Identifikasi Pengembangan WIlayah lokal Berbas

“Identifikasi Pengembangan Wilayah Berbasis Ekonomi Lokal di Kota Blitar dengan Konsep Kutub

Pertumbuhan ( Growth Pole) ” ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ema Umilia, ST., MT. dan Ibu Ketut Dewi Martha Erli Handayeni, ST., MT, selaku dosen mata kuliah Perencanaan Wilayah yang telah memberikan ilmunya terkait wawasan pengembangan wilayah.

Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangannya dan masih jauh dari sempurna. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapan demi perbaikan penelitian. Semoga penelitian ini dapat berguna bagi pembaca dan masyarakat pada umumnya khususnya terkait bahasan pengembangan wilayah.

Selasa, 26 Mei 2015

Penyusun

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menghadapi permasalahan ekonomi di era pasca krisis ekonomi ini, kebijakan pengembangan wilayah perlu lebih berorientasi kepada pengembangan ekonomi lokal. Hal ini sebetulnya bukan hal baru, jika dilihat kembali misi awal dari pendekatan pengembangan wilayah selain untuk pembangunan lingkungan juga mengarah kepada pembangunan ekonomi wilayah dan kesejahteraan sosial warganya. Pengembangan wilayah di masa yang akan datang menurut Firman (2011) merupakan suatu kerangka untuk tindakan-tindakan bagi terbentuknya suatu pembangunan lokal (Local Development), yang diartikan sebagai penumbuhan suatu lokalitas secara sosial-ekonomi dengan lebih mandiri, berdasarkan potensi-potensi yang dimilikinya, baik sumber daya alam, geografis, kelembagaan, industri, kewiraswastaan pendidikan tinggi, asosiasi profesi maupun lainnya. Kebijakan pengembangan ekonomi lokal pada hakekatnya merupakan kebijakan pembangunan di daerah yang didasarkan pada pengembangan sektor-sektor yang menjadi prioritas unggulan yang diusahakan dalam aktivitas ekonomi masyarakat lokal (lokal competence) (Wiranto, 2004).

Kota Blitar merupakan salah satu kota dengan konsep pengembangan wilayah dengan berdasarakan pada pengembangan berbasis ekonomi lokal (RTRW Kota Blitar, 2010-2013). Sektor yang mendominasi PDRB Kota Blitar diantaranya adalah sektor pertanian, perikanan, dan industri. Pada bidang pengembangan ekonomi lokal tersebut sektor pertanian memiliki komoditas unggulan perkebunan tebu, karet dan kakao yang mampu berkembang. Dari persentase tiap tahunnya mengalami peningkatan meskipun peningkatan produksinya kecil. Dalam sektor perikanan, Pengembangan Kolam Air Bersih di kabupaten Blitar mempunyai kemungkinan usaha yang membuat sistem irigasi lebih efektif. Peluang investasi di dalam sektor ini, ditekankan pada kolam air bersih yang berisi bermacam-macam jenis ikan kolam seperti; Gurame, mujair, lele, dan gabus. Sedangkan sektor industri pad PDRB Kota Blitar memiliki nilai yaitu sebesar 13,41% yang berada di tingkat ketiga penyumbang terbesar PDRB. Jumlah unit usaha pada sektor industri tahun 2009 sebanyak 1.967 terdiri dari industri formal sebanyak 112 dan industri non formal 1.855 usaha (Dinas Pendapatan Kota

Blitar, 2009).

Jika melihat kedekatan dan kemudahan akses Kota Blitar terhadap kota yang ada di dekatnya, membuat Kota Blitar berpotensi sebagai pusat pengembangan ekonomi lokal yang didukung oleh peri-urban yang ada di sekitar Kota Blitar, dimana keadaan tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Kota Blitar. Jika mengacu pada konsep kutub pertumbuhan (Growth Pole), pertumbuhan tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara serentak; pertumbuhan itu terjadi pada titik-titik atau kutub-kutub perkembangan, dengan intensitas yang berubah-ubah; perkembangan ini menyebar sepanjang saluran-saluran yang beraneka ragam dan dengan efek yang beraneka-ragam terhadap keseluruhan perekonomian (Glasson - Sitohang, 1977). Namun pengembangan wilayah berbasis ekonomi lokal yang ada di Kota Blitar masih belum optimal dan terpusat, sehingga kebutuhan akan peningkatan ekonomi masih belum merata. Maka dari itu, Jika melihat kedekatan dan kemudahan akses Kota Blitar terhadap kota yang ada di dekatnya, membuat Kota Blitar berpotensi sebagai pusat pengembangan ekonomi lokal yang didukung oleh peri-urban yang ada di sekitar Kota Blitar, dimana keadaan tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Kota Blitar. Jika mengacu pada konsep kutub pertumbuhan (Growth Pole), pertumbuhan tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara serentak; pertumbuhan itu terjadi pada titik-titik atau kutub-kutub perkembangan, dengan intensitas yang berubah-ubah; perkembangan ini menyebar sepanjang saluran-saluran yang beraneka ragam dan dengan efek yang beraneka-ragam terhadap keseluruhan perekonomian (Glasson - Sitohang, 1977). Namun pengembangan wilayah berbasis ekonomi lokal yang ada di Kota Blitar masih belum optimal dan terpusat, sehingga kebutuhan akan peningkatan ekonomi masih belum merata. Maka dari itu,

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarakan arahan RTRW Kota Blitar Tahun 2010-2030 pengembangan wilayah Kota Blitar berbasis pada pengembangan ekonomi lokal, namun pada pelaksanaannya pengembangan ekonomi lokal tersebut masih belum terpusat, sehingga kebutuhan akan peningkatan ekonomi masih belum merata. Maka dari permasalahan tersebut muncul pertanyaan penelitian sebagai berikut: “Bagaimana penerapan konsep Kutub Pertumbuhan (Growht Pole) sebagai penunjang pemusatan kegiatan ekonomi lokal yang dapat meningkatkan perekonomian Kota Blitar? ”

1.3 Tujuan dan Sasaran Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian kali ini adalah untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi lokal yang ada di Kota Blitar dengan menggunakan pendekatan pengembangan wilayah. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka sasaran penelitian ini adalah:

1. Identifikasi pengembangan wilayah berdasarkan pengembangan ekonomi lokal di Kota Blitar

2. Identifikasi sektor prioritas terhadap pengembangan ekonomi lokal di Kota Blitar

3. Perumusan strategi dengan pendekatan pengembangan wilayah guna mengembangkan ekonomi lokal di Kota Blitar

1.4 Sistematika Penulisan

BAB I Pendahuluan, Pada bab ini berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II Tinjauan Pustaka, Pada bab ini berisi tentang tinjauan pustaka diantaranya, teori pengembangan wilayah, konsep kutub pertumbuhan, dan analisis sektor basis. BAB III Gambaran Umum, Pada bab ini, berisikan tentang gambaran umum wilayah, kondisi ekonomi, dan potensi masalah. BAB IV Pembahasan, Pada bab ini berisikan tentang identifikasi pengembangan wilayah, identifikasi sektor prioritas dan perumusan strategi. BAB V Penutup , Pada bab terakhir ini, berisi tentang kesimpulan dan lesson learned hasil dari keseluruhan makalah.

BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1 Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah sangat diperlukan karena kondisi sosial ekonomi, budaya dan geografis yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Pada dasarnya pengembangan wilayah harus disesuaikan dengan kondisi, potensi dan permasalahan wilayah yang bersangkutan (Riyadi dalam Ambardi dan Socia, 2002). Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.

Sedangkan untuk perwilayahan adalah membagi suatu wilayah yang luas, misalnya wilayah suatu Negara ke dalam beberapa wilayah yang lebih kecil. Perwilayahan mengelompokkan beberapa wilayah kecil dalam satu kesatuan. Suatu perwilayahan dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan pembentukan wilayah itu sendiri. Dasar dari perwilayahan dapat dibedakan sebagai berikut :

a) Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, di Indonesia dikenal wilayah kekuasaan pemerintahan seperti promosi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa/Kelurahan dan Dusun/Lingkungan.

b) Berdasarkan kesamaan kondisi, yang paling umum adalah kesamaan kondisi fisik.

c) Berdasarkan ruang lingkup pengaruh ekonomi. Perlu ditetapkan terlebih dahulu beberapa pusat pertumbuhan yang kira-kira sama besarnya, kemudian ditetapkan batas-batas pengaruh dari setiap pusat pertumbuhan.

d) Berdasarkan wilayah perencaan/program. Dalam hal ini, ditetapkan batas-batas wilayah ataupun daerah-daerah yang terkena suatu program atau proyek dimana wilayah tersebut termasuk kedalam suatu perencanaan untuk tujuan khusus.

Dalam setiap perwilayahan tersebut perlu adanya pengembangan wilayah, yang dimana akan meningkatkan kualitas ekonomi dan daya saing antar wilayah. Sedangkan pengembangan wilayah sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen tertentu seperti (Friedman and Allonso, 2008) :

1) Sumber daya lokal, yang merupakan kekuatan alam yang dimiliki wilayah tersebut seperti lahan pertanian, hutan, bahan galian, tambang dan sebagainya. Sumberdaya lokal harus dikembangkan untuk dapat meningkatkan daya saing wilayah tersebut.

2) Pasar, yang merupakan tempat memasarkan produk yang dihasilkan suatu wilayah sehingga wilayah dapat berkembang.

3) Tenaga kerja, berperan dalam pengembangan wilayah sebagai pengolah sumber daya yang ada.

4) Investasi, semua kegiatan dalam pengembangan wilayah tidak terlepas dari adanya investasi modal.

5) Kemampuan pemerintah, merupakan elemen pengarah pengembangan wilayah.

6) Transportasi dan Komunikasi, berperan sebagai media pendukung yang menghubungkan wilayah satu dengan wilayah lainnya. Interaksi antara wilayah seperti aliran barang, jasa dan informasi akan sangat berpengaruh bagi tumbuh kembangnya suatu wilayah.

7) Teknologi, berpengaruh terhadap pemanfaatan sumber daya wilayah melalui peningkatan output produksi dan keefektifan kinerja sektor-sektor perekonomian wilayah. Tujuan pengembangan wilayah mengandung 2 (dua) sisi yang saling berkaitan yaitu sisi sosial dan

ekonomis. Dengan kata lain pengembangan wilayah adalah merupakan upaya memberikan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, misalnya menciptakan pusat-pusat produksi, memberikan kemudahan prasarana dan pelayanan logistik dan sebagainya (Triutomo, 2001).

2.2 Teori Kutub Pertumbuhan ( Growth Pole)

Konsep „growth pole‟ atau dikenal sebagai konsep „Kutub Pertumbuhan‟ dibangun oleh Perroux pada tahun 1955. Konsep ini bersumber dari faktor-faktor aglomerasi dan teori-teori lokasi terdahulu (Glasson- Sitohang, 1977). Konsep ini didasarkan pada teori ekonomi makro, oleh karenanya dasar utama adalah konsentrasi pertumbuhan ekonomi pada ruang tertentu. Pertumbuhan ekonomi tidak tumbuh pada sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara serentak; pertumbuhan itu terjadi pada titik-titik atau kutub-kutub perkembangan, dengan intensitas yang berubah-ubah; perkembangan ini menyebar sepanjang saluran-saluran yang beraneka ragam dan dengan efek yang beraneka-ragam terhadap keseluruhan perekonomian (Glasson - Sitohang, 1977).

Perroux juga mengindikasikan bahwa pembangunan harus disebabkan/ditimbulkan oleh suatu konsentrasi (aglomerasi) tertentu bagi kegiatan ekonomi dalam suatu ruang yang abstrak (Miyoshi, 1997). Sementara itu Boudeville mendefinisikan kutub pertumbuhan (growth pole) sebagai sekelompok industri yang mengalami ekspansi yang berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong perkembangan kegiatan ekonomi lebih lanjut ke seluruh daerah pengaruhnya (Glasson - Sitohang, 1977). Pembangunan konsep growth pole sebagai suatu model perencanaan yang bersifat operasional, menerangkan suatu kondisi dimana pertumbuhan akan tercipta pada wilayah yang menimbulkan adanya kutub (polarized region).

Konsep-konsep ekonomi dasar dan perkembangan geografik berkaitan dengan teori growth pole, didefinisikan sebagai berikut:

1. Konsep “leading industries dan perusahaan-perusahaan propulsip menyatakan pada pusat kutub pertumbuhan terdapat perusahaan-perusahaan propilsip yang besar, yang termasuk dalam “leading industrie s” yang mendominasi unit-unit ekonomi lainnya.

2. Konsep polarisasi, menyatakan bahwa pertumbuhan yang cepat dari leading industries mendorong polarisasi dan unit-unit ekonomi lainnya ke dalam kutub pertumbuhan.

3. Konsep “spread effect” atau “ trickling down effect” menyatakan bahwa pada waktunya, industri propulsip dinamik dari kutub pertumbuhan akan memencar keluar dan memasuki ruang di sekitarnya.

Pada dasarnya konsep kutub pertumbuhan dapat dibagi menjadi 2 fungsi bagian yaitu, Fungsional: Suatu lokasi industri yang memiliki kedinamisan sehingga menstimulus kehidupan ekonomi ke dalam maupun ke luar, dan Geografis: Daya tarik lokasi dengan pemusatan (pole of attraction). Sedangkan untuk karakteristik dari konsep kutub pertumbuhan adalah sebagai berikut:

1. Penggabungan antara prinsip sentralisasi dengan desentralisasi

2. Dasar strategi kebijaksanaan pembangunan wilayah melalui industri daerah

3. Pembangunan terpusat pada beberapa daerah

4. Pemanfaatan aglomerition economies

2.3 Aglomerasi Industri

Perroux (dalam Adisasmita, 2005) menyebutkan bahwa pembangunan atau pertumbuhan tidak terjadi di segala tempat, akan tetapi hanya terbatas pada beberapa tempat tertentu. Ia lebih memberikan tekanan pada aspek konsentrasi proses pembangunan dan menganggap induustri pendorong (propulsive industries) sebagai titik awal perubahan unsur yang esensial untuk menunjang pembangunan selanjutnya. Konsepsi Perroux ini merupakan langkah utama untuk memberi bentuk konkrit pada aglomerasi. Sedangkan menurut Matitaputty (2010) aglomerasi akan terjadi jika sebuah aktifitas ekonomi dan penduduk melakukan pengelompokan atau terkonsentrasi secara spasial, pengelompokan ini diakibatan usaha para pelaku aktifitas ekonomi serta penduduk untuk melakukan penghematan, didukung oleh lokasi yang berdekatan. Dari sudut pandang teoritis, konsep aglomerasi dibenarkan untuk diperkenalkan ke dalam ruang kerangka model keuntungan tradisional. Secara umum, ekonomi aglomerasi hanya terdiri hanya eksternalitas positif yang dihasilkan dari konsentrasi spasial dari sebuah aktivitas ekonomi. Seperti disebutkan sebelumnya ekonomi aglomerasi merupakan hasil dari lokasi industri yang spesifik, yang diperoleh ketika perusahaan di industri yang sama menarik berbagi kutub dari pekerja terampil dan input yang terspesialisasi (Guimaraes, Figueiredo dan Woodward, 2000).

Agglomeration economies atau localized industries menurut Marshall muncul ketika sebuah industri memilih lokasi untuk kegiatan produksinya yang memungkinkan dapat berlangsung dalam jangka panjang sehingga masyarakat akan banyak memperoleh keuntungan apabila mengikuti tindakan mendirikan usaha disekitar lokasi tersebut. Konsep aglomerasi menurut Montgomery tidak jauh berbeda dengan konsep yang dikemukakan oleh Marshall. Montgomery mendefinisikan penghematan aglomerasi sebagai penghematan akibat adanya lokasi yang berdekatan (economies of proximity) yang diasosiasikan dengan pengelompokan

perusahaan, tenaga kerja, dan konsumen secara spasial untuk meminimisasi biaya-biaya seperti biaya transportasi, informasi dan komunikasi.

2.4 Analisa Sektor Basis

2.4.1 Analisa Location Quotient Metode LQ digunakan untuk mengidentifikasi komoditas unggulan, yang diakomodasi dari Miller

danWright (1991), Isserman (1997), dan Ron Hood (1998). Menurut Hood (1998), Location Quotient adalah suatu alat pengembangan ekonomi yang lebih sederhana dengan segala kelebihan dan keterbatasannya, sedangkan menurut Tarigan (2005), LQ adalah suatu perbandingan tentang besarnya peranan suatu danWright (1991), Isserman (1997), dan Ron Hood (1998). Menurut Hood (1998), Location Quotient adalah suatu alat pengembangan ekonomi yang lebih sederhana dengan segala kelebihan dan keterbatasannya, sedangkan menurut Tarigan (2005), LQ adalah suatu perbandingan tentang besarnya peranan suatu

Berdasarkan pemahaman terhadap teori ekonomi basis, teknik LQ relevan digunakan sebagai metode dalam menentukan komoditas unggulan khususnya dari sisi penawaran (produksi atau populasi). Untuk komoditas yang berbasis lahan seperti tanaman pangan, holtikultura, dan perkebunan, perhitungannya didasarkan pada lahan pertanian (area tanam atau area panen), dan produksi atau produktivitas. Sedangkan untuk komoditas pertanian yang tidak berbasis lahan seperti usaha ternak, dasar perhitungannya digunakan jumlah populasi (ekor).

Setiap metode analisis memiliki kelebihan dan keterbatasan, demikian halnya dengan metode LQ (Hendayana, 2003) :

1. Kelebihan metode LQ dalam mengidentifikasi komoditas unggulan, antara lain penerapannya sederhana dan tidak memerlukan program pengolahan data yang rumit. Penyelesaian analisis cukup dengan spreed sheet dari Excel atau program lotus serta alat perhitungan lainnya.

2. Keterbatasannya adalah karena demikian sederhananya pendekatan LQ ini, maka yang dituntut adalah akurasi data. Sebaik apapun hasil olahan LQ, tidak akan banyak memanfaatkannya jika data yang digunakan tidak valid. Oleh karena itu sebelum memutuskan menggunakan alat analisis LQ maka validitas data sangat diperlukan. Disamping itu untuk menghindari bias musiman dan tahunan diperlukan bila rata-rata kurang dari 5 tahun. Sementara dilapangan, mengumpulkan data yang panjang sering mengalami hambatan.

3. Formula untuk Location Quotient (LQ) adalah sebagai berikut :

Keterangan :

 V ik = Nilai output (PDRB) sektor i daerah studi k (kabupaten/kota misalnya) dalam pembentukan

PDRB riil daerah studi k

 V k = PDRB total semua sektor di daerah studi k  V

ip =

Nilai output (PDRB) sektor i daerah referensi p (propinsi misalnya) dalam pembentukan

PDRB daerah p.

 V p = PDRB total semua sektor di daerah referensi p

Asumsi utama dalam analisis LQ adalah bahwa semua penduduk di setiap daerah mempunyai pola permintaan yang sama dengan pola permintaan pada tingkat daerah referensi (pola pengeluaran secara geografis adalah sama), produktivitas tenaga kerja adalah sama dan setiap industri menghasilkan barang yang Asumsi utama dalam analisis LQ adalah bahwa semua penduduk di setiap daerah mempunyai pola permintaan yang sama dengan pola permintaan pada tingkat daerah referensi (pola pengeluaran secara geografis adalah sama), produktivitas tenaga kerja adalah sama dan setiap industri menghasilkan barang yang

1. Nilai LQ di sektor i= 1. Ini berarti bahwa laju pertumbuhan sektor i di daerah studi k adalah sama dengan laju pertumbuhan sektor yang sama dalam perekonomian daerah refrensi p .

2. Nilai LQ di sektor i > 1. Ini berarti bahwa laju pertumbuhan sektor i di daerah studi k adalah lebih besar dibandingkan dengan laju pertumbuhan sektor yang sama dalam perkonomian daerah refrensi p. Dengan demikian, sektor i merupakan sektor unggulan daerah studi k sekaligus merupakan basis ekonomi untuk dikembangkan labih lanjut oleh daerah studi k.

3. Nilai LQ di sektor i<1. Ini berarti bahwa laju pertumbuhan sektor i di daerah studi k adalah lebih kecil dibandingkan dengan laju pertumbuhan sektor yang sama dalam perekonomian daerah refrensi p. Dengan demikian, sektor i bukan merupakan sektor unggulan daerah studi k dan bukan merupakan basis ekonomi serta tidak prospektif untuk dikembangkan lebih lanjut oleh daerah studi.

BAB III GAMBARAN UMUM

3.1. Gambaran Umum Wilayah

Kota Blitar yang juga dikenal dengan sebutan Kota Patria , Kota Lahar dan Kota Proklamator secara legal-formal didirikan pada tanggal 1 April 1906. Dalam perkembangannya kemudian momentum tersebut ditetapkan sebagai Hari Jadi kota Blitar. Walaupun status pemerintahannya adalah Pemerintah Kota, tidak serta-merta menjadikan mekanisme kehidupan masyarakatnya seperti yang terjadi dikota -kota besar. Memang ukurannya pun tidak mencerminkan sebuah kota yang cukup luas. Level yang dicapai kota Blitar adalah sebuah kota yang masih tergolong antara klasif ikasi kota kecil dan kota besar. Secara faktual sudah bukan kota kecil lagi, tetapi juga belum menjadi kota besar.

Membicarakan Kota Blitar, tidaklah lengkap kalau tidak menceritakan semangat kejuangan yang tumbuh berkembang dan kemudian terus menggelora serta menjiwai seluruh proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di kota ini. Di kota ini tempat disemayamkan Bung Karno, Sang Proklamator, Presiden Pertama RI, idiolog dan pemikir besar dunia yang dikagumi baik oleh masyarakat Indonesia maupun masyarakat dunia. Kota Blitar juga merupakan salah satu tempat bersejarah bagi Bangsa Indonesia, dimana sebelum dicetuskannya Proklamasi ditempat ini telah diserukan kemerdekaan Indonesia yang diikuti dengan pengibaran Sang Merah Putih yang kemudian berujung pada Pemberontakan PETA oleh Sudanco Supriyadi.

Masyarakat kota Blitar sangat bangga sebagai pewaris Aryo Blitar, pewaris Soeprijadi dan pewaris Soekarno, yang nationalistic - patriotic. Pemerintah Kota Blitar sadar akan hal ini, semangat itu dilestarikan dan dikobarkan, dimanfaatkan sebagi modal pembangunan ke depan. Tidak heran kalau akronim PATRIA dipilih sebagai semboyan. Kata PATRIA ini disusun dari kata PETA, yang diambil dari legenda Soedanco Soeprijadi yang memimpin pemberontakan satuan Pembela Tanah Air (PETA) di Blitar pada Jaman Penjajahan Jepang, serta dari kata Tertib, Rapi, Indah, dan Aman. Selain itu, kata PATRIA memang sengaja dipilih karena didalamnya mengandung makna "Cinta tanah air". Sehingga dengan menyebut kata PATRIA orang akan terbayang kobaran semangat nasionalisme yang telah ditunjukkan oleh para patriot bangsa yang ada di kota Blitar melalui roh perjuangannya masing-masing.

3.1.1 Letak Geografis

Kota Blitar merupakan salah satu daerah di wilayah Propinsi Jawa Timur yang secara geografis terletak diujung selatan Jawa Timur dengan ketnggian 156 m dari permukaan air laut, pada koordinat 112° 14 - 112° 28 Bujur Timur dan 8° 2 - 8° 10 Lintang Selatan, memiliki suhu udara cukup sejuk rata-rata 24° C- 34° C karena Kota Blitar berada di kaki Gunung Kelud dan dengan jarak 160 Km arah tenggara dari Ibukota Propinsi Surabaya.

Kota Blitar merupakan wilayah terkecil kedua di Propinsi Jawa Timur setelah Kota Mojokerto. Wilayah

dengan batas:

Sebelah Utara : Kecamatan Garum dan Kecamatan Nglegok Kabupaten Blitar

Sebelah Timur : Kecamatan Kanigoro dan Kecamatan Garum Kabupaten Blitar

Sebelah Selatan : Kecamatan Sanankulon dan Kecamatan Kanigoro Kabupaten Blitar

Sebelah Barat : Kecamatan Sanankulon dan Kecamatan Nglegok Kabupaten Blitar.

Kota Blitar dengan luas wilayah kurang lebih 32,58 km2 terbagi habis menjadi tiga Kecamatan, Dari tiga Kecamatan tersebut, habis terbagi menjadi 21 Kelurahan.

Kecamatan Sukorejo dengan luas 9,93 km2,

Kecamatan Kepanjenkidul 10,50 km2,

Kecamatan Sananwetan 12,15 km2.

Gambar 1Peta Kota Blitar

Sumber : RTRW Kota Blitar Tahun 2011

3.2. Potensi Dan Permasalahan

Dalam suatu kota pasti tidak dapat berjalan lancar sesuai yang diharapkan dikarenakan beberapa hal yang timbul. Dapat dilihat beberapa penjelasan diatas tentang Kota Blitar, tidak menutup kemungkinan Kota Blitar mempunyai Potensi dan permasalahan yang timbul seiring berjalannya waktu.

3.2.1. Potensi

Kota Blitar memiliki banyak potensi khususnya dalam bidang perekonomian, Dilihat dari kedudukan dan letak geografisnya, Kota Blitar tidak memiliki sumber daya alam yang berarti, karena seluruh wilayahnya adalah wilayah perkotaan, yang berupa pemukiman, perdagangan, layanan publik, sawah pertanian, kebun campuran dan pekarangan. Oleh karena itu, sebagai penggerak ekonomi Kota Blitar mengandalkan Potensi diluar sumber daya alam, yaitu sumber daya manusia dan sumber daya buatan.

3.2.1.1. Ekonomi

Potensi daerah Kabupaten Bliar mencakup potensi ekonomi yang meliputi : Produk Domestik Regional Bruto, pertumbuhan Ekonomi, dan tingkat Inflasi. Selain potensi ekonomi tersebut, Kabupaten Blitar juga memiliki produk unggulan strategis yang menjadi andalan dan mempunyai potensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pendapatan daerah apabila dikelola secara benar, tepat dan professional.

Data statistik menunjukkan angka PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) Kabupaten Blitar dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2005 sebesar Rp. 6.537.312,78, pada tahun 2006 mencapai Rp. 7.487.838.06 juta, sedang pada tahun 2007 mencapai sebesar Rp. 8.612.559,81 juta, tahun 2008 mencapai Rp.9.935.944,23 juta, tahun 2009 mencapai Rp. 11.011.362,01 juta dan tahun 2010 mencapai Rp. 12.308.947,48 juta.

Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Blitar untuk sektor pertanian lebih unggul dibandingkan sektor industri, hal ini dikarenakan struktur ekonomi Kabupaten Blitar masih sangat tergantung pada sector pertanian. Ketergantungan pada sector pertanian jelas sangat bergantung pada alam akan sangat rentan dengan gejolak alam.

Struktur perekonomian Kabupaten Blitar dominan bertumpu pada sektor primer yaitu sektor pertanian dan pertambangan/Galian. Besaran sektor primer dalam menopang perekonomian daerah Kabupaten Blitar mencapai 47,90 persen. Pada sektor ini tentu saja sektor pertanian memberikan peran yang dominan yaitu mencapai 54,54 persen. Sektor sekunder yang terdiri dari sektor Industri, Listrik Gas dan Air Bersih, dan Konstruksi memiliki share sebesar 5,34 persen terhadap perekonomian. Sektor Industri Pengolahan memberikan share paling dominant dalam pembentukan sektor sekunder yang mencapai 2,55 persen, menyusul sektor konstruksi sebesar 2,38 persen. Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih memberikan share terkecil dalam pembentukan

sektor

sekunder

yaitu

sebesar

0,4 persen.

3.2.1.2. Pertambangan

Kabupaten Blitar memilki potensi tambang Golongan B dan C sangat menjanjikan terutama terdapat di Wilayah Blitar Selatan apabila dapat di manfaatkan dan dikelola secara maksimal. Deposit bahan tambang tersebut meliputi : pasir besi, trass, bentonit, kaolin, feldspar, zeloit, ballclay, sirtu, batu kapur, andesit dan pirophiliyt.

Sektor Pertambangan semestinya memperoleh perhatian yang lebih besar mengingat Kabupaten Blitar memiliki deposit bahan galian yang besar dan mempunyai potensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menopang pendapatan Asli Daerah (PAD). Pada kenyataan dari sekian potensi yang ada baru sebagian yang bisa dieksplorasi, namun belum di kelola secara profesional sehinga hasilnya tidak maksimal.

3.2.1.3. Industri

Salah satu penggerak roda perekonomian di Kabupaten Blitar adalah sektor industri, khususnya industi kecil rumah tangga yang jumlahnya mencapai 99,64%, namun begitu, apabila dilihat dari komposisi PDRB Kabupaten Blitar, sektor industri hanya memberikan kontribusi sebesar 2,55 % sehingga dengan jumlah prosentase tersebut kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan perluasan lapangan kerja masih relatife kecil. Hal tersebut sedikit banyak disebabkan oleh masih dominanya industri kecil rumah tangga mencapai 687 unit (formal) dan 11.378 (non formal). Adapun jangkauan pemasaran hasil industri kecil tersebut sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan pangsa pasar lokal dan regional dan sedikit eksport.

Adapun jenis industri andalan Kabupaten Blitar adalah pengolahan minyak kenanga 4 unit yang ada di Desa Kebonduren, Langon, dan Togogan. Pengolahan minyak atsiri daun cengkeh dan daun nilam di Desa Resapombo Kecamatan Doko. Industri Gula Kelapa mencapai 5.366 unit tersebar diseluruh Kecamatan yang ada di Kabupaten Blitar.

3.2.1.4 Pariwisata

Kabupaten Blitar memiliki kekeayaan obyek wisata yang dapat diandalkan dan memiliki peluang untuk dikembangkan di masa mendatang. Hal tersebut mengingat terdapat bermacam-macam jenis obyek wisata yang mempunyai daya tarik khusus. Selain itu, obyek wisata yang tersebar di Kabupaten Blitar dapat bersinergi dengan obyek wisata di daerah lain seperti Kabupaten Kediri, Kota Blitar dan Kabupaten Malang. Berbagai jenis obyek wisata yang terdiri dari wisata sejarah , wisata alam, wisata rekreasi dan wisata budaya.

Kabupaten Blitar sering juga di sebut “daerah seribu candi” yang di bangun mulai Dinasti Singasari, Dinasti Majapahit sampai Dinasti Kediri. Candi penataran di Kelurahan Penataran Kecamatan Nglegok merupakan Komplek percandian terbesar di Jawa Timur yang di bangun selama tiga generasi. Selain itu peninggalan purbakala lainnya yang sangat penting adalah prasasti merupakan cacatan sejarah yang paling orisinil dan otentik. Dari sekian prasasti yang ada (sebagian telah terkubur material gunung berapi) prasasti Balitar 1 yang di keluarkan oleh Batara Jayanegara pada tahun 1246 Caka mempunyai nilai penting karena Kabupaten Blitar sering juga di sebut “daerah seribu candi” yang di bangun mulai Dinasti Singasari, Dinasti Majapahit sampai Dinasti Kediri. Candi penataran di Kelurahan Penataran Kecamatan Nglegok merupakan Komplek percandian terbesar di Jawa Timur yang di bangun selama tiga generasi. Selain itu peninggalan purbakala lainnya yang sangat penting adalah prasasti merupakan cacatan sejarah yang paling orisinil dan otentik. Dari sekian prasasti yang ada (sebagian telah terkubur material gunung berapi) prasasti Balitar 1 yang di keluarkan oleh Batara Jayanegara pada tahun 1246 Caka mempunyai nilai penting karena

3.2.1.5. Pertanian Dan Tanaman Pangan

Di Kabupaten Blitar salah satu sektor prioritas adalah pertanian. Sektor pertanian di Kabupaten Blitar meliputi : tanaman pangan dan holtikultura, peternakan kehutanan dan perkebunan, dan perikanan. Sektor pertanian merupakan sektor prioritas terhadap nilai PDRB Kabupaten Blitar yang mencapai 47%. Di perkirakan pada beberapa dasawarsa kedepan sektor pertanian masih mendominasi di bandingkan dengan sektor lain mengingat kultur dan kondisi geografi di Kabupaten Blitar sangat mendukung perkembangan sektor pertanian. Berkaitan dengan hal tersebut yang perlu di pikirkan dan di carikan trobosan inovasi adalah bagaimana hasil-hasil pertanian tersebut tidak hanya di pasarkan dalam bentuk bahan mentah sehingga dapat menambah nilai ekonomi bagi masyarakat Kabupaten Blitar. Oleh sebab itu kedepan diperlukan stimulasi terhadap sektor industri pengolahan sehingga dapat mengisi kekosongan ruang usaha antara produksi bahan mentah yang dihasilkan sektor pertanian dengan pemasaran.

Jenis tanaman pangan yang banyak di produksi di Kabupaten Blitar meliputi: padi, jagung, kedelai, kacang tanah,umbi kayu, dan ketela rambat. Kedelai hasil produksi masyarakat Kabupaten Blitar memiliki prospek yang bagus dan mampu bersaing dengan daerah lain sebagai pemasok bahan baku kecap selain di gunakan sebagai bahan dasar tempe dan tahu. Sementara itu produksi jagung selain di pergunakan sebagai bahan makanan juga di gunakan sebagai bahan makanan ternak sedangkan ubi kayu selain untuk di konsumsi juga di pasarkan untuk kebutuhan pabrik tepung tapioka dan untuk industri makanan olahan seperti krupuk.

3.2.1.6 Peternakan Dan Kehutanan

`Komoditi peternakan terbedar di Kabupaten Blitar adalah ayam ras petelur. Sampai pada tahun 2010 sebagai potensi unggulan, produksi telur Kabupaten Blitar mampu memenuhi 70% dari kebutuhan telur di Jawa Timur dan secara Nasional memenuhi 30% dari kebutuhan telur ayam Nasional.

Tahun 2010 jumlah populasi ayam ras petelur Kabupaten Blitar mencapai 15.467.600 ekor dengan jumlah produksi telur sebanyak 134.735,3 ton telur. Adapun secara produksi di Kecamatan Srengat, Ponggok dan Kademangan. Selain itu populasi itik di Kabupaten Blitar mencapai750.444 ekor dengan jumlah produksi

telur 3.512 ton. Sedangkan populasi ayam buras mencapai 2.826.963 ekor pada tahun 2010 dengan sentra di Kecamatan Talun.

Lahan bukan sawah yang berupa hutan rakyat di Kabupaten Blitar seluas 1.845 Ha. Penggunaan lahan untuk hutan Negara secara statistik selama lima tahun terakhir tidak mengalami perubahan signifikan yaitu Lahan bukan sawah yang berupa hutan rakyat di Kabupaten Blitar seluas 1.845 Ha. Penggunaan lahan untuk hutan Negara secara statistik selama lima tahun terakhir tidak mengalami perubahan signifikan yaitu

2010 mencapai seluas 34.968,9 Ha.

Selama tahun 2002 s/d 2008 luas lahan kritis di wilayah Kabupaten Blitar pengalami penurunan yang cukup signifikan dengan adanya program GERHAN yang digulirkan oleh pemerintah. Sampai dengan tahun 2008 penurunan lahan kritis di Kabupaten Blitar yang mencapai 18.130 Ha (70,77%) dari luas lahan kritis di Kabupaten Blitar yang mencapai 25.617 Ha. Diharapkan pada tahun 2009 luas lahan kriis seluas 7.487 Hal tersebut dapat diubah menjadi hutan rakyat melalui program GERHAN. Kecamatan memiliki lahan kritis paling luas adalah Kecamatan Panggungrejo (5.801 Ha) dan yang paling sedikit adalah Kecamatan Ponggok (67 Ha). Sedangkan 8 Kecamatan di Kabupaten Blitar tidak memiliki lahan kritis.

3.2.2. Permasalahan

Selain memiliki potensi yang berlimpah Kota Blitar juga memiliki beberapa permasalahan dalam beberapa bidang. Permasalahan dalam suatu Kota sangat mengganggu dalam perkembangan suatu perkotaan, sehingga diharapkan pemerintah segera menangani permasalahan yang ada di suatu perkotaan.

Permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Blitar saat ini dan kemungkinan permasalahan yang terjadi lima tahun ke depan perlu mendapat perhatian dalam menentukan visi dan misi serta rancangan Rencana Perencanaan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pemerintahan berikutnya. Dengan mengetahui permasalahan yang ada diharapkan semua program dan kegiatan mampu mengatasi permasalahan tersebut atau paling tidak dapat meminimalisir dampak semua permasalahan yang ada. Strategi pembangunan daerah sangat diperlukan untuk menghasilkan langkah-langkah konkret dalam implementasi pembangunan. Strategi yang baik harus menunjukkan konsistensi dan komitmen yang tinggi untuk mewujudkan visi dan misi pemerintahan.

3.2.2.1. Upaya pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup dalam rangka

peningkatan kesejahteraan masyarakat Sektor pertanian yang menjadi penggerak perekonomian daerah merupakan sektor yang sangat tergantung pada sumber daya alam. Saat ini efisiensi dan produktivitas pertanian relatif rendah disebabkan oleh skala usaha yang relatif sempit/kecil. Disamping itu rendahnya produktivitas dapat diilustrasikan menurut hasil penelitian, bahwa kecepatan pertumbuhan nilai tambah bruto lebih lambat dari pada pertumbuhan kesempatan kerja yang diciptakan. Dan juga, keterbatasan terhadap penyediaan sarana produksi termasuk upaya pengendalian hama dan penyakit, disamping kejadian bencana alam banjir dan kekeringan yang setiap tahun terjadi juga mengganggu sistem produksi.

Khusus untuk padi, panen terbesar terletak dimusim hujan, sehingga kualitas rendah, dan harga jatuh. Selanjutnya untuk komoditi lain, seperti tembakau, tebu/gula juga terjadi dan hal ini disebabkan oleh perilaku petani yang ikut-ikutan menanam komoditi yang pada awal mulanya mempunyai prospek baik. Kondisi Khusus untuk padi, panen terbesar terletak dimusim hujan, sehingga kualitas rendah, dan harga jatuh. Selanjutnya untuk komoditi lain, seperti tembakau, tebu/gula juga terjadi dan hal ini disebabkan oleh perilaku petani yang ikut-ikutan menanam komoditi yang pada awal mulanya mempunyai prospek baik. Kondisi

Belum optimalnya pengelolaan sumber daya kelautan disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur termasuk armada penangkapan, sehingga belum mampu menjangkau Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), konflik nelayan yang dapat menurunkan produktivitas, pengawasan dan keamanan laut yang belum optimal.

3.2.2.2. Kesehatan

`Kualitas pelayanan belum optimal karena belum semua sarana pelayanan kesehatan melaksanakan standar pelayanan yang telah ditetapkan. Keterjangkauan dan pemerataan pelayanan dapat dilihat dengan rasio jumlah sarana yang ada. Jenis pelayanan bervariasi sesuai dengan tenaga dan peralatan yang tersedia. Belum semua peralatan dan tenaga tersedia sesuai kebutuhan dan standarisasi. Disamping itu rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan sering terjadi terutama pada masyarakat miskin karena kendala biaya (cost barrier). Perilaku yang kurang mendukung pola hidup bersih dan sehat serta pemberdayaan masyarakat terhadap kesehatan relatif rendah. Terjadinya beban ganda penyakit dan rawan bencana sehingga masalah penyakit menular dan tidak menular ini menjadi beban ganda RPJMD 2011-2106 | Kabupaten Blitar IV- 2 dan akan mempengaruhi jenis serta jumlah pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat dimasa datang.

3.2.2.3. Pendidikan

Kualitas pendidikan relatif rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan kompetensi peserta didik. Berbagai upaya pembangunan pendidikan termasuk Wajib Belajar Pendidikan Dasar dua belas tahun yang dicanangkan untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Kabupaten Blitar. Namun demikian sampai saat ini tingkat pendidikan penduduk relatif masih rendah. Kondisi tersebut belum memadai untuk menghadapi persaingan global dan belum mencukupi pula sebagai landasan pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy). Kualitas pendidikan relatif masih rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan kompetensi peserta didik. Hal tersebut terutama disebabkan oleh

(1) ketersediaan pendidik yang belum memadai baik secara kuantitas maupun kualitas, (2) kesejahteraan pendidik yang masih rendah, (3) fasilitas belajar belum tersedia secara mencukupi, dan

(4) biaya operasional pendidikan belum disediakan secara memadai.

Fasilitas pelayanan pendidikan khususnya jenjang pendidikan menengah pertama dan yang lebih tinggi belum tersedia secara merata. Adanya ketimpangan pemerataan dan perluasan kesempatan memperoleh Fasilitas pelayanan pendidikan khususnya jenjang pendidikan menengah pertama dan yang lebih tinggi belum tersedia secara merata. Adanya ketimpangan pemerataan dan perluasan kesempatan memperoleh

3.2.2.4. Infrastruktur

Belum optimalnya pembangunan jalan dan jembatan serta sulitnya pembebasan lahan, kurangnya aksesbilitas diwilayah tertinggal/terpencil, Kurang tertibnya pemanfaatan Ruang Manfaat Jalan oleh Pengguna Jalan yang mengakibatkan Hambatan lalu Lintas. Kerusakan jalan akibat kondisi alam/tanah ekspansif dan bencana alam yang mengakibatkan kerusakan sepanjang tahun. Berkembangnya daerah pemukiman dan industri telah menurunkan area resapan air dan mengancam kapasitas lingkungan dalam menyediakan air. Pada sisi lain, kapasitas infrastruktur penampung air seperti waduk dan bendungan makin menurun sebagai akibat meningkatnya sedimentasi, sehingga menurunkan keandalan penyediaan air untuk irigasi maupun air baku.

Terbatasnya kemampuan masyarakat yang berpenghasilan rendah akan tempat tinggal dan lingkungan hunian yang sehat. Terbatasnya kemampuan pemerintah untuk mendukung penyediaan perumahan beserta prasarana dan sarananya. Masih lemahnya pemahaman ketentuan jasa kontruksi dan pengelolaan/pembangunan gedung negara. Masih rendahnya pengembangan dan penerapan teknologi tepat guna dalam bidang perumahan dan permukiman. Belum optimalnya cakupan pelayanan air bersih perpipaan di perkotaan dan pedesaan, Rendahnya kinerja pengelolaan air minum dan air limbah di perkotaan dan pedesaan. Menurunnya kuantitas dan kualitas air baku untuk air minum. Masih rendahnya peran serta dan kemampuan masyarakat dalam pelestarian sumber air serta pemeliharaan sarana air minum dan air limbah. Masih terbatasnya akses sarana sanitasi dasar di pedesaan, Belum optimalnya peran serta swasta dalam pembangunan dan pengelolaan air nimun dan air limbah, Meningkatnya volume sampah yang tidak diimbangi kinerja pengelolaan terutama pada tahap pembuangan akhir. Rendahnya akses jalan dan penyediaan infrastruktur penunjang pada kawasan-kawasan wisata maupun lokasi yang berpotensi sebagai tempat wisata menyebabkan pengelolaan disektor pariwisata masih sangat minim. Hal ini berakibat kunjungan wisatawan ke Kabupaten Blitar masih rendah.

3.2.2.5. UMKM Dan Ketenagakerjaan

Pertumbuhan UMKM di Blitar yang relatif rendah sebagai akibat belum bersinerginya potensi pertanian dengan upaya pemanfaatan maupun peningkatan nilai tambah pada produk-produk pertanian. Terbatasnya akses Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah terhadap sumberdaya produktif yang meliputi Pertumbuhan UMKM di Blitar yang relatif rendah sebagai akibat belum bersinerginya potensi pertanian dengan upaya pemanfaatan maupun peningkatan nilai tambah pada produk-produk pertanian. Terbatasnya akses Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah terhadap sumberdaya produktif yang meliputi

yang diterima.

BAB IV ANALISA

4.1 Analisis Location Quotient (LQ)

Analisis Location Quotient (LQ) digunakan untuk mengetahui sektor-sektor ekonomi dalam PDRB yang dapat digolongkan ke dalam sektor basis dan non basis. LQ merupakan suatu perbandingan tentang besarnya peranan suatu sektor di Kota Blitar terhadap besarnya peranan sektor tersebut di tingkat Provinsi Jawa Timur.

Nilai LQ > 1 berarti bahwa peranan suatu sektor di kota lebih dominan dibandingkan sektor di tingkat provinsi dan sebagai petunjuk bahwa kota surplus akan produk sektor tersebut. Sebaliknya bila nilai LQ < 1 berarti peranan sektor tersebut lebih kecil di kota dibandingkan peranannya di tingkat provinsi.

Nilai LQ dapat dikatakan sebagai petunjuk untuk dijadikan dasar untuk menentukan sektor yang potensial untuk dikembangkan. Karena sektor tersebut tidak saja dapat memenuhi kebutuhan di dalam daerah, akan tetapi dapat juga memenuhi kebutuhan di daerah lain atau surplus.

Untuk hasil analisis sektor- sektor ekonomi di Kota Blitar dengan menggunakan metode LQ atau Location Quotient dapat dijabarkan dalam tabel seperti dibawah ini. Dari analisis LQ ini akan diketahui sektor mana yang termasuk sektor basis maupun non basis Kota Blitar. Untuk sektor basis maka nilai LQ menunjukkan >1 sedangkan untuk nilai LQ <1 maka menunjukkan sektor tersebut termasuk sektor non basis.

Tabel 1 Hasil Analisis LQ Kota Blitar Tahun 2006-2010

Tahun

LQ rata-

2. Pertambangan Dan Penggalian

3. Industri Pengolahan

4. Listrik, Gas Dan Air Bersih

1,397 1,274 Sumber : Hasil Analisis, 2015

Dari tabel LQ diatas terlihat bahwa ada beberapa sektor di Kota Blitar yang termasuk ke dalam sektor basis dan sisanya adalah termasuk sektor non basis. Yang termasuk ke dalam sektor basis ditunjukkan oleh nilai LQ>1 sedangkan untuk nilai LQ<1 menunjukkan sektor tersebut termasuk sektor non basis.

Dari tabel terlihat kolom yang menunjukkan nilai LQ rata-rata. Yang dimaksud dengan nilai LQ rata-rata adalah rata-rata nilai LQ sektor i selama kurun waktu pengamatan yakni 2006-2010. Hasil nilai LQ rata-rata ini digunakan untuk menghindari nilai bias tahunan LQ suatu sektor sehingga digunakan nilai LQ rata-rata untuk menghitung nilai LQ suatu sektor.

Yang termasuk sektor basis di Kota Blitar adalah (1) sektor listrik, gas dan air bersih, (2) sektor konstruksi, (3) sektor pengangkutan dan komunikasi, (4) sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta (5) sektor jasa-jasa. Dari kelima sektor basis tersebut sektor jasa-jasa adalah sektor yang yang memiliki nilai LQ paling besar yakni sebesar 2,352.

Sedangkan yang termasuk sektor non basis di Kota Blitar adalah (1) sektor pertanian, (2) sektor pertambangan dan penggalian, (3) sektor industri pengolahan, (4) sektor perdagangan, hotel dan restoran. Dari keempat sektor non basis tersebut sektor pertambangan dan penggalian yang nilai LQ nya paling kecil.

4.2 Analisis Shift-Share

Analisis Shift-share digunakan untuk mengetahui proses pertumbuhan ekonomi Kota Blitar dikaitkan dengan perekonomian daerah yang menjadi referensi, yaitu Provinsi Jawa Timur. Analisis Shift- Share dalam penelitian ini menggunakan variabel pendapatan, yaitu PDRB untuk menguraikan pertumbuhan ekonomi Kota Blitar.

Pertumbuhan PDRB total (Y) dapat diuraikan menjadi komponen shift dan komponen share:

a. Komponen Provincial Share (PS) adalah banyaknya pertambahan PDRBKota blitar seandainya pertumbuhannya sama dengan laju pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Timur selama periode studi.

b. Komponen Proportional Shift (P), mengukur besarnya net shift Kota Blitar yang diakibatkan oleh komposisi sektor-sektor PDRB Kota Blitar yang berubah. Apabila P>0, artinya Kota Blitar berspesialisasi pada sektor-sektor yang pada tingkat Provinsi Jawa Timur tumbuh relatif cepat dan apabila P<0, berarti Kota Blitar berspesialisasi pada sektor-sektor di tingkat Provinsi Jawa Timu rpertumbuhannya lebih lambat atau sedang menurun.

c. Komponen Differential Shift (D), mengukur besarnya net shift yang diakibatkan oleh sektor-sektor tertentu yang tumbuh lebih cepat atau lebih lambatdi Kota Blitar dibandingkan dengan Provinsi Jawa Timur yang disebabkan oleh faktor-faktor lokasional intern, seperti sumberdaya yang baik akan mempunyai Differential Shift Component positif (D>0), sebaliknya apabila secara lokasional tidak menguntungkan akan mempunyai Differential Shift Component yang negatif (D<0).

Hasil perhitungan analisis shift-share dicantumkan pada tabel dibawah ini. Dari tabel tersebut berisi hasil analisis provincial share (PS), proportional shift (P), differential shift (D) serta nilai total ∆Y.

Tabel 2 Hasil Analisis Shift-Share Kota Blitar 2006-2010

Sektor Provincial Proportional Differential Total ( ΔY)

Share (PS)

Shift (P)

Shift (D)

2. Pertambangan Dan

3. Industri Pengolahan

4. Listrik, Gas Dan Air Bersih

Sumber : Hasil Analisis, 2015

Berdasarkan hasil analisis pada tabel terlihat pada nilai proportional shift (P) ada yang bernilai positif dan ada juga yang bernilai negatif. Apabila bernilai positif artinya perekonomian Kota Blitar berspesialisasi pada sektor yang sama yang tumbuh cepat ditingkat provinsi Jawa Timur. Sedangkan apabila nilai (P) negatif maka berarti perekonomian Kota Blitar berspesialisasi pada sektor yang sama yang tumbuh lambat ditingkat provinsi Jawa Timur.

Sedangkan untuk nilai diffrential shift (D) sektor-sektor ekonomi di Kota Blitar selama kurun waktu penelitian yakni pada tahun 2006-2010 ada yang bernilai positif dan ada bernilai negatif. Apabila bernilai positif maka berarti sektor tersebut pada Kota Blitar tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor yang sama di tingkat Provinsi Jawa Timur. Sedangkan apabila nilai (D) negatif berarti sektor tersebut tumbuh lebih lambat dibandingkan sektor yang sama di tingkat Provinsi Jawa Timur.

Tabel 3 Klaster Sektor Kabupaten Blitar

Hasil Analisis Sektor Proportional Shift

Klaster Positif

Sektor pertambangan dan penggalian Sektor listrik, gas dan air bersih Sektor perdagangan, hotel dan restoran Sektor pengangkutan dan komunikasi Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan

Klaster Negatif

Sektor pertanian Sektor industry pengolahan

Sektor konstruksi Sektor jasa-jasa

Differential Shift Klaster Positif

Sektor listrik, gas dan air bersih Sektor konstruksi Sektor perdagangan, hotel dan restoran

Klaster Negatif