Menjaga Integritas Pemilu Melalui Manaje
Menjaga Integritas Pemilu Melalui
Manajemen Rantai Pasok Logistik Pemilu
In any country, the logistics capacity and the availability of skilled human
resources may constrain the available options for electoral system choice, as may the
amount of money available. Even when donor funding is available, issues of the
longterm sustainability of electoral system choice are important. This does not,
however, mean that the most straightforward and least expensive system is always
the best choice. It may well be a false economy, as a dysfunctional electoral system
can have a negative impact on a country’s entire political system and on its
democratic stability(Reily,2010)
Wacana tentang penyederhanaan rekapitulasi surat suara dari TPS ke PPS,
PPS ke PPK, dan PPK ke KPU menjadi dari TPS langsung ke KPU dengan
mekanisme E-Rekap adalah niscaya. Bagaimanapun, keniscayaan itu dapat
terlaksana dengan baik dengan berbagai kondisi. Salah satunya adalah dengan
mempertimbangkan manajemen rantai pasok logistik pemilu. Manajemen logistik
pemilu tidak hanya searah, seperti manajemen logistik pada umumnya. Kekhususan
manajemen logistik pemilu, ada pada proses pengadaan, distribusi, implementasi
proses pencoblosan, rekapitulasi, dan penarikan logistik. Dalam rantai tersebut,
terdapat prinsip prinsip elektoral yang integritasnya dipertaruhkan.
Logistik Pemilu dalam istilah internasional disebut juga sebagai election
material. Bacaan tentang election material atau logistik pemilu ini terkait dengan
pola pembiayaan. Dilain sisi, tema logistik pemilu jarang dibicarakan dalam studi
studi tentang pemilu. Padahal logistik pemilu adalah sarana konversi suara yang
wajib ada dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Tujuan pengelolaan logistik, tepat
waktu, tepat guna, tepat sasaran, dan tepat kualitas bertujuan untuk membangun
pemilu yang ber integritas dan memiliki legitimasi kuat. Tepat sasaran artinya, tidak
ada kesalahan kirim logistik, tepat kualitas artinya seluruh logistik pemilu memiliki
spesifikasi terstandar dan tidak kurang dari kebutuhan yang direncanakan
sebelumnya. Sehingga perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi logistik
secara terus kontinyu harus tetap dilaksanakan sepanjang tahun meski pemilu tidak
sedang berlangsung. Tanggung jawab perencanaan sampai pemeliharaan logistik
pemilu ada di tingkat KPU RI, tetapi secara de–facto, logistik pemilu disimpan,
digunakan, dan dipelihara di tingkatan KPU Kabupaten kota.
Evaluasi pelaksanaan pemilu tahun 2014 yang dilaksanakan oleh ERI
(Electoral Research Indonesia) menyebutkan, untuk manajemen dan pengelolaan
pemilu legislatif pada saat itu, KPU melakukan pekerjaan yang amat rumit.
Diperlukan 5 juta orang sebagai penyelenggara pemilu. Sementara dari segi teknis
kepemiluan, KPU harus menyediakan 33 (tiga puluh tiga) Jenis surat suara untuk
memilih calon anggota DPD, 77 Jenis surat suara untuk memilih calon anggota DPR
tingkat nasional, 259 jenis surat suara untuk menghasilkan anggota DPRD terpilih di
tingkat propinsi dan 2.101 jenis surat suara untuk memilih anggota DPRD kota /
kabupaten. Meski pengelolaan logistik pada pemilu nasional anggota legislatif dari
tingkat Pusat sampai daerah ini menunjukan tingkat kerumitan yang begitu tinggi,
IRE mengakui bahwa KPU telah mengalami kemajuan pesat dalam perbaikan
mekanisme proses validasi surat suara dan efisiensi dalam penggunaan bilik dan kota
suara lama.
Beberapa catatan IRE tentang lemahnya manajemen logistik KPU
berdampak signifikan dalam pelaksanaan pemilu tahun 2014. Di NTT misalnya,
menjadi salah satu propinsi yang sering mengalami keterlambatan pengiriman
logistik dikarenakan kondisi tipologi dan topografi yang lebih sulit daripada di pulau
jawa. Ketersediaan kapasitas gudang yang terbatas. Terbatasnya ruang penyimpanan,
dan lemahnya manajemen pergundangan. Hal ini termasuk sumberdaya manusia
yang tidak siap dalam proses pengelolaan logistik yang begitu rumit. Surat suara
tertukar ini terjadi hampir terjadi di seluruh daerah penelitian IRE, meski
prosentasenya berbeda-beda. Di DIY misalnya, surat suara untuk kabupaten Bantul
tertukar dengan kab. Sleman. Sedangkan di Jatim, surat suara tertukar terjadi di 10
kabupaten kota yaitu; Sampang, sumenep, banyuwangi, bojonegoro, Surabaya,
Nganjuk, Gresik, sidoarjo, Pacitan, lumajang, dan mojokerto. Di Jawa tengah dari 22
kabupaten kota yang menyelenggarakan Pilkada ada sekitar 113 TPS yang surat
suaranya tertukar.1
1 Evaluasi Pemilu Legislatif 2014 oleh Electoral Research Indonesia (Eri) di Aceh, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, DKI Jakarta, DI Jogjakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara
Timur, dan Jawa Timur. Jakarta, 2015
Secara administratif, logistik pemilu adalah perwujudan dari perencanaan
logistik pemilu dilaksanakan secara berjenjang, dengan mengindahkan peraturan
KPU dan petunjuk teknis pengadaan, yang telah diatur oleh KPU RI untuk
menghindari kesalahan teknis akibat tidak standarnya logistik pemilu yang sedang
berlangsung. Penerimaan logistik pemilu yang tidak bersamaan datangnya adalah
salah satu kelemahan pengadaan logistik dengan sistem berjejang, sehingga
mengganggu proses sortir, pengelolaan, dan distribusi. Sementara itu, kendala
geografis dan metode penyampaian logistik yang terencana dengan baik,
menimbulkan kerawanan dalam proses distribusi yang sangat tergantung pada alam
dan cuaca.
Untuk menyelesaikan kesalahan teknis pengelolaan logistik pemilu, KPU RI
mengadakan PSU (Pemungutan Suara Ulang). Kendala yang muncul pada saat PSU
adalah, pemilih yang hadir sangat terbatas, dan jumlahnya jauh berkurang. Hal
tersebut amat berpengaruh pada legitimasi hasil pemilu. Di kabupaten Sampang
misalnya; meski KPU kabupaten Sampang mendorong pemilih untuk hadir pada
PSU, pemilih tetap saja mangkir. Sumenep tercatat sebagai daerah yang warganya
beramai-ramai menolak pelaksanakaan PSU. kasus-kasus seperti ini mengakibatkan
dugaan bahwa KPU menjadi penyelenggara yang tidak profesional dan tidak efisien.
Proses pendaftaran pemilih pemilu juga berperan besar dalam penentuan
jumlah logistik. Jumlah daftar pemilih dan klasifikasi pemilih yang di tentukan oleh
KPU RI. Pemilih terdaftar dalam DPT, masih ditambah lagi dengan pemilih
tambahan, pemilih khusus tambahan, dan seterusnya tidak ternyata tidak sejalan
dengan konsep perencanaan logistik yang tepat sehingga di beberapa daerah ada yang
mengalami kekurangan surat suara, dan berpotensi menimbulkan konflik horizontal
yang mengancam gagalnya pelaksanaan pemilu di daerah tersebut.
Untuk melakukan penyederhanaan sistem distribusi logistik, KPU RI
mengembangkan sistem informasi logistik, yang dilakukan melalui kerjasama KPU
dengan tim dari ITB. Sistem ini berfungsi sejak di hulu (Perencanaan) sampai hilir
(KPU Kabupaten dan Kota. Aplikasi Silog ini berguna untuk meningkatkan
pengelolaan logistik mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.
Dengan berfungsinya Silog Pemilu, pengadaan dan distribusi logistik Pemilu
diharapkan tepat jumlah, tepat jenis, tepat waktu, tepat sasaran, tepat kualitas, dan
hemat anggaran. Pemberian akses masyarakat terhadap data dan informasi yang ada
Sistem Logistik (Silog) Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan bentuk keterbukaan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam pengadaan dan distribusi logistik Pemilihan
Umum (Pemilu). Publik dapat melihat jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS)
untuk setiap provinsi dan kabupaten/kota, jumlah Panitia Pemungutan Suara (PPS),
Panitia Pemilhan Kecamatan (PPK), pemilh, suarat suara, tinta sidik jari, formulir,
kotak suara dan bilik suara” 2 karena itu aplikasi Silog ini amat bermanfaat sebagai
salah satu alat untuk mengukur akuntabilitas KPU di bidang administrasi logsitik.
Sayangnya, bagi penyelenggara pemilu di tingkat kota dan kabupaten.
Logistik pemilu dan Proses Rekapitulasi hasil Pemilu bukan sekedar persoalan angka
di bit-bit komputer. Sistem informasi mungkin menyederhanakan proses. Tetapi
logistik yang jumlahnya ribuan dan boros tempat adalah masalah lain yang harus
dipikirkan oleh pembuat kebijakan rantai pasok logistik di tingkat pusat.
Proporsionalitas sumberdaya manusia dan anggaran pemilu adalah tantangan yang
harus dihadapi oleh KPU di tingkat kota dan kabupaten dalam pengelolaan logistik
pemilu.
Menyederhanakan proses rantai pasok logistik dengan memotong rantai
penarikan logistik pemilu dari TPS ke PPS lalu ke PPK dan PPK ke KPU. Dan
merubahnya menjadi langsung dari TPS ke KPU di tingkat kabupaten kota dengan
alasan efisiensi anggaran dapat menjadi bumerang bagi penyelenggara pemilu.
Seperti disebutkan oleh Reily (2010) dalam bukunya Electoral System Design, bahwa
penyederhanaan sistem logistik dan administratif dalam pemilu kadang bukan pilihan
terbaik, karena bisa mengancam integritas penyelenggara pemilu. Logistik Pemilu
adalah salah satu komponen penting dalam proses konversi suara Pemilih menjadi
Kursi dalam Pemilu. Tanpa logistik pemilu yang terpenuhi, terdistribusi dan disimpan
dengan baik, pelaksanaan pemilu terancam gagal dan tidak memiliki legitimasi yang
kuat di mata publik.
2 Renstra KPU tahun 2015-2019
Manajemen Rantai Pasok Logistik Pemilu
In any country, the logistics capacity and the availability of skilled human
resources may constrain the available options for electoral system choice, as may the
amount of money available. Even when donor funding is available, issues of the
longterm sustainability of electoral system choice are important. This does not,
however, mean that the most straightforward and least expensive system is always
the best choice. It may well be a false economy, as a dysfunctional electoral system
can have a negative impact on a country’s entire political system and on its
democratic stability(Reily,2010)
Wacana tentang penyederhanaan rekapitulasi surat suara dari TPS ke PPS,
PPS ke PPK, dan PPK ke KPU menjadi dari TPS langsung ke KPU dengan
mekanisme E-Rekap adalah niscaya. Bagaimanapun, keniscayaan itu dapat
terlaksana dengan baik dengan berbagai kondisi. Salah satunya adalah dengan
mempertimbangkan manajemen rantai pasok logistik pemilu. Manajemen logistik
pemilu tidak hanya searah, seperti manajemen logistik pada umumnya. Kekhususan
manajemen logistik pemilu, ada pada proses pengadaan, distribusi, implementasi
proses pencoblosan, rekapitulasi, dan penarikan logistik. Dalam rantai tersebut,
terdapat prinsip prinsip elektoral yang integritasnya dipertaruhkan.
Logistik Pemilu dalam istilah internasional disebut juga sebagai election
material. Bacaan tentang election material atau logistik pemilu ini terkait dengan
pola pembiayaan. Dilain sisi, tema logistik pemilu jarang dibicarakan dalam studi
studi tentang pemilu. Padahal logistik pemilu adalah sarana konversi suara yang
wajib ada dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Tujuan pengelolaan logistik, tepat
waktu, tepat guna, tepat sasaran, dan tepat kualitas bertujuan untuk membangun
pemilu yang ber integritas dan memiliki legitimasi kuat. Tepat sasaran artinya, tidak
ada kesalahan kirim logistik, tepat kualitas artinya seluruh logistik pemilu memiliki
spesifikasi terstandar dan tidak kurang dari kebutuhan yang direncanakan
sebelumnya. Sehingga perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi logistik
secara terus kontinyu harus tetap dilaksanakan sepanjang tahun meski pemilu tidak
sedang berlangsung. Tanggung jawab perencanaan sampai pemeliharaan logistik
pemilu ada di tingkat KPU RI, tetapi secara de–facto, logistik pemilu disimpan,
digunakan, dan dipelihara di tingkatan KPU Kabupaten kota.
Evaluasi pelaksanaan pemilu tahun 2014 yang dilaksanakan oleh ERI
(Electoral Research Indonesia) menyebutkan, untuk manajemen dan pengelolaan
pemilu legislatif pada saat itu, KPU melakukan pekerjaan yang amat rumit.
Diperlukan 5 juta orang sebagai penyelenggara pemilu. Sementara dari segi teknis
kepemiluan, KPU harus menyediakan 33 (tiga puluh tiga) Jenis surat suara untuk
memilih calon anggota DPD, 77 Jenis surat suara untuk memilih calon anggota DPR
tingkat nasional, 259 jenis surat suara untuk menghasilkan anggota DPRD terpilih di
tingkat propinsi dan 2.101 jenis surat suara untuk memilih anggota DPRD kota /
kabupaten. Meski pengelolaan logistik pada pemilu nasional anggota legislatif dari
tingkat Pusat sampai daerah ini menunjukan tingkat kerumitan yang begitu tinggi,
IRE mengakui bahwa KPU telah mengalami kemajuan pesat dalam perbaikan
mekanisme proses validasi surat suara dan efisiensi dalam penggunaan bilik dan kota
suara lama.
Beberapa catatan IRE tentang lemahnya manajemen logistik KPU
berdampak signifikan dalam pelaksanaan pemilu tahun 2014. Di NTT misalnya,
menjadi salah satu propinsi yang sering mengalami keterlambatan pengiriman
logistik dikarenakan kondisi tipologi dan topografi yang lebih sulit daripada di pulau
jawa. Ketersediaan kapasitas gudang yang terbatas. Terbatasnya ruang penyimpanan,
dan lemahnya manajemen pergundangan. Hal ini termasuk sumberdaya manusia
yang tidak siap dalam proses pengelolaan logistik yang begitu rumit. Surat suara
tertukar ini terjadi hampir terjadi di seluruh daerah penelitian IRE, meski
prosentasenya berbeda-beda. Di DIY misalnya, surat suara untuk kabupaten Bantul
tertukar dengan kab. Sleman. Sedangkan di Jatim, surat suara tertukar terjadi di 10
kabupaten kota yaitu; Sampang, sumenep, banyuwangi, bojonegoro, Surabaya,
Nganjuk, Gresik, sidoarjo, Pacitan, lumajang, dan mojokerto. Di Jawa tengah dari 22
kabupaten kota yang menyelenggarakan Pilkada ada sekitar 113 TPS yang surat
suaranya tertukar.1
1 Evaluasi Pemilu Legislatif 2014 oleh Electoral Research Indonesia (Eri) di Aceh, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, DKI Jakarta, DI Jogjakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara
Timur, dan Jawa Timur. Jakarta, 2015
Secara administratif, logistik pemilu adalah perwujudan dari perencanaan
logistik pemilu dilaksanakan secara berjenjang, dengan mengindahkan peraturan
KPU dan petunjuk teknis pengadaan, yang telah diatur oleh KPU RI untuk
menghindari kesalahan teknis akibat tidak standarnya logistik pemilu yang sedang
berlangsung. Penerimaan logistik pemilu yang tidak bersamaan datangnya adalah
salah satu kelemahan pengadaan logistik dengan sistem berjejang, sehingga
mengganggu proses sortir, pengelolaan, dan distribusi. Sementara itu, kendala
geografis dan metode penyampaian logistik yang terencana dengan baik,
menimbulkan kerawanan dalam proses distribusi yang sangat tergantung pada alam
dan cuaca.
Untuk menyelesaikan kesalahan teknis pengelolaan logistik pemilu, KPU RI
mengadakan PSU (Pemungutan Suara Ulang). Kendala yang muncul pada saat PSU
adalah, pemilih yang hadir sangat terbatas, dan jumlahnya jauh berkurang. Hal
tersebut amat berpengaruh pada legitimasi hasil pemilu. Di kabupaten Sampang
misalnya; meski KPU kabupaten Sampang mendorong pemilih untuk hadir pada
PSU, pemilih tetap saja mangkir. Sumenep tercatat sebagai daerah yang warganya
beramai-ramai menolak pelaksanakaan PSU. kasus-kasus seperti ini mengakibatkan
dugaan bahwa KPU menjadi penyelenggara yang tidak profesional dan tidak efisien.
Proses pendaftaran pemilih pemilu juga berperan besar dalam penentuan
jumlah logistik. Jumlah daftar pemilih dan klasifikasi pemilih yang di tentukan oleh
KPU RI. Pemilih terdaftar dalam DPT, masih ditambah lagi dengan pemilih
tambahan, pemilih khusus tambahan, dan seterusnya tidak ternyata tidak sejalan
dengan konsep perencanaan logistik yang tepat sehingga di beberapa daerah ada yang
mengalami kekurangan surat suara, dan berpotensi menimbulkan konflik horizontal
yang mengancam gagalnya pelaksanaan pemilu di daerah tersebut.
Untuk melakukan penyederhanaan sistem distribusi logistik, KPU RI
mengembangkan sistem informasi logistik, yang dilakukan melalui kerjasama KPU
dengan tim dari ITB. Sistem ini berfungsi sejak di hulu (Perencanaan) sampai hilir
(KPU Kabupaten dan Kota. Aplikasi Silog ini berguna untuk meningkatkan
pengelolaan logistik mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.
Dengan berfungsinya Silog Pemilu, pengadaan dan distribusi logistik Pemilu
diharapkan tepat jumlah, tepat jenis, tepat waktu, tepat sasaran, tepat kualitas, dan
hemat anggaran. Pemberian akses masyarakat terhadap data dan informasi yang ada
Sistem Logistik (Silog) Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan bentuk keterbukaan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam pengadaan dan distribusi logistik Pemilihan
Umum (Pemilu). Publik dapat melihat jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS)
untuk setiap provinsi dan kabupaten/kota, jumlah Panitia Pemungutan Suara (PPS),
Panitia Pemilhan Kecamatan (PPK), pemilh, suarat suara, tinta sidik jari, formulir,
kotak suara dan bilik suara” 2 karena itu aplikasi Silog ini amat bermanfaat sebagai
salah satu alat untuk mengukur akuntabilitas KPU di bidang administrasi logsitik.
Sayangnya, bagi penyelenggara pemilu di tingkat kota dan kabupaten.
Logistik pemilu dan Proses Rekapitulasi hasil Pemilu bukan sekedar persoalan angka
di bit-bit komputer. Sistem informasi mungkin menyederhanakan proses. Tetapi
logistik yang jumlahnya ribuan dan boros tempat adalah masalah lain yang harus
dipikirkan oleh pembuat kebijakan rantai pasok logistik di tingkat pusat.
Proporsionalitas sumberdaya manusia dan anggaran pemilu adalah tantangan yang
harus dihadapi oleh KPU di tingkat kota dan kabupaten dalam pengelolaan logistik
pemilu.
Menyederhanakan proses rantai pasok logistik dengan memotong rantai
penarikan logistik pemilu dari TPS ke PPS lalu ke PPK dan PPK ke KPU. Dan
merubahnya menjadi langsung dari TPS ke KPU di tingkat kabupaten kota dengan
alasan efisiensi anggaran dapat menjadi bumerang bagi penyelenggara pemilu.
Seperti disebutkan oleh Reily (2010) dalam bukunya Electoral System Design, bahwa
penyederhanaan sistem logistik dan administratif dalam pemilu kadang bukan pilihan
terbaik, karena bisa mengancam integritas penyelenggara pemilu. Logistik Pemilu
adalah salah satu komponen penting dalam proses konversi suara Pemilih menjadi
Kursi dalam Pemilu. Tanpa logistik pemilu yang terpenuhi, terdistribusi dan disimpan
dengan baik, pelaksanaan pemilu terancam gagal dan tidak memiliki legitimasi yang
kuat di mata publik.
2 Renstra KPU tahun 2015-2019