Penegakan Tindak Pidana Terorisme Dalam

Penegakan Tindak Pidana Terorisme Dalam Kasus Teror Di
London Melalui Perspektif Hukum Pidana Internasional
Luthfi Widyantoko

luthfiwidyantoko13@students.unnes.ac.id

Abstrak
Terorisme merupakan suatu tindak kejahatan luar biasa yang menjadi
perhatian dunia dewasa ini yang digolongan terhadap kejahatan
kemanusiaan (Crime Against Humanity), Kejahatan terorisme merupakan
salah satu bentuk kejahatan berdimensi internasional yang sangat
menakutkan masyarakat baik masyarakat regional maupun masyarakat
internasional. Di berbagai negara di dunia telah terjadi kejahatan terorisme
baik di negara maju maupun negara-negara sedang berkembang, aksi-aksi
teror yang dilakukan telah memakan korban tanpa pandang bulu. Kajian
Tindak Pidana Terorisme Dalam Presfektif Hukum Pidana Internasional
merupakan sebuah bentuk kejahatan yang bukan hanya mengancam bagi
keselamatan individu namun merupakan ancaman bagi kedaulatan negara.
Terlepas dari hal tersebut definisi terorisme di dunia belum memiliki
keseragaman tentunya karena adanya suata pandangan ideologi yang
berbeda-beda dari setiap negara terhadap tindak pidana terorisme. Dalam

ranah internasional PBB memberikan suatu perlindungan hukum guna
adanya kepastian hukum meskipun PBB belum menetapkan bahwa tindak
pidana terorisme merupakan kejahatan internasional. Kejahatan terorisme
tersebut tentu sangat meesahkan masyarakat dunia tentu maka dengan itu
di Indonesia khusunya di dibentuk Undang-Undang (UU) AntiTerorisme
Indonesia yaitu UU No. 15 dan 16 Tahun 2003, yang disahkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). UU Anti- Terorisme tersebut diharapkan berfungsi
sebagai komponen pendukung prinsip penegakan hukum dan memberikan
dasar hukum yang adil, serta secara efektif mencegah terjadinya aksi
terorisme.

Kata kunci : Terorisme, Pidana, Internasional, Undang-Undang

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG KASUS

Terorisme merupakan suatu tindak kejahatan luar biasa yang menjadi
perhatian dunia dewasa ini. Bukan sekedar aksi teror semata, namun pada
kenyataannya tindak kejahatan terorisme juga melanggar hak asasi manusia
sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat dalam diri manusia, yaitu hak

untuk merasa nyaman dan aman ataupun hak untuk hidup. Selain itu
terorisme juga menimbulkan korban jiwa dan kerusakan pada harta benda,
tindak kejahatan terorisme juga merusak stabilitas negara, terutama dalam
sisi ekonomi, pertahanan, keamanan, dan sebagainya. Sementara itu, secara
sosiologis, tindak kejahatan terorisme merusak nilai spiritual dalam tatanan
kehidupan bermasyarakat dengan menimbulkan dalil agama sebagai
pembenaran tindakan teror tersebut. Padahal, dampak dari kejahatan ini
adalah masyarakat yang tidak berdosa yang menjadi korban dari aksi
terorisme yang keji dan tidak berprikemanusiaan. Hal inilah yang mendasari
pentingnya menyelesaikan permasalahan terorisme secara tuntas.
Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan,
pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai,
target-target serta metode Terorisme kini semakin luas dan bervariasi,
sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan
kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap
perdamaian dan keamanan umat manusia. Salah satu faktor penyebab
munculnya tindak pidana terorisme adalah sebagai akibat makna-makna
negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme". Para teroris
umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan,
pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Dalam pembenaran di

mata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari
tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat
dalam perang". Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan
agama. Pembenaran semacam inilah yang kemudian dijadikan peluang bagi
seseorang atau sekelompok orang untuk mencari peruntungan sepihak
dengan membenarkan paham terorisme.1
Peledakan bom merupakan salah satu modus pelaku terorisme yang telah
menjadi fenomena umum di beberapa negara. Terorisme merupakan
kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan bahkan merupakan tindak pidana
internasional yang mempunyai jaringan luas, yang mengancam perdamaian
dan keamanan nasional maupun internasional. Pemerintah Indonesia sejalan
dengan amanat sebagaimana ditentukan dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam
memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan
perdamaian abadi dan keadilan sosial, berkewajiban untuk melindungi
warganya dari setiap ancaman kejahatan baik bersifat nasional,
1 Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Ham, dan Hukum,
Refika Aditama,

Bandung, 2004, hlm.59

transnasional, maupun bersifat internasional.2 Pemerintah juga berkewajiban
untuk mempertahankan kedaulatan serta memelihara keutuhan dan
integritas nasional dari setiap bentuk ancaman baik yang datang dari luar
maupun dari dalam. Dalam hal ini, mutlak diperlukan penegakan hukum dan
ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan. Sudah menjadi
kewajiban negara untuk memberikan perlindungan terhadap pelaksanaan
dan pemenuhan hak asasi manusia sebagai hak dasar warga negaranya.
Salah satu bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara terhadap warga
negaranya adalah hak seseorang untuk hidup aman, nyaman dan tentram.
Di dalam Pasal 28 A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, terdapat ketentuan mengenai setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dasar hukum yang
menjamin hak untuk hidup di Indonesia juga terdapat dalam Pasal 9 UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam ayat (2)
yang mementukan: Setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai,
bahagia, sejahtera lahir dan batin. Mencermati pasal ini, maka dapat
dipahami bahwa hak seseorang untuk hidup dalam rasa nyaman dan aman
adalah tugas negara untuk memenuhinya. Salah satu wujud pemenuhan hak
tersebut, adalah dengan memberikan perlindungan kepada warga negara

dari tindak kejahatan terorisme. Realisasinya selain dengan memidana
pelaku terorisme, tentu dengan menmbentuk suatu peraturan perundangundangan terkait tindak pidana terorisme.
Mengupayakan pemenuhan hak asasi bagi warga negara untuk
memperoleh perlindungan dari tindak kejahatan terorisme, dirumuskanlah
peraturan perundang-undangan terkait terorisme tersebut, yaitu Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (selanjutnya ditulis PERPU) Nomor 1
Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, diperkuat
denagn Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan PERPU
Nomor 1 Tahun 2002 menjadi Undang-Undang, dan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Terosrime. Dirumuskannya peraturan perundang-undangan tersebut selain
sebagai wujud perlindungan yang diberikan oleh negara dalam aspek
kepastian hukum/legal, juga sebagai bukti perlunya peran serta yang aktif
dari setiap negara untuk mengambil alih peran dalam memberantas tindak
kejahatan terorisme, mengingat tindak kejahatan ini adalah tindak kejahatan
luar biasa, dan benang merah kejahatan terorisme sama artinya dengan
tindak pidana, yang dibenarkan pula secara ekspilisit dan implisit dalam
perumusan peraturan perundang-undangan. Istilah atau defenisi “tindak
pidana” terorisme, dengan otomatis bersentuhan pula dengan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (selanjutnya ditulis KUHP).
KUHP adalah dasar dari konstruksi hukum dalam aspekpidana (criminal

law). Sebagai salah satu bentuk tindak pidana, terorisme yang dasar
Mulyana W. Kusumah , Terorisme dalam Prespektif Politik dan Hukum,
Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, Volume 2, No. 3(2002), hlm.22
2

hukumnya adalah KUHP tentu akan bersinggungan pula dengan asas-asas
hukum yang terkandung di dalam KUHP tersebut. Salah satunya yaitu asas
legalitas yang ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Secara sederhana
asas legalitas dapat dipahami sebagai asas yang digunakan dalam
mempidana seseorang haruslah merujuk pada suatu normatif hukum/hukum
positif. Dapat dikatakan pula, tidak ada suatu tindak pidana yang dapat
dipidana jika belum diatur dalam undang-undang. UU Nomor 15 Tahun 2003
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sendiri dalam Pasal 46
menentukan bahwa Ketentuan dalam PERPU dapat diperlakukan surut untuk
tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya PERPU ini,
yang penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang atau PERPU
tersendiri. Dengan kata lain berlaku asas retroaktif / berlaku surut dalam
PERPU ini. Berlakunya asas retroaktif dalam UU Nomor 15 Tahun 2003
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tentunya dilatarbelakangi
kompleksitas dan dinamisme kehidupan masyarakat yang selalu

berkembang, bahkan dari aspek tindak pidana/criminal case.3 Kejahatan
sendiri cenderung berkembang dari waktu ke waktu, salah satunya kejahatan
terorisme, sehingga diperlukan juga hukum yang mengikutinya. Maka
lahirlah asas rektoaktif yang tentu berseberangan dengan asas legalitas di
dalam KUHP. Apabila, KUHP menjadi dasar suatu tindak pidana terorisme,
maka sangat memungkinkan pelaku teror tersebut lepas dari jerat hukum,
atau dipidana tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya, meningat
dalam hal ini terorisme merupakan kejahatan yang keji dan tidak
berperikemanusiaan.
Selain itu, kejahatan ini bukan hanya menjatuhkan kewibawaan Negara
dan bangsa, tetapi juga mengakibatkan korban rakyat tidak berdosa yang
tidak sedikit. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun
2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme kemudian diangkat
menjadi Undang-Undang pada tahun 2003, yaitu Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang Dan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme diangkat menjadi Undang-Undang, yaitu Undang- Undang Republik
Indonesia Nomor 16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12
Loebby Loqman, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan
terhadap Keamanan Negara di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia,
1990), hlm. 98
3

Oktober 2002, menjadi Undang-Undang.4 Reaksi keras datang dari berbagai
lapisan, baik dan kalangan tokoh-tokoh agama, kalangan para aktifis HAM
dan kemanusiaan, para ahli hukum, dan dari kalangan petinggi elite politik
baik yang berada di lembaga eksekutif, Legislatif dan yudikatif, secara
bersama mengutuk keras kepada para pelaku yang telah tega melakukan
tindakan dan perbuatan yang biadab dan tidak berperikemanusiaan itu.
Demikian juga, rasa empati dan simpati serta duka cita kepada para korban
yang tak berdosa dan kepada keluarganya berdatangan dan berbagai tempat
di tanah air dan dari kalangan dunia Internasional.Untuk mengantisipasi dan
mengatasi persoalan tindak pidana terorisme tersebut dan sejalan dan

pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, maka Negara Republik Indonesia
adalah Negara kesatuan yang berlandaskan hukum dan memiliki tugas dan
tanggung jawab untuk memelihara kehidupan yang aman, damai, dan
sejahtera serta ikut serta secara aktif memelihara perdamaian dunia, maka
pemerintah wajib memelihara dan menegakkan kedaulatan dan melindungi
setiap warga negaranya dari setiap ancaman atau ancaman destruktif baik
dari dalam negeri maupun luar negeri. Sebagai bahan pertimbangan
dimajukan bahwa terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan
dan peradaban serta salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap
Negara. Disamping itu, terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat
Internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian
dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat, sehingga perlu dilakukan
pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan, agar hak asasi
orang banyak (public) dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.
KRONOLOGI KASUS
London kembali mengalami serangan teror. Keriuhan warga ibukota
Inggris pada Sabtu (3/6) malam terusik oleh serangan teror berupa
penabrakan mobil ke arah kerumunan orang yang kemudian disusul oleh
penusukan. Setidaknya tujuh orang tewas dalam tragedi yang dikabarkan
melibatkan tiga orang tersangka. Sebelumnya dilaporkan terjadi insiden di

tiga lokasi di pusat Kota London yaitu Jembatan London dan Borough Market.
Secara garis besar, insiden ini dimulai dengan penabrakan van putih di
Jembatan London diikuti dengan penusukan oleh dua pria berpisau. Polisi
Metro London telah menetapkan kejadian ini sebagai serangan teror. Saat ini,
polisi masih berjaga di lokasi kejadian dan melakukan pengamanan. Berikut
kronologi kejadian yang dirangkum oleh Independent lewat keterangan para
saksi. Pada 22.08 Waktu LondonPolisi menerima laporan bahwa ada satu
mobil van menabrak trotoar di Jembatan London. Saat itu belum jelas apakah
van secara sengaja menabrakkan diri ke kerumunan orang atau kecelakaan
murni. Pada 22.30Seorang saksi mata menyebutkan bahwa van tersebut
melaju dengan kecepatan tinggi mengarah ke kerumunan orang di trotoar
jalan Jembatan London. Jurnalis BBC, Holly Jones, bagaimana orang-orang
4 Muladi, Penanganan Terorisme sebagai Tindak Pidana Khusus, Bahan

Seminar pada 28 Juni 2004 di Jakarta, Hal 3.

melompat dan menghindar dari tabrakan van. Pada 22.40 Polisi langsung
mengamankan lokasi di Jembatan London. Saat yang bersamaan, polisi
mengeluarkan imbauan tertulis agar warga menjauh dari lokasi insiden
tersebut.

Pukul 23.15Saat masih sibuk melakukan sterilisasi lokasi penabrakan
van, polisi dikejutkan oleh laporan penusukan dari tempat yang tak jauh dari
Jembatan London. Tiga orang bersenjatakan pisau mencoba menyerang
pejalan kaki yang melintas di kawasan Borough Market yang ramai oleh
warga kota yang sedang menikmati waktu santai di malam Minggu. Pada
23.25 Aparat mulai menyisir daerah Borough Market yang hanya beberapa
meter dari Jembatan London. Saksi menyebutkan bahwa gerombolan
berpisau masuk ke beberapa restoran dan menusuk beberapa pengunjung.
Tidak lama berselang, suara tembakan terdengar beberapa kali dari sekitar
Borough Market. 23.30 Ratusan petugas langsung bergerak menuju Borough
Market. Seluruh restoran di area tersebut diamankan. Pengunjung dievakuasi
menuju area aman sembari berjalan dengan tangan di kepala. Pada 23.45
Polisi mengumumkan bahwa mereka mencari tiga pria yang diduga
melancarkan serangan teror kali ini. 23.50 Polisi menerima laporan ketiga
malam itu yaitu penusukan di area Vauxhall yang masih berdekatan dengan
Jembatan London. Kejadian ini kemudian tidak memiliki hubungan dengan
insiden teror di Jembatan London. Pukul 00.25 Polisi melalui twitter
mengumumkan bahwa kejadian di Jembatan London dan Borough Market
merupakan insiden terorisme. 01.30 Terdengar tiga ledakan dari area
Borough Market. Pukul 01.50 Sebuah foto yang beredar di dunia maya
menunjukkan dua jenazah terbaring di atas tanah. Kedua jenazah tersebut
diduga kuat adalah pelaku yang tewas ditembak oleh polisi. Salah satu
jenazah membawa benda serupa kaleng yang diikat di tubuhnya. Pukul 01.55
Polisi menyebutkan ada enam orang tewas, termasuk tiga pelaku dan 20
orang luka. Korban luka saat ini memperoleh penanganan medis dan
tersebar di enam rumah sakit di London, informasi ini juga meralat kabar dari
Sun sebelumnya.

Rumusan Masalah
1. Bagaiama cara mengatasi tindak pidana terorisme yang sekarang ini
semakin marak terjadi?
2. Bagaimana pandangan Hukum Pidana International terhadap kasus
Teror yang terjadi di London Inggris ?
PEMBAHASAN
Cara mengatasi tindak pidana terorisme

Untuk mengantisipasi dan mengatasi persoalan tindak pidana
terorisme tersebut dan sejalan dan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
maka Negara Republik Indonesia adalah Negara kesatuan yang berlandaskan
hukum dan memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memelihara kehidupan
yang aman, damai, dan sejahtera serta ikut serta secara aktif memelihara
perdamaian dunia, maka pemerintah wajib memelihara dan menegakkan
kedaulatan dan melindungi setiap warga negaranya dari setiap ancaman
atau ancaman destruktif baik dari dalam negeri maupun luar negeri

Pandangan Hukum Pidana International terhadap kasus Teror yang
terjadi di London Inggris
Terorisme merupakan suatu tindak kejahatan luar biasa yang menjadi
perhatian dunia dewasa ini. Bukan sekedar aksi teror semata, namun pada
kenyataannya tindak kejahatan terorisme juga melanggar hak asasi manusia
sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat dalam diri manusia, yaitu hak
untuk merasa nyaman dan aman ataupun hak untuk hidup. Selain itu
terorisme juga menimbulkan korban jiwa dan kerusakan pada harta benda,
tindak kejahatan terorisme juga merusak stabilitas negara, terutama dalam
sisi ekonomi, pertahanan, keamanan, dan sebagainya. Sementara itu, secara
sosiologis, tindak kejahatan terorisme merusak nilai spiritual dalam tatanan
kehidupan bermasyarakat dengan menimbulkan dalil agama sebagai
pembenaran tindakan teror tersebut. Padahal, dampak dari kejahatan ini
adalah masyarakat yang tidak berdosa yang menjadi korban dari aksi
terorisme yang keji dan tidak berprikemanusiaan. Hal inilah yang mendasari
pentingnya menyelesaikan permasalahan terorisme secara tuntas.

KESIMPULAN
Pemenuhan hak asasi bagi warga negara untuk memperoleh
perlindungan dari tindak kejahatan terorisme, dirumuskanlah peraturan
perundang-undangan terkait terorisme tersebut, yaitu Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (selanjutnya ditulis PERPU) Nomor 1 Tahun 2002
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, diperkuat denagn UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan PERPU Nomor 1 Tahun
2002 menjadi Undang-Undang, dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013
Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terosrime.
Dirumuskannya peraturan perundang-undangan tersebut selain sebagai
wujud perlindungan yang diberikan oleh negara dalam aspek kepastian
hukum/legal, juga sebagai bukti perlunya peran serta yang aktif dari setiap
negara untuk mengambil alih peran dalam memberantas tindak kejahatan
terorisme, mengingat tindak kejahatan ini adalah tindak kejahatan luar
biasa, dan benang merah kejahatan terorisme sama artinya dengan tindak
pidana, yang dibenarkan pula secara ekspilisit dan implisit dalam perumusan

peraturan perundang-undangan.
Istilah atau defenisi “tindak pidana”
terorisme, dengan otomatis bersentuhan pula dengan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (selanjutnya ditulis KUHP).
DAFTAR PUSTAKA
Muladi, Penanganan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus (Extra
Ordinary Crime), Bahan Seminar, Jakarta, 2004.
Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Ham, dan Hukum,
Refika Aditama,
Bandung, 2004
W. Kusumah Mulyana , Terorisme dalam Prespektif Politik dan Hukum, Jurnal
Kriminologi Indonesia FISIP UI, Volume 2, No. 3, 2002
Loqman Loebby, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan
terhadap Keamanan Negara di Indonesia, Jakarta, 1990