BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Saluran Napas Bawah dan Paru-Paru - Karakteristik Tumor Ganas Paru Berdasarkan Pemeriksaan Sitologi Bronkus di RSUP Haji Adam Malik Tahun 2011-2013

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Saluran Napas Bawah dan Paru-Paru

  Trakea berukuran panjang sekitar 11,5cm dengan diameter 2,5cm, mulai dari batas bawah kartilago krikoid (C6) dan berakhir dengan percabangan dua setinggi sternal angle of Louis (T4/5) dan membentuk bronkus kanan dan kiri. Trakea terletak pada bagian leher dan dada. Pada leher, bagian anterior trakea terdapatisthmus kelenjar tiroid, vena tiroid inferior, otot-otot sternohyoid dan

  

sternothyroid . Bagian lateral trakea terdapat lobus kelenjar tiroid dan arteri

  karotid komunis. Pada bagian posterior trakea terdapat esofagus dengan n.laryngeal pada lekuk antara esofagus dan trakea (Ellis, 2006).

  Patensi trakea dipertahankan oleh rangkaian 15-20 tulang rawan berbentuk huruf U. Di bagian posterior, trakea mendatar karena kurangnya tulang rawan dan dindingnya dilengkapi oleh jaringan berserabut dan otot polos. Di bagian dalam, trakea dilapisi epitel kolumnar bersilia dengan banyak sel goblet (Ellis, 2006).

  Bronkus kanan lebih lebar, lebih pendek, dan lebih vertikal daripada bronkus kiri. Panjangnya sekitar 2,5cm dan langsung menuju paru pada setinggi T5. Sebelum masuk ke paru-paru, bronkus kanan membentuk cabang menuju lobus atas, dan dari bawah arteri pulmoner memasuki hilum paru-paru (Ellis, 2006).

  Bronkus kiri memiliki panjang hampir 5 cm dan berlalu ke belakang bawah melewati lengkung aorta, didepan esofagus dan aorta desendens. Tidak seperti bronkus kanan, bronkus kiri tidak bercabang hingga masuk ke hilum paru- paru yang mencapai setinggi T6.Arteri pulmoner melingkari bagian depan dan atas bronkus (Ellis, 2006).

Gambar 2.1 Gambar skematis trakea dan organ sisi anterior.

  Sumber : Ellis, H., 2006. Clinical Anatomy Arevision and applied anatomy for

  th clinical students .11 ed. Blackwell publishing.

Gambar 2.2 Gambar skematis trakea dan percabangan utama bronkus.

  Sumber : Ellis, H., 2006. Clinical Anatomy Arevision and applied anatomy for

  th clinical students .11 ed. Blackwell publishing.

  Paru-paru berbentuk kerucut, bagian apeks tumpul pada ujung sternum setinggi rusukpertama, dan bagian dasar yang mengikuti lekuk diafragma. Permukaan kostovertebra luas mencetak untuk membentuk dinding dada dan permukaan mediastinum yang cekung untuk menopang perikadium. Paru-paru kanan berukuran sedikit lebih besar dariyang kiri dan terbagi menjadi tiga lobus – atas, tengah, dan bawah, oleh fisura oblique dan horizontal. Pada paru-paru kiri hanya terdapat fisura oblik yang membaginya menjadi dua lobus (Ellis, 2006).

Gambar 2.3 Gambar skematis paru-paru penampang lateral.

  Sumber : Ellis, H., 2006. Clinical Anatomy Arevision and applied anatomy for

  th clinical students .11 ed. Blackwell publishing.

Gambar 2.4 Gambar skematis paru-paru penampang anterior.

  Sumber : Ellis, H., 2006. Clinical Anatomy Arevision and applied anatomy for

  th clinical students .11 ed. Blackwell publishing.

  Darah vena masuk kembali ke paru-paru melalui arteri pulmoner. Saluran napas dipendarahi oleh arteri bronkial yang merupakan percabangan kecil dari aorta desendens. Arteri bronkial mengatur pasokan darah ke parenkim paru setelah emboli paru, sehingga ketika pasien pulih, funsi paru kembali normal. Vena pulmoner superior dan inferior mengembalikan darah teroksigenasi ke atrium kiri, sementara saluran vena bronkial kembali ke sistem azigos (Ellis, 2006).

  Aliran limfa paru sentripetal dari pleura menuju hilum. Dari node limfa bronkopulmoner di hilum, kanal limfa eferen menuju node tracheobronchial di percabangan dua dari trakea, kemudian menuju node paratrakeal dan truncus limfa mediastinal biasanya langsung menuju vena brachiocephalica atau jarang tidak langsung ke melalui thoracic atau saluran lymphatic kanan.Persarafan paru- paru berasal dari truncus vagus dan simpatis, dengan eferen ke otot bronkus dan aferen dari membran mukus dari bronkiolus dan alveolus (Ellis, 2006).

2.2 Tumor Ganas Paru

  2.2.1 Definisi

  Istilah kanker paru digunakan untuk tumor-tumor yang berasal dari epitel pernapasan (bronkus, bronkiolus, dan alveolus). Mesotelioma, limfoma, dan tumor stroma (sarkoma) berbeda dengan kanker paru epitel. Menurut WHO, ada empat tipe sel mayor yang mencapai 88% dari seluruh neoplasma paru primer, yaitu squamous epidermoid carcinoma, small cell (disebut juga oat cell)

  carcinoma , adenocarcinoma (termasuk bronchoalveolar), dan large cell (disebut

  juga large cell anaplastic) carcinoma. Sisanya termasuk undifferentiated

  

carcinomas , carcinoids, bronchialgland tumors (termasuk adenoid cystic

carcinomas dan mucoepidermoid tumors), dan tipe tumor yang langka.

  Diperlukan diagnosis secara histologi yang tepat untuk menentukan jenis keganasan yang terjadi karena akan berpengaruh terhadap respon terapi yang diberikan (Minna, 2005).

  2.2.2 Epidemiologi

  Berdasarkan insidensi dan angka kematian, kanker paru telah menjadi yang terbanyak di dunia sejak tahun 1985. Secara global, kanker paru adalah kanker yang paling banyak angka kejadian baru dengan 1,35 juta kasus dan 12,4% dari seluruh kejadian baru kanker dan angka kematian 1,18 juta kasus dan 17,6% dari total kematian akibat kanker (Cruz, 2011).

Gambar 2.5 Gambar perkiraan kanker berdasarkan jenis kelamin.

  Sumber : Dela Cruz, C. S., Tanoue, L. T., Matthay, R. A., 2011. Lung Cancer : Epidemiology, Etiology, and Prevention . Elsevier Inc.

2.2.3 Faktor Resiko a.

  Merokok Sekitar 90% dari penderita kanker paru merupakan perokok. Usia anak- anak dan dewasa muda lebih mudah mengalami kerusakan DNA akibat paparan asap rokok daripada orang dewasa. Resiko terkena kanker paru setelah berhenti merokok tergantung pada tingkat konsumsi rokok. Seseorang yang mengonsumsi 1-20 batang rokok setiap hari beresiko 1,6 kali terkena kanker paru setelah berhenti merokok selama 16 tahun. Seseorang dengan konsumsi rokok lebih dari 21 batang setiap hari beresiko 4 kali lipat terkena kanker paru setelah 16 tahun berhenti merokok dibandingkan dengan orang yang tidak pernah merokok (Abraham, 2005).

  Berdasarkan U.S. Environmental Protection Agency (EPA), kira-kira 3.000 orang dewasa yang tidak merokok meninggal dunia akibat kanker paru setiap tahunnya karena menghirup asap rokok orang lain. Resiko kematian akibat kanker paru 30% lebih besar bagi orang yang tidak merokok yang tinggal bersama perokok dibandingkan yang tidak tinggal bersama perokok (Abraham, 2005).

  b.

  Pekerjaan Paparan terhadap zat seperti arsenik, asbestos, berilium, clorometileter, krom, hidrokarbon, gas mustard, nikel, dan radiasi (termasuk radon) dikaitkan dengan perkembangan kanker paru. Paparan asbestos pada perokok dihubungkan dengan resiko sinergis perkembangan karsinoma bronkogenik. Paparan radon pada tambang bawah tanah dengan ventilasi yang buruk juga dikaitkan dengan meningkatnya resiko kanker paru (Abraham, 2005).

  Faktor resiko pekerjaan yang paling banyak ialah paparan asbestos. Penelitian menunjukkan paparan radon berhubungan 10% dari seluruh kasus kanker paru, sementara polusi udara luar ruangan berhubungan 1-2% (Tan, 2014).

2.2.4 Patofisiologi a.

  Paparan Karsinogen Tembakau rokok mengandung lebih dari 300 zat berbahaya dengan sedikitnya 40 karsinogen poten. Polyaromatic hydrocarbons dan nicotine-derived

  

nitrosamine keto ne (NNK) menyebabkan kerusakan DNA pada model hewan.

  Benzo-A-pyrine juga memicu sinyal molekuler seperti AKT, dan mutasi p53 dan tumor suppressor genes lainnya (Tan, 2014).

  Penelitian yang dilakukan Ito mengenai pergeseran tipe histologi kanker paru di Jepang dan Amerika Serikat menunjukkan perubahan tipe kanker paru yang paling sering SCC menjadi Adenocarcinoma berhubungan dengan peningkatan penggunaan rokok berfilter (Tan, 2014).

  b.

  Genetika Kelainan paling penting yang terdeteksi adalah keterlibatan onkogen famili ras yang terdiri dari H-ras, K-ras, dan N-ras. Gen-gen ini menyandi protein pada permukaan membran sel dengan aktivitas GTPase dan terlibat dalam transduksi informasi. Mutasi gen ras ini terjadi pada Adenocarcinoma dan ditemukan pada 30% kasus. Mutasi ini tidak ditemukan pada Adenocarcinoma yang terjadi pada orang yang tidak merokok (Tan, 2014).

  Kelainan genetik lain yang ditemukan pada Non Small Cell Lung Cancer adalah mutasi onkogen c-myc dan c-raf dan pada gen penekan tumor retinoblastoma (Rb) dan p53 (Tan, 2014).

2.2.5 Klasifikasi

  Klasifikasi tumor penting untuk menentukan pengobatan pasien dan untuk dasar penelitian epidemiologis dan biologis. Klasifikasi yang paling sering digunakan adalah klasifikasi WHO yang mengelompokkan berdasarkan gambaran histologi. Terdapat banyak gambaran histologi yang ditemukan, namun perbedaan klinis masih belum dapat ditentukan. Secara garis besar tumor paru dikelompokkan menjadi (Husain, 2010):

1. Adenocarcinoma (37% laki-laki, 47% perempuan) 2.

  Squamous cell carcinoma (32% laki-laki, 25% perempuan) 3. Small cell carcinoma (14% laki-laki, 18% perempuan) 4. Large cell carcinoma (18% laki-laki, 10% perempuan)

  Adenocarcinoma adalah tumor ganas epitel dengan diferensiasi glandular atau produksi mucin dari sel-sel tumor, tumbuh dengan berbagai pola, termasuk asinar, papillary, bronchoalveolar, dan solid dengan pembentukan mucin. Tumor ini paling sering terjadi pada perempuan dan orang yang tidak merokok. Dibanding dengan kanker squamous cell, lesi biasanya terletak lebih perifer dan berukuran lebih kecil. Adenocarcinoma tumbuh lebih lambat dari pada squamous cell carcinoma tapi dapat bermetastasis lebih awal dan lebih luas (Husain, 2010).

Gambar 2.6 Gambar paru yang terkena adenocarcinoma. Terdapat nodul berwarna putih dibagian perifer.

  Sumber : Kemp, W. L., Burns, D. K., Brown, T.G., 2008. The Big Picture .The McGraw-Hill Companies, Inc.

  Pathology

Gambar 2.7 Gambar sitologi adenocarcinoma paru. Sel saling tumpang tindih dengan sitoplasma yang sedikit dan pucat, inti sel relatif besar.

  Sumber : Koss, L. G., Melamed, M. R., 2006. Koss’ Diagnostic Cytology and Its

  th Histopathologic Bases . 5 ed. Lippincott William & Wilkins.

  Squamous cell carcinoma adalah yang paling banyak ditemukan pada laki- laki dan erat kaitannya dengan kebiasaan merokok. Secara histologi terdapat keratinisasi dan/atau sambungan interseluler. Keratinisasi dapat berbentuk squamous atau sel dengan sitoplasma eosinofilik. Dulu, kebanyakan squamous cell carcinoma muncul secara sentral dari segmen atau subsegmen bronkus. Namun insidensi squamous cell carcinoma dari perifer paru terus meningkat (Husain, 2010).

Gambar 2.8 Gambar paru yang terkena squamous cell carcinoma. Terdapat massa putih pada hilum.

  Sumber : Kemp, W. L., Burns, D. K., Brown, T.G., 2008. The Big Picture Pathology .The McGraw-Hill Companies, Inc.

Gambar 2.9 Gambar sitologi squamous cell carcinoma dengan inti ganda.

  Sumber : Koss, L. G., Melamed, M. R., 2006. Koss’ Diagnostic Cytology and Its

  th Histopathologic Bases . 5 ed. Lippincott William & Wilkins.

  Small cell carcinoma adalah tumor ganas yang memiliki tipe sel yang khusus. Sel epitelnya cenderung kecil dengan sitoplasma sedikit, pinggiran sel pucat, kromatin inti bergranul sempurna, tidak terlihat nukleolus. Sel ada yang berbentuk bulat, oval, atau gelendong dengan tingkat mitosis yang tinggi. Tidak ada ukuran pasti untuk sel tumor, tapi umumnya lebih kecil daripada tiga limfosit. Hanya 1% penderita small cell carcinoma yang tidak merokok. Tumor ganas merupakan yang paling agresif, dapat tumbuh di bronkus mayor atau di perifer paru, dan metastasis secara luas, tidak dapat sembuh dengan operasi (Husain, 2010).

Gambar 2.10 Gambar paru yang terkena small cell carcinoma. Tanda panah menunjukkan lumen bronkus yang ditumbuhi small cell carcinoma.

  Sumber : Kemp, W. L., Burns, D. K., Brown, T.G., 2008. The Big Picture Pathology .The McGraw-Hill Companies, Inc.

Gambar 2.11 Gambar sitologi small cell carcinoma. Terlihat kelompok sel saling berlengketan dengan bebas.

  Sumber : Koss, L. G., Melamed, M. R., 2006. Koss’ Diagnostic Cytology and Its

  th Histopathologic Bases . 5 ed. Lippincott William & Wilkins.

  Large cell carcinoma adalah tumor ganas epitel yang tidak memiliki profil sitologi small cell carcinoma. Sel memiliki inti besar, nukleolus mencolok, jumlah sitoplasma sedang (Husain, 2010).

Gambar 2.12 Gambar sitologi dari large cell carcinoma. inti hiperkromatik dengan tekstur kromatin kasar pada sitoplasma yang pucat.

  Sumber : Koss, L. G., Melamed, M. R., 2006. Koss’ Diagnostic Cytology and Its

  th Histopathologic Bases . 5 ed. Lippincott William & Wilkins.

Tabel 2.1 Tabel Tumor Epitel Paru Berdasarkan Klasifikasi WHO

PREINVASIVE LESIONS

  Squamous dysplasia/carcinoma in situ Atypical adenomatous hyperplasia Diffuse idiopathic pulmonary neuroendocrine cell hyperplasia

  INVASIVE MALIGNANT LESIONS Squamous cell carcinoma

  Variants Papillary Clear cell Small cell Basaloid

  Small cell carcinoma

  Variant Combined small cell carcinoma

  Adenocarcinoma

  Acinar Papillary Bronchioloalveolar carcinoma Nonmucinous (Clara cell/type II pneumocyte) type

  Mucinous (goblet cell) type Mixed mucinous and nonmucinous (Clara cell/type II pneumocyte and goblet cell) type, or indeterminate cell type Solid adenocarcinoma with mucin formation Adenocarcinoma with mixed subtypes Variants Well-differentiated fetal adenocarcinoma Mucinous adenocarcinoma Mucinous cystadenocarcinoma Signet-ring adenocarcinoma Clear cell adenocarcinoma

  Large cell carcinoma

  Variants Large cell neuroendocrine carcinoma Combined large cell neuroendocrine carcinoma Basaloid carcinoma Lymphoepitheliomalike carcinoma Clear cell carcinoma Large cell carcinoma with rhabdoid phenotype

  Adenosquamous carcinoma Carcinomas with pleomorphic, sarcomatoid, or sarcomatous elements

  Carcinomas with spindle or giant cells Pleomorphic carcinoma Spindle cell carcinoma Giant cell carcinoma Carcinosarcoma Pulmonary blastoma

  Carcinoid tumors

  Typical carcinoid Atypical carcinoid

  Carcinomas of salivary gland type

  Mucoepidermoid carcinoma Adenoid cystic carcinoma Others

  Unclassified

  Sumber : DeVita, V. T., Lawrence, T. S., Rosenberg, S.A., 2008. Devita, Hellman

  th & Rosenberg’s Cancer : Principles & Practice of Oncology . 8 ed. Lippincott William & Wilkins.

2.2.6 Diagnosis

  Gambaran klinik keganasan paru tidak banyak berbeda dari penyakit paru lainnya, terdiri dari keluhan subyektif dan gejala obyektif. Dari anamnesis dapat ditemukan keluhan utama berupa batuk-batuk dengan/tanpa dahak (dahak putih, dapat juga purulen), sesak nafas, suara serak, sakit dada, sulit/sakit menelan, benjolan di pangkal leher, sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab lengan dengan rasa nyeri yang hebat (PDPI, 2003).

  Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh dan teliti. Tumor paru ukuran kecil dan terletak di perifer dapat memberikan gambaran normal pada pemeriksaan. Tumor dengan ukuran besar, terlebih bila disertai atelektasis sebagai akibat kompresi bronkus, efusi pleura atau penekanan vena kava akan memberikan jasil yang lebih informatif. Pemeriksaan ini juga dapat menjadi sumber informasi untuk menentukan stage penyakit, seperti pembesaran KGB atau tumor diluar paru. Metastasis ke organ lain juga dapat dideteksi dengan perabaan hepar, pemeriksaan funduskopi untuk mendeteksi peninggian tekanan intrakranial dan terjadinya fraktur sebagai akibat metastasis ke tulang (PDPI, 2003).

  1. Gambaran radiologis a.

  Foto toraks : pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan dapat dilihat bila masa tumor berukuran lebih dari 1cm. Tanda yang mendukung keganasan adalah tepi ireguler disertai identasi pleura, tumor satelit, dll. Pada foto tumor juga dapat ditemukan invasi ke dinding dada, efusi pleura, efusi perikardium, dan metastasis intrapulmoner. b.

  CT-Scan toraks : dapat mendeteksi tumor dengan ukuran < 1cm secara lebih tepat daripada foto toraks. Tanda keganasan tergambar lebih baik meski tanpa gejala. CT-scan mampu mendeteksi pembesaran kelenjar getah bening untuk menentukan stage keganasan paru.

  c.

  Pemeriksaan radiologi lainnya : dilakukan karena foto toraks dan CT-scan toraks tidak mampu mendeteksi telah terjadinya metastasis jauh. Misalnya Crain-CT untuk mendeteksi metastasis di tulang kepala / jaringan otak.

  2. Gambaran Sitologi Pemeriksaan sitologi terhadap sputum, sekret bronkus, dan aspirat memiliki dua tujuan (Rubin, 2009) : a.

  Untuk menentukan adanya tumor b. Untuk mengelompokkan tumor secara akurat sesuai dengan tipe histologinya.

  Identifikasi small cell carcinoma dan non-small cell carcinoma sangat penting karena dapat mempengaruhi cara penanganan kasus.

  Bila dilakukan dengan tepat, pemeriksaan sitologi dapat mengarahkan diagnosis yang tepat, cepat, dengan akurasi yang yang sama atau bahkan lebih baik daripada teknik lainnya. Kelebihan dari pemeriksaan sitologi adalah dapat memberi pilihan rencana penanganan tanpa harus dilakukan biopsi terbuka. Namun interpretasi dari pemeriksaan sitologi harus selalu disesuaikan dengan manifestasi klinis, karena sering tumor jinak dapat memicu perubahan seluler yang menyerupai proses keganasan (Koss, 2006).

  Penetapan yang optimal dari berbagai jenis keganasan paru dengan pemeriksaan sitologi diperoleh dengan memeriksa hapusan yang difiksasi menggunaan pewarnaan Papanicolaou. Tetapi, pengeringan di udara, hapusan yang difiksasi metanol, pewarnaan dengan Diff-Quik atau pewarnaan hematologi lain banyak digunakan terutama untuk sitologi aspirasi percutaneous (Koss, 2006).

  Pemeriksaan sitologi memiliki banyak manfaat (Rubin, 2009) : a. Dapat diperoleh diagnosis dengan cepat, dalam hitungan menit hingga kurang dari satu jam. b.

  Trauma yang terjadi pada pengambilan sampel untuk pemeriksaan sitologi lebih sedikit dibandingkan biopsi.

  c.

  Permukaan lokasi pengambilan sampel pemeriksaan sitologi lebih luas dibandingkan biopsi yang terbatas pada daerah yang kecil dimana terlihat jelas adanya kelainan.

  d.

  Dengan pemeriksaan sitologi dapat diperoleh sampel dari tumor-tumor yang sulit diperoleh dengan biopsi. Sampel peripheral carcinoma paru-paru dapat diperoleh dengan fine-needle aspiration.

  e.

  Dibandingkan dengan biopsi, pengambilan sampel pemeriksaan sitologi lebih nyaman bagi pasien.

  f.

  Biaya deteksi kanker menggunakan pemeriksaan sitologi jauh lebih murah dan tidak diperlukan tes, prosedur, dan pembedahan.

  Ketepatan diagnosis menggunakan pemeriksaan sitologi bergantung pada beberapa faktor, termasuk pengalaman pengambil sampel, metode pengambilan sampel, kecukupan jumlah sampel, organ target pemeriksaan, dan keahlian pemeriksa sitologi. Diagnosis false-positive akan jarang terjadi pada ahli sitopatologi yang berpengalaman, sehingga spesifisitas diagnosis keganasan mendekati 100%. Sensitivitas tes berada pada rentang 80% hingga 90% untuk hampir seluruh tipe spesimen. Sel ganas yang tidak terlihat pada pemeriksaan sitologi tidak menghilangkan kemungkinan adanya keganasan. (Rubin, 2009)

  Beberapa kekurangan dari pemeriksaan sitologi (Rubin, 2009) : a. Sampel yang tidak memadai menyebabkan diagnosis false-negative pada pemeriksaan sitologi.

  b.

  Klasifikasi tipe tumor lebih sulit dengan sampel sitologi dibandingkan dengan spesimen biopsi. Hal ini dikarenakan sample sitologi berukuran kecil dan tidak terlihat pola jaringan.

  c.

  Pemeriksaan sitologi tidak dapat mengetahui luas dan dalam dari invasi keganasan.

  Berikut adalah beberapa jenis pemeriksaan sitologi (Cibas, 2009) : 1. Sitologi Sputum

  Sputum terdiri dari campuran unsur seluler dan non-seluler yang dibersihkan oleh aparatus mukosilier. Pemeriksaan ini mudah dilakukan dan hanya menimbulkan sedikit ketidaknyamanan. Namun skrining yang dilakukan pada perokok tanpa gejala tidak mampu menurunkan angka kematian akibat kanker paru. Kini pemeriksaan sitologi sputum dilakukan kepada individu dengan gejala penyakit paru. Pengumpulan spesimen yang multipel dalam beberapa hari akan meningkatkan sensitivitas pemeriksaan. Lebih baik bila spesimen diperoleh dari batuk dalam di pagi hari. Bila sputum yang dikeluarkan tidak cukup, dapat diinduksi dengan menghirup air atau salin yang di nebul. Induksi sputum dapat meningkatkan deteksi kanker paru. Bila preparat sputum tidak dapat disiapkan dengan cepat, pasien dapat meludah ke larutan etanol 70%.

  Metode sederhana dalam preparasi sputum dikenal dengan teknik “pick and smear”, dimana sputum segar diperiksa adanya kepingan jaringan, darah, atau keduanya. Pulasan disiapkan dari area yang mengandung unsur ini dan segera difiksasi dengan etanol 95%. Modifikasi metode ini disebut metode Saccomanno, dimana sputum dikumpulkan dengan etanol 50% dan carbowax 2%. Spesimen dihomogenkan dengan blender dan dikonsentrasikan dengan sentrifugasi. Penggunaan dithiothreitol (DTT) pada homogenisasi dapat meningkatkan sensitivitas. Pulasan dibuat dari materi seluler yang sudah terkonsentrasi dan digunakan pewarnaan Papanicolau.

  Sensitivitas sitologi sputum untuk diagnosis keganasan meningkat dengan jumlah spesimen yang diperiksa, dari 42% untuk spesimen tunggal menjadi 91% untuk lima spesimen. Spesifisitas pemeriksaan sputum berkisar 96% hingga 99% dan positive dan negative predictive value berurutan adalah 100% dan 15%. Hasil negatif pemeriksan sputum tidak menjamin tidak adanya keganasan pada paru. Sensitifitas pemeriksaan sitologi sputum tergantung pada lokasi tumor ganas : 46% sampai 77% untuk kanker paru sentral namun hhanya 31% hingga 47% untuk kanker perifer.

2. Bronchial Specimens

  Perkembangan bronkoskopi fleksibel merupakan perbaikan yang sangat penting untuk pengambilan contoh sel saluran napas bawah. Sekarang sampel setiap bagian saluran pernapasan dapat diambil menggunakan alat ini. Komplikasi bronkoskopi jarang terjadi, dapat berupa laringospasme, bronkospasme, gangguan konduksi jantung, kejang, hipoksia, dan sepsis.

  3. Bronchial Aspirations and Washings Sekret bronkus dapat diaspirasi langsung dari saluran napas bawah menggunakan bronkoskopi, tapi metode yang lebih sering digunakan adalah mencuci mukosa dengan memasukkan 3 sampai 10 mL salin dan mengaspirasi cairan cuci. Cairan kemudian disentrifuge dan konsentrat digunakan untuk membuat sapuan preparat yang tipis.

  4. Bronchial Brushings Bronkoskopi serat optik memberikan gambaran langsung dan sampling dari cabang tracheobronchial. Pada permukaan lesi endobronkial dilakukan sikatan dan sel yang didapat dihapuskan ke kaca preparat. Hapusan segera difiksasi dengan etanol 95%.

  5. Brochoalveolar Lavage (BAL) Pada BAL, bronkoskopi dimasukkan sedalam mungkin dan saluran nafas bagian distal dibilas dengan normal saline beberapa kali. Bilasan pertama lebih mewakilkan materi seluler dari saluran udara yang lebih besar. BAL bermanfaat untuk diagnosis infeksi oportunistik pada pasien dengan penurunan imunitas, hasil diagnosis untuk patogen infeksius 39% dengan sensitivitas 82% dan spesifisitas 53%. Pada pasien AIDS sensitivitas BAL mencapai 86%.

  BAL juga bermanfaat untuk diagnosis keganasan dengan sensitivitas beragam dari 35% sampai 70% dan lebih tinggi untuk tumor mutifokal atau difus seperti bronchioalveolar carcinoma.

  6. Transbronchial Fine-Needle Aspiration Transbronchial FNA berguna untuk diagnosis lesi paru primer yang terletak dipermukaan bronchial dan untuk staging kanker paru dengan sample limfa node mediastinum. Sensitivitas pemeriksaan ini 56% namun bila dikombinasikan dengan bronchial brush, wash, dan biopsi menjadi 72%, serta spesifisitasnya 74%.Transbronchial FNA akurat dalam memisahkan small-cell dari kanker paru non-small cell. Akurasi staging mediastinum meningkat bila dipandu dengan ultrasound.

  7. Transesophageal Fine-Needle Aspiration Dengan melewatkan jarum melewati esophagus, sampling limfa node mediastinum dapat dilakukan. Dengan panduan ultrasound, akurasi sampling akan lebih baik. Endoscopic FNA lebih hemat biaya dan tidak diperlukan thoracotomy. Akurasi diagnosis endoscopic transesophageal FNA 70% hingga 80%. Bila dikombinasi dengan transbronchial FNA, hasil diagnosis untuk staging mediastinum mendekati 100%.

  8. Percutaneous Fine-Needle Aspiration Diagnosis cepat dan mobiditas minimal membuat percutaneous FNA menjadi alternatif bagi biopsi operasi untuk evaluasi pasien dengan massa di paru.

  Namun terdapat beberapa kontraindikasi seperti COPD, emphysema, batuk tidak terkontrol, pasien yang tidak kooperatif, penyakit jantung, severe pulmonary hypertension, arteriovenous malformation. Komplikasi paling sering dari percutaneous FNA adalah pneumothorax (21% - 34% pasien). Percutaneous FNA memiliki sensitivitas 89% dan spesifisitas 96%. Pada hapusan yang difiksasi menggunakan metanol dan dikeringkan di udara, digunakan pewarnaan Diff-Quik.

  Kategori diagnosis untuk spesimen sitologi (Papanicolau Society, 1999) : 1.

   Nondiagnostic Specimens (C1)

  Bila pada spesimen tidak ditemukan materi seluler, materi bercampur darah, pengawetan buruk, clinicopathologic tidak bisa didiagnosisi secara spesifik.

  2. Specific Benign Lesions (C2)

  Semua neoplasma jinak, proses peradangan, hapusan yang terdapat infeksi (jamur, mikobakteri, bakteri).

  3. Atypical Cells Present, Probably Benign (C3)

  Komponen epitel atau mesenkim ditemukan dengan inti atypia dicurigai neoplasma jinak.

  4. Atypical, Suspicious for Malignancy (C4)

  Spesimen yang menunjukkan fitur atypical yang dicurigai keganasan

5. Malignancy Present (C5) Semua specimen yang dapat ditegakkan diagnosis pasti keganasan.

2.2.7 Imunositokimia

  Imunositokimia sering digunakan sebagai tambahan dalam diagnosis morfologi tumor-tumor paru. Pemeriksaan ini sering digunakan untuk membedakan antara tumor primer dengan tumor metastasis dan antara small cell dengan non-small cell carcinoma. Tumor paru primer, termasuk small cell cancer dan adenocarcinoma, menunjukkan faktor transkripsi tiroid (TTF-1) dan cytokeratin-7. TTF-1 juga dapat terlihat pada tumor tiroid primer. Carcinoembryonic antigen (CEA) terlihat pada adenocarcinoma paru. Namun dapat juga terlihat pada adenocarcinoma pankreas, kolon, payudara, dan organ- organ lainnya. Pada tumor-tumor paru neuroendokrin baik ganas maupun jinak terlihat marker neuroendokrin, chromgranin-A, synaptophysin, neuron-spesific enolase, dan CD 56, juga cytokeratin-7 dan TTF-1. (Gupta, 2008)

Gambar 2.13 Gambar pewarnaan hemotoksilin dan eosin pada cell block

  Sumber : Koss, L. G., Melamed, M. R., 2006. Koss’ Diagnostic Cytology and Its

  th Histopathologic Bases . 5 ed. Lippincott William & Wilkins.

Gambar 2.14 Gambar pewarnaan imunoperoksidase untuk thyroid transcription factor-1 (TTF-1) pada pewarnaan inti cell block

  Sumber : Koss, L. G., Melamed, M. R., 2006. Koss’ Diagnostic Cytology and Its

  th Histopathologic Bases . 5 ed. Lippincott William & Wilkins.

Dokumen yang terkait

Karakteristik Tumor Ganas Paru Berdasarkan Pemeriksaan Sitologi Bronkus di RSUP Haji Adam Malik Tahun 2011-2013

2 63 67

Karakteristik Penderita Epilepsi Rawat Inap di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2011-2013

0 42 119

Karakteristik Penderita Tumor Ganas Laring di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010-2011

2 57 86

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bronkus 2.1.1 Anatomi bronkus - BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bronkus

0 1 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Respon Berduka Pada Pasien Stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 0 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi - Gambaran Histopatologi Tumor Phyllodes dengan Pulasan Van Gieson di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan Tahun 2010-2011

0 0 42

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Karakteristik Pasien Penderita Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2012-2013

0 2 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisologi payudara 2.1.1 Anatomi Payudara - Karakteristik Klinis Penderita Kanker Payudara dengan Tampilan Imunohistokimia Triple Negative (TNBC) di RSUP Haji Adam Malik dan Departemen Patologi Anatomi FK USU Medan p

0 1 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi hidung dan sinus paranasalis 2.1.1 Anatomi hidung - Karekteristik Gambaran Tomografi Komputer Sinus Paranasalis pada Pasien Rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik pada Tahun 2012

0 0 25

Karakteristik Tumor Ganas Paru Berdasarkan Pemeriksaan Sitologi Bronkus di RSUP Haji Adam Malik Tahun 2011-2013

0 0 15