Cholelithiasis pada Anjing Maltese di An

Cholelithiasis pada Anjing Maltese di Animal Clinic Jakarta Periode Oktober – Desember
2016

M. Rifa’is*, Dian Vidiastuti, Ahmad Fauzi
Pendidikan Profesi Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya, Malang
vet.fais@gmail.com

ABSTRAK
Cholelithiasis atau penyakit batu empedu adalah suatu kondisi ditemukannya batu atau
endapan di dalam kantung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada keduanya. Sebagian
besar batu empedu, terutama batu kolesterol terbentuk di dalam kantung empedu. Tugas akhir ini
bertujuan untuk mengetahui tahapan diagnosa, diagnosa banding, terapi, dan pencegahan
cholelithiasis pada anjing. Pada kasus ini, seekor anjing Maltese betina berumur 1,5 tahun dibawa
ke Animal Clinic Jakarta. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa anjing tersebut mengalami
muntah beberapa kali, membran mukosa mulut dan mukosa mata tampak pucat, tapi nafsu makan
masih bagus, feses dan urin juga masih normal, suhu tubuh 38,8 °C, kondisi umum aktif, palpasi
daerah abdomen dan trakea tidak terasa sakit, limfoglandula normal, auskultasi pada jantung dan
paru-paru normal. Hasil pemeriksaan darah lengkap menunjukkan peningkatan kadar neutrofil,
MCH dan MCHC. Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan peningkatan kadar AST, ALT,
ALP, GGT, bilirubin total, kolesterol dan trigliserida. Hasil pemeriksaan USG menunjukkan adanya
massa hyperechoic dan acoustic shadowing pada kantung empedu. Sehingga diagnosa penyakit dari

kasus ini adalah cholelithiasis, dengan diagnosa banding yaitu cholestasis, cholangiohepatitis,
cholecystitis, hepatitis dan mucocele gall bladder. Terapi yang diberikan pada kasus ini antara lain
ondansetron, ampicillin, ursodeoxycholic acid, s-adenoxylmethionine, betaine, arginine, ornithine,
citrulline, sorbitol, metacresol, dan infus yang mengandung Na, K, Cl, Ca, dan asetat. Pencegahan
pada kasus ini meliputi pemberian pakan diet hepatik, sanitasi kandang, pembatasan aktivitas anjing
ke area luar rumah, dan pemeriksaan rutin ke dokter hewan.

Kata kunci : anjing Maltese, cholelithiasis, kantung empedu

batu di dalam kantung empedu atau di dalam
saluran empedu, atau pada keduanya.
Sebagian besar batu empedu, terutama batu
kolesterol terbentuk di dalam kantung
empedu. Secara anatomi, kantung empedu ini
terletak sangat dekat dengan organ hepar.
Hepar terletak di kuadran kanan atas abdomen
di atas ginjal kanan, kolon, lambung,
pankreas, dan usus serta tepat di bawah
diafragma. Hepar dibagi menjadi lobus kiri
dan kanan, yang berawal di sebelah anterior

di daerah kantung empedu dan meluas ke
belakang vena cava. Kuadran kanan atas
abdomen didominasi oleh hepar serta saluran
empedu dan kantung empedu. Pembentukan
dan ekskresi empedu merupakan fungsi utama
hepar. Kantung empedu adalah sebuah
kantung yang terletak di bawah hepar yang
mengonsentrasikan dan menyimpan empedu

PENDAHULUAN
Sistem hepatobiliar merupakan suatu
sistem organ yang terdiri dari dua organ
utama yaitu hepar dan kantung empedu.
Hepar merupakan organ terbesar kedua di
dalam tubuh dan memiliki fungsi biokimia
esensial. Organ hepar dan kantung empedu
berperan penting dalam proses pencernaan
makanan, metabolisme nutrisi, detoksikasi,
dan sintesis substansi penting bagi tubuh.
Menurut Silva et al. (2010), kelainan pada

organ hepar dan kantung empedu cukup
sering ditemukan pada anjing. Kelainankelainan tersebut dapat disebabkan oleh faktor
eksternal maupun internal. Salah satu
kelainan yang sering muncul adalah
cholelithiasis.
Cholelithiasis atau batu empedu adalah
suatu kondisi ditemukannya endapan atau
1

sampai cairan empedu ini dilepaskan ke
dalam usus. Kebanyakan batu atau endapan
pada duktus koledukus berasal dari batu
kantung empedu, tetapi ada juga yang
terbentuk primer di dalam saluran empedu
(Aguirre et al., 2007). Menurut Walach
(2007), akibat yang ditimbulkan apabila
terdapat batu pada kantung empedu yaitu
perubahan warna kekuningan pada membran
mukosa dan jaringan lain dari tubuh (ikterus),
warna pucat atau keabu-abuan pada feses

karena kurangnya pigmen empedu dan terjadi
penyumbatan ekstra hepatik atau saluran
empedu yang akan menyebabkan gangguan
pencernaan lemak karena kurangnya aliran
empedu.
Seiring dengan kemajuan teknologi,
metode dalam mendiagnosa kelainan pada
organ hepar dan kantung empedu menjadi
lebih canggih, sehingga pelaksanaan diagnosa
menjadi lebih mudah dan akurat. Salah satu
teknik diagnosa yang sering digunakan untuk
mendeteksi kelainan pada organ hepar dan
kantung empedu adalah ultrasonografi.
Namun juga ada beberapa teknik diagnosa
lain seperti pada pemeriksaan darah dan kimia
darah yang fungsinya juga mendukung
terhadap keberhasilan diagnosa kasus
penyakit pada sistem hepatobiliar seperti
salah satunya adalah penyakit cholelithiasis
(Gaschen, 2009).

Signalemen
Nama pasien
Jenis
Ras
Warna
Umur
Jenis kelamin

Pulsus 120x/menit dan CRT > 2 detik serta
pada elastisitas kulit mengalami penurunan.
Pemeriksaan penunjang
Berdasarkan hasil anamnesa dan
pemeriksaan fisik di atas, maka pemeriksaan
penunjang yang dilakukan untuk mengetahui
diagnosa dari kasus ini antara lain; uji darah
lengkap atau CBC (Complete Blood Count),
uji kimia darah, dan ultrasonografi (USG).
Hasil pemeriksaan CBC menunjukkan
peningkatan jumlah neutrofil dari kisaran
normal 3,0-12,0 per 103/µl menjadi 12,58 per

103/µl. Selain itu juga terjadi peningkatan
MCH (mean corpuscular hemoglobin) dari
kisaran normal 19,5-24,5 Pg menjadi 24,6 Pg
dan peningkatan MCHC (mean corpuscular
hemoglobin concentration) dari kisaran
normal 31-34 g/dl menjadi 35 g/dl.
Hasil
pemeriksaan
kimia
darah
menunjukkan terjadinya peningkatan kadar
AST (Aspartate transaminase) dari kisaran
normal 8,9-48,5 IU/L menjadi 101,8 IU/L,
peningkatan
kadar
ALT
(Alanin
transaminase) dari kisaran normal 8,2-57,3
IU/L menjadi 311,99 IU/L, peningkatan kadar
ALP (Alkaline phospatase) dari kisaran

normal 10,6-100,7 IU/L menjadi 302,4 IU/L,
peningkatan kadar bilirubin total dari kisaran
normal 0,0-0,6 mg/dl menjadi 3,17 mg/dl dan
peningkatan kadar GGT (Gamma glutamyl
transferase) dari kisaran normal 1-7 IU/L
menjadi 100,51 IU/L secara signifikan. Selain
itu juga terjadi peningkatan kadar total protein
dari kisaran normal 5,7-7,7 g/dl menjadi
10,36 g/dl. Peningkatan kadar kolesterol dari
kisaran normal 110-266 mg/dl menjadi 321
mg/dl dan peningkatan kadar trigliserida dari
kisaran normal 20-112 mg/dl menjadi 191
mg/dl.

: Arlene
: Anjing
: Maltese
: Putih
: 1,5 tahun
: Betina


Anamnesa dan temuan klinis
Anjing pasien dibawa ke Animal Clinic
Jakarta pada tanggal 15 Oktober 2016 dengan
keluhan muntah beberapa kali kemarin
malam, membran mukosa mulut dan mukosa
mata tampak pucat, tapi nafsu makan masih
bagus, feses dan urin juga normal. Anjing
pasien memiliki berat badan 3 kg, suhu 38,8
°C, kondisi umum aktif, palpasi daerah
abdomen dan trakea tidak terasa sakit,
limfoglandula normal, auskultasi jantung dan
paru-paru normal. Frekuensi napas 30x/menit,

A

B
Gambar 1. Hasil USG Hepatobiliar
(Dokumentasi pribadi, 2016).


2

refleks
terhadap
adanya
gangguan
metabolisme pada sistem hepatobiliar seperti
salah satunya cholelithiasis yang dapat
berdampak pada sistem gastrointestinal.
Muntah
tersebut
diakibatkan
oleh
ketidakseimbangan organ pencernaan dalam
mendapatkan suplai cairan empedu karena
adanya endapan atau batu yang membentuk
sumbatan pada kantung atau saluran empedu
yang menuju duodenum, sehingga pH
duodenum akan menjadi lebih asam. Akibat
ketidakseimbangan pH tersebut akan memicu

respon dari reseptor mual dan muntah yang
terdapat pada organ tersebut.
Cairan empedu juga mengandung enzim
lipase yang berfungsi dalam membantu proses
pemecahan
lemak
makanan
menjadi
kolesterol yang kemudian diekskresikan
melalui feses. Terjadinya ketidakseimbangan
pH dalam saluran gastrointestinal tersebut
akan menyebabkan refleks pada saluran
gastrointestinal sehingga terjadi muntah.
Pemeriksaan fisik pada anjing pasien
menunjukkan bahwa CRT > 2 detik, turgor
kulit kurang elastis (> 2 detik), membran
mukosa mulut dan mukosa mata tampak
pucat. Capillary refill time (CRT) adalah
pemeriksaan untuk monitoring adanya
dehidrasi. Pengeluaran cairan yang terjadi

dalam waktu yang lama maka pada muaranya
akan dijumpai perubahan-perubahan pada
daerah tersebut. Apabila CRT > 2 detik maka
hal ini dapat mengindikasikan terjadinya
dehidrasi pada pasien. Turgor kulit atau
elastisitas kulit dipengaruhi oleh kandungan
air di dalam kulit. Turgor kulit dapat
berkurang
apabila
hewan
mengalami
kehilangan banyak cairan sangat cepat,
misalnya pada kondisi muntah beberapa kali
yang dialami oleh anjing pasien. Lalu pada
pemeriksaan membran mukosa mulut dan
mukosa
mata
yang
tampak
pucat
mengindikasikan bahwa hewan mengalami
dehidrasi (Widodo dkk, 2011).
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan
pada kasus ini berupa uji darah lengkap, uji
kimia darah, dan ultrasonografi (USG).
Berdasarkan data hasil pemeriksaan darah
lengkap (CBC) menunjukkan beberapa
parameter yang tidak normal. Abnormalitas
pada parameter tersebut diantaranya terjadi
peningkatan jumlah neutrofil dari kisaran

Diagnosa
Berdasarkan
hasil
anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
yang sudah dilakukan, maka diagnosa
penyakit pada anjing pasien ini mengarah
pada penyakit cholelithiasis.
Diagnosa banding
Diagnosa
banding
pada
kasus
cholelithiasis antara lain hepatitis, cholestasis,
cholangohepatitis, cholecystitis dan mucocele
gall bladder.
Prognosa
Prognosa dari penyakit cholelithiasis
pada anjing pasien yang diperiksa adalah
dubius-fausta, hal ini didukung dari
manajemen perawatan dan pengobatan yang
dilakukan secara rutin pada pasien.
Terapi
Terapi yang diberikan pada anjing
pasien dalam kasus cholelithiasis antara lain
ondansetron,
ampicillin,
ornipural®,
urdafalk®, novifit s® dan infus asering®.
Pencegahan
Pencegahan pada kasus cholelithiasis
meliputi pemberian pakan diet hepatik,
sanitasi kandang untuk mencegah infeksi
sekunder, pembatasan aktivitas anjing ke area
luar rumah, dan pemeriksaan rutin ke dokter
hewan.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil anamnesa dan temuan
klinis pada anjing pasien menunjukkan gejala
berupa muntah beberapa kali, membran
mukosa mulut dan mukosa mata tampak
pucat, tapi nafsu makan masih bagus, feses
dan urin juga masih normal serta kondisi
umum juga bagus. Menurut Widodo dkk.
(2011), muntah adalah ejeksi atau ekspulsi
retrograde atau membalik secara aktif seluruh
isi lambung atau usus halus yang bersifat
padat maupun yang cair melewati esofagus
keluar dari mulut. Sebab kuatnya kontraksi
abdominal akan mengakibatkan isi usus halus
turut diejeksikan. Muntah dapat disebabkan
oleh adanya refleks atau terjadi karena pusat
muntah (medulla oblongata) terangsang. Pada
kasus ini, muntah tersebut terjadi akibat
3

normal 3,0-12,0 per 103/µl menjadi 12,58 per
103/µl. Peningkatan jumlah neutrofil dapat
mengindikasikan adanya infeksi bakteri
dalam saluran empedu atau kantung empedu
atau keduanya yang dapat memegang peranan
sebagian kecil pada pembentukan endapan
empedu
dengan
cara
meningkatkan
deskuamasi selular dan pembentukan mukus.
Mukus tersebut akan meningkatkan viskositas
dan unsur selular sebagai pusat presipitasi
yang pada akhirnya membentuk endapan.
Pembentukan endapan yang terjadi secara
terus-menerus dapat menggumpal dan
menjadi batu. Adanya infeksi bakteri,
fragmen parasit, epitel sel yang lepas atau
partikel debris yang lain juga dapat menjadi
benih pengkristalan (Walach, 2007).
Data pemeriksaan darah lengkap juga
menunjukkan peningkatan MCH dari kisaran
normal 19,5-24,5 Pg menjadi 24,6 Pg.
Peningkatan mean corpuscular hemoglobin
(MCH) menandakan
jumlah rata-rata
hemoglobin dalam eritrosit semakin besar.
Sedangkan peningkatan mean corpuscular
hemoglobin concentration (MCHC) dari
kisaran normal 31-34 g/dl menjadi 35 g/dl
menandakan kondisi dimana hemoglobin
abnormal terkonsentrasi di dalam eritrosit.
Penyebab tingginya jumlah dan konsentrasi
dari hemoglobin salah satunya adalah adanya
gangguan pada hepar, karena metabolisme
hemoglobin juga terjadi di dalam hepar
(Winkel et al., 1999).
Berdasarkan data hasil pemeriksaan
kimia darah anjing pasien menunjukkan
terjadinya peningkatan kadar AST (Aspartate
transaminase) dari kisaran normal 8,9-48,5
IU/L menjadi 101,8 IU/L, peningkatan kadar
ALT (Alanin transaminase) dari kisaran
normal 8,2-57,3 IU/L menjadi 311,99 IU/L,
peningkatan kadar ALP (Alkaline phospatase)
dari kisaran normal 10,6-100,7 IU/L menjadi
302,4 IU/L, peningkatan kadar bilirubin total
dari kisaran normal 0,0-0,6 mg/dl menjadi
3,17 mg/dl dan peningkatan kadar GGT
(Gamma glutamyl transferase) dari kisaran
normal 1-7 IU/L menjadi 100,51 IU/L secara
signifikan. Peningkatan rasio serum AST dan
ALT dapat mengindikasikan pertanda serius
gejala gangguan pada sistem hepatoselular.
Pada kerusakan hepar akut, jumlah AST dan
ALT meningkat dalam darah. Pengukuran

kadar AST dan ALT biasanya untuk
mendiagnosa adanya penyakit hepatoselular.
Enzim AST merupakan enzim yang dijumpai
pada hepar, jantung, otot rangka, dan ginjal.
AST dapat digunakan sebagai parameter
untuk memeriksa keabnormalan fungsi hepar
akan tetapi tidak spesifik, karena enzim ini
juga diproduksi oleh organ lain selain hepar
(Willard, 2012). Sedangkan terjadinya
peningkatan ALP dan GGT terjadi apabila
ada hambatan pada saluran cairan empedu.
Pengukuran kadar ALP digunakan untuk
mendiagnosa cholestasis dan infiltrasi
hepatik. Menurut Tilley and Smith (1997),
enzim ALP merupakan enzim yang banyak
ditemukan di hepar dan tulang, serta sedikit
diproduksi oleh sel-sel pada saluran
pencernaan, plasenta, dan ginjal.
Peningkatan ALP dapat terjadi bila
cairan empedu dihambat akibat adanya
inflamasi atau sumbatan seperti batu empedu.
Data pemeriksaan kimia darah juga
menunjukkan peningkatan GGT yang juga
dapat mengindikasikan adanya penyakit hepar
dan saluran empedu. Kebanyakan penyakit
hepatoseluar dan hepatobiliar meningkatkan
kadar GGT dalam serum. Kadar GGT dalam
serum akan meningkat lebih awal dan tetap
akan meningkat selama kerusakan sel tetap
berlangsung. Enzim GGT sebagian besar
dihasilkan di hepar dan saluran empedu. Oleh
karena itu peningkatan kadar enzim hepar
seperti ALT, AST, ALP dan GGT dapat
mengindikasikan terjadinya suatu kelainan
pada bagian hepar, kantung empedu, atau
saluran empedu (Bush, 2001).
Pada hasil uji kimia darah juga
menunjukkan terjadinya peningkatan kadar
total bilirubin. Terjadinya peningkatan kadar
bilirubin menunjukkan adanya gangguan pada
sistem hepatobiliar. Bilirubin adalah produk
utama dari penguraian sel darah merah oleh
hepar dan disekresikan ke cairan empedu.
Pengukuran kadar bilirubin digunakan untuk
mendiagnosa penyakit hepatobiliar. Adanya
sumbatan akibat endapan atau batu pada
saluran atau kantung empedu bisa sangat
berdampak pada tingginya kadar bilirubin.
Peningkatan kadar bilirubin (hiperbilirubin)
secara nyata merupakan indikasi terjadinya
hemolisis,
cholestasis
dan
penyakit
hepatobiliar.
4

Data selanjutnya juga menunjukkan
terjadinya peningkatan kadar total protein dari
kisaran normal 5,7-7,7 g/dl menjadi 10,36
g/dl. Protein-protein dalam tubuh kebanyakan
disintesis di dalam hepar. Total protein terdiri
atas albumin dan globulin. Hasil pemeriksaan
albumin pada pasien adalah normal. Sehingga
peningkatan total protein disebabkan oleh
peningkatan kadar globulin. Terjadinya
peningkatan total protein globulin dapat
disebabkan oleh adanya infeksi atau inflamasi
kronis. Data selanjutnya juga menunjukkan
terjadinya peningkatan kadar kolesterol dari
kisaran normal 110-266 mg/dl menjadi 321
mg/dl dan peningkatan kadar trigliserida dari
kisaran normal 20-112 mg/dl menjadi 191
mg/dl. Peningkatan kolesterol dan trigliserida
dalam darah mengindikasikan terjadinya
hiperlipidemia. Hal ini dapat disebabkan oleh
adanya gangguan pada sistem hepatobiliar
dalam membantu organ pencernaan untuk
mencerna makanan terutama lipid karena
cairan empedu sebagian juga mengandung
enzim lipase yang berfungsi dalam
metabolisme lipid. Menurut Nelson et al.
(1998), tingginya kadar kolesterol dapat
terjadi pada kasus intrahepatik cholestasis
atau adanya sumbatan pada kantung empedu
yang disebabkan oleh terganggunya ekskresi
kolesterol bebas yang menuju kantung
empedu yang kemudian mengalir kembali di
dalam darah. Sumbatan tersebut dapat berupa
endapan atau batu di dalam saluran atau
kantung empedu. Pembentukan batu pada
kasus cholelithiasis dimulai hanya bila
terdapat suatu nidus atau inti pengendapan
yang berasal dari kolesterol atau bilirubin.
Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal
kolesterol keluar dari aliran membentuk suatu
nidus dan membentuk suatu pengendapan.
Berdasarkan
hasil
pemeriksaan
ultrasonografi (USG) pada duktus koledukus
(Gambar 1.A) menunjukkan adanya massa
berwarna putih (hyperechoic) pada saluran
tersebut, hal ini menggambarkan adanya
massa padat atau endapan pada duktus
koledukus. Secara normal saluran atau duktus
koledukus berwarna hitam atau anechoic
karena berisi cairan. Lalu pada hasil
pemeriksaan USG hepatobiliar (Gambar 1.B)
menunjukkan echogenesitas yang tidak
homogen pada bagian hepar. Hal ini

mengindikasikan adanya kerusakan pada
jaringan hepar. Pada kantung empedu juga
menunjukkan adanya massa berwarna putih
(hyperechoic) dan adanya acoustic shadowing
pada organ tersebut, hal ini menggambarkan
adanya massa padat berupa endapan atau batu
pada kantung empedu.
Nyland et al. (2002) menyatakan bahwa
penyakit cholelithiasis ditandai dengan
penumpukan massa yang mengeras hingga
membentuk kalkuli atau batu di dalam
kantung empedu. Batu empedu dapat dengan
mudah
terdeteksi
menggunakan
ultrasonografi. Pada sonogram akan terlihat
suatu struktur hyperechoic dan di bagian
posterior akan terbentuk acoustic shadowing.
Namun pada kalkuli yang berada di dalam
buluh atau saluran empedu sulit terdeteksi
karena ukurannya yang kecil dan adanya
gangguan dari gas yang berada di usus.
Berdasarkan hasil anamnesa, temuan
klinis dan pemeriksaan penunjang yang sudah
dilakukan, maka diagnosa dari kasus ini
adalah cholelithiasis. Cholelithiasis atau batu
empedu adalah penyakit yang ditandai dengan
adanya endapan atau batu yang dapat
ditemukan di dalam kantung empedu atau di
dalam saluran empedu, atau pada keduanya.
Endapan atau batu empedu merupakan
gabungan beberapa unsur dari cairan empedu
yang mengendap dan membentuk suatu
material mirip batu di dalam kantung empedu
atau saluran empedu atau keduanya. Cairan
empedu sebagian terdiri dari air, garam
empedu, bilirubin, kolesterol dan fosfolipid.
Menurut Sherlock and Dooley (2002),
pembentukan batu empedu berasal dari
kelarutan kolesterol dalam kantung empedu.
Supersaturasi empedu dengan kolesterol
terjadi bila perbandingan garam empedu dan
fosfolipid dengan kolesterol lebih rendah.
Secara normal kolesterol tidak larut dalam
media yang mengandung air. Empedu
dipertahankan dalam bentuk cair oleh
pembentukan koloid yang mempunyai inti
sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel
hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi
sekresi atau kadar kolesterol yang berlebihan
merupakan
keadaan
yang
litogenik.
Pembentukan batu pada kasus cholelithiasis
dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau
inti pengendapan kolesterol atau bilirubin.
5

Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal
kolesterol keluar dari aliran membentuk suatu
nidus dan membentuk suatu pengendapan.
Adanya infeksi bakteri, fragmen parasit, epitel
sel yang lepas atau partikel debris yang lain
juga dapat menjadi benih pengkristalan
(Walach, 2007).
Diagnosa banding dari cholelithiasis
yaitu
cholestasis,
cholangiohepatitis,
cholecystitis, hepatitis dan mucocele gall
bladder . Secara fisik penyakit-penyakit ini
sulit dibedakan dengan cholelithiasis karena
memiliki gejala klinis yang hampir sama yaitu
jaundice. Cholelithiasis merupakan suatu
kondisi adanya batu empedu yang ditemukan
di dalam kantung empedu atau saluran
empedu. Namun untuk membedakan antara
cholelithiasis dan cholangiohepatitis dapat
dilihat dari hasil pemeriksaan USG. Pada
kasus cholelithiasis, ditemukan adanya batu
empedu yang terlihat hyperechoic dengan
adanya acoustic shadowing, sedangkan pada
cholangiohepatitis tidak ditemukan batu. Pada
kasus mucocele gall bladder akan ditemukan
massa hypoechoic pada pemeriksaan USG.
Cholecystitis merupakan suatu kondisi
peradangan pada kantung empedu yang
ditandai dengan adanya penebalan pada
dinding kantung empedu saat dilakukan USG.
Hepatitis
merupakan
suatu
kondisi
peradangan pada hepar yang terlihat dengan
tepi hepar tumpul. Hal tersebut sama dengan
kasus cholangiohepatitis, namun pada
cholangiohepatitis
yang
mengalami
peradangan yaitu hepar dan kantung empedu.
Sedangkan cholestasis merupakan adanya
sumbatan pada saluran empedu dimana
hambatan tersebut tidak dapat diketahui
penyebabnya secara pasti (Sherlock and
Dooley, 2002).
Prognosa dari penyakit pada kasus ini
adalah dubius-fausta. Hal tersebut dapat
dilihat dari kondisi dan aktifitas pasien saat
rawat jalan yang cenderung menunjukkan
perbaikan atau recovery yang bagus setelah
dilakukan terapi. Hal tersebut dibuktikan
dengan berkurangnya gejala klinis dan nilai
parameter uji pada hepar sudah tidak terlalu
tinggi dan berangsur-angsur mengalami
penurunan dibandingkan dengan hasil
pemeriksaan sebelum diterapi, meskipun
terdapat beberapa parameter masih di atas

normal. Monitoring terhadap kondisi pasien
saat rawat jalan setiap harinya juga sudah
semakin bagus serta pemberian terapi sudah
mampu mengatasi gejala yang ditimbulkan
pada kasus cholelithiasis. Namun untuk
menyatakan bahwa hewan mengalami
kesembuhan atau tidak, hal tersebut tidak
dapat
dipastikan
karena
sejumlah
pemeriksaan penunjang terutama pemeriksaan
USG tidak dilakukan setelah anjing pasien
diterapi.
Terapi
yang
diberikan
melalui
pengobatan secara rutin yaitu ondansetron,
ampicillin, ornipural®, urdafalk®, novifit s®
dan infus asering®. Ondansetron adalah obat
yang digunakan untuk mencegah serta
mengobati mual dan muntah. Mual dan
muntah disebabkan oleh senyawa alami tubuh
yang bernama serotonin. Seretonin akan
bereaksi terhadap reseptor 5HT3 yang berada
di usus halus dan otak, dan menyebabkan
mual. Ondansetron akan menghambat
serotonin bereaksi pada reseptor 5HT3
sehingga mencegah terjadinya mual dan
muntah. Dosis ondansetron yaitu 0,1-0,2
mg/kg BB diberikan dua kali sehari.
Ondansetron efektif bila diberikan secara oral
atau intravena dan mempunyai bioavaibility
sekitar 60% dengan konsentrasi terapi dalam
darah muncul tiga puluh sampai enam puluh
menit setelah pemakaian. Metabolismenya di
dalam hepar secara hidroksilasi dan konjugasi
dengan glukoronida atau sulfat dan
dieliminasi dengan cepat dari dalam tubuh
(Rubin, 2007).
Pemberian ampicillin 20 mg/kg
berfungsi untuk mengatasi adanya infeksi
bakteri yang sedang berlangsung. Ampicillin
adalah antibiotik golongan beta laktam
berspektrum
luas.
Ampicillin
adalah
bakteriocidal yang bekerja dengan cara
menghambat secara irreversible aktivitas
enzim transpeptidase yang dibutuhkan untuk
sintesis dinding sel bakteri (Plumb, 2008).
Hepatoprotektif yang diberikan pada
anjing pasien yaitu ornipural®, nofivit s®, dan
urdafalk®. Ornipural mengandung betaine,
arginine, ornithine, citrulline, sorbitol,
metacresol. Suplemen ini digunakan untuk
stimulasi aktivitas hepatodigestive dan
diberikan sebanyak 2-5 ml per ekor secara
intramuskular, subkutan atau intravena.
6

Nofivit s® mengandung s-adenoxylmethionine
yang merupakan agen hepatoprotektif dan
juga mengandung antioksidan yang berguna
untuk menjaga kesehatan hepar. Senyawa sadenoxylmethionine
akan
meningkatkan
konsentrasi glutathione sulfat, dan cysteine
yang merupakan produk esensial untuk
detoksifikasi pada hepar serta memperbaiki
aliran duktus biliaris pada anjing pasien. Obat
ini dapat diberikan secara peroral dengan
dosis 1 tablet (100 mg) per ekor. Suplemen
lain yang juga diberikan yaitu urdafalk® yang
mengandung senyawa ursodeoxycholic acid,
berguna untuk meningkatkan sekresi empedu,
terapi gangguan hepar, cholestasis, dan
cholelithiasis. Obat ini diberikan secara
peroral dengan dosis yang diberikan pada
anjing yaitu 10-15 mg/kg BB. Menurut
Papich (2010), asam ursodeoxycholic akan
membantu meregulasi kolesterol dengan
memecah misel yang mengandung kolesterol.
Asam ursodeoxycholic juga dapat mereduksi
tingkat enzim hepar yang tinggi dengan cara
memfasilitasi aliran empedu melalui hepar
dan melindungi sel-sel hepar. Mekanisme
utama obat ini terkonsentrasi di empedu dan
menurunkan kolesterol bilier dengan cara
menekan sintesis hepar dan sekresi kolesterol
serta dengan menghambat penyerapannya di
usus halus. Penurunan saturasi kolesterol
memungkinkan pelarutan kolesterol secara
bertahap dari batu-batu empedu, sehingga
pada akhirnya akan terjadi pemecahan
partikel dari batu-batu tersebut.
Terapi cairan atau infus juga diberikan
pada kasus cholelithiasis pada anjing pasien,
terutama untuk mengatasi dehidrasi akibat
muntah. Infus yang diberikan berupa asering®
150 ml sesuai dengan berat badan anjing.
Pemberian asering berguna untuk mengganti
cairan tubuh yang hilang akibat dehidrasi
(shock hipovolemik dan asidosis). Asering
mengandung ion Na, K, Cl, Ca dan asetat.
Kandungan asetat dalam cairan infus ini
sangat baik untuk meningkatkan fungsi hepar
atau baik digunakan pada pasien yang
mengalami gangguan hepatobiliar. Infus yang
mengandung asetat baik diberikan pada
penderita
gangguan
hepar
karena
metabolisme asetat terjadi di otot sehingga
tidak membebani kerja hepar. Sedangkan
natrium merupakan kation utama dari plasma

darah dan menentukan tekanan osmotik.
Klorida merupakan anion utama di plasma
darah. Kalium merupakan kation terpenting di
intraseluler dan berfungsi untuk konduksi
saraf dan otot. Elektrolit-elektrolit ini
dibutuhkan untuk menggantikan kehilangan
cairan pada saat dehidrasi. Intinya adalah
pemberian larutan ini bertujuan menjaga agar
volume cairan tubuh tetap relatif konstan dan
komposisi elektrolit di dalamnya tetap stabil
(Graber, 2003).
Pencegahan yang dapat dilakukan pada
kasus cholelithiasis meliputi pemberian pakan
diet hepatik, sanitasi kandang untuk
mencegah infeksi sekunder yang berasal dari
lingkungan, pembatasan aktivitas anjing ke
area luar rumah, dan pemeriksaan rutin ke
dokter hewan. Diet hepatik merupakan jenis
pakan anjing yang mengandung l-carnitine
untuk membantu meningkatkan kerja hepar,
membantu menjaga metabolisme lemak yang
normal di dalam hepar, memberikan nutrisi
akibat adanya gangguan pada jaringan hepar,
serta meningkatkan sistem imun. Menurut
Silva et al. (2010), l-carnitine berfungsi
dalam membantu membawa asam lemak pada
hepar ke dalam mitokondria dalam sel
hepatosit sehingga asam lemak tersebut dapat
dikonversi menjadi energi. Selain itu
kandungan di dalam pakan ini adalah protein
berdaya cerna tinggi (isolat protein kedelai)
dapat ditoleransi dengan lebih baik pada
anjing yang mengalami masalah hepatic
disorders. Kadar Cu yang rendah di dalam
pakan ini dengan peningkatan kadar Zinc
akan meminimalkan penumpukan Cu di
dalam sel-sel hati dan lesio intraselular yang
diakibatkan oleh cholestasis. Kompleks
antioksidan
yang
sinergis
dapat
memperlambat kerusakan sel-sel hati. Energi
tinggi dari lemak mencegah katabolisme
protein berlebih yang dapat mengurangi
resiko onset atau perkembangan hepatic
disorders.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, kesimpulan
yang dapat diambil dari tugas akhir ini yaitu
sebagai berikut:
1. Tahapan diagnosa cholelithiasis pada
anjing pasien di Animal Clinic Jakarta
7

meliputi
signalement,
anamnesa,
pemeriksaan
fisik,
pemeriksaan
hematologi, kimia darah, dan USG.
Diagnosa banding pada kasus ini antara
lain adalah cholestasis, cholangiohepatitis,
cholecystitis, hepatitis dan mucocele gall
bladder.
2. Terapi cholelithiasis pada anjing pasien di
Animal Clinic Jakarta antara lain
ondansetron, ampicillin, ursodeoxycholic
acid,
s-adenoxylmethionine,
betaine,
arginine, ornithine, citrulline, sorbitol,
metacresol, dan infus yang mengandung
Na, K, Cl, Ca, dan asetat.
3. Pencegahan cholelithiasis pada anjing
pasien di Animal Clinic Jakarta meliputi
pemberian pakan diet hepatik, sanitasi
kandang, pembatasan aktivitas anjing ke
area luar rumah, dan pemeriksaan rutin ke
dokter hewan.

Nelson, R.W., G.C. Couto, S.E. Bunch, M.R.
Lappin, G.F. Grauer, S.M. Taylor, E.C.
Hawkins, W.A. Ware, C.A. Johnson, and
M.D. Willard. 1998. Small Animal
Internal Medicine 2nd. Mosby. pp: 490524.
Nyland, T.G., J.S. Matoon, E.J. Herrgesell,
and E.R. Wisner. 2002. Liver and Spleen.
Di dalam: Nyland TG dan Matoon JS
(editor): Small Animal Diagnostic
Ultrasound, 2nd Ed. Philadelphia: W.B.
Saunders. Hal 30-48.
Papich, M G. 2010. Saunders Handbook of
Veterinary Drugs 3rd ed. Small and Large
Animal. Elseveier Saunders.
Plumb, D.C. 2008. Veterinary Drug
Handbook 6th Edition. South State
Avenue: Blackwell Publishing.
Sherlock, S and J. Dooley. 2002. Disease of
the Liver and Biliary System 7th . Oxford:
Blackwell Science Ltd. pp: 10-45.
Silva, S., C.A. Wyse, M.R. Goodfellow, P.S.
Yam, T. Preston, K. Papasouliotis, and
E.J. Hall. 2010. Assessment of Liver
Function in Dogs Using the 13cgalactose
Breath
Test.
Vet.
J.
185(2):152-156.
Tilley, L.W and F.W.K. Smith. 1997. The 5
Minute Veterinary Consult : Canine and
Feline. William and Wilkins.
Walach, J. 2007. Interpretation of Diagnostic
Test 8th. Philadelpia: Lippincott William
and Wiskins. pp: 47-220.
Widodo, S., D. Sajuthi, C. Choliq, A. Wijaya,
R. Wulansari, dan A. Lelana. 2011.
Diagnostik Klinik Hewan Kecil. Edisi 1.
IPB Press. Bogor.
Willard, M.D. and S. Tvedten. 2012. Small
Animal Clinical Diagnosis by Laboratory
Methods 5th Ed. USA. Elsevier Saunders.
Winkel, P., K. Ramsoe, J. Lyngbye, and M.
Tygstrup. 1999. Diagnostic Value of
Routine Liver Test. J. Clinichal
chemistry. 21/1:5-71.

Saran
Seharusnya pemeriksaan penunjang
perlu tetap dilakukan sampai semua parameter
yang diperiksa kembali normal terutama
pemeriksaan USG hepatobiliar sebagai gold
standart diagnosa dari kasus ini.
DAFTAR PUSTAKA
Aguirre, A.L., S.A. Center, J.F. Randolph,
A.E. Yeager, A.M. Keegan, H.J. Harvey,
and H.N. Erb. 2007. Gallbladder Disease
in Shetland Sheepdogs: 38 cases (19952005). J. Am. Vet. Med. Assoc.
231(1):79-88.
Bush, B.M. 2001. Interpretation of Laboatory
for Small Animal Clinicians. Blackwell
Scientific Publication.
Gaschen, L. 2009. Update on Hepatobiliary
Imaging. Vet. Clin. North Am. Small
Anim. Pract. 39(3):439-467.
Graber, M.A. 2003. Terapi Cairan, Elektrolit,
dan Metabolik. Edisi 2. Jakarta:
Farmedia.

8