu Perilaku

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua

(Prof. Dr. Badaruddin, M.Si)

Anggota

(Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah diuji

Pada Tanggal : 31 Agustus 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Badaruddin, M.Si

Anggota : 1. Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes 2. Dr. Yeny Absah, S.E, M.Si. 3. Dra. Syarifah, M.S


(6)

PERNYATAAN

PENGARUH MOTIVASI DIRI REMAJA DAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP PERILAKU SEKS BERESIKO

REMAJA PADA SEKS PRANIKAH DI KECAMATAN SIANTAR KABUPATEN SIMALUNGUN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Agustus 2012

Risma Panjaitan 097032168/IKM


(7)

ABSTRAK

Kegiatan seksual menempatkan remaja pada tantangan risiko terhadap berbagai masalah kesehatan reproduksi. Kesehatan reproduksi merupakan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh bukan saja bebas penyakit atau kelemahan, melainkan juga berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Banyak faktor mempengaruhi perilaku seksual remaja, diantaranya motivasi yang meliputi kebutuhan, dorongan dan tujuan serta dukungan keluarga baik dukungan informasional, penilaian, instrumental maupun emosional

Penelitian ini merupakan penelitian survey dengan pendekatan explanatory research yaitu suatu penelitian yang menjelaskan pengaruh antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh motivasi diri remaja dan dukungan keluarga terhadap perilaku seks berisiko remaja pada seks pranikah di Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun.

Penelitian dilakukan di Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun, dengan pertimbangan adanya kasus seks pranikah di kalangan remaja serta daerah tersebut dekat dengan lokalisasi terbesar di Kabupaten Simalungun sehingga keterpaparan dengan kebiasaan ataupun pengaruh lingkungannya akan merubah perilaku remaja tersebut. Waktu penelitian bulan Juni sampai dengan Juli 2012. Populasi penelitian terdiri dari 13.496 orang dan penetapan sample menggunakan rumus Taro Yamane sebanyak 99 orang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi dan dukungan keluarga berpengaruh serempak terhadap perilaku seks berisiko. Hal ini diindikasikan oleh nilai signifikansi omnibus tes = 0.000 < 0.025. Faktor dukungan keluarga (76.24%) lebih dominant dibandingkan motivasi (46.09%). Disarankan kepada Pemerintah Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun, disarankan untuk lebih menggiatkan sosialisasi bahaya perilaku seks berisiko khususnya kepada anak anak remaja di wilayah kerjanya


(8)

ABSTRACT

Sexual behavior makes adolescents in risk of various reproductive health problems. Reproductive health include physical, mental and social welfare and not only freedom of disease or fatigue, but also in anything related to reproduction system and the functions and processes. Many factors influencing on adolescents in sexual behavior such as motivation involving need, desire, and goal and familial support involving informational, evaluative, instrumental and emotional .

The present study is a survey using an explanatory research, a study describing the effect of variables through a hypothesis intended to analyze the effect of both self-motivation of adolescent and familial support on their risky sexual behavior of premarital in Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun.

The study was carried out in di Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun by considering the premarital sexual cases of adolescents and the region is near to the larger localization area of Kabupaten Simalungun that the explosion, habit and the environmental condition changes in behavior of the adolescents. It was since June to July 2012. The population included 13.496 persons and the sampling method used Taro Yamane formulation of 99 persons

The result of the study shown that both motivation and familial support have simultaneously significant effect on the risky sexual behavior. It is indicated by the probability of omnibust test of 0.000 less than 0.025. The familial support (76.24%) is more dominant than the motivation (46.09%). It is suggested that the regional government of Simalungun to more socialize the danger of risky sexual behavior of the adolescents


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala Berkat dan Anugerah-Nya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul “Pengaruh Motivasi Diri Remaja dan Dukungan Keluarga terhadap Perilaku Seks Beresiko Remaja pada Seks Pranikah di Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun”.

Dalam penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan, dorongan, bimbingan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes sebagai komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu, pemikiran, arahan, dan semangat hingga selesainya penulisan tesis ini.


(10)

5. Dr. Yeny Absah, SE, M.Si, selaku Ketua Komisi Penguji dan Dra. Syarifah, M.S, selaku anggota komisi penguji yang telah memberikan bimbingan, kritik serta saran yang sangat membantu untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. 6. Seluruh Dosen Pengajar Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat

Studi Promosi Kesehatan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bekal ilmu dan pengetahuan.

7. Drs. Sabmenta J.K Pasaribu, M.Si selaku Camat di Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun yang telah memberikan izin belajar dan izin untuk melakukan penelitian kepada penulis.

8. Teristimewa buat suami tercinta U. Pasaribu dan ananda tersayang Marhara Pasaribu, Putri Vita Yohanna Pasaribu, yang penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan dan doa serta cinta yang dalam setia menunggu memotifasi dan memberi dukungan moril agar bisa menyelesaikan pendidikan ini.

9. Ayahanda Alm. M. Panjaitan, Ibunda Alm. E. Siahaan serta seluruh keluarga atas doa, dukungan dan bantuan selama penulis mengikuti pendidikan.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas segala kebaikan Bapak, Ibu dan saudara-saudaraku sekalian.

Medan, Agustus 2012 Penulis,


(11)

RIWAYAT HIDUP

Risma Panjaitan lahir pada tanggal 13 September 1968 di Kabupaten Simalungun, anak kedua dari 2 bersaudara dari pasangan Ayahanda Alm. M.Panjaitan dan Alm. Ibunda E. Siahaan. Melangsungkan pernikahan pada tanggal 16 Desember 1990 dengan U.Pasaribu dan dikarunia 2 orang anak yaitu Marhara Pasaribu dan Putri Vita Yohanna Pasaribu.

Pendidikan formal penulis SD Negeri Panambean 1982, SMP Negeri 3 Pematang Siantar, pada tahun 1985 penulis menyelesaikan Pendidikan SPK di Politekkes Siantar, Pada tahun 1988, penulis menyelesaikan Pendidikan Program Bidan di RS Sari Mutiara tahun 1990, tahun 2007 penulis melanjutkan D-III Kebidanan di Poltekkes USU Medan. Tahun 2009 penulis menyelesaikan D-IV Kebidanan di STIKes Helvetia Medan dilanjutkan pendidikan tinggi di Program S2 IKM dengan Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku di Fakultas Kesehatan USU Medan sejak tahun 2009 hingga saat ini dan menyelesaikan studi tahun 2012.

Penulis bekerja sebagai Bidan di Desa pada tahun 1991 di Yogyakarta Kabupaten Sileman Jawa Tengah, tahun 1994 sebagai Kepala Puskesmas Pembantu di Desa Panambean Kecamatan Panambean Pane Kabupaten Simalungun.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Permasalahan ... 10

1.3.Tujuan Penelitian ... 11

1.4.Hipotesis ... 11

1.5.Manfaat Penelitian ... 11

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1. Motivasi ... 12

2.2. Konsep Perilaku ... 18

2.3. Dukungan Sosial ... 28

2.4. Perilaku Seksual Remaja ... 36

2.5. Kesehatan Reproduksi ... 39

2.6. Hubungan Seksual Pra-Nikah ... 40

2.7. Dampak dari Melakukan Hubungan Seksual Pra Nikah... 42

2.8. Landasan Teori ... 45

2.9. Kerangka Konsep ... 49

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 50

3.1. Jenis Penelitian... 50

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 50

3.3. Populasi dan Sampel ... 50

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 53

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 56

3.6. Metode Pengukuran ... 57

3.7. Metode Analisa Data... 60

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 61


(13)

4.2. Hasil Penelitian ... 62

4.2.1. Analisis Univariat ... 62

4.2.1.1. Motivasi Diri Anak Remaja ... 62

4.2.1.2. Dukungan Keluarga ... 66

4.2.1.3. Perilaku Seks Berisiko... 75

4.2.2. Analisis Bivariat ... 76

4.2.2.1. Hubungan Kebutuhan Dengan Perilaku Seks Berisiko ... 76

4.2.2.2. Hubungan Dorongan Dengan Perilaku Seks Berisiko ... 77

4.2.2.3. Hubungan Tujuan Dengan Perilaku Seks Berisiko . 78 4.2.2.4. Hubungan Motivasi Dengan Perilaku Seks Beresiko ... 79

4.2.2.5. Hubungan Dukungan Infornasional Dengan Perilaku Seks Berisiko ... 80

4.2.2.6. Hubungan Dukungan Penilaian Perilaku Seks Berisiko ... 81

4.2.2.7. Hubungan Dukungan Instrumental Dengan Perilaku Seks Berisiko ... 82

4.2.2.8. Hubungan Dukungan Emosional Dengan Perilaku Seks Berisiko ... 83

4.2.2.9. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Perilaku Seks Berisiko ... 84

4.2.3. Analisis Multivariat ... 85

BAB 5 PEMBAHASAN ... 89

5.1. Pengaruh Motivasi Diri Terhadap Perilaku Seks Berisiko ... 89

5.2. Pengaruh Dukungan Keluarga Dengan Perilaku Seks Berisiko ... 90

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 103

6.1. Kesimpulan ... 103

6.2. Saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA ... 105


(14)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman 3.1. Jumlah Sampel Berdasarkan Desa di Kecamatan Siantar Kabupaten

Simalungun Tahun 2012 ... 52

3.2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Motivasi Diri, Dukungan Keluarga dan Perilaku Seks Berisiko ... 54

3.3. Pengukuran Variabel Penelitian ... 59

4.1. Distribusi Frekuensi Variabel Kebutuhan ... 62

4.2. Distribusi Frekuensi Kategori Kebutuhan ... 63

4.3. Distribusi Frekuensi Variabel Dorongan ... 64

4.4. Distribusi Frekuensi Kategori Dorongan ... 64

4.5. Distribusi Frekuensi Variabel Tujuan ... 65

4.6. Distribusi Frekuensi Kategori Tujuan ... 66

4.7. Distribusi Frekuensi Kategori Variabel Motivasi ... 66

4.8. Distribusi Frekuensi Variabel Dukungan Informasi ... 67

4.9. Distribusi Frekuensi Kategori Variabel Dukungan Informasi ... 68

4.10. Distribusi Frekuensi Variabel Dukungan Penilaian ... 69

4.11. Distribusi Frekuensi Kategori Variabel Dukungan Penilaian ... 70

4.12. Distribusi Frekuensi Variabel Dukungan Penilaian ... 71

4.13. Distribusi Frekuensi Kategori Variabel Dukungan Instrumental... 73

4.14. Distribusi Frekuensi Variabel Dukungan Emosional ... 74

4.15. Distribusi Frekuensi Kategori Variabel Dukungan Emosional ... 75


(15)

4.17. Distribusi Frekuensi Perilaku Seks Berisiko Anak Remaja

di Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun ... 76

4.18. Hubungan Kebutuhan Dengan Perilaku Seks Berisiko ... 77

4.19. Hubungan Dorongan Dengan Perilaku Seks Berisiko ... 78

4.20. Hubungan Tujuan Dengan Perilaku Seks Berisiko ... 79

4.21. Hubungan Motivasi Dengan Perilaku Seks Berisiko ... 80

4.22. Hubungan Dukungan informasi Dengan Perilaku Seks Berisiko ... 81

4.23. Hubungan Dukungan Penilaian Dengan Perilaku Seks Berisiko ... 82

4.24. Hubungan Dukungan Instrumental Dengan Perilaku Seks Berisiko ... 83

4.25. Hubungan Dukungan Emosional Dengan Perilaku Seks Berisiko ... 84

4.26. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Perilaku Seks Berisiko ... 85


(16)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman 2.1. Kerangka Teori... 48 2.2. Kerangka Konsep Penelitian ... 49


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Kuesioner ... 110

2. Output SPSS ... 113

3. Master Data ... 128

4. Surat Permohonan Penelitian dari FKM USU ... 134

5. Surat Izin Penelitian di Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun ... 135


(18)

ABSTRAK

Kegiatan seksual menempatkan remaja pada tantangan risiko terhadap berbagai masalah kesehatan reproduksi. Kesehatan reproduksi merupakan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh bukan saja bebas penyakit atau kelemahan, melainkan juga berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Banyak faktor mempengaruhi perilaku seksual remaja, diantaranya motivasi yang meliputi kebutuhan, dorongan dan tujuan serta dukungan keluarga baik dukungan informasional, penilaian, instrumental maupun emosional

Penelitian ini merupakan penelitian survey dengan pendekatan explanatory research yaitu suatu penelitian yang menjelaskan pengaruh antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh motivasi diri remaja dan dukungan keluarga terhadap perilaku seks berisiko remaja pada seks pranikah di Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun.

Penelitian dilakukan di Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun, dengan pertimbangan adanya kasus seks pranikah di kalangan remaja serta daerah tersebut dekat dengan lokalisasi terbesar di Kabupaten Simalungun sehingga keterpaparan dengan kebiasaan ataupun pengaruh lingkungannya akan merubah perilaku remaja tersebut. Waktu penelitian bulan Juni sampai dengan Juli 2012. Populasi penelitian terdiri dari 13.496 orang dan penetapan sample menggunakan rumus Taro Yamane sebanyak 99 orang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi dan dukungan keluarga berpengaruh serempak terhadap perilaku seks berisiko. Hal ini diindikasikan oleh nilai signifikansi omnibus tes = 0.000 < 0.025. Faktor dukungan keluarga (76.24%) lebih dominant dibandingkan motivasi (46.09%). Disarankan kepada Pemerintah Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun, disarankan untuk lebih menggiatkan sosialisasi bahaya perilaku seks berisiko khususnya kepada anak anak remaja di wilayah kerjanya


(19)

ABSTRACT

Sexual behavior makes adolescents in risk of various reproductive health problems. Reproductive health include physical, mental and social welfare and not only freedom of disease or fatigue, but also in anything related to reproduction system and the functions and processes. Many factors influencing on adolescents in sexual behavior such as motivation involving need, desire, and goal and familial support involving informational, evaluative, instrumental and emotional .

The present study is a survey using an explanatory research, a study describing the effect of variables through a hypothesis intended to analyze the effect of both self-motivation of adolescent and familial support on their risky sexual behavior of premarital in Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun.

The study was carried out in di Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun by considering the premarital sexual cases of adolescents and the region is near to the larger localization area of Kabupaten Simalungun that the explosion, habit and the environmental condition changes in behavior of the adolescents. It was since June to July 2012. The population included 13.496 persons and the sampling method used Taro Yamane formulation of 99 persons

The result of the study shown that both motivation and familial support have simultaneously significant effect on the risky sexual behavior. It is indicated by the probability of omnibust test of 0.000 less than 0.025. The familial support (76.24%) is more dominant than the motivation (46.09%). It is suggested that the regional government of Simalungun to more socialize the danger of risky sexual behavior of the adolescents


(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kesehatan reproduksi merupakan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsinya serta proses-prosesnya. Oleh karena itu, kesehatan reproduksi berarti orang dapat mempunyai kehidupan seks yang memuaskan dan aman, dan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk menentukan apakah mereka ingin melakukannya, bilamana dan seberapa seringkah (Juliandi, 2003).

Masalah kesehatan reproduksi remaja selain berdampak secara fisik, juga dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental dan emosi, keadaan ekonomi dan kesejahteraan sosial dalam jangka panjang. Menurut Haris (2001), kesehatan reproduksi dari sisi kesehatan perilaku seks bebas bisa menimbulkan berbagai ganguan, di antaranya terjadi kehamilan yang tidak diinginkan, dan tentunya cenderung untuk aborsi, juga menjadi salah satu penyebab munculnya anak-anak yang tidak diinginkan. Remaja tidak memperhatikan dampak yang akan terjadi atas perilaku seksual yang mereka lakukan, seperti remaja hamil di luar nikah, aborsi, dan penyakit kelamin.

Kegiatan seksual menempatkan remaja pada tantangan resiko terhadap berbagai masalah kesehatan reproduksi. Setiap tahun 15 juta remaja berusia 15-19


(21)

tahun melahirkan, 4 juta melakukan aborsi, dan hampir 100 juta terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS) yang dapat disembuhkan. Secara global 40% dari semua kasus infeksi HIV terjadi pada kaum muda yang berusia 15-24 tahun. Perkiraan terakhir adalah, setiap hari ada 7.000 remaja terinfeksi HIV (PATH, 1998). Oleh karena itu penyebaran informasi kesehatan di kalangan remaja, perlu diupayakan secara tepat guna agar dapat memberi informasi yang benar dan tidak terjerumus terutama di institusi pendidikan sekolah.

Hasil survey dijalankan oleh Synovate (2002) dalam Fatin (2005) mengambil sempel remaja dari Bandung, Jakarta, Medan dan Surabaya. Penelitian ini dilakukan pada 474 remaja berusia 15 – 24 Tahun dengan persentase 50 % aktif secara seksual dan 50 % orang mengaku sudah pernah menjalani hubungan seksual (pranikah) sedangkan sisanya belum pernah. Setelah terjadi hubungan seks, 72 % pria merasa bahagia, sedangkan bagi wanita 47% menyesal karena merasa terpujuk takut dosa maupun takut hamil.

Gangguan kesehatan lainnya yang dapat terjadi pada remaja adalah menderita HIV/AIDS. Penduduk usia muda merupakan yang paling tinggi terinfeksi HIV/AIDS. Sampai sekarang, AIDS masih menempati peringkat keempat penyebab kematian terbesar di dunia, dan menurut WHO (2009) jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak 33,4 juta jiwa di seluruh dunia. Penyakit ini diperkirakan mulai muncul tahun 1930. Namun AIDS baru dikenal resmi tahun 1981 saat penyakit ini telah memakan banyak korban jiwa. Indonesia sendiri, kasus HIV/AIDS ditemukan pertama kali tahun 1986


(22)

di Bali. Menurut data yang tercatat di Dinas Kesehatan RI (2010) terdapat 21.591 kasus HIV/AIDS di 33 propinsi.

Kota Medan menempati peringkat pertama dan segi jumlah penderita HIV/AIDS dari beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara. Data Dinas Kesehatan Sumatera Utara, hingga akhir September 2009, di Medan jumlah kumulatif penderita HIV 620 jiwa dan AIDS 638 jiwa dan Pematang Siantar penderita HIV 10 jiwa dan AIDS 48 jiwa serta Simalungun HIV 58 jiwa AIDS 21 jiwa.

Perilaku seks remaja dewasa ini banyak mengarah pada perilaku yang menyimpang. Padahal remaja adalah generasi penerus di masa depan yang akan mempengaruhi cerah tidaknya masa depan bangsa dan negara di kemudian hari. Disamping secara langsung maupun tidak langsung juga akan memengaruhi perkembangan budaya Indonesia di masa mendatang. Banyak di antara remaja yang tidak menyadari bahwa beberapa pengalaman yang tampaknya menyenangkan, justru menjerumuskan. Bila sang remaja sudah terlanjur terjerumus dalam pergaulan yang menyesatkan, akan teramat sulit untuk kembali pada kondisi semula (Sudarmi, 2008).

Nelson (2000), menambahkan bahwa masa remaja merupakan masa yang kritis, yaitu saat untuk berjuang melepaskan ketergantungan kepada orang tua dan berusaha mencapai kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Keberhasilan remaja melalui masa transisi ini dipengaruhi baik oleh faktor individu (biologis, kognitif, dan psikologis) maupun lingkungan (keluarga, teman sebaya (peer group) dan masyarakat).


(23)

Banyaknya persoalan mengenai penyimpangan seks pada remaja berangkat dari pergaulan negatif. Bagi sebagian remaja, pergaulan atau gaul merupakan sebuah keharusan. Masalah akan timbul bila pergaulan yang dijalani seringkali tidak diimbangi dan dibentengi dengan citra diri. Hal itu akan mengakibatkan remaja bergaul tanpa kendali, tanpa batasan norma, etika, hukum dan agama. Kondisi itu akan merusak masa depan bangsa dan negara di samping masa depan remaja itu sendiri (Sudarmi, 2008).

Hasil survei National Surveys of Family Growth pada tahun 1988 melaporkan bahwa 80% laki-laki dan 70% perempuan melakukan hubungan seksual selama masa pubertas dan 20% dari mereka mempunyai empat atau lebih pasangan (Soejiningsih, 2004). Sasaran utama peredaran narkotika yang berpotensial bagi pengedar narkotika adalah pelajar dan mahasiswa (Badan Narkotika Nasional dan Pusat Penelitian Universitas Indonesia, 2008). Penelitian di negara berkembang melaporkan bahwa 20% sampai 60% kehamilan dan persalinan di bawah usia 20 tahun adalah kehamilan dini dan tidak diinginkan.

Penelitian yang dilakukan perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI, 2001) menunjukkan bahwa 16,4 % responden remaja pernah melakukan hubungan seksual dan 61,46% responden remaja pernah mengunakan media pornografi. Penelitian ini juga menemukan alasan orang melakukan hubungan seksual pranikah adalah pengaruh lingkungan (58,1 %), tidak taat pada agama, tidak ada bimbingan dari orang tua dan karena kebutuhan biologis. Responden remaja juga berpendapat bahwa orang melakukan hubungan seksual pranikah untuk membuktikan


(24)

cintanya kepada pacarnya (15,8 %). Temuan ini menunjukkan bahwa para remaja terdapat persepsi yang keliru mengenai pacar dan “cinta” sebagian besar responden berpacaran di rumah (61,5 %) (Indrasari, 2004).

Globalisasi informasi juga merupakan faktor menyebabkan perilaku remaja. Beberapa kebebasan yang ditiru oleh remaja terhadap budaya barat adalah free thinker, permissif dan free. Remaja merasa punya hak untuk berfikir sebebas-bebasnya tanpa dibatasi oleh norma-norma agama. Terutama dalam upaya mencari jalan keluar dan masalah yang dihadapi atau cara untuk meraih keinginannya, sehingga untuk mengeluarkannya dari masalah yang terjadi, sering kali remaja mengambil jalan pintas dengan melakukan hal-hal nekad, seperti menggunakan narkoba, meminum minuman keras, menjadi perilaku kriminilitas atau yang paling parah bunuh diri. Remaja juga mau melakukan apa saja, di mana saja menjadi prinsip remaja dalam berbuat. Mulai dari cara berbusana, berdandan, berbicara, bergaul atau berperilaku. Para remaja di kota-kota terutama kota terbesar, kini dinilai cenderung lebih permissif dalam urusan seks. Saat ini pergaulan bebas antar lawan jenis yang banyak dilakukan remaja sangat mudah terkontaminasi unsur cinta dan seks. Pergaulan bebas pun sangat membuka peluang bagi remaja untuk aktif melakukan aktifitas seks. Pemicunya bisa saja karena nonton VCD porno yang dijual bebas ataupun menonton tayangan erotis yang di TV. Kurangnya kontrol orang tua, sekolah atau masyarakat membuat mereka enjoy berpetualang menikmati kepuasan sesaat.

Terjadinya pergaulan bebas di kalangan remaja antara lain disebabkan kurangnya pengetahuan mereka tentang pendidikan seks yang jelas dan benar.


(25)

Pendidikan seks kebanyakan hanya diketahui dari penjelasan teman yang belum tentu benar, membaca buku-buku porno, melihat gambar-gambar porno dari buku maupun internet, bisa juga dari penjelasan yang kurang lengkap dari orang tua Kecenderungan pelanggaran perilaku remaja makin meningkat karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan melalui media massa dengan teknologi yang canggih seperti: VCD, majalah dan internet (Dianawati, 2003).

Remaja memiliki rasa ingin tahu yang besar tentang sesuatu dan selalu mencoba apa yang dilakukan oleh orang dewasa, termasuk masalah seks (Sarwono, 2000). Masalah ini sering sekali mencemaskan para orang tua, pendidik, pemerintah dan sebagainya, karena banyak remaja yang melakukan penyimpangan seksual sebagai cara dari pelarian berbagai persoalan, serta kurangnya kemampuan anak remaja untuk mengendalikan diri (PKBI, 2003). Keinginan diri remaja untuk berperilaku seks menyimpang disebabkan adanya dorongan dari dalam diri (intrinsik). Menurut Santrock (2005) sumber motivasi kognitif yang diisi oleh ideal compexity theory, achievement motivation dan self actualization. Apa yang mendorong seseorang bertingkah laku merupakan hasil pemikiran. Rasa ingin tahu dan keinginan untuk berkembang menjadi landasan seseorang untuk berperilaku.

Hasil penelitian Synoviate Reaserch (2005) melaporkan bahwa sekitar 55% informasi tentang seks mereka dapatkan dari kawan dan juga 35% sisanya dari film porno. Ironisnya, hanya 5% remaja yang mendapatkan informasi tentang seks dari orang tuanya. Para remaja juga mengaku mengetahui resiko terkena penyakit seksual (27%), tetapi hanya 24% dari remaja yang melakukan preventif untuk mencegah


(26)

penyakit AIDS. Hasil penelitian Komisi Nasional Perlindungan Anak (2009) melaporkan bahwa 97,3% remaja pernah ciuman, petting dan oral seks 62,7% remaja SMP tidak perawan, 21,2% remaja SMU pernah aborsi, 97% pernah menonton film porno (Kartika, 2009).

Pada saat ini remaja mempunyai pemahaman yang kurang akurat mengenai seksualitas sehingga menjadikan mereka mencoba untuk bereksperimen mengenai masalah seks tanpa menyadari bahaya yang timbul dari perbuatannya, dan ketika permasalahan yang ditimbulkan oleh perilaku seksnya mulai bermunculan, remaja takut untuk mengutarakan permasalahan tersebut kepada orang tua. Remaja lebih senang menyimpan dan memilih jalannya sendiri tanpa berani mengungkapkan kepada orang tua. Hal ini disebabkan karena ketertutupan orang tua terhadap anak terutama masalah seks yang dianggap tabu untuk dibicarakan serta kurang terbukanya anak terhadap orang tua karena anak merasa takut untuk bertanya (Amrillah, 2008).

Hal lain yang memengaruhi terhadap perilaku seksual pada remaja yaitu faktor orang tua. Dimana ketidak tahuan orang tua maupun karena sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak, menjadikan mereka tidak terbuka kepada anak, bahkan cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah ini Cuningham (2004), menjelaskan bahwa pengetahuan remaja mengenai masalah seks memang masih minim. Banyak remaja tidak mengindahkan bahkan tidak tahu dampak dari perilaku seksual mereka terhadap kesehatan reproduksi baik dalam waktu yang cepat maupun dalam waktu yang lebih panjang (Notoadmodjo, 2007). Hal itu disebabkan kurangnya informasi kesehatan reproduksi, baik dari


(27)

sekolah, maupun lingkungan keluarganya. Minimnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi ini, tidak sedikit remaja yang menjadi korban kejahatan seksual, seperti pemerkosaan, hubungan luar nikah, dan kehamilan di usia dini.

Pendapat di atas diperkuat Achjar, (2006), bahwa minimnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi membuat remaja tidak memiliki kendali untuk menolak perilaku seks. Remaja harus membekali diri dengan berbagai ilmu pengetahuan terutama pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, agar mereka dapat mencegah hal-hal yang negatif, mengendalikan diri, mengembangkan diri dan berperilaku positif.

Pardede (2002) dalam Narendra (2002), menekankan bahwa masa remaja berlangsung melalui 3 tahapan yang masing-masing ditandai dengan isu-isu biologik, psikologik dan sosial, yaitu: masa remaja awal (10-14 tahun), menengah (15-16 tahun) dan akhir (17-20 tahun). Masa remaja awal ditandai dengan peningkatan yang cepat dan pertumbuhan dan pematangan fisik dan penerimaan dari kelompok sebaya (peer group) sangatlah penting. Masa remaja menengah ditandai dengan hampir lengkapnya pertumbuhan pubertas, dan keinginan untuk memapankan jarak emosional dan psikologis dengan orang tua. Masa remaja akhir ditandai dengan persiapan untuk peran sebagai seorang dewasa.

Menurut Fauziah dalam Sungadi (2007), pergaulan bebas atau free sex menjadi trend pada kalangan remaja masa kini. Banyak faktor yang menyebabkan free sex pada remaja, salah satu adalah faktor masuknya budaya barat ke Indonesia, derasnya informasi-informasi free seks melalui berbagai media, seperti TV dan


(28)

Internet. Budaya barat membidik remaja tuntutan kebebasan remaja yang bergeser menjadi liar tak terkendali.

Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara termasuk kota nomor tiga terbesar di Indonesia, bahkan sudah menjadi kota metropolitan. Sangat tinggi berpotensi budaya free sex, sama seperti kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan lainnya (Profil Kesehatan Kota Medan Tahun 2005).

Hasil monitoring sebuah Yayasan Kelompok Kerja Sosial Perkotaan (KKSP) bekerjasama dengan Pusat Pendidikan dan Informasi diperkirakan 1500 remaja di Medan terlibat bisnis pelacuran, baik karena kemauan sendiri maupun paksaan. Dari jumlah tersebut yang tergolong profesional 45%, kemudian untuk kesenangan tidak dalam kerangka profesionalitas sebanyak 20% dan yang ikut-ikutan sebanyak 35%. (Ikhwan, 2007 dalam Apulina 2008).

Dukungan orang tua sangat penting dilakukan karena orang tua merupakan orang yang paling dekat dengan remaja dan mempunyai tanggung jawab besar dalam mendidik remaja. Dukungan orang tua meliputi dukungan moral yang berupa perhatian. Perhatian dari orang tua merupakan harapan semua anak di masa pertumbuhan dan perkembangannya. Di masa-masa itu seorang remaja lebih terpengaruh dengan faktor lingkungan, baik lingkungan keluarga, sekolah, maupun lingkungan pergaulan di masyarakat, sehingga remaja harus diperhatikan dan diarahkan oleh orang tuanya khususnya dalam bidang pendidikan kesehatan agar perencanaan untuk masa depan lebih jelas dan terarahkan. Sedangkan dukungan orang tua yang berupa material menyangkut keadaan ekonomi orang tua yang dapat


(29)

digunakan untuk biaya pendidikan serta untuk melengkapi peralatan maupun perlengkapan belajar. Keadaan suatu keluarga yang kelas ekonominya menengah ke bawah akan merasa kesulitan dalam memenuhi kebutuhan anaknya.

Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan peneliti di Kecamatan Siantar dimana daerah tersebut dekat dengan lokalisasi terbesar di Kabupaten Simalungun “Bukit Maraja” sehingga keterpaparan dengan kebisaan ataupun pengaruh lingkungannya akan merubah perilaku remaja tersebut. Oleh karena itu maka dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak yang lebih dekat sehingga perilaku berisiko tersebut dapat diminimalisir. Oleh karena hal tersebut maka peneliti tertarik untuk melihat dan Pengaruh Motivasi Diri Remaja dan Dukungan Keluarga terhadap Perilaku Seks Berisiko Remaja pada Seks Pranikah di Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun.

1.2.Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan bahwa yang menjadi masalah adalah: bagaimana pengaruh motivasi diri remaja dan dukungan keluarga terhadap perilaku seks berisiko remaja pada seks pranikah di Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun.

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis pengaruh motivasi diri remaja dan dukungan keluarga terhadap perilaku seks berisiko remaja pada seks pranikah di Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun.


(30)

1.4. Hipotesis

Ada pengaruh pengaruh motivasi diri remaja dan dukungan keluarga terhadap perilaku seks berisiko remaja pada seks pranikah di Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Pendidikan Kabupaten Simalungun mengenai pencegahan untuk perilaku seks berisiko pada seks pranikah bagi remaja.

2. Bagi keluarga sebagai bahan masukan untuk mengetahui cara pencegahan dan perilaku seks berisiko pada seks pranikah bagi remaja.

3. Dapat dijadikan bahan refrensi atau rujukan bagi peneliti selanjutnya.


(31)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Motivasi

2.1.1 Pengertian Motivasi

Motivasi berasal dan kata “motif’ yang artinya daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam diri subjek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Berawal dan kata “motif’, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan/mendesak (Sardiman, 2003).

Menurut Purwanto (2002) motivasi adalah suatu usaha yang disadari untuk menggerakkan, mengarahkan dan menjaga tingkah laku seseorang agar ia terdorong untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil atau tujuan tertentu. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa motivasi adalah suatu perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai oleh timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan (Hamalik, 2002).

Beberapa definisi motivasi tersebut, pada dasarnya mengandung maksud/arti yang sama yaitu bahwa motivasi adalah dorongan yang menyebabkan terjadinya suatu perbuatan guna mencapai suatu tujuan. Motivasi merupakan akibat dari interaksi seseorang dengan situasi tertentu yang dihadapi. Menurut Robbins (2006) menyatakan definisi dari motivasi yaitu kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya


(32)

yang tinggi untuk tujuan organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi beberapa kebutuhan individual.

Sedangkan menurut Siagian (2006) menyatakan bahwa motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk menggerakkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau ketrampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya. Dari pengertian in jelaslah bahwa dengan memberikan motivasi yang tepat, maka karyawan akan terdorong untuk berbuat semaksimal mungkin dalam melaksanakan tugasnya dan mereka akan meyakini bahwa dengan keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan dan berbagai sasarannya, maka kepentingan-kepentingan pribadinya akan terpelihara pula.

Sunarti (2003) menyatakan ada tiga faktor utama yang memengaruhi motivasi yaitu perbedaan karakteristik individu, perbedaan karakteristik pekerjaan, dan perbedaan karakteristik lingkungan kerja. Dalam rangka mendorong tercapainya produktivitas kerja yang optimal maka seorang manajer harus dapat mempertimbangkan hubungan antara ketiga faktor tersebut dan hubungannya terhadap perilaku individu. Pada dasarnya motivasi individu dalam bekerja dapat memacu karyawan untuk bekerja keras sehingga dapat mencapai tujuan mereka. Hal ini akan meningkatkan produktivitas kerja individu yang berdampak pada pencapaian tujuan dari organisasi.


(33)

Purnomo (2004) menyatakan ada tiga faktor sebagai sumber motivasi yaitu: 1. Kemungkinan untuk berkembang

2. Jenis pekerjaan, dan

3. Apakah mereka dapat merasa bangga menjadi bagian dari organisasi tempat mereka bekerja.

Disamping itu ada beberapa aspek yang berpengaruh terhadap motivasi kerja individu, yaitu rasa aman dalam bekerja, mendapatkan gaji yang adil dan kompetitif, lingkungan kerja yang menyenangkan, penghargaan atas prestasi kerja dan perlakuan yang adil dari manajemen. Dengan melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan, pekerjaan yang menarik dan menantang, kelompok dan rekan-rekan kerja yang menyenangkan, kejelasan akan standar keberhasilan serta bangga terhadap pekerjaan dan perusahaan dapat menjadi faktor pemicu kerja karyawan.

2.1.2 Komponen Motivasi

Motivasi mempunyai tiga komponen utama yaitu kebutuhan, dorongan dan tujuan. Kebutuhan terjadi bila individu merasa ada ketidakseimbangangan antara apa yang mereka miliki dengan apa yang mereka harapkan. Dorongan merupakan kekuatan mental untuk melakukan kegiatan dalam rangka memenuhi harapan. Dorongan merupakan kekuatan mental yang berorientasi pada pemenuhan harapan atau pencapaian tujuan. Dorongan yang berorientasi pada tujuan tersebut merupakan inti daripada motivasi (Dimyati, 2002).


(34)

1. Kebutuhan

Teori motivasi berdasarkan Kebutuhan dikemukakan oleh Arikunto (2007), menyatakan bahwa ada tiga hal penting yang menjadi kebutuhan manusia, yaitu:

a. Need for achievement (kebutuhan akan prestasi)

b. Need for afiliation (kebutuhan akan hubungan sosial/hampir sama dengan soscialneed-nya Maslow)

c. Need for Power (dorongan untuk mengatur) 2. Dorongan

Kebutuhan-kebutuhan pada diri seseorang

a. Tingkah laku individu yang didorong oleh kebutuhan berprestasi akan tampak sebagai berikut:

1). Berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara baru 2). Mencari umpan balik tentang perbuatannya

3) Mengambil tanggung jawab atas perbuatannya

b. Tingkah laku individu yang didorong oleh kebutuhan persahabatan akan tampak sebagai berikut:

1) Lebih memerhatikan segi hubungan pribadi yang ada dalam pekerjaan 2) Melakukan pekerjaan lebih efektif apabila bekerjasama

3) Mencari persetujuan atau kesepakatan dari orang lain 4) Lebih suka dengan orang lain daripada sendirian

c. Tingkah laku individu yang didorong oleh kebutuhan berkuasa akan tampak sebagai berikut:


(35)

1). Berusaha menolong orang lain walaupun pertolongan itu tidak diminta 2) Sangat aktif menentukan arah kegiatan organisasi

3) Sangat peka terhadap struktur pengaruh antarpribadi 3. Tujuan

Tujuan merupakan hal yang ingin dicapai oleh seseorang atau individu dalam suatu organisasi. (Sutrisno, 2010). Tujuan tersebut mengarahkan semua perilaku seseorang, dalam hal ini perilaku belajar individu untuk dapat memahami dan mengerti tentang perilaku seks berisiko pada remaja.

2.1.3 Jenis dan Sifat Motivasi

Menurut jenisnya motivasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu motivasi primer dan motivasi skunder. Motivasi primer adalah motivasi yang didasarkan pada motif-motif dasar. Motif-motif dasar tersebut umumnya berasal dari segi biologis atau jasmani manusia. Sedangkan motivasi sekunder adalah motivasi yang dipelajari. Sebagai contoh, orang yang lapar akan tertarik pada makanan tanpa belajar (Dimyati; 2002).

Sifat motivasi dibagi menjadi dua yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi/dorongan yang dikarenakan orang tersebut senang melakukannya. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah dorongan terhadap perilaku seseorang yang ada di luar perbuatan yang dilakukannya. Seseorang yang mempunyai motivasi atau dorongan yang lahir dan dalam dirinya sendiri akan lebih mudah dalam mencapai suatu keberhasilan dibandingkan dengan orang yang membutuhkan motivasi atau faktor pendorong yang berasal dari luar dirinya. Hal ini


(36)

terjadi karena adanya inisiatif atau kemauan serta keinginan untuk selalu meraih sesuatu yang diharapkan oleh seseorang yang bermotivasi intrinsik tersebut. Biasanya orang yang demikian memiliki sifat aktif. Lain halnya dengan orang yang memiliki sifat pasif yang selalu harus digerakkan oleh pihak lain sehingga kemauan untuk berusaha meraih cita-cita sedikit lamban.

2.1.4 Fungsi Motivasi

Untuk memperoleh hasil belajar yang baik diperlukan adanya motivasi. Makin tepat motivasi yang diberikan, akan berhasil pula dalam mempelajari suatu pelajaran. Jadi motivasi ini akan senantiasa menentukan intensitas usaha belajar bagi para siswa. Sehubungan dengan hal tersebut ada tiga fungsi motivasi, antara lain:

a. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi.

b. Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai.

c. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.


(37)

2.2 Konsep Perilaku 2.2.1 Definisi Perilaku

Dari segi aspek biologis, perilaku menurut Notoatmodjo (2006) adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari segi biologis makhluk hidup mulai dari binatang sampai manusia, mempunyai aktifitas masing masing. Manusia sebagai salah satu makhluk hidup mempunyai kegiatan yang sangat luas, sepanjang kegiatan yang dilakukannya, yaitu antara lain: berjalan, berbicara, bekerja, menulis, membaca, berpikir, dan seterusnya.

Secara singkat, aktifitas manusia tersebut dikelompokkan menjadi 2 yakni: a. Akivitas-aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain misalnya: berjalan,

bernyanyi, tertawa dan sebagainya.

b. Aktivitas yang tidak dapat diamati orang lain (dari luar) misalnya: berpikir, berfantasi, bersikap dan sebagainya

Perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Menurut Ensikiopedia Amerika perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan reaksi organisme terhadap lingkungannya. Skinner (1938) seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan Skinner (1938) dalam Notoatamodjo (2007).


(38)

Skinner (1938) dalam Notoatamodjo (2010), menyatakan faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dibedakan menjadi dua yaitu:

1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini merupakan faktor dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

Selanjutnya seorang ahli psikologi Skiner yang dikutip Notoatmodjo (2007) merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian perilaku manusia terjadi melalui melalui proses: Stimulus→Organisme→Respons, sehingga teori Skiner ini disebut teori “ S-O-R “ (stimulus–organisme–respons), Selanjutnya, teori Skiner menjelaskan adanya dua jenis respons, yaitu :

a. Responden respon atau refleksif, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu yang disebut eliciting stimuli, karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap. Misalnya: makanan lezat akan menimbulkan nafsu untuk makan, cahaya terang akan menimbulkan reaksi mata tertutup dan sebagainya.

b. Operan respons atau instrumental respons, yakni respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimuli atau rangsangan yang lain. Perangsang


(39)

yang terakhir ini disebut reinforcing stimuli atau reinforcer, karena berfungsi untuk memperkuat respons.

Berdasarkan teori “S–O–R” tersebut maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu :

a. Perilaku tertutup (Covert behavior )

Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang, respons seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk “unubservable behavior” atau “covert behavior” yang dapat diukur adalah pengetahuan dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

b. Perilaku terbuka (Overt behavior ).

Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau “observable behavior” (Notoatmodjo, 2007).

2.2.2 Ilmu-ilmu Dasar Perilaku

Uraian–uraian sebelumnya disebutkan bahwa perilaku itu terbentuk di dalam diri seseorang dari dua faktor utama yakni : stimulus merupakan faktor dari luar diri seseorang tersebut (factor eksternal), dan respons merupakan faktor dari dalam diri orang yang bersangkutan/factor internal (Notoatmodjo, 2007).

Faktor eksternal atau stimulus adalah faktor lingkungan, baik lingkungan fisik, maupun non fisik dalam bentuk sosial, budaya, ekonomi, politik dan


(40)

sebagainya. Dari penelitian-penelitian yang ada faktor eksternal yang paling besar perannya dalam membentuk perilaku manusia adalah faktor sosial dan budaya dimana seseorang tersebut berada. Sedangkan faktor internal yang menentukan seseorang itu merespons stimulus dari luar adalah: perhatian, pengamatan, persepsi, motivasi, fantasi, sugesti dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007).

Faktor sosial sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku antara lain, struktur sosial, pranata-pranata sosial dan permasalahan-permasalahan sosial yang lain. Ilmu yang mempelajari masalah-masalah ini adalah sosiologi. Faktor budaya sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku seseorang antara lain: nilai-nilai, adat istiadat, kepercayaan, kebiasaan masyarakat, tradisi dan sebagainya. Ilmu yang mempelajari masalah-masalah ini adalah antropologi. Sedangkan faktor- faktor internal yang mempengaruhi terbentuknya perilaku seperti perhatian, motivasi, persepsi, inteligensi, fantasi dan sebagiannya dicakup oleh psikologi. Dapat disimpulkan bahwa ilmu perilaku dibentuk atau dikembangkan dari 3 cabang ilmu yaitu, psikologi, sosiologi dan antropologi sehingga dalam ilmu perilaku terdapat konotasi atau pengertian jamak “ilmu- ilmu perilaku” atau “behavioral sciences (Notoatmodjo, 2007).

2.2.3 Domain Perilaku

Perilaku adalah keseluruhan (totalitas) pemahaman dan seseorang yang merupakan hasil bersama antara faktor internal dan eksternal. Perilaku seseorang sangat kompleks dan mempunyai bentangan yang sangat luas (Notoatmodjo, 2010). Benyamin Blomm (1908) seorang ahli psikologi pendidikan, membedakan adanya 3


(41)

area wilayah, ranah atau domain perilaku ini yakni kognitif (cognitive), afektif (affective) dan psikomotor (chompsyotor). Kemudian oleh ahli pendidikan di Indonesia, ke tiga domain diterjemahkan ke dalam cipta (kognitif), rasa (afektif) dan karsa (psikomotor), atau peri cipta, peri rasa dan peri tindak (Notoatmodjo, 2007).

Dalam perkembangan selanjutnya berdasarkan pembagian domain oleh Bloom ini dan untuk kepentingan pendidikan praktis, dikembangkan menjadi tiga tingkat ranah perilaku sebagai berikut:

1. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan (knowledge) berarti apa yang telah diketahui, dalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pengetahan atau tahu ialah mengerti sesudah melihat,atau tahu sesudah menyaksikan, mengalami atau diajar.

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya seperti mata, telinga, hidung dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat di pengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda. Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkatan pengetahuan yaitu:

a. Tahu (Know )

Tahu diartikan hanya sebagai recall (mengingat kembali) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang


(42)

dipelajari atau rangsangan yang telah diterima, oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.

b. Memahami (Comprehension)

Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tertentu, tidak dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpresatikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. Misalnya orang yang memahami cara pemberantasan penyakit demam berdarah, bukan sekedar menyebutkan 3 M (mengubur, menutup, dan menguras), tetapi harus dapat menjelaskan mengapa harus menutup, menguras dan sebagainya tempat-tempat penampungan air tersebut.

c. Aplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain.

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui.


(43)

e. Sintesis (Synthesis )

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki.

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.

2. Sikap (Attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Desmita (2006) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok:

a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek. b. Kehidupan emosional atau evaluasi tehadap suatu objek.

c. Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave).

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total atitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.

Menurut Purwanto (2002) sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecendrungan untuk bertindak terhadap suatu obyek. Ciri ciri sikap adalah:


(44)

a. Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungannya dengan obyeknya. Sifat ini membedakannya dengan sifat-sifat biogenetis seperti lapar, haus, kebutuhan akan istirahat.

b. Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan karena itu pula sikap dapat berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.

c. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu obyek. Dengan kata lain, sikap itu terbentuk, dipelajari, atau berubah senantiasa berkenaan dengan suatu obyek tertentu yang dirumuskan dengan jelas.

d. Obyek sikap itu dapat merupakan suatu hal tertentu, tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut.

e. Sikap mempunyai segi motivasi dan segi-segi perasaan. Sikap inilah yang membedakan sikap dan kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang. Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. Dalam sikap positif, kecendrungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek tertentu. Sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecendrungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai obyek tertentu. Sikap dibedakan atas beberapa tingkatan:


(45)

a. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulasi yang diberikan (objek).

b. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dan sikap.

c. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

d. Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang tinggi.

3. Tindakan atau Praktek (Practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan. Tindakan dibedakan atas beberapa tingkatan:

a. Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.


(46)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.

c. Mekanisme (Mecanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.

d. Adopsi (Adoption)

Adopsi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. 2.2.4 Teori Mengenai Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku

1. Teori WHO

Tim kerja WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu adalah karena adanya 6 alasan pokok, yaitu:

a. Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. b. Kepercayaan sering atau diperoleh dari orang tua, kakek dan nenek. Seseorang

menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu.

c. Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dan pengalaman sendiri atau dan orang lain yang paling dekat. d. Orang penting sebagai referensi

Perilaku orang, lebih-lebih anak kecil, lebih banyak dipengaruhi oleh orang-orang yang dianggap penting. Apabila seseorang itu penting untuknya, maka apa yang ia katakan atau perbuat cenderung untuk dicontoh.


(47)

e. Sumber-sumber daya (resources)

Maksudnya adalah fasilitas-fasilitas uang waktu tenaga dan sebagainya. Semua itu berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau kelompok masyarakat, yang dapat bersifat positif ataupun negatif.

f. Perilaku normal, kebiasaan nilai-nilai, dan penggunaan sumber-sumber di dalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup yang pada umumnya disebut kebudayaan (Notoadmodjo, 2007).

2.3 Dukungan Sosial

2.3.1 Orang Penting Sebagai Referensi

Dukungan sosial sangat diperlukan oleh siapa saja dalam berhubungan dengan orang lain demi melangsungkan hidupnya di tengah-tengah masyarakat. “Perkawinan dan keluarga barang kali merupakan suatu dukungan sosial yang paling penting” (Rodin dan Salovey dalam Smet, 1994:133). Seseorang yang sudah menikah atau memiliki teman pendamping yang dapat dipastikan akan memberikan dukungan sosial ketika seseorang dihadapkan pada situasi-situasi yang menekan. “Dukungan sosial merupakan salah satu fungsi dari ikatan sosial, dan ikatan-ikatan sosial tersebut menggambarkan tingkat kualitas umum dan hubungan interpersonal” (Rock, dalam Smet, 1994 :134).

Dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal dan nonverbal, bantuan yang nyata atau tindakan yang diberikan oleh orang lain atau didapat karena


(48)

hubungan mereka dengan lingkungan dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi dirinya (Gottlieb, dalam Smet, 1994 :135).

Sarafino dalam Smet, (1994 :136) mengatakan bahwa “dukungan sosial mengacu pada kesenangan yang dirasakan, penghargaan akan kepedulian, atau membantu orang menerima dan orang-orang atau kelompok-kelompok lain”. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah salah satu fungsi dari ikatan sosial yang mengacu pada kesenangan, ketenangan, bantuan bermanfaat yang berupa informasi verbal atau nonverbal, bantuan nyata atau tindakan, yang diterima seseorang dan orang lain atau kelompok lain, yang didapat karena adanya hubungan sosial (interaksi), dimana hal itu memengaruhi perilakunya.

a. Fungsi Dasar Dukungan Sosial

Cohen dan Willis (dalam Bishop, 1994:170) mengatakan bahwa dukungan sosial mempunyai empat fungsi dasar yaitu:

1) Dukungan sosial membantu individu untuk merasa lebih baik terhadap dirinya sendiri dan hubungannya dengan orang lain.

2) Ketika suatu kejadian dirasakan ambigu atau tidak dapat dipahami, orang lain dapat menawarkan informasi-informasi yang penting tentang bagaimana cara memahami dan mengatasi kejadian itu.

3) Memberikan bantuan secara langsung yang berbentuk barang atau jasa untuk orang lain.


(49)

4) Membantu menghabiskan waktu dengan orang lain dalam suatu aktivitas rekreasi atau waktu luang, dan menolong individu mengatasi situasi yang sulit dengan menambahkan perasaan yang positif.

b. Jenis-jenis Dukungan Sosial

House (dalam Smet, 94:136) membedakan empat jenis atau dimensi dukungan sosial yaitu:

1) Dukungan Emosional adalah mencakup ungakapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan.

2) Dukungan Penghargaan yaitu terjadi lewat ungkapan hormat (penghargaan) positif untuk orang itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain.

3) Dukungan Instrumental yaitu mencakup bantuan secara langsung.

4) Dukungan Informatif yaitu mencakup memberi nasehat, petunjuk-petunjuk, saran-saran atau umpan balik.

Dukungan sosial sangat diperlukan oleh siapa saja baik orang normal maupun abnormal untuk berhubungan dengan orang lain. Arti dan cakupan mengenai makna dari dukungan sosial sangat luas dan mendalam. Dukungan sosial yang didapat oleh setiap individu sangat beragam. Dukungan sosial yang diterimapun tergantung pada keadaannya. Dukungan emosional lebih terasa dan dibutuhkan jika diberikan pada orang yang sedang mengalami musibah atau kesusahan. Sama halnya dengan individu yang abnormal atau mengalami kelainan baik pada fisik maupun psikologisnya, pemberian dukungan sosial ini sangat berarti bagi orang tersebut.


(50)

Dukungan sosial yang diterima seseorang pada saat dan waktu yang tepat dapat memberikan semangat atau motivasi pada individu tersebut dalam menjalani kehidupan dengan semangat karena ada seseorang yang memperhatikan dan mendukungnya.

2.3.2 Dukungan Keluarga

Menurut Sarwono (2008), dukungan adalah suatu upaya yang diberikan kepada orang lain, baik moril maupun materil untuk memotivasi orang tersebut dalam melaksanakan kegiatan. Menurut Santoso (2001), dukungan yaitu suatu usaha untuk menyokong sesuatu, atau suatu daya upaya untuk membawa sesuatu.

Bailon dan Maglaya dalam Sudiharto (2007) menyatakan bahwa keluarga adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka hidup dalam satu rumah tangga, melakukan interaksi satu sama lain menurut peran masing-masing, serta menciptakan dan mempertahankan suatu budaya. Keluarga juga dapat diartikan suatu kelompok yang terdiri dan dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan darah, perkawinan, atau adopsi serta tinggal bersama.

Dukungan keluarga merupakan suatu proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan berbeda-beda pada setiap tahap siklus kehidupan (Friedman, 1998). Sudiharto (2007) menyatakan, setiap anggota keluarga mempunyai struktur peran formal dan informal. Misalnya, ayah mempunyai peran formal sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah. Peran informal ayah adalah sebagai panutan dan pelindung keluarga. Struktur kekuatan keluarga meliputi kemampuan berkomunikasi,


(51)

kemampuan keluarga untuk saling berbagi, kemampuan sistem pendukung diantara anggota keluarga, kemampuan perawatan diri, dan kemampuan menyelesaikan masalah.

2.3.3 Fungsi Dukungan Keluarga

Caplan (1964) dalam Friedman (1998) menjelaskan bahwa keluarga memiliki beberapa fungsi dukungan yaitu:

a. Dukungan informasional

Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator (penyebar) informasi tentang dunia. Menjelaskan tentang pemberian saran, sugesti, informasi yang dapat digunakan mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi.

b. Dukungan penilaian

Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator indentitas anggota keluarga di antaranya memberikan support, penghargaan, perhatian.

c. Dukungan instrumental

Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, di antaranya: kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, terhindarnya penderita dan kelelahan.


(52)

d. Dukungan emosional

Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dan dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan.

2.3.4 Sumber Dukungan Keluarga

Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan sosial yang dipandang oleh keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses/diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan). Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial kelurga internal, seperti dukungan dan suami/istri atau dukungan dan saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal (Friedman 1998).

2.3.5 Manfaat Dukungan Keluarga

Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan. Namun demikian, dalam semua tahap siklus kehidupan, dukungan sosial keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Friedman, 1998).

Wills (1985) dalam Friedman (1998) menyimpulkan bahwa baik efek-efek penyangga (dukungan sosial menahan efek-efek negatif dan stres terhadap kesehatan)


(53)

dan efek-efek utama (dukungan sosial secara langsung memengaruhi akibat-akibat dari kesehatan) pun ditemukan. Sesungguhnya efek-efek penyangga dan utama dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan boleh jadi berfungsi bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit dan di kalangan kaum tua, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi (Ryan dan Austin dalam Friedman, 1998).

2.3.6 Faktor yang Memengaruhi Dukungan Keluarga

Menurut Feiring dan Lewis (1984 dalam Friedman 1998), ada bukti kuat dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil secara kualitatif menggambarkan pengalaman-pengalaman perkembangan. Anak-anak yang berasal dari keluarga kecil menerima lebih banyak perhatian daripada anak-anak dari keluarga yang besar. Selain itu, dukungan yang diberikan orangtua (khususnya ibu) juga dipengaruhi oleh usia.

Faktor-faktor yang memengaruhi dukungan keluarga lainnya adalah kelas sosial ekonomi orangtua. Kelas sosial ekonomi disini meliputi tingkat pendapatan, pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan. Dalam keluarga kelas menengah, suatu hubungan yang lebih adil mungkin ada, sementara dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih otoritas atau otokrasi. Selain itu orang tua dengan kelas sosial menengah mempunyai tingkat dukungan, afeksi dan keterlibatan yang lebih tinggi daripada orang tua dengan kelas sosial rendah (Akhmadi, 2010).


(54)

Faktor-faktor yang memengaruhi dukunagan keluarga adalah: 1. Faktor internal

a. Pendidikan dan tingkat pengetahuan

Keyakinan seseorang terhadap adanya dukungan terbentuknya oleh variabel intelektual yang terdiri dari pengetahuan, latar belakang pendidikan, dan pengalaman masa lalu. Kemampuan kognitif akan membentuk cara berpikir seseorang termasuk kemampuan untuk memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan kesehatan.

b. Faktor emosi

Seseorang yang mempunyai respon stres dalam setiap perubahan hidupnya cenderung berespon terhadap berbagai tanda sakit, mungkin dilakukan dengan cara mengkhawatirkan bahwa penyakit tersebut dapat mengancam nyawanya. c. Spiritual

Aspek spiritual dapat dilihat bagaimana seseorang menjalani kehidupannya, mencakup nilai dan keyakinan yang dilaksanakan hubungan antar keluarga atau teman, dan kemampuan mencari harapan dan arti hidup.

2. Faktor eksternal a. Praktik di keluarga

Cara bagaimana keluarga memberikan dukungan biasanya mempengaruhi remaja dalam menjaga kesehatannya. Misalnya orang tua yang sering mengajak anaknya memeriksakan kesehatan rutin, maka ketika punya anak dia akan melakukan hal yang sama.


(55)

b. Faktor sosial ekonomi

Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang, dia akan tanggap terhadap terhadap gejala penyakit yang dirasakannya, sehingga akan segera mencari pengobatan ketika merasa ada gangguan pada kesehatannya.

c. Latar belakang budaya

Latar belakang budaya seseorang memengaruhi keyakinan, nilai dan kebiasaan, dalam memberikan dukungan termasuk cara pelaksanaan kesehatan pribadi (Hady, 2009).

2.4 Perilaku Seksual Remaja

Menurut Sarwono (2008), perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dari lawan jenisnya maupun dengan sesama jenisnya. Seperti yang kita ketahui umumnya remaja laki-laki lebih mendominasi dalam melakukan tindak perilaku seksual bila dibandingkan dengan remaja perempuan. Hal ini dikarenakan banyaknya faktor yang membuat remaja laki-laki untuk menyalurkan hasrat seksualitasnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa negara maju menunjukkan bahwa remaja laki-laki lebih banyak melakukan hubungan seksual pada usia lebih muda bila dibandingkan dengan remaja perempuan.

Sedangkan faktor-faktor yang memengaruhi perilaku seksual yang terjadi pada remaja, antara lain:


(56)

1. Faktor Internal

a. Tingkat perkembangan seksual (fisik/psikologis)

Dimana perbedaan kematangan seksual akan menghasilkan perilaku seksual yang berbeda pula. Misalnya anak yang berusia 4-6 tahun berbeda dengan anak 13 tahun.

b. Pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi

Anak yang memiliki pemahaman secara benar dan proporsional tentang kesehatan reproduksi cenderung memahami resiko perilaku serta alternatif cara yang dapat digunakan untuk menyalurkan dorongan seksualnya.

c. Motivasi

Perilaku yang pada dasarnya berorientasi pada tujuan atau termotivasi untuk memperoleh tujuan tertentu. Perilaku seksual seseorang memiliki tujuan untuk memperoleh kesenangan, mendapatkan perasaan aman dan perlindungan, atau untuk memperoleh uang, misalnya pekerja seks seksual (PSK).

2. Faktor Eksternal a. Keluarga

Kurangnya komunikasi secara terbuka antara orang tua dengan remaja dapat memperkuat munculnya perilaku menyimpang pada remaja.

b. Pergaulan

Pada masa pubertas, perilaku seksual pada remaja sangat dipengaruhi oleh lingkungan pergaulannya dimana pengaruh dari teman sebaya sebagai pemicu terbesar dibandingkan orangtuanya atau anggota keluarga lainnya.


(57)

c. Media massa

Kemajuan teknologi mengakibatkan maraknya timbul berbagai macam media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan yang paling dicari oleh remaja adalah internet. Dari internet, remaja dapat dengan mudah mengakses informasi yang tidak dibatasi umur, tempat dan waktu. Informasi yang diperoleh biasanya akan diterapkan dalam kehidupan kesehariannya.

Banyaknya perilaku seksual yang terjadi muncul karena adanya dorongan seksual atau kegiatan yang tujuannya hanya untuk mendapatkan kesenangan organ seksual melalui berbagai perilaku. Hal ini sejalan dengan pendapat Wahyudi (2004), beberapa perilaku seksual secara rinci dapat berupa:

1. Berfantasi merupakan perilaku membayangkan dan mengimajinasikan aktivitas seksual yang bertujuan untuk menimbulkan perasaan erotisme.

2. Pegangan tangan dimana perilaku ini tidak terlalu menimbulkan rangsangan seksual yang begitu kuat namun biasanya muncul keinginan untuk mencoba perilaku lain.

3. Cium kening berupa sentuhan pipi dengan pipi atau pipi dengan bibir. 4. Cium basah berupa sentuhan bibir ke bibir.

5. Meraba merupakan kegiatan pada bagian-bagian sensitive rangsang seksual seperti leher, dada, paha, alat kelamin dan lain-lain.

6. Berpelukan, perilaku ini hanya menimbulkan perasaan tenang, aman, nyaman disertai rangsangan seksual (apabila mengenai daerah sensitif).


(58)

7. Masturbasi (wanita) atau Onani (laki-laki) merupakan perilaku merangsang organ kelamin untuk mendapatkan kepuasan seksual dan dilakukan sendiri.

8. Oral seks merupakan perilaku seksual dengan cara memasukkan alat kelamin ke dalam mulut lawan jenis.

9. Petting merupakan seluruh perilaku yang non intercourse (hanya sebatas pada menggesekkan alat kelamin).

10.Intercourse (senggama) merupakan aktivitas seksual dengan memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin wanita.

2.5 Kesehatan Reproduksi

Sesuai dengan defenisi WHO (1992) dalam Anshor (2006), kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan, dalam segala aspek yang berhubungan dengan system reproduksi, fungsi serta prosesnya. Pengertian sehat di sini tidak semata-mata berarti bebas penyakit atau bebas dari kecacatan namun juga sehat secara mental serta sosial kultural. Remaja perlu mengetahui kesehatan reproduksi agar memiliki informasi yang benar mengenai proses reproduksi serta berbagai faktor yang ada di sekitarnya. Dengan informasi yang benar diharapkan remaja memiliki sikap dan tingkah laku yang bertanggung jawab mengenai proses-proses reproduksi yang dialaminya.

Pengetahuan dasar yang perlu diberikan kepada remaja agar mereka mempunyai wawasan kesehatan reproduksi yang baik adalah:


(59)

1. Pengenalan mengenai sistem, proses dan fungsi alat reproduksi (aspek tumbuh kembang remaja).

2. Mengapa remaja perlu mendewasakan usia kawin serta bagaimana merencanakan kehamilan agar sesuai dengan keinginannya dan pasangannya.

3. Pengenalan mengenai Penyakit menular seksual dan HIV/AIDS serta dampaknya terhadap kondisi kesehatan reproduksi.

4. Bahaya narkoba dan miras pada kesehatan reproduksi. 5. Peran dan pengaruh media terhadap perilaku seksual. 6. Kekerasan seksual dan bagaimana menghadapinya.

7. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi termasuk memperkuat kepercayaan diri agar mampu menangkal hal-hal yang bersifat negatif.

8. Hak-hak reproduksi.

2.6 Hubungan Seksuai Pra-Nikah

Hubungan seksual ialah masuknya penis ke dalam vagina. Bila terjadi ejakulasi (pengeluaran cairan sperma) dengan posisi alat kelamin laki-laki berada dalam vagina memudahkan pertemuan sel telur yang menyebabkan terjadinya pembuahan dan kehamilan, sedangkan hubungan seksual pra-nikah merupakan tindakan seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing individu (Anonim, 2005).


(60)

Berbagai perilaku seksual remaja yang belum saatnya untuk melakukan hubungan seksual secara wajar antara lain dikenal sebagai berikut:

1. Masturbasi atau onani yaitu suatu kebiasaan buruk berupa manipulasi terhadap alat genital dalam rangka menyalurkan hasrat seksual pemenuhan kenikmatan yang sering kali menimbulkan guncangan pribadi dan emosi.

2. Berpacaran dengan berbagai perilaku seksual yang ringan seperti sentuhan, pegangan tangan sampai ciuman dan sentuhan-sentuhan seks yang pada dasarnya adalah keinginan untuk menikmati dan memuaskan dorongan seksual.

3. Berbagai kegiatan yang mengarah kepada pemuasan dorongan seksual yang pada dasarnya menunjukkan tidak berhasilnya seseorang dalam mengendalikan atau kegagalan dalam mengalihkan dorongan tersebut ke kegiatan lain yang masih dapat dikerjakan. Contohnya, menonton atau membaca hal-hal yang berbau pornogafi, dan berfantasi.

4. Dorongan atau hasrat untuk melakukan hubungan seksual selalu muncul pada remaja, oleh karena itu bila ada penyaluran yang tidak sesuai (pra-nikah) maka harus dilakukan usaha untuk memberi pengertian dan pengetahuan mengenai hal tersebut (Gunarsa, 2000).

Ada beberapa faktor yang memengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seks untuk pertama kali:

1. Waktu/saat mengalami pubertas. Saat itu mereka tidak pernah memahami tentang apa yang dialaminya.


(61)

3. Frekuensi pertemuan dengan pacarnya. Mereka mempunyai kesempatan untuk melakukan, pertemuan yang makin sering tanpa kontrol yang baik sehingga hubungan akan makin mendalam.

4. Kondisi keluarga yang tidak memungkinkan untuk mendidik anak-anak untuk memasuki masa remaja dengan baik.

5. Status ekonomi. Mereka yang hidup dengan fasilitas yang berkecukupan akan mudah mendapatkan akses ke tempat-tempat rawan yang memungkinkan adanya kesempatan melakukan hubungan seksual. Sebaliknya kelompok yang ekonomi lemah tetapi banyak kebutuhan/tuntutan, mereka mencari kesempatan memanfaatkan dorongan seksnya demi mendapatkan sesuatu.

6. Tekanan dari teman sebaya. Kelompok sebaya kadang-kadang saling ingin menunjukkan kematangannya. Misalnya : mereka (pria) ingin menunjukkan bahwa mereka mampu membujuk pasangannya untuk melakukan hubungan seks. 7. Adanya keinginan untuk menunjukkan cinta pada pacarnya.

8. Penerimaan aktifitas seksual dari pacarnya.

9. Terjadinya peningkatan rangsangan seksual akibat peningkatan kadar hormon seksual.

2.7 Dampak dari Melakukan Hubungan Seksual Pra-Nikah 2.7.1 Aspek Medis

Dari aspek medis, melakukan hubungan seksual pra-nikah memiliki banyak konsekuensi, yaitu sebagai berikut:


(62)

a. Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD) pada Usia Muda

Mudanya usia ditambah lagi minimnya informasi tentang “bagaimana seorang perempuan bisa hamil”, mempertinggi kemungkinan terjadinya kasus kehamilan yang tidak diinginkan. Menurut data PKBI (Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia) 37.700 perempuan mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Dari jumlah itu 30% adalah masih remaja; 27,0% belum menikah; 12,5% masih berstatus pelajar dan sisanya adalah ibu rumah tangga (Adiningsih, 2007).

b. Aborsi

Dengan status mereka yang belum menikah, maka besar kemungkinan kehamilan tersebut tidak dikehendaki dan aborsi merupakan salah satu alternatif yang kerap diambil oleh remaja. Setiap tahun terdapat sekitar 2,6 juta kasus aborsi di Indonesia, yang berarti setiap jam terjadi sekitar 300 tindakan pengguguran janin dengan resiko kematian ibu. Menurut Deputi Bidang Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Siswanto Agus Wilopo, sedikitnya 700 ribu di antaranya dilakukan oleh remaja (perempuan) berusia di bawah 20 tahun. Sebanyak 11,13% dari semua kasus aborsi dilakukan karena kehamilan yang tidak dinginkan (Adiningsih, 2007).

3. Meningkatkan resiko terkena kanker rahim

Boyke Dian Nugroho mengungkapkan bahwa hubungan seksual yang dilakukan sebelum usia 17 tahun resiko terkena penyakit kanker mulut rahim menjadi empat hingga lima kali lipat lebih tinggi (Adiningsih, 2007).


(63)

c. Terjangkit Penyakit Menular Seksual (PMS)

PMS adalah penyakit yang dapat ditularkan dan seseorang kepada orang lain melalui hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan baik melalui vagina, oral maupun anal. Bila tidak diobati dengan benar, penyakit mi dapat berakibat serius bagi kesehatan reproduksi, seperti terjadinya kemandulan, kebutaan pada bayi yang barn lahir bahkan kematian. Ada banyak macam penyakit yang bisa digolongkan sebagai PMS. Di Indonesia yang banyak ditemukan saat ini adalah gonore (GO), sifillis (raja singa), herpes kelamin, kiamidia, tikomoniasis vagina, kutil kelamin hingga HIV/AIDS (Djuanda, 2005).

2.7.2 Aspek Sosial-Psikologis

Dari aspek-psikologis, melakukan hubungan seksual pra-nikah akan menyebabkan remaja menjadi memiliki perasaan dan kecemasan tertentu, sehingga bisa memengaruhi kondisi kualitas sumber daya manusia (remaja) di masa yang akan datang. Kualitas SDM remaja ini adalah:

a. Kualitas Mentalis; kualitas mentalis remaja laki-laki dan perempuan yang terlibat perilaku seksual pra-nikah akan rendah bahkan cenderung memburuk. Mereka tidak memiliki etos kerja dan disiplin yang tinggi, karena dibayangi masa lalunya. Cepat menyerah pada nasib, tidak sanggup menghadapi tantangan dan ancaman hidup, rendah diri dari berkompetisi.

b. Kualitas kesehatan reproduksi; hal ini erat kaitannya dengan dampak medis karena dampak fisik perempuan khususnya. Sedangkan laki-laki akan memiliki resiko terkena impotensi.


(1)

2. Bagi Remaja

Remaja dapat meningkatkan pengetahuan tentang seks pranikah, pemahaman tingkat agama, dengan mencari informasi yang baik dan akurat serta dapat memilih teman yang baik agar tidak terpengaruh terhadap perilaku seks pranikah.

3. Bagi Keluarga

Orang tua dapat memberikan pengetahuan tentang seks pranikah pada remaja sejak usia dini, pemahaman agama yang baik serta memberikan informasi yang baik dan bertanggung jawab agar remaja tidak salah dalam mendapatkan informasi yang dapat mempengaruhi perilaku seks pranikah.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Achjar, 2006. Psikologi Penelitian. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Adiningsih, 2007. Pengaruh Nilai Anak dan Jumlah Anak. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Akhmadi, 2010. Perilaku Organisasi Edisi Kesepuluh, Jakarta: Index Kelompok Gramedia.

Alwi, H. 2005., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka

Amrillah, 2008. Remaja dan Orangtua. Jakarta: Index Kelompok Gramedia. Anonim, 2005. Hubungan dan Seksualitas. Jakarta: Index Kelompok Gramedia. Anshor, 2006. Kesehatan Reproduksi. Jakarta: Sagung Seto.

Apulina, 2008. Psikologi Sosial Remaja. Jakarta: Rajawali Pers. Arikunto, 2002. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. _______, 2007. Proses Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.

Badura, 1997. Pendidikan dan perilaku Kesehatan, Jakarta: Rhineka Cipta

Biro Pusat Statistik Sumatera Utara,2008. BKKBN, 2004. Panduan Pengelolaan Program KB”, Jakarta.

_______, 2005. “Kebijakan Nasional Penyediaan Alat dan Obat Kontrasepsi Dalam Pelayanan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi”, Jakarta.

Bishop, 1994. Dukungan social terhadap Keluarga. Jakarta: Rajawali Pers. Cangara, 1998. Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Cuningham, 2004. Promosi Kesehatan. Jakarta. Buku Kedokteran EGC.

Damyati, 2008. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Desmita, 2006. Mengambil Keputusan-keputusan yang Masuk akal. Jakarta: Salemba Medika.


(3)

Dimyati, 2002. Transisi Remaja. Jakarta: Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia

Dhede, 2002. Kepribadian Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Dianawati, 2003. Pengaruh Nilai Budaya Masyarakat Terhadap Ibu Hamil, Bersalin, dan Nifas di Desa Teluk Pulau Kabupaten Rokan Hilir.

Djuanda, 2005. Penyakit Kelamin. Jakarta : Rajawali Pers

Fatin,2005. Hubungan Antara Pengetahuan Seksualitas dan Religius Dengan Intensi Perilaku Seksual Pada Mahasiswa. Yogyakarta: Gajah Mada University Pers. Freidmen, 1998. Dari Anak Sampai Usia Lanjut. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Gozhali, 2005. Manejemen Penelitian. Bandung: Bandar Maju. Gunarsa, 2000. Psikologi belajar. Jakarta: Rhineka Cipta.

Hady, 2009. Pengaruh Nilai dan Jumlah Anak Pada Keluarga Terhadap Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS)

Hamalik, 2002. Riset keperawatan dan Tehnik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika.

Haris, 2001. Keluarga berencana dan Kontrasepsi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo

Hartanto, H., 2004. Keluarga berencana dan Kontrasepsi. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.

Hendranata, 2010. The Power of Sex. Jakarta: Indeks Kelompok Gramedia,

Hidayat, 2010. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika.

Hopson, 2002. Komunikasi Keluarga. Jakarta: Indeks Komunikasi.

Hurlock, 1993. Pentingnya Seks. Terjemahan dari Meitasari Tjandra. Jakarta: Erlangga.


(4)

Iniany,2005. Promosi Kesehatan. Jakarta: Index Kelompok Gramedia.

Juliandi, 2003. Beberapa Faktor Yang Berkaitan Dengan KB IUD pada Peserta KB Non IUD di Kecamatan Pedurungan Kota Semarang

Kartika, 2009. Metode Perancangan Percobaan.Armoci, Bandung. Kartono, 1995. Psikologi Anak. Bandung: Mandar Maju.

Kinnaird, 2003. Anak Rremaja Dan Keluarga. Jakarta: Rajawali Press

Koentjaranigrat, 1997. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan. Maarof, 2003. Manusia Dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Jembatan.

Magdalena, 2000. Komunikasi Yang Menguntungkan. Jakarta: Rajawali Pers Mahmood, 2001. Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Press.

Maulana, 2009. Promosi Kesehatan, Jakarta: EGC

Narendra, 2002. Pedoman Klinis Kontrasepsi, Jakarta: EGC.

Nelson, 2000. Statistik Terapan untuk Penelitian Ilmu- Ilmu Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Notoadmodjo, 2006 . Biologis Mahkluk Hidup. Jakarta : Rineka Cipta

___________. 2007. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. ___________, 2010. Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nurgiyantoro, B., 2004. Statistik Terapan untuk Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Pardede, 2002. Masa Remaja – Buku Ajar I Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta: Sagung Seto.

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBL), 2001. Panduan Pengelolaan Program KB. Jakarta.

___________, 2007. Beberapa Faktor yang berkaitan dengan Penggunaan KB IUD. Jakarta.


(5)

Prasetyo, 2005. Metode Penelitian Kuantitatif Teori dan. Aplikasi, Jakarta: . Raja Grafindo Persada

Prawirohardjo, 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Purwanto, 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo

Purnomo, 2004. Dari Anak Sampai Usia Lanjut. Jakarta: Rajawali Press Riduwan, 2002. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung: Alpabet.

Robbins, 2006. Perilaku Organisasi. Edisi kesepuluh. Penerbit: Bandung: Indeks Kelompok Gramedia.

_________, 2005. Ilmu kebidanan. Jakarta: YBPSP.

Rohmawaty, 2008. Pengaruh Nilai Budaya terhadap Perawatan Ibu Hamil. Jakarta- Rajawali Pers.

Saifuddin, dan Hidayana, 1999. Seksualitas Remaja. Jakarta: Pustaka Sinar.

Santoso, 2001. Mengolah data Statistik secara Profesional. Jakarta. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.

Santrock, 2005. Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga.

Sardiman, 2003. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Sarwono, 2006. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

________,2008. Peranan Orangtua dalam Pendidikan Seks. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Siagian, 2006. Saatnya Memperhatikan Kesehatan Wanita usia Menupause. Jakarta: Ganesha.

Simons-Morton B.G., Greene, W.H. and Gottlieb, N.H. 1995. Introduction to Health Education and Health Promotion. Second edition. Waveland Press, Inc. Illinois, USA


(6)

Singarimbun, 1985. Metode Penelitian Survey. Jakarta: Pustaka LP3ES. Smet, 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Soemardjan Selo, dan Soelaiman Soemardi. 2004. Setangkai Bunga Sosiologi .Jakarta:

Lembaga FE UI

Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta: Sagung Seto.

Speroff, 2005. Pedoman Klinis Kontrasepsi. Jakarta : EGC.

Sudarmi, 2008. Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. Sudiharto, 2007. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Lembaga FE UI.

________, 2007. Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Keperawatan Transtruktural. Jakarta: EGC.

Sunarmi, 2003. Metode Penelitian Survey. Jakarta. Pustaka LP3ES. Sunarti, 2003. Pedoman Klinis Kontrasepsi. Jakarta: EGC

Sungadi, 2007. Pengaruh Nilai dan Jumlah Anak pada Keluarga terhadap Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS)

Sutrisno, 2010. Pengantar Komunikasi. Jakarta: Grafindo.

Syafrudin, 2008. Perilaku Remaja di Masa Mendatang. Jakarta: Rajawali Pers

Synoviate, 2005. Potensi Informasi Seksual. Jakarta : Rajawali Pers.

Tukiran, 2010. Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Vincet, 1991. Metode Perancangan Percobaan. Bandung: Armico. Wahyudi, 2004. Komunikasi dan Perilaku. Jakarta: Rajawali Pers.

Wiknjosastro, H. 2005, ”Ilmu Kandungan”, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohadjo.