Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pariwisata bagi Masyarakat Lokal D 902009101 BAB VII

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Bab 7
Tangkoko sebagai Daerah Tujuan Wisata
Alam
Pendahuluan
Batuputih merupakan salah satu kelurahan di kota Bitung
yang terletak di sebelah Utara Kota Bitung dengan luas 132.000
km2. Ada 1.778 penduduk yang tinggal di wilayah ini. Mayoritas
penduduk yang tinggal di sini dari suku Sangir. Untuk kehidupan
mereka, sebagian besar mengandalkan hasil laut yakni berprofesi
sebagai nelayan (50 %) atau sekitar 232 orang, petani 123 Orang
dan Karyawan 39 Orang. Tangkoko dapat ditempuh dalam waktu
15 menit dari Kota Bitung dan kurang lebih 2 jam dari kota
Manado. Akses jalan menuju ketempat ini masih kurang memadai,
dengan banyaknya lubang, median jalan yang tidak terawat,
bentuk desa memanjang di kiri, kanan jalan di pinggiran pantai,
dan untuk masuk ke kawasan konservasi pengunjung harus
melalui sebuah jembatan kecil tapi permanen yang kelihatan tidak
terawat.
Wilayah ini cukup unik karena merupakan habitat dari

berbagai satwa langka. Di sinilah untuk pertama kalinya Russel
Wallace menemukan keunikan satwa dan tanaman. Sekitar tahun
1973 para peneliti memperkenlkan tarsius, makaka, dan babirusa
setelah peneliti mempublikasikan hasil penelitiannya dan nanti
mulai heboh pada tahun 80an. Berkembangnya wilayah Batu
Putih menjadi daerah pariwisata berkaitan erat dengan penetapan
wilayah ini sebagai Taman Wisata Alam Batuputih dan Cagar
Alam Tangkoko-Batuangus pada tahun 1970an. Sejak saat itu,
wilayah ini perlahan-lahan berubah dari wilayah yang terpencil
dengan penduduknya yang sederhana menjadi wilayah yang
143 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

menarik perhatian dunia karena keunikan aneka satwa dan
tanaman yang ada di sana. Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih
dan Cagar Alam Tangkoko-Batuangus di Kelurahan Batuputih
Bawah Kota Bitung, Sulawesi Utara yang merupakan wilayah
konservasi unik dengan luas wilayah 8.718 ha.

Peta 7.1
Situasi Kawasan Penelitian Batuputih Kecamatan Ranowulu
Kota Bitung

Wilayah ini cukup unik karena merupakan habitat dari
berbagai satwa langka. Di sinilah untuk pertama kalinya Alfred
Russel Wallace menemukan keunikan satwa dan tanaman. Sekitar
tahun 1973 para peneliti memperkenlkan tarsius, makaka, dan
babirusa setelah peneliti mempublikasikan hasil penelitiannya
dan nanti mulai heboh pada tahun 80an. Berkembangnya wilayah
Batu Putih menjadi daerah pariwisata berkaitan erat dengan
penetapan wilayah ini sebagai Taman Wisata Alam Batuputih dan
Cagar Alam Tangkoko-Batuangus pada tahun 1970an. Sejak saat
itu, wilayah ini perlahan-lahan berubah dari wilayah yang
terpencil dengan penduduknya yang sederhana menjadi wilayah
144 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 


yang menarik perhatian dunia karena keunikan aneka satwa dan
tanaman yang ada di sana. Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih
dan Cagar Alam Tangkoko-Batuangus di Kelurahan Batuputih
Bawah Kota Bitung, Sulawesi Utara yang merupakan wilayah
konservasi unik dengan luas wilayah 8.718 ha.
Pengelolaan wilayah Taman Wisata Batuputih dan Cagar
Alam Tangkoko - Batuangus berada di bawah koordinasi
Pusat/Departemen Kehutanan melalui Balai Konservasi Sumber
Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara. Wilayah konservasi ini unik
karena merupakan hunian satwa percampuran dua wilayah
zoogeografi Asia dan Australia. Sejauh ini telah teridentifikasi 26
jenis mamalia dengan 10 jenis endemik Sulawesi, 180 jenis burung
dengan 59 endemik Sulawesi dan 5 diantaranya bahkan endemik
Sulut dan 15 jenis reptil serta amfibi hidup di Cagar Alam
Tangkoko-Batuangus. Selain satwa, beberapa pohon dan tanaman
pionir seperti sirih hutan, kayu bunga dan binunga juga banyak
ditemukan di sini.
Pengembangan pariwisata seperti di Tangkoko merupakan
contoh bagaimana pengembangan pariwisata dapat mendukung
kegiatan konservasi dan sekaligus meningkatkan pendapatan

masyarakat. Dalam paparan berikut ini akan ditunjukkan tentang
gambaran bentuk pariwisata yang berkembang di Tangkoko.
Selanjutnya akan digambarkan tentang bagaimana pariwisata
berdampak pada perkembangan ekonomi masyarakat, peran
lembaga swadaya masyarakat berbasis lingkungan yang ada di
Tangkoko, hambatan-hambatan dan bentuk-bentuk konflik
sebagai akibat pengembangan pariwisata di wilayah mereka dan
persepsi masyarakat mengenai pariwisata yang berkembang di
wilayah mereka.

Bentuk Pariwisata yang berkembang di Tangkoko
Pariwisata yang berkembang di Tangkoko merupakan
kegiatan wisata minat khusus. Rata-rata wisatawan yang datang ke
145 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

wilayah ini adalah parawisatawan backpackers atau ilmuwan yang
mempunyai ketertarikan pada keunikan satwa yang ada di

Tangkoko. Jumlah wisatawan yang datang di wilayah Tangkoko
masih belum banyak namun menunjukkan peningkatan dari
waktu ke waktu. Mereka pada umumnya telah memesan paket
perjalanan melalui agen perjalanan yang ada di Manado, ibukota
Sulawesi Utara.
Namun ada juga yang mengatur perjalanannya sendiri
karena memperoleh informasi dari teman mengenai tempat ini.
Dalam FGD dengan masyarakat, salah seorang warga, Ibu Henny
Bawowode mengungkapkan: ‘Ada travel yang mengantar, ada
yang langsung datang, informasinya dari mulut ke mulut/melalui
teman.’ Lebih jauh, Ibu Stance Masedung menambahkan : ‘Dan
rata-rata satu minggu harus ada turis yang datang.’
Tabel 7.1
Perkembangan Turis ke Taman Wisata Alam Batuputih dan Tangkoko
Batuangus, 2006-2011
No.

Jenis Turis/
Tahun


2006

2007

2008

2009

2010

*2011

1.

Mancanegara

2.529

1.973


2.540

1.419

2.544

2.703

2.

Nusantara

3.306

2.846

2.074

1.480


2.085

1.397

3.

Peneliti
Umum

1

5

2

14

33

4.


Pelajar
Peneliti

5

9

5

9

11

10

5.841

4.833


4.621

2.922

4.673

4.110

Total Wisatawan

130

Sumber : BKSDA, Sulawesi Utara 2011. * Data baru sampai bulan Agustus 2011

146 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Wisatawan yang datang ke wilayah Tangkoko mempunyai

apresiasi yang baik terhadap lingkungan alam maupun budaya
setempat. Mereka menunjukkan ketertarikan yang tinggi terhadap
budaya setempat serta mau menyesuaikan diri dengan penduduk
lokal. Kesempatan tinggal dan mengalami kehidupan layaknya
penduduk lokal dirasakan oleh para wisatawan sebagai bagian
dari pengalaman perjalanan yang wisatawan sebagai bagian dari
pengalaman perjalanan yang unik. Di bawah ini adalah ungkapan
dari Ibu Henny Bawowode dan Ibu Stance Masedung, mengenai
kesan mereka terhadap wisatawan yang datang: Ibu Henny
Bawowode mengatakan :
‘menurut pengalaman kami disini meskipun makanan lokal
tapi wisatawan tetap tertarik untuk memakan makanan lokal,
tetapi biasanya sebelum makan mereka akan menanyakan
makanan tersebut terbuat dari apa, jadi kami harus
menjelaskannya.’

Ibu Stance Masedung menyambung:
‘Jika ada pesta mereka sering ikut di pesta, mereka ikut
keramaian, mereka suka berbaur ikut kebiasaan lokal meskipun
tidak diundang, istilahnya mereka memanggil ayo ke party.’

Di samping keterbukaan para wisatawan, maka untuk
lebih mengenal masyarakat lokal dengan budaya mereka para
wisatawan banyak melakukan kegiatan-kegiatan wisata alam.
Beberapa kegiatan yang biasa dilakukan oleh para wisatawan
adalah mengamati dan mempelajari tanaman langka serta
mengamati perilaku binatang langka seperti kera, tarsius, dan anoa
yang ada di daerah konservasi, melakukan kegiatan bird watching,
mendaki gunung, mengamati lumba-lumba di laut, atau hanya
sekedar berperahu serta berenang dan berjemur di pantai. Mereka
yang datang dengan tujuan penelitian juga banyak menghabiskan
waktu mereka di hutan-hutan konservasi dengan didampingi para
peneliti yang terdiri dari para penduduk lokal yang telah banyak
belajar tentang tanaman dan satwa yang terdapat di hutan
Tangkoko.
147 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Untuk setiap kegiatan eksplorasi di hutan konservasi, para
wisatawan membayar tarif Rp. 85.000 per orang, termasuk biaya
karcis masuk dengan lama perjalanan rata-rata 3 jam. Namun
bersama guide Rp 200.000,- per orang di charge. Organisasi
Pemandu Wisata Alam Tangkoko yang terdiri dari anggotaanggota masyarakat menyusun paket-paket perjalanan. Paketpaket perjalanan yang ditawarkan diselenggarakan pada waktu
yang berbeda-beda tergantung dari obyek yang akan dilihat atau
diteliti. Pada sore hari kegiatan wisatanya adalah melihat Tarsius;
kegiatan di pagi hari, melihat burung dan monyet hitam, kuskus
atau kegiatan meneliti berbagai jenis beringin atau vegetasi hutan
lainnya. Di samping paket-paket tersebut kelompok pemandu
wisata lokal ini juga menyelenggarakan paket perjalanan khusus
untuk kegiatan bird-watching dan mendaki gunung namun
dengan tarif khusus karena kegiatan tersebut memakan waktu satu
hari penuh.
Sesuai kesepakatan maka setiap pemandu dalam setiap
perjalanan mengantar dua orang wisatawan. Kegiatan pemanduan
ini berdampak positif bagi upaya pelestarian lingkungan terlebih
bagi masyarakat lokal. Dengan berkembangnya pariwisata di
wilayah ini, masyarakat menjadi sadar akan pentingnya alam,
satwa, serta tanaman-tanaman yang ada di Tangkoko. Mereka
menyadari bahwa ternyata kekayaan alam di wilayah mereka luar
biasa dan menarik bagi orang lain serta dapat mendatangkan
keuntungan ekonomi bagi mereka. Secara perlahan-lahan,
persoalan-persoalan penebangan liar dan perburuan liar terhadap
satwa langka dapat ditekan meskipun belum sepenuhnya dapat
diatasi. Sebelum penetapan wilayah ini sebagai wilayah
konservasi, masyarakat tidak tahu bahwa satwa dan tanaman yang
ada di wilayah mereka unik dan sangat berharga. Dulu masyarakat
lokal mempunyai kebiasaan mengkonsumsi binatang-binatang liar
seperti kuskus, ular piton, babi hutan, tikus, biawak dan berbagai
jenis burung termasuk hewan langka seperti yaki misalnya yang
148 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

hidup di hutan Tangkoko. Di samping itu mereka juga menebang
kayu di hutan secara liar untuk membuat kapal, bagan atau
rumah. Banyak di antara mereka juga mengubah hutan menjadi
lahan pertanian sehingga habitat untuk binatang-binatang langka
menjadi semakin sempit dan terancam keberlangsungannya.
Akibat penebangan yang tidak terkontrol maka jumlah tanaman
langka menjadi semakin berkurang. Pak Noldy Kakauhe, ketua
organisasi para Pemandu Wisata Alam Tangkoko dalam FGD
mengatakan:
‘Disini, awal-awalnya orang tua kami, penebang liar, pemburu
liar, nah dengan berkembangnya pariwisata pada wilayah ini
mereka saya rangkul menjadi satu organisasi Pemandu Wisata
Alam Tangkoko , begitu awalnya.’

Dengan kata lain, pengembangan pariwisata telah
membuka peluang bagi proses penyadaran masyarakat tentang
pentingnya pelestarian alam seperti diungkapkan oleh dua
informan, anggota masyarakat yang terlibat dalam FGD yaitu Ibu
Henny Bawowode dan Bapak Godman Buang Sampuhi. Dalam
FGD tersebut ibu Henny Bawowode mengatakan:
‘Masyarakat sekitar juga terlibat dalam usaha pengembangan
periwisata disini contohnya adalah jika ada penanaman pohon
maka masyarakat sekitar ikut terlibat dalam penanaman pohon
, dan untuk penanaman pohon ini inisiatif dari pemerintah.’

Lebih lanjut bapak Godman Buang Sampuhi juga mengatakan :
‘Kami tetap menjaga kelestarian alam juga binatang
dengan mengingatkan kesesama bahwa ada hukuman
bagi siapa yang menangkap binatang dan menjualnya.’

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa ada partisipasi aktif dari
masyarakat untuk secara sadar terlibat dalam pemeliharaan
lingkungan.

Pengembangan Pariwisata dan Perkembangan Ekonomi
Masyarakat lokal Tangkoko
Pengembangan pariwisata di Taman Wisata Alam
Tangkoko membawa dampak yang signifikan bagi perkembangan
149 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

ekonomi masyarakat lokal. Kehadiran pariwisata di wilayah
Tangkoko dapat menekan tingkat pengangguran di daerah ini.
Dapat dilihat dari tenaga kerja yang bekerja di sektor pariwisata
yakni 39 orang karyawan dan sopir 30 orang. Sebelum hadirnya
pariwisata, kondisi ekonomi masyarakat di wilayah Tangkoko
cukup memprihatinkan. Kebanyakan dari penduduk hidup
dengan mengandalkan pendapatan mereka dari pekerjaan sebagai
nelayan tradisional atau petani dengan pendapatan yang minim.
Terbatasnya peluang kerja di daerah membuat para
pemuda yang sudah cukup umur untuk bekerja terpaksa harus
pergi keluar daerahnya dan mencari pekerjaan di kota Bitung,
Manado atau di tempat yang lain. Karena tingkat pendidikan yang
rendah, pada umumnya mereka hanya bekerja sebagai buruh, tani,
tukang, nelayan, sopir. Keadaan mulai berubah setelah hadirnya
wisatawan-wisatawan dari mancanegara maupun domestik di
wilayah ini. Usaha losmen, tour guide, adalah usaha-usaha yang
berkembang di wilayah ini. Namun demikian, usaha yang paling
banyak dimasuki oleh masyarakat lokal adalah usaha membuka
losmen. Saat ini terdapat empat buah losmen di seluruh wilayah
Tangkoko yang merupakan milik warga setempat dengan rata-rata
jumlah kamar delapan kamar per losmen, dimana kondisi losmenlosmen yang dijalankan warga setempat masih sangat sederhana.
Sejauh ini, fasilitas yang tersedia maupun layanan yang ada di
wilayah Tangkoko masih terbatas dan apa adanya. Perkembangan
adanya resort-resort yang mewah masih terbatas, contohnya
adalah hadirnya Benteng resort milik salah satu pengusaha di
Manado tapi hanya satu saja dan kondisinya tidak terawat baik,
karena sepi pengunjungnya. Kelangkaan pengunjung di resort ini
yang walaupun letaknya dipinggir pantai namun jaraknya jauh (2
km) dari obyek wisata Taman Nasional Tangkoko Batu Angus.
Penduduk pada umumnya menerima wisatawan untuk
tinggal di rumah mereka dengan menyewakan kamar-kamar
apa adanya. Mereka juga menyediakan makan tiga kali sehari bagi
150 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

wisatawan-wisatawan yang tinggal di rumah mereka karena
jumlah warung makan masih sangat langka. Harga sewa kamar
bervariasi antara Rp. 250.000,-300.000,-. Mereka menyewakan
kamar dengan sistem per kamar. Untuk membantu mengelola
losmen, para pemilik losmen juga memanfaatkan tenaga-tenaga
lokal pekerja sebagai tukang cuci, tukang masak, dan kegiatan
membersihkan losmen. Dengan demikian warga masyarakat yang
tidak mempunyai modal usaha juga masih dapat memperoleh
pendapatan dari usaha pengembangan pariwisata meskipun lebih
terbatas. Apalagi wisatawan-wisatawan yang datang rata-rata
tinggal selama 7 hari.
Selain usaha losmen, usaha-usaha pendukung lain juga
mulai berkembang di wilayah ini. Menurut para informan, usaha
rental mobil berkembang sangat pesat satu tahun terakhir ini.
Biasanya wisatawan menyewa mobil-mobil penduduk untuk
kegiatan transportasi dengan tarif Rp. 250.000 – Rp. 300,000,- per
hari. Dalam satu minggu bisa empat sampai lima kali digunakan.
Selain itu usaha transportasi lain yang juga berkembang adalah
jasa ojek, rental sepeda dan taksi perahu untuk aktivitas pariwisata
dan snorkeling dan dolphin tour bagi para wisatawan. Kalau
sebelumnya perahu nelayan hanya untuk kegiatan menjala ikan,
dengan adanya wisatawan, mereka bisa memanfaatkannya untuk
jasa transportasi wisata, sekali tour sudah termasuk snorkeling Rp.
600,000,- dan dibayar setelah selesai tour, dan pemiliknya Ibu
Tobias Takasaheng.
Di samping itu, masyarakat juga melihat peluang-peluang
usaha pendukung lainnya yang mereka lihat sangat dibutuhkan
oleh wisatawan. Seperti “warnet”, kemudian ada juga yang
membuka usaha isi ulang air mineral. Menurut penuturan warga
yang terlibat dalam FGD dengan kelompok masyarakat, komoditi
ini sangat laku karena sampai saat ini baru ada satu orang saja
yang membuka usaha isi ulang air mineral.

151 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Sebagaimana terjadi di tempat-tempat wisata lainnya, di
Tangkoko juga ada usaha penjualan souvenir. Namun demikian
sejauh ini usaha souvenir oleh masyarakat masih terbatas pada
penjualan kaos dan kartu pos. Kedua macam barang ini meskipun
mengandung simbol-simbol lokal seperti kaos atau kartupos
dengan gambar satwa langka yang ada di Tangkoko, penduduk
harus memesan dari luar wilayah. Usaha-usaha pembuatan
kerajinan tangan khas Tangkoko belum berkembang dan masih
dalam tahap mencari bentuk dan jenis souvenir apa yang cocok
ditawarkan kepada wisatawan. Hal ini mengingat masyarakat
Tangkoko tidak mempunyai tradisi membuat kerajinan tangan.
Saat ini ada upaya dari kalangan anak-anak muda lokal mencoba
membuat patung replica binatang langka yang ada di Tangkoko
seperti replica burung rangkong sebagai contohnya, dan ini
ditawarkan kepada wisatawan sebagai souvenir. Dalam satu
kegiatan FGD, Ibu Fonnie Bawowode, salah satu anggota
masyarakat mengungkapkan:
‘Ada juga produk lokal semacam gambar burung rangkong,
yang terbuat dari kayu lalu dicat, yang dibeli oleh wisatawan
sebagai oleh-oleh sebelum mereka pulang, dan produk ini
dibuat oleh anak muda didesa Batuputih.’

Namun demikian, seperti yang terjadi di tempat-tempat lain,
masyarakat maka Tangkoko tidak bisa menggantungkan hidup
sepenuhnya hanya dari kegiatan pariwisata sepanjang tahun
karena sifat dari pariwisata yang musiman. Pada musim sepi
wisatawan, masyarakat kembali menekuni kegiatan ekonomi
tradisional sebagai tukang bangunan, nelayan, atau beternak
disamping menggantungkan kehidupan mereka dari hasil kebun
dan pertanian. Pada umumnya, setiap keluarga memiliki 1 hektar
kebun yang ditanami kelapa, jagung, pisang, dan mereka menjual
hasil kebun mereka ke pasar.
Meskipun mereka tidak bisa sepenuhnya tergantung pada
ekonomi pariwisata untuk kebutuhannya, masyarakat melihat
bahwa dengan adanya kehadiran pariwisata, kehidupan mereka
152 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

menjadi lebih mudah. Pariwisata memudahkan mereka memenuhi
kebutuhan hidup karena memberikan peluang lebih besar bagi
mereka untuk mendapatkan uang langsung tanpa harus menunggu
untuk jangka waktu lama seperti halnya ketika mereka hanya
mengandalkan dari hasil mengolah kebun, tanah pertanian dan
beternak. Lebih jauh, walaupun pariwisata tidak sepenuhnya
menjamin kehidupan masyarakat, namun dengan hadirnya
peluang di bidang pariwisata memungkinkan masyarakat
mempunyai lebih banyak alternatif pendapatan daripada
sebelumnya. Mereka melihat kehadiran pariwisata membawa
peningkatan kesejahteraan secara ekonomi bagi mereka. Mereka
yang sebelumnya tidak memiliki peluang usaha lain diluar
kegiatan ekonomi tradisional seperti sebagai nelayan, petani atau
mengelola kebun, sekarang mempunyai alternative pendapatan
dari pariwisata. Sebagai contoh, sebelum adanya pariwisata, para
nelayan tradisional sangat tergantung pada pasar lokal untuk
memasarkan hasil tangkapan, sekarang hasil tangkapan mereka
juga menjadi konsumsi turis yang tinggal di losmen-losmen
Tangkoko. Dengan demikian, harga hasil tangkapan bisa terjaga
kestabilannya karena pasar yang lebih luas.
Sejauh ini masyarakat memandang bahwa pendapatan dari
sektor pariwisata dan sektor ekonomi tradisional seperti antara
lain bertani, beternak,berkebun dan mencari ikan saling
melengkapi. Oleh karena itu, kehadiran pariwisata tidak membuat
masyarakat sepenuhnya beralih ke sektor pariwisata. Seperti
diungkapkan oleh salah seorang informan dalam FGD dengan
pekerja, Pak Meydi Pokade, seorang pemandu wisata
mengungkapkan:
‘Selain jadi guide, jadi nelayan torang bekerja di perkebunan,
batanang, baternak piara ayam, babi, sapi, tapi paling banyak
peternakan dikelola untuk kepentingan pribadi. Kalu so
mendesak dipakai untuk makan. Seperti sapi dipakai untuk pake
roda.’

153 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Dari ungkapan tersebut nampak bahwa sektor ekonomi tradisional
masih tetap penting mendukung kelangsungan hidup masyarakat
di Tangkoko.

Kehadiran LSM KONTAK dan Organisasi Pemandu Wisata
Lokal.
Kehadiran LSM Kontak di wilayah Tangkoko cukup punya
peranan yang dominan dalam mendorong terbentuknya kesadaran
masyarakat terhadap pentingnya konservasi. LSM Kontak
dibentuk pada tahun 2000 atas prakarsa Noldy Kakauhe. Fokus
dari kegiatannya adalah mengupayakan tumbuhnya kesadaran
lingkungan dalam diri masyarakat setempat. Berbagai kegiatan
promosi baik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
mengenai masalah lingkungan maupun kegiatan promosi untuk
wisatawan telah banyak dilakukan oleh LSM ini. Dalam FGD
bersama dengan kelompok para pekerja, Pak Noldy Kakauhe,
salah seorang pemandu wisata mengungkapkan:
‘tiga taon berturut-turut kami kampanyekan cagar alam
Tangkoko yang kami modifikasikan dengan lomba perahu.
Bagitu beking kegiatan, dengan ribu orang datang dari kota
Bitung. Kita cuma beking lomba perao, tapi intinya kampanye.
Kita bicara lewat TOA, sebarkan spanduk di area lomba itu,
poster. Undang Wakil walikota datang, anggota Dewan, camat,
Kadis Pariwisata.’

Pada tahun 2006 LSM Kontak bersama dengan peneliti
dari Unsrat dan pemerintah kelurahan setempat juga membentuk
Kelompok Pencinta Alam Tarantula dimana penduduk lokal
menjadi anggota. Mereka berasal dari berbagai latar belakang
pendidikan, mulai dari mereka yang tidak lulus pendidikan dasar
sampai mereka yang telah menyelesaikan pendidikan menengah
atas atau bahkan perguruan tinggi. Mereka diajarkan hal-hal
mengenai konservasi, ekologi, dan perilaku satwa serta bagaimana
menggunakan alat untuk mengamati satwa. Dengan berbekal
pengetahuan ini, mereka dapat menjadi pemandu wisata minat
khusus maupun asisten peneliti. Dalam pekerjaannya, mereka
154 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

berada di bawah koordinasi organisasi guide yang termasuk dalam
LSM Kontak Tarantula, dan orang yang berinisiatif membentuk
organisasi guide ini adalah Mas Royo.
Pelatihan lain yang juga diselenggarakan bagi para
pemandu wisata adalah pelatihan bahasa Inggris yang
diselenggarakan pada tahun 2007, dan ada sertifikat, berlangsung
sekitar 3 bulan. Menurut para informan, kegiatan sebagai
pemandu wisata membawa manfaat tidak hanya dari sisi
pendapatan yang meningkat, namun juga meningkatkan
pengetahuan dan wawasan mereka tentang masalah-masalah
lingkungan. Selain itu, mereka juga merasa bangga dan senang
dapat berinteraksi dengan orang asing yang datang sebagai
wisatawan di daerah mereka. Kegiatan mereka sebagai guide
antara lain mengantar dan menjelaskan kepada para wisatawan
yang melakukan kegiatan seperti bird watching, dan biasanya
kalau antar turis kegiatannya adalah menjelaskan kondisi alam
serta lingkungan dan mengantar kelokasi wisata, Tarsius.
Menambah pengetahuan khususnya Bahasa Inggris juga
menambah wawasan, dan mendapat income dari wisatawan.
Dari informasi yang diperoleh selama penelitian, para
pemandu wisata di Tangkoko melihat bahwa pelatihan-pelatihan
ini cukup membantu meningkatkan peluang kerja bagi para
pemuda di wilayah ini. Para pemandu wisata merasa bahwa
pelatihan-pelatihan ini tidak hanya membuka wawasan baru,
namun juga meningkatkan peluang kerja baru bagi mereka.
Mereka diuntungkan dengan keahlian mereka, mereka dapat
memperoleh pekerjaan di wilayah-wilayah lain di Indonesia
Timur sebagai asisten peneliti keanekaragaman hayati. Hal yang
sebelumnya tidak pernah mereka bayangkan sama sekali. Dalam
FGD yang diadakan dengan para pemandu wisata lokal, terungkap
bahwa ketika low season, mereka biasanya pergi keluar wilayah
sebagai tenaga guide dan penterjemah mendampingi penelitipeneliti dari luar baik luar daerah maupun luar negeri.
155 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Mereka yang mempunyai ketrampilan sebagai guide bisa
terlibat dalam kegiatan-kegiatan proyek penelitian dengan
membantu para peneliti keanekaragaman hayati di Tangkoko.
Namun demikian, dengan berbekal ketrampilan sebagai pemandu
wisata minat khusus dan pengetahuan tentang keanekaragaman
hayati, sebagian dari para pemandu ini direkrut sebagai
pendamping ilmuwan di wilayah-wilayah Indonesia Timur
lainnya seperti ke Halmahera seperti terungkap dari hasil
wawancara dengan salah seorang informan yang suaminya saat
berlangsungnya penelitian ini sedang berada di Halmahera untuk
menjadi pemandu di sana.

Hambatan dalam Pengembangan Pariwisata di Tangkoko
Meskipun kehadiran pariwisata mampu meningkatkan
kondisi perekonomian masyarakat di sekitar wilayah konservasi
alam Tangkoko, ada beberapa hambatan yang membuat
keterlibatan masyarakat maupun perkembangan pariwisata di
wilayah ini tidak dapat maksimal. Persoalan-persoalan yang masih
menjadi kendala antara lain adalah tingkat pendidikan anggota
masyarakat masih rendah dan buruknya infrastruktur seperti
fasilitas jalan yang kurang memadai, supply listrik yang tidak
stabil, sistem komunikasi yang terbatas, serta belum adanya sistem
pengelolaan sampah rumah tangga yang baik.
Sebagian besar masyarakat hanya mencapai tingkat
pendidikan sampai pada tingkat SMK karena akses terhadap
institusi sekolah yang lebih tinggi tidak tersedia di sekitar mereka.
Sekolah yang tertinggi yang ada di wilayah ini sampai pada
tingkat SMK saja sehingga kalau ingin melanjutkan sekolah ke
jenjang yang lebih tinggi harus pergi ke wilayah lain yang
terdekat di Kota Bitung Karena faktor biaya, seringkali mereka
memilih untuk tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih
tinggi. Oleh karena itu, mereka yang terlibat dalam jasa pelayanan
wisatapun tidak mempunyai pendidikan formal di bidang ini.
156 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Mereka membuka usaha di bidang pariwisata lebih disebabkan
oleh adanya peluang pasar. Dalam hal ini, pariwisata dalam
bentuk open resort yang sekarang berkembang di wilayah ini
memungkinkan terbukanya peluang-peluang kerja dan usaha baru
bagi masyarakat meskipun dengan situasi yang serba terbatas.
Kehadiran pariwisata di wilayah ini membuka wawasan
para penduduk lokal. Dari interaksi-interaksi mereka dengan para
wisatawan, mereka juga mengenal kebiasaan-kebiasaan baru dan
memotivasi mereka untuk menjadi lebih maju dan berkembang.
Para pelaku usaha dan pekerja menyadari keterbatasan diri
mereka dan berharap suatu saat ada kesempatan untuk
meningkatkan pelayanan mereka. Misalnya dalam FGD bersama
dengan para pekerja lokal terungkap bahwa wisatawan-wisatawan
yang hadir di lingkungan Tangkoko mempunyai standar
kebutuhan kenyamanan layanan penginapan yang berbeda-beda.
Ada yang cukup puas dengan tinggal di rumah-rumah penduduk
dengan standar fasilitas yang minimal (ada kamar dengan kamar
mandi dan makan seperti layaknya penduduk setempat), namun
ada juga yang berharap bisa menikmati istirahat yang nyaman di
kamar yang ber AC. Harapan ketersediaan fasilitas yang nyaman
ini ada di antara para wisatawan bird watching yang
menghabiskan sebagian besar waktunya di hutan sehingga para
wisatawan ini membutuhkan kualitas istirahat yang baik, seperti
diungkapkan oleh salah seorang informan, Bapak Diswal
Takasihaeng :
‘Itu masalah, karna kita sering handle tamu bird watching.
Dorang suka biar cuma tidor 1 jam tapi nyaman, karna dorang
pe waktu nyanda banyak. Dorang pe waktu paling banyak di
hutan.’

Di samping cita-cita untuk menyediakan fasilitas
kenyamanan yang lebih baik bagi wisatawan para penduduk juga
berharap bahwa akan terbuka kesempatan pelatihan-pelatihan
bagi peningkatan kapasitas kerja agar mereka bisa memberikan
pelayanan yang lebih maksimal. Dari hasil FGD dengan para
157 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

penduduk lokal, terungkap bahwa mereka ingin bisa
meningkatkan kemampuannya berbahasa Inggris. Kesulitan
berkomunikasi dengan wisatawan yang kebanyakan orang asing
membuat mereka berharap untuk bisa memiliki kemampuan
berbahasa Inggris. Selama ini komunikasi mereka dengan orang
asing sangat terbatas dan lebih banyak menggunakan gesture.
Dengan demikian, komunikasi menjadi tersendat-sendat dan bisa
menimbulkan salah pengertian di antara mereka.
Selain persoalan dengan sumber daya manusia, persoalan
lain yang berpotensi menghambat perkembangan pariwisata
adalah masalah infrastruktur. Pertama, fasilitas jalan di wilayah ini
kurang memadai kelihatan sudah tidak terawat, jalan dan median
jalannya, juga jembatan yang masih terbuat dari kayu dan sempit
(hanya bisa dilewati satu kendaraan). Kedua, masalah fasilitas
listrik. Sambungan listrik yang ada masih sangat terbatas dimana
satu meteran kadang digunakan bersama-sama oleh beberapa
rumah. Dengan demikian tentunya pemakaian untuk setiap
rumah menjadi terbatas. Tanpa supply listrik yang memadai,
pelayanan kepada konsumen menjadi tidak maksimal. Misalnya
mereka menjadi sulit menyediakan minuman dingin untuk para
wisatawan sementara udara di Tangkoko sangat panas seperti
diungkapkan oleh salah satu warga masyarakat, Bapak Darmin
Pailaha, dalam FGD:
‘Fasilitas listrik sudah ada, namun kesulitannya tidak dibangun
tiang. Jadi terkadang ada beberapa rumah yang hanya memiliki
1 meteran listrik, jadi sistemnya satu rumah disambung
kerumah yang lain dari rumah kerumah (gate-baku gate), jadi
dengan sendirinya untuk minuman dingin kami disini tidak
dapat membuatnya karena terkendala masalah ini.’

Persoalan dengan sumber daya listrik tidak hanya terbatas
namun juga tidak stabil. Keluhan mengenai listrik yang sering
mati banyak dikemukakan oleh para pemilik losmen. Merekalah
yang paling menderita ketika supply listrik tidak stabil. Mereka
juga mengeluhkan tentang ketidakstabilan voltage listrik ini
158 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

menyebabkan peralatan listrik mereka menjadi mudah rusak.
Persoalan dengan tegangan listrik ini menjadi sangat merepotkan
terutama ketika mereka sedang banyak menerima tamu di
rumahnya. Wisatawan mengeluh kepada para pemilik losmen
namun mereka tidak mampu mengupayakan perbaikannya. Oleh
karena itu, biasanya setiap losmen memiliki genset sendiri untuk
menjamin supply listrik di losmen mereka. Namun penggunaan
genset lebih mahal daripada kalau mereka berlangganan listrik
negara. Bagi pemilik losmen yang menjual kamar dengan harga
yang murah tentunya hal ini menjadi beban yang cukup berat bagi
mereka. Salah satu warga masyarakat, ibu Stance Masedung
mengatakan:
‘listrik yang paling sulit, makanya dibagian sini kami harus
menggunakan genset jika ada tamu dan kami meresa rugi jika
menggunakan genset, dan rata-rata disetiap losmen disediakan
genset.’

Lebih lanjut, masalah komunikasi juga seringkali menjadi
hambatan dalam berusaha. Fasilitas Telkom untuk pengadaan
telepon di rumah-rumah belum ada dan untuk berkomunikasi
mereka sangat tergantung pada ketersediaan telepon genggam,
namun demikian, dengan penggunaan telepon genggampun tidak
bisa lancar karena sinyal terbatas di wilayah ini. Dalam FGD
terungkap masalah ini dan salah satu warga masyarakat, Ibu
Yasmin Dalambide mengatakan:
‘Untuk fasilitas komunikasi kami menggunakan HP, karena
untuk telepon rumah disini belum ada, tapi terkadang jika
menggunakan hp susah juga signalnya, dan yang signalnya
bagus hanya operator selular seperti Three.’

Sejauh ini mereka cukup gembira dengan ketersediaan
fasilitas air bersih dari pemerintah yang sudah mencapai wilayah
mereka. Oleh karena itu ketika ada kerusakan dengan saluran,
mereka akan bergotong royong memperbaiki saluran air. Selain
itu, warga juga bekerja sama untuk membuat sumur-sumur
mengantisipasi ketika ada masalah dengan fasilitas air bersih dari
159 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

pemerintah. Di bawah ini ungkapan dari warga masyarakat, Ibu
Henny Bawowode dan Ibu Stance Masedung:
Ibu Henny Bawowode mengatakan:
‘Dengan di bangunnya fasilitas air bersih dari pemerintah
maka kami disini tidak kesulitan air bersih lagi.’

Kemudian Ibu Stance Masedung menambahkan:
‘Air bersih ada fasilitas dari pemerintah membangun saluran
air dari hutan ke desa, namun kalau rusak masyarakat disini
kerja bakti untuk membetulkannya, ada juga yang lain “gale
parigi” (menggali sumur), untuk mendapatkan air bersih. Air
disini tidak masalah.’

Lebih lanjut, pengelolaan sampah rumah tangga merupakan
masalah untuk wilayah Tangkoko ini. Biasanya sampah dibakar
namun akhir-akhir ini sudah ada mobil sampah dari pemkot
Bitung seminggu 2 kali hari Rabu dan Sabtu. Di samping itu, issue
mengenai persoalan lingkungan juga berkaitan dengan praktekpraktek penebangan hutan secara liar di Tangkoko. Meskipun
Tangkoko sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi, kasuskasus penebangan hutan masih tetap terjadi. Contoh ada beberapa
orang yang mengambil kayu untuk dibuat semacam rakit dilaut
dan perahu, dan khusus untuk binatang dalam perlindungan
dilarang untuk diambil agar tetap terjaga kelestariaannya, hewan
tarsius merupakan salah satu satwa yang dilindungi dan
wisatawan dapat melihatnya setiap sore pukul 17.00 – 18.00
(waktu mereka keluar), mobil dapat masuk sampai ke dalam
kawasan konservasi dan wisatawan berjalan sejauh 1 km untuk
dapat melihat jenis satwa ini. Dan yang berinisiatif dalam
pengembangan pariwisata di Tangkoko ini adalah Pemerintah
Kota Bitung.

Konflik yang timbul dari Pengembangan Pariwisata
Pariwisata yang baru berkembang antara lain di Tangkoko
selain membawa dampak positif terhadap perekonomian dan
perkembangan sosial masyarakat juga membawa dampak negatif.
160 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Dari penelitian ini terdeteksi bahwa konflik timbul karena adanya
kompetisi dalam memberikan pelayanan kepada turis. Konflik bisa
terjadi antar pemilik losmen atau antara satu pemandu wisata
dengan pemandu wisata lainnya atau bahkan antara pemandu
wisata yang tergabung dalam asosiasi pemandu wisata Tangkoko
dengan para petugas penjaga hutan konservasi Tangkoko.
Konflik yang terjadi adalah pecah antar pemilik losmen
berkaitan dengan penentuan harga sewa kamar. Ada beberapa hal
yang menyebabkan terjadinya konflik di antara pemilik losmen.
Pertama, tidak ada standar yang jelas dalam penentuan harga
kamar sehingga setiap pemilik losmen dapat menentukan sendiri
harga sewa yang ingin ditawarkan. Kedua, tamu yang datang ke
Tangkoko tidak sebanyak ketersediaan kamar yang ada di losmenlosmen yang ada di Tangkoko, sehingga peluang terjadinya
kompetisi di antara pemilik losmen dalam mendapatkan tamu
besar. Ketiga, penduduk tidak memperhitungkan nilai investasi
yang sudah ditanamkan untuk pembangunannya kamar-kamar
yang mereka sewakan karena merupakan bagian dari rumah
mereka. Akibatnya harga bisa menjadi sangat kompetitif karena
dengan adanya tamu yang tinggal, mereka memperoleh
pendapatan tambahan sedangkan kalau tidak ada tamu tinggal,
kesempatan memperoleh pendapatan hilang.
Konflik sejenis yang disebabkan karena persaingan juga
tetap muncul di kalangan pemandu wisata meskipun sudah ada
kata sepakat terhadap kegiatan pemanduan di antara mereka.
Mereka mengatur jadwal giliran dimana masing-masing harus
mendapatkan giliran memandu secara merata namun kadangkadang ada yang masih melanggar kesepakatan ini. Untuk
menghindari bertemu dengan pemandu lain mereka akan pergi
melalui jalan yang lain. Sampai saat ini konflik tidak pernah
berakhir dengan perkelahian fisik karena polisi hutan membantu
penyelesaiannya. Mereka yang didapati melanggar akan diberi
sangsi tidak mengantar turis untuk jangka waktu tertentu.
161 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Penentuan jangka waktu ini ditetapkan berdasarkan pada catatan
pelanggaran yang dibuat oleh pemandu tersebut. Semakin sering
akan semakin lama jangka waktu skors yang diterapkan kepada
mereka. Di bawah ini adalah dialog yang berlangsung di dalam
FGD dengan warga masyarakat dimana hadir salah satu pemandu
wisata, Pak Godman Buang Sampuhi. Godman Buang Sampuhi
mengatakan:
‘Ada konflik yakni kalau guide disini ada jadwal kalau hari ini

saya mengantar tamu berarti besok harus orang lain yang bawa
atau dengan kata lain bergiliran, tapi terkadang ada guide yang
sudah memonopoli pekerjaan, sehingga guide yang lain sudah
tidak kebagian lagi pekerjaan, dan penyelesainnya diselesaikan
oleh polisi kehutanan karena didalam hutan ada kantor polisi
kehutanan sehingga mereka dapat mengetahui siapa-siapa yang
sudah memonopoli pekerjaan.’

Selanjutnya Ibu Kalarce Masala, Ibu Henny Bawowode dan Ibu
Yasmin Dalambide menimpali:
Ibu Kalarce Masala mengatakan:
‘Jika kedapatan mereka dapat hukuman untuk tidak mengantar
turis ada yang satu minggu dan ada yang satu bulan.’
Ibu Henny Bawowode mengatakan:
‘Tapi ada juga meskipun mereka telah mengetahui sangsinya
tetapi tetap mereka melanggar ada salah satu cara mereka agar
supaya tidak diketahui yakni tidak lewat pos depan tetapi lewat
jalan lain didalam hutan.’
Yasmin Dalambide menambahkan:
‘Meskipun terjadi konflik seperti ini tetapi tetap tidak terjadi
kontak fisik atau semacam perkelahian.’

Namun demikian, konflik juga terjadi antara polisi hutan
dan para pemandu wisata mengenai pengelolaan pemanduan
wisatawan yang berkunjung. Masing-masing merasa mempunyai
hak untuk memperoleh pendapatan dari kehadiran wisatawan
dengan menjadi pemandu. Para pemandu wisata lokal merasa
bahwa para polisi hutan berlaku tidak adil terhadap mereka
karena ketika banyak wisatawan datang, maka petugas akan
memonopoli dan penduduk lokal tidak memperoleh kesempatan
162 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

yang seimbang untuk memandu para wisatawan. Semua ini
berlangsung di luar kesepakatan lalu yang telah dibuat antara
penduduk dengan para polisi hutan. Dalam kesepakatan itu
ditetapkan bahwa pemanduan dibuat silih berganti. Apabila
wisatawan yang pertama sudah dipandu oleh polisi hutan maka
wisatawan berikut harus dipandu oleh penduduk. Lebih jauh
kesepakatan tersebut juga menetapkan bahwa setiap pemandu
memimpin dua orang wisatawan, namun demikian petugas
seringkali melanggar kesepakatan-kesepakatan tersebut dimana
mereka hanya memberi kesempatan kepada penduduk lokal untuk
memandu ketika petugas tidak ada. Selain itu mereka juga sering
melanggar kesepakatan jumlah wisatawan dalam setiap kelompok
dimana jumlah wisatawannya lebih dari dua orang. Dalam diskusi
kelompok yang diadakan dengan para pemandu lokal, salah satu
dari mereka, Pak Noldi mengatakan:
Pak, ini khusus pemandu, seperti ada kue yang dibagi tidak
sama rata. Jadi tadinya kita beking jadwal rolling, tapi karna
petugas, tiba-tiba sudah musim tamu sebenarnya sudah ada
jadwal, petugas-lokal, petugas-lokal, tapi karna banyak tamu,
petugas diprioritaskan dulu. Jadi begitu ada tamu petugas dulu,
kalu tidak ada petugas baru guide lokal. Saya tidak mau.
Karna setiap 2 tamu, 1 guide, tapi kadang ada 10 tamu hanya 2
guide petugas, yang lain gigit jari. Sudah melenceng dari
kesepakatan.

Perbedaan pendapat antara penduduk dengan pihak polisi
hutan juga terjadi berkaitan dengan posisi jembatan yang
menjadi jalur akses satu-satunya menuju ke wilayah
konservasi. Penduduk lokal ingin agar lokasi jembatan digeser
di lokasi pemuikiman masyarakat di wilayah Batuputih.
Keinginan ini timbul karena letak jembatan saat ini jauh dari
pemukiman sehingga sulit bagi mereka untuk mengawasi arus
wisatawan yang masuk. Namun demikian, bagi petugas
jagawana, kalau jembatan dipindahkan maka akan sulit bagi
mereka untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap arus
keluar masuknya orang ke wilayah konservasi. Oleh karena
itu, sampai sekarang posisi jembatan masih tetap pada

tempat yang sama.

Lebih jauh para polisi hutan juga merasa berhak menguasai
wilayah konservasi ini karena wilayah ini berada di bawah
koordinasi BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam). Sebagai
163 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

akibat dari sistem ini, ketika penduduk memprotes karena merasa
diperlakukan tidak adil, para polisi hutan mengancam melarang
penduduk untuk memimpin perjalanan wisatawan ke dalam hutan
Tangkoko. Adu argumen antara para pemandu wisata lokal
dengan polisi hutan seringkali terjadi namun belum pernah
kejadian-kejadian ini berujung pada perkelahian fisik. Meskipun
harus beradu mulut, para penduduk tidak akan mundur karena
mereka merasa kegiatan pemanduan sebagai sumber pendapatan
penting mereka seperti lebih lanjut dikatakan oleh Pak Noldy
dalam FGD:
Ancamannya kalau tidak ada petugas dilarang masuk, tapi kami
tidak mundur. Kami terus terang masyarakat yang ada disini.
Istilah orang Manado, torang pe blanga ini kua.

Selain itu penduduk juga berani melawan karena mereka
berpendapat bahwa sebenarnya bukan porsi para polisi hutan
untuk melakukan pemanduan. Tugas utama para polisi hutan
adalah menjaga keamanan kawasan agar tidak terjadi kasus
penebangan hutan liar. Ketika banyak wisatawan datang dan para
polisi hutan ini memandu wisatawan, para polisi hutan akan
menuliskan di laporan mereka bahwa mereka melakukan patroli
bukan memandu. Dikatakan oleh pak Noldy:
Deng torang tau apa dorang pe kerja. Memang torang tau
dorang pe tupoksi untuk keamanan kawasan. Ternyata
tidak. Antar turis ke, ternyata laporan patroli.

Ternyata peran dari ikatan kekerabatan antara para polisi
hutan dengan penduduk lokal cukup membantu menghindarkan
mereka dari konflik yang lebih jauh. Dari FGD diperoleh
informasi bahwa para polisi hutan kebanyakan berasal dari luar
wilayah Tangkoko namun mereka telah lama tinggal dan banyak
yang menikah dengan penduduk setempat. Dengan demikian,
mereka sudah diterima sebagai bagian dari penduduk. Oleh karena
itu, para pemandu wisata yang hadir dalam kegiatan FGD tersebut
mengatakan bahwa mereka cenderung menghindari konflik yang
berkepanjangan karena ada ikatan kekerabatan antara para polisi
164 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

hutan yang bertugas di Tangkoko dengan para pemandu wisata
lokal.

Penerimaan Masyarakat Tangkoko pada Pariwisata
di wilayahnya
Masyarakat di sekitar Tangkoko pada umumnya menanggapi
positif adanya pengembangan pariwisata di wilayah mereka.
Seperti dituturkan oleh para informan dari ketiga kelompok
masyarakat lokal, pengusaha dan pekerja dalam penelitian ini.
Penerimaan positif dari masyarakat terutama didasarkan pada
perbaikan kondisi ekonomi karena pengembangan pariwisata di
lingkungan mereka seperti telah diungkapkan pada sub bab diatas.
Disamping itu karena alasan peningkatan ekonomi lokal, pada
umumnya masyarakat juga merasa bangga bahwa wilayahnya
dikenal secara internasional dan ungkapan ini disampaikan oleh
ketiga kelompok masyarakat lokal yang terlibat dalam FGD.
Kebanggaan terhadap wilayah mereka ini mendorong sikap
terbuka terhadap para wisatawan yang datang untuk melihat
keindahan dan keunikan alam di wilayah mereka. Selanjutnya
para informan juga menambahkan bahwa sebenarnya penerimaan
masyarakat yang positif diwujudkan dalam keterbukaan dan
dukungan mereka terhadap program-program konservasi.
Masyarakat merasa bahwa dengan adanya pariwisata, wawasan
mereka menjadi terbuka dan kesadaran terhadap lingkungan
meningkat. Mereka belajar banyak hal baru. Di bawah ini adalah
berbagai pernyataan dari kelompok masyarakat, pengusaha
maupun pekerja:
Ibu Fonie Bawowode, seorang anggota masyarakat di
Tangkoko mengatakan:
‘Saya senang karena Batuputih terkenal didunia dan
dibanggakan, dan saya juga senang karena turut serta dalam
memelihara lingkungan sekitar Batuputih, karena saya juga
turut berperan aktif karena saya adalah anggota Satuan
Penyuluh Pedesaan Kehutanan.’

165 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Lebih lanjut dalam FGD yang sama, maka Ibu Yasmin Dambide
menambahkan:
‘Saya bangga kelurahan Batu Putih menjadi tempat pariwisata,
karena banyak hasilnya salah satu contoh saya mendapatkan
penghasilan dalam menjual “kukis” (kue) buat para tamu.’

Dalam FGD dengan para pengusaha di Tangkoko, salah
satu dari mereka, Bapak Bobby Lambaihang juga mengemukakan
pendapat yang senada tentang kehadiran pariwisata di Tangkoko.
Bapak Bobby mengatakan:
‘Kami senang karena ada banyak pengunjung datang, wawasan
terbuka untuk semua warga yang ada di batu putih baik orang
kecil, orang besar para penjual kue, pengusaha warung dan
semuanya.’

Sementara itu dari kelompok pekerja memberikan tekanan
pada manfaat kehadiran pariwisata bagi peningkatan pengetahuan
mereka dan masyarakat tentang lingkungan serta peluang kerja
seperti dituturkan dibawah ini oleh Pak Meydi Pokade dan
disambung oleh Pak Doan Kampungbae :
Pak Meydi Pokade menyatakan:
‘ Sangat baik kehadiran pariwisata karna sangat membantu, sebab
jadi guide harus banyak belajar, juga dapat kesempatan untuk
bekerja diluar-luar. Dan saya pikir kerja pemandu itu, bisa belajar
bahasa, belajar bahasa Inggris, bisa belajar bahasa asing.’

Pak Doan Kampungbae melanjutkan dengan menekankan
perlunya sosialisasi lebih lanjut tentang pengetahuan pariwisata
bagi masyarakat :
‘Dengan adanya pariwisata merubah berpikir masyarakat yang
ada di lingkungan ini, masyarakat kawasan Saya hanya
menambah sedikit, karna teman saya sudah . Kami disini
semuanya sama. Kedepan perlu memperbanyak sosialisasi tentang
masalah pariwisata. Yang ada disini belum menyeluruh, baru
sebagian orang yang tahu, yang sudah mengenal pariwisata masih
minim.’

Meskipun demikian persoalan benturan budaya dengan
masyarakat lokal juga terungkap dalam FGD. Mereka mengatakan
bahwa para penduduk lokal keberatan dengan para wisatawan
asing yang berpakaian minim berjalan masuk ke kampung mereka
166 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

setelah selesai berjemur atau berenang di pantai. Namun demikian
hal ini dapat segera diselesaikan melalui perantara seperti para
pemandu wisata, pemilik losmen atau pemerintah setempat yang
menyampaikan kepada para wisatawan agar menghindari
memakai pakaian minim di wilayah perkampungan. Karena ada
ruang-ruang dialog seperti ini sehingga konflik yang lebih serius
dapat dihindari. Seperti disampaikan oleh Ibu Fonnie Bawowode
dan ditimpali oleh Pak Godman Buang Sampuhi dalam FGD. Ibu
Fonnie Bawowode mengatakan:
‘Pada umumnya tidak ada konflik atau kami tidak terganggu
hanya ada satu hal yang mengusik kami yakni para wisatawan
asing kalau mereka ke pantai mereka menggunakan pakaian yang
minim yang tidak sesuai dengan budaya kami disini.’

Pak Godman Buang Sampuhi menyambung:
‘Mereka kalau pergi ke pantai menggunakan pakaian mini dan
berenang, setelah mereka mau balik ke kampung, guide sudah
menasehati mereka untuk memakai pakaian yang layak.’

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa interaksi antara
wisatawan asing dan penduduk lokal harmonis dan tercipta saling
pengertian. Karena ada kenyamanan dalam interaksi, benturanbenturan budaya yang serius tidak terjadi di wilayah Tangkoko.

Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa kondisi Pariwisata di
Tangkoko Batuangus ini khususnya di desa Batuputih masih dalam
taraf mulai berkembang. Walaupun masyarakat sering mengeluh
karena dirasa adanya ketidakadilan diantara mereka maupun antar
guide lokal dengan petugas konservasi, namun selalu ada jalan
keluar. Pariwisata model ini memang unik juga karena
mempunyai obyek wisata yang justeru adalah kawasan lindung,
dan pemerintah setempat belum mengambil inisiatif untuk
pengembangan pariwisata lokal, sehingga yang terjadi adalah
bertumbuhnya fasilitas wisata yang diperankan oleh masyarakat
dan pengusaha dengan segala keterbatasannya. Manfaat yang
167 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

dirasakan masyarakat dari hadirnya usaha pariwisata di kawasan
ini adalah manfaat langsung yang bernuansa ekonomis maupun
pergaulan dan peningkatan minat untuk menambah pengetahuan
minimal bahasa Inggris. Di masa depan ketika hadirnya para
investor besar yang membangun hotel-hotel mewah di kawasan
ini mungkin manfaat seperti sekarang akan kurang terasa lagi,
karena peluang untuk mendapatkan pendapatan dari kegiatan
pariwisata menjadi sempit.
Adanya LSM KONTAK yang juga mempunyai akses
internasional telah berhasil melatih penduduk setempat untuk
menjadi pemandu wisata melalui dana dari donor-donor
internasional termasuk pangeran Bernhard dari Kerajaan Belanda
yang telah membantu pembangunan menara untuk bird watching
pada tahun 2007 yang lalu. Dan hasil interaksi antara masyarakat
lokal dengan para turis adalah selain mendapatkan manfaat
ekonomis, terutama pula masyarakat menjadi sadar betapa
lingkungan tempat mereka bermukim sangat dihargai orang asing,
sehingga menjadi kurang etis bila mereka merusak lingkungannya
sendiri walau dengan motivasi ekonomis sekalipun. Biasanya
kunjungan wisata ke lokasi Tangkoko ini terangkai dengan
kunjungan wisata Bunaken, sehingga jarang ada turis yang
menginap, kecuali yang menyediakan waktu khusus untuk
menikmati keaslian alam dan hewan langka yang ada disini.
Umumnya para turis adalah orang muda atau ilmuwan yang
sedang mendalami penelitian, sehingga tinggal di Tangkoko
dengan segala keterbatasannya dapat diterima dan bahkan mereka
mampu beradaptasi dengan masyarakat setempat baik dalam hal
makanan maupun dalam hal kepatutan yang disyaratkan kondisi
lokal.

168