Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pariwisata bagi Masyarakat Lokal D 902009101 BAB VI

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Bab 6
Pariwisata di Kimabajo
Pendahuluan
Kimabajo adalah sebuah Desa yang terletak sekitar 15 km
dari Kota Manado, namun sudah berada di Kecamatan Wori
Kabupaten Minahasa Utara. Dalam cuaca normal dan tidak hujan,
maka Desa ini dapat dicapai dalam waktu 45 menit dari Manado
dengan tingkat lalu-lintas yang rendah namun kondisi jalannya
relatif baik karena sudah di hotmix.
Pada awalnya Desa ini adalah sebuah Desa nelayan yang
tentunya sebagian besar penduduk mencari nafkah utama mereka
di laut, namun seiring dengan berdirinya dua resort di sana, maka
Desa ini berangsur-angsur mengalami transformasi menjadi desa
non-nelayan karena semakin banyak penduduk yang mulai
bergeser dari profesi nelayan menjadi pekerja di luar sektor
nelayan yaitu pada pekerjaan yang berhubungan dengan fasilitas
pariwisata yang hadir di sana. Sekarang ini dari 808 penduduk
hanya ada 200 orang menjadi nelayan, atau sekitar 70 persen
penduduk Desa Kimabajo bekerja di luar profesi sebagai nelayan.

Teluk Kimabajo menjadi tempat berlabuh yang aman bagi
perahu yang menghindar dari ombak dan angin, sehingga disini
pemerintah membangun pelabuhan Wori untuk kapal-kapal kecil,
namun bila air surut dataran muncul pasir landai sampai menjorok
lebih dari 200 meter arah laut. Desa Kimabajo sulit berkembang
karena terkendala habitat mangrove yang berada disekitarnya.
Dari data statistik yang dikeluarkan oleh kantor Desa,
jumlah penduduk Kimabajo pada tahun 2011 adalah 808 orang
yang terdiri dari 415 laki laki dan 393 penduduk perempuan.
111 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Berdasarkan asal suku, yang tinggal di desa ini yang terbanyak
adalah suku orang Bajo, tetapi ada juga dari suku Minahasa dan
Sangir. Pada umumnya keturunan Bajo memeluk agama Islam
(667 jiwa), sebaliknya suku Minahasa dan Sangir memeluk agama
Kristen (180 jiwa).


Sejarah Pariwisata Kimabajo
Desa Kimabajo sebagaimana layaknya suatu Desa pantai
sebenarnya tidak terlalu istimewa dibanding dengan desa-desa
lain di Sulawesi Utara. Seperti telah diungkapkan di atas, pada
masa yang lalu, sebagian besar penduduknya adalah nelayan dan
petani sekaligus. Tidak ada penduduk yang hanya mengandalkan
salah satu sektor sebagai tumpuan hidup, karena baik hasil sektor
nelayan maupun pertanian tidak akan cukup untuk menghidupi
Peta 6.1. Situasi Kawasan Penelitian Desa Kimabajo

keluarga. Setiap keluarga harus mampu melakukan pembagian
kerja anggota keluarga dalam rumah tangga menjadi nelayan
ataupun menjadi petani kata Supena Muharam Hukum Tua Desa
112 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Kimabajo. Ada juga anggota rumah tangga yang melakukan
pekerjaan sebagai nelayan dan petani sekaligus. Ketika musim

hujan laut kurang bersahabat bagi nelayan sehingga ada dari
mereka yang memilih menjadi petani, namun sebaliknya ketika
kondisi laut cerah banyak petani yang beralih menjadi nelayan.
Kondisi ini menjadi berubah ketika sektor pariwisata
mulai berkembang di Kimabajo. Pada umumnya para pemilik
resort berasal dari negara asing dan tidak ada resort yang dimiliki
penduduk setempat. Di Desa ini ada dua resort yang berdiri yaitu
Cocotinos dan Kimabajo. Pada tahun 2005 pemilik modal dari
negara Perancis mulai membangun resort di Kimabajo (Kimabajo I
dan Kimabajo II), dengan kapasitas 30 kamar. Setelah itu baru
resort Cocotinos, dibangun pada tahun 2007, dengan pemilik
modal yang juga berasal dari Perancis.
Singkatnya, yang mendominasi usaha resort di Kimabajo
adalah pemodal asing, sedang pemodal dalam negeri belum
tertarik ke sektor ini mungkin karena promosi potensi pariwisata
Sulawesi Utara lebih banyak ditujukan kepada pengusaha luar
negeri dari pada pengusaha dalam negeri. Dari sisi modal
sebenarnya pengusaha lokal sudah mampu namun mereka belum
tertarik menanamkan modalnya dalam bidang pariwisata di
wilayah ini karena kurangnya informasi tentang peluang usaha

disini.
Pada awalnya ketertarikan investor mendirikan resort di
Kimabajo adalah untuk menampung wisatawan manca-negara
yang ingin berlibur dengan santai di pulau Bunaken sambil
menyelam, namun tidak dapat menginap di sana. Dalam
perkembanganya tamu yang menginap tidak tertutup bagi
wisatawan domestik dan Kimabajo merupakan tempat yang ideal
karena bernuansa desa yang jauh dari hiruk pikuk suasana
perkotaan, namun relatif dekat dengan Bunaken. Pada awalnya
ketika resort ini dibangun, di Bunaken, pemerintah tidak
mengijinkan karena terlalu dekat dengan kawasan konservasi.
113 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Kimabajo masih merupakan sebuah perkampungan yang belum
berkembang dan berupaya menawarkan suasana unik kepada para
wisatawan luar negeri. Kejelian seperti ini ada banyak dimiliki
pengusaha luar negeri yang sudah lama berkecimpung dalam

usaha pariwisata untuk melihat peluang usaha. Selain itu modal
awal untuk membangun cukup besar, sehingga yang unggul
sebagai pengusaha adalah mereka yang mempunyai modal kuat
dan berani mengambil resiko. Barangkali karena kondisi faktor
kejelian dan faktor sulitnya mengumpulkan modal ini juga yang
menjadi alasan mengapa banyak investor lokal belum tertarik
menanamkan modalnya di sektor pariwisata Sulawesi Utara.
Pengusaha Perancis yang bernama Franki adalah seorang
pioner pengembangan pariwisata di Kimabajo. Dia pertama kali
berkunjung ke Kimabajo pada tahun 2004 dan langsung terkesan
untuk membangun resort di teluk Kimabajo yang indah ini. Pada
tahun 2005 dia membangun resort disana dengan target pasar
adalah wisatawan asing yang ingin menyelam di Bunaken.
Kimabajo dipilih karena jarak tempuh ke Bunaken lebih singkat
sekitar 30 menit, sedang jika berangkat dari Kota Manado
dibutuhkan waktu sekitar 60 menit.
Selain itu suasana Desa nelayan adalah menjadi daya tarik
tersendiri bagi wisatawan sehingga Kimabajo adalah pilihan yang
tepat sebagai lokasi resort. Selain itu karena lokasi ini sangat sulit
dikembangkan karena berada di pesisir teluk Kimabajo (Wori),

yang menghadap ke pulau Bunaken dan dipenuhi mangrove yang
mendapat perlindungan hukum dari Taman Nasional Bunaken.
Bangunan kedua resort ini yang satu terletak di perbukitan yang
melandai ke laut (Kimabajo Resort and Spa), yang satu lagi di
pinggir pantai yang tadinya adalah pemukiman yang padat
(Cocotinos Resort).

Bentuk Pariwisata yang berkembang di Kimabajo
Di atas dikatakan bahwa Kimabajo menjadi pilihan karena
114 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

letaknya yang strategis dekat dengan Bunaken, oleh karena itu
sedikit sulit menempatkan Kimabajo dalam kategori bentuk
pariwisata yang kita kenal selama ini. Hal ini karena Kimabajo
tidak lebih dari sebagai sebuah enclave yang sangat tergantung
pada daya tarik obyek wisata di Bunaken. Selama Bunaken masih
mampu menarik wisatawan, Kimabajo masih bisa berharap

menarik investor untuk menanamkan modal di sana. Melihat
kedekatan dengan aktivitas wisata di Bunaken, secara tidak
langsung Kimabajo dapat masuk dalam kategori pariwisata bahari,
karena pariwisata
bahari
adalah jenis pariwisata yang
mengandalkan sumberdaya pesisir, pantai, dan kelautan sebagai
daya tarik wisatawan.
Jika dilihat sepintas, ada kesan interaksi antara resort dan
masyarakat lokal di Kimabajo sangat minim. Resort-resort tersebut
dikelilingi tembok yang cukup tinggi yang tidak memungkinkan
penduduk lokal menengok ke dalam. Misalnya, resort Cocotinos
membangun tembok keliling sekitar 100 meter, sehingga dari luar
yang terlihat hanya atap bangunan. Tembok tersebut mereka
bangun dengan alasan demi keamanan dan kenyamanan tamu,
namun pada sisi lain tembok tersebut menggambarkan rasa kurang
percaya pengusaha luar terhadap masyarakat yang ada sekitar
lokasi resort. Walaupun demikian, ketika penulis mewawancarai
penduduk yang tinggal di sekitar lokasi resort tersebut, tidak ada
satu pun yang keberatan dengan keadaan ini. Mereka bisa

menerima kehadiran tembok tersebut sebagai tuntutan para tamu
yang ingin hidup tenang, dan yang penting bagi penduduk adalah
agar resort ini tetap ada di Kimabajo. Dari proses Focus Group
Discussion (FGD) di Kimabajo, penduduk merasa bangga karena
desa mereka menjadi obyek wisata dan menjadi terkenal di manamana.
Lebih lanjut, kitapun mendapatkan kesan bahwa interaksi
pariwisatawan dan masyarakat lokal Kimabajo pun tidak terlalu
kelihatan. Para wisatawan sangat jarang berkunjung ke desa di
115 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

sekitar resort. Dari proses diskusi kelompok, beberapa informan
mengungkapkan bahwa hanya beberapa wisatawan yang berjalanjalan di kampung mereka. Pernah ada dua orang wisatawan yang
berkeliling kampung dan membeli penganan lokal, namun setelah
itu hampir tidak pernah mereka melihat wisatawan di kampung
dan para informan yang ikut dalam FGD tidak bisa memberi
alasan. Namun demikian, ada beberapa alasan yang mungkin bisa
menjelaskan fenomena ini. Pertama, Desa Kimabajo kurang

menarik para wisatawan karena letaknya yang agak terpencil dan
terlalu padat. Desa ini terletak di bibir pantai dengan sebuah
sungai yang mengitarinya. Pada saat air pasang Desa ini seolaholah menjadi sebuah pulau sendiri dengan luas sekitar 19 ha,
sebuah estuaria. Pernah terjadi jika air pasang terlalu tinggi air
laut bisa masuk ke rumah penduduk, sehingga hadirnya resort ini
diangap penduduk sekaligus sebagai pengaman pantai mereka.
Akses ke Desa ini menggunakan sampan atau berjalan di dalam
air. Kondisi ini barangkali yang membuat para wisatawan kurang
tertarik datang ke sana. Ketika penulis melakukan penelitian di
sana ada sekelompok orang yang sedang membangun jembatan
atas prakarsa pemerintah dan masyarakat, dengan demikian dalam
masa depan isolasi temporer desa ini bisa teratasi.
Kedua, mungkin saja tujuan utama para wisatawan adalah
menyelam di Bunaken, sehingga mereka tidak tertarik datang ke
rumah-rumah penduduk disekitar. Jika dilihat dari harga kamar
nampaknya para wisatawan yang ke sini adalah para profesional
yang mempunyai waktu yang sangat terbatas. Oleh karena itu
ketika tiba di Kimabajo mereka langsung pergi menyelam dan
setelah itu hanya istirahat sebentar dan langsung kembali ke
negara atau tempat asal mereka masing-masing. Selain itu, para

wisatawan juga mungkin belum merasa aman untuk berhubungan
dengan penduduk lokal sehingga mereka membatasi aktivitas
mereka di luar wilayah resort.

116 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Terakhir, bisa saja terjadi jika pemilik resort sendiri terlalu
memproteksi para tamunya dan membatasi mereka berhubungan
dengan penduduk lokal. Hal ini bisa terlihat dari upaya setiap
resort yang menyediakan sendiri perahu mengangkut tamu
mereka pergi-pulang Bunaken dan Kimabajo. Padahal penduduk
lokal pun menyewakan perahu motor kepada para wisatawan
namun tidak diprioritaskan oleh resort untuk mengangkut tamu
mereka. Barangkali para wisatawan yang juga tinggal di resort
mensyaratkan alat angkut yang memenuhi standar keselamatan
tertentu dan para pemilik kapal-kapal motor lokal belum mampu
menyediakannya. Pada umumnya, kapal-kapal motor lokal tidak

menyediakan alat pelampung karena harganya cukup mahal,
padahal ini merupakan standar umum yang dituntut para
wisatawan professional.

Perubahan Peta Lingkungan dan Akses Masyarakat
Walaupun masyarakat yang terlibat tanya jawab dalam
Focus Group Discussion (FGD) mendukung kehadiran resort di
Kimabajo, namun ada beberapa pesoalan yang timbul dengan
dibangunnya resort. Salah satunya adalah berkurangnya akses
masyarakat ke laut menangkap ikan. Misalnya resort Cocotinos
yang dibangun langsung di bibir pantai menyebabkan masyarakat
kehilangan tempat mencari ikan pada waktu air surut. Memang
masih ada bagian lain yang dipakai sebagai pelabuhan namun
ketika air surut kapal motor milik masyarakat lokal tidak bisa
mendarat karena terlalu dangkal. Bahkan ketika air surut muncul
gundukan pasir yang cukup luas yang memungkinkan anak-anak
bisa bermain bola. Ketika air surut gundukan pasir tersebut
menyulitkan penduduk lokal mendaratkan perahu mereka,
sehingga masyarakat harus menunggu air pasang agar bisa
mendaratkan kapal motor mereka. Hingga sekarang belum pernah
terjadi konflik antara resort Cocotinos dengan masyarakat
lokal karena tampaknya masyarakat mengerti hak resort atas
117 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

kawasan tesebut. Selain itu dengan hadirnya bangunan resort
Cocotinos menyebabkan masyarakat kehilangan akses terhadap
pemandangan pantai. Seperti telah penulis ungkapkan di muka,
bahwa ketika air pasang masyarakat menjadi terisolir oleh karena
air memisahkan hubungan antara dua Desa, yaitu Desa Kimabajo,
jaga 1-3 dan Desa Kimabajo, jaga 4. Sebelum resort dibangun
masyarakat lokal menggunakan jalan setapak di pinggir pantai
pergi pulang antar dua bagian Desa tersebut. Walaupun air pasang,
pada bagian bibir pantai masih cukup dangkal sehingga dapat
menjadi akses satu-satunya bagi masyarakat ke jalan besar, namun
ketika resort dibangun jalan tersebut masuk dalam kawasan resort
sehingga masyarakat kehilangan akses jalan.
Sekarang dengan adanya swadaya masyarakat dan bantuan
Pemerintah mereka berhasil membangun jalan dan jembatan yang
menghubungkan kedua bagian yang terpisah dari Desa tersebut.
Seperti diungkapkan Supena Muharam dalam diskusi kelompok :
“Kami sangat terbantu dengan adanya bantuan jembatan
karena jika tidak dibangun jembatan kalau air pasang sampe
terputus akses satu pemukiman ke pemukiman lain. Jadi
dengan adanya jembatan ini akses lancar, di Desa Kimabajo
terdiri dari 5 jaga dan yang terpisah agak jauh adalah jaga V”.

Secara menyeluruh masyarakat sekitar lokasi resort tidak
protes atas kehilangan akses terhadap jalan dan pantai. Para
peserta diskusi kelompok melihat masa depan yang lebih cerah
jika pariwisata berkembang di daerah mereka. Oleh karena itu
ketika mendapat tawaran ada jalan alternatif atau memindahkan
tempat mendarat ke tempat lain mereka tidak keberatan. Pada
umumnya mereka mencintai kehadirannya dan sependapat bahwa
resort Kimabajo telah memberi berkat pekerjaan kepada sebagian
besar penduduk disana. Mereka juga lebih merasa aman ketika
resort Cocotinos yang ditembok sepanjang 100 meter karena
dianggap menjadi pemecah ombak atau pelindung Desa mereka
dikala cuaca ombak besar yang datang setiap tahun.

118 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Kehadiran Resort dan Lapangan Kerja bagi Masyarakat Lokal
Usaha resort mendapatkan sambutan positif oleh karena
masyarakat merasa ikut mendapat peluang mendapatkan sumber
pendapatan alternatif. Pada masa sebelum hadirnya resort,
kegiatan utama masyarakat adalah petani dan nelayan. Pada
umumnya mereka yang beragama Kristen adalah petani dan
nelayan sekaligus sedang orang-orang yang beragama Islam
bekerja sebagai nelayan saja sebelum masuknya resort. Anthon
Lintong, Jeremiah Karelung, dan Jonathan Sasikone adalah orang
lokal yang beragama Kristen, bekerja sebagai petani sebelum
bekerja di resort. Safrudin Saleh, pendatang dari Bugis beragama
Islam, bekerja sebagai nelayan sebelum menjadi pekerja resort.
Tidak heran jika bapak Safrudin menjadi nelayan karena sejak
dulu ketrampilan nelayan sudah dikenal sebagai modal
masyarakat suku Bajo (ethnic capital) dari Sulawesi Selatan yang
nenek moyangnya sudah mengembara di sepanjang pesisir pulau
Sulawesi mencari hasil laut seperti teripang yang harganya mahal.
Petani yang dimaksud disini adalah petani kebun dan
bukan petani sawah. Hal ini karena menjadi petani sawah perlu
waktu yang lebih intensif mengerjakan dan merawat sawah,
padahal pada saat yang sama mereka juga menjadi nelayan.
Kombinasi kedua jenis pekerjaan tersebut tidak memungkinkan
mereka membuka sawah. Oleh karena itu yang wajar adalah
membuka kebun dengan tanaman keras yang tidak membutuhkan
perawatan yang rumit. Sebagai nelayan pendapatan mereka tidak
menentu sangat bergantung iklim dan angin. Pada musim angin
Barat penduduk tidak bisa melaut sehingga mereka lebih banyak
bekerja di kebun yang tidak seberapa besar, namun sebaliknya
pada musim kemarau mereka tidak mungkin pergi menanam,
sehingga menggantungkan hidup mereka di laut. Pada masa yang
lalu mereka yang terlibat kegiatan pertanian tidak terlalu banyak.
Jumlah penduduk yang terlibat dalam sektor pertanian tidak lebih
dari 86 rumah tangga dan pada umumnya yang mengerjakan
119 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

pertanian itu adalah anggota keluarga sendiri. Lahan yang diolah
berupa ladang yang ditanami padi, jagung, dan umbi-umbian.
Hasil yang bisa mereka panen sekedar untuk konsumsi rumah
tangga, tidak cukup untuk dibawa ke pasar. Jelasnya kita simak
pernyataan Dahlan Kabarna dalam proses FGD :
Torang disini bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari karena anak-anak so lebe besar, so minta mo
sekolah tapi biaya tidak cukup. Yang torang dapatkan dari
melaut dan bakobong hanya cukup untuk makan sehari-hari.

Pada wawancara kelompok pekerja, mereka mengatakan
walaupun sudah menjadi nelayan mereka harus bekerja sebagai
petani untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dari uraian diatas
jelas penduduk lokal tidak mungkin kalau hanya menggantungkan
pemenuhan kebutuhan mereka dari kegiatan petani. Mereka mau
tidak mau harus mencari sumber pendapatan alternative dengan
terlibat sebagai nelayan. Keterlibatan penduduk Kimabajo dalam
kegiatan nelayan adalah bagian dari strategi memenuhi kehidupan
mereka sehari hari. Walaupun demikian hasil sebagai nelayan
tidaklah mencukupi sehingga masyarakat yang tinggal di sana
mempunyai kapal-kapal kecil untuk mengail ikan atau pergi
mencari ikan ketika air surut. Ikan yang didapat adalah jenis tude,
cakalang, dan kerapu dan hasil laut ini ada yang mereka jual untuk
memenuhi kebutuhan uang kas. Oleh karena itu mereka juga
tidak bisa mengandalkan hasil laut sepanjang masa. Pada musim
angin Barat para nelayan hampir tidak mungkin melaut karena
kondisi laut berbahaya bagi pelayaran, seperti yang diungkapkan
Dahlan Kabarna berikut ini:
Karena pendapatan dari bekerja pada resort ini cukup, apalagi
kalau banyak tamu, maka kami fokus untuk menjadi karyawan
yang baik sesuai aturan perusahan, apalagi waktu kami bekerja
di perusahan sungguh tersita dan hanya hari libur kami bisa
bersama keluarga.

Secara umum ketersediaan sumberdaya manusia untuk
kegiatan pariwisata disini adalah kelompok pekerja, dan mereka
mengatakan bahwa mereka tidak mengandalkan sektor
120 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

tradisional. Secara menyeluruh masyarakat Kimabajo, pada masa
yang lalu, tidak bisa mengandalkan sektor tradisional dalam
memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Sumber pendapatan tidak
menentu diperhadapkan dengan kebutuhan yang terus meningkat
menyebabkan mau tidak mau mereka harus mencari cara lain
memenuhinya. Oleh karena itu penduduk sangat berterima kasih
dengan adanya kegiatan sektor pariwisata di daerah mereka. Sejak
awal pembangunan resort, maka masyarakat Kimabajo sudah
menyambut secara positif karena usaha ini membuka peluang
kerja. Hal ini diungkapkan oleh semua peserta diskusi kelompok
baik pekerja dan masyarakat. Kehadiran resort menyerap sebagian
besar tenaga kerja di Kimabajo. Posisi para karyawan yang
diterima bekerja di resort pun tidak terlalu tinggi, pada
umumnya mereka terlibat dalam jenis pekerjaan yang bersifat
clerical, yaitu bekerja sebagai security, sopir, dan tukang kebun.
Dari jenis pekerjaan yang digeluti masyarakat lokal dapat
kita duga bahwa kebanyakan penduduk Kimabajo berpendidikan
sekolah menengah, dan hanya sebagian kecil yang menamatkan
sarjana. Dalam proses diskusi kelompok masyarakat maka seorang
peserta diskusi berkata sebagai berikut :
Pada umumnya penduduk di sini rata-rata selesai SMA kata
Dahlan Kabarna juga. Selain bekerja langsung di resort ada
peluang kerja lain dengan kehadiran wisatawan yaitu bekerja
sebagai babysitter.

Para wisatawan sering membawa anak mereka ketika tinggal di
Kimabajo. Pada waktu-waktu tertentu mereka mau bertualang
sendirian dan tidak ingin membawa anak mereka, sehingga tentu
ini menjadi peluang bagi masyarakat sekitar bekerja menjadi
pengasuh anak selama beberapa jam ketika orang tua anak-anak
tersebut bepergian. Bekerja sebagai pengasuh anak bukanlah
pekerjaan rutin, namun dapat menjadi pendapatan tambahan
bagi perempuan di Kimabajo. Biasanya mereka diminta resort
untuk menjaga anak para tamu yang bepergian dengan imbalan
121 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

uang tertentu dan juga mendapat tip dari wisatawan itu sendiri,
seperti yang diungkapkan Olviana Mandiangan berikut ini :
“Mereka juga berprofesi sebagai baby sitter jika ada tamu yang
membawa keluarga jadi mereka turut membantu menjaga
anak mereka, jadi selain mendapat gaji dari perusahan mereka
juga mendapat tip dari tamu.” Barangkali suatu ketika ada
yang tertarik membangun tempat penitipan anak profesional
jika tamu sudah banyak.

Masyarakat memang bersyukur kehadiran resort membuka
peluang kerja bagi masyarakat lokal namun bukan berarti tidak
ada masalah. Para pekerja yang terlibat dalam diskusi kelompok
mengungkapkan kebanyakan para pekerja lokal masih menerima
upah yang rendah. Bahkan ada yang mengatakan mereka masih
ada yang menerima upah dibawah standar upah minimum yang
berlaku di Provinsi Sulawesi Utara. Misalnya dalam diskusi,
Yonathan mengungkapkan sebagai berikut :
“torang senang so dapa kerja di tampa pariwisata begini, jadi
manfaatnya juga voor torang pe keluarga. Cuma lebe ka dalam
lagi ada persoalan persoalan internal yang mungkin bisa diangkat
ke pemerintah karena torang torang ini so ampa lima taon
bekerja gaji masih di bawah UMP”. (kita senang bisa bekerja di
sektor pariwisata karena manfaatnya besar bagi keluarga kami.
Cuma lebih jauh ada masalah internal yang bisa diselesaikan
Pemerintah. Kami sudah bekerja 4 sampai 5 tahun tapi gaji masih
di bawah upah minimum propinsi).

Menurut para informan dalam diskusi ada tiga komponen yang
ditetapkan resort yang menjadi dasar pemberian upah, yaitu, gaji
pokok tetap, pelayanan (service), dan tip box. Biasanya gaji pokok
sangat rendah, bahkan tidak mencapai upah minimum. Oleh
karena itu, para pekerja sangat berharap dari imbalan pelayanan
dan tip para tamu. Jika tamu yang menginap banyak maka para
pekerja bisa mendapat uang yang banyak karena uang pelayanan
dan tip selalu dikaitkan dengan jumlah tamu, namun sebaliknya
jika tamu sedikit maka mereka terpaksa hanya mendapat gaji
pokok yang tidak terlalu besar. Pada saat resort mengalami
paceklik tamu maka para karyawan tidak mungkin hanya
mengandalkan gaji pokok yang kecil, oleh karena itu ada yang
122 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

bekerja sambilan yakni sebagai petani rempah-rempah seperti
pengakuan Jeremiah Karelung atau menjadi nelayan seperti yang
dilakukan Anthon Lintong dan Jonathan Sasikone.
Selain itu dalam diskusi kelompok, para peserta mengeluh
tentang kebijakan resort yang tidak memberikan jaminan sosial
atau tunjangan kesehatan bagi keluarga. Resort tidak memberikan
tunjangan yang dimaksud sehingga ketika keluarga sakit terpaksa
mereka harus mengambil dari jatah gaji mereka yang sudah kecil
yang tentunya ikut berpengaruh terhadap pola konsumsi mereka.
Menurut mereka keadaan akan sangat terasa pada saat tamu yang
menginap di resort sedikit dan ada anggota keluarga yang sakit.
Jika tidak mempunyai uang mereka harus meminjam uang
membiayai keluarga yang sakit. Hal ini diungkapkan oleh Safrudin
Saleh dan Jeremiah Karelung dalam diskusi kelompok, hingga oleh
karena itu ketergantungan kepada tetangga sangat penting dalam
masyarakat Kimabajo.
Walaupun demikian para pekerja masih bersyukur dengan
kehadiran resort di Kimabajo. Mereka tidak ingin resort pindah
dari tempat mereka, bahkan mereka berharap lebih banyak
pengusaha luar yang mau membuka usaha di Kimabajo. Seperti
diungkapkan tokoh masyarakat Supena Muharam dan Albert
Makausi yang berpartisipasi dalam diskusi bahwa terlepas dari
perbedaan pendapat tentang sisi positif dan sisi negatif Pariwisata,
mereka di Kimabajo merasa senang karena berbagai resort yang
ada di sana mampu menyerap sebagian besar tenaga kerja dari
Desa mereka.
Berkaitan dengan pekerja yang datang dari luar Kimabajo,
para pekerja lokal tidak mempermasalahkan sejauh ketrampilan
yang dibutuhkan tidak dapat disediakan penduduk Kimabajo,
maka perusahan boleh merekrut tenaga dari luar wilayah. Untuk
bagian pembukuan misalnya resort mendatangkan pekerja dari
luar Desa karena belum cukup tersedia di Desa tersebut. Memang
123 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

ada satu orang dari Kimabajo yang sarjana ekonomi pernah
direkrut menjadi tenaga pembukuan tapi kemudian keluar
membuka usaha sendiri, sehingga perusahan mencari tenaga dari
luar daerah Kimabajo. Oleh karena pada umumnya mereka yang
bekerja di resort tamatan sekolah lanjutan maka mereka lebih
banyak direkrut untuk pekerjaan sebagai tenaga pembersih dan
keamanan, sedangkan untuk bidang khusus seperti administrasi,
koki, instruktur selam pihak resort masih mengandalkan tenaga
dari luar daerah.
Tentu tidak semua pekerja yang ada dapat diserap di
resort. Para pencari kerja cukup banyak sedang kebutuhan tenaga
kerja resort terbatas sehingga tidak mungkin menyerap semua
pekerja. Kondisi ini berpotensi memicu kecemburuan sosial antar
warga dan mungkin konflik antara perusahan dan warga. Untuk
menghindari masalah ini terjadi maka pihak perusahan dan warga
sudah membuat kesepakatan bahwa setiap rumah tangga hanya
diperbolehkan mengutus satu anggota keluarga bekerja di resort.
Dengan demikian terjadi pemerataan kesempatan memperoleh
pekerjaaan dan tidak menimbulkan konflik.
Para pekerja lokal mengatakan bahwa mereka akan
meminta kesempatan belajar ketrampilan tertentu agar bisa
menempati posisi yang sekarang di pegang para pekerja dari luar,
dan manajemen perusahan dalam hal ini sangat mendukung upaya
tersebut. Misalnya, Anthon Lintong dan Jeremiah Karelung,
peserta diskusi mengatakan bahwa pada awalnya mereka direkrut
sebagai penjaga keamanan resort. Pekerjaan ini mereka lakukan
sambil belajar tentang bagaimana merawat taman dan bangunan.
Setelah bekerja selama setahun Anthon dan Jeremy mendapat
kesempatan pindah kebagian maintenance yang gajinya lebih
besar daripada penjaga keamanan. Dengan demikian ada tercipta
peluang pekerja lokal meningkatkan ketrampilan mereka melalui
promosi jabatan. Promosi jabatan seperti ini diberikan pada
pekerja yang berdedikasi tinggi, karena dalam managemen
124 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

hotel/resort ada banyak jenis pekerjaan dengan alternatif gaji yang
bervariasi, tergantung sejauh mana ketika disiplin yang dituntut
ditempat kerja dapat dengan rela diikuti para pekerja.
Tantangan yang dihadapi para pekerja lokal ketika pindah
ke sektor pariwisata adalah budaya kerja yang berubah. Mereka
harus menyesuaikan diri dengan budaya kerja yang baru yaitu
harus disiplin dengan waktu dan telaten. Memang jika dilihat
lebih lanjut terjadi suatu lompatan yang cukup jauh bergeser dari
profesi petani dan nelayan menjadi pekerja di sektor pariwisata.
Sebagai petani dan nelayan para pekerja menjadi tuan untuk diri
sendiri dan waktu mereka lebih fleksibel, sedang bekerja di resort
mereka harus menyesuaikan diri dengan disiplin serta aturan kerja
yang lebih ketat pihak perusahan.
Selain itu mereka juga harus menjaga kenyamanan dan
kepuasan para tamu yang menginap, sedang hal semacam ini tidak
perlu mereka risaukan ketika menjadi petani atau nelayan. Salah
satu hambatan yang dihadapi para pekerja lokal adalah bahasa
Inggris. Pekerjaan yang ada di resort menuntut mereka untuk bisa
menguasai bahasa Inggris dan agar mereka bisa memaksimalkan
pelayanan mereka, namun karena pendidikan mereka yang ratarata sekolah menengah membuat hanya sebagian kecil mereka
yang bisa mengerti bahasa Inggris secara pasif. Memang perusahan
memberi pelatihan-pelatihan ketrampilan pada karyawannya,
termasuk pelatihan bahasa Inggris dan hal ini sangat membantu
pekerja lokal seperti yang diungkapkan oleh Jeremiah Karelung
dan Anthon Lintong.

Peluang Usaha dari Pengembangan Wisata
di Kimabajo
Aktivitas pariwisata selalu membawa dampak munculnya
peluang masyarakat sekitar untuk membuka usaha. Hal ini wajar
karena kehadiran pariwisata mendorong permintaan terhadap
produk lokal yang dihasilkan masyarakat di sekitar daerah wisata.
125 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Selain itu tumbuh usaha jasa lain untuk melayani tamu yang
menginap di resort, dan biasanya tumbuhnya suatu usaha akan
menumbuhkan pula usaha ikutan (multiplier effect) lainnya.
Pertumbuhan usaha baru ini berpotensi menciptakan lapangan
kerja baru. Dengan demikian pengembangan pariwisata akan
mempunyai akibat ganda yaitu mendorong terciptanya usaha baru
dan penyerapan tenaga kerja.
Pengembangan usaha di Kimabajo ternyata menciptakan
adanya peluang dalam beberapa bidang. Dalam diskusi kelompok
Nurdin Hadi mengatakan bahwa ketika resort ini berdiri dia
terlibat dalam usaha jual beli tanah. Pada waktu pembebasan
tanah, dia terlibat sebagai perantara sehingga mendapatkan uang
yang cukup. Memang pada waktu itu bapak Nurdin mempunyai
informasi yang tentang pembangunan resort sehingga dia cepat
tanggap dengan mencari tanah yang kemudian dijual kepada
investor. Menurut bapak Nurdin dia sudah mulai terlibat dalam
jual beli tanah sejak tahun 1991.
Selain itu pengembangan pariwisata di Kimabajo memberi
peluang berkembangnya usaha warung. Ada beberapa warung
yang menyediakan kebutuhan pokok kepada para karyawan.
Misalnya, ibu Meidy Makausi salah seorang peserta diskusi
mengatakan bahwa setelah melihat begitu banyak pekerja yang
direkrut resort dia melihat terbuka peluang membuka warung
yang melayani pekerja. Ibu Meidy kemudian membuka warung
yang menyediakan kebutuhan pokok bagi karyawan. Biasanya
para pekerja berhutang dulu dan ketika sudah mendapat bayaran
baru dibayar. Menurut ibu Meidy para karyawan yang biasanya
membayar tepat waktu dan tidak pernah ada yang melarikan diri.
Ibu Meidy sendiri tidak takut karena dia tahu para pekerja setiap
bulan mendapat tiga kali bayaran yaitu dari gaji pokok, service,
dan tip. Dia sangat percaya para karyawannya karena kebanyakan
mereka tinggal di sekitar rumah beliau.

126 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Pengembangan kegiatan wisata di Kimabajo mendorong
tumbuhnya sektor jasa rental mobil. Syamsul Jaelani pernah
menjadi karyawan bagian akunting di Cocotinos Resort dan
Kimabajo Resort, namun dia ingin mendapatkan pengalaman
untuk siap-siap pindah kerja ke tempat lain. Sejak 2009, dia
mengundurkan diri dan memulai usaha sendiri rental mobil.
Bapak Syamsul menyetir sendiri mobilnya menjemput tamu dari
bandara udara dan mengantarkan tamu jika mau bepergian ke
Kota Manado. Harga yang dia kenakan kepada para tamu adalah
Rp. 250,000,- ketika menjemput ke bandara untuk sekali jalan. Dia
merasa lebih nyaman membuka usaha sendiri karena mempunyai
lebih banyak waktu bersama dengan keluarga. Dalam hal ini
bapak Syamsul merasa lebih merdeka karena bisa mengatur waktu
sendiri dan tidak perlu stress seperti pada masa yang lalu.
Selain usaha rental mobil, berkembang pula usaha baru
yaitu penyewaan perahu. Menurut Albert Makausi, ada beberapa
penduduk yang berbisnis menyediakan perahu untuk disewa
wisatawan setelah pariwisata berkembang di Kimabajo. Jika pada
masa yang lalu perahu lebih banyak dipakai menangkap ikan
maka pada masa setelah masuknya wisatawan ada peluang
menyewakan perahu mengantar para wisatawan ke Bunaken atau
pulau sekitar. Kebetulan dari Kimabajo ke Bunaken, dalam cuaca
bagus, dapat ditempuh hanya dalam kurang lebih 30 menit.
Bandingkan kalau berangkat dari Manado yang memakan waktu
sekitar 1 jam. Harga sewa tergantung pada kapasitas perahu,
semakin besar kapasitas semakin mahal. Para wisatawan yang
ingin menyewa perahu dengan kapasitas 30 orang harus
membayar sekitar Rp.750,000,-. Jika ingin menyewa perahu
dengan kapasitas lebih besar perlu uang sebesar Rp. 1,000,000.
Bidang lain yang berkembang dengan kehadiran resort di
Kimabajo adalah usaha hasil nelayan. Seperti telah diungkapkan di
bagian depan desa ini dihuni oleh sebagian besar penduduk yang
pada awalnya adalah nelayan. Walaupun cukup banyak penduduk
127 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

yang terserap di resort masih ada penduduk yang tetap bekerja
sebagai nelayan. Hasil tangkapan mereka berupa macam-macam
ikan baik yang besar maupun kecil, dan kepiting. Dengan
kehadiran resort maka hasil tangkapan mereka dibeli oleh
perusahan. Seperti diungkapkan Hesti Pangumpia dalam diskusi
kelompok:
“kalu makanan dorang beking di dalam. Cuma ada yang dorang
ambe dari sini rupa kapiting deng ikang yang fresko dang. Dorang
beli ikang yang besar macam garopa, deng itu kecil kecil tetap
dorang bli voor itu karyawan dang”. (kalau makanan perusahan
siapkan sendiri. Mereka cuma ambil dari sini seperti kepiting dan
ikan yang masih segar. Mereka beli ikan yang besar seperti ikan
kakap, dan ikan kecil untuk makanan para karyawan).

Dari uraian di atas jelas kehadiran resort telah memberi
manfaat kepada penduduk secara luas. Hasil tangkapan mereka
bisa langsung dibeli perusahan sehingga para nelayan tidak terlalu
repot-repot membawa ke pasar. Perusahan mendapat manfaat
dari pola hubungan seperti ini, serta pada saat yang sama
penduduk lokal langsung
merasakan keuntungan dengan
keputusan resort untuk membeli tangkapan mereka. Secara
menyeluruh pariwisata menjamin kelancaran usaha penduduk
Kimabajo. Mereka bisa memanfaatkan berbagai peluang sehingga
uang yang diterima dari resort akan berputar di desa tersebut dan
tidak langsung keluar. Perputaran uang tersebut yang mendorong
semakin banyaknya lahir usaha ikutan. Singkatnya kehadiran
pariwisata mendorong usaha kewiraswastaan di Kimabajo
bertumbuh dan yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan
ekonomi rumah tangga masyarakat secara luas, sehingga pada
saat yang sama kita dapat melihat bahwa sektor pariwisata bisa
tumbuh bersama sektor tradisional.
Para peserta diskusi juga mengeluh bahwa walaupun
pariwisata sudah berkembang namun masyarakat Kimabajo tidak
mempunyai souvenir lokal. Mereka sangat ingin agar bisa
mempunyai produk khas yang bisa dijual kepada wisatawan.
Menurut Supena Muharam sampai saat ini Pemerintah belum
128 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

melakukan pelatihan apa pun tentang ketrampilan kerajinan
dengan menggunakan bahan yang tersedia di Kimabajo. Misalnya,
desa ini merupakan penghasil ikan dan sisiknya dibuang saja. Pada
hal di Desa Arakan sisik ikan dapat diproses menjadi kerajinan
yang bisa dijual. Para peserta diskusi sangat berharap agar ada
pelatihan pembuatan kerajinan yang bisa menjadi ciri khas produk
Kimabajo. Melalui dana PNPM Mandiri Pedesaan tahun ini
mudah-mudahan ada pelatihan semacam itu di desa kami, asalkan
ada banyak anggota masyarakat yang mengusul demikian kata
Hukum Tua.

Pariwisata dan Pembangunan Desa Kimabajo
Pengembangan pariwisata itu sendiri perlu ditunjang oleh
infrastruktur yang bagus. Dalam hal ini jalan raya yang melintasi
Desa Kimabajo sudah mulus dengan lebar sekitar 4 meter. Kondisi
jalan seperti ini memudahkan lalu lintas barang dan orang dari
Kota Manado ke Kimabajo. Sebenarnya resort yang dibangun di
Kimabajo telah memanfaatkan jalan yang dibangun Pemerintah.
seperti jalan yang menghubungkan Kota Manado dengan Kota
Likupang di Sulawesi Utara. Dengan berkembangnya kegiatan
pariwisata di Kimabajo, tahun 2010 dan tahun 2011, Pemerintah
Provinsi meningkatkan kualitas jalan menjadi hotmix untuk
menunjang lalulintas wisatawan yang datang dan pergi ke
Kimabajo resort agar penumpang merasa lebih nyaman. Jalan ini
juga dimanfaatkan masyarakat lokal membawa produk mereka ke
Kota Manado dengan lebih mudah, termasuk para nelayan yang
dengan mudah membawa hasil tangkapannya ke kota. Selain itu
para pemilik warung dapat dengan mudah pergi ke kota membeli
barang dan membawa untuk dijual kembali di Kimabajo. Misalnya
Meydi Makausi sangat bersyukur dengan fasilitas jalan tersebut.
Biasanya dia pergi ke Manado belanja dan kembali dengan cepat
ke Kimabajo menggunakan angkutan umum.

129 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Sampai saat ini Desa Kimabajo seperti Desa mati pada
malam hari karena tidak ada penerangan jalan. Kondisi ini belum
berubah karena Pemerintah belum membuat program penerangan
jalan. Paling tidak jalan sepanjang 1 km perlu diterangi lampu.
Masyarakat akan merasa bersyukur jika mereka bisa pulang malam
tanpa rasa takut. Keadaan ini diungkapkan Soleman Lawitang
dalam diskusi kelompok, “lampu jalan masih menjadi masalah di
sini. Kami butuh lampu jalan agar Desa ini sedikit lebih hidup di
malam hari”. Selain masalah penerangan jalan, pemerintah juga
sudah memprogramkan pembangunan fasilitas jamban umum,
pengadaan air bersih, dan pengadaan lampu jalan. Pengadaan
fasilitas jamban dimaksudkan agar masyarakat menjaga sanitasi
lingkungan sekitarnya. Pada masa yang lalu seringkali penduduk
membuang hajat di kebun karena fasilitas jamban hampir tidak
tersedia di rumah. Rumah di Kimabajo kebanyakan berukuran
kecil sehingga jarang penduduk menggali lubang WC dekat rumah
oleh karena itu kebun menjadi jamban umum. Jika air pasang
kotoran tersebut akan dibawah arus air. Seperti diuangkapkan
dalam wawancara dengan Supena Muharram, Hukum Tua
Kimabajo pada bulan April 2011 yang lalu. Jamban umum mulai
dibangun Pemerintah sekitar tahun 1996. ada sekitar tiga jamban
umum yang dibangun untuk melayani sekitar 808 penduduk.
Walaupun dari segi jumlah tidak terlalu banyak namun kehadiran
jamban ini sangat membantu untuk meningkatkan kebersihan
lingkungan. Pengadaan jamban ini juga tepat oleh karena rumah
penduduk banyak berada di sebelah tembok resort. Jika ini tidak
dilakukan maka bau kurang sedap bisa dirasakan tamu resort dan
mengurangi kenyamanan mereka untuk tinggal lebih lama.
Masalah lain yang menerpa penduduk di Kimabajo adalah
kurangnya ketersediaan air minum. Sampai 2008 penduduk masih
mengalami masalah untuk mendapatkan air bersih. Mereka harus
berjalan 1 km untuk mendapatkan air yang layak untuk diminum.
Bagi mereka yang mempunyai uang bisa membeli dari pedagang
130 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

air gerobak. Harga satu jerigen air 10 liter sekitar Rp, 2,000.
Kondisi ini sangat memberatkan keadaan masyarakat yang sudah
hidup pas-pasan. Keadaan ini berubah setelah Pemerintah mulai
membangun fasilitas air pada tahun 2008. Air diambil dari mata
air sekitar 1 km dari Desa, yang disalurkan melalui selang ke
beberapa sentra dalam Desa Kimabajo. Walaupun distribusi air
belum langsung ke masing-masing rumah namun dengan adanya
sentra tersebut telah banyak membantu masyarakat untuk tidak
perlu jalan-jauh mendapatkan air yang layak di konsumsi.
Walaupun Pemerintah sudah membangun beberapa
fasilitas namun masih ada keluhan mengenai listrik. Dalam diskusi
kelompok para peserta mengungkapkan bahwa listrik sering mati
sehingga mengganggu aktivitas ekonomi mereka. Misalnya,
Syamsul Jaelani mengungkapkan dalam diskusi bahwa listrik
menjadi masalah karena sering mati hidup sehingga ikan yang
mereka simpan cepat rusak. Hal ini membuat mereka rugi karena
ikan harus dibuang atau langsung diolah. Jika listriknya hanya
mati sebentar tidak menjadi masalah namun kadang matinya bisa
setengah hari sehingga merusak ikan. Ikan yang mereka simpan
biasanya dijual ke resort atau dibawa ke tempat lain untuk dijual.
Masalah listrik ini juga berdampak terhadap usaha rumah tangga.
Misalnya, ada rumah tangga tidak bisa membuat es lilin karena
tidak pernah berhasil. Hal ini diungkapkan Meidy Makausi
dalam diskusi kelompok.
Selain pembangunan infrastruktur publik ada juga
pembangunan fasilitas sosial dan keagamaan. Di Desa ini berdiri 3
gereja dan 1 mesjid. Pada umumnya pembangunan fasilitas
keagamaan merupakan swadaya masyarakat dan bantuan
Pemerintah. Misalnya, salah satu gereja Protestan dibangun pada
tahun 1971 dengan mengandalkan dana usaha masyarakat sebesar
Rp 127.000.000 dan bantuan pemerintah sebesar Rp. 30.000.000.
Begitu pula dengan pembangunan mesjid pada tahun 1965 berasal
dari dana masyarakat dan pemerintah sebesar Rp. 100,000,000.
131 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Dana masyarakat yang dimaksud disini adalah dana yang berasal
dari sumbangan masyarakat lokal murni dan usaha masyarakat
menggalang sumbangan dari pihak ketiga di luar pemerintah.
Pembangunan fasilitas keagamaan sangat penting karena hampir
sebagian besar penduduk terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan
keagamaan. Misalnya, Enta yang aktif sebagai majelis di gereja
Protestan dan Supena aktif di mesjid sebagai pengurus organisasi
keagamaan. Tampaknya mereka yang terlibat dalam diskusi
merasa bangga jika menjadi pengurus mesjid atau majelis gereja.
Kegiatan sosial seperti ini menjadi salah satu prioritas sehingga
ketika memilih antara bekerja lembur dan kegiatan di gereja dan
mesjid, mereka pada umumnya memilih untuk tidak lembur demi
kegiatan keagamaan. Misalnya ketika, Safrudin Saleh, dalam
diskusi kelompok mengungkapkan bahwa beliau di luar pekerjaan
di resort, juga berperan sebagai perangkat desa dan pengurus
mesjid. Sama halnya dengan Jonathan Sasikome, selain sebagai
karyawan dia juga menjadi ketua Komisi Bapak di gereja, sehingga
kedua fungsi ini dapat berjalan dengan serasi setelah terjadi
pembagian waktu yang cukup dari masing-masing pelakunya.

Interaksi Masyarakat Lokal dan Tamu Resort
Secara menyeluruh masyarakat Kimabajo menyambut baik
kehadiran turis di lingkungan mereka. Hal ini diungkapkan semua
perserta dalam diskusi kelompok. Seperti diungkapkan Soleiman
Lawitang dalam diskusi, bahwa mereka tidak akan menolak para
wisatawan oleh karena para wisatawan membawa uang bagi
masyarakat Kimabajo. Walaupun tidak semua penduduk dapat
ditampung bekerja di resort-resort tersebut, tapi paling tidak ada
salah satu anggota keluarga yang boleh bekerja di sana. Pendapat
bapak Lawitang sangat pragmatis. Ada beberapa wisatawan yang
berkunjung ke kampung penduduk dan mencoba makanan lokal.
Para peserta diskusi menganggap hal ini positif karena sikap ini
menunjuk keterbukaan para wisatawan mau bergaul dengan
132 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

masyarakat. Menurut bapak Soleman Lawitang lebih lanjut,
“para wisatawan itu juga memakan hasil makanan dari masyarakat
lokal seperti kuah asam dan sayur asam”.
Para peserta diskusi merasa puas bisa memperkenalkan
makanan khas mereka kepada para wisatawan. Mereka berharap
semakin banyak wisatawan yang mau mencoba makanan lokal,
mereka semakin senang. Kemudian para wisatawan juga datang
mengabadikan kegiatan keseharian masyarakat. Ada beberapa
wisatawan berkeliling kampung melihat dan mengabadikan apa
saja yang menarik mereka. Dalam diskusi Pendeta Tineke Nayoan
mengungkapkan bahwa :
“mereka (para wisatawan) senang dengan budaya lokal seperti
jika ada petani yang mengupas kelapa mereka suka untuk
mengabadikannya lewat foto, juga orang yang memanjat
kelapa juga di foto, juga mereka senang dengan anak-anak lalu
di foto. juga mereka senang dengan anak-anak lalu di foto”.

Menurut Albert Makause, para wisatawan juga mengabadikan
orang yang mencari ikan dengan membuang jala. Lebih lanjut
Soleman Lawitang mengungkapkan kegiatan wisatawan sebagai
berikut :
“Mereka juga senang untuk mengabadikan orang yang ba igi
(orang yang tangkap kepiting, pakai alat khusus), lalu mereka
mengabadikannya lewat foto, mereka juga suka untuk
menyanyi bersama anak-anak, juga anak-anak yang bermain
bola diabadikan oleh mereka”.

Para peserta diskusi kelompok tidak merasa terganggu
dengan adanya berbagai aktivitas para wisatawan tersebut. Bagi
mereka aktivitas wisatawan itu semakin memperkenalkan
Kimabajo ke dunia luar. Walaupun para peserta diskusi kelompok
mengatakan mereka merasa senang menerima wisatawan namun
ada juga peserta diskusi mengungkapkan pernah terjadi konflik
dalam rumah tangga karena salah pengertian. Ada beberapa ibu
yang mencurigai suaminya selingkuh karena berpegangan tangan
dengan wisatawan perempuan ketika naik perahu atau melewati

133 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

jembatan. Hal ini diungkapkan ibu Pendeta Tineke Nayoan
sebagai berikut,
“Kalau dalam penilaian kami ada dampak positif dan ada
dampak negatifnya, karena budaya terkadang berbeda, dan
pengaruh itu kuat untuk mempengaruhi masyarakat, terkadang
terjadi kecemburuan karena tamu yang datang dan mereka
menuntun tamu itu sehingga timbul kecemburuan sehingga
ada rumah tangga yang sempat pisah, dan ada yang dapat
diselesaikan secara internal dan ada berujung ke perceraian”.

Sebenarnya berpegangan tangan tidak terlalu masalah karena
wajar sebagai pengantar harus melindungi konsumen dan ini
bagian dari pelayanan. Namun ini barangkali menjadi masalah
bagi ibu-ibu ketika melihat suaminya menggandeng wisatawan
perempuan yang mereka anggap lebih cantik. Para ibu ini merasa
cemburu dan takut kalau suami mereka kecantol dengan
wisatawan tersebut. Selain itu kebanyakan penduduk Kimabajo
beragama Islam dan barangkali ada ibu-ibu yang masih taat
beragama memandang perilaku pegang tangan seseorang dengan
lawan jenis adalah dilarang agama.
Pada masa yang lalu penduduk dikejutkan dengan ada
wisatawan yang pergi mandi dengan berpakaian minim. Ketika
pergi mandi di pantai mereka pakai bikini dan beberapa penduduk
merasa terkejut. Mereka mendiskusikan hal ini dan bersepakat
agar ibu kepala desa perlu menyelesaikannya. Ibu Kepala Desa
Kimabajo melakukan pendekatan ke pihak resort dan setelah itu
sudah tidak terjadi lagi. Saat ini jika ada wisatawan yang mau
mandi mereka sudah tidak memakai pakaian minim. Hal ini
diungkapkan Bapak Dahlan Kabama peserta diskusi kelompok
yang sudah lama tinggal di Kimabajo.
Pernah ada ketegangan diantara masyarakat Kimabajo
dengan wisatawan karena perbedaan pandangan tentang kegiatan
keagamaan. Para peserta diskusi kelompok mengungkapkan
bahwa para wisatawan, merasa keberatan dengan suara azan yang
menggunakan pengeras suara sehingga menganggu kegiatan tidur
134 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

mereka. Mereka mengeluh kepada pihak resort dan diteruskan
kepada warga Kimabajo. Tokoh-tokoh masyarakat dan agama
Kimabajo kemudian bertemu untuk menyelesaikan masalah ini.
Pada akhirnya warga bersepakat untuk mengarahkan pengeras
suara kearah yang berlawanan dengan letak resort sehingga para
tamu resort tidak terganggu ketika umat Islam melakukan sholat
pagi di mesjid.
Sama halnya dengan kegiatan keagamaan penduduk
beragama Kristen di Kimabajo. Mereka juga mengalami hal yang
sama karena kegiatan gereja mereka menggunakan pengeras suara
yang terdengar sampai resort. Para wisatawan mengeluh tentang
hal ini dan solusinya adalah seperti yang dilakukan di mesjid,
mengarahkan pengeras suara kearah yang belawanan dengan letak
resort. Misalnya, seperti diungkapkan ibu Hesti Pangumpia
berikut ini ketika ditanya tentang adanya potensi konflik dengan
wiswatawan. Ibu Hesti Pangumpia mengungkapkan:
“Ada juga konflik keamanan, maksudnya dorang di dalang
complain. Tamu misalnya dorang nyanda mangarti kalu
Muslim mo sombayang musti pake pengeras suara to, bagitu
juga disini kalu mo ibadah pagi, musti pake pengeras suara to.
Kong itu tamu mo bilang kata, ado so ribut dorang. Tamu
nyanda memahami bahwa itu ibadah. Itu komang complain
brat dari tamu ke masyarakat. Torang so pernah trima surat
no”. (Ada juga konflik keamanan mereka dari dalam resort
mengeluh).

Para tamu tidak mengerti jika masyarakat Muslim kalau
mau sembahyang harus pakai pengeras suara, sama halnya dengan
mereka yang mau ibadah pagi harus pakai pengeras suara. Namun
para tamu berpikir bahwa masyarakat sudah buat ribut. Tamu
tidak memahami bahwa yang masyarakat lakukan adalah ibadah.
Itu saja keluhan berat tamu tentang masyarakat. Mereka juga
sudah pernah menerima surat aduan.
Menurut ibu Hesti Pengumpia lebih lanjut, pernah juga
terjadi masyarakat Kristen di Kimabajo membuat acara “Kantin
Pembangunan” mencari dana pembangunan gereja dengan
135 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

pengeras suara. Para tamu mengeluh karena terlalu ribut, sehingga
resort datang dengan tawaran agar acar tersebut tidak perlu
dilanjutkan sedangkan jumlah dana yang diinginkan dibayar
seluruhnya oleh resort. Pada saat itu resort lagi terisi penuh
sehingga mereka mau menjaga kenyamanan tamu maka mereka
berani menutup kebutuhan dana pembangunan gereja yang
diminta.
Secara menyeluruh semua keluhan tamu melalui resort
dapat diselesaikan pemuka masyarakat secara damai. Masyarakat
Kimabajo tampaknya penuh pengertian terhadap tuntutan tamu
walaupun menyangkut hal-hal yang sensitif di bidang keagamaan.
Barangkali ini hanya karena ada keinginan masyarakat secara
menyeluruh mempertahankan Desa Kimabajo sebagai daerah
tujuan wisata. Para peserta diskusi pun tidak menutup masalah
yang ditimbulkan oleh masyarakat lokal terhadap para tamu
seperti pada masa yang lalu terjadi kasus pencurian ringan
terhadap barang barang milik tamu. Dalam diskusi kelompok
Soleman Lawitang mengatakan: “ada masalah yang sering terjadi

yaitu anak muda mengambil atau mencuri barang milik dari
wisatawan. Namun hal ini dengan cepat diselesaikan tokoh-tokoh
masyarakat sehingga kasus pencurian sudah tidak muncul lagi
akhir akhir ini.

Penerimaan Masyarakat Kimabajo terhadap Resort
Secara menyeluruh semua anggota masyarakat yang
terlibat dalam diskusi kelompok menanggapi secara positif
kehadiran resort di Kimabajo. Ada bermacam-macam tanggapan
masyarakat tentang kehadiran resort di Desa ini. Alasan yang
paling sering disebut para peserta diskusi adalah manfaat ekonomi.
Mereka merasa bahwa secara ekonomi mereka merasa lebih baik
dari waktu sebelumnya. Kehadiran resort telah memberi
pekerjaan seperti yang diungkapkan oleh Safrudin Saleh, Samsul
Jaelani, Felma Sasikone, dan Jeremiah Karelung. Bahkan dari
136 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

diskusi terlihat bahwa tidak ada satu pun yang menolak kehadiran
resort tersebut. Para peserta diskusi sepakat bahwa resort
membawa berkah bagi masyarakat secara menyeluruh. Misalnya,
Dahlan Kabarna, salah seorang peserta diskusi secara jelas
mengatakan bahwa resort yang ada me