BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Sikap Dan Perilaku Nelayan Terhadap Kinerja Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) (Kasus : Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Karakteristik Nelayan

  Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budi daya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya (Imron, 2003).

  Nelayan sebagai suatu entitas masyarakat pantai memiliki struktur dan tatanan sosial yang khas, yaitu suatu komunitas yang kelangsungan hidupnya bergantung pada perikanan sebagai dasar ekonomi (based economic) agar tetap bertahan hidup (survival). Pemahaman kemiskinan nelayan tidak hanya dapat didekati dengan penjelasan ketertinggalan budaya (cultural-lag analysis), karena beragam faktor penyebab (multicausal factor) dan pendulum yang menyertai riwayat integritas masyarakat pantai, terutama saat nelayan diuji korelasi dampak struktural dari krisis ekonomi dan dampak fenomena alam yaitu “El Nino – La Nina”. Temuan Kusnadi (1997) menegaskan bahwa diverfikasi pekerjaan di kalangan nelayan walaupun andal meningkatkan pendapatan, tetapi tidak cukup dijadikan sebagai pilihan kebijakan, karena perangkap kemiskinan nelayan telah berkorelasi dengan pola-pola mata pencahariannya yang dibatasi oleh aktivitas pekerjaan lainnya; atau apakah diperlukan suatu rekayasa sosial agar komunitas masyarakat pantai terlepas dari kemiskinan dan ketertinggalannya dalam era globalisasi yang meretas bata-batas dunia (Sitorus, 2005).

  Rendahnya tingkat pendapatan nelayan disebabkan berbagai faktor, seperti kekurangan modal untuk mengembangkan usaha, menurunnya daya dukung lingkungan yang membuat hasil tangkapan berkurang, rendahnya kualitas sumber daya menusia, rendahnya mutu produk dan sebagainya. Di samping karena kondisi kesejahteraan masyarakat nelayan masih rendah, jumlah penduduk Indonesia yang menggantungkan hidup, baik dari penangkapan maupun dari budidaya ikan ini cukup besar, maka upaya untuk meningkatkan kesejahteraan para nelayan atau masyarakat pesisir ini perlu mendapat perhatian besar. Berbagai upaya untuk ke arah ini sudah dilakukan, terutama melalui berbagai program pemberdayaan masyarakat nelayan atau pesisir. Namun, berbagai program tersebut masih perlu dipertajam lagi, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas (Basri, 2007). Sanjatmiko (2011) mengemukakan beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan antara lain program kredit usaha nelayan, subsidi bahan bakar minyak, pembagian wilayah penangkapan berdasarkan peralatan tangkap nelayan, larangan penghapusan operasi kapal pukat harimau, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta dan alokasi dana sekitar Rp.927,82 milyar untuk menyejahterakan nelayan. Namun demikian penegakkan regulasi dan implementasi program-program tersebut masih lemah, mengindikasikan seolah-olah regulasi dan kebijakan tersebut tidak pernah ada sehingga belum berhasil meningkatkan kesejahteraan nelayan.

  2.1.2. Hubungan Karakteristik dengan Sikap

  Tiap-tiap nelayan memiliki ciri karakter pribadi yang unik sesuai dengan latar belakang sosial demografi mereka. Ciri karakteristik individu sebagai background

  

factor diduga memengaruhi sikap. Salah satu contoh hasil penelitian tentang

  hubungan karakteristik individu terhadap sikap adalah penelitian Smith et al (2008) Can the Theory of Planned Behavior Help Explain Men’s Psychological

  

Help-Seeking? Evidence for a Mediation Effect and Clinical Implications meneliti

  tentang adanya hubungan positif antara karakteristik individu berupa usia, golongan etnik, ras, status perkawinan terhadap sikap responden tentang pencaharian bantu psikologi bagi laki-laki, Collin dan Carey (2007) The Theory of

  

Planned Behavior as a Model of Heavy Episodic Drinking Among College

Students menemukan adanya hubungan positif karakteristik individu berupa usia,

  jenis kelamin, tahun keberadaan di sekolah, golongan etnik, tempat tinggal terhadap sikap responden tentang kegiatan heavy episodic drinking (HED) (Sanjatmiko, 2011).

  2.1.3. Hubungan Karakteristik dengan Kemampuan Berperilaku Karakteristik diduga memiliki hubungan erat dengan kemampuan berperilaku.

  Kemampuan berperilaku adalah persepsi nelayan tentang keyakinan akan kemampuannya melakukan perilaku tertentu, apakah merupakan sesuatu yang mudah dilakukan atau sebaliknya (Sanjatmiko, 2011). Beberapa contoh hasil penelitian yang menunjukkan adanya hubungan positif antara karakteristik individu dengan kemampuan berperilaku. Dalam penelitian penderita dalam perilaku fisik memanfaatkan waktu luang (Leisure Time Physical

  

Activity). Galea dan Bray (2006) Predicting Walking Intentions and Exercise in

Individuals With Intermittent Claudication: An Application of the Theory of

Planned Behavior melihat adanya hubungan positif antara antara karakteristik

dengan kemampuan Berperilaku (Sanjatmiko, 2011).

  Penelitian yang dilakukan Sanjatmiko (2011) mengungkapkan bahwa peubah sikap, kepatuhan terhadap patron (orang yang dianggap suri tauladan) dan peubah kemampuan berperilaku merupakan faktor-faktor yang memengaruhi secara langsung peubah niat untuk berperilaku nelayan dalam kegiatan perikanan tangkap. Peubah karakteristik individu nelayan mempengaruhi secara tidak langsung peubah niat untuk berperilaku.

2.1.4. Kinerja Organisasi

  Konsep kinerja (Performance) dapat didefinisikan sebagai sebuah pencapaian hasil atau degree of accomplishtment. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja suatu organisasi itu dapat dilihat dari tingkatan sejauh mana organisasi dapat mencapai tujuan yang didasarkan pada tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya (Keban, 2004). Pengertian kinerja merupakan terjemahan dari performance yang sering diartikan sebagai penampilan, unjuk rasa, atau prestasi. Para ahli mengemukakan beberapa definisi tentang konsep kinerja. Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan / program / kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning

  Dalam menilai kinerja organisasi harus dikembalikan pada tujuan atau alasan dibentuknya suatu organisasi.. Indikator yang masih bertalian dengan sebelumnya adalah seberapa besar efisiensi pemanfaatan input untuk meraih keuntungan itu dan seberapa besar effectivity process (proses efektivitas) yang dilakukan untuk meraih keuntungan tersebut (Keban, 2004).

2.1.4.1. Indikator Mengukur Kinerja Organisasi

  Untuk menilai kinerja organisasi ini tentu saja diperlukan indikator-indikator atau kriteria-kriteria untuk mengukurnya secara jelas. Tanpa indikator dan kriteria yang jelas tidak akan ada arah yang dapat digunakan untuk menentukan mana yang relatif lebih efektif diantara : alternatif alokasi sumber daya yang berbeda; alternatif desain-desain organisasi yang berbeda; dan diantara pilihan-pilihan pendistribusian tugas dan wewenang yang berbeda (Bryson, 2002).

  Dalam organisasi publik, sulit untuk ditemukan alat ukur kinerja yang sesuai. Bila dikaji dari tujuan dan misi utama kehadiran organisasi publik adalah untuk memenuhi kebutuhan dan melindungi kepentingan publik, kelihatannya sederhana sekali ukuran kinerja organisasi publik, namun tidaklah demikian kenyataannya, karena hingga kini belum ditemukan kesepakatan tentang ukuran kinerja organisasi publik (Bryson, 2002).

  Kesulitan dalam pengukuran kinerja organisasi pelayanan publik sebagian muncul karena tujuan dan misi organisasi publik seringkali bukan hanya kabur akan tetapi juga bersifat multidimensional. Organisasi publik memiliki stakeholders organisasi swasta. Stakeholders dari organisasi publik seringkali memiliki kepentingan yang berbenturan satu dengan yang lainnya, akibatnya ukuran kinerja organisasi publik dimata para stakeholders juga menjadi berbeda-beda. Namun ada beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik yaitu sebagai berikut (Dwiyanto, 1995).

  1) Produktivitas

  Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dengan output.

  2) Kualitas Layanan

  Kepuasan masyarakat bisa menjadi parameter untuk menilai kinerja organisasi publik.

  3) Responsivitas

  Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat menyusun agenda dan prioritas pelayanan dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

  4) Responsibilitas

  Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit.

  5) Akuntabilitas

  Akuntabilitas publik menunjukan pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat, asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat.

  6) Efisiensi

  Efisiensi menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi pelayanan publik mendapatkan laba, memanfaatkan fakltor-faktor produksi serta pertimbangan yang berasal dari rasionalitas ekonomis.

  7) Efektivitas

  Apakah tujuan dari didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut tercapai? Hal tersebut erat kaitannya organisasi rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi serta fungsi agen pembangunan.

  8) Keadilan

  Keadilan mempertanyakan distribusi dan alokasi layanan yang diselenggarakan

9) Daya Tanggap

  Berlainan dengan bisnis yang dilaksanakan oleh perusahaan swasta, organisasi pelayanan publik merupakan bagian dari daya tanggap negara atau pemerintah akan kebutuhan vital masyarakat. Oleh sebab itu, kriteria organisasi tersebut secara keseluruhan harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan oleh organisasi demi memenuhi kriteria daya tanggap ini (Dwiyanto, 1995).

2.1.5. Organisasi Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI)

  Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) secara nasional resmi berdiri pada tanggal 21 Mei 1973. Organisasi ini lahir dari pernyataan sikap secara bersama oleh enam organisasi nelayan sebelumnya, yakni Organisasi Nelayan Golkar, Pungurus pusat SERNEMI (Serikat Nelayan Muslimin Indonesia), Pengurus Besar Serikat Nelayan Islam Indonesia, Gerakan Nelayan Marhein, Karyawan Nelayan Pancasila, dan Dewan Pimpinan Pusat GENSI. Sejak resmi berdiri, praktis tidak ada lagi organisasi nelayan selain HNSI (Daud, 2007).

  Secara politis, organisasi HNSI pada awalnya didorong atau lebih dikehendaki untuk melakukan proses dopolitisasi (penggabungan) terhadap masyarakat nelayan yang sebelumnya terkotak-kotak dalam beberapa kelompok dengan orientasi kepentingan politik yang berbeda-beda. Setelah proses ini berhasil diprakarsai, dan HNSI terbentuk menjadi sebuah kekuatan yang menghimpun seluruh nelayan di Indonesia, ternyata dalam perjalanannya hanya menjadi instrumen politik bagi kepentingan rezim Orde Baru. Sehingga eksistensi HNSI yang diharapkan dapat mengartikulasikan kepentingan nelayan, mengambil hukum adat dan memberikan hak-hak ekslusif kepada nelayan selama itu tidak pernah tercapai (Daud, 2007).

2.1.6. Peranan Organisasi Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI)

  Terpinggirkannya nelayan dalam proses politik dan hukum terjadi karena sangat lemahnya posisi tawar nelayan di mata pemerintah. Pada tingkat politik, nelayan merupakan aktor terlemah dalam relasi kekuasaan pengelolaan sumberdaya. Secara politik, nelayan tidak berdaya menghadapi industri yang merusak laut maupun menghadapi kekuatan luar, global, kapital dan negara. Dari aspek hukum lemah karena tidak ada perlindungan terhadap hak-hak komunal pesisir atau nelayan (hukum adat dan kearifan lokal dalam konsep pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan). Bagaimana posisi tawar nelayan tidak menjadi lemah, kalau produk hukum yang dilahirkan pun mereka (nelayan) tidak mendapatkan legitimasi (Daud, 2007). Fenomena dan fakta tersebut tentu bisa dipahami karena berkaitan erat dengan strategi dan kebijakan pemerintah masa lalu yang menganaktirikan sumberdaya pesisir dan lautan. Diperparah dengan konfigurasi kebijakan ekonomi bahwa sumberdaya perikanan laut adalah milik bersama (common property), sentralistik dan mengabaikan pluralisme hukum masyarakat. Kebijakan wilayah pesisir dan lautan yang didasarkan pada doktrin “common property” telah menyebabkan wilayah laut nasional menjadi arena pertarungan di bawah kekuasaan “hukum samudra”, siapa yang kuat akan keluar sebagai pemenangnya. Konsekuensi logisnya, selain gagal memberikan perlindungan hukum bagi pelaku-pelaku utama secara ekonomi sumberdaya (overeksploitasi), ekologis (kerusakan ekosistem sumberdaya alam pesisir dan laut (perikanan)), maupun kemiskinan struktural yang diderita oleh masyarakat pesisir-nelayan (Daud, 2007). Sentralisme kebijakan dan antipluralisme hukum juga tidak kalah destruktifnya. Keduanya secara sinergis telah menciptakan konflik antar pelaku sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Di mata nelayan tradisional, kebijakan tersebut lebih dipahami sebagai legalisasi persekongkolan pemerintah dengan pengusaha untuk menguras sumberdaya alam, tanpa memperdulikan kepentingan nelayan. Citra itu semakin terkukuhkan ketika aparat penegak hukum senantiasa muncul sebagai “pembela dan pelindung” pengusaha apabila terlibat konflik dengan nelayan (Daud, 2007).

  Sebagai wadah terhimpunnya seluruh kekuatan nelayan, HNSI secara normatif sesuai dengan semangat Anggaran Dasar (pasal 5), bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak dan kepentingan nelayan di seluruh Indonesia, yaitu mencapai kesejahteraan hidup yang layak dan adil jasmani dan rohaniah bagi masyarakat nelayan/pembudidaya ikan khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Dan untuk mencapai tujuan dimaksud, secara nasional HNSI akan terus melakukan usaha-usaha yang diantaranya adalah sebagai berikut.

  1) Mengadakan modernisasi perikanan dengan memberikan bimbingan dan tuntunan kepada nelayan di bidang penangkapan, pengolahan, dan pemasaran, serta mendorong terbentuknya koperasi yang bergerak di

2) Meningkatkan taraf hidup nelayan, baik jasmani maupun rohani.

  3) Meningkatkan partisipasi nelayan dalam mempercepat tercapainya tujuan pembangunan nasional.

  4) Mengadakan kerja sama dengan berbagai badan dan lembaga yang bergerak dalam bidang perikanan, baik dalam maupun luar negeri.

  5) Mengusahakan terciptanya iklim kerja yang baik dan memperjuangkan adanya peraturan perundang-undangan yang memberikan jaminan dan perlindungan hukum bagi kepentingan nelayan, termasuk jaminan hari tua (Pasal 6 AD). Disamping berbagai rekomendasi kebijaksanaan HNSI sebagai masukan kepada pemerintah (DKP R.I) dalam rangka memajukan dan mensejahterakan nelayan/pembudidaya ikan di seluruh Indonesia (Daud, 2007).

  Keberpihakan HNSI kepada nelayan tidak hanya sampai di situ. Melalui sidang MPO DPP HNSI pada tanggal 31 Mei 2004 - 2 Juni 2004 mendesak dan rekomendasi kembali kebijakan yang sudah pernah disampaikan sebagai masukan kepada pemerintah (DKP R.I). Desakan atas rekomendasi HNSI yang sudah direalisasikan, diantaranya adalah:

  1) Pelayanan untuk kebutuhan BBM (Bahan Bakar Minyak) nelayan yang terdiri dari solar, minyak tanah dan bensin hingga mencapai pulau-pulau terpencil dalam bentuk SPBN (Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Nelayan) atau SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum) dengan kemudahan perijinan dari Pertamina. Lebih dari 100 SPBU telah di bangun dekat pelabuhan nelayan, dan telah dilaksanakan tersebar di 44 pemerintah (program ini dirintis sejak tahun 2003 melalui kerja sama DPP HNSI), DKP (Ditjen Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau kecil & Ditjen Perikanan Tangkap dan Pertamina.

  2) Meningkatan asuransi nelayan (jaminan kesehatan, jaminan keselamatan, jaminan hari tua dalam bentuk asuransi Dana Kesejahteraan Nelayan), kapal ikan dan alat tangkap ikan. Untuk asuransi dalam bentuk Dana Kesejahteraan Nelayan ini sudah terdistribusi di 11 propinsi di Indonesia, Dana kesejahteraan nelayan dalam bentuk asuransi ini adalah kerja sama HNSI, Dinas Kelautan dan Perikanan dengan AJB (Asuransi Jiwa Bersama) BUMI PUTRA 1912, dan pemegang polisnya adalah Sekretaris Jenderal DPP HNSI.

  3) Kemudahan persyaratan dan pelayanan permodalan untuk nelayan dan pembudidaya ikan dengan bunga yang terjangkau dan ditunjang dengan program kredit secara khusus melalui pembentukan lembaga keuangan mikro (lembaga non Bank). Belakangan kita kenal dengan Lembaga Swamitra Mina Online, Unit Simpan Pinjam (USP), BPR (Bank Perkreditan Rakyat) Pesisir, dan Baitul Qiradal. Ke-empat lembaga Keuangan Mikro ini di bawah Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP-M3/Koperasi Perikanan).

  4) Kapal ikan illegal dan kapal asing yang tertangkap di perairan kita ditenggelamkan dan jika kapalnya ditinggal lari disita oleh negara dan langsung diserahkan kepada nelayan sesuai kepres 174/1998.

5) Desakan HNSI untuk mengamandemen UU No. 22/1999 UU Perikanan.

  6) Pengahapusan keputusan dirjen yang mengamandir kepres No. 39/1980 dan penghapusan utang nelayan (kasus nelayan di Pulau Jawa).

  7) Mempertegas kembali akan keberadaan Departemen Kelautan dan

  Perikanan Republik Indonesia (DKP R.I). Keberadaan DKP R.I adalah sebuah keharusan. Dan masih banyak lagi rekomendasi kebijaksanaan HNSI yang sudah dilakanakan dan diprogram oleh pemerintah (DKP R.I), termasuk implementasi program kerja lima tahunan penguatan internal kelembagaan yang harus dilaksanakan oleh HNSI itu sendiri (Daud, 2007). Sebagai wadah perhimpunan nelayan, HNSI sepakat dan berkomitmen bahwa sudah waktunya masyarakat nelayan diberi otoritas untuk mengolah laut. Karena masyarakat nelayan punya modal sosial untuk itu. Oleh sebab itu, ini menjadi agenda terpenting, dan HNSI akan terus mendorong pemerintah dalam hal ini Departemen Keluatan & Perikanan (DKP Pusat maupun Daerah) agar memberikan ruang fasilitas yang memadai (teknologi yang tepat guna dan akses pasar yang terjangkau), peningkatan sumberdaya manusia nelayan, serta keberpihakan hukum agar nelayan menjadi aktor yang berdaya. Dan Undang- Undang Perikanan No. 31 Tahun 2004 yang baru telah memberikan legitimasi itu. Hal ini menjadi sangat penting dalam konteks ke-Indonesiaan, karena selain pertimbangan strategis sumberdaya kelauatan dan perikanan kita melimpah, juga karena kekuatan masyarakat nelayan dalam pengelolaan sumberdaya laut merupakan alternatif dari lemahnya kekuatan negara-daerah (pusat dan daerah) untuk mengurus laut yang begitu luas dan beragam karakter sumberdayanya (Daud, 2007).

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Sikap

  Sikap adalah seperangkat pendapat, minat atau tujuan yang menyangkut harapan akan suatu jenis pengalaman tertentu, dan kesediaan dengan suatu reaksi yang wajar. Dapat juga diartikan sebagai dorongan untuk menilai dalam bentuk kategori baik atau buruk (Kartasapoetra dan Hartini, 1992).

  Bersamaan dengan tema perluasan cakrawala berpikir untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pemanfaatan sumberdaya laut yang masih potensial, para pelajar khususnya dan masyarakat pada umumnya harus dibina kesadaran pengetahuan, sikap dan perilakunya agar rasional dan bertanggung jawab.

  Masyarakat dan pelajar tidak sekedar baru memiliki cakrawala pemikiran yang luas untuk menggali dan memanfaatkan seoptimal mungkin sumberdaya yang terdapat di lautan, melainkan semua itu harus disertai kesadaran akan perlunya pola pemanfaatan dan pengelolaan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap tetap terjaganya keseimbangan lingkungan laut dan terhadap kesejahteraan individu dan masyarakat, baik bagi generasi masa kini maupun masa mendatang (Kastama, 1997). Menurut Ahmadi (1999) disamping pembagian sikap atas sosial dan individual, sikap dapat pula dibedakan atas:

  1) Sikap Positif

  Sikap positif yaitu sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan, menerima, mengakui, menyetujui, serta melaksanakan norma-norma yang

  2) Sikap Negatif

  Sikap negatif yaitu sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan penolakan atau tidak menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada. Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih daripada sekedar adanya kontak sosial dan hubungan antar individu sebagai anggota kelompok sosial. Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi di antara individu yang satu dengan yang lain, terjadi hubungan timbal balik yang turut mempengaruhi pola perilaku masing-masing individu sebagai anggota masyarakat. Lebih lanjut, interaksi sosial itu meliputi hubungan antara individu dengan lingkungan fisik maupun lingkungan psikologis di sekelilingnya (Azwar, 2007). Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu (Azwar, 2007). Berikut ini adalah uraian tentang peranan masing-masing faktor tersebut dalam pembentukan sikap manusia.

1) Pengalaman Pribadi.

  Pembentukan kesan atau tanggapan terhadap objek merupakan proses kompleks dalam diri individu yang melibatkan individu yang bersangkutan, situasi dimana

  Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Dalam situasi yang melibatkan emosi, penghayatan akan pengalaman akan lebih mendalam dan lebih lama berbekas.

2) Pengaruh Orang Lain yang Dianggap Penting.

  Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Diantara orang yang biasanya dianggap penting bagi individu adalah orang tua, orang yang status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman kerja, istri atau suami, dan lain-lain. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.

  Ilustrasi mengenai pembentukan sikap yang dikarenakan pengaruh orang yang dianggap penting oleh individu salah satunya dapat dilihat pada situasi dimana terdapat hubungan atasan-bawahan. Sangatlah umum terjadi bahwa sikap atasan terhadap suatu masalah diterima dan dianut oleh bawahan tanpa landasan afektif maupun kognitif yang relevan dengan objek sikapnya. Seringkali keserupaan sikap demikian semata-mata didasari oleh kepercayaan yang mendalam kepada atasan, atau oleh pengalaman bahwa atasan selalu dapat berpendapat atau bersikap yang tepat dalam segala situasi di masa lalu. Apabila terjadi kebimbangan dalam bersikap, maka biasanya peniruan sikap atasan merupakan jalan yang dianggap terbaik. Kadang-kadang pula, peniruan sikap atasan ini terjadi tanpa disadari oleh

  3) Pengaruh Kebudayaan. Tanpa disadari, kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap individu tehadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai anggota masyarakatnya, karena kebudayaan pulalah yang memberi corak pengalaman-pengalaman individu yang menjadi anggota kelompok masyarakat tersebut. Hanya kepribadian individu yang telah mapan dan kuatlah yang dapat memudarkan dominasi kebudayaan dalam pembentukan sikap individual.

  4) Media Massa. Walaupun pengaruh media massa tidaklah sebesar pengaruh interaksi individual secara langsung, namun dalam proses pembentukan dan perubahan sikap, peranan media massa tidak kecil artinya. Misalnya dalam pemberitaan di surat kabar maupun di radio atau media komunikasi lainnya, berita-berita faktual yang seharusnya disampaikan secara objektif seringkali dimasuki unsur subjektiviras penulis berita, baik secara sengaja maupun tidak. Hal ini seringkali berpengaruh terhadap sikap pembaca atau pendengarnya, sehingga dengan hanya menerima berita-berita yang sudah dimasuki unsur subjektif itu, terbentuklah sikap tertentu.

  5) Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama. Dikarenakan konsep moral dan ajaran agama sangat menentukan sistem kepercayaan maka tidaklah mengherankan kalau pada gilirannya kemudian konsep tersebut ikut berperan dalam menentuka sikap individu terhadap suatu hal.

  Apabila terdapat suatu hal yang bersifat kontroversial, pada umumnya orang akan mencari informasi lain untuk memperkuat posisi sikapnya atau mungkin juga orang tersebut tidak mengambil sikap memihak. Dalam hal seperti itu, ajaran moral yang diperoleh dari lembaga pendidikan atau dari agama seringkali menjadi determinan tunggal yang menentukan sikap.

6) Pengaruh Faktor Emosional.

  Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih persisten dan bertahan lama (Azwar, 2007). Suatu contoh bentuk sikap yang didasari oleh faktor emosional adalah prasangka (prejudice). Prasangka didefinisikan sebagai sikap yang tidak toleran, tidak ‘fair’ atau tidak favorable terhadap sekelompok orang (Harding, Prosbansky, Kutner, & Chein, 1969; dalam Wrightsman & Deaux, 1981) (Azwar, 2007).

2.2.1.1. Pengukuran Sikap

  Dalam bukunya yang berjudul Principles of Educational and Physichological

  Measurement and Evaluation , Sax (1980) menunjukkan beberapa karakteristik (dimensi) sikap yaitu arah, intensitas, keluasan, konsistensi, dan spontanitasnya.

  Berikut adalah penjelasan tentang dimensi-dimensi tersebut.

  1) Sikap mempunyai arah, artinya sikap terpilah pada dua arah kesetujuan yaitu apakah setuju atau tidak setuju, apakah mendukung atau tidak mendukung, apakah memihak atau tidak memihak terhadap sesuatu atau seseorang sebagai objek (Azwar, 2007).

  Contohnya adalah masyarakat nelayan di Desa Bagan Serdang setuju apabila organisasi HNSI membuat sebuah program rekomendasi kepada Dinas Perikanan dan Kelautan Deli Serdang agar dibuat pelatihan keterampilan kepada para istri nelayan tentang pembuatan barang kerajinan rumah tangga yang memiliki nilai jual daripada istri nelayan harus bekerja mencari kerang.

  2) Sikap memiliki intensitas, artinya kedalaman atau kekuatan sikap terhadap sesuatu belum tentu sama walaupun arahnya mungkin tidak berbeda. Dua orang yang sama tidak sukanya tentang sesuatu, yaitu sama-sama memiliki sikap yang berarah negatif belum tentu memiliki sikap negatif yang sama intensitasnya (Azwar, 2007).

  Contohnya adalah salah seorang nelayan kurang setuju jika di daerah pantai Desa Bagan Serdang digalakkan penanaman mangrove, dan seorang nelayan yang lain merasa sangat tidak setuju jika digalakkan penanaman pohon mangrove dan dalam hatinya benar-benar menentang kebijakan tersebut. Dua orang nelayan tersebut sama-sama tidak setuju dengan rencana penanaman pohon mangrove di Desa Bagan Serdang tetapi memiliki intensitas yang berbeda. 3)

  Sikap memiliki keluasan, artinya kesetujuan atau ketidaksetujuan terhadap spesifik akan tetapi dapat pula mencakup banyak sekali aspek yang ada pada objek sikap (Azwar, 2007).

  Contohnya adalah seorang nelayan setuju jika HNSI Kabupaten Deli Serdang mengadakan pergantian susunan kepengurusan, dan nelayan yang lain setuju jika diadakan pergantian kepengurusan asalkan hanya ketuanya saja yang diganti dan tidak untuk yang lain.

  4) Sikap memiliki konsistensi, artinya adalah kesesuaian antara pernyataan sikap yang dikemukakan dengan responnya terhadap objek sikap yang dimaksud. Konsistensi sikap diperlihakan oleh kesesuaian sikap antar waktu. Untuk dapat konsisten, sikap harus bertahan dalam waktu yang relatif panjang. Sikap yang sangat cepat berubah, yang labil, tidak dapat bertahan lama dikatakan sebagai sikap yang inkonsisten (Azwar, 2007).

  Contohnya adalah seorang nelayan tidak bisa dikatakan memiliki sikap yang konsisten jika misalnya pada hari ini dia setuju dengan suatu program yang direkomendasikan HNSI kepada Dinas Perikanan dan Kelautan Deli Serdang tetapi minggu berikutnya ia tidak setuju dan merasa program tersebut tidak terlalu penting bagi nelayan.

  5) Sikap memiliki spontanitas, artinya menyangkut sejauh mana kesiapan individu untuk menyatakan sikapnya secara spontan. Sikap dikatakan memiliki spontanitas yang tinggi apabila dinyatakan secara terbuka tanpa harus melakukan pengungkapan atau desakan lebih dahulu agar individu mengemukakannya (Azwar, 2007).

  Contohnya adalah para nelayan setuju jika kapal asing yang tertangkap mengambil ikan di perairan Indonesia diproses secara hukum dengan pengawasan dari HNSI.

2.2.1.2. Proses Terjadinya Sikap

  Fishbein dan Ajzen (1975) menyusun suatu model perubahan sikap tentang sebuah perilaku (Gambar 1). Untuk mengubah perilaku X perlu ada niat (intensi) untuk mengubahnya. Niat itu dikuatkan oleh sikap positif terhadap perilaku X. Sikap itu dikuatkan oleh kepercayaan dan penilaian yang positif tentang akibat perilaku X. Intensi itu juga dikuatkan oleh norma subjektif yang baik mengenai perilaku X. Norma subjektif ini dikuatkan oleh kepercayaan normatif dan motivasi untuk menuruti (Smet, 1994).

  • Kepercayaan normatif
  • Motivasi untuk menuruti

  Gambar 1. Model Perubahan Sikap tentang Sebuah Perilaku (Fishbean dan Ajzen, 1975).

  Informasi dasar: Kepercayaan dan penilaian tentang akibat perilaku X

  Sikap terhadap Perilaku X

  Informasi dasar:

  Norma subjektif mengenai Perilaku X

  Niat untuk melakukan Perilaku X

  Perilaku X

2.2.2. Perilaku

  Perilaku adalah perbuatan/tindakan dan perkataan seseorang yang sifatnya dapat diamati. Perilaku juga dapat digambarkan dan dicatat oleh orang lain ataupun orang yang melakukannya (Anonimus, 2012). Perilaku diatur oleh prinsip dasar perilaku yang menjelaskan bahwa ada hubungan antara perilaku manusia dengan peristiwa lingkungan. Perubahan perilaku dapat diciptakan dengan merubah peristiwa didalam lingkungan yang menyebabkan perilaku tersebut (Anonimus, 2012).

  Perilaku mempunyai beberapa dimensi di antaranya: 1)

  Dari segi fisik, artinya perilaku dapat diamati, digambarkan dan dicatat baik frekuensi, durasi dan intensitasnya.

  2) Dari segi ruang, suatu perilaku mempunyai dampak kepada lingkungan (fisik maupun sosial) dimana perilaku itu terjadi.

  3) Dari segi waktu, suatu perilaku mempunyai kaitan dengan masa lampau maupun masa yang akan datang (Anonimus, 2012).

  Faktor penentu terhadap bentuk perilaku itu sangat banyak, bukan semata-mata sikap, dan kita tidak dapat menyimpulkan sikap individu semata-mata dari bentuk perilaku yang diperlihatkannya akan tetapi dalam batas-batas tertentu perilaku manusia masih dapat diprediksikan. Walaupun secara individual sangat sulit untuk meramalkan reaksi manusia terhadap suatu stimulus akan tetapi secara kelompok reaksi manusia masih lebih terikat pada hukum-hukum stimulus-respons yang berlaku (Azwar, 2007).

2.2.2.1. Pengukuran Perilaku Ada tiga cara sederhana untuk mengukur perilaku, yaitu sebagai berikut.

1) Menghitung frekuensi perilaku.

  Untuk menghitung frekuensi perilaku, kita bisa dengan cara sederhana menghitung jumlah berapa kali perilaku itu terjadi. Sekarang kita bisa melihat betapa penting untuk menjelaskan secara spesifik ketika mendeskripsikan perilaku. Untuk bisa menghitung sebuah perilaku, kita perlu mengetahui kapan itu terjadi atau tidak terjadi (Handajani, 2008). Sebagai contoh, kita bisa menghitung jumlah perilaku yang terjadi setiap harinya. Katakanlah seorang nelayan mengeluh kepada HNSI mengenai masalah rendahnya harga jual ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Setelah dihitung, kita mungkin menemukan bahwa nelayan tersebut melakukannya dua kali di hari Senin, tiga kali pada hari Selasa dan hanya satu kali di hari Rabu. Untuk perilaku yang tidak terjadi sangat sering, kita bisa menghitung jumlah perilaku setiap minggu. Katakanlah nelayan kadang-kadang membicarakan tentang kehadiran kapal asing yang menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia dengan HNSI di pagi hari. Setelah dihitung, kita mungkin menemukan bahwa nelayan tersebut melakukannya tiga kali selama minggu lalu dan lima kali dalam minggu ini.

  Ketika kita menghitung jumlah berapa kali perilaku terjadi, kita melakukannya dalam periode waktu tertentu. Beberapa perilaku yang kita ingin hitung mungkin terjadi berkali-kali dalam sehari. Bila kelihatannya akan sulit untuk menghitung perilaku ini sepanjang hari, kita dapat memilih hanya satu bagian untuk dihitung. melakukan hal ini, penting untuk mengukur pada saat yang sama setiap harinya (Handajani, 2008).

2) Mengukur durasi perilaku.

  Bagi banyak perilaku, menghitung jumlah perilaku itu terjadi akan memberikan gambaran yang baik. Sebagai contoh, untuk mengukur perilaku seseorang, menghitung berapa kali itu terjadi memberikan gambaran yang baik (Handajani, 2008).

  Misalnya kita ingin mengukur perilaku nelayan berupa membicarakan tentang peran HNSI terhadap bantuan yang mereka terima dari Dinas Perikanan dan Kelautan dengan nelayan yang lain. Jika kita menggunakan perhitungan dengan frekuensi untuk mengukur perilaku ini, kita akan mengetahui para nelayan hanya melakukan satu kali sehari. Kalau seperti ini tidak akan memberikan gambaran yang baik tentang tingkatan perilaku.

  Dalam kondisi seperti ini, adalah lebih baik mengukur berapa lama para nelayan saling membicarakan tentang peran HNSI terhadap bantuan yang mereka terima dari Dinas Perikanan dan Kelautan. Pengukuran ini disebut mengukur durasi perilaku. Jika kita melakukan ini, kita akan mengetahui para nelayan tersebut membicarakan tentang peran HNSI selama 60 menit pada hari Senin, 80 menit pada hari Selasa, tetapi hanya 30 menit pada hari Rabu.

  Tergantung pada perilaku seseorang, kita bisa mengukur perilakunya terjadi dalam detik, menit, atau jam. Poin penting adalah untuk menambahkan jumlah waktu orang tersebut berhubungan dengan perilakunya (Handajani, 2008).

3) Menghitung permanent product perilaku.

  Perhitungan frekuensi atau durasi mungkin itu yang kita perlukan di banyak perilaku seseorang. Ada cara ketiga untuk mengukur perilaku yang berguna untuk kita. Yaitu dengan menghitung permanent product (hasil akhir permanen) perilaku. Beberapa perilaku menghasilkan sesuatu yang bisa dihitung: hasil akhir produk, sesuatu yang tertinggal setelah perilaku terjadi (Handajani, 2008). Misalnya jika nelayan mempunyai kebiasaan memperbaiki peralatan menangkap ikan setiap kali selesai melaut, kita dapat menghitung berapa rata-rata usia peralatan yang digunakan oleh nelayan tersebut. Peralatan yang sering dirawat dan diperbaiki tentunya memiliki rata-rata usia yang lebih lama dibandingkan peralatan yang kurang dirawat. Manfaat yang didapat dengan menggunakan pengukuran permanent product adalah kita tidak perlu ada di tempat ketika perilaku itu timbul. Kita dapat menghitung setelah kejadian. Kelemahannya adalah tidak semua perilaku memiliki produk yang bisa dihitung (Handajani, 2008).

  Berdasarkan teori Snehandu B. Kar, analisis perilaku seseorang dapat dilakukan dengan bertitik tolak bahwa perilaku itu merupakan fungsi-fungsi sebagai berikut.

  1) Niat seseorang (behavior intention). 2) Dukungan sosial (social-support). 3)

  Ada tidaknya informasi mengenai objek yang bersangkutan (accessibility of information).

  4) Otonomi pribadi yang bersangkutan.

  5) Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action situation) (Notoadmodjo, 2003).

  Berikut ini adalah uraian tentang masing-masing fungsi tersebut dalam pembentukan perilaku manusia.

  1) Niat seseorang (behavior intention). Ingatan dan pikiran yang memuat ide-ide, keyakinan dan pertimbangan yang menjadi dasar kesadaran sosial seseorang akan berpengaruh terhadap perilaku sosialnya untuk bertindak sehubungan dengan peran suatu organisasi serta penerapan sebuah program yang sedang berjalan (Budiman, 2010).

  Misalnya seorang nelayan kecil yang terus berpikir agar kelak dikemudian hari menjadi nelayan toke akan terus berupaya dan berproses mengembangkan perekonomiannya dan memperbaiki dirinya dalam perilaku sosialnya.

  2) Dukungan sosial (social-support) dari masyarakat sekitarnya. Dukungan sosial merupakan ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan fisik dan psikologis yang didapat lewat pengetahuan bahwa individu tersebut dicintai, diperhatikan, dihargai oleh orang lain dan ia juga merupakan anggota dalam suatu kelompok yang berdasarkan kepentingan bersama (Niven, 2005). Sumber dari dukungan sosial ini adalah orang lain yang akan berinteraksi dengan individu sehingga individu tersebut dapat merasakan kenyamanan secara fisik dan psikologis. Orang lain ini terdiri dari pasangan hidup, orang tua, saudara, anak, kerabat, teman, rekan kerja, staf medis serta anggota dalam kelompok kemasyarakatan (Niven, 2005).

  Sheridan dan Radmacher (1992), Sarafino (1998) serta Taylor (1999) membagi dukungan sosial kedalam lima bentuk yaitu sebagai berikut.

  a) Dukungan instrumental (tangible assisstance). Bentuk dukungan ini merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung seperti pinjaman uang, pemberian barang, makanan serta pelayanan. Bentuk dukungan ini dapat mengurangi stress karena individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi. Dukungan instumental sangat diperlukan terutama dalam mengatasi masalah dengan lebih mudah.

  b) Dukungan informasional. Bentuk dukungan ini melibatkan pemberian informasi, saran atau umpan balik tentang situasi dan kondisi individu, Jenis informasi seperti ini dapat menolong individu untuk mengenali dan mengatasi masalah dengan lebih mudah.

  c) Dukungan emosional. Bentuk dukungan ini membuat individu memiliki perasaan nyaman, yakin, diperdulikan dan dicintai oleh sumber dukungan sosial sehingga individu dapat menghadapi masalah dengan lebih baik. Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap tidak dapat dikontrol. d) Dukungan pada harga diri. Bentuk dukungan ini berupa penghargaan positif pada individu, pemberian semangat, persetujuan pada pendapat induividu, perbandingan yang positif dengan individu lain. Bentuk dukungan ini membantu individu dalam membangun harga diri dan kompetensi.

  e) Dukungan dari kelompok sosial. Bentuk dukungan ini akan membuat individu merasa anggota dari suatu kelompok yang memiliki kesamaan minat dan aktifitas sosial dengannya. Dengan begitu individu akan merasa memiliki teman senasib (Niven, 2005).

  3) Ada tidaknya informasi mengenai objek yang bersangkutan (accessibility of information).

  Nilai informasi ditentukan dari dua hal yaitu manfaat dan biaya. Suatu informasi dikatakan bernilai apabila manfaatnya lebih efektif dibandingkan dengan biaya mendapatkannya. Sebagian besar informasi dinikmati oleh lebih dari satu pihak sehingga sulit untuk menghubungkan suatu informasi dengan biaya untuk memperolehnya dan sebagian besar informasi tidak dapat ditaksirkan keuntungannya dengan satuan uang tetapi dapat ditaksir nilai efektivitasnya (Rahmat, 2012). Tata Sutabri (2003: 27) berpendapat bahwa nilai informasi tidak mudah untuk dinyatakan dengan ukuran yang bersifat kuantitatif. Namun, nilai informasi dapat dijelaskan menurut skala relatif. Misalnya, jika suatu informasi dapat maka nilai informasinya tinggi. Sebaliknya, jika suatu informasi kurang memberikan relevansi bagi pengambilan keputusan, informasi tersebut dikatakan kurang bernilai atau informasinya rendah (Rahmat, 2012).

  4) Otonomi pribadi yang bersangkutan. Pribadi seseorang memiliki otonomi penuh untuk melakukan perbuatan apapun. Setiap manusia memiliki kemerdekaan, memiliki hak asasi. Tetapi kemerdekaannya itu tentu ada batas wilayahnya, yaitu ketika bersinggungan dengan kemerdekaan orang lain (Hidayat, 2011). Ada yang menyadari dan menerapkan otonomi tersebut, ada yang menyadari tetapi tidak menerapkan otonomi tersebut (karena suatu sebab). Tetapi ada juga yang tidak menyadari dan tentu tidak menerapkan otonomi tersebut (Hidayat, 2011).

  5) Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak (action situation). Pengaruh situasi dapat dipandang sebagai pengaruh yang timbul dari faktor yang khusus untuk waktu dan tempat yang spesifik yang lepas dari karakteristik seseorang dan karakteristik obyek. Situasi seseorang adalah faktor lingkungan sementara yang menyebabkan suatu situasi dimana perilaku orang tersebut muncul pada waktu tertentu dan tempat tertentu (Dimara, 2011). Karakteristik meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai-nilai, sifat kepribadian, dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan dalam menentukan perilaku, bahkan kadang-kadang kekuatannya lebih besar daripada karakterisitik individu. Hal inilah yang menjadikan prediksi perilaku lebih kompleks (Azwar, 2007).

  Untuk tidak sekedar memahami, tapi juga agar dapat memprediksi perilaku, Icek Ajzen dan Martrin Fishbein mengemukakan Teori Tindakan Beralasan (theory of

  

reasoned action ) (Ajzen & Fishbein, 1980 dalam Brehm & Kassin, 1990; Ajzen,

  1988). Dengan mencoba melihat penyebab perilaku volisional (perilaku yang dilakukan atas kemauan sendiri), teori ini didasarkan atas asumsi-asumsi bahwa manusia umumnya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk akal, bahwa manusia mempertimbangkan semua informasi yang ada, dan bahwa secara eksplisit maupun implisit manusia mempertibangkan tindakan mereka (Azwar, 2007)

2.2.2.2. Proses Terjadinya Perilaku

  Banyak alasan yang membuat seseorang dapat berperilaku. Oleh sebab itu perilaku yang sama di antara beberapa orang dapat disebabkan oleh sebab atau latar belakang yang berbeda-beda. Tim kerja dari WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku tertentu adalah karena adanya empat alasan pokok, yaitu pemikiran dan perasaan (dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan, dan penilaian seseorang terhadap objek), orang penting sebagai referensi, sumber-sumber daya, dan kebudayaan (Notoatmodjo, 2003). Spranger membagi kepribadian manusia menjadi enam macam nilai kebudayaan. Kepribadian seseorang ditentukan oleh salah satu nilai yang dominan pada diri orang tersebut. Selanjutnya kepribadian tersebut akan menentukan pola dasar asumsi deteminan perilaku manusia seperti terlihat pada Gambar 2 di bawah ini (Notoatmodjo, 2003).

  Pengetahuan Persepsi

  Pengalaman Sikap

  Keyakinan Perilaku

  Keinginan Fasilitas

  Kehendak Sosio-Budaya

  Motivasi Niat

Gambar 2. Asumsi Determinan Perilaku Manusia (Notoatmodjo, 2003).

  Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni. 1)

  Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui setimulus (objek) terlebih dahulu.

  2) Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus. 3) Evaluation (menimbang – nimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya).

  Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. 4) Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru. 5)

  Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus (Notoatmodjo, 2003).

  Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini tersebut akan menjadi kebiasaan atau bersifat langgeng (long lasting) (Notoatmodjo, 2003).

2.2.3. Konsistensi Sikap – Perilaku

  Sikap dan perilaku manusia terbentuk oleh pandangannya dan penilaiannya terhadap lingkungan hidupnya. Sedangkan pandangan dan penilaian ini dilandasi oleh pengetahuan serta sikap dan harapan-harapannya terhadap kemanfaatan lingkungan demi kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidupnya (Kastama, 1997). Sikap dikatakan sebagai suatu respon evaluatif. Respon hanya akan timbul apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Respons evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbulnya didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk, positif- negatif, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap suatu objek (Azwar, 2007). Sikap seseorang seharusnya konsisten dengan perilaku. Seandainya sikap tidak konsisten dengan perilaku, mungkin ada faktor dari luar diri manusia yang membuat sikap dan perilaku tidak konsisten. Faktor tersebut adalah sistem nilai yang berada di masyarakat, diantaranya norma, politik, budaya, dan sebagainya. Dari penjelasan tersebut jelas bahwa pendidikan bukan semata-mata tanggung jawab lembaga pendidikan.

  Seluruh masyarakat dan instansi terkait harus menunjang pelaksanaan

2.2.4. Karakteristik Sosial Ekonomi

  1) Umur

  Umur seseorang menentukan prestasi kerja atau kinerja orang tersebut. Semakin berat pekerjaan secara fisik, maka semakin tua tenaga kerja akan semakin menurun pula prestasinya. Namun, dalam hal tanggung jawab, semakin tua umur tenaga kerja tidak akan berpengaruh, karena justru semakin berpengalaman (Suratiyah, 2009). 2)

  Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan manusia umumnya menunjukkan daya kreativitas manusia dalam berpikir dan bertindak. Pendidikan rendah mengakibatkan berkurangnya pengetahuan dalam memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia. Usaha-usaha penduduk berakibat hanya mampu menghasilkan pendapatan rendah (Kartasapoetra, 1994). 3)

  Pengalaman Melaut Menurut Soekartawi (1999), pengalaman seseorang dalam berusaha berpengaruh dalam menerima innovasi dari luar. Bagi yang mempunyai pengalaman yang sudah cukup lama akan lebih mudah menerapkan innovasi dari pada pemula. 4)

Dokumen yang terkait

Peranan Istri Nelayan Terhadap Pendapatan Keluarga (Kasus : Desa Bagan Serdang, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang)

2 46 69

Sikap Dan Perilaku Nelayan Terhadap Kinerja Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) (Kasus : Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang)

2 50 155

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Peranan Istri Nelayan Terhadap Pendapatan Keluarga (Kasus : Desa Bagan Serdang, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang)

0 2 14

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Kacang Kedelai

0 1 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN - Analisis Finansial Dan Pemasaran Stroberi Di Desa Tongkoh, Kecamatan Dolat Rayat, Kabupaten Karo

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN - Strategi Pengembangan Kud Di Kabupaten Deli Serdang

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN - Analisis Tataniaga Ayam Ras Pedaging Di Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Analisis Perbandingan Harga Pembelian Dan Kelangkaan Pupuk Bersubsidi Di Kabupaten Karo

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN - Analisis Jaringan Agribisnis Kopi Arabika Di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi

0 1 14

Sikap Dan Perilaku Nelayan Terhadap Kinerja Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) (Kasus : Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang)

0 0 34