Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pariwisata bagi Masyarakat Lokal D 902009101 BAB II

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Bab 2
Pengembangan Pariwisata, Manfaat, dan
Konflik: Kajian Pustaka

Pendahuluan
Pariwisata penting, namun sekarang masih berfokus ke
daerah-daerah tertentu, seperti Yogyakarta, Bali, dan Jakarta.
Pariwisata belum mendapat perhatian serius hingga kini karena
kalah pamor dengan sektor manufaktur. Manufaktur sejak Orde
Baru telah menjadi sektor yang diandalkan untuk ekspor dan
pembentukan modal serta sektor yang menyerap tenaga kerja
yang besar. Arah kebijakan pembangunan dengan pola seperti ini
telah lebih menguntungkan beberapa daerah di pulau Jawa yang
mempunyai infrastruktur yang lebih baik daripada daerah-daerah
di luar pulau Jawa. Wilayah Indonesia Timur yang dalam kondisi
aktualnya masih ketinggalan infrastruktur hampir tidak bisa
mengimbangi daerah-daerah industri di pulau Jawa. Oleh karena
itu wilayah-wilayah ini harus mencari sektor alternatif sebagai
sumber pendapatan, dan dalam hal ini sektor pariwisata mungkin

lebih menjanjikan. Kebanyakan wilayah di Indonesia Timur masih
mempunyai tempat dengan pemandangan alam yang indah dan
cocok untuk pariwisata. Ada dua daerah di Indonesia yang sudah
mendapat pengakuan sebagai daerah wisata, yaitu Bali dan
Yogyakarta. Kedua daerah ini setiap tahun paling banyak menarik
wisatawan baik luar negeri maupun dalam negeri. Sekarang
Sulawesi Utara merupakan provinsi ketiga di Indonesia yang
secara agresif mulai menjadi ikon baru pariwisata di Indonesia
Timur. Setiap tahun makin banyak wisatawan yang datang
menyelam di perairan berbagai pulau yang ada di provinsi ini. Saat
13 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

ini semakin banyak resort-resort yang dibangun oleh para
pengusaha asing untuk menampung wisatawan tersebut. Selain itu
semakin banyak hotel berbintang dibangun di kota Manado dalam
rangka menarik pemerintah maupun swasta menyelenggarakan
seminar di kota ini. Dengan demikian kota ini mulai dikenal dan

dapat diandalkan untuk promosi sektor pariwisata Sulawesi Utara.
Harapannya pada masa depan Sulawesi Utara akan menjadi
daerah tujuan wisata seperti dua daerah lain, yaitu Bali dan
Yogyakarta.
Kemudian muncul pertanyaan siapa yang akan mendapat
manfaat dari pengembangan pariwisata di Sulawesi Utara. Dalam
rangka menjawab pertanyaan ini maka berikut ini adalah kajian
pustaka yang lebih menekankan pada dampak pariwisata bagi
daerah dan penduduk lokal. Penduduk lokal yang dimaksud disini
adalah mereka yang berdomisili di sekitar obyek wisata tanpa
mempersoalkan daerah asal mereka. Dampak yang dimaksud
disini bisa positif dan negatif.

Transformasi Ekonomi Daerah ke Sektor Modern
Karya klasik tentang perubahan struktural dari sektor
pertanian ke industri dimulai oleh Chenery (1979), yang selalu
menjadi dasar analisis perubahan struktural ekonomi pada era
1980-an. Chenery berpendapat bahwa hanya melalui spesialisasi
sebuah negara akan mengalami proses transisi ekonomi dari sektor
pertanian ke sektor industri. Model ini kemudian didasarkan pada

pengalaman negara-negara Eropa dan Amerika pada tahun 1900an. Model yang dikembangkan oleh Chenery sangat populer di
beberapa negara berkembang yang berlomba meninggalkan sektor
pertanian dan menjadikan sektor industri sebagai kegiatan utama
ekonomi negara. Pada tahun 1940-an dan 1960-an, banyak negara
di benua Asia dan Afrika berhasil melepaskan diri dari penjajahan.
Negara-negara tersebut terjebak dalam persaingan ideologi antara
kubu kapitalis negara-negara Barat dan kubu sosialis dari Eropa
14 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Timur. Kebanyakan negara yang baru merdeka merasa lebih
tertarik pada ideologi sosialisme daripada ideologi kapitalisme,
karena kemerdekaan mereka sering ditunjang negara-negara blok
Timur tersebut. Namun ada juga beberapa negara yang sejak awal
kemerdekaannya bersekutu dengan negara-negara kapitalis dan
telah memprioritaskan pengembangan sektor industrinya dalam
upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Transformasi
juga terjadi pada negara-negara Eropa Timur setelah bubarnya Uni

Sovyet (Conley dan Cipoletti, 2009).
Pengalaman transformasi yang berlangsung di Indonesia
tidak terlalu berbeda dengan kejadian negara berkembang yang
lain. Setelah merdeka Indonesia mencita-citakan suatu masyarakat
modern yang mempunyai fondasi ekonomi pada sektor industri
(Glassburner, 1971). Namun perkembangan sosial politik di
Indonesia membuat negara ini tidak mulus mengembangkan
sektor industrinya (Tambunan, 2006). Soekarno sebagai presiden
Indonesia pertama kurang memberi perhatian pada pembangunan
ekonomi modern karena sibuk membangun kesadaran politik
berbangsa. Apalagi pada waktu itu Papua Barat masih dikuasai
Belanda, sehingga yang menjadi agenda Sokarno pada waktu itu
adalah bermaksud mengintegrasikan wilayah tersebut dengan
segala konsekuensi. Dalam situasi yang tidak menentu seperti itu
Presiden Soekarno mencetuskan sistem demokrasi terpimpin dan
sistem ekonomi terpimpin. Dalam sistem ekonomi terpimpin
pemerintah sangat aktif dalam mendorong kegiatan ekonomi dan
ini bertentangan dengan prinsip Neo-liberal yang menghendaki
keterlibatan pemerintah yang minimal. Kebijakan dari Ekonomi
Terpimpin oleh kubu Amerika dilihat sebagai penerapan prinsip

ekonomi sosialis Eropa Timur yang memberi peluang peran
negara yang lebih besar dalam perekonomian. Salah satu dari
kebijakan Soekarno adalah melakukan nasionalisasi terhadap
perusahan Belanda pada tahun 1957. Kebijakan ini menyebabkan
Indonesia tidak mempunyai akses terhadap pasar luar negeri,
15 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

sehingga mengalami masalah dalam cadangan devisa. Kekurangan
cadangan devisa ini telah membawa dampak kepada terbatasnya
kemampuan Indonesia mengganti suku cadang mesin pabrik. Hal
ini membuat sektor manufaktur mati suri karena kekurangan suku
cadang (Mackie, 1971). Kebijakan ini ternyata membawa dampak
negatif dengan kenaikan inflasi yang sangat tinggi sehingga
menjadi biang kejatuhan Soekarno dan naiknya Soeharto sebagai
presiden Indonesia kedua yang menandai era pemerintahan Orde
Baru.
Sejak awal berkuasa pemerintahan Orde Baru merancang

pembangunan ekonomi melalui percepatan perkembangan sektor
industri (Siahaan, 2000; Hill, 1991). Ternyata memang Indonesia
mengalami kemajuan industrialisasi yang cukup pesat walaupun
lebih banyak juga ditunjang oleh peranan modal asing. Proses
transformasi ekonomi pun berlangsung pesat dengan semakin
besar sumbangan sektor non-pertanian dalam perekonomian
Indonesia (Hill, 1996; Rahardjo, 1986). Transformasi sruktural
berlangsung lebih cepat di Jawa daripada di luar Jawa. Daerah
industri tumbuh dengan cepat dan tersebar di sekitar DKI Jakarta,
Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (Tambunan,
2006). Penyebaran industri manufaktur terjadi di daerah urban,
sehingga jangan heran jika daerah perkotaan di Jawa mengalami
proses urbanisasi yang luar biasa (Firman, 1997; Rahardjo, 1986).
Daerah luar Jawa mempunyai pola pembangunan yang sedikit
berbeda dengan Jawa.
Transformasi ekonomi seperti yang berlangsung di Jawa
tidak begitu kelihatan di Indonesia Timur. Indonesia Timur di sini
meliputi provinsi-provinsi yang ada di kepulauan Nusa Tenggara,
Sulawesi, Maluku, dan Papua. Oleh karena wilayah-wilayah ini
kaya dengan sumber daya mineral, maka sektor ekstraktif menjadi

andalan (Hill, 1996). Namun masalahnya adalah sebagian besar
pendapatan dari sektor ini dikuasai pemerintah pusat, sehingga
keberadaan sektor ini tidak terlalu membawa dampak yang berarti
16 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

pada perekonomian lokal. Bahkan, sebagian besar dari penduduk
masih menjadikan sektor pertanian sebagai sumber nafkah utama.
Sebenarnya gambaran tentang kondisi perekonomian Indonesia
Timur masih belum keluar dari teori “kutukan sumberdaya alam,”
(natural resource curse). Kutukan sumber daya alam adalah suatu
teori yang mengatakan bahwa pada umumnya negara-negara yang
kaya sumberdaya alam terbelit kemiskinan (Mehlum, et al., 2006).
Teori ini lebih banyak berlaku di negara-negara Afrika yang kaya
sumberdaya alamnya namun tidak mampu memiliki teknologi dan
sumberdaya manusia yang memadai untuk mengolah sumberdaya
mineral yang ada di negara mereka. Pengecualian untuk teori ini
adalah negara seperti Australia yang telah mengandalkan sektor

ekstraktif sebagai sumber utama pendapatan negara tapi makmur
(Mehlum, et al., 2006).
Pada tahun 1998, setelah terjadi krisis ekonomi dan politik
Soeharto meletakkan jabatan sebagai presiden. Sejak Orde Baru
tumbang mulai era baru dengan memberi otonomi yang lebih luas
kepada daerah. Baik pada masa Orde Lama maupun pada masa
Orde Baru konsentrasi keputusan politik berada di Jakarta dan
daerah dibuat tergantung. Proses otonomi ini kelihatan baik
namun dalam pelaksanaan masih banyak daerah belum siap dari
sisi sumberdaya manusianya (Basri, 2009). Oleh karena itu ada
daerah tertentu yang berhasil memanfaatkan momen otonomi,
tapi ada juga daerah tertentu yang tidak berhasil. Gambaran di
atas menunjukkan situasi ekonomi politik setelah reformasi.
Barangkali karena terlalu lama berada di bawah kendali rejim
otoriter banyak kepala daerah masih bersifat pasif menunggu
instruksi dari pusat. Padahal dalam era otonomi saat ini yang
dibutuhkan adalah kepala daerah sebagai perencana ekonomi dan
bukan administrator. Kondisi ini diperparah dengan melihat
kualitas kandidat kepala daerah yang tidak memadai, namun
karena memiliki banyak uang terpilih menjadi kepala daerah.

Keadaan seperti yang menyebabkan daerah bersangkutan selalu
17 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

tertinggal karena kemampuan dan kapasitas dari pimpinan daerah
yang rendah.

Peranan Pariwisata dalam Perekonomian Daerah
Pariwisata dapat menjadi andalan sumber pendapatan
suatu daerah. Di Indonesia saat ini, Bali adalah satu-satunya
provinsi yang selalu mengandalkan pariwisata sebagai sumber
pendapatan utama. Lombok sebagai imbas dari perkembangan
pariwisata Bali juga mulai bergantung pada pariwisata secara
ekonomi. Kemudian Thailand dan Singapura adalah dua negara
yang juga mengandalkan sektor pariwisata sebagai bagian dari
penerimaan negara. Sumbangan dari sektor pariwisata dalam
perekonomian suatu daerah dapat dilihat dari data statistik
pertumbuhan sektor bangunan dan akomodasi, dan data tentang

tenaga kerja (Sorensen dan Epps, 2003). Jika terjadi penurunan
peran di sektor primer, dan penurunan tenaga kerja di sektor
pertanian berarti ada indikasi terjadinya perubahan struktural.
Lebih lanjut jika terjadi lonjakan tenaga kerja di sektor jasa
dapat dilihat sebagai indikasi terjadinya kenaikan peran sektor
pariwisata dalam perekonomian suatu wilayah. Salah satu contoh
adalah proses perubahan dari pertanian ke pariwisata di Australia
Barat. Wilayah Australia Barat mempunyai padang yang luas
untuk pemeliharaan peternakan. Namun perpindahan penduduk
besar-besaran ke daerah perkotaan menyebabkan daerah pedesaan
kekurangan jumlah penduduk. Akibatnya banyak padang yang
menganggur karena ternak semakin berkurang. Padang-padang ini
kemudian menjadi daya tarik turis sehingga semakin banyak
orang berkunjung ke sana (Sorensen dan Epps, 2003). Daerah yang
tadinya hanya mengandalkan basis perekonomiannya dari sektor
peternakan sekarang lebih mengandalkan sektor pariwisata.
Transformasi di atas terjadi karena ada permintaan dan juga
pengusaha lokal aktif melakukan pemasaran.

18 

 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Masih terjadi perdebatan hingga saat ini apakah pariwisata
bisa diandalkan sebagai sektor yang mendorong pembangunan
suatu wilayah atau tidak mempunyai dampak ekonomis. Sektor ini
sangat terbuka secara global terhadap pengusaha dari mana saja,
baik luar daerah maupun dari dalam daerah bersangkutan. Ada
dua pendapat yang berkembang dalam hal ini, yaitu kelompok
yang percaya bahwa pariwisata dapat diandalkan menjadi sumber
pendapatan utama suatu wilayah dan ada kelompok lain yang
melihat pengembangan pariwisata dapat merugikan daerah yang
bersangkutan. Masing-masing aspek pandangan ini akan dibahas,
pertama kelompok yang mempunyai pandangan positif terhadap
pengembangan pariwisata akan dibahas lebih dahulu dan setelah
itu baru dibahas kemudian pandangan kelompok yang mempunyai
pandangan negatif.

Manfaat Pengembangan Pariwisata
Kelompok yang dasarnya mempunyai pandangan positif
mengangkat tiga hal penting yaitu, sumbangan sektor ini terhadap
pemasukan devisa, penciptaan lapangan kerja, pengembangan
usaha dan keterkaitan dengan sektor lain. Dalam aras makro,
target pengembangan pariwisata yang dicanangkan dalam aras
negara selalu dikaitkan dengan pemasukan devisa (Tetsu 2006;
Neto, 2003; Bardgett, 2000). Devisa dibutuhkan suatu negara
dalam rangka menunjang program pembangunan di negara
tersebut. Devisa yang masuk melalui sektor pariwisata akan
menambah cadangan devisa negara. Jika pariwisata berkembang
berarti negara mempunyai cadangan devisa yang cukup untuk
membiayai impor barang-barang modal dan bahan baku dalam
rangka menunjang pengembangan sektor industri yang lain.
Dengan demikian maka pengembangan pariwisata akan
mempunyai dampak positif terhadap pembangunan ekonomi
negara. Menurut Mitchell dan Faal (2007), Gambia adalah negara
di Afrika yang telah memanfaatkan andalan sektor pariwisata bagi
19 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

pembangunan ekonomi negara. Peran positif pariwisata dalam
pembangunan ekonomi hanya bisa terjadi jika kegiatan sektor
pariwisata kurang menggunakan komponen impor (Meyer, 2006;
Neto, 2003). Jika kegiatan pariwisata lebih banyak menggunakan
produk impor maka yang terjadi adalah mengalirnya devisa ke
luar negeri. Lebih lanjut Neto (2003) juga mengatakan bahwa
pemerintah masih memperoleh keuntungan dari pengembangan
pariwisata, yaitu pendapatan dari pajak dan pungutan lain.
Dalam kaitan dengan tujuan makro di atas maka sasaran
utama pemasaran pariwisata adalah wisatawan luar negeri karena
mereka dianggap sebagai sumber devisa. Pemerintah membuat
kebijakan menarik jumlah wisatawan asing sebanyak mungkin
dan mencoba untuk membuat mereka betah tinggal cukup lama di
negara tersebut (Neto, 2003). Semakin lama wisatawan tinggal di
suatu daerah diharapkan semakin banyak uang yang dibelanjakan.
Namun untuk itu negara harus mampu menjamin keamanan dan
kenyamanan wisatawan agar mereka mau tinggal lama. Krisis
politik dapat menyebabkan wisatawan menghindari bepergian ke
negara tersebut. Misalnya, krisis politik tahun 1998 di Indonesia
menyebabkan adanya larangan bepergian (travel warning) dari
beberapa negara karena Indonesia dianggap tidak aman bagi warga
mereka (Prabawa, 2010). Kondisi ini akan berpengaruh terhadap
pemasukan devisa bagi negara.
Dari perspektif mikro, aktivitas pembangunan pariwisata
menciptakan lapangan kerja baik secara langsung maupun tidak
langsung (Bardgett, 2000). Terciptanya lapangan kerja sebagai
dampak langsung pengembangan pariwisata dapat dilihat dari
terserapnya tenaga kerja di sektor perhotelan, rumah makan, biro
perjalanan, dan tempat-tempat rekreasi lainnya. Pengembangan
pariwisata sering menyerap tenaga kerja yang cukup banyak. Hal
ini karena sifat industri pariwisata itu sendiri yang lebih banyak
menggunakan tenaga kerja daripada mesin. Selain itu industri
pariwisata menyerap tenaga kerja dari berbagai kualifikasi, dari
20 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

mereka yang mempunyai pendidikan mulai rendah hingga yang
tinggi. Lebih lanjut industri pariwisata banyak mempekerjakan
perempuan sehingga banyak perempuan yang telah mengalami
pemberdayaan melalui pengembangan sektor ini. Oleh karena
perempuan memainkan peran penting dalam ekonomi rumah
tangga, maka keterlibatan mereka dengan sendirinya akan ikut
mengurangi kemiskinan pada aras rumah tangga (Neto, 2003).
Penyerapan tenaga kerja bisa secara tidak langsung terjadi
jika pengembangan sektor pariwisata mendorong perkembangan
sektor lain di luar pariwisata. Allcock (2006) dan Tetsu (2006),
berpendapat bahwa pariwisata juga dapat menjadi bagian integral
pembangunan ekonomi suatu negara jika dapat menggerakkan
sektor yang lain. Keterkaitan antar sektor dapat dijelaskan sebagai
akibat permintaan sektor pariwisata terhadap produk dari sektor
lain. Misalnya, berbagai hotel membutuhkan beras, sayur-sayuran,
ikan, dan daging yang bisa disediakan para petani, nelayan, dan
peternak lokal. Para sosiolog melihat keterkaitan antar sektor
sebagai hubungan simbiosis, sedang para ekonom menyebutnya
sebagai multiplier effect (Meyer, 2006). Jika terdeteksi multiplier
effect di suatu daerah karena akibat pengembangan pariwisata
maka dengan sendirinya diyakini telah terjadi peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Selain itu dengan demikian maka perkembangan kegiatan
pariwisata akan mendorong berkembangnya entrepreneur lokal.
Para pengusaha lokal terlibat dengan membuka usaha sesuai
dengan kebutuhan para wisatawan. Meyer (2006) dalam
penelitian di negara negara-negara Karibia menemukan bahwa
pembangunan pariwisata mempunyai dampak langsung terhadap
perekonomian lokal jika masyarakat lokal dapat berpartisipasi
dalam kegiatan pariwisata. Dalam hal ini jelas berbagai usaha
masyarakat tumbuh sebagai tanggapan atas permintaan barang dan
jasa baik secara langsung dari para wisatawan, maupun oleh hotel
dan restoran yang ada di sana. Memang para pengusaha dari mana
21 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

pun asalnya secara sengaja juga mendukung perkembangan usaha
masyarakat setempat dengan selalu memprioritaskan pembelian
produk yang dihasilkan masyarakat setempat. Pengusaha lokal
akhirnya dapat dianggap sebagai mitra usaha pengusaha besar.
Lebih lanjut ketika membangun relasi usaha dengan masyarakat
lokal berarti para pengusaha besar mewujudkan tanggung jawab
sosial mereka secara nyata dengan lingkungan usahanya. Bentukbentuk pariwisata tertentu adalah seperti: pariwisata sebagai alat
pengurangan kemiskinan (poverty alleviation), dan environmental

friendly.

Sisi Negatif Pengembangan Pariwisata
Ada pendapat lain juga, bahwa pembangunan pariwisata
tidak selamanya menguntungkan bagi daerah yang menjadi target
pembangunan. Dalam beberapa kasus ternyata muncul kebocoran
(leakages), karena sebagian pengusaha berasal dari luar daerah
bersangkutan (Meyer, 2006; Neto, 2003; Cattarinich, 2001: 68).
Banyaknya pengusaha dari luar daerah yang masuk memberi
peluang terjadinya transfer modal dan keuntungan ke luar daerah,
sehingga menguntungkan juga perekonomian daerah lain, pada
umumnya adalah pada daerah asal dari pengusaha. Dana tersebut
seharusnya dapat dipakai untuk menggerakan ekonomi daerah
tujuan wisata. Untuk mengurangi kebocoran tersebut beberapa
penulis telah menganjurkan agar sebanyak mungkin melibatkan
pengusaha lokal dalam kegiatan ekonomi pariwisata di daerah.
Dengan demikian keuntungan dan modal akan tetap bertahan di
daerah dan mendorong aktivitas ekonomi daerah berkembang
(Ghimire, 1997; Shah dan Gupta, 2000).
Namun demikian dalam hal ini tidak berarti ada daerah
yang menolak pengusaha asing. Selama pariwisata dilihat sebagai
sumber penghasil devisa maka target konsumen adalah wisatawan
luar negeri dan disini peran pengusaha asing menjadi signifikan.
Dalam kenyataan hampir sebagian besar negara berkembang
22 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

masih tergantung pada pengusaha dari luar yang mempunyai
jaringan dan keahlian berhubungan untuk dengan konsumen
internasional (Neto, 2003). Pada umumnya ternyata hanya sedikit
pengusaha lokal yang siap terlibat di dalam kegiatan ekonomi
pariwisata, sehingga mau tidak mau pengusaha dari luar masih
menjadi andalan suatu daerah menjaring wisatawan internasional.
Beberapa pengusaha lokal sudah suka membangun jaringan usaha
dengan pengusaha dari luar menjaring wisatawan. Di Yogyakarta
misalnya, beberapa biro perjalanan menggalang kerja sama dengan
mitra internasional mereka ketika terjadi krisis wisatawan setelah
kerusuhan 1998 yang menyebabkan tumbangnya rejim Soeharto.
Para pengusaha lokal ternyata tertolong karena mereka mampu
memanfaatkan jaringan usaha yang ada dikala krisis (Prabawa,
2010).

Perspektif Teoritis Pengembangan Pariwisata
Sejak tahun 1980-an para peneliti kepariwisataan sudah
mulai mengembangkan beberapa pendekatannya dalam rangka
pengembangan pariwisata. Paling tidak ada dua model pendekatan
teoritis yang berkembang, yaitu, perspektif ketergantungan
(dependency perspective), oleh Britton (1982), dan model daur
hidup (life-cycle model), terdahulu oleh Butler (1980). Perspektif
ketergantungan ini membangun argumen bahwa pembangunan
pariwisata suatu negara hampir selalu melibatkan baik pengusaha
global maupun juga pengusaha lokal dari wilayah tersebut. Pada
awalnya relasi usaha yang dibangun menguntungkan kedua belah
pihak, namun dengan berjalannya waktu pengusaha lokal mulai
didikte oleh pengusaha dari luar. Hal ini terjadi karena posisi
pengusaha luar lebih dominan daripada pengusaha lokal. Para
pengusaha dari luar mengendalikan pasar wisatawan global dan
menguasai jaringan. Para pengusaha lokal berada dalam posisi
yang lebih lemah dan semakin terpinggirkan, karena selain tidak
mengendalikan pasar global, persaingan antar pengusaha lokal
23 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

juga cukup ketat. Dalam keadaan seperti ini maka keuntungan
pengusaha lokal semakin mengecil dan bahkan hanya untuk
menutup biaya operasi rutin.
Teori Tourism Area Life Cycle kemudian dikembangkan
Butler menunjukkan pola perkembangan daerah tujuan wisata
yang secara umum terjadi di dunia. Dalam konsep teori tersebut
dikatakan ada 6 tahap perkembangan daerah tujuan wisata.
Pertama, tahap explorasi (exploration stage). Pada tahap ini
mulanya digambarkan wilayah yang masih sangat murni. Jumlah
wisatawan sedikit. Wisatawan yang datang mengatur sendiri
segala keperluan perjalanannya. Mereka yang datang ke wilayah
tersebut karena tertarik dengan keunikan budaya atau alamnya.
Fasilitas khusus untuk wisatawan belum ada. Wisatawan bergaul
dan terlibat secara intensif dengan masyarakat lokal. Hal-hal ini
merupakan salah satu hal yang justru menarik bagi wisatawan.
Kunjungan wisatawan belum memberikan dampak signifikan
terhadap masyarakat lokal baik secara ekonomi maupun sosial.
Kedua, tahap keterlibatan (involvement stage). Ketika
jumlah pengunjung meningkat dan mulai menjadi terpola,
sejumlah penduduk lokal mulai menyediakan fasilitas-fasilitas
penting atau bahkan secara khusus dibutuhkan oleh wisatawan.
Kontak antara pengunjung dan penduduk lokal tetap tinggi,
terlebih bagi mereka yang menyediakan kebutuhan wisatawan.
Mulai ada musim turis dan penyesuaian-penyesuaian pola sosial
terutama bagi mereka yang terlibat dalam kegiatan pariwisata.
Mulai ada juga kegiatan dalam pengaturan perjalanan wisatawan.
Akhirnya. mulai terjadi tekanan-tekanan pada pemerintah untuk
membangun infrastruktur dan transportasi bagi wisatawan.
Ketiga, yaitu ketika memasuki tahapan pengembangan
(development stage). Wilayah pasar parawisatawan sudah tetap
terutama oleh karena adanya promosi besar-besaran di wilayahwilayah pasar potensial. Pada tahap ini, keterlibatan dan kontrol
24 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

terhadap pengembangan oleh masyarakat menurun dengan cepat.
Fasilitas yang disediakan oleh masyarakat lokal akan hilang dan
digantikan oleh fasilitas-fasilitas yang lebih besar, lebih komplet
dan maju yang diselenggarakan oleh investor luar terutama untuk
akomodasi. Atraksi-atraksi alam dan budaya akan dikembangkan
dan dipasarkan secara khusus ditambah dengan atraksi-atraksi dari
luar yang buatan. Perubahan fisik akan nampak namun tidak
semuanya diterima hasilnya oleh masyarakat lokal. Keterlibatan
pemerintah lokal dan nasional dalam perencanaan dan penyediaan
fasilitas menjadi penting namun tidak selalu sesuai dengan minat
masyarakat lokal. Jumlah wisatawan pada musim turis bisa sama
atau bahkan lebih dari jumlah penduduk. Tenaga kerja dari luar
dan fasilitas-fasilitas bagi industri wisata mulai diperlukan di
obyek wisata. Jenis wisatawan juga berubah – institutionalised
tourists.
Keempat, tahap konsolidasi walaupun tingkat rata-rata
pertumbuhan parawisatawan menurun, namun total jumlah
wisatawan tetap meningkat. Jumlah total wisatawan lebih dari
jumlah penduduk setempat. Ekonomi lokal kenyataannya secara
umum tergantung dari pariwisata. Pemasaran dan promosi meluas
serta ada upaya-upaya untuk memperpanjang musim turis dan
wilayah pasar. Banyak usaha-usaha franchise dan chains yang
berkembang. Meningkatnya jumlah wisatawan yang datang dan
fasilitas wisatawan menimbulkan perlawanan dan ketidakpuasan
diantara para penduduk terutama mereka yang tidak terlibat
dalam kegiatan pariwisata karena aktivitas mereka menjadi
terbatas atau terganggu.
Kelima, tahap stagnan - ketika jumlah wisatawan sudah
mencapai puncak. Level kapasitas untuk variabel-variabel lain
telah tercapai atau melewati batas, sehingga mulai timbul masalah
lingkungan, sosial dan ekonomi. Wilayah sudah mempunyai
image yang mapan tetapi menjadi tidak lagi populer. Mulai timbul
ketergantungan pada kunjungan berulang dan konvensi-konvensi
25 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

atau kegiatan sejenis di daerah tujuan wisata. Kapasitas tempat
tidur sudah melampaui batas sehingga terus diperlukan upayaupaya mempertahankan tingkat kunjungan. Daya tarik alam dan
budaya yang alami sudah mulai digantikan dengan fasilitas
artifisial. Image resort sudah terlepas sama sekali dari konteks
lingkungan geografis. Properti yang ada cenderung berpindah
tangan dengan cepat. Mass tourism mendominasi.
Terakhir, tahap penurunan - dimana wilayah mulai tidak
mampu lagi berkompetisi dengan daerah tujuan wisata baru dan
mulai kehilangan pasar. Tidak lagi menarik bagi mereka yang
ingin berlibur, lebih banyak digunakan untuk menghabiskan
weekend atau kunjungan singkat. Fungsi sebagai daerah tujuan
wisata hilang sama sekali.
Sebelum mengalami penurunan, maka tahap rejuvenation
bisa dilakukan. Namun demikian, agar proses rejuvenation terjadi
diperlukan perubahan total pada daya tarik. Evolusi terjadi sebagai
akibat dari berbagai faktor termasuk perubahan selera dan
kebutuhan wisatawan, merosotnya kualitas fisik dan fasilitas di
daerah tujuan wisata, perubahan atau hilangnya daya tarik alam
dan budaya yang pada mulanya menjadikan daerah tujuan wisata
tersebut populer di kalangan para wisatawan.
Model daur hidup kemudian melihat persaingan secara
lebih positif dibanding dengan model ketergantungan. Para
penganut model ini percaya bahwa melalui persaingan baik di aras
global maupun aras lokal, para pengusaha akan berupaya
mencapai skala ekonomi. Skala ekonomi adalah suatu situasi
dimana setiap tambahan jumlah wisatawan akan menurunkan
unit biaya karena biaya tetap (fixed cost). Dalam kondisi seperti
ini baik pengusaha lokal maupun wisatawan akan diuntungkan
(Ashley et al, 2007). Pengusaha lokal diuntungkan karena mereka
akan menerima semakin banyak wisatawan, sedangkan para
wisatawan dapat membelanjakan uangnya secara lebih efisien.
26 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Model daur hidup tidak menutup kemungkinan terhadap adanya
usaha di sektor pariwisata yang tidak berhasil. Kegagalan adalah
hal yang wajar karena selalu dilihat sebagai akibat dari manajemen
usaha yang tidak mampu memenuhi skala ekonomi. Jika ada usaha
yang tutup maka akan selalu digantikan oleh usaha yang baru.
Dengan demikian usaha yang bertahan adalah mereka yang telah
membuktikan diri tahan terhadap seleksi alam yang ketat.
Para penganut model ketergantungan mendapat kritik
karena analisis mereka lebih menekankan pada aras global dan
sistem dunia (Corbridge, 1986). Mereka meremehkan kekuatan
tawar-menawar dari pengusaha lokal. Pengusaha lokal dalam
perspektif ketergantungan selalu dilihat sebagai agen yang pasif
menunggu nasib yang ditentukan pengusaha luar negeri. Dalam
kenyataannya ada banyak pengusaha lokal melakukan perlawanan
terhadap tuntutan para pengusaha luar yang tidak masuk akal.
Pengembangan pariwisata yang melibatkan pihak luar biasanya
melalui proses negosiasi dalam rangka mencapai kesepakatan
bersama. Oleh karena itu agak terlalu awal membuat kesimpulan
bahwa pengusaha lokal selalu berada dalam dominasi pengusaha
dari luar (Preister, 1989:20). Hal lain yang dilupakan para
penganut model ketergantungan adalah peran pemerintah daerah.
Pemerintah daerah tidak mungkin berpangku tangan membiarkan
pengusaha mereka didikte oleh pengusaha luar. Pemerintah akan
melakukan berbagai upaya untuk melindungi pengusaha mereka.
Selain itu adalah para penganut dari teori ketergantungan
melupakan ada program-program pemberdayaan masyarakat.
Pendekatan pemberdayaan pengusaha lokal jadi memungkinkan
mereka dapat melakukan negosiasi yang baik dengan
pengusaha dari luar negeri (Milne dan Ateljevic, 2001; Murphy,
1985).

Peran Pemerintah dalam Pengembangan Pariwisata
Pariwisata suatu daerah akan berkembang jika pemerintah
27 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

membuat kebijakan khusus untuk mendukung pengembangannya.
Beberapa daerah berhasil karena pemerintah dengan sistematis
memberikan prioritas pada pariwisata sebagai sektor yang perlu
dikembangkan. Untuk itu pemerintah perlu membuat kebijakan
yang meliputi aspek infrastruktur, peraturan, dan promosi. Aspekaspek tersebut dianggap sebagai faktor pendukung perkembangan
pariwisata. Hampir sebagian besar negara maju memberi perhatian
yang seimbang untuk ketiga aspek tersebut. Bagi negara yang baru
tumbuh sektor pariwisatanya, Korea Selatan adalah salah satu
contoh negara yang berhasil mendorong sektor pariwisatanya
setelah krisis ekonomi 1997, dengan memperhatikan peran dari
ketiga aspek tersebut (OECD, 2002). Kebanyakan negara yang
sedang berkembang agak kurang memberikan perhatian pada
pembangunan ketiga aspek tersebut. Khususnya promosi masih
kurang mendapat perhatian pemerintah karena masih dianggap
mahal. Walaupun ketiga aspek tersebut berperan cukup strategis,
dalam kajian-kajian selanjutnya yang dibahas hanya masalah
infrastruktur.

Pembangunan Infrastruktur dan Pariwisata
Pembangunan infrastruktur selalu menjadi faktor kunci
dan prioritas dalam upaya kegiatan pengembangan pariwisata di
suatu wilayah. Pembangunan infrastruktur yang memadai seperti
jalan, jembatan, air, pelabuhan, dan pelabuhan udara, fasilitas
penanganan sampah, dan telekomunikasi, sangat penting dalam
rangka menjaga kenyamanan wisatawan sehingga mereka betah
tinggal di daerah bersangkutan (Allcock, 2006; Tetsu, 2006). Biaya
pembangunan infrastruktur seperti yang diungkapkan di atas
sangat mahal jika dilakukan swasta, karena itu pemerintah harus
menanggung biaya pembangunan. Oleh karena pembiayaan
dilakukan melalui Anggaran Belanja Negara, maka fasilitas
infrastruktur tersebut menjadi barang publik. Dengan demikian
pembangunan infrastruktur tidak hanya dimanfaatkan untuk
28 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

kepentingan pariwisata tapi dimanfaatkan pula oleh penduduk
lokal (Neto, 2003). Penduduk lokal dapat memanfaatkan berbagai
fasilitas infrastruktur untuk mengembangkan industri pendukung
pariwisata, atau memanfaatkan infrastruktur jalan yang ada untuk
melancarkan transportasi produk dari daerah mereka ke daerah
lain. Sebaliknya, dengan keberadaan dari infrastruktur tersebut
mendorong penanaman modal ke daerah pedesaan (Allcock, 2006;
Neto, 2003).
Dalam rangka mempertahankan kebijakan pembangunan
yang berkelanjutan, maka dalam perencanaan pengembangan
pariwisata, pemerintah daerah perlu memperhatikan daya dukung
(carrying capacity) (Klaric et al., 1999). Penelitian tentang daya
dukung sangat penting dalam rangka mengetahui kemampuan
suatu daerah menampung jumlah turis. Sering terjadi pemerintah
daerah tidak memperhatikan daya dukung dan membiarkan
eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan sehingga pada
akhirnya membawa dampak negatif terhadap lingkungan. Salah
satu contoh adalah pengembangan pantai Kuta di Bali tanpa
memikirkan daya dukung sehingga kehadiran berbagai fasilitas
pariwisata sudah mulai mengancam keindahan pantai itu sendiri.
Kondisi seperti ini akan mengancam obyek wisata itu sendiri
karena dalam jangka panjang para wisatawan akan mencari
tempat lain yang lebih terjamin otentitasnya.
Masalah yang sering muncul adalah pembangunan fasilitas
yang terjadi tanpa memperhatikan estetika pemandangan alam.
Pembangunan berbagai fasilitas pariwisata tanpa perencanaan
yang sistematis sehingga lokasi obyek wisata menjadi semrawut
dan pemandangan yang tadinya bagus menjadi tidak menarik.
Terkadang arsitektur hotel atau resort tidak serasi dengan
pemandangan alam yang ada di sekitarnya. Misalnya, Davies dan
Cahill (2000) memberi contoh pembangunan hotel di Jerusalem,
ternyata konsep estetika arsiteknya tidak serasi dengan keindahan
arsitektur lama yang sekarang masih ada di kota tersebut, sehingga
29 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

menimbulkan polusi visual (visual pollution). Keadaan seperti ini
terjadi karena pemerintah ketika mengatur Tata Ruang sering
hanya lebih menekankan pada pemanfaatan ruang tapi jarang
memperhatikan bentuk bangunan. Ketika merancang Tata Ruang
maka untuk pariwisata diperlukan keserasian bentuk bangunan
dengan pemandangan sekitar menjadi penting.

Pariwisata Berwawasan Lingkungan (Eco-Tourism) dan
Pengurangan Kemiskinan
Pariwisata berwawasan lingkungan adalah kegiatan
pariwisata yang mengandalkan alam sebagai daya tarik pariwisata
dan sekaligus menjaga pelestarian alam tersebut. The International
Eco-Tourism Society mendefinisikan pariwisata yang berbasis
lingkungan sebagai kegiatan pariwisata di wilayah konservasi
dengan lingkungan yang alami dan menjamin kelangsungan
pendapatan penduduk lokal dengan melibatkan mereka dalam
kegiatan pariwisata (Denman, 2001:2). Dengan demikian prinsip
pengembangan eko-wisata meliputi dua hal, yaitu, mendorong
konservasi alam, dan memberi manfaat ekonomis bagi penduduk
sekitar (United Nations, 2001). Dalam rangka prioritas mendorong
konservasi alam, perlu perencanaan yang matang jika ingin
mengembangkan suatu obyek menjadi eko-wisata. Perencanaan
pengembangan eko-wisata harus bersifat holistik melibatkan
berbagai disiplin, seperti dari kehutanan, pertanian, sosiologi,
antropologi, dan ekonomi. Agar program ekowisata bermanfaat
bagi penduduk sekitar maka keterlibatan masyarakat sekitar
menjadi sangat penting mengingat mereka yang tinggal dekat
wilayah obyek wisata yang langsung berhubungan dengan satwa
dan tanaman yang ada. Jika masyarakat sekitar memperoleh
manfaat dari eko-wisata mereka dengan sendirinya akan menjaga
eco-system yang ada, sehingga dengan sendirinya konservasi alam
juga terjaga. Komunitas yang tinggal di sekitar obyek wisata oleh
Davies dan Cahill (2000), disebut sebagai “gateway communities”.
Komunitas inilah yang sering berpartisipasi dalam aktivitas
30 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

pariwisata baik secara umum dan khususnya yang berwawasan
lingkungan.
Sering terjadi beberapa daerah mengeluh mereka tidak
mampu menjaring wisatawan karena kurang memiliki fasilitas
yang memadai untuk menarik wisatawan. Pengembangan
pariwisata yang berwawasan lingkungan sangat cocok untuk
daerah yang mempunyai fasilitas terbatas, karena para turis yang
menyukai alam lebih senang dengan fasilitas seadanya. Mereka
lebih menghargai otentisitas daripada fasilitas yang mewah.
Daerah yang mempunyai keunikan alam dan satwa dapat menjual
paket wisata kepada jenis turis petualang yang tidak menuntut
fasilitas bermacam-macam, kecuali keamanan. Daerah-daerah
yang mempunyai keanekaragaman hayati menjadi berpeluang
menawarkan sumberdaya tersebut kepada wisatawan. Misalnya,
para wisatawan membawa berbagai peralatan untuk mengamati
burung, atau berjalan di hutan melihat aneka fauna dan tanaman
(United Nations, 2001). Biasanya mereka datang berwisata dengan
membawa serta tenda dan makanan seadanya untuk menginap
beberapa hari sampai beberapa minggu.
Ekowisata sangat baik untuk pengembangan masyarakat
pedesaan dan daerah terpencil. Hal ini karena pada umumnya
lokasi obyek wisata yang diminati wisatawan terletak di daerah
pedesaan yang terpencil (Neto, 2003). Dalam hal ini banyak
wilayah di Indonesia Timur yang fasilitas pariwisatanya belum
memadai dapat memanfaatkan peluang ini. Kegiatan pariwisata
yang berwawasan lingkungan diharapkan memberi dampak positif
terhadap masyarakat sekitar lokasi konservasi. Program ekowisata
mendorong usaha kecil dan menengah (UKM) berkembang dan
pada umumnya dioperasikan oleh penduduk lokal (United
Nations, 2001). Masyarakat yang tinggal di sekitar tempat itu bisa
menjadi pemandu wisata, buruh mengangkat barang, atau menjadi
pedagang barang-barang souvenir. Kegiatan sebagai pemandu
wisata dan UKM pengusaha memerlukan pelatihan khusus dan
31 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

untuk itu pemerintah perlu merancang pelatihan semacam ini
karena sedikit penduduk lokal mempunyai kemampuan mengikuti
pelatihan dengan membayar sendiri.
Selanjutnya muncul suatu pertanyaan apakah program
pariwisata yang telah berwawasan lingkungan dapat mengurangi
tingkat kemiskinan pedesaan. Memang ada konsep pengembangan
pariwisata yang berpihak pada kaum miskin (pro-poor tourism)
yang pada dasarnya bertujuan mengurangi kemiskinan melalui
kegiatan usaha pariwisata. Tentu hal ini agak berbeda dengan
pengembangan pariwisata konvensional baik eco-tourism dalam
konteks sustainable tourism yang jelasnya lebih menekankan pada
pengembangan pariwisata sebagai sumber pendapatan masyarakat
dan dalam rangka konservasi lingkungan. Dalam pro-poor tourism
yang ditekankan adalah keterlibatan masyarakat lokal dalam
kegiatan pariwisata agar mereka lebih sejahtera. Oleh karena itu
pengembangan pariwisata baik eko-wisata atau sustainable
tourism harus memberi tekanan pada pengurangan kemiskinan,
dimana masyarakat harus terlibat (Neto, 2003). Bagaimana
pengembangan pariwisata mampu mengurangi kemiskinan. Neto
lebih lanjut mengemukakan tiga alasan, pertama, industri ini bisa
menyerap tenaga kerja yang banyak. Kedua, industri ini saling
terkait dengan sektor informal yang mempunyai efek multiplier
positif terhadap kelompok orang miskin. Ketiga, pariwisata lebih
banyak mengandalkan modal alamiah, seperti, tumbuh-tumbuhan
dan fauna, pemandangan, dan warisan kultural, yang banyak
dimiliki penduduk miskin. Oleh karena program pariwisata yang
berwawasan lingkungan ini berada di daerah pedesaan maka biaya
awal membangun usaha lebih murah karena mereka tinggal
disana. Dengan demikian keterlibatan masyarakat lokal dalam
kegiatan pariwisata di daerah terpencil sangat dimungkinkan.
Dalam kaitan dengan peran pengembangan pariwisata
dalam pengurangan kemiskinan di pedesaan, Ashley (2000), lebih
menyoroti hadirnya keterkaitan program pariwisata berwawasan
32 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

lingkungan dengan cara pemenuhan kebutuhan sehari-hari dari
masyarakat (livelihood). Menurut Ashley tujuan pengembangan
pariwisata berbeda antara ekonom, pengusaha, konservasionis,
dan mereka yang berkecimpung di organisasi non-pemerintah
(NGO). Para ekonom lebih menekankan pada peran pariwisata
bagi proses pertumbuhan ekonomi makro, terutama dalam hal
kemampuannya untuk mendatangkan devisa, seperti telah ditulis
dari awal. Bagi pengusaha swasta, upaya pengembangan pariwisata
dimaksudkan untuk menggerakkan kegiatan usaha komersil.
Dalam hal ini yang menjadi perhatian adalah pengembangan
produk, persaingan, dan hasil usaha yang diterima para pengusaha.
Bagi seorang pencinta alam atau konservasionis, pengembangan
pariwisata dimaksudkan untuk menjaga keberlangsungan spesies
yang ada di alam. Sedang bagi masyarakat pedesaan dan NGO
yang bergerak di aras pedesaan, maka pengembangan pariwisata
dimaksudkan untuk pembangunan pedesaan.
Tiga pendekatan di atas ternyata masih lebih menekankan
pengembangan pariwisata sebagai instrumen demi memperoleh
manfaat ekonomi dan ekologi, dan tidak ada satu pun yang
berbicara tentang keterkaitan pengembangan pariwisata dengan
pembangunan masyarakat pedesaan. Oleh karena itu Ashley
(2000) mengusulkan agar dalam kaitan dengan pembangunan
pedesaan yang perlu ditekankan adalah pemenuhan kehidupan
sehari-hari (livelihood) masyarakat pedesaan. Masyarakat
pedesaan di mana pun terlibat dalam berbagai aktivitas ekonomi
adalah dalam rangka pemenuhan kebutuhan rumah tangga, yang
umumnya pada dua sektor dominan, yaitu, sektor pertanian dan
peternakan. Kedua sektor ini memainkan peranan penting dalam
pemenuhan kebutuhan sehari-hari rumah tangga. Masyarakat
pedesaan sehari-hari hidup dari hasil pertanian dan perkebunan,
susu dan daging dari peternakan sapi dan unggas mereka. Namun
dalam aras rumah tangga, maka seluruh anggota rumah tangga
diharapkan memberi kontribusi pada ekonomi rumah tangga.
33 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Oleh karena itu selain dua sektor dominan di atas, maka sumber
pendapatan rumah tangga bisa berasal dari kegiatan di sektor nonpertanian, seperti, perdagangan, pertukangan, atau kiriman dari
keluarga yang menjadi pekerja migran di tempat lain. Berbagai
aktivitas keluarga tersebut tidak menggeser kegiatan utama
mereka di sektor pertanian dan peternakan.
Dengan demikian maka kehadiran sektor pariwisata disini
dimaksudkan sebagai upaya mendiversifikasi sumber pendapatan
rumah tangga pedesaan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
sehari-hari. Diversifikasi sumber pendapatan menjadi sangat
penting, terutama di wilayah yang mempunyai masalah dengan
kesuburan tanah. Misalnya Ashley (2000), dalam penelitiannya di
Namibia, mereka melihat pengembangan pariwisata safari banyak
membantu penduduk pedesaan untuk mendapatkan pendapatan
tambahan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat sehari-hari.
Mereka bisa juga berperan sebagai tenaga pengangkut barang,
pemandu wisata, membuka warung di tempat-tempat istirahat,
dan menjual suvenir yang dibuat masyarakat sekitar. Dengan
demikian setiap anggota rumah tangga dapat memberi sumbangan
pada pendapatan rumah tangga baik dari sektor pertanian dan
peternakan mapun dari sektor non-pertanian. Kehadiran kegiatan
pariwisata di daerah pedesaan akan mendukung pengurangan
kemiskinan.
Namun demikian jangan sampai pula dalam upaya ketika
menjamin kelangsungan ekonomi masyarakat pedesaan maka
sumber-sumber yang ada dieksploitasi secara berlebihan. Dalam
hal ini perlu perencanaan yang sitematis dengan masyarakat lokal
dengan memperhatikan daya dukung (carrying capacity) obyek
wisata yang menjadi daerah tujuan (Ashley, 2000). Bisa terjadi
keinginan yang besar menarik wisatawan sebanyak mungkin
kesini justru membawa dampak negatif terhadap kelangsungan
habitat atau spesies yang ada. Jika hal ini terjadi maka yang
muncul sebagai akibat adalah tragedi bersama atau the tragedy of
34 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

the commons seperti yang ditulis oleh Hardin (1968). Hardin
membangun teorinya berdasarkan suatu asumsi bahwa eksploitasi
terhadap sumberdaya secara terus-menerus karena pertumbuhan
penduduk dapat berakibat fatal dengan hancurnya ekologi
sumberdaya tersebut. Dalam hal ini dia memberi contoh tragedi
padang penggembalaan. Sebuah padang mempunyai daya dukung
yang terbatas untuk memberi makan pada ternak dalam jumlah
tertentu, namun bila semakin banyak penduduk menggembalakan
ternaknya di sana maka padang tersebut tidak mampu lagi untuk
menyediakan rumput baru. Hal ini pada akhirnya berakibat fatal
bagi kelangsungan ternak yang ada disana karena rumput yang
tidak tumbuh akan mematikan ternak yang ada. Jika pemerintah
tegas, tragedi seperti di atas hampir tidak mungkin terjadi.

Pengembangan Pariwisata dan Konflik
Pertumbuhan sektor pariwisata tidak selalu membawa
dampak positif bagi masyarakat lokal dan terkadang menimbulkan
protes ketidak puasan mereka. Dalam kasus tertentu muncul
konflik baik dengan pemerintah maupun dengan pengusaha di
bidang pariwisata. Beberapa penelitian telah mengungkapkan
dampak negatif pengembangan sektor pariwisata bagi masyarakat
lokal secara sosial, kultural, dan lingkungan (Rowe, et al., 2002;
Pandey, et al., 1995). Ashley (2000) dalam penelitiannya di
Namibia, menemukan konflik antara masyarakat lokal dengan
petugas konservasi terjadi karena wilayah penggembalaan semakin
sempit oleh karena ada pengembangan pariwisata. Pengembangan
pariwisata menutup akses penduduk terhadap sumber mata air
(Karim, 2008). Konflik dengan pengusaha bisa juga ada karena
pengembangan pariwisata mengambil lokasi di atas tanah yang
subur sehingga menghancurkan sumber pendapatan utama
masyarakat lokal.
Uddhammar, (2006) menemukan selanjutnya ada protes
masyarakat Makulekes di Afrika Selatan karena hak-hak ekonomi
35 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

mereka atas hutan tidak diakui pemerintah. Ada komunitas yang
tinggal di sekitar taman nasional di sana dipangkas haknya untuk
berburu. Dengan alasan konservasi alam, hak perburuan hanya
diberikan kepada mereka yang mempunyai lisensi. Pemerintah
takut perburuan liar (poaching) oleh penduduk sekitar tidak
terkontrol sehingga bisa membahayakan kelangsungan spesies di
taman tersebut. Bagi sebagian penduduk taman dahulunya adalah
tempat mereka memenuhi kebutuhan seperti, mencari kayu bakar
dan berburu, namun faktor kehadiran negara dengan lisensi
membuat mereka tidak mempunyai akses lagi terhadap sumber
alam tersebut. Hal ini memicu konflik dengan penduduk. Konflik
bisa berlangsung dalam bentuk sabotase terhadap kegiatan
pariwisata di sana, seperti merusak pagar taman, memberi racun
pada satwa, atau melakukan tindakan kriminal terhadap para
wisatawan.
Lebih lanjut Uddhammar (2006) juga menemukan bahwa
ada konflik dengan pemerintah itu terjadi karena pendapatan
pengembangan pariwisata yang berwawasan lingkungan sering
lebih banyak yang masuk ke kas pemerintah daripada ke
penduduk lokal. Misalnya kejadian di Bwindi Forest Park,
Uganda, ketika pemerintah mau menawarkan program wisata
berwawasan lingkungan kepada wisatawan untuk mengamati
gorilla di habitat aslinya. Setiap orang yang ingin melakukan
perjalanan ke taman ini dikenakan biaya sebesar USD 360.-. Ratarata setiap tahun ada sekitar 400 perjalanan dan di sana ada 300
ekor gorilla. Dengan demikian seekor gorilla dapat menghasilkan
pendapatan sekitar USD 4,800.- per tahun. Secara menyeluruh
pendapatan dari sektor ini setiap tahunnya sekitar USD1,4 juta.
Masalahnya adalah pendapatan sebesar itu hampir seluruhnya
masuk ke kas pemerintah karena dianggap sebagai pengembalian
investasi pembangunan di taman tersebut. Hanya sedikit yang
dikembalikan untuk konservasi habitat gorilla tersebut atau
kepada masyarakat sekitar taman tersebut.
36 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Sebenarnya ada contoh yang bagus pengelolaan taman
wisata tanpa konflik karena melibatkan penduduk setempat sejak
perencanaan sampai pengeloaannya. Uddhammar (2006) memberi
contoh pengelolaan taman konservasi nasional Maasai Mara,
Kenya (Uddhammar, 2006). Masyarakat lokal dibiarkan memiliki
tanah di dalam taman sehingga dengan sendirinya mereka
terhubung dengan pengembangan ekowisata. Masyarakat juga
sejak awal dilibatkan dalam perencanaan dan juga dipersiapkan
untuk mengelola taman tersebut. Proses penyadaran kepada
masyarakat lokal adalah tentang pentingnya menjaga keragaman
hayati (bio-diversity) dan ketahanan hayati (bio-security),
sehingga mereka dengan sukarela mau menjaga hewan dan
tanaman yang ada di taman tersebut.
Konflik yang terjadi dengan penduduk lokal seringkali
tidak dapat terhindarkan karena kompetisi antara pengusaha
pendatang dengan masyarakat lokal. Memang ini bisa menjadi
ironi pembangunan jika masyarakat lokal di situ nantinya hanya
akan menjadi penonton dari pengembangan pariwisata, karena
mereka tidak mempunyai sumber modal dan keahlian untuk
berpartisipasi dalam pembangunan pariwisata tersebut (Meyer,
2006). Selain konflik dengan pengusaha pendatang, konflik bisa
juga terjadi antar sesama penduduk lokal karena kompetisi dalam
berusaha. Ashley (2000) menemukan kenyataan bahwa modal
sosial masyarakat di beberapa desa di Namibia hancur karena
persaingan usaha antar penduduk lokal dan konflik antar sesama
mereka. Konflik dengan penduduk lokal karena pembangunan
pariwisata terjadi pula di Indonesia. Salah satu contohnya adalah
pengembangan pariwisata di Lombok. Ketika Lombok mulai
berkembang sebagai daerah wisata, muncul para spekulator yang
membeli tanah. Mereka terdiri dari pejabat pemerintah, tentara,
dan polisi yang berasal dari Lombok, Bali, dan Jawa. Pada tahun
1980 tanah tersebut dibeli dengan Rp. 300.000 per are atau Rp.
30.000,- per-m2 (Kamsma dan Bras, 2000; Fallon, 2001). Tanah
37 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

tersebut kemudian dijual dengan harga 10 kali lipat. Pembelian
tersebut sering dilakukan dengan tekanan oleh aparat sehingga
masyarakat sejak awal sudah antipasti terhadap pengembangan
pariwisata di wilayah tersebut.
Selain itu terjadi pula konflik terbuka di desa Rowok,
Lombok antara pengusaha dan penduduk lokal. PT Sinar Rowok
Indah (SRI) mencoba menekan penduduk lokal menjual tanah
dengan harga Rp. 3 juta per hektar, namun penduduk menolak.
PT SRI dimiliki oleh keluarga pejabat tinggi di pusat dan di
NTB.Tanah yang mau dibeli adalah tanah subur dan sebagian
besar penduduk Rowok hidup dengan membuka sawah di sana.
PT SRI kemudian menggunakan aparat kepolisian dan tentara
untuk mengusir penduduk dari tempat tinggal mereka. Ketika
penduduk melawan, aparat kemudian menyerang, menangkap
para tokohnya, dan membakar rumah penduduk. Para penduduk
pada ahkirnya menyerah dan terpaksa harus mengungsi ke tempat
lain (Fallon, 2001). Kasus ini terjadi pada masa pemerintahan
Orde Baru yang otoriter dimana posisi kekuatan masyarakat sipil
sangat lemah.

Pengembangan Kapasitas Masyarakat dan Pariwisata
Seperti telah diungkapkan di atas maka pengembangan
pariwisata dapat juga menempatkan masyarakat sekitar dalam
posisi marjinal sehingga mereka absen dalam kegiatan pariwisata
karena jelas tidak mempunyai kapasitas dan ketrampilan untuk
berpartisipasi. Oleh karena itu pengembangan pariwisata perlu
memperhatikan pengembangan kapasitas masyarakat sekitar.
Pengembangan kapasitas komunitas di bidang pariwisata ad