JURNAL HUKUM FORMULASI IDEAL BANTUAN KE

FORMULASI IDEAL BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI
POLITIK
Isharyanto1 Maria Madalina2, Muhammad Luthfi Aldila3

Abstract
This research aims to find the ideal formulation financial grant for political parties
in Indonesia. This research is a doctrinal or normative legal research with
legislation approach, comparative approach, and a conceptual approach.
Collecting source of legal information by literature method. The analysis
techniques is the method of deduction. This work concluded that first, formulation
of the financial subsidies to political parties must be raised. Second, Law Nr 2
Year 2008 and Law Nr 2 Year 2011 as umbrella act regulation of grant for parties
has not been good controlling about who the competent institution to supervising
party. Regulation of political parties also not force party to more transparent and
more accountable for managing parties fund.
Keywords: political parties, financial grant
Abstrak

Penelitian hukum ini bertujuan untuk memformulasikan bantuan keuangan
secara ideal kepada partai politik di Indonesia. Penelitian ini adalah
penelitian hukum doktrinal atau normatif dengan pendekatan undangundang, pendekatan perbandingan, dan pendekatan konseptual. Teknik

pengumpulan bahan hukum adalah studi pustaka. Teknik analisa bahan
hukum dalam penelitian ini adalah metode deduksi. Hasil penelitian
menghasilkan simpulan yaitu pertama formulasi mengenai besaran
bantuan keuangan kepada partai politik harus ditambah. Dan kedua,
Undang-Undang 2 Tahun 2008 Jo. Undang-Undang 2 Tahun 2011 tentang
sebagai umbrella act pengaturan bantuan keuangan kepada partai politik
belum mengatur dengan baik siapa lembaga yang berwenang mengawasi
partai politik. Undang-Undang Partai politik juga belum memaksa partai
untuk bersikap transparan dan akuntabel untuk mengelola keuangan
partai.
Kata Kunci: partai politik, bantuan keuangan.

1

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
3
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
2


1

A. PENDAHULUAN
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol)
menegaskan bahwa partai politik memiliki satu tujuan penting dalam hal
membangun sistem demokrasi di Indonesia, yakni: mewujudkan sistem politik
yang demokratis guna mendukung sistem presidensiil yang efektif. Guna
memperkuat dan mengefektifkan sistem presidensiil, UU Parpol mensyaratkan
partai politik melakukan 4 (empat) hal, yaitu (i) mengkondisikan terbentuknya
sistem multi partai sederhana; (ii) mendorong terciptanya pelembagaan partai
yang

demokratis

dan

akuntabel;

(iii)


mengkondisikan

terbentuknya

kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel; dan (iv) mendorong
penguatan basis struktur kepartaian pada tingkat masyarakat.
Dalam kaitannya dengan penyempurnaan kelembagaan partai, pengelolaan
keuangan merupakan instrumen mendasar terpenting yang harus diatur. Sebab
partai politik kini berada pada situasi sulit. Kepercayaan publik terhadap institusi
ini terus menurun sehubungan dengan maraknya elit partai politik yang terbelit
kasus-kasus korupsi. Ini diperkuat dengan melonjaknya jumlah masyarakat yang
memberi persepsi dan penilaian negatif atas kinerja partai politik. Kasus-kasus
korupsi tersebut bukan saja menunjukkan rendahnya standar moral politik politisi,
tetapi juga terbentuk dari sistem yang memaksa mereka mengambil uang yang
bukan haknya (Didik Supriyanto dan Lia Wulandari. 2012: v).
Pada area dan dalam skala berbeda, ketergantungan partai politik akan dana
yang besar untuk membiayai beroperasinya mesin partai telah membutakan
organisasi untuk bersikap transparan dan akuntabel dalam mengelola keuangan
partai. Pengelolaan dan penerapan standar yang buruk, terutama terjadi pada

bagian yang berkenaan dengan sumber pendanaan partai politik dan laporan
pertanggungjawaban keuangan telah menyebabkan timbulnya bibit-bibit penyakit
di tubuh partai politik. Terlebih, buruknya pengelolaan keuangan partai politik
tersebut ternyata koheren dengan lemahnya pengaturan keuangan partai politik
sebagaimana diatur di dalam UU Parpol beserta peraturan pelaksananya.
Akibatnya, celah terjadinya korupsi politik di tubuh partai politik dan atau yang
melibatkan anggota partai politik kemudian terbuka lebar
Konsekuensi partai politik sebagai organisasi vital penghubung antara rakyat
dengan negara telah membuat posisi partai politik serba dilematis. Pada satu sisi,

12

bantuan keuangan kepada partai tidak dapat mencukupi kebutuhan belanja partai
setiap tahun. Sementara pada sisi lain, penyumbang gelap yang sudah sejak
lama mensponsori partai telah membuat partai politik kehilangan arah untuk
membela kepentingan rakyat. Oleh karena itu, diperlukan formulasi instrumen
penataan keuangan partai politik melalui bantuan keuangan dalam rangka
membuka peluang intervensi negara kepada partai politik, menciptakan
perbaikan organisasi partai politik, mencegah timbulnya korupsi politik, serta
demi menemukan momentum mengangkat kembali harkat dan martabat partai

politik. Karena pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel diawali dari
partai politik yang juga bersih, transparan dan akuntabel. Berdasarkan uraian
tersebut, maka tulisan ini hendak mengkaji tentang formulasi ideal bantuan
keuangan kepada partai politik.
B. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum doctrinal. Penulis mengkaji Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
tentang Partai Politik sebagai umbrella act partai politik beserta peraturan
pelaksana dan peraturan teknisnya yang mengatur keuangan partai politik di
Indonesia termasuk di dalamnya adalah instrumen bantuan keuangan kepada
partai politik yang bertujuan untuk menopang pendanaan politik organisasi partai.
Pendekatan yang digunakan didalam sebuah penelitian hukum adalah
pendekatan Undang-Undang (statute approach), pendekatan perbandingan
(comparative

approach),

dan


pendekatan

konseptual

(conceptual

approach).(Peter Mahmud Marzuki, 2014:133).
Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer
merupakan

bahan

hukum

yang

bersifat

autoritatif,


artinya

mempunyai

otoritas.Bahan hukum primer terdiri dari perundang - undangan dan putusan
hakim. Adapun bahan-bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen - dokumen resmi.

3

C. Hasil Penelitian Dan Pembahasan
1. Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik
a. Formulasi Perhitungan Bantuan Keuangan Menurut Peraturan
Perundangan Tentang Partai Politik
Bantuan keuangan dari negara kepada partai politik merupakan
suatu hal yang wajar dalam era demokrasi modern. Keuangan partai
politik

merupakan


salah

satu

indikator

yang

menentukan

berkualitasnya demokrasi. Sumber keuangan yang cukup tersedia
selain dapat mensponsori kegiatan partai politik agar berjalan dengan
baik, juga dapat berguna bagi kandidat yang akan bertarung pada
kompetisi dalam pemilihan umum. Pembahasan mengenai partai
politik

khususnya

dalam


kaitannya

dengan

keuangan

partai

merupakan topik pembahasan yang banyak dikaji di seluruh dunia.
Terlebih, topik mengenai money in politics atau keuangan dalam
politik merupakan isu politik yang sangat sensitif di seluruh dunia.
Sebab,

terdapat

significant

knowledge

gap


(kesenjangan

pengetahuan yang besar) terkait pengaturan keuangan partai politik
secara akademik dengan praktik yang berlangsung saat ini di era
politik modern (Marcin Walecki dkk, 2014 :8).
Terdapat 3 (tiga) sumber pendanaan yang sah menurut UU
Parpol, yakni (a) iuran anggota; (b) sumbangan perseorangan dan
badan usaha; serta (c) bantuan keuangan negara. Semakin
memudarnya ideologi partai dengan anggota telah berpengaruh pada
menipisnya pemasukan dari iuran anggota. Sementara bantuan
keuangan yang diharapkan dapat menopang operasional partai pada
faktanya tidak dapat berbuat banyak. Sejak pengundangan UndangUndang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, bantuan
keuangan dibatasi hanya diperuntukkan bagi biaya sekretariat dan
pendidikan politik. Pengaturan ini tetap dipertahankan hingga Undangundang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik diundangkan.
Pengaturan tersebut berbeda dengan pengaturan dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik yang tidak
memberi batasan khusus peruntukkan atas dana a quo. Artinya,

4


bantuan keuangan dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk
menopang kegiatan politik partai.
Tingginya kebutuhan partai akan dana operasional politik
merupakan satu alasan mutlak yang menyebabkan partai politik
bermanuver dalam mencari sumber pendanaan. Mengenai besaran
bantuan keuangan, Didik Supriyanto dan Wulandari (2012: 29)
berpendapat bahwa tidak ada angka ideal yang berlaku umum di
semua negara untuk menetapkan batas ideal bantuan keuangan yang
dapat diberikan negara kepada partai politik. Partai-partai politik di
Eropa Barat dan Amerika Utara misalnya. Sudah lama mengalami
dilema atas besarnya pengaruh sumbangan dana. Sejak memudarnya
pengaruh ideologi pada 1960-an dan diikuti oleh meredupnya model
partai

politik

berbasis

massa.

Maka

pengaruh

sumbangan

perseorangan dan badan usaha yang tidak terkontrol pun semakin
nyata merusak kehidupan organisasi partai politik. Oleh karena itu,
berbagai peraturan kemudian mulai dirumuskan guna menjaga partai
politik kembali pada khittahnya yakni: memperjuangkan rakyat.
Di Eropa Barat, aturan dibuat sedemikian rupa agar sumbangan
perseorangan dan badan usaha dibatasi, sedangkan subsidi dari
negara diperbesar; sebaliknya, di Amerika Utara sumbangan
perseorangan dan badan usaha tidak dibatasi, sedangkan subsidi
negara dibatasi. Yang menarik, baik negara di Eropa Barat maupun
Amerika Utara, aturan pengelolaan keuangan mewajibkan partai
untuk mempublikasikan keuangan partai (Ingrid Van biezen. 2003).
Indonesia menerapkan konsep yang persis dengan aturan yang ada
pada negara-negara di Eropa Barat, yakni sumbangan perseorangan
dan badan usaha dibatasi. Namun, bantuan keuangan tidak
diperbesar. Sementara yang cukup disayangkan, UU Parpol Nomor 2
tahun 2008 Jo. UU Parpol Nomor 2 tahun 2011 sama sekali tidak
mencantumkan aturan yang bersifat memaksa kepada partai politik
untuk mengelola keuangan partai dengan terbuka. Satu-satunya
aturan yang ada hanya bersifat ‘pemberitahuan’, seperti aturan pada
Pasal

38

yang

menyebutkan:

“Hasil

pemeriksaan

laporan

pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan Partai

5

Politik terbuka untuk diketahui masyarakat”. Klausul “terbuka untuk
diketahui masyarakat” sendiri bukan merupakan bentuk penegasan
dan rawan multitafsir. Atas dasar demikian, partai politik pun menjadi
bertingkah ‘seadanya’ dalam mengelola keuangan partai.
Formulasi perhitungan bantuan keuangan telah diatur dalam
kerangka peraturan pemerintah mengenai pelaksanaan bantuan
keuangan partai politik. UU Parpol Nomor 2 tahun 2008 melahirkan
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Bantuan
Keuangan Kepada Partai Politik Sementara UU Parpol Nomor 2
Tahun 2011 melahirkan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2012
Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009
Tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik. Sebagai peraturan
pelaksana, peraturan pemerintah telah memperjelas ketentuanketentuan di dalam undang-undang dan merumuskan ketentuan
sifatnya pelaksanaan dari ketentuan undang-undang yakni formulasi
perhitungan bantuan keuangan kepada partai politik.
Merujuk

pada

pengaturan

pasal

5

Peraturan

Pemerintah

mengenai Bantuan Keuangan, formula perhitungan besaran bantuan
keuangan dapat dihitung melalui dua tahap penetapan besaran
bantuan keuangan kepada partai politik, yaitu:
1) Menentukan nilai subsidi per suara dengan formula: membagi
jumlah subsidi APBN/APBD tahun anggaran sebelumnya dengan
jumlah perolehan suara dalam pemilu partai politik yang
mendapatkan kursi periode sebelumnya; kemudian
2) Mengkalikan nilai subsidi per suara tersebut dengan jumlah
perolehan suara yang diperoleh oleh partai politik pada pemilu
periode terakhir.
Merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) dan
(2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 tahun 2009
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 26 Tahun 2013 tentang Pedoman Tata Cara Penghitungan,
Penganggaran dalam APBD, Pengajuan, Penyaluran, dan Laporan
Pertanggungjawaban Pengguna Bantuan Keuangan Partai Politik

6

yang merupakan petunjuk teknis bagi Pemerintah daerah dalam
kaitannya

terhadap

penghitungan,

penganggaran,

pengajuan,

penyaluran, dan laporan pertanggungjawaban bantuan keuangan
partai politik.
Bahwa

yang

sebelumnya”

dimaksud

sebagaimana

“APBN

/ APBD tahun anggaran

dijelaskan

pada

tahap

pertama

perhitungan besaran bantuan keuangan adalah APBN/ APBD tahun
anggaran 2008. Sementara yang dimaksud dengan “Perolehan suara

hasil pemilu periode sebelumnya” adalah perolehan suara hasil
pemilu DPR/ DPRD Provinsi/ Kabupaten/ Kota tahun 2004. Kedua
ketentuan teknis ini digunakan untuk penghitungan bantuan keuangan
kepada partai politik yang mendapatkan kursi pada pemilu tahun
2009, 2014 dan seterusnya.
Gambar 1. Formula Perhitungan Besaran Bantuan Keuangan Partai
Politik

(a ÷ b) х y =
Keterangan: n
a = jumlah subsidi APBN/APBD tahun anggaran 2008
b =perolehan suara hasil pemilu 2004
y = perolehan suara hasil pemilu partai politik pada pemilu periode terakhir
n = nilai akhir subsidi partai politik

Setelah nilai subsidi didapatkan melalui formula jumlah subsidi
APBN/APBD tahun anggaran 2008 dibagi dengan jumlah suara hasil
pemilu 2004. Nilai subsidi a quo kemudian dikalikan dengan jumlah
suara yang diperoleh pada pemilu terakhir. Guna mengetahui nilai
subsidi per suara tersebut, sejak pemilu tahun 2009 sampai pemilu
terakhir pada 2014 lalu, pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri
masih menggunakan nilai subsidi per suara yang didasarkan pada
putusan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 212 tahun
2009 tentang tata pemberian bantuan keuangan kepada partai politik
sebesar Rp 108,- (seratus delapan rupiah) per suara partai politik
yang mendapatkan kursi di DPR. Jika dikalikan perolehan suara
7

masing-masing partai politik, maka jumlah bantuan yang diterima
setiap partai politik pada hasil pemilu 2014 tampak pada tabel 5 dan
tabel 1 berikut dibawah ini.
Tabel 1. Jumlah Subsidi APBN Kepada Partai Politik Hasil Pemilu
2014 (formula PP No 5/2009 = Rp 108 per suara)
Partai Politik

Kursi

Suara Sah

Jumlah Subsidi (Rp)

PDIP

109

23.681.471

2.557.598.868

P. Golkar

91

18.432.312

1.990.689.696

P. Gerindra

73

14.760.371

1.594.120.068

P. Demokrat

61

12.728.913

1.374.772.604

PKB

49

11.298.957

1.220.287.356

PAN

47

9.481.621

1.024.015.068

PKS

40

8.480.204

915.862.032

P. Nasdem

39

8.402.812

907.503.696

PPP

35

8.157.488

881.008.704

P. Hanura

16

6.579.498

710.585.784

Total

560

124.972.291

13.176.393.876

Sumber: Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian
Dalam Negeri

b. Implikasi Terhadap Pengaturan Pengelolaan Keuangan Partai Politik
Besarnya kebutuhan belanja partai setiap tahun dan ditambah
dengan tidak mampunya bantuan keuangan untuk menutupi biaya
belanja partai telah membuat partai politik kehilangan kendali. Fungsi
utamanya sebagai jembatan antara aspirasi rakyat dengan negara
tergantikan dengan fungsi sampingan berupa pencarian dana ilegal
untuk menutupi kebutuhan partai setiap tahun.
Padahal

untuk

mengetahui

seberapa

persentase

bantuan

keuangan partai politik dari APBN terhadap kebutuhan partai politik
setiap tahun, tentu harus diketahui terlebih dahulu berapa jumlah
belanja partai politik setiap tahun. Terlebih ini bukan pekerjaan
mudah, sebab partai politik tidak membuat laporan keuangan tahunan
yang terperinci dengan baik dan valid. Jika pun ada beberapa partai
politik telah membuat laporan tahunan, belum tentu laporan tersebut

8

bisa diakses oleh publik; dan kalaupun bisa diakses, maka tidak
mudah juga untuk mengecek kebenaran (validity) isi laporan tersebut
(Didik Supriyanto dan Wulandari, 2012: 31).
Oleh karena itu, untuk mengetahui jumlah belanja partai politik
setiap tahun, yang bisa dilakukan adalah memperkiraan berdasarkan
data-data yang telah ada. Penyajian data yang paling sering menjadi
rujukan penelitian mengenai jumlah belanja partai politik setiap tahun
pernah dilakukan oleh Veri Junaidi (2011) dengan didasarkan pada
perhitungan total bantuan keuangan pada pemilu terakhir sebelum
pemilu 2014 yakni pemilu periode 2009. Perkiraan yang dilakukan
oleh Veri Junaidi dkk (2011) terjabar pada tabel 2 dibawah.
Tabel 2: perkiraan pendapatan dan belanja partai politik sekelas PAN
per tahun
Pendanaan
Jumlah
Belanja
Jumlah
Iuran anggota
Sumbangan
perseorangan
anggota
Sumbangan
perseorangan
bukan anggota
Sumbangan
badan usaha
Subsidi negara

Rp 0

Operasional
sekretariat

Rp 1,4 Miliar

Rp 0,6 Miliar

Konsolidasi
organisasi

Rp 8,2 Miliar

Rp (tak diketahui)

Pendidikan
politik dan
kaderisasi

Rp 33,7 Miliar

Rp (tak diketahui)

Unjuk publik

Rp 6,7 Miliar

Rp 0,677 Miliar

Perjalanan
dinas

Rp. 1,2 Miliar

Jumlah

Rp 51,2 Miliar

Jumlah
Rp 1,2 Miliar
(yang diketahui)
Sumber: Veri Junaidi dkk (2011)

Merujuk pada penyajian data diatas dimana bantuan keuangan
hanya sebesar 1,2% dari Rp 51,2 Miliar, maka patut untuk ditegaskan
bahwa jumlah bantuan partai politik dari APBN yang sangat kecil
tersebut tidak dapat mengakomodir kebutuhan partai politik secara
menyeluruh. Bantuan keuangan yang sebelumnya diharapkan dapat
mereformasi partai politik faktanya mutlak tidak dapat menopang
keberjalan roda organisasi partai politik. Terlebih, pengelolaan dan

9

penerapan standar yang buruk oleh partai politik, terutama terjadi
pada bagian yang berkenaan dengan sumber pendanaan partai politik
ternyata koheren dengan berbagai masalah yang timbul pada titik
yang lain seperti partai politik masih dikuasai oleh Oligarki, Minimnya

Political Will dari internal partai, lemahnya peraturan perundangan,
dan tidak profesionalnya partai untuk membatasi belanja partai.
Tidak mampunya bantuan keuangan menopang roda organisasi
partai

telah

sedikit

banyak

memberikan

implikasi

bagi

roda

keberjalanan organisasi partai politik. Implikasi tersebut yakni sebagai
berikut:
1) Semakin tidak terkendalinya partai politik.
Lemahnya pengaturan, menjadi satu alasan utama dibalik tidak
terkontrolnya organisasi partai politik. Pada sisi lain, minimnya
inisiasi

(political

will)

dari

partai

politik

untuk

mempertanggungjawabkan kegiatan serta ketiadaan niat untuk
membuka pintu informasi sebesar-besarnya kepada publik
semakin menambah panjang daftar permasalahan yang membuat
kredibilitas partai politik jatuh di hati publik. Sebab, pelembagaan
partai politik pada intinya sangat dipengaruhi oleh the nature of the

party law. Sebagai lembaga demokrasi yang bentuk, operasi, dan
eksistensinya diatur oleh undang-undang, partai politik seringkali
tidak memiliki banyak pilihan atau mempunyai insentif sistemik
untuk

memperkuat

pelembagaan

organisasionalnya.

Ini

disebabkan oleh perangkat hukum yang tidak memadai.
2) Politik Uang
Istilah

politik

uang

dalam

perjalanannya

memang

sering

disubstitusikan secara bergantian dengan istilah korupsi politik,
sehingga seolah-olah keduanya sama secara konsepsi, padahal
tidak. Menurut Faisal Basri (Toni Andrianus Pito, dkk. 2013: 283)
politik uang atau money politics merupakan pemberian bantuan,
baik dalam bentuk uang maupun non-uang yang diduga atau patut
diduga dapat mempengaruhi keputusan dalam pemilu. Kolaborasi
dengan uang sebagai perekat, dapat terjadi antara sesama
anggota kelompok strategis ataupun antara elit politik dengan

10

massa paling bawah. Namun, hal ini hanya berlaku pada waktu
yang singkat, oleh karena kadar loyalitas yang rendah dari
pemberi uang, sehingga tidak efektif dipakai sebagai jual-beli
pengaruh dalam jangka panjang.
3) Korupsi politik.
Berbeda dengan politik uang, korupsi politik terjadi ketika
kekuasaan dan kepentingan bertemu. Sementara faktor primer
yang membentuk fenomena ini terjadi ialah politik uang. Oleh
karena itu dikatakan, bahwa korupsi politik merupakan evolusi
atau tahap lanjutan dari politik uang. Korupsi jenis ini merupakan
korupsi yang berkaitan erat dengan jual-beli kewenangan.
Utamanya ketika persilangan pertemuan kepentingan antara satu
pihak dengan kepentingan pihak lain bertemu. Kondisi ini persis
seperti yang dikatakan oleh Haryatmoko (2003: 124), bahwa
korupsi politik merupakan upaya menggunakan kemampuan
campur

tangan

karena

posisinya

untuk

menyalahgunakan

informasi, keputusan, pengaruh, uang atau kekayaan demi
kepentingan keuntungan dirinya.
4) Ideologi Partai Memudar
Berbagai studi membuktikkan bahwa perkembangan organisasi
kepartaian

dunia

menunjukkan

pendanaan partai politik,

fakta

dari

ketiga

sumber

sumber pendanaan yang masih

diharapkan membantu penyelenggaraan organisasi kepartaian
selain iuran anggota adalah subsidi negara dan sumbangan
perorangan/ badan usaha. Namun, realita di lapangan membuat
impian tersebut sirna. Sebab, terjadi ketimpangan yang nyata
antara nominal subsidi dan sumbangan. Ideologi partai politik
dengan anggota partai yang memudar tentu saja berdampak pada
rapuhnya jaringan organisasi. Hal ini tentu saja juga berdampak
pada

menurunnya

kinerja

organisasi

partai

politik

dalam

mendulang dukungan pendukung, utamanya terkait pendanaan.
5) Kartelisasi Politik
Mengacu pada definisi yang disebutkan dalam Black’s Law
Dictionary (http://thelawdictionary.org/ , diakses pada 18 Januari

11

2016 pukul 18.32 WIB), kartelisasi atau cartel memiliki definisi
yakni perjanjian antara dua kekuatan atau lebih untuk satu
kepentingan. Sementara jika dikaitkan dengan definisi politik yakni
kekuasaan, kartelisasi politik merupakan kesepakatan untuk
menggapai kekuasaan antar

partai politik.

Kecenderungan

mengamankan kekuasaan dapat dilihat misalnya pada saat pemilu
berlangsung. Kartel sendiri merupakan embrio sekelompok elite
yang telah menjadi satu organ dengan memiliki power dalam
monopoli kekuasaan. Istilah kartel merupakan istilah baru dalam
lanskap sosial dan politik di indonesia karena kartel berasal dari
bahasa

ekonomi

yang

mengindikasikan

adanya

politisasi

kekuasaan ekonomi dalam satu kelompok berikut dengan
regulatornya.
2. Formulasi Ideal Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik
Mengacu pada implikasi dari kecilnya bantuan keuangan kepada
partai politik diatas. Maka perlu ditelaah kembali apakah upaya preventif
melalui intervensi bantuan keuangan dapat dilakukan. Merujuk pada
angka-angka sebagaimana telah penulis paparkan mengenai besaran
bantuan keuangan kepada partai politik pada pemilu tahun 2014 di atas
(vide Tabel 1), sesungguhnya ruang menaikkan bantuan keuangan partai
politik masih sangat terbuka. Masalahnya, adalah berapa persentase
ideal belanja partai politik yang harus ditutupi oleh bantuan negara.
Memperhatikan bantuan negara untuk PAN sebesar Rp 0,677 miliar
(vide Tabel 2), maka nilai bantuan partai politik itu tentu tampak sangat
kecil. Merujuk pada formulasi perhitungan (a ÷ b) х y = n, dimana a
(APBN/APBD tahun anggaran 2008) dibagi dengan b (Perolehan suara
hasil pemilu legislatif periode 2004) untuk mendapatkan perhitungan awal
bantuan keuangan yang mendapat kursi pada pemilu tahun 2009, 2014
dan pemilu seterusnya; adalah merupakan perhitungan yang sudah tidak
relevan dengan perkembangan zaman. Perkembangan zaman dalam
kaitannya dengan kebutuhan perekonomian semakin berkembang pesat
dan cepat. Tentu perhitungan tersebut tidak akan bisa menyesuaikan
belanja partai jika tidak segera dirubah.

12

Atas dasar demikian, perubahan formulasi menjadi patut untuk
dilakukan. Penulis berpendapat, idealnya harga nominal awal setiap
suara sebesar Rp 108.- harus dinaikkan dinaikkan 94% dari nominal awal
menjadi sekurang-kurangnya sebesar Rp 1.000.- (seribu rupiah).
Kenaikan dari nominal awal sebesar 94% atau setara dengan Rp 1.000.bagi penulis merupakan nominal yang tepat dengan menyesuaikan
kebutuhan ekonomi partai politik saat ini. Nominal tersebut akan
mengganti rumus awal penetapan besaran keuangan dalam (a ÷ b) yang
sebelumnya didasarkan pada perolehan suara dan total APBN/APBD
2004 menjadi rumus (Rp 1000.-) х y = n atau Rp 1.000.-. dikalikan dengan
suara sah tiap partai politik pada pemilu terakhir.
Gambar 2. Formula Ideal Besaran Bantuan Keuangan Partai Politik

aхy=n
Keterangan:
a = Rp 1000.y = perolehan suara hasil pemilu partai politik pada pemilu periode terakhir
n = nilai akhir subsidi partai politik
Mengenai bagaimana teknis pemberian bantuan keuangan kepada
partai politik masih menjadi pertanyaan selanjutnya. Sebab, penulis yakin
menaikkan besaran bantuan keuangan partai politik sebesar 94% secara
tiba-tiba tentu merupakan gagasan yang tidak bertanggungjawab, sebab
partai politik jelas-jelas belum siap untuk mengelola secara transparan
dan akuntabel dana sebesar tersebut. Oleh karena itu, diperlukan dua
rencana untuk mengantisipasi ketidaksiapan dari organisasi partai politik
yakni melalui rencana (a) jangka pendek; dan rencana (b) jangka
panjang.
a. Rencana jangka pendek.
Sebagai langkah awal, meningkatkan besaran bantuan keuangan
dapat dilakukan melalui pemberian sebesar 20% pertahun selama
empat tahun awal hingga mencapai persentase 80%, kemudian pada
tahun keempat diberikan kenaikan 14% sebagai penyempurnaan dari

13

nominal kenaikan 94%. Peningkatan tersebut terjabar dalam Tabel 3
di bawah ini.
Tabel 3. Rancangan mekanisme sistem pengetatan pemberian
kenaikan bantuan keuangan kepada partai politik
Tahun
pertama

kedua

ketiga

keempat

kelima

20%

20%

20%

20%

14%

Langkah Ini merupakan langkah yang tepat karena tambahan
bantuan sebesar 20% pada awal pemberian bantuan dapat
menstimulasi serta dapat melatih organisasi partai politik bersikap
transparan dan akuntabel. Contohnya, partai sekelas PAN yang
menerima bantuan keuangan pada 2016 sebesar Rp 1,2 Miliar.
Apabila ditambah 20% maka di tahun 2017 PAN akan mendapat
bantuan keuangan sebesar Rp 3 Miliar.
b. Rencana jangka panjang
Apabila rencana jangka pendek mendapat respon positif dari
partai politik melalui rutinitas transparansi dan akuntabilitas yang
terukur dan bertanggungjawab, maka bantuan keuangan dari tahun
awal sebesar dapat dinaikkan konstan berdasarkan kelipatan sebesar
20% selama empat tahun awal hingga mencapai 80%, kemudian
diakhiri dengan kenaikan persentase 14% pada tahun ke lima sebagai
angka penyempurnaan dari 94%.

Tabel 4. Rancangan peningkatan bantuan keuangan terhadap
kebutuhan partai sekelas PAN berdasarkan perhitungan bantuan
pemilu 2014 (dalam milyar)
Tahun
2016 2017 2018 2019 2020 2021
Persentase
tambahan
nominal
bantuan
keuangan 0% 20% 20% 20% 20%
14%
berdasarkan
(1.8) (1.8) (1.8) (1.8)
(1.1)
perhitungan subsidi
kepada PAN
Jumlah
1,2
3
4,8
6.6
8.4
9.5

14

D. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka disimpulkan sebagai
berikut:
1. Pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas keuangan partai politik belum
terwujud.

Ketidakmampuan

regulasi

dalam

menetapkan

standar

transparansi dan akuntabilitas telah membuat pengelolaan keuangan
partai politik menjadi tidak transparan.
2. Formulasi perhitungan besaran bantuan keuangan kepada partai politik
sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Ketidakmampuan
peraturan perundangan telah memaksa partai politik bermanuver, mencari
dana ilegal dengan menghalalkan berbagai cara untuk menghidupi mesin
partai.

E. Saran
1. Formulasi mengenai besaran bantuan keuangan kepada partai politik
harus dinaikkan dengan menyesuaikan dengan perkiraan nominal yang
ideal untuk menopang roda organisasi partai politik. Hal ini dilakukan
karena iuran anggota semakin tidak dapat diharapkan dan sumber
pendanaan lain berupa sumbangan terbukti telah merusak visi misi
kelembagaan partai politik dalam membela kepentingan rakyat.
2. Undang-Undang 2 Tahun 2008 Jo. Undang-Undang 2 Tahun 2011
tentang Partai Politik sebagai umbrella act pengaturan bantuan keuangan
kepada partai politik belum mengatur siapa lembaga yang berwenang
melaksanaan kewenangan supervisi-proaktif. Undang-Undang Partai
politik juga belum memaksa partai untuk bersikap transparan dan
akuntabel dalam mengelola keuangan partai. Alangkah lebih baik jika
aturan dibuat secara jelas dan gamblang terkait batasan-batasan
transparansi dan akuntabilitas yang wajib dilaksanakan oleh partai politik.

15

Daftar Pustaka
Black’s Law Dictionary 2nd Edition. http://thelawdictionary.org/, diakses pada 6
Januari 2016 pukul 18.32 WIB.
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM RI,
2014, Penelitian Hukum Tentang Akuntabilitas Pendanaan Partai Politik
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, Jakarta: BPHN
Didik Supriyanto dan Lia Wulandari. 2012. Bantuan Keuangan Partai Politik:

Metode Penetapan Besaran, Transparansi, Dan Akuntabilitas
Pengelolaan, jakarta: yayasan perludem;
Ekamara Ananami Putra. 2015, Reformasi Keuangan Partai Politik: Peluang
Mencegah Korupsi Politik Di Era Revolusi Mental. Makalah. Jogjakarta:
Universitas Gadjah Mada;
Haryatmoko. 2003. Etika politik dan kekuasaan. Jakarta: kompas
Ichlasul Amal. 2012, Teori-Teori Muktakhir Partai Politik, yogyakarta: Tiara
Wacana,
Ingrid Van Biezen. Financing Political Parties and Elections Campaigns,
Strasbourg: Council of Europe Publishing, 2003.
Marcin Walecki. dkk. 2014. Public Funding Solutions for Political Parties in
Muslim-Majority Societies, Washington, D.C: International Foundation for
Electrolar Systems (IFES)
Peter Mahmud Marzuki. 2014. Penelitian Hukum. Edisi revisi. Jakarta: kencana
prenada media group.
Ramlan Surbakti dan Didik Supriyanto. 2011, Pengendalian Keuangan Partai
Politik, jakarta: kemitraan.
Ramlan Surbakti. 2010, Memahami Ilmu Politik, jakarta: Grasindo.
______________. 2015. Permasalahan Keuangan Partai Politik Di Indonesia.
jakarta: kemitraan;
______________. 2015. Roadmap Pengendalian Keuangan Partai Politik
Peserta Pemilu. jakarta: kemitraan;
Toni Andrianus Pito dkk. 2013. Mengenal Teori-Teori Politik: Dari Sistem Politik
Sampai Korupsi. Bandung: nuansa cendekia.

16