Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pariwisata bagi Masyarakat Lokal D 902009101 BAB III

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Bab 3
Merajut Kembali Pengalaman Empiris

Pendahuluan
Pada awalnya sayapun mengalami kesulitan menentukan
topik penelitian karena salah satu syarat penelitian yang baik
adalah topik tersebut belum pernah ditulis orang atau pernah
ditulis namun masih menimbulkan kontroversi. Dalam hal ini
yang menjadi tekanan adalah sumbangan penelitian tersebut bagi
khasanah ilmu pengetahuan dan kebijakan. Dalam penelitian ini
saya memberi tekanan pada sumbangan terhadap kebijakan
pariwisata. Hal ini karena pengalaman selama lebih 20 tahun
terakhir bekerja di lingkungan pemerintahan, saya menyaksikan
perkembangan pariwisata yang pesat di Sulawesi Utara sebagai
akibat promosi baik oleh para peneliti maupun oleh pemerintah
daerah sendiri. Saya mempunyai stok pengetahuan empiris yang
cukup banyak karena pernah bekerja di Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Utara periode 1995-2000,
dan kemudian periode 2004-2007. Selanjutnya, saya pernah

berada di lingkungan Kimpraswil (Pemukiman dan Prasarana
Wilayah) dari 2007-2010 yang sering mengunjungi berbagai
wilayah di Sulawesi Utara. Dengan demikian apa yang saya tulis
merupakan gabungan antara penelitian lapangan dan pengalaman
saya sendiri, terutama untuk menjelaskan apa dan bagaimana
pariwisata berkembang di Sulawesi Utara.
Saya sangat sadar tidaklah cukup hanya mengandalkan
pengalaman sendiri untuk melakukan penelitian yang berkualitas.
Informasi yang saya miliki hingga sekarang ini mungkin sudah
43 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

kadaluarsa, sehingga perlu ke lapangan mendapatkan informasi
terbaru. Namun dengan pengalaman yang sudah dimiliki selama
ini saya lebih peka melihat setiap perubahan yang mungkin terjadi
di obyek penelitian. Barangkali ada orang yang melihat ini sebagai
kelemahan, namun bisa juga menjadi kekuatan seorang biroktrat
ketika meneliti. Saya hanya mencoba merekonstruksi kembali

berbagai pengetahuan terpendam yang sudah saya miliki selama
ini, walaupun masih bersifat empirik. Hal inilah yang menjadi
kekuatan seorang birokrat yang kaya pengalaman yang nantinya
sangat membantu dia menganalisis suatu masalah. Namun di lain
pihak bisa menjadi kelemahan ketika seorang birokrat terlena
dengan pengalamannya dan ketika ia tidak mau belajar mengasah
ketrampilan analisisnya.
Melakukan suatu penelitan yang bersifat akademik adalah
sebuah pengalaman intelektual tersendiri karena selama ini saya
lebih terbiasa dengan model penelitian pesanan. Proses yang
berawal dari merancang penelitian hingga menghasilkan buku
adalah pengalaman pertama saya melakukan penelitian secara
serius. Di sini saya tidak hanya belajar meneliti tapi juga belajar
memahami masyarakat secara lebih baik. Barangkali karena inilah
mengapa kelebihan penelitian ilmiah yang lebih mementingkan
kebenaran dan bukan kekuasaan.

Metode Penelitian
Salah satu tantangan dalam penelitian adalah bagaimana
memperoleh data atau informasi yang layak menjadi dasar analisis.

Proses mendapatkan data yang layak sangat beragam tergantung
pada obyek yang diteliti. Salah satu pertanyaan adalah bagaimana
supaya data-data yang kita peroleh dapat dipercaya. Di sini
masalah bagaimana mengumpulkan informasi menjadi sangat
penting. Sebuah penelitian yang baik tidak tergantung pada judul
penelitian tapi pada kualitas pertanyaan yang diajukan. Dengan

44 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

kata lain pertanyaan penelitian yang baik akan menghasilkan
penelitian yang baik (Locke, et al., 1988).
Dalam kaitan itu pertanyaan pokok yang diajukan dalam
penelitian ini adalah: bagaimana dinamika pengembangan
pariwisata berbasis komunitas di Sulawesi Utara? Pertanyaan inti
ini akan dipecah lagi menjadi tiga pertanyaan empiris yaitu, apa
tanggapan masyarakat terhadap perkembangan pariwisata di
lokasi Bunaken, Kimabajo, dan Tangkoko? Walaupun pertanyaan

empiris yang saya ajukan adalah sama untuk tiga daerah namun
pembahasan akan dilakukan secara sendiri-sendiri. Pertanyaan
inti merupakan pertanyaan payung dan jawabannya merupakan
hasil sintesa dari analisa di tiga wilayah penelitian dan literatur.
Sedangkan untuk tiga pertanyaan empiris saya menggali informasi
langsung dari lapangan.
Dari masalah di atas, pendekatan yang saya pakai dalam
penelitian ini adalah interpretatif. Pendekatan interpretatif atau
lebih dikenal metode kualitatif adalah sebuah pendekatan yang
berseberangan dengan pendekatan positif yang mengandalkan
manipulasi statistik untuk mengambil kesimpulan. Pendekatan
kualitatif adalah cara mereka dalam menarik kesimpulan dengan
mengandalkan informasi-informasi yang langsung digali dari
informan melalui proses wawancara dan diskusi, sehingga tidak
bebas nilai. Karena sifatnya yang demikian sehingga ada penulis
yang menyebutnya sebagai pendekatan natural, yaitu merekam
informasi apa adanya dari para informan (Creswell, 2003).
Pendekatan kualitatif sudah banyak dipakai dalam penelitian
antropologi, sosiologi, psikologi, ilmu politik, ekonomi, dan ilmu
sosial lainnya.

Walaupun pendekatan kualitatif sudah umum di kalangan
akademisi namun tidak demikian di kalangan pemerintahan. Pada
umumnya berbagai dinas dalam pemerintahan masih asing dengan
metode kualitatif. Bahkan masih ada pejabat pemerintah bahkan
45 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

memandang rendah kualitas pendekatan kualitatif, maka jangan
heran jika pendekatan yang dominan adalah kuantitatif dengan
metode survei. Hal ini yang menjadi alasan mengapa banyak
proposal penelitian yang tidak menggunakan pendekatan angka
jarang lolos. Tidak populernya pendekatan kualitatif di kalangan
pemerintahan dapat dipahami karena sebagian pelatihan yang
diikuti adalah menggunakan metode kuantitatif baik dalam aras
nasional maupun internasional.
Sampai saat ini ternyata masih ada banyak orang yang masih
meragukan kemampuan pendekatan kualitatif dalam pembuatan
kebijakan. Banyak pejabat yakin dengan presentasi angka-angka

mereka bisa meyakinkan banyak pihak dengan lebih mudah.
Sedangkan mempelajari laporan penelitian yang bersifat kualitatif
sangat melelahkan karena biasanya laporan tersebut isinya cukup
tebal. Barangkali karena ini yang membuat mengapa pendekatan
kualitatif tidak populer. Para pejabat hampir tidak mempunyai
waktu membaca teks yang tebal karena mereka mempunyai waktu
yang sangat sedikit untuk membaca. Sebagian besar habis untuk
rapat koordinasi dan kegiatan publik lainnya. Wajarlah mereka
menginginkan pendekatan kuantitatif, untuk yakin akan hasil
suatu penelitian, namun setelah kami telusuri semakin tampak
kekuatan model kuantitatif, semakin nyata pula kekurangan yang
melekat di dalamnya (Salam, 2011).
Pada dasarnya penelitian ini mencoba merekam pengalaman
bersama penduduk yang tinggal di sekitar lokasi pengembangan
pariwisata. Untuk itu saya memilih menggunakan metode diskusi
kelompok yang terfokus (focus group discussion). Focus group
discussion (FGD) adalah sebuah metode untuk menggali informasi
dengan sekelompok informan yang biasa dilakukan dalam bentuk
diskusi (Hennink, 2007). Para informan yang hidup di daerah
penelitian mengalami secara bersama perkembangan pariwisata di

sana. Dengan diskusi kelompok mereka akan saling melengkapi

46 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

jika ada yang lupa atau mengoreksi jika ada peserta kelompok
yang salah mengungkapkan fakta.
Perlu kita pahami juga adalah ketika meminta para peserta
diskusi mengungkapkan pengalaman tidak menutup kemungkinan
mereka berbeda pendapat. Barangkali ini juga yang menjadi
masalah dengan penelitian diskusi kelompok. Barangkali ada
peserta yang tidak mau mengungkapkan pendapatnya karena
merasa tidak enak dengan teman lain yang hadir dalam diskusi.
Namun khusus untuk Sulawesi Utara hal ini bisa diminimalisir.
Pada umumnya budaya masyarakat di Minahasa adalah berterus
terang atau berkata apa adanya yang mereka rasakan. Oleh karena
itu maka proses FGD yang saya pilih cukup efektif untuk menggali
informasi lapangan.

Penelitian FGD membutuhkan waktu persiapan yang
cukup lama. Setelah berdiskusi dengan promotor dan ko-promotor
saya baru menyusun instrumen penelitian lapangan yaitu berupa
daftar pertanyaan yang akan saya ajukan dalam proses diskusi
kelompok. Pertanyaan yang saya susun merupakan penjabaran
dari pertanyaan penelitian yang saya ajukan di proposal. Setelah
itu saya memilih dan menentukan tiga daerah yang menjadi lokasi
penelitian, dan proses selanjutnya adalah merancang strategi
pencarian informasi lapangan.
Pertama-tama yang saya lakukan adalah menentukan
kriteria orang yang dapat menjadi informan dalam penelitian ini.
Saya membuat klasifikasi informan menjadi tiga kelompok, yaitu,
pengusaha, pekerja, dan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi
pariwisata. Pengusaha yang dipilih adalah mereka yang membuka
usaha memanfaatkan peluang dari pengembangan pariwisata di
daerah mereka. Kelompok pekerja adalah mereka yang bekerja
sebagai pegawai hotel, resort, rumah makan, dan pemandu wisata.
Sedangkan masyarakat yang dimaksud di sini adalah mereka yang

47 

 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

sudah lebih lima tahun tinggal berdomisili di lokasi pariwisata.
Ketiga kelompok ini dibentuk di setiap daerah.
Selain itu saya juga pertimbangkan agar para informan
bervariasi dari segi umur dan jender. Saya berusaha sedapat
mungkin setiap kelompok terdiri dari campuran informan yang
berusia muda dan yang tua, dan dari sisi jender terdiri dari
kelompok laki laki dan perempuan. Dalam kenyataan di lapangan,
pada umumnya kelompok masyarakat didominasi orang yang
sudah berumur sedang para pekerja pada umumnya adalah
kelompok berusia muda. Kelompok pengusaha yang terpilih dari
segi umur adalah campuran tua dan muda. Dari segi jender,
perempuan yang paling banyak terlibat dalam diskusi kelompok
pengusaha, tapi hanya sedikit yang terlibat dalam diskusi pekerja.
Setiap kelompok terdiri dari 6 sampai 8 orang. Saya
sengaja membatasi jumlah anggota kelompok dengan maksud agar
setiap orang yang terlibat berkesempatan untuk mengemukakan

pendapat. Jika kelompok menjadi besar kemungkinan besar ada
peserta yang tidak mendapat kesempatan berbicara. Selain itu,
saya mencoba membatasi waktu proses FGD antara satu hingga
satu setengah jam. Jika waktu pelaksanaan FGD lebih dari satu
setengah jam biasanya para peserta mulai bosan dan mereka sudah
tidak konsentrasi. Selain itu kebanyakan para peserta masih
melakukan aktivitas ekonomi mereka sehingga dengan waktu
sekitar satu setengah jam untuk FGD masih bisa mereka tolerir.

Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di tiga lokasi yang menjadi tujuan
wisata di Sulawesi Utara saat ini, yaitu di Kelurahan Liang dan
Kelurahan Alungbanua Kecamatan Bunaken Kota Manado, Desa
Kimabajo Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara, dan
pemukiman Tangkoko di Kelurahan Batuputih Bawah Kecamatan
Ranowulu Kota Bitung. Masing-masing Kelurahan/Desa ini
mempunyai keunikan, yaitu Kelurahan Liang dan Kelurahan
48 
 


Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Alungbanua di pulau Bunaken merupakan pusat kegiatan
penyelaman yang berada di pesisir timur/utara pulau Bunaken.
Pada dua tempat ini pula terdapat fasilitas resort atau homestay
bagi wisatawan untuk tinggal.
Sementara itu, Desa Kimabajo adalah desa yang terletak di
daratan teluk Kimabajo tidak jauh dari pulau Bunaken. Di sana
terdapat dua resort yang terkenal yang menunjang obyek wisata
Bunaken. Desa Kimabajo merupakan titik terdekat ke pulau
Bunaken (hanya 20 menit) dari daratan. Kondisi ekonomi
penduduk lokal Kimabajo relatif rendah dengan pola pemukiman
masyarakat miskin yang rumahnya sangat sederhana, kontras
dengan kehidupan pariwisata yang mewah dari kedua resort di
desa tersebut. Demikian pula lokasi pemukiman Tangkoko yang
berada di pinggiran Kelurahan Batuputih di Kota Bitung adalah
pemukiman baru yang berkembang di pinggir wilayah konservasi
alam. Keunikannya daerah ini adalah besarnya keinginan
masyarakat untuk berbaur dengan wisatawan, sehingga ada
banyak rumah penduduk mulai dimodifikasi menjadi homestay
meniru yang terjadi di Kelurahan Liang dan Alungbanua di pulau
Bunaken. Dari ketiga daerah tersebut hanya dua daerah yang
penduduk lokalnya membuka homestay atau penginapan kecil,
yaitu Bunaken dan Tangkoko. Di Kimabajo tidak ada penduduk
lokal yang membuka penginapan karena wilayah mereka sangat
sempit dan sering tergenang air ketika air laut pasang. Namun
sebaliknya sebagian besar masyarakat Kimabajo bergantung
sebagai pekerja pada dua resort yang ada di sana dan ini tidak
terjadi di Bunaken dan Tangkoko. Ini juga menjadi alasan
mengapa ketiga daerah ini menarik menjadi lokasi penelitian.

Proses Penelitian Lapangan
Merancang penelitian FGD tidaklah mudah, karena
tantangannya adalah bagaimana mengumpulkan sekelompok
orang yang punya kegiatan yang beragam dalam waktu
49 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

bersamaan. Untuk itu saya mendekati beberapa orang lokal dari
masing-masing lokasi penelitian dan kemudian meminta mereka
menghubungi calon informan. Cara ini sangat membantu karena
orang lokal sangat mengetahui kondisi sosial wilayahnya. Selain
itu saya juga meminta bantuan beberapa orang dari Manado
sebagai asisten peneliti untuk merekam dan mencatat pernyataan
para peserta diskusi selama proses FGD berlangsung. Para asisten
ini juga yang telah serius membantu saya mengorganisir proses
FGD di setiap lokasi. Mereka saya tugaskan turun ke lapangan
seminggu sebelum penelitian dilakukan sambil mempersiapkan
tempat, dan orang sebagai sasaran FGD di lokasi penelitian.
Lebih lanjut saya merasa perlu untuk mendapatkan akses
pada pemerintah setempat baik kecamatan dan kelurahan/desa
untuk mendapatkan ijin meneliti. Walaupun saya sudah kenal
dengan mereka saya tetap perlu melaporkan kegiatan penelitian
agar aparat pemerintah kecamatan dan desa mengetahui. Ada
keuntungan lain dengan melapor kepada aparat saya mendapat
akses terhadap data-data sekunder yang mereka miliki. Namun
demikian saya juga sejak awal sadar bahwa sedapat mungkin saya
mengurangi kehadiran aparat desa ketika proses FGD berlangsung.
Hal ini karena saya ingin agar para peserta diskusi kelompok bebas
mengungkapkan masalah yang berkaitan dengan aparat di aras
desa. Untuk itu maka saya tidak pernah memberitahu waktu
pelaksanaan FGD kepada aparat.
Dengan menggunakan kendaraan darat team peneliti yang
terdiri dari 5 orang (saya dan 4 orang asisten peneliti) mendatangi
lokasi penelitian Tangkoko pada pagi hari. Kami membutuhkan
waktu sekitar dua jam untuk mencapai lokasi penelitian ini dari
Manado (mungkin karena pagi macet, biasanya hanya satu
setengah jam). Setelah mencari tempat yang sudah disiapkan kami
memesan pisang goreng dan kopi karena waktu itu masih jam 9
pagi, sambil menantikan para peserta FGD terkumpul untuk
diwawancarai dan berdiskusi. Proses FGD di Tangkoko dilakukan
50 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

di kantor LSM KONTAK, yang sebagian besar anggotanya bekerja
sebagai guide. Sambil menunggu semua peserta diskusi kelompok
berkumpul kami melakukan diskusi dengan beberapa peserta yang
sudah datang lebih awal tentang kondisi pariwisata di Tangkoko.
Dari kantor LSM KONTAK kami dapat mengamati para
guide yang sedang melayani para wisatawan dan kelihatannya
mereka sangat akrab sehingga menarik perhatian saya untuk
bertanya. Dari hasil penelusuran saya, maka sebagian besar para
wisatawan yang datang ke sini melakukan ‘bird watching’. Mereka
berasal dari beraneka macam latar belakang, ada yang datang
sebagai peneliti, penulis buku, fotografer, bahkan ada orang
lumpuh dari luar negeri yang ingin melakukan kegiatan bird
watching ini lengkap dengan kereta dorongnya. Pada umumnya
selesai mengamati perilaku burung mereka sangat lelah, sehingga
sering bertanya dimana ada penginapan yang sejuk. Sayangnya
semua penginapan (lodge) yang ada di Tangkoko masih
menggunakan kipas angin, sedangkan turis meminta kamar yang
mempunyai air conditioner. Proses FGD di Tangkoko dipecah
dalam tiga kelompok, yaitu pada awalnya khusus untuk pekerja,
kemudian sesi berikutnya dengan para pengusaha, dan yang
terakhir adalah dengan masyarakat. Seperti telah diungkapkan
sebelumnya, proses FGD awal dengan para pekerja. Fungsi saya
lebih banyak sebagai fasilitator dan sekaligus moderator yang
berupaya menggali berbagai informasi dan pendapat yang
tersimpan dalam lubuk hati para peserta diskusi. Proses ini tidak
selamanya berlangsung serius tapi kadang disertai dengan senda
gurau agar mereka santai mengemukakan isi hati. Dengan FGD ini
saya banyak belajar tentang kondisi sosial dan kemasyarakatan
yang berlangsung di Tangkoko.
Kemudian pada siang hari FGD kami lanjutkan bersama
para ibu rumah tangga dan beberapa orang bapak yang
mempunyai/ mengelola penginapan. Belum ada restoran di sana,
yang ada rumah makan kecil di dalam penginapan. FGD dengan
51 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

kelompok ini cukup seru sebab yang lebih banyak disorot adalah
perilaku turisnya, dimulai dari makanan kesukaan mereka,
apresiasinya pada budaya setempat, maupun sejumlah kebutuhankebutuhan turis yang belum dapat mereka penuhi. Saya sering
menyela dengan pertanyaan tentang manfaat yang mereka rasakan
dengan hadirnya turis ini, namun jawabannya seringkali tidak
fokus, karena manfaatnya masih belum terlalu terasa (pada
umumnya turis yang ke sana adalah ‘backpackers’). Para peserta
FGD pun sadar bahwa pengembangan selanjutnya tidak bisa
mereka tentukan karena mereka hanya hidup dari peluang yang
diberikan para Jagawana yang menjaga kawasan konservasi hutan
margasatwa Tangkoko Batuangus. Namun masyarakat menjadi
senang apabila turis juga menyenangi jenis makanan yang mereka
konsumsi sehari-hari, terutama ikan laut yang masih segar.
Pada sore harinya wawancara dan diskusi dilanjutkan
dengan masyarakat, namun karena hari sudah menjelang malam,
akhirnya kami putuskan menginap di sana dan melanjutkan
diskusi pada keesokan harinya. Beruntung malam itu juga ada
beberapa anggota tim peneliti dapat berkenalan dengan para turis,
sehingga semakin lengkap lagi bahan yang menjadi informasi bagi
penelitian ini. Kami menghabiskan waktu dua hari di Tangkoko,
dan kami berjanji akan kembali lagi bila masih ada informasi yang
diperlukan.
Sasaran kami berikutnya adalah Desa Kimabajo. Hanya
membutuhkan waktu setengah jam dari Manado untuk mencapai
desa ini dengan kendaraan darat. Kedatangan kami juga pada pagi
hari dan disambut Kepala Desa setempat, rupanya karena ia tahu
kami akan datang (Saya tidak berharap ada aparat hadir waktu
FGD. Memang sebelumnya saya sudah kenal beliau pada waktu
beliau mengusulkan pengaspalan hotmix di jalan masuk ke resort
Cocotinos tahun lalu dan sekarang sudah jadi). Atas ijin beliau
wawancara dan diskusi dapat berlangsung setiap kelompok atau
sub-group dengan lancar. Kami pun menyisakan waktu sore hari
52 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

menunggu para pekerja pulang baru kemudian diwawancarai.
Walaupun sudah lelah, namun mereka merasa sukacita untuk
diwawancarai oleh saya dan tim peneliti FGD, apalagi diskusi
menggairahkan mereka karena penuh dengan bayangan-bayangan
masa depan yang lebih baik, seandainya usulan-usulan mereka itu
menjadi kenyataan.
Hari berikutnya saya dengan tim peneliti berangkat ke
Bunaken dengan menggunakan boat dari jety milik Cocotinos
Resort. Rombongan kami berangkat pada siang hari, maka harus
menggunakan jety karena air sudah turun dan di depan Desa
Kimabajo. Ketika air turun ada bukit pasir yang menjorok kedepan
dan oleh masyarakat setempat disebut tandusang. Pada saat air
turun tidak ada kapal penduduk yang bisa merapat. Bukit pasir ini
akan menghilang bila air pasang yang dimulai pada jam 2 siang
sampai pagi berikutnya.
Boat yang berkapasitas 10 orang harus dua kali bolak-balik
mengangkut tim peneliti dari Kimabajo ke Bunaken. Kami tiba di
Bunaken pada siang hari, langsung duduk di tepi pantai
menikmati angin sepoi-sepoi sambil menunggu makan siang yang
kemudian akan disambung dengan FGD. Dari tempat kami duduk
terlihat para penyelam yang bersiap menuju tempat penyelaman,
maupun yang baru keluar dari air. Patut diketahui bahwa sehari
ada 3- 4 kali sorti penyelaman, sampai malam hari. FGD di lokasi
Bunaken rasanya lebih lengkap dan dihadiri oleh semua unsur
masyarakat yang kami butuhkan, sehingga kami pun harus pilih
menginap dan melanjutkan penelitian sampai pada besok harinya.
Memang kalau hanya tersedia dua hari tidak cukup waktu untuk
menangkap permasalahan yang berkembang di sana. Namun
kekurangan tersebut kami tutup dengan setiap minggu dan
kemudian setiap hari Jumat kami pergi ke sana melakukan
wawancara tambahan sehingga akhirnya informasi yang saya
butuhkan dapat diperoleh.
Ternyata tidak seperti yang saya duga semula bahwa tak
53 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

ada success story dari masyarakat lokal untuk mengambil manfaat
dari pariwisata. Di Bunaken ada seorang penduduk lokal yang
bernama Frans Caroles yang saya nilai cukup berhasil dalam
usahanya berkolaborasi dengan investor asing mengembangkan
resort di Bunaken. Namun banyak juga masalah yang berhasil
kami rekam yang akan dianalisa dalam penelitian saya. Memang
upaya mendapatkan akses untuk mewawancarai beliau sulit,
namun setelah membuat janji akhirnya pada kedatangan saya yang
ketiga baru bisa ketemu.

Focus Group Discussion dengan para Pembuat Kebijakan
Saya merancang FGD di tingkat provinsi dengan para
mantan kepala dinas pariwisata provinsi Sulawesi Utara (tahun
1980-2011). Tentu saya pun mengundang kepala Dinas Pariwisata
yang sedang menjabat saat penelitian ini dilakukan. Saya ingin
merekam pengalaman mereka ketika duduk sebagai pengambil
kebijakan di bidang pariwisata. Proses FGD ini dilakukan setelah
semua proses penelitian di tiga wilayah tersebut selesai. Mereka
menyambut baik undangan saya sehingga pada hari proses FGD
dilakukan hadir 7 mantan kepala dinas pariwisata Provinsi, 3
kepala dinas pariwisata Kota Tomohon, Kabupaten Minahasa
Utara, dan Kabupaten Minahasa Selatan. Mereka aktif dan antusias
memberikan pendapatnya tentang rencana yang pernah dibuat
pada zaman mereka dan situasi riil yang berkembang sesuai
pengamatan mereka di lokasi pariwisata Taman Laut Nasional
Bunaken dan sekitarnya. Peserta FGD lainnya adalah dari para
akademisi perguruan tinggi lokal yang membidangi pariwisata,
kelautan, lingkungan dan pertanian. Seluruhnya yang hadir 30
orang.
Tujuan pelaksanaan FGD di tingkat provinsi dimaksudkan
agar saya mendapat masukan yang lengkap tentang kebijakan
pariwisata di tingkat provinsi dari masa kepemimpinan awal
sampai tahun 2011. Jenis pertanyaan yang diajukan berbeda
54 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

dengan pertanyaan pada FGD di masyarakat lokal, karena yang
ingin diketahui dan dianalisa adalah masalah kebijakan yang
pernah diambil pemerintah, semasa mereka masih menjadi pejabat
dinas pariwisata. Saya juga ingin tahu apa yang menjadi dasar
pengambilan kebijakan mereka pada waktu itu, dan apakah
permasalahan yang ada sudah teratasi saat ini menurut mereka.

Analisa data
Setelah mengumpulkan semua informasi dari lapangan,
tantangan berikut adalah proses analisis. Sebagaimana penelitian
kualitatif pada umumnya langkah pertama adalah melakukan
transkrip hasil rekaman wawancara dengan bantuan para asisten
peneliti. Para asisten peneliti adalah orang lokal Minahasa sangat
membantu dalam transkrip karena sebagian besar wawancara
dalam bahasa atau dialek lokal. Proses transkrip ini memakan
waktu sekitar dua minggu. Setelah proses transkrip selesai saya
membaca kembali draft tersebut melihat jika ada jawaban yang
belum lengkap.
Langkah berikut setelah transkrip adalah membuat
analisa tematik. Berdasarkan transkrip saya mencoba menggali
tema-tema yang ada dengan membuat matriks. Dalam proses ini
saya berdiskusi secara intensif dengan komisi pembimbing.
Berdasarkan tema-tema tersebut saya merancang dan menulis tiga
bab empiris dan satu bab kebijakan. Proses ini memakan waktu
cukup lama sekitar empat bulan. Selama proses analisis saya
masih beberapa kali kembali ke lapangan untuk konfirmasi
informasi atau melengkapi data yang masih kurang.
Setelah bab empiris selesai, maka langkah berikut adalah
melakukan analisis kedua untuk menemukan konsep-konsep yang
terpendam dalam bab-bab empiris. Proses ini juga menggunakan
matriks dengan konsultasi secara intensif antara saya dengan para
komisi pembimbing. Berdasarkan hasil analisis tersebut saya
mencoba mengkonstrusikan model integratif tentang dinamika
55 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

ekonomi pariwisata yang berbasis komunitas. Hasil analisa ini saya
tuangkan dalam bab tujuh. Dari model tersebut saya mencoba
mengidentifikasi hambatan-hambatan yang mungkin muncul
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang
tinggal di sekitar obyek lokasi penelitian. Dari sini saya mencoba
merancang model baru yang kemudian saya sebut sebagai model
pemberdayaan.
Langkah terakhir adalah mencoba untuk menulis buku ini
secara menyeluruh. Proses menulis menjadi lebih mudah melalui
proses bimbingan yang intensif dan serius. Secara keseluruhan
proses penelitian ini sangat melelahkan tapi memberi saya peluang
untuk belajar meneliti yang benar. Sejak awal saya belum
memahami model penelitian kualitatif sekarang menjadi sangat
kenal dengan metode ini. Saya dapat buktikan bahwa dengan
metode kualitatif kita dapat merancang model yang dapat menjadi
dasar pembuatan kebijakan. Bagi para pengambil kebijakan tidak
perlu alergi dengan metode kualitatif, karena dengan metode ini
kita dapat memahami masyarakat secara lebih mendalam.

56