SEJARAH TAFSIR DAN PERKEMBANGANNYA di masa

SEJARAH TAFSIR DAN PERKEMBANGANNYA

Secara etimologi tafsir bisa berarti: ‫( اليضاح والبيان‬penjelasan), ‫( الكشف‬pengungkapan) dan
‫( كشف المراد عن اللفظ المشكل‬menjabarkan kata yang samar ).
1 Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan
lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya.
2 Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena
pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang
haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di
zaman modern sekarang ini. Adapun perkembangan ilmu tafsir dibagi menjadi empat periode
yaitu :
Pertama, Tafsir Pada Zaman Nabi
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari
ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka yang masuk Islam setelah mendengar
bacaan al-Qur’an dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui
makna yang terkandung dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam
memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Sebagai orang yang paling mengetahui makna alQur’an, Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman
Allah ,” keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu alQur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka
supaya mereka memikirkan, (QS. 16:44).
Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir berkata : “Saya mendengar
Rasulullah berkhutbah diatas mimbar membaca firman Allah :

‫وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة‬

kemudian Rasulullah bersabda :

‫“أل إن القوة الرمي‬Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”.

Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim Rasulullah bersabda tentang AlKautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti) di surga.
Tafsir Pada Zaman Sahabat
Adapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah; Menafsirkan Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa,
adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasroni) yang masuk Islam dan telah
bagus keislamannya.
Diantara tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman,
Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin
Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi
Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas yang mendapatkan do’a dari Rasulullah.
Penafsiran sahabat yang didapatkan dari Rasulullah kedudukannya sama dengan hadist marfu’. 3
Atau paling kurang adalah Mauquf. 4
Tafsir Pada Zaman Tabi’in
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat,

karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah
untuk kajian ilmu tafsir diantaranya:
1)- Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti
Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan ‘Atho’
bin Abi Robah.
2)- Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti
Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli. Dan 3)- Madrasah Iraq
atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois,
Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy.
Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan
diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya. 5
Tafsir Pada Masa Pembukuan
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu;
Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih
memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya.
Periode Kedua, Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku
tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang
dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim

dalam tafsirannya, dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke

Rasulullah, sahabat dan para tabi’in.
Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para
ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang
shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa
melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi ketika mentafsirkan ayat
‫غير المغضوب عليهم ولالضالين‬
ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat bahwa maksud dari ayat tersebut adalah
orang-orang Yahudi dan Nasroni.
Periode Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku – buku tarjamahan dari luar
Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih dominan dibandingkan dengan
metode bin naqly ( dengan periwayatan). Pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut
bidang keilmuan para mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-Qur’an dari segi hukum seperti
Alqurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan
seterusnya.
Periode Kelima, tafsir maudhu’i yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu
sesuai disiplin bidang keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan
fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan
Asbabun Nuzul dan Al-Jassos dengan Ahkamul Qur’annya.
Metode Penafsiran
Metode penafsiran yang banyak dilakukan oleh para mufassir adalah:


Pertama, Tafsir Bil Ma’tsur atau Bir-Riwayah
Metode penafsirannya terfokus pada shohihul manqul (riwayat yang shohih) dengan
menggunakan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran al-Qur’an dengan sunnah,
penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para sahabat dan penafsiran al-Qur’an dengan perkataan
para tabi’in. Yang mana sangat teliti dalam menafsirkan ayat sesuai dengan riwayat yang ada.
Dan penafsiran seperi inilah yang sangat ideal yang patut dikembangkan. Beberapa contoh kitab
tafsir yang menggunakan metode ini adalah :
1. Tafsir At-Tobary ((‫ جامع البيان في تأويل أى القران‬terbit 12 jilid
2. Tafsir Ibnu Katsir (‫ ) تفسير القران العظيم‬dengan 4 jilid
3. Tafsir Al-Baghowy ‫) معالم التنزيل‬
4. Tafsir Imam As-Suyuty (‫ ) الدر المنثور في التفسير بالمأثور‬terbit 6 jilid.
Kedua, Tafsir Bir-Ra’yi (Diroyah).
Metode ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

Ar-Ro’yu al Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) dengan beberapa syarat
diantaranya:
1)- Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari nilai-nilai al-Qur’an dan as-sunnah
2)- Tidak berseberangan penafsirannya dengan penafsiran bil ma’tsur, Seorang mufassir harus
menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir beserta perangkat-perangkatnya.

Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metodologi ini diantaranya :
1. Tafsir Al-Qurtuby (‫) الجامع لحكام القران‬
2. Tafsir Al-Jalalain (‫)تفسير الجللين‬
3. Tafsir Al-Baidhowy (‫)أنوارالتنزيل و أسرار التأويل‬.
Ar-Ro’yu Al- mazmumah (penafsiran dengan akal yang dicela / dilarang), karena bertumpu pada
penafsiran makna dengan pemahamannya sendiri. Dan istinbath (pegambilan hukum) hanya
menggunakan akal/logika semata yang tidak sesuai dengan nilai-nilali syariat Islam. Kebanyakan
metode ini digunakan oleh para ahli bid’ah yang sengaja menafsirkan ayat al-Qur’an sesuai
dengan keyakinannya untuk mengajak orang lain mengikuti langkahnya. Juga banyak dilakukan
oleh ahli tafsir priode sekarang ini. Diantara contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini
adalah:
1. Tafsir Zamakhsyary (‫) الكشاف عن حقائق التنزيل و عيون القاويل في وجوه التأويل‬
2. Tafsir syiah “Dua belas” seperti ( ‫) مرأة النوار و مشكاة السرار للمولي عبد اللطيف الكازاراني‬
juga ‫مع البيان لعلوم القران لبي الفضل الطبراسي‬
3. Tafsir As-Sufiyah dan Al-Bathiniyyah seperti tafsir ‫حقائف التفسير للسلمي و عرائس البيان‬
‫في حقائق القران لبي محمد الشيرازي‬
SYARAT DAN ADAB PENAFSIR AL-QUR’AN
Untuk bisa menafsirkan al-Qur’an, seseorang harus memenuhi beberapa kreteria diantaranya:
1)- Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an.
2)- Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan

pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat
hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya.
3)- Mengikuti urut-urutan dalam menafsirkan al-Qur’an seperti penafsiran dengan al-Qur’an,
kemudian as-sunnah, perkataan para sahabat dan perkataan para tabi’in.
4)- Faham bahasa arab dan perangkat-perangkatnya, karena al-Qur’an turun dengan bahasa arab.
Mujahid berkata; “Tidak boleh seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara
tentang Kitabullah (al-Qur’an) jikalau tidak menguasai bahasa arab“.
5)- memiliki pemahaman yang mendalam agar bisa mentaujih (mengarahkan) suatu makna atau
mengistimbat suatu hukum sesuai dengan nusus syari’ah,

6)- Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an seperti ilmu
nahwu (grammer), al-Isytiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya), alma’ani, al-bayan, al-badi’, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam al-Qur’an), aqidah shaihah,
ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam, mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh,
hadits, dan lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan.
Adapun adab yang harus dimiliki seorang mufassir adalah sebagai berikut :
1. Niatnya harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata. Karena seluruh amalan
tergantung dari niatannya (lihat hadist Umar bin Khottob tentang niat yang diriwayatkan oleh
bukhori dan muslim diawal kitabnya dan dinukil oleh Imam Nawawy dalam buku Arba’in nya).
2. Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain
3. Mengamalkan ilmunya, karena dengan merealisasikan apa yang dimilikinya akan

mendapatkan penerimaan yang lebih baik.
4. Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya
terlebih dahulu kebenarannya.
5. Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada.
6. Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu. Baik dalam penulisan maupun dalam
penyampaian. Dengan menggunakan metode yang sistematis dalam menafsirkan suatu ayat.
Memulai dari asbabunnuzul, makna kalimat, menerangkan susunan kata dengan melihat dari
sudut balagho, kemudian menerangkan maksud ayat secara global dan diakhiri dengan
mengistimbat hukum atau faedah yang ada pada ayat tersebut.
CONTOH KITAB TAFSIR DAN METODOLOGI PENULISANNYA
Nama Kitab : ‫ جامع البيان في تفسير أي القران‬atau yang lebih dikenal dengan
tafsir al-Tabary.
Pengarangnya : Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thobary (224 – 310 H)
Jumlah jilid : 12 jilid besar.
Keistimewaannya : Tafsir ini merupakan referensi bagi para mufassirin terutama penafsiran
binnaqli/biiriwayah. Tafsir bil aqli karena istinbath hukum, penjabaran berbagai pendapat dengan
dan mengupasnya secara detail disertai analisa yang tajam. Ia merupakan tafsir tertua dan
terbagus.
Metodologi Penulisannya:
Penulis menafsirkan ayat al-Qur’an dengan jelas dan ringkas dengan menukil pendapat para

sahabat dan tabi’in disertai sanadnya. Jikalau dalam ayat tersebut ada dua pendapat atau lebih, di
sebutkan satu persatu dengan dalil dan riwayat dari sahabat maupun tabi’in yang mendukung
dari tiap-tiap pendapat kemudian mentarjih (memilih) diantara pendapat tersebut yang lebih kuat
dari segi dalilnya.
Beliau juga mengii’rob (menyebut harakat akhir), mengistimbat hukum jikalau ayat tersebut
berkaitan dengan masalah hukum.

Ad-Dawudy dalam bukunya “Thobaqah al-Mufassirin“ mengomentari metode ini dengan
ungkapannya:“ Ibnu jarir telah menyempurnakan tafsirnya dengan menjabarkan tentang hukumhukum, nasih wal mansuh, menerangkan mufrodat (kata-kata) sekaligus maknanya,
menyebutkan perbedaaan ulama’ tafsir dalam masalah hukum dan tafsir kemudian memilih
diantara pendapat yang terkuat, mengi’rob kata-kata, mengkonter pendapat orang-orang sesat,
menulis kisah ,berita dan kejadian hari kiamat dan lain-lainnya yang terkandung didalamnya
penuh dengan hikmah dan keajaiban tak terkira kata demi kata, ayat demi ayat dari isti’adzah
sampai abi jad (akhir ayat).
Bahkan jikalau seorang ulama’ mengaku mengarang sepuluh kitab yang diambil dari tafsir ini,
dan setiap kitab mengandung satu disiplin keilmuan dengan keajaiban yang mengagungkan akan
diakuinya (karangan tersebut).
2. Tafsir Ibnu Katsir
Nama kitab : ‫ تفسير القران العظيم‬lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir.
Jumlah jilid : 4 Jilid

Nama penulis : Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Amr bin Katsir (w 774 H)
Keutamaanya : Merupakan tafsir terpopuler setelah tafsir At-Thobary dengan
metode bil ma’tsur.
Metodologi penulisannya:
Penulis sangat teliti dalam mentafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menukil perkataan para
salafus sholeh. Ia menafsirkan ayat dengan ibarat yang jelas dan mudah dipahami. Menerangkan
ayat dengan ayat yang lainnya dan membandingkannya agar lebih jelas maknanya.
Beliau juga menyebutkan hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut dilanjutkan
dengan penafsiran para sahabat dan para tabi’in. Beliau juga sering mentarjih diantara beberapa
pendapat yang berbeda, juga mengomentari riwayat yang shoheh atau yang dhoif(lemah).
mengomentari periwayatan isroiliyyat.
Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, ia menyebutkan pendapat para Fuqaha (ulama’ fiqih)
dengan mendiskusikan dalil-dalilnya, walaupun tidak secara panjang lebar. Imam Suyuthy dan
Zarqoni menyanjung tafsir ini dengan berkomentar ;” Sesungguhnya belum ada ulama’ yang
mengarang dalam metode seperti ini “.
3. Tafsir Al-Qurtuby
Nama kitab : ‫الجامع لحكام القران‬
Jumlah jilid : 11 jilid dengan daftar isinya.
Nama penulisnya : Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurtuby (w 671 H).
Keutamaanya : Ibnu Farhun berkata,” tafsir yang paling bagus dan paling

banyak manfaatnya, membuang kisah dan sejarah, diganti
dengan hukum dan istimbat dalil, serta menerangkan I’rob,
qiroat, nasikh dan mansukh”.
Metode penulisannya :

Penulis terkenal dengan gaya penulisan ulama’ fiqih., dengan menukil tafsir dan hukum dari para
ulama’ salaf dengan menyebutkan pendapatnya masing-masing.
Dan membahas suatu permasalahan fiqhiyah dengan mendetil. Membuang kisah dan sejarah,
diganti dengan hukum dan istimbat dalil, juga I’rob, qiroat, nasikh dan mansukh. Beliau tidak
ta’assub (fanatik) dengan mazhabnya yaitu mazhab Maliki.
4. Tafsir Syinqithy
Nama kitab : ‫أضواء البيان في إيضاح القران بالقران‬
Jumlah jilid : 9 jilid.
Nama penulisnya : Muhammad Amin al-Mukhtar As-Syinqithy
Metodologi penulisannya:
Menekankan penafsiran bil-ma’tsur dengan dilengkafi qira’ah as-sab’ah dan qiro’ah syadz
(lemah) untuk istisyhad (pelengkap). Menerangkan masalah fiqih dengan terperinci, dengan
menyebut pendapat disertai dalil-dalilnya dan mentarjih berdasarkan dalil yang kuat.
Pembahasan masalah bahasa dan usul fiqih. Beliau wafat dan belum sempat menyelesaikan
tafsirnya yang kemudian dilengkapi oleh murid sekaligus menantunya yaitu Syekh ‘Athiyah

Muhammad Salim.
1 Adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun 1/13, Manna’ al-Qattan, Mabaahits fi Ulumi alQur’an hal : 323.
2 Abdul Hamid al-Bilaly, al-Mukhtashar al-Mashun min Kitab al-Tafsir wa al-Mufashirun,
(Kuwait: Daar al-Dakwah, 1405) hal. 8
3 Marfu’ adalah perkataaan atau perbuatan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
4 Mauquf adalah perkataan atau perbuatan yang disandarkan kepada para shohabat
5 majmu’ fatawa syaikhul Islam ibnu taimiyah 13/370 dan buku mabahits fi ulumul alqur’an ole mann’ al-qotton hal ; 340-342
SEJARAH TAFSIR KLASIK DAN MODERN
SEJARAH TAFSIR KLASIK DAN MODERN*
Oleh : Muchlis M. Hanafi**
Dipetik dari laman Blog: Pusat Studi al-Qur’an
Alamat:
http://www.psq.or.id/index.php/in/component/content/article/102-artikel/202-sejarahtafsir-klasik-dan-modern
Penulisan : Tahun 2010
Dipetik pada : 18 Januari 2012.
Alquran merupakan salah satu dari sejumlah kecil kitab suci yang telah memberikan pengaruh
begitu luas dan mendalam dalam jiwa dan tindakan manusia. Bagi kaum muslimin Alquran
bukan saja sebagai kitab suci (scripture) melainkan juga petunjuk (hudâ) yang menjadi pedoman

sikap dan tindakan mereka dalam memainkan peran sebagai khalifatullah di muka bumi. Ibarat
katalog sebuah produk barang, Alquran adalah guide bagi pengelola alam ini sehinga dapat
berfungsi dengan baik. Maka baik buruknya pengelolaan dan pendayagunaan alam sangat
tergantung kepada tinggi rendahnya intensitas komitmen manusia terhadap petunjuk Alquran.
Karena itu, tafsir dan yang berkaitan dengannya telah mendapat perhatian besar sejak masa awal
perkembangan Islam sampai masa kini hingga masa mendatang mengingat posisi sentral yang
dimilikinya sebagai hudan.
Sejarah Tafsir Klasik
Kendati pada mulanya berkembang secara lisan, tetapi kodifikasi ilmu tafsir telah dimulai sejak
dini. Dalam kitab Thabaqât Ibnu Sa`d (5/216) di sinyalir, sejarawan Musa bin Uqbah dititipi oleh
Kurayb bin Muslim (w 97 H) ‘sepikulan’ onta karangan gurunya, Tarjumân al-Qur`ân, Ibnu
Abbas (w. 68 H). Disebutkan, Ali bin Abdullah bin Abbas (w 118 H) berkali-kali berkirim surat
kepada Musa bin `Uqbah untuk mendapatkan kumpulan karya ayahnya guna ditulis ulang. Fuat
Sezgin, pakar bibliografi turats Islam, mengomentari, “tidak ada yang menghalangi untuk
mengatakan Ibnu Abbas telah menulis sendiri karya tafsirnya yang sekarang banyak berserakan
dalam bentuk kutipan di buku-buku tafsir”.
Buah pikiran Ibnu Abbas dalam tafsir banyak yang sampai kepada kita melalui riwayat yang
shahih, terutama yang melalu jalur Ali bin Abi Thalhah. Dalam tafsir Thabary terekam sekitar
1000 riwayat yang melalui jalur ini. Sebagian pakar menilai riwayat tersebut mengandung
kelemahan karena Ali bin Abi Thalhah tidak meriwayatkannya langsung dari Ibnu Abbas. Tetapi
dengan diketahui ‘perantara’ antara Ali bin Abi Thalhah dan Ibnu Abbas seorang yang tsiqah
yaitu Mujahid (w 104 H) dan Ikrimah (w. 105 H) maka tuduhan tersebut menjadi tidak relevan
(Musykil al-Atsar, Thahawi 3/186). Ahmad Ibnu Hanbal sering memuji karya tersebut yang pada
masanya masih dapat dilihat dan tersimpan di Mesir (Tarikh Turats `Arabiy, Sezgin 1/180).
Tafsiran Ibnu Abbas tidak selalu melalui periwayatan dari Rasulullah dan para sahabat (tafsir bil
ma`tsur), tetapi telah ada terobosan baru yaitu tafsir melalui pendekatan bahasa. Nafi` Ibnu alAzraq (w. 65 H), pemimpin Khawarij saat itu, pernah mengajukan 200 kata yang maknanya tidak
jelas dalam Alquran kepada Ibnu Abbas. Dengan piawainya Ibnu Abbas menjelaskan maknanya
satu per satu dengan disertai argumentasi pendukung dari syair Arab jahily.
Tafsir dengan pendekatan bahasa dan logika secara umum semakin berkembang di tangan para
murid Ibnu Abbas seperti Said bin Jubair (w 95 H), Mujahid, Ikrimah, Al-Dhahhak (w 105 H)
dan Atha` bin Rabah (w. 114 H).
Karya-karya mereka, selain memuat hal-hal metafisik dan hikayat masa lalu, lebih terfokus pada
kajian kosa kata Alquran. Upaya-upaya tersebut menjadi pijakan bagi lahirnya banyak literatur
tentang kosa kata Alquran (gharîb al-Qur`ân) pada abad ke 2 hijriah seperti terlihat pada karya
Abban bin Tighlib (w 141 H) dan Zaid bin Ali. Upaya penafsiran secara sintaksis (pendekatan
nahwu) juga telah dilakukan oleh Abu al-Aswad al-Du`aly (w 69 H), Nashr bin Ashim (w 89 H),
Yahya bin Ya`mar (w. 129 H), Isa bin Umar al-Tsaqafiy (w. 149 H) dan Abu Amr bin al-`Ila (w.
145 H). Sayangnya, seperti halnya listeratur Islam klasik lainnya, banyak di antara karya tafsir
yang muncul sejak masa awal sampai pada paruh pertama abad ke 2 hijriah hilang dan tidak

sampai kepada kita kecuali dalam bentuk kutipan di buku-buku ulama yang muncul belakangan.
Beberapa karya penting masa awal yang sampai kepada kita Al-Asybâh wa al-Nazhâ`ir fi AlQur`ân al-Karîm karya Muqatil bin Sulaiman al-Balkhiy (w 150 H), Majâz al-Qur`ân karya Abu
Ubaydah (w 210 H) dan Ma`âny al-Qur`ân karya al-Farra (w 207 H).
Upaya menghimpun kembali karya-karya ulama masa lalu (abad ke 1 dan ke 2 H) telah
dilakukan pada paruh pertama abad ke 3 H. Imam Bukhari, penyusun kitab hadis shahih, dalam
karyanya banyak memuat penjelasan makna kosa kata Alquran yang kemudian dikumpulkan
dalam bentuk buku tersendiri oleh M. Fuad Abdul Baqy. Selain memuat beberapa riwayat tafsir,
meski terkadang tidak disertai sanad, karya Imam Bukhari itu banyak memuat pandangan ulama
bahasa sebelumnya terutama Abu Ubaidah.
Usaha pengumpulan ini mencapai puncaknya dalam karya Imam Thabary (w. 310 H), Jâmi` alBayân fi Ta`wîl al-Qur`ân. Selain memuat tafsir secara utuh karya tersebut juga dilengkapi
dengan sanad periwayatannya. Karena itu tidak berlebihan jika dikatakan karya Thabari tersebut
sebagai puncak karya tafsir bil ma`tsur meskipun juga banyak memuat pandangan ahli bahasa.
Tafsir Thabary dikatakan sebagai karya utuh tafsir karena pada umumnya karya yang muncul
sampai pada akhir abad ke 4 H lebih menekankan pada satu kajian tertentu semisal Gharîb alQur`ân dan Musykil al-Qur`ân karya Ibnu Qutaybah (w 276 H), Fadhâ`il al-Qur`ân karya Abi
Ubayd al-Qasim bin Salam (w 224 H), Ma ittafaqa lafzhuhu wa ikhtalafa ma`nâhu min al-Qur`ân
al-Majîd karya al-Mubarrad (w 285 H), Al-Nasikh wa al-Mansûkh karya Abu Ja`far al-Nahhas
(w 338 H), dan juga tidak menafsirkan seluruh ayat seperti terlihat pada karya al-Zajjaj (w 311
H), Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu dan Abu al-Laits al-Samarqandiy (w 373 H), Tafsir al-Qur`ân.
Tradisi periwayatan dalam tafsir model Thabariy kemudian diikuti selanjutnya pada abad ke 5 H
oleh al-Tsa`labiy (w 427 H) dalam karyanya al-Kasyf wa al-Bayân dan al-Wahidiy (w 468 H)
yang memiliki tiga karya tafsir; al-Wajîz, al-Wasîth dan al-Basîth.
Catatan negatif yang sering diberikan kepada model tafsir periwayatan adalah bercampurnya
antara riwayat yang shahih dengan yang dha`îf (lemah) bahkan mawdhu` (palsu). Tak ubahnya
mereka seperti pencari kayu bakar di malam hari (hâthib laylin) yang tidak bisa membedakan
antara ular dan batang kayu bakar. Karena itu pada awal abad ke 6 H, seorang pakar hadis, alBaghawiy (w 510 H) mencoba membersihkan karya al-Tsa`labiy yang dinilainya cukup banyak
memuat informasi tafsir masa lalu dari dalam karyanya Ma`âlim al-Tanzîl. Selain memuat
pikiran tafsirnya, al-Baghawi mendasari banyak tafsirannya dari karya Tsa`labiy, al-Kasyf wa alBayân. Karya Al-Baghawiy tersebut kemudian diringkas pada awal abad ke 8 H oleh Imam alKhazin (w 725 H) dalam karyanya Lubâb al-Ta`wîl. Kepribadian al-Khazin sebagai seorang sufi
yang menyenangi kisah-kisah aneh dalam nasihat-nasihatnya membuatnya tertarik untuk
menukil kembali kisah-kisah yang ditulis Tsa`labiy dan telah dibuang oleh al-Baghawiy dari
karyanya.
Di sisi lain penafsiran dengan pendekatan bahasa yang lebih rasional berkembang di kalangan
mu`tazilah melalui tokoh-tokohnya seperti Abu Ishaq al-Nazhzham (w 231 H), al-Jahizh (w 255
H), dan mencapai puncaknya dalam karya Zamakhsyari (w 538 H), Al-Kasysyâf.

Jika tafsir Zamakhsyari muncul dari belahan timur dunia Islam saat itu, di belahan barat,
tepatnya Andalusia, muncul karya tafsir yang tidak kalah kuatnya yaitu Al-Muharrar al-Wajîz
karya Ibnu Athiyyah (w 546 H). Selain menghimpun banyak riwayat tafsir dan mengkritisinya,
karya Ibnu Athiyyah pun cukup kuat dalam pendekatan bahasa dan logika.
Pada abad ke 6 H karya Zamakhsyari mendapat tempat terhormat di kalangan umat Islam.
Pesona keindahan balaghah Aquran yang mewarnai tafsir Zamakhsyari membuat banyak orang
terkesima dan tertarik untuk mengkajinya sehingga lahir beberapa karya yang berkhidmat
kepadanya. Bentuk kajian tersebut antara lain membersihkan pengaruh aliran mu`tazilah yang
ada di dalamnya seperti dilakukan oleh Ibnu al-Munayyir (w 683 H) dalam ‘al-Intishâf fi mâ
tadhamanahu al-Kasysyâf min al-I`tizâl, atau menjelasakan kata atau ungkapan sulit yang ada di
dalamnya seperti terlihat dalam karya Quthbuddin al-Tahtaniy (w. 766 H) dan al-Thibiy (w. 786
H), Futûh al-Ghayb fi al-Kasyf `a Qinâ` al-Rayb yang kemudian diringkas lagi oleh Al-Taftâzani
(w 792 H) dalam hâsyiyah-nya.
Sementara pakar menduga, kelahiran karya al-Raziy (w 604 H), Mafâtîh al-Ghayb atau al-Tafsîr
al-Kabîr, yang mewakili ulama ahlussunnah, juga dilatarbelakangi oleh pesona al-Kasysyaf.
Khawatir umat terpengaruh oleh muatan i`tizâl di balik pesona keindahan balaghah, al-Razi
menyusun karyanya tersebut dengan mengembangkan uraian balaghah Zamakhsyari dan
memberi warna sunniy dalam beberapa masalah yang menyangkut akidah dan ilmu kalam.
Tak ayal kedua karya tersebut kemudian menjadi karya yang sangat kuat sehingga mendasari
banyak karya setelahnya. Sebut saja misalnya Anwâr al-Tanzîl karya al-Baydhawiy (w 685 H).
Seperti kebanyakan karya yang muncul sejak awal abad ke 7 H Baidhawi menulis karyanya
secara ringkas, tetapi memuat keindahan pesona balaghah Alquran seperti dalam al-Kasysyâf dan
mewakili aliran sunniy asy`ari yang mencapai puncak kematangannya saat itu di tangan alGhazali, Imam al-Haramain, dan al-Raziy. Penjelasan makna kata, kalimat dan ungkapan
Alquran didapatinya dari al-Kasysyâf, sementara uraian hikmah Alquran, filsafat, pokok-pokok
akidah dan syariah dirangkum dari Mafâtîh al-Ghayb. Al-Baidhawi berhasil melakukan itu
dengan sangat memuaskan.
Dominasi Sunni di dunia Islam saat itu membuat karya al-Baidhawi menjadi sangat populer.
Boleh dikata, karya al-Baidhawi lah yang membuat karya Zamakhsyari terus mendapat tempat di
hati muslim sunni. Sebagai karya yang cukup kuat, Anwâr al-Tanzîl melahirkan banyak karya
dalam bentuk syarh dan hâsyiyah. Sampai pada masa Mulla Katib al-Jalabiy (terkenal dengan
sebutan Haji Khalifah/ w. 1017 H), penyusun bibliografi literatur Islam (Kasyf al-Zhunûn)
tercatat 50 karya hasyiyat atas karya al-Baydhawi tersebut. Sebut saja misalnya Hâsyiyat Syeikh
Zâdah (w 951 H), Hâsyiyat Ibnu Tamjid (w 880 H), Nawâhid al-Abkâr karya al-Suyuthi dan
lainnya. Jika ditambah dengan karya hasyiyah yang muncul setelah Kasyf al-Zhunûn, seperti
Hâsyiyat Al-Siyalakuti (w. 1067 H), Hâsyiyat al-Syihab (w 1069 H) yang berjudul `Inâyat alQâdhi wa Kifâyat al-Râdhi dan Hâsyiyat al-Qunawiy (w 1169 H) maka paling tidak terdapat 53
hasyiyah yang ditulis untuk menjelaskan karya al-Baidhawi tersebut.
Kemiripan antara karya Zamakhsyari dan Baidhawi dapat dilihat dengan membandingan
hasyiyat keduanya. Imam Suyuthi yang menulis hasyiyat atas karya al-Baidhawi dalam karyanya

banyak menukil penjelasan Al-Thibiy dan Al-Taftazaniy yang menulis hasyiyat atas karya
Zamakhsyari.
Tradisi meringkas dan mensyarah karya-karya terdahulu masih terus berlanjut di belahan timur
dunia Islam sampai akhir abad ke 9 H dan seterusnya. Dengan dominasi Dinasti Ottoman tradisi
tersebut melebar sampai ke Persia dan Turki. Seorang ulama saat itu yang menguasai tiga
bahasa; Arab, Persi dan Turki, Abu Al-Su`ud (w. 982 H) melanjutkan tradisi tersebut dengan
menulis Irsyâd al-`Aql al-Salîm ilâ Mazâyâ al-Kitâb al-`Azhîm. Karya tafsir tersebut mengikuti
metode yang dikembangkan dalam karya Zamakhsyari dan Baidhawi.
Tradisi keilmuan yang berbeda berkembang di belahan barat dunia Islam seperti Andalusia,
Tunisia, Fas, Granada dan lainnya. Jika di timur yang berkembang adalah syarah dan komentar
(ta`liq/hasyiyat) maka di barat tradisi anilitik tanpa melupakan uraian kata dan ungkapan
berkembang dengan baik. Di antara karya tafsir yang muncul di sana adalah karya Ibnu Arfah (w
803 H) dan al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur`ân karya al-Qurthubiy (w 671 H).
Pada masa Ottoman, sampai awal abad ke 13 H literatur tafsir yang mendominasi dunia Islam
dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian; pertama: tafsir ilmiah sunni yang diwakili oleh tafsir
al-Baidhawi dan Abu Su`ud; kedua : tafsir ilmiah syiah seperti karya Al-Thusi, al-Qummiy dan
al-Thabarsiy (Majma` al-Bayân), ketiga : tafsir sufi yang tidak terikat dengan istilah teknis
ilmiah dan bahasa yang diwakili oleh Rûh al-Bayân karya Ismail Haqqi al-Barsawiy. Ketiga
tradisi keilmuan; sunnah, syiah dan sufi tersebut mempengaruhi kehidupan Al-Alusiy (w. 1270
H) yang melahirkan karya Rûh al-Ma`âniy. Suatu karya yang cukup kuat dengan menghimpun
ketiga tradisi keilmuan yang berkembang pada masa Ottoman. Al-Alusi berhasil menunjukkan
kemampuan intelektualnya dalam menggali pesan-pesan Alquran dengan perangkat keilmuan
yang memadai, selain juga menampilkan kepribadian sufi dalam dirinya dalam bentuk capaian
makna-makna isyarat di balik lafal Alquran.
Sampai pada al-Alusi penafsiran Alquran lebih merupakan suatu masalah akademis. Memahami
sebuah tafsir memerlukan pengetahuan yang detil terhadap kata-kata teknis dan istilah-istilah
bahasa Arab, hukum dan dogma, sunah Nabi dan para Sahabat serta bigrafi Nabi. Tafsir-tafsir
Alquran merupakan ensiklopedi-ensiklopedi dari ilmu-ilmu tersebut atau lebih merupakan
kutipan dari ensiklopedi tersebut.
Tafsir di Era Modern
Abad ke 14 H merupakan titik awal dalam sejarah kebangkitan umat Islam secara umum. Bentuk
penafsiran yang terkesan akademis dianggap tidak lagi mampu menjawab tantangan umat saat
itu. Adalah Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh yang pertama kali menyerukan
perlunya pemahamaan baru dalam kehidupan beragama. Abduh umpamanya mengkritik karyakarya tafsir terdahulu dengan mengatakan, “Hâdzâ lâ yanbaghi an yusammâ tafsîran, wainnamâ
dharbun minattamrin fil funûn kannahwi wal ma’âni waghayrihim (Tafsir al-Manar,1/24).
Menurut Abduh, “Pada hari akhir nanti Allah tidak menanyakan kita mengenai pendapatpendapat para mufasir dan tentang bagaimana mereka memahami Alquran. Tetapi Ia akan
menanyakan kepada kita kitab-Nya yang Ia wahyukan untuk membimbing dan mengatur kita”.
Abduh berpendapat, yang dibutuhkan oleh umat adalah pemahaman kitab suci sebagai sebuah

hidayah yang membawa kebahagiaan dunia dan akhirat (Tafsir al-Manar,1/24). Dengan begitu,
sudah pasti Alquran harus dapat memberikan solusi bagi permasalahan-permasalahan umat.
Terobosan Abduh dalam tafsir Alquran seperti tercermin dalam karya yang dikumpulkan dan
dilengkapi oleh muridnya Rasyid Ridha boleh dibilang sebagai sesuatu yang baru dan orisinil.
Kebaruannya dapat dilihat pada penekanannya yang baru dalam melihat Alquran, yakni sebagai
sumber hidayah, petunjuk keagamaan dan spritual. Hemat penulis, pandangan Abduh yang
menekankan perlunya rekonstruksi pemahaman Alquran, sedikit banyaknya, dipengaruhi oleh
keberhasilan gerakan renaissance yang menitikberatkan pada pemahaman ulang terhadap kitab
suci. Di sinilah terdapat titik temu gerakan pembaruan di Barat dan Timur.
Seruan Abduh tersebut mendapat sambutan hangat dari para reformis islam. Secara umum
terdapat beberapa kecenderungan (trend) dan metodologi dalam tafsir modern. Kecenderungan
dimaksud, yang dalam bahasa Arab disebut Ittijâh, adalah kumpulan pandangan dan pemikiran
yang mewarnai sebuah karya tafsir, sekaligus mencerminkan latar belakang intelektual
penafsirnya. Dengan kata lain, kesan umum tentang pemikiran penulis. Tafsir Thabari sering
diklasifikasikan dalam kategori bi-l-Ma’tsur, padahal tidak sedikit kita temukan penggunaan
nalar dalam karya tersebut. Al-Kasysyâf, karya Zamakhsyari, sering disebut bercorak tafsir aliran
atau dogmatis seperti kata I. Godziher. Padahal Zamkhsyari, seperti dikatakan Jansen, dengan
karyanya itu dapat disebut sebagai tokoh yang menyempurnakan analisis sintaksis terhadap
Alquran setelah Abu Ubaydah, peletak dasar tafsir filologi modern. Ini menjelaskan bahwa
klasifikasi yang sering didengar itu hanya sekadar kesan umum yang ditangkap dari
kecenderungan penulisnya. Sedangkan metodologi yang dimaksud di atas adalah cara yang
digunakan mufasir untuk mewujudkan kecenderungan tadi. Dengan kata lain wadah yang
berisikan kecenderungan pemikiran mufasir. Dua istilah ini sering dipahami rancu dalam
beberapa kajian tafsir.
A. Beberapa Tren Penafsiran Modern
I.Goldziher dalam karyanya Richtungen der Islamischen Koranauslegung, mengasumsikan ada
lima kecenderungan dalam penafsiran Alquran; (1) penafsiran dengan bantuan hadits Nabi dan
para Sahabatnya; (2) penafsiran dogmatis; (3) penafsiran mistik; (4) Penafsiran sektarian; (5)
penafsiran modernis. Goldziher dalam karyanya itu belum sempat membahas tren yang
berkembang pascaAbduh. J. Jomier dalam beberapa karyanya juga belum dapat membuat potret
utuh tentang penafsiran modern. Demikian pula J.M.S. Baljon dalam karyanya, Modern Muslim
Koran Interpretation. Sebuah studi yang paling sukses dalam mengungkap kecenderungan tafsir
modern dapat dilihat pada karya Iffat. M. Syarkawi, Ittijâhât al-Tafsîr fil ‘Ashril Hadîts.
Menurutnya tafsir modern yang disebutnya sebagai tafsir praktis, memiliki tiga kecenderungan
utama; (1) sosial kemasyarakatan (ittijâh ijtimâ’iy); (2) tafsir saintifik (ittijâh ‘ilmi); (3)
interpretasi filologik dan sastra (ittijâh adabiy). Kategorisasi yang sama juga dilakukan oleh
J.J.G. Jansen dalam karyanya, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt, dan DR. M.
Ibrahim Syarif dalam karyanya, Ittijâhât al-Tajdîd fi tafsir al-Qur’ân al-Karim fî Mishr.
A.1. Tren Sosial Kemasyarakatan

Problem utama yang dihadapi umat islam di awal abad ini, setelah mengalami kemunduran dan
terpecah belah, adalah mengatur siasat untuk melawan dominasi Barat dalam berbagai sektor
kehidupan; militer, ekonomi dan budaya. Sudah barang tentu diperlukan cara pandang baru
dalam melihat kehidupan. Diharapkan umat islam dapat memilih dan memilah produk nilai dan
norma kehidupan modern. Kritik intrinsik (naqd dzâtiy) ini mengharuskan para reformis islam
untuk mengkaji ulang Alquran dan sunnah. Hal yang sama juga dilakukan para reformis islam
dalam sepanjang sejarah setiap kali umat menghadapi tantangan, baik dari dalam maupun luar.
Apa yang dilakukan mufasir modern sebenarnya hanyalah kepanjangan dari karya-karya mufasir
klasik. Bedanya, mufasir klasik, seperti dikatakan Iffat, dalam banyak hal sering menggunakan
pendekatan filosofis dalam menghadapi tantangan zamannya. Sementara mufasir modern lebih
menekankan pada gagasan-gagasan praktis yang langsung menyentuh persoalan umat. Yang
patut dikagumi, para mufasir modern berhasil mengkompromikan temuan-temuan mufasir klasik
dan mengemasnya dengan baik sehingga tepat dan jitu dalam menyelesaikan masalah. Tematema politik, persatuan, ekonomi, dan masalah-masalah sosial lainnya kerap kali ditemukan
dalam karya-karya seperti Abduh, Rasyid Ridha, al-Maraghy, Syaltout dan lainnya.
Upaya tersebut paling tidak telah mampu menyaring dan mengerem laju peradaban Barat. Bila
tidak, dapat dibayangkan peradaban islam akan kehilangan identitasnya. Di sisi lain, usaha
tersebut berhasil mengobati kebimbangan umat dalam dua hal; produk baru peradaban Barat
yang sangat asing bagi umat, dan keinginan hati untuk mengembalikan kejayaan turats
peradaban islam. Satu hal yang patut disayangkan, penganut aliran in seringkali terkesan
reaksioner dan lamban dalam mengantisipasi persoalan. Sehingga yang terkesan, hanya
mengekor dan sekadar menjustifikasi gelombang pembaruan yang tengah terjadi.
A.2. Penafsiran Saintifik (ittijah ‘ilmy)
Kecenderungan menafsirkan Alquran dengan teori-teori ilmu pengetahuan sebenarnya telah lama
dikenal. Benihnya bermula pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan
Khalifah al-Ma’mun (w. 853 M) akibat penerjemahan kitab-kitab ilmiah. Kecenderungan ini
muncul sebagai upaya kompromi dalam polemik hubungan antara Alquran dan ilmu
pengetahuan. Karya al-Ghazali, Jawâhir al-Qur’ân, seringkali dikutip dalam membela keabsahan
tafsir ilmiah. Dalam buku kecilnya itu, al-Ghazali mengajarkan bahwa Alquran hanya akan
menjadi jelas bagi mereka yang mempelajari ilmu penegetahuan yang digali darinya. Seseorang
tidak bisa memahami Alquran tanpa pengetahuan tata bahasa Arab dan orang tidak bisa
memahami apa yang dimaksud oleh ayat seperti “dan apabila aku sakit, Dialah yang
menyembuhkan aku”, jika ia tidak mengerti kedokteran.
Pro-kontra tentang tafsir ilmiah selalu terjadi di kalangan tokoh-tokoh klasik dan modern. Selain
al-Ghazali, al-Razi, al-Mursi dan Al-Suyuthi juga dikelompokkan sebagai pendukung tafsir ini.
Berseberangan dengan mereka, al-Syathibi menentang keras penafsiran model seperti ini. Dalam
barisan tokoh-tokoh modern, para pendukung tafsir ini seperti, M. Abduh, Thanthawi Jauhari,
Hanafi Ahmad berseberangan dengan tokoh-tokoh seperti M. Syaltout, Amin al-Khuli dan Abbas
Aqqad.

Polemik-polemik tersebut menghasilkan formula kompromistik yang mengatakan bahwa
Alquran memang berisi kebenaran ilmu pengetahuan. Namun demikian Alquran tidak bisa
diperlakukan sebagai sebuah buku teks ilmu pengetahuan. Alquran lebih merupakan buku
petunjuk (hidayah) daripada teori-teori ilmu. “Memahami ayat-ayat Alquran sesuai penemuanpenemuan baru adalah ijtihad yang baik, selama paham tersebut tidak dipercayai sebagai aqidah
Qur’aniyah dan tidak beretentangan dengan prinsip-prinsip dan ketentuan bahasa”, demikian
Quraish mencoba menengahi.
Munculnya tafsir ilmiah modern, menurut Jansen, berhubungan dengan awal pengaruh Barat
terhadap dunia Arab dan kawasan Muslim. Terlebih-lebih dalam paruh kedua abad kesembilan
belas dunia islam berada di bawah pemerintahan Eropa. Kekuasaan Eropa atas kawasan Arab dan
Muslim ini hanya dimungkinkan oleh superioritas teknologi Eropa. Bagi seorang muslim,
membaca tafsir Alquran bahwa persenjataan dan teknik-teknik asing yang memungkinkan orangorang Eropa menguasai umat islam sebenarnya telah disebut dan diramalkan di dalam Alquran,
bisa menjadi pelipur lara. Inilah yang diungkapkan M. Quraish Shihab sebagai kompensasi
perasaan Inferiority Complex (perasaan rendah diri). Lebih lanjut Quraish menulis, “Tidak dapat
diingkari bahwa mengingat kejayaan lama merupakan obat bius yang dapat meredakan sakit,
meredakan untuk sementara, tetapi bukan menyembuhkannya.”
Pandangan optimistik terhadap tren ini dilontarkan oleh Iffat. Menurutnya, tren ini berusaha
membangun rumah baru bagi peradaban islam setelah umat islam mengalami dualisme budaya
yang tercermin pada sikap dan pemikiran. Dualisme ini melahirkan sikap kontradiktif antara
mengenang kejayaan masa lalu dan keinginan memperbaiki diri, dengan kekaguman terhadap
peradaban Barat yang hanya dapat diambil sisi materinya saja. Sehingga yang terjadi, budaya di
kawasan Muslim ‘berhati islam, tetapi berbaju Barat’. Upaya mufasir ilmiah pada hakekatnya
ingin membangun kesatuan budaya melalui pola hubungan harmonis antara Alquran dan ilmu
pengetahuan modern yang menjadi simbol peradaban Barat.
A.3. Interpretasi filologik dan sastra (Ittijâh Adaby)
Di awal abad modern, kecenderungan ini sebenarnya telah dimulai oleh penganut tren sosial
kemasyarakatan seperti, M. Abduh, Rasyid Ridha dan al-Maraghy. Tetapi usaha mereka baru
sebatas mengungkap sekilas retorika Alquran, belum dalam bentuk sebuah metode ilmiah. Sebab
menurut mereka tujuan tafsir adalah mewjudkan hidayah Alquran.
Tren ini mencapai puncak kematangannya di tangan Amin al-Khuli. Menurutnya, Alquran harus
diperlakukan sebagai kitab berbahasa Arab yang terbesar (Kitâb al-Arabiyyah al-Akbar). Maka
hak-hak kebahasaannya harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum maksud-maksud lain. Amin
mengatakan bahwa secara ideal studi tafsir harus dibagi dalam dua bagian : (1) kajian sekitar
Alquran, dirâsah hawl al-nash, dan (2) kajian terhadap Alquran itu sendiri, dirâsah fi al-Qur’ân
nafsihi. Kajian sekitar Alquran diarahkan pada aspek sosio historis, geografis, kultural dan
antropologis wahyu. Studi terhadap latar belakang ini tidak jauh berbeda dengan yang
diperkenalkan oleh Noldeke dalam karyanya, Geschichte des Qoran, sebagai “pendekatan
historis tradisional”. Sedangkan yang kedua dimaksudkan pada pelacakan kata-kata semenjak
pertama diturunkan, pemakaiannya dalam Alquran serta sirkulasinya dalam bahasa Arab. Dia
memberi alasan bahwa Alquran datang dengan sebuah pakaian Arab (fî tsaubihi al-arabiy) dan

karena itulah untuk memahami Alquran sesempurna mungkin kita harus mengetahui sejauh
mungkin keadaan bangsa Arab ketika Alquran diturunkan.
Sayyid A. Khalil menilai, sebenarnya gagasan yang disampaikan al-Khuli tidak lain adalah
gagasan yang telah diperkenalkan oeh Schleirmacher yang dikenal sebagai pendekatan
hermeneutik. Khalil tidak berlebihan, sebab al-Khuli adalah sosok yang dikenal banyak
berinteraksi dengan kajian-kajian Barat, khususnya di bidang sastra. Ini tidak berarti pendekatan
tafsir seperti ini berasal dari Barat. Sebab jika ditelusuri pendekatan hermeneutik dalam
mengkaji teks telah berkembang lama sejak awal masa islam. Ibnu Abbas, Abu Ubaydah, alZamakhsyari dan al-Jurjani tidak dapat diragukan lagi kedudukannya sebagai peletak dasar-dasar
filologi dan sintaksis Alquran. Ini membuktikan adanya ta’tsîr dan ta’atstsur positif antara Barat
dan Islam sejak dulu.
Sampai akhir hayatnya, al-Khuli tidak meninggalkan karya utuh sebagai penjabaran atas
metodenya, kecuali beberapa buku kecil hasil ceramahnya di radio yang diberi judul Min Hadyil
Qur’ân. Tetapi murid-muridnya seperti Bintu Syathi dan M.A. Khalfallah berhasil
mempraktekkannya dengan apik dalam beberapa karya yang memberikan kontribusi besar dalam
kajian Alquran modern.
B. Metodologi Penafsiran Modern
Di muka telah disinggung, metode dimaksud adalah cara yang digunakan mufassir untuk
mengungkapkan segenap pandangan dan pikiran yang menjadi kecenderungannya.
Metode yang selama ini digunakan para mufasir sejak masa kodifikasi tafsir, yang oleh
sementara pakar diduga dimulai oleh al-Farra (w.207 H), adalah menafsirkan Alquran ayat demi
ayat sesuai dengan susunannya dalam mushaf. Segala segi yang ‘dianggap perlu’ oleh sang
mufasir diuraikan, bermula dari arti kosa kata, asbab al-Nuzul, munasabah, dan lain-lain yang
berkaitan dengan teks dan kandungan ayat. Metode ini dikenal dengan metode tahlily atau
tajzi’iy dalam istilah Baqir Shadr. Para mufasir klasik umumnya menggunakan metode ini. Kritik
yang sering ditujukan pada metode ini adalah karena diangap menghasilkan pandanganpandangan parsial. Bahkan tidak jarang ayat-ayat Alquran digunakan sebagai dalih pembenaran
pendapat mufasir. Selain itu terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban
tuntas terhadap persoalan-persoalan umat karena terlampau teoritis.
Sampai pada awal abad modern, penafsiran dengan berdasarkan urutan mushaf masih dapat
ditemukan. Tafsir al-Manar, yang dikatakan Ibnu Asyur (JR) sebagai karya trio reformis dunia
islam; Afghani, Abduh dan Ridha, disusun dengan metode tersebut. Demikian pula karya karya
reformis lainnya seperti, al-Qasimi, al-Maraghy, Izzat Darwaza dan Ibnu Asyur. Yang
membedakan karya-karya modern dengan klasik, para mufasir modern tidak lagi terjebak pada
penafsiran-penafsiran teoritis, tetapi lebih bersifat praktis. Jarang sekali ditemukan dalam karya
mereka pembahasan gramatikal yang bertele-tela. Seolah-olah mereka ingin cepat sampai ke
fokus permasalahan yaitu menuntaskan persoalan umat.
Sampai di sini, penulis merasa lebih sreg menyebut metode ini dengan metode maudhi’iy (sesuai
tempat atau posisi ayat yang berurutan). Menyebutnya dengan tahlily, dengan pengertian analisis,
terasa tumpang tindih dengan yang dikenal sebagai metode maudhu’iy (tematis atau topikal).

Sebab karya-karya modern, meski banyak yang disusun sesuai dengan urutan mushaf tidak lagi
mengurai penjelasan secara rinci. Bahkan tema-tema persoalan umat banyak ditemukan tuntas
dalam karya seperti al-Manar. Demikian pula, metode maudhu’iy yang berkembang saat ini
meski jarang menggunakan analisis gramatikal dalan lainnya, juga masih memerlukan analisis
dengan teori-teori ilmu sosial modern misalnya.
Metode kedua yang dikembangkan mufasir modern, seperti telah disinggung, adalah metode
maudhu’iy yang membahas tema-tema pokok dalam suatu surat atau ayat-ayat tertentu.
Embrionya sudah lama muncul sejak diperkenalkan oleh al-Razy, al-Syathiby, Abu Hayyan dan
al-Biqâ’iy. Kesemuanya berpendapat perlunya pemahaman ayat secara utuh. Di samping akan
memunculkan sisi kemukjizatan Alquran, metode ini diharapkan mampu menuntaskan persoalan
umat.
M. Abduh dalam beberapa karyanya telah menekankan kesatuan tema-tema Alquran. Namun
gagasannya tersebut baru diwujudkan oleh murid-muridnya seperti M. Abdullah Diraz (bukan
Darraz) dan Mahmud Syaltout. Pendekatan hermeneutik Barat yang diadopsi al-Khuli dalam
ittijah adaby nya sebenarnya juga menitik beratkan pemahaman kesatuan teks-teks kitab suci. AlKhuli misalnya menyatakan, “Yang ideal adalah menafsirkan Alquran secara tematis, tidak
menurut urutan mushaf.”
Sejauh ini, penulis masih belum melihat pagar-pagar metodologis yang kuat dalam
pengembangan metode ini, khususnya yang dikembangkan Quraish Shihab di IAIN. Sehingga
kritik yang sering dilontarkan kepada metode klasik seperti, ‘tingginya subyektifitas penafsir’,
‘penafsiran yang ‘mengikat” generasi berikut’, ‘sebagai justifikasi pendapat mufasir’ juga akan
dialaminya.
Quraish memberikan ilustrasi metode maudhi’iy (tahlily) sebagai penyajian makanan dalam
bentuk hidangan prasmanan, sedangkan metode maudhu’iy (tematis) diilustrasikan seperti
menyodorkan kepada para tamu sebuah kotak makanan. Yang ingin cepat tentu akan memilih
kotak ketimbang harus memilih makanan di meja prasmanan. Banyak persoalan umat sekarang
menuntut penyelesaian cepat. Maka maudhu’iy tentu lebih tepat. Tetapi yang perlu diingat,
kotak-kotak makanan itu tentunya dibuat sesuai dengan dana yang tersedia dan kemampuan
kateringnya. Yang membaca karya-karya tematis Quraish dan Dawam Raharjo dalam
Ensiklopedi Alquran nya akan dapat merasakan kualitas ‘katering’ masing-masing.
Bentuk lain dari metode penyajian tafsir modern adalah artikel-artikel tafsir yang sering
ditemukan dalam kolom-kolom harian. Di tahun 1959, Abdurahman al-Banna, saudara kandung
Hasan al-Banna, misalnya, banyak menulis dalam harian umum Kairo, al-Jumhuriyya. Dalam
artikel ringkas ini ia menawarkan suatu penafsiran terhadap surah al-Hujurat, di mana Alquran
bicara tentang perselisihan dalam masyarakat muslim. Masing-masing ayat dalam surah ini
dibahas olehnya dalam lebih dari satu artikel. Hal serupa juga sering dijumpai dalam jurnal alManar pimpinan Rasyid Ridha dan Risalat al-Islam pimpinan Syaltout yang mencurahkan pada
persatuan umat islam (Al-Taqrib Bayn al-Madzahib).
Metode ini oleh Sayyed Mursy, dosen penulis di Al-Azhar, disebut dengan maudhu’iy muthlak
(tidak terikat), sedangkan yang terdahulu disebut maudhu’iy muqayyad (terikat). Agaknya ketiga

metode inilah yang banyak digunakan dalam menyajikan pesan-pesan Alquran oleh para mufasir
modern. Wallahua`lam.