PERILAKU KEAGAMAAN REMAJA PENGUNGSI SYIAH DI RUMAH SUSUN PUSPA AGRO JEMUNDO SIDOARJO.

(1)

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

AHMAD MUHLISIN

E52212033

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA

JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Ahmad Muhlisin, NIM. E52212033, 2016. Perilaku Keagamaan Remaja Pengungsi Syiah di Rumah Susun Puspa Agro Jemundo Sidoarja.

Skripsi Program Studi Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya.

Penelitian ini dilatar belakangi oleh permasalahan yang dialami oleh para remaja pengungsi Syiah di rumah susun Puspa Agro Jemundo Sidoarjo yang menjadi korban konflik Sunni-Syiah yang terjadi di Sampang 4 tahun lalu. Remaja yang secara psikologis masih labil untuk menghadapi hal tersebut harus dihadapkan kepada opini-opini negatif masyarakat, lingkungan baru, bahkan fatwa sesat terhadap aliran yang dianutnya. Hal-hal semacam ini bisa saja memberikan pengaruh terhadap perilaku keagamaan remaja disana. Oleh karena itu, tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang perilaku keagamaan remaja Pengungsi Syiah serta untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku keagamaan tersebut.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan psikologi agama. Dimana rumusan masalah akan dibahas dengan menggunakan teori fakulti dan teori keberagamaan milik Glock dan Stark. Sementara itu, data penelitian diperoleh dari wawancara, observasi, dan dokumentasi yang kemudian akan dianalisis serta diverifikasi untuk memperoleh kesimpulan.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa perilaku keagamaan remaja pengungsi Syiah ini terbagi menjadi dua kelompok, yaitu mereka yang baik perilaku keagamanya dan mereka yang tidak. Indikator dari perilaku keagamaan ini nampak dari terintegrasinya fungsi-fungsi (cipta, rasa ,dan karsa) serta dimensi keagamaan yang mereka miliki. Remaja yang memiliki perilaku keagamaan baik umumnya mereka belajar ke lembaga-lembaga Syiah. Sementara remaja yang lain lebih memilih belajar di sekolah formal atau membantu orang tuanya bekerja. Faktor yang paling berpengaruh terhadap perilaku keagamaan para remaja adalah faktor pendidikan mereka.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

ABSTRAK ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... v

HALAMAN MOTTO ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian... 6

E. Tinjauan Pustaka ... 7

F. Kerangka Teoritik ... 9

G. Metode Penelitian ... 10

H. Sistematika Pembahasan ... 17

BAB II: LANDASAN TEORI A. Perilaku Keagamaan 1. Pengertian perilaku keagamaan... 19


(8)

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku keagamaan ... 29

B. Perkembangan keagamaan pada remaja 1. Pengertian remaja ... 34

2. Pertumbuhan dan perkembangan pada masa remaja ... 35

3. Kesadaran beragama pada remaja ... 37

4. Sikap remaja terhadap agama... 41

C. Pengungsi Syiah 1. Pengertian pengungsi ... 43

2. Syiah dan perkembangannya... 44

D. Perilaku keagamaan dalam perspektif teori ... 53

BAB III: PENYAJIAN DATA A. Gambaran Umum Pengungsi Syiah di Rumah Susun Puspa Agro 1. Profil Rumah Susun Puspa Agro ... 56

2. Konflik Sunni-Syiah serta Kronologi Penempatan Pengungsi Syiah di Rumah Susun Puspa Agro ... 57

3. Keadaan Pengungsi Syiah di Rumah Susun Puspa Agro ... 59

B. Kondisi remaja pengungsi Syiah 1. Keadaan sosial ... 61

2. Keadaan ekonomi ... 63

3. Keadaan Pendidikan ... 63

4. Keadaan psikis ... 64

5. Kegiatan keagamaan ... 64


(9)

D. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku keagamaan remaja pengungsi Syiah

1. Faktor internal ... 70 2. Faktor eksternal ... 72 BAB IV: ANALISIS DATA

A. Perilaku keagamaan remaja pengungsi Syiah ... 75 B. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku keagamaan remaja pengungsi Syiah ... 79 BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ... 82 B. Saran ... 83 DAFTAR PUSTAKA ... 85 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama merupakan pedoman hidup bagi manusia untuk mengatasi segala permasalahan hidup. Secara psikis-mental, agama juga merupakan sarana untuk menenangkan jiwa serta batin seseorang.1 Selain itu, manusia merupakan homo-religious yang mempunyai makana bahwa ia memiliki sifat-sifat keagamaan.2 Oleh karena itu, agama menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk menjalanlan roda kehidupannya selama di dunia.

Agama sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam

pembentukan perilaku, dikarenakan agama berfungsi meletakkan pengertian dasar serta konsep moral dalam setiap individu. Namun demikian, agama bukan merupakan satu-satunya yang dapat mempengaruhi dalam pembentukan perilaku setiap individu. Diantaranya adalah pengalaman pribadi, pengaruh lingkungan, orang-orang penting, media masa, pendidikan, budaya, dan lain sebagainya. Keseluruhannya itu yang nantinya menjadi penentu bagaimana perilaku keberagamaan seseorang.

Perilaku keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai ketaatannya pada

1 Zakiah Darajat. Peranan Agama dalam kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Mulia, 1988), 56. 2 Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Grafindo Persada, 2004), 1.


(11)

agama yang dianutnya. Perilaku tersebut muncul karena adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsur afektif, dan tindakan terhadap agama sebagai unsur konatif. Jadi sikap keagamaan merupakan integrasi yang kompleks antara ketiganya. Namun, tidak semua orang mempunyai sikap yang sama dalam pengetahuan, perasaan, dan berperilaku dalam beragama, sehingga akan memunculkan perilaku keagamaan yang beragam.3 Oleh karena itu, banyak

hal yang dapat menentukan perilaku keagamaan seseorang, mengingat ketiga unsur tersebut dapat disikapi berbeda oleh setiap individu. Tentu saja, antara anak-anak, remaja, dewasa akan berbeda dalam menerapkan unsur-unsur tersebut. Utamanya remaja yang dalam hal ini masih labil serta masih melakukan pencarian jati dirinya.

Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Banyak para ahli menyebut masa remaja ini dengan berbagai istilah, misalnya masa adolescence yang berarti tumbuh untuk mencapai kematangan. Ada juga yang menyebut dengan istilah masa topan dan badai yang maksudnya adalah masa mencari jati diri.4 Pada masa ini

seseorang akan mengalamai perkembangan pesat, baik itu fisik, perilaku, pola pemikiran, moral, sikap, perasaan, kepribadian, sosial, termasuk keberagamaannya. Tentu saja hal ini akan membawa implikasi yang baik apabila selama masa remaja ini seseorang mendapat dukungan serta arahan

3 Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Grafindo Persada, 2004), 7-8.

4 Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja, Perkembangan Peserta Didik


(12)

3

yang baik dari lingkungan sekitarnya, sehingga kelak akan menjadi generasi penerus bangsa yang bisa dibanggakan.

Seiring dengan perkembangan jasmaniah serta rohaniahnya, keagamaan remaja pun ikut dipengaruhi. Maksudnya, penghayatan para remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada diri remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut.5 Jadi, bukan hanya dari fisik serta mental saja yang berkembang. Perilaku keaagamaan remaja pun mengalami perkembangan sejalan dengan pengalaman, pengaruh lingkungan dan lain sebagainya yang bertambah.

Secara idealisnya, pada masa ini seorang remaja menjadi tumpuan harapan serta tulang punggung majunya agama serta negara, tentu saja hal ini harus dibarengi dengan perilaku keagamaan yang baik. Karena jika generasi penerus kita berperilaku keagamaan baik maka kedepannya negara dan agama juga menjadi baik. Untuk itu penting sekali kiranya kita semua memperhatikan lingkungan pergaulan remaja, karena lingkungan memiliki pengaruh yang begitu besar dalam menentukan perilaku keagamaan seseorang. Jika lingkungan remaja ini kondusif, tanpa tekanan, serta penuh dengan bimbingan yang baik maka perilaku keagamaannya juga akan baik yang akan membawa banyak dampak positif dalam kehidupannya. Mengingat remaja merupakan garda terdepan dalam kemajuan agama serta negara ini.

Namun dalam faktanya, sering kita temukan hal-hal yang bertolak belakang dengan idealisnya kehidupan remaja yang seharusnya penuh dengan


(13)

hal-hal yang baik. Banyak hal negatif yang mempengaruhi perilaku remaja, baik itu dari pergaulannya, lingkungannya, serta masalah-masalah yang secara tidak langsung memberikan dampak terhadap remaja. Konflik merupakan hal yang paling sering terjadi yang memberikan dampak terhadap perilaku remaja baik secara langsung ataupun tidak langsung. Baik itu konflik keluarga, antar teman sebaya, atau pun dalam skala yang lebih besar yaitu konflik antar golongan, agama ras, dan lain sebagainya. Disini remaja menjadi korban akan terjadinya konflik-konflik tersebut.

Salah satu konflik yang terjadi di Indonesia adalah konflik antar aliran beragama, yaitu kasus konflik Sunni-Syiah yang terjadi di Dusun Nang Kernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben dan Desa Blu’uran, Kecamatan Karang Penang. Keduanya berada di Kabupaten Sampang. Konflik ini terjadi pada tanggal 29 Desember 2011. Di Sampang, komunitas Syiah yang dipimpin Tajul Muluk merupakan kelompok minoritas kecil yang keberadaannya relatif baru. Jumlahnya hanya bebeberapa ratus orang saja. Akan tetapi, mereka harus menyabung nyawa melawan syi’ar kebencian dan penyesatan dari hampir semua tokoh agama Islam di Sampang dan sebagian Pamekasan yang mewakili kelompok muslim mayoritas.6 Konflik ini banyak menelan korban jiwa, fisik serta psikis orang-orang Syiah Sampang. Puncaknya adalah pengusiran orang-orang Syiah dari kampung halamannya, meskipun awalnya mereka mengungsi di GOR Sampang, karena masyarakat anti Syiah tetap bersikeras untuk mengusir orang-orang Syiah dari Madura.

6 Anonim, Laporan Investigasi dan Pemantauan Kasus Syi’ah Sampang, (Surabaya: KontraS


(14)

5

Akhirnya, pada tanggal 20 Juni 2013 melalui musyawarah serta diskusi alot antar pihak-pihak serta instansi terkait diputuskan bahwa pengungsi Syiah di GOR Sampang direlokasi ke Rumah Susun Puspa Agro Jemundo Sidoarjo.7

Kejadian ini tentu saja membawa dampak besar terhadap korban, yaitu

warga Syi’ah yang mengungsi di Rumah Susun Puspa Agro Jemundo

Sidoarjo. Termasuk para remaja yang secara psikologis masih labil untuk menghadapi hal-hal seperti ini. Lingkungan baru, opini-opini negatif masyarakat, bahkan fatwa sesat terhadap aliran yang dianutnya bisa saja akan memberikan pengaruh terhadap perilaku keagamaan remaja disana. Atas dasar latar belakang ini, maka akan menarik untuk diteliti terkait dengan permasalahan tersebut dan dalam hal ini peneliti memberikan judul penelitian, yaitu: “Perilaku Keagamaan Remaja Pengungsi Syi’ah di Rumah Susun Puspa Agro Jemundo Sidoarjo”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang dikemukakan sebelumnya, permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana perilaku keagamaan remaja pengungsi Syi’ah di Rumah Susun

Puspa Agro Jemundo Sidoarjo?

2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku keagamaan remaja

pengungsi Syi’ah di Rumah Susun Puspa Agro Jemundo Sidoarjo?

7

Achol, Firdaus. Kronologi Penempatan Pengungsi Jamaah Syiah di Puspa Agro, dikutip dari: http://www.sidoarjonews.com/kronologi-penempatan-pengungsi-jamaah-syiah-di-puspa-agro/ (di akses pada: 22 Maret 2016).


(15)

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok-pokok masalah yang dirumuskan di atas, tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui perilaku keagamaan remaja pengungsi Syi’ah di Rumah Susun Puspa Agro Jemundo Sidoarjo yang mencakup pemahaman, penghayatan, dan ritual atau praktek dalam beragama.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku keagamaan

remaja pengungsi Syi’ah di Rumah Susun Puspa Agro Jemundo Sidoarjo serta faktor yang mendominasi dalam memberikan pengaruh terhadap perilaku keagamaan.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini, yang berusaha mendeskripsikan secara cermat dan sistematis tentang perilaku keagamaan remaja pengungsi Syiah di Rumah Susun Puspa Agro Jemundo yang diharapkan berguna:

1. Secara teoritik subtantif, sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan teori-teori tentang psikologi agama, serta sebagai bahan rujukan bagi penelitian-penelitian berikutnya tentang permasalahan perilaku keagamaan, terutama tentang keagamaan remaja.

2. Secara empirik, sebagai bahan masukan bagi instansi terkait untuk mengetahui dan memperhatikan bagaimana kondisi pengungsi Syiah di pengungsian Puspa Agro Sidoarjo, khususnya tentang bagaimana kondisi keagamaannya.


(16)

7

E. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka langkah berikutnya adalah melakukan studi pustaka. Studi pustaka ini dimaksudkan untuk menjajaki sumber-sumber tertulis lainnya yang tentunya relevan dengan permasalahan penelitian. Dengan dasar untuk menghindari kesamaan penulisan dan plagiat, peneliti akan menjadikan beberapa sumber sebagai bahan kajian dalam penulisan penelitian ini. Adapun sumber yang menjadi acuan tersebut yaitu:

Pertama, skripsi Yosi Uswatun Hasanah yang berjudul “Perilaku Keberagamaan Anak Jalanan di Ledhok Timoho, Kelurahan Muja Muju, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta”.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sikap keberagamaan anak jalanan yang ada di ledhok Timoho menunjukan frekuensi yang baik, walaupun tadak semua sikap keberagamaan dilaksanakan sepenuhnya sesuai ajaran dan

syari’at islam. Hal ini karena lingkungan sekitar ikut mempengaruhi terhadap sikap keberagamaan mereka. Selain itu, dapat diketahui bahwa perilaku keberagamaan tidak serta merta berpengaruh sejajar kehidupan sehari-harinya. Misalkan mereka masih melakukan sifat mencuri dan minum-minuman keras. Kehidupan anak jalanan dengan berbagai karakteristiknya menjadi ciri khas yang membedakannya dengan kelompok masyarakat lain. penelitian ini penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada pendapatnya Glock dan stark, bahwa keberagamaan seseorang bisa dilihat dari 5(lima) dimensi, yaitu:


(17)

dimensi intelektual, dimensi ritualistik, dimensi ideologis, dimensi eksperiensial dan dimensi konsekuensial.8

Kedua, Penelitian yang dilakukan oleh Bima Pusaka Semedhi yang

berjudul “Resiliensi Pengungsi Konflik Sampang”. Peneliti menggunakan panduan wawancara dan panduan observasi dengan berdasarkan teori sumber resiliensi Grotberg yaitu faktor i am, i have, i can dan tujuh kemampuan resiliensi Reivich dan Shatte yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, analisis penyebab masalah, efikasi diri, dan reaching out. Hasil penelitian menunjukkan bahwa agama menjadi salah satu faktor yang menjadikan pengungsi Syiah resilien di tempat pengungsian. Hal ini dapat ditemukan dari faktor I am yang berasal dari teori sumber resiliensi Grotberg.9

Pada penelitian ini terdapat beberapa perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Peneliti memfokuskan penelitian-penelitian pada perilaku keagamaan remaja pengungsi Syiah di Rumah Susun Puspa Agro Jemundo Sidoarjo dengan menggunakan teori yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Yosi Uswatun Hasanah, yaitu dengan menggunakan teori Fakulti (Faculty Theory) untuk mengungkap perilaku keagamaan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Namun, untuk mempertajam pembahasan peneliti tetap menggunakan teorinya Glock and stark tentang keberagamaan. Selain itu, untuk acuan tentang gambaran pengungsi Syiah, peneliti

8 Yosi Uswatun Hasanah, Perilaku Keberagamaan Anak Jalanan di Ledhok Timoho, Kelurahan

Muja Muju, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jurusan Perbandingan Agama UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta: 2007), skripsi, 34-35.

9

Bima Pusaka Semedhi, Resiliensi Pengungsi Konflik Sampang, (Program Studi Psikologi Universitas Brawijaya: 2015), laporan penelitian, 10-12.


(18)

9

menjadikan laporan penelitian Bima Pusaka Semedhi sebagai tambahan acuan, karena terdapat beberapa unsur keagamaan yang diangkat dalam penelitian tersebut.

F. Kerangka Teoritik

Untuk mengetahui perilaku keagamaan remaja pengungsi Syiah di Rumah Susun Puspa Agro Jemundo Sidoarjo, penulis menggunakan teori Fakulti (Faculty Theory). Beberapa tokoh psikologi agama yang menjadi pemuka dari teori ini adalah G.M. Straton, W. H. Thomas, dan Zakiyah Darajat. Teori ini menganggap bahwa perilaku manusia itu tidak bersumber pada suatu yang tunggal akan tetapi terdiri dari beberapa unsur, antara lain yang memegang peranan penting adalah: fungsi cipta (reason), rasa (emotion), dan karsa (will).10

Masing-masing fungsi dari teori tersebut akan digunakan sebagai cara untuk mengungkap bagaimana perilaku keagamaan remaja pengungsi Syiah di rumah susun Puspa Agro Jemundo Sidoarjo. Fungsi cipta (reason) akan digunakan untuk mengungkap dimensi intelektualitas dari jiwa keagamaan remaja, dimana melalui fungsi ini remaja dapat menilai dan membandingkan dan selanjutnya memutuskan suatu tindakan terhadap stimulan tertentu. Sedangkan fungsi rasa (emotion) akan mengungkap seberapa besar makna kehidupan beragama bagi remaja itu sendiri serta bagaimana remaja menghayati kebenaran ajaran agamanya. Fungsi ini merupakan suatu tenaga dalam jiwa manusia yang banyak berperan dalam membentuk motivasi dalam


(19)

corak perilaku seseorang. Selanjutnya adalah fungsi karsa (will) yang akan mengungkap perwujudan dari kehendak reason serta emotion. Fungsi terakhir ini merupakan fungsi paling penting yang akan menentukan suatu ajaran keaagamaan berwujud menjadi sebuah tindakan keagamaan.

Untuk mendukung teori fakulti ini, peneliti menambahkan teorinya Charles Y. Glock & Rodney Stark tentang keberagamaan,11 dimana mareka menyatakan bahwa keberagamaan memiliki lima dimensi Kesatu, dimensi intelektual (religious knowledge), menyangkut tingkat pengetahuan dan pemahaman seseorang mengenai ajaran-ajaran agamanya. Kedua, dimensi ritualistik (religious practice), menyangkut tingkat kepatuhan seseorang dalam menjalankan ritus-ritus agamanya. Ketiga, dimensi ideologis (religious belief) menyangkut tingkat keyakinan seseorang mengenai kebenaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang fundamental atau dogmatik. Keempat, dimensi eksperiensial (religious feeling), menyangkut tingkat intensitas perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman religius seseorang. Kelima, dimensi konsekuensial (religious effect), menyangkut seberapa kuat ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama seseorang memotivasi dan menjadi sumber inspirasi atas perilaku-perilaku duniawinya.

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, penelitian kualitatif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memahami fenomena

11 Stark, Rodney and Charles Y. Glock, American Piety: The Nature of Religious Commitment,


(20)

11

tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian. Misalnya: perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain sebagainya yang dilakukan secara holistik dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan Bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.12 Selain itu, ditinjau dari wilayahnya, penelitian kualitatif hanya meliputi daerah atau subjek yang sangat sempit; tetapi ditinjau dari sifatnya, penelitian kasus lebih mendalam.13

Penelitian deskriptif ini akan digunakan untuk mendeskripsikan mengenai perilaku keaagamaan remaja pengungsi konflik Sunni-Syi’ah Sampang di Rumah Susun Puspa Agro Jemundo, Sidoarjo dengan cara mendeskripsikan dimensi serta fungsi jiwa keagamaannya melalui teori fakulti.

2. Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi agama. Artinya, permasalahan dan data hasil penelitian diposisikan, dipahami, dan ditafsirkan berdasarkan perspektif teori-teori psikologi agama.

3. Subyek dan Objek Penelitian a. Subyek penelitian

Subjek penelitian ini terdiri dari para remaja pengungsi Syi’ah yang tinggal Rumah Susun Puspa Agro Jemundo Sidoarjo.

12

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian: Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 93.

13 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta,


(21)

b. Obyek Penelitian

Objek penelitian ini difokuskan pada dua masalah pokok, yaitu: (1) perilaku keagamaan remaja pengungsi Syiah yang tinggal Rumah Susun Puspa Agro Jemundo Sidoarjo, (2) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku keagamaan remaja pengungsi Syiah yang tinggal Rumah Susun Puspa Agro Jemundo Sidoarjo.

4. Metode Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data yang diperlukan sebagai bahan pembahasan dan analisis, dalam penelitian ini digunakan metode-metode pengumpulan data sebagai berikut:

a. Observasi

Observasi adalah metode pengumpulan data dengan

mengadakan pengamatan langsung pada subjek dan objek penelitian.14 Teknik ini digunakan, pertama-tama untuk melakukan cross-check atas data yang diperoleh melalui wawancara dan dokumen. Tetapi metode ini juga digunakan untuk memperoleh data yang tidak terekam lewat wawancara dan dokumentasi, seperti tentang kondisi lingkungan fisik di Rumah Susun Puspa Agro Jemundo, Sidoarjo, fasilitas di Rumah Susun, dan kondisi psiko-fisik pengungsi remaja di Rumah Susun. metode observasi yang digunakan adalah observasi partisipan pasif,

14 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, teknik (bandung; Tarsito,


(22)

13

yakni peneliti datang di tempat kegiatan orang yang diamati, tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut.15

b. Wawancara

Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan cara melakukan tanya-jawab tatap muka (langsung) dengan responden atau informan.16 Metode ini digunakan untuk menghimpun data tentang: (1) Profil Rumah Susun yang menjadi lokasi penelitian, (2) kehidupan keagamaan remaja di Rumah Susun, (3) Pemahaman remaja terhadap agamanya, (4) pemaknaan remaja terhadap agamanya, (5) pelaksanaan ritus-ritus agama oleh para remaja, (6) faktor-faktor yang memperngaruhi perilaku keagamaan remaja.

Wawancara untuk memperoleh data tentang hal-hal tersebut di atas dilakukan dengan para remaja dan orangtua pengungsi Syi’ah yang tinggal Rumah Susun Puspa Agro Jemundo, Sidoarjo, dan instansi-instansi terkait. Adapun yang diwawancarai adalah Nur Cholis, Muhlisin, dan Roziq. Ketiganya adalah remaja pengungsi Syiah yang dipilih oleh peneliti untuk mewakili seluruh remaja yang ada di Rumah Susun. Kemudian Bapak Abduh sebagai orang tu dan, Irfan sebagai Petugas BPBD Jawa Timur.

Bentuk wawancara adalah wawancara bebas-terbatas; peneliti hanya menyiapkan dan berbekal tema-tema wawancara, sementara

15

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2010), 227.

16 Irawati Singarimbun, “Teknik Wawancara”, dalam Masri Singrimbun dan Sofien Effendi (Ed),


(23)

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dikembangkan dalam proses wawancara. Dalam pelaksanaannya, wawancara dilakukan dalam gaya percakapan informal. Transkripsi hasil wawancara dibuat segera setelah wawancara selesai.

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah teknik penghimpunan data dengan membaca dan mencatat dokumen-dokumen yang relevan dengan pokok permasalahan penelitian.17 Teknik ini digunakan untuk memperoleh data tentang sumber tertulis tambahan yang relevan dengan nama dan asal daerah remaja pengungsi, dan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan para remaja di Rumah Susun. Karena itu, dokumen-dokumen yang menjadi sasaran penelitian meliputi data pengungsi di Rumah Susun, dan jadwal kegiatan pengungsi di Rumah Susun.

5. Metode Analisis Data

Analisis data adalah upaya menata secara sistematis catatan hasil wawancara, dokumentasi, dan observasi untuk meningkatkan pemahaman peneliti mengenai kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain.18 Data yang terkumpul pertama-tama disaring, kemudian

disusun dalam kategori-kategori, dan saling dihubungkan. Melalui proses

17 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta,

2002), 135.


(24)

15

inilah penyimpulan dibuat.19 Dengan demikian, langkah-langkah analisis data meliputi: (1) Penyaringan data, (2) kategorisasi data, (3) saling menghubungkan data, dan (4) penarikan kesimpulan.

Dalam analisis data dengan langkah-langkah tersebut di atas, digunakan metode deskriptif analitik. Maksud metode deskriptif adalah menguraikan secara teratur realitas fenomena (data) sebagaimana adanya.20 Selanjutnya, berdasarkan uraian data secara sistematis tersebut

kemudian diupayakan untuk membangun generalisasi21 guna

menghasilkan konstruk-konstruk teoritis mengenai perilaku keagamaan remaja pengungsi Syiah di Rumah Susun Puspa Agro Jemundo, Sidoarjo menurut perspektif psikologi agama. Langkah yang disebut terakhir inilah yang dimaksud dengan penerapan metode analitik.

Dalam keseluruhan proses analisis data digunakan pola berpikir reflektif, yaitu pola berpikir yang prosesnya mondar-mandir antara yang empirik dengan yang abstrak.22 Entitas yang empirik adalah data lapangan, sementara entitas yang abstrak adalah teori. Itu berarti berpikir reflektif adalah suatu pola berpikir yang bergerak secara dialektik antara data dan teori untuk menghasilkan konsep abstrak baru (sintesis) berupa kesimpulan akhir hasil penelitian.

19 Matthew B. miles dan A. michel Huberman, Analisis data Kualitatif (Jakarta:UI Press, 1992),

15-16.

20 Noeng Muhadjir, Metodologi, 93. 21Ibid., 178.


(25)

6. Metode Verifikasi Data

Teknik pemeriksaan keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini berjenis Triangulasi. Triangulasi yakni memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data yang terkumpul untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data-data tersebut. Hal ini dapat berupa penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Dari berbagai teknik tersebut peneliti cenderung menggunakan triangulasi sumber, sebagaimana disarankan oleh patton yang berarti membandingkan dan mengecek kembali derajat kepercayaan suatu data yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Untuk itu keabsahan data dengan cara sebagai berikut:23

a. Membandingkan hasil wawancara dan pengamatan dengan data hasil wawancara.

b.Membandingkan apa yang dikatakan orang secara umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi.

c. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, dan orang pemerintahan.

d.Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

Yang ingin diketahui dari perbandingan ini adalah mengetahui

23

Lexy, J. Moleong, Metodologi Penelitan Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2007), 331.


(26)

17

alasan-alasan apa yang melatarbelakangi adanya perbedaan tersebut (jika ada perbedaan) bukan titik temu atau kesamaannya sehingga dapat sehingga dapat dimengerti dan dapat mendukung validitas data. Jadi triangulasi adalah cara terbaik untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan konstruksi kenyataan yang ada dalam konteks suatu studi saat mengumpulkan data tentang berbagai kejadian dan hubungan dari berbagai pandangan.24 Untuk itu peneliti dapat melakukannya dengan jalan: (1)

Mengajukan berbagai macam variasi pertanyaan dan (2) Mengeceknya dengan berbagai sumber data

H. Sistematika Pembahasan

Dalam penelitian ini disusun dalam beberapa bab dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, berisikan latar belakang masalah, fokus penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika penelitian.

Bab II Kajian Teori, berisi landasan teoritis terhadap perilaku keagamaan remaja pengungsi konflik Sunni-Syi’ah Sampang, Madura di Rumah Susun Puspa Agro Jemundo Sidoarjo, pengertian perilaku keagamaan, perkembangan keagamaan remaja, pengertian Syiah dan ajarannya, dan teori-teori tentang perilaku keagamaan.

24 Lexy, J. Moleong, Metodologi Penelitan Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2007),


(27)

Bab III Penyajian data, berisi gambaran umum lokasi penelitian, subjek dan objek penelitian, perilaku keagamaan serta faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku keagamaan mereka.

Bab IV Analisis data, berisi analisa hasil pengamatan yang dikaitkan dengan teori-teori yang sudah dijelaskan di bab sebelumnya.


(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Perilaku Keagamaan

1. Pengertian perilaku keagamaan

Pada awalnya psikologi adalah pengetahuan tentang jiwa manusia,

jiwa secara harfiah berasal dari bahasa sangsakerta “jiv” yang berarti lembaga hidup (leven beginvil) atau daya hidup (leven scracth). Oleh karena jiwa memiliki pengertian yang abstrak dan tidak dapat dijelaskan, maka orang cenderung mempelajari jiwa yang memateri atau gejala jiwa yang merasa atau jasmani yaitu bentuk tingkah laku manusia (segala aktivitas, perbuatan, dan penampilan diri) sepanjang hidupnya.1

Namun, setelah psikologi berkembang luas dan mempunyai ciri-ciri sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan, dan jiwa dipandang terlalu abstrak, ilmu pengetahuan menghendaki obyeknya bisa diamati, dicatat, dan diukur ini membawa para ahli memandang psikologi sebagai ilmu yang mempelajari perilaku karena perilaku mudah diamati, dicatat, dan diukur. Begitu juga perilaku yang berkaitan dengan keagamaan seseorang yang selanjutnya disebut sebagai psikologi agama.

Secara bahasa perilaku keagamaan terdiri dari dua suku kata, perilaku dan keagamaan. Perilaku sendiri memiliki arti “sikap” atau

“perbuatan” yang dihasilkan oleh adanya sebuah tindakan dari seseorang


(29)

berupa ucapan atau perkataan maupun dalam bentuk tingkah laku atau perbuatan yang terjadi secara realitas.2 Sedangkan dalam bukunya yang

berjudul “Psikologi Agama” Abdul Aziz Ahyadi memeberikan pengertian perilaku sebagai pernyataan atau ekspresi kejiwaan yang dapat diukur, dihitung dan dipelajari melalui alat dan metode ilmiah secara obyektif.3

Segala sesuatu yang hidup baik manusia, hewan ataupun tumbuhan berperilaku karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. perilaku manusia adalah suatu tindakan atau segala aktivitas manusia yang bisa diamati secara langsung serta tidak langsung. Secara psikologis perilaku merupakan suatu respon atau reaksi seseorang terhadap rangsangan dari pihak luar. Dalam teori Stimulus-Organisme-Respons perilaku memiliki beberapa dimensi yang menyangkut fisik, dapat diamati, digambarkan, dan dicatat baik frekuensi, durasi dan intensitasnya ruang. 4

Menurut Alport bahwa perilaku merupakan hasil belajar yang diperoleh karena berlangsungnya interaksi dengan lingkungan yang terjadi secara terus-menerus. Karena seringnya berinteraksi dengan lingkungan, secara sadar atau tidak sadar seseorang dapat menentukan bagaimana dia bertindak ataupun bersikap, perilaku ini muncul seiring dengan pengalaman yang terus-menerus dialaminya.5

Perilaku merupakan indikasi seseorang dalam melakukan sesuatu perbuatan atau tindakan. Perilaku ini terbentuk akibat adanya pengalaman

2 W.J.S Poerwadarmanto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), 62. 3 Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2002), 27.

4 Zakiah Darajat, Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982),

206.


(30)

21

yang terjadi karena interaksi manusia dengan lingkungannya. Manusia sebagai makhluk sosial (social society) dalam kehidupannya tidak akan terlepas dari manusia yang lain, interaksi atau hubungan manusia satu dengan yang lainnya akan menimbulkan berbagai macam perilaku sesuai dengan situasi yang dihadapi, misalnya seseorang akan menunjukan perilaku senangnya kepada lingkungan jika masyarakat di lingkungan tersebut selalu menjunjung nilai-nilai kebaikan dalam kesehariaanya, begitupun sebaliknya, perilaku tidak senang akan muncul apabila di lingkungan masyarakatnya selalu berbuat onar ataupun sering menganggu bahkan menjahatinya. Perilaku pun bisa mempengaruhi kehidupan keagamaan seseorang karena perilaku merupakan impliksi dari apa yang didapat dan dilihatnya dalam masyarakat dengan melakukan perbuatan yang diwujudkan dalam tingkah laku.

Berbeda dengan makna perilaku, keagamaan memiliki makna tersendiri. keagamaan barasal dari kata agama yang mendapat imbuhan ke- dan akhiran -an sehingga memiliki arti sesuatu yang berhubungan dengan agama.6 Agama terdiri dari huruf (a) yang berarti tidak dan (gam) yang

berarti pergi dari pengertian tersebut dipahami bahwa agama memiliki makna tidak pergi, tetap di tempat atau diwarisi turun-menurun.7 Dalam

bahasa Arab agama disebut sebagai “Al-Din” yang berarti undang-undang, hukum, menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, dan kebiasaan.8

6 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 859. 7 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 94. 8 Agus Hakim, Perbandingan Agama, (Bandung: Diponegoro, 1996),112


(31)

E. B. Taylor dalam bukunya Primitive Culture, yang diterbitkan pada tahun 1871, Ia mendefinisikan agama sebagai “kepercayaan terhadap adanya wujud-wujud spiritual”. Sedangkan Radcliffe- Brown, salah seorang ahli antropologi kurun waktu belakangan, mendefinisikan agama,

sebagai “ekspresi suatu bentuk ketergantungan pada kekuatan diluar diri kita sendiri, yakni kekuatan yang dapat kita katakan sebagai kekuatan spiritual atau kekuatan moral”. Baginya, ekspresi penting dari rasa ketergantungan ini adalah peribadatan.9

Harun Nasution dalam bukunya “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya”, menjelaskan bahwa:

“intisari yang terkandung dari berbagai istilah agama adalah ikatan. Agama

mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan ini mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Ikatan itu berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia. Suatu kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera manusia.”10

Dapat disimpulkan bahwa keagamaan erat kaitannya dengan keimanan, keyakinan, kepercayaan, ikatan, Tuhan, kitab suci, serta segala bentuk ketaqwaan, norma serta ajaran-ajaran yang ada di dalamnya. Lebih luas lagi keagamaan pada hakikatnya berbicara tentang hubungan manusia dengan Tuhan-Nya, hubungan manusia dengan sesamanya, hubungan manusia dengan makhluk ciptaan-Nya, serta hubungan manusia dengan alam semesta. Hal ini menunjukkan bahwa agama yang mengandung sekumpulan kepercayaan dan pengajaran-pengajaran akan mengarahkan manusia bagaimana berperilaku baik kepada Tuhan dan ciptaan-Nya.

9 Betty R. Scharf, Sosiologi Agama, (Jakarta Timur: Prenada Media, 2004), edisi kedua, 33. 10 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 2005), jilid 1, cet.


(32)

23

Dari beberapa pengertian tentang perilaku dan keagamaan yang telah dibahas sebelumnya, secara istilah perilaku keagamaan adalah suatu tingkah laku seseorang sebagai respon atau tanggapan terhadap sebuah situasi atau kondisi yang dihadapinya yang didasarkan atas kepercayaan, keyakinan, dan kesadaran tentang adanya Tuhan serta adanya ajaran agama. Perilaku keagamaan juga merupakan praktek seseorang terhadap keyakinan serta perintah-perintah Tuhan sebagai manifestasi dari keyakinan tersebut. Seseorang yang selalu melaksanakan perintah Tuhannya dengan senang hati dan tulus ikhlas menunjukkan bahwa dia memiliki keyakinan yang kuat terhadap Tuhannya dengan penuh kesadaran bahwa dia memiliki tanggungjawab untuk melaksanakan segala perintah Tuhan yang diajarkan melalui agamanya.

Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso dalam bukunya yang

berjudul “Psikologi Islam, Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi

berpendapat bahwa:

“aktivitas keagamaan bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku

ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat mata, tapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi

dalam diri seseorang”. Dengan demikian, aktivitas keagamaan adalah bentuk kegiatan keagamaan yang tidak hanya dalam bentuk ritual, namun juga aktivitas

yang tidak tampak, misalnya dzikir dan doa dan lain sebagainya.”11

Sementara itu, Jalaluddin Rahmat menyebutkan bahwa ada dua kajian agama, yaitu ajaran dan keberagamaannya. Ajaran adalah lisan atau tulisan yang sakral dan menjadi sumber rujukan bagi pemeluk suatu

11 Jamaluddin Ancok, Fuad Nasori Suroso, Psikologi Islami, Solusi Islam atas Problem problem


(33)

agama. Keberagamaan (religiusity) adalah perilaku yang bersumber langsung atau tidak langsung kepada ajaran agama. Perilaku keagamaam merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang berdasarkan pada ketaatan terhadap agama yang dianutnya. Perasaan terhadap agama sebagai unsur afektif dan perilaku terhadap agama sebagai unsur konatif. Jadi perilaku keagamaan merupakan integrasi secara kompleks antara pengetahuan agama serta tindakan agama.12

Untuk memahami makna tentang perilaku keagamaan secara lebih detail dan sistematis berdasarkan pada esensi serta implikasinya terhadap manusia selaku obyek dari perilaku keagamaan tersebut, pengertian tentang perilaku keagamaan secara lebih luas dapat dipahami sebagai sesuatu hal yang religious yang berorientasi pada ikatan dengan Tuhan dengan mengutamakan nilai-nilai keagamaan. Dengan demikian perilaku keagamaan adalah segala bentuk tindakan, perbuatan, dan perkataan yang dilakukan dengan sadar yang dilakukan oleh manusia yang terkait dengan agama, dimana hal tersebut dilakukan atas dasar tuntunan agama serta atas dasar keyakinan kepada Tuhan.

2. Dimensi perilaku keagamaan

Perilaku keagamaan merupakan integrasi komplek antar intelektualitas beragama, penghayatan terhadap agama serta tindak keagamaan (pengalaman) dalam diri seseorang.13 Tiga komponen ini yang

12 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar, (Bandung: Mizan, 2004), 44. 13 Djalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), 185.


(34)

25

kemudian akan menjadi dasar untuk menyimpukan perilaku keagamaan remaja pengungsi Syiah di Rusun Puspa Agro Jemundo Sidoarjo.

Dalam beragama seluruh fungsi jiwa raga manusia terlibat, hal ini menunjukkan bahwa kesadaran agama pun pada seseorang mencakup aspek-aspek afektif, konatif, kognitif, dan motorik. Keterlibatan fungsi afektif dan konatif terlihat di dalam pengamalan ketuhanan dan rasa kerinduan kepada Tuhan. Sedangkan fungsi motorik nampak dalam perbuatan dan gerakan tingkah laku keagamaan. Kesemua aspek itu sukar dipisahkan karena merupakan sistem kesadaran beragama yang utuh dalam kepribadian seseorang. Sementara itu, aspek kognitif mencakup pengetahuan atau intelektual dalam beragama.14

Menurut Glock dan Stark terdapat lima dimensi keberagamaan dalam mengkaji ekspresi keberagamaan, yaitu dimensi keyakinan (ideologi), dimensi praktek agama (ritualistik), dimensi penghayatan (experiental), dimensi pengetahuan agama (intelektual), dan dimensi pengalaman (konsekuensial).15

a. Dimensi keyakinan (ideologi)

Dimensi ini berisikan pengharapan sambil berpegang teguh pada teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin agama,

14 H. Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2001), 37. 15

Glock and Stark, dalam Roland Robertson Sosiology Of Religion, (terj)Achmad Fedyani Syaifudin, Agama Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, (Jakarta: Rajawali, 1995), 295.


(35)

dan memberikan premis eksistensial untuk menjelaskan tetang Tuhan, alam dan manusia serta hubungan antar ketiganya.16

Dengan demikian dimensi keyakinan ini menyangkut keyakinan seorang Muslim terhadap kebenaran ajaran agamanya, terutama terhadap ajaran agama yang fundamental dan dogmatis. Dimensi keyakinan ini (dalam ajaran Islam) terkait dengan keimanan seseorang pada rukun iman.

b. Dimensi praktek agama (ritualistik)

Dimensi keberagamaan yang berkaitan dengan sejumlah perilaku. Yang dimaksud perilaku disini bukanlah perilaku umum yang dipengaruhi keimanan seseorang, melainkan mengacu kepada perilaku-perilaku khusus yang ditetapkan oleh agama, seperti tata cara (dalam Islam) ibadah sholat, puasa, zakat, haji, bermuamalah, dan lain sebagainya yang semua ini merupakan ritus-ritus khusus aturan yang wajib ditaati dan dilaksanakan.

Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Indikasinya mengarah pada pengalaman-pengalaman ibadah khusus, sejauh mana rutinitas seseorang dalam menjalankan ibadah-ibadah itu.

16 Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama Sebuah pengantar,


(36)

27

c. Dimensi penghayatan (eksperiensial)

Dimensi pengalaman ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi dan sensasi yang dialami seorang pelaku yang melihat komunikasi walaupun kecil, dengan esensi Ketuhanan yakni dengan Tuhan, dan otoritas transendental.17

Dimensi ini berkaitan dengan perasaan keagamaan yang dialami oleh penganut agama. Perasaan agama ini dapat bergerak dalam empat tingkatan, yaitu: Responsif (merasa bahwa Tuhan menjawab keluhanya atau kehendaknya), Eskatik (merasakan hubungan yang akrab penuh cinta dengan Tuhan), Konfirmatif (merasakan kehadiran Tuhan atas apa saja yang diamatinya), Partisipatif (merasa menjadi kawan setia, kekasih atau wali Tuhan, menyertai Tuhan dalam melakukan karya ilmiahnya).18

Dimensi penghayatan menunjukkan seberapa jauh tingkat seseorang merasakan perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman religious yang dialami. Sebagai contoh dalam agama Islam dimensi ini terwujud dalam perasaan dekat seorang hamba dengan Allah SWT,

merasakan Allah mengabulkan do’a-do’anya, perasaan khusyuk ketika

sholat dan berdo’a serta perasaan selalu mendapat peringatan serta

pertolongan dari Allah SWT.

17

Jamaluddin Ancok, Fuad Nasori Suroso, Psikologi Islami, Solusi Islam atas Problem– problem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 77.


(37)

d. Dimensi pengetahuan agama (intelektual)

Dimensi pengetahuan agama ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki jumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, Kitab Suci dan tradisi-tradisi yang ada dalam ajaran agamanya.19 Dimensi ini erat kaitanya dengan pengetahuan seseorang terkait dengan ajaran-ajaran yang ada dalam agamanya. Tentu saja pengetahuan ini diperoleh melalui proses intelektual yang cukup lama baik melalui pendidikan formal maupun non-formal. Sebagai contoh orang Islam harus memiliki pengetahuan tentang pokok-pokok ajaran agamanya dalam Kitab Sucinya, hukum-hukum Islam, sejarah Islam dan lain sebagainya.

e. Dimensi pengalaman (konsekuensional)

Dimensi ini menunjukkan akibat ajaran agama dalam perilaku umum, yang tidak secara langsung dan secara khusus ditetapkan agama (seperti dalam dimensi ritualistik). Inilah efek ajaran agama pada perilaku individu dalam kehidupannya sehari-hari. Efek agama ini boleh jadi positif atau negatif, pada tingkat personal dan sosial.20

Dimensi-diemnsi tersebut dapat digunakan sebagai tolak ukur tingkat religiusitas seseorang. Dimensi-dimensi ini diantaranya merupakan konsep ideal perilaku keagamaan secara berkesinambungan. Jika dari

19 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar, (Bandung: Mizan, 2004), 78. 20Ibid, 47.


(38)

29

beberapa dimensi tersebut ada yang tidak terpenuhi maka hal itu mengindikasikan rendahnya tingkat keagamaan seseorang.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku keagamaan

Perilaku keagamaan manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor yang muncul dari dalam diri manusia yang telah dibawa manusia sejak dia lahir atau sering disebut sebagai faktor internal dimana dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia memiliki naluri beragama sejak mereka dilahirkan. Selanjutnya adalah faktor eksternal yang meliputi segala sesuatu yang ada di luar pribadi dan mempengaruhi perkembangan kepribadian dan keagamaan seseorang.21 Manusia adalah makhluk yang beragama atau dikenal dengan istilah homo religious. Namun untuk menjadikan manusia memiliki perilaku keagamaan membutuhkan tempaan serta bimbingan dari lingkungannya, karena lingkunganlah yang akan mengenalkan seseorang tentang nilai-nilai serta norma-norma agama yang harus dilakukan. Disini lingkungan termasuk dalam faktor eksternal dalam membentuk perilaku kegamaan seseorang. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku keagamaan seorang adalah sebagai berikut:

a. Faktor internal

Faktor internal ini dibawa oleh manusia sejak dirinya dilahirkan yang berasal dari dirinya sendiri yang berupa pembawaan. Pembawaan merupakan semua potensi atau kemungkinan yang dibawa


(39)

oleh individu sejak hidup. Adapun faktor-faktor internal adalah sebagai berikut:

1) Pengalaman pribadi

Pengalaman pribadi yang dimaksud disini adalah pengalaman dalam beragama, karena pengalaman ini diperoleh sejak manusia lahir maka perlu ditanamkan sedemikian rupa pada diri manusia nilai-nilai serta norma-norma beragama sejak berada dalam kandungan.22 Hal ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi suatu pribadi menjadi seorang yang agamis atau tidak.

2) Peranan konflik moral

Peranan konflik moral juga memiliki peranan dalam menentukan perilaku keagamaan seseorang. Yaitu apa yang mereka ketahui berbeda dengan realitas yang terjadi. Disini masa remaja menjadi sangat riskan karena konflik moral akan terjadi pada masa ini. Gejolak emosi yang dialami remaja biasanya disebabkan oleh konflik peran sosial,23 dimana remaja pada masa

ini masih mancari jatidirinya dan masih berusaha

mengaktualisasikan perannya di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat.

22 Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Moral, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982),

114.


(40)

31

3) Kebutuhan-kebutuhan

Kebutuhan menjadi faktor yang memperngaruhi perilaku keberagamaan seseorang karena manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan secara sempurna sehingga memerlukan adanya kepuasan dalam beragama. Kebutuhan-kebutuhan ini bisa berupa kebutuhan akan keselamatan, kebutuhan akan cinta, kebutuhan yang timbul karena adanya kematian serta kebutuhan akan harga diri.

4) Faktor penalaran verbal

Sebagai makhluk yang dianugerahi akal oleh Tuhan, tentu saja manusia memiliki pikiran yang membedakannya dengan makhluk ciptaan yang lain. Akibat dari adanya pikiran ini manusia bisa menentukan keyakinan-keyakinan mana yang harus diterima dan keyakinan-keyakinan mana yang harus ditolak. Faktor ini menjadi relevan bagi masa remaja,24 karena pada masa remaja merupakan masa kritis terkait dengan masalah keagamaan. Mereka mulai melontarkan pertanyaan-pertanyaan filosofis terkait tentang hal-hal yang telah diyakiniya selama ini.

b. Faktor eksternal

Faktor eksternal merupakan faktor diluar diri manusia yang ikut mempengaruhi perilaku keagamaan seseorang. Faktor luar ini


(41)

merupakan lingkungan dimana individu hidup dan menjalankan kehidupannya. Adapun faktor-faktornya sebagai berikut:

1) Lingkungan keluarga

Keluarga merupakan ladang tempaan pertama bagi manusia. Walaupun keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia, namun keluarga merupakan lingkungan yang paling penting untuk mendidik seorang anak sehingga akan berimbas pada masa dia dewasa kelak. Ide-ide tentang agama pun diperoleh seseorang dari waktu dia kecil dan keluarga merupakan lingkungan pertama yang akan menjadi peegang peran pnting dalam penyampaian ide-ide tersebut.

Islam juga mengajarkan bagaimana seorag manusia menjaga keluarganya, dalam surat At-Tahrim: 6 Allah berfirman:

َا ْيَلعَُة اجِحْلا َسانلاَا دوُق ًَ انَْمُكيِلْ َأ َْمُكسُفنَأَاوُقَاونمآَنيِ َلاَا يَأَاي

ََن رمْؤيَامََنوُلعْفي َْم رمَأَامَهَللاََنوصْعيَاَلٌَدادِشٌَظاَلِغٌَةَكِئاَلم

“Hai orang-orang yang beriman, perihalarah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya

kepada mereka dan selalu mengajarkan apa yang diperintahkan”.25

Selain itu, perkembangan jiwa keagamaan anak juga dipengaruhi citra anak terhadap orang tuanya. Jika orang tua memberikan contoh yang buruk maka anak berpotensi besar untuk

25 Fadhal AR Bafadal, Al-Qur’an dan Terjemah Bahasa Indonesia, (Semarang: Toha putra


(42)

33

menirunya, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu peran keluarga sangat penting dalam pembentukan perilaku keagamaan seseorang. 2) Lingkungan institusional

Lingkungan institusional juga ikut mempengaruhi perkembangan keagamaan seseorang. Lingkungan ini bisa berupa institusi formal atau pun non-formal. Sekolah dan Perguruan Tinggi sebagai institusi formal memberikan kontribusi yang cukup besar dalam pembentukan perkembangan keagamaan seseorang dalam bentuk kegiatan belajar mengajar serta kegiatan-kegiatan ekstrakurikulernya. Selain itu, oraganisasi-organisasi diluar pendidikan formal juga mempengaruhi keagamaan seseorang. Apabila organisasi yang diikuti menyimpang dari ajaran agama yang dianutnya, dapat dipastikan dia juga menyimpang mengikuti institusi yang diikutinya.

3) Lingkungan masyarakat

Masyarakat bukan merupakan lingkungan yang

mengandung unsur tanggung jawab, melainkan hanya sebagai unsur yang mempengaruhi belaka, tetapi norma dan tata nilai dalam masyarakat sifatnya lebih mengikat. Dan hal itu tentunya akan mempengaruhi pembentukan jiwa keagamaan warganya.26


(43)

B. Perkembangan keagamaan pada remaja 1. Pengertian remaja

Dalam perkembangan pribadi seseorang maka remaja mempunyai arti yang khusus, namun begitu masa remaja mempunyai tempat yang tidak jelas dalam rangkaian proses perkembangan seseorang. Secara jelas masa anak dapat dibedakan dari masa dewasa dan masa tua. Seorang anak masih belum selesai perkembangannya, orang dewasa dapat dianggap sudah berkembang penuh ketika ia sudah menguasai sepenuhnya fungsi-fungsi fisik dan psikisnya.27

Sebenaranya masa remaja adalah masa peralihan, yang ditempuh oleh seseorang dari kanak-kanak menuju dewasa. Atau dapat dikatakan bahwa masa remaja adalah perpanjangan masa kanak-kanak sebelum mencapai masa dewasa.28 Remaja menurut Mappiare, berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita, dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Rentang usia remaja ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu usia 12/13 tahun sampai dengan 17/18 tahun adalah remaja awal, dan usia 17/18 tahun sampai dengan 21/22 tahun adalah remaja akhir.29 Pada usia ini, umumnya anak sedang duduk di bangku sekolah menengah dan sebagian kecil sudah ada yang masuk di Perguruan Tinggi.

27 F.J. Monks, A.M.P. Knoers dan Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan: Pengantar

dalam berbagai bagiannya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), 258.

28 Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 69.

29 Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja, Perkembangan Peserta Didik


(44)

35

2. Pertumbuhan dan perkembangan pada masa remaja a. Pertumbuhan pada masa remaja

Dalam masa remaja, maka fisik anak tubuh menjadi dewasa pula. Hal ini terlihat dari pertambahan panjang badan, berat badan, perubahan bentuk beberapa organ tubuh, dan mulai berfungsinya organ-organ seksual. Perubahan ini berlangsung sangat cepat bila dibandingkan dengan masa anak-anak dan dewasa.30

Selain itu, pertumbuhan otak dan kemampuan berpikir pada masa remaja juga bertambah. Intelegensi pada masa remaja tidak mudah diukur karena perubahan kecepatan perkembangan kemampuan tersebut tidak mudah dilihat. Seiring dengan pertumbuhan itu, kemampuan untuk berpikir serta memecahkan masalah juga bertambah karena pada masa ini remaja sudah mulai bisa mempertimbangkan hal yang mungkin terjadi dengan hal yang nyata terjadi.31

Dampak positif dari pertumbuhan otak dan kemampuan berpikir ini membuat remaja mudah dalam menerima berbagai informasi. Dalam dunia pendidikan usia remaja memag menjadi usia emas dalam mengembangkan kemampuan nalar seseorang. Sedangkan dampak negatifnya adalah dengan adanya perubahan fisik yang dramatis ini menimbulkan dampak psikologis yang tidak diinginkan. Kebanyakan remaja hanya akan memperhatikan penampilan mereka

30F.J. Monks, A.M.P. Knoers dan Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan: Pengantar

dalam berbagai bagiannya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), 265-275. 31

Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan (perkembangan Peserta didik), (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 64.


(45)

dari pada aspek-aspek lain yang ada dalam diri mereka. Sehingga banyak ditemui remaja-remaja yang memiliki rasa kepercayaan diri yang berlebihan karena menganggap kondisi fisiknya sempurna. Sebaliknya yang kurang beruntung akan menimbulkan rasa minder yang kadang berlebihan.

b. Perkembangan pada masa remaja

Perkembangan adalah perubahan yang menunjukkan cara organisme bertingkah laku dan berinteraksi dengan lingkungannya. Perkembangan mencerminkan sifat-sifat yang khas mengenai gejala-gajala psikologis yang tampak.32 Perkembangan pada remaja pun menunukkan sifat-sifat yang khas yang membedakannya dengan bayi, anak-anak, dan orang dewasa. Adapun sikap khas mereka sebagai berikut:

1) Kegelisahan

Rasa kegelisahan ini muncul akibat banyaknya pemikiran-pemikiran idealis, angan-angan, serta keinginan yang hendak dicpai di masa depan. Padahal pada dasarnya pada fase ini remaja belum memiliki kemampuan untuk mewujudkannya.

2) Pertentangan

Pada fase ini remaja sedang giat-giatnya mencari jati diri mereka. Remaja dihadapkan pada pilihan antara keinginan untuk mandiri atau melepaskan diri dari ketergantungan terhadap orag tua

32 Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan (perkembangan Peserta didik), (Bandung: Pustaka


(46)

37

dengan perasaan masih belum mampu untuk mandiri. Hal ini menjadi pertentangan batin yang dialami oleh remaja.

3) Keinginan mencoba segala sesuatu

Pada dasarnya, remaja memiliki rasa keingintahuan yang tinggi, oleh karena itu, pada masa ini remaja akan selalu mencoba hal-hal baru yang belum pernah dialaminya.33 Remaja akan terus mengeksplorasi apa saja yang ingin diketahuinya, walaupun terkadang hal ini bisa mengarahkan ke hal-hal negatif seperti contoh mulai mencoba merokok dan lain sebagainnya.

Perkembnagan pada diri remaja mencakup banyak aspek, mulai dari sosial, intelektual, moral, emosional, spiritual, serta religi. Karena masa perkembangan ini begitu penting bagi remaja maka perlu adanya pembinaan yang serius agar nantinya dalam masa yang memang masih diliputi rasa keragu-raguan, kegelisahan, dan lain sebagainya remaja bisa menempatkan dirinya di tengah-tengah masyarakat dan tidak terjerumus kedalam hal-hal yang tidak diinginkan.

3. Kesadaran beragama pada remaja

Selaras dengan jiwa remaja yang berada dalam masa transisi dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan, maka kesadaran beragama pada masa remaja berada dalam keadaan peralihan dari kehidupan beragama anak-anak menuju kemantapan beragama. Di samping keadaan jiwanya

33 Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja, Perkembangan Peserta Didik


(47)

yang labil dan mengalami kegoncangan, daya pemikiran abstrak, logik dan kritik mulai berkembang. Emosinya semakin berkembang, motivasinya mulai otonom dan tidak dikendalikan oleh dorongan biologis semata. Keadaan jiwa remaja yang demikian itu nampak pula dalam kehidupan agama yang mudah goyah, timbul kebimbangan, kerisauan, dan konflik batin. Disamping itu remaja mulai menemukan pengalaman dan penghayatan ke-Tuhanan yang bersifat individual dan sukar digambarkan kepada oranglain seperti dalam pertobatan. Keimanannya mulai otonom, hubungan dengan Tuhan makin disertai kesadaran dan kegiatannya dalam bermasyarakat makin diwarnai oleh rasa keagamaan.34 Adapun ciri-ciri kesadaran beragama pada remaja adalah sebagai berikut:

a. Pengalaman Ke-Tuhanannya makin bersifat individual

Remaja semakin mengenal dirinya. Ia menemukan “diri”nya

bukan hanya sekedar bahan jasmaniah, tetapi merupakan suatu kehidupan psikologis rohaniah berupa “pribadi”. Penghayatan dalam

proses penemuan diri ini dinamkan dengan istilah “individuasi”, yaitu

adanya garis pemisah yang tegas antara diri sendiri dan bukan diri sendiri, antara aku dan bukan aku, antara subjek dan dunia sekitar.35

Selama proses penemuan diri sendiri sebagai seseatu yang berdiri sendiri ini akan menimbulkan rasa kesepian dan rasa terpisah dari pribadi lainnya. Dalam rasa kesendiriannya ini remaja

34 Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila, (Bandung: Sinar Baru

Algesindo, 2005), 43.


(48)

39

membutuhkan kawan sejati untuk menerima berbagai macam keluhannya, melindungi, membimbing, serta memberikan petunjuk jalan yang bisa mengembangkan kepribadiannya. Namun, setelah melakukan pencarian kepada makhluk dan berfikir secara filosofis selalu saja tidak bisa memenuhi kebutuhan tersebut bahkan menambah intensitas kelabilan remaja tersebut. Dalam keadaan labil yang menekan ini menyebabkan remaja mencari ketentraman dan pegangan hidup. Akhirnya keadaan membawanya berpaling kepada Tuhan sebagai satu-satunya pegangan hidup dan penunjuk jalan dalam goncangan psikologi yang dialaminya.

Dengan berpaling kepada Tuhan remaja merasa bahwa segala yang dia butuhkan ada pada-Nya. Kemudian perasaan ini akan menjadi keimanan kepada Tuhan. Ketika remaja telah menemukan Tuhan-nya maka remaja akan memiliki rasa percaya diri untuk menghadapi berbagai persoalan kehidupan yang datang dari dunia luar.36

b. Keimanannya makin menuju realitas yang sebenarnya

Gambran tentang dunia pada masa remaja menjadi lebih luas dan lebih kaya, karena tidak saja meliputi realitas yang fisik, tetapi mulai melebar ke dunia dalam yang psikis dan rohaniah. Dia mulai mengerti bahwa dunia rohaniah memiliki hukum sendiri dan berbeda dengan dunia fisik yang memilki dimensi ruang. Ia mulai mengerti pengertian untuk menangkap serta memahami dunia rohaniah. Mulai

36 Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila, (Bandung: Sinar Baru


(49)

bisa menghayati tentang agama dan kehidupan beragama serta mulai bisa melihat adanya bermacam-macam filsafat dan pandangan hidup.37

Dengan berkembangnya kemampuan berpikir abstrak yang dimiliki oleh remaja, hal ini menyebabkan remaja mulai bisa memahami dan menerima ajaran agama yang bersifat gaib, abstrak, rohaniah, seperti surga, neraka, kehidupan alam kubur, malaikat, setan dan lain sebagainya. Penggambaran Tuhan dan sifat-sifat-Nya pun yang awalnya bersifat anthropomorpik perlahan berubah sesuai dengan realitas. Pada masa ini remaja mulai memiliki rasa penghayatan mendalam tentang Tuhan dan ketuhanan, meskipun hanya remaja beriman yang bisa melakukannya.

c. Peribadatan mulai disertai dengan penghayatan yang tulus

Perpecahan dan kegoncangan kepribadian yang dialami remaja terlihat pula dalam lapangan peribadatan. Ibadahnya sering berganti-ganti ditentukan oleh sikap terhadap dunia dalamnya sendiri. Remaja bisa terlihat paling beragama dengan melakukan ibadah yang mempeng

bahkan terkadang terkesan berlabihan, namun terkadang bisa menjadi apatis terhadap peribadata-peribadatan tersebut. Disamping keinginan kuat untuk beribadah, terlihat pula keinginan untuk mengalami bermacam-macam hal termasuk pengalaman keagamaan.38

37 Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila, (Bandung: Sinar Baru

Algesindo, 2005), 45. 38


(50)

41

Pada masa ini remaja mulai mendidik diri sendiri. Ia berusaha mendisiplinkan diri sesuai dengan norma dan ajaran yang dihayatinya sebagai ikatan dari dalam pribadinya, karena norma itu telah diakui dan dirasakan sebagai milik dan bagian dari pribadinya.

4. Sikap remaja terhadap agama

Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan dapat dikatakan sangat bergantung pada kebiasaan masa kecil dan lingkungan agama yang mempengaruhi besar-kecil minat mereka terhadap masalah keagamaan. Zakiyah Darajat membagi sikap remaja terhadap keagamaan sebagai berikut:39

a. Percaya turut-turutan

Kebanyakan remaja yang mempunyai jiwa religius kuat adalah mereka yang terdidik di lingkungan agamis, ibu-bapaknya orang beragama, teman-teman dan masyarakat sekelilingnya rajin beribadah. Oleh karena itu, mereka pun ikut dan percaya dan melaksanakan ibadah dan ajaran-ajaran agama sekedar mengikuti suasana lingkungan dimana ia hidup. Kepercayaan seperti inilah yang dinamakan kepercayaan turut-turutan. Masa ini biasanya berlangsung singkat antara umur 13-16 tahun, setelah itu akan terjadi perkembangan kearah jiwa yang lebih kritis dan lebih sadar.40

39

Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 91.


(51)

b. Percaya dengan kesadaran

Kesadaran beragama pada masa remaja akan dimulai ketika ia cenderung meninjau ulang caranya beragama pasa waktu ia masih kecil. Kepercayaan yang tanpa ada landasan penghayatan yang dialaminya pada masa kecil dulu tidak memuaskan lagi. Pada masa ini remaja sudah memunculkan kepribadian kritisnya, dimana ia beragama tidak mau hanya ikut-ikutan saja. Sikap seperti ini biasanya muncul pada remaja yang berumur 17 atau 18 tahun.41

c. Kebimbangan beragama

Kebimbangan ini muncul ketika remaja sadar bahwa ajaran agama yang pernah diterimanya masa kecil tanpa disertai adanya kritik dan penghayatan. Kesadaran ini muncul dan berhubungan erat dengan pertumbuhan kecerdasan yang dialaminya. Biasanya, kebimbangan ini muncul ketika remaja telah mencapai kematangannya, sehingga mereka mampu mengkritik, menerima, ataupun menolak apa saja yang diajarkan atau didoktrinkan kepadanya. Pada masa terakhir remaja ini keyakinan keagamaan lebih dikuasai oleh pikiran. Karena pikiran yang menguasai remaja cenderung meneliti dan mengkritik kembali apa-apa saja yang telah diterimanya.42

d. Tidak percaya kepada Tuhan

Salah satu yang mungkin terjadi pada perkembangan keagamaan pada remaja masa akhir adalah pengingkarannya terhadap

41 Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 73. 42


(52)

43

Tuhan, bahkan lebih ekstrim mengingkari atau tidak meyakini adanya Tuhan. Hal ini disebabkan karena protes ketidakpuasan terhadap Tuhan. Proses yang membawa seorang kepada anti-Tuhan bukanlah suatu proses sederhana, melainkan ia merupakan proses perubahan kepribadian yang di dalamnya ikut bekerja berbagai faktor. Seperti pengalaman pahit masa kecil, peristiwa-peristiwa yang dialaminya, kebudayaan serta filsafat yang ada dilingkungannya dan lain sebagainya.43

C. Pengungsi Syiah

1. Pengertian pengungsi

Pengertian pengungsi menurut Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) adalah orang yang dipaksa untuk keluar dari rumah atau wilayah yang merupakan tempat mereka tinggal, mencari nafkah, berkeluarga, dan lain-lain. Sedangkan menurut Jesuit Refugee Service yang biasa disingkat JRS (2012) menggunakan definisi pengungsi

de facto yang mencakup semua orang yang dianiaya berdasarkan ras, agama, keanggotaan dalam kelompok sosial atau politik dan mereka yang menjadi korban dari konflik bersenjata, kebijakan ekonomi yang keliru atau korban bencana alam serta, demi alasan kemanusiaan, termasuk juga dalam definisi ini adalah mereka yang disebut pengungsi internal, yakni warga negara yang terpaksa meninggalkan kampung halamannya karena


(53)

alasan kekerasan yang sama dengan pengungsi pada umumnya namun mereka tidak melintasi batas-batas negara.44

Sama halnya dengan pengertian pengungsi diatas, kasus yang dialami oleh para pengungsi yang ada di Rumah Susun Puspa Agro Jemundo Sidoarjo juga merupakan efek dari adanya konflik sara yang mereka alami. Dimana warga Syiah Sampang harus menelan pil pahit atas konflik yang terjadi antara dua aliran agama yang terjadi disana. Mereka terusir dari kampung halamannya karena agama atau aliran yang mereka percayai dinyatakan sesat oleh sebagian besar oleh Ulama’ di Madura dan di dukung oleh MUI Jawa Timur. Hal seperti ini akan membawa dampak sosio-psikologis terhadap warga Syiah, utamanya anak-anak dan remaja. Tentu saja perilaku keagamaan mereka juga akan terpengaruhi sedemikian rupa karena lingkungan baru yang mereka tempati. Karena lingkungan juga merupakan salah satu faktor pembentuk perilaku keagamaan.

2. Syiah dan perkembangannya a. Pengertian Syiah

Kata “Syiah” menurut bahasa adalah pendukung atau pembela.

Syiah Ali adalah pendukung atau pembela Ali bin Abi Thalib. Syiah

Mu’awiyah adalah pendukung Mu’awiyah. Pada zaman Abu Bakar, Umar, dan Ustman kata “Syiah” dalam arti nama golongan atau

kelompok belum dikenal. Barulah setelah terjadi peperangan antara

44

Bima Pusaka Semedhi, Resiliensi Pengungsi Konflik Sampang, (Program Studi Psikologi Universitas Brawijaya: 2015), laporan penelitian, 5.


(54)

45

kelompok Ali dan Muawiyah barulah kata “Syiah” muncul sebagai nama kelompok umat Islam. 45

Dalam perkembangan dan konteks sejarah perjalanan warga Syiah, muncul sejumlah definisi tentang orang Syiah, antara lain: 1) Syiah historis

Secara historis, kelompok syiah sebenarnya muncul sejak awal periode Islam. Yakni persis setelah wafatnya Rasulullah SAW. Pada awalnya, sekelompok ahlul-bait (orang yang memiliki garis keturunan langsung dari Rasulullah SAW) berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib yang paling layak menjadi khalifah pertama setelah kematian Rasulullah SAW. Keyakinan ini mengacu pada sejumlah Hadits Nabi yang menyebutkan

“Imamah/khalifah adalah milik/hak orang Quraisy.” Dari semua

sahabat utama Rasulullah SAW, memang Ali merupakan yang paling dekat garis keturunannya dengan Rasulullah SAW.46

Karena itu, orang Syiah beranggapan bahwa Abu Bakar yang menjadi khalifah pertama merupakan perampas kekuasaan, yang kemudian berlanjut ke Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan. Puncak kristalisasi kelompok Syiah terjadi pada peristiwa

tahkim (arbitrase) 37H/657M, antara delegasi Ali dan delegasi Muawiyah. Dalam arbitrase ini, delegasi Ali kalah. Dan secara de

45 Mohammad Dawam Anwar, Mengapa Kita Menolak Syiah, (Jakarta: LPPI, 1997), 4.

46 Bambang Karsono, Komunitas Syiah di Indonesia, (Jakarta: Badan Intelejen Negara RI, 2008),


(55)

facto, kekuasaan diambil alih oleh Muawiyah yang bermarkas di Damaskus. Kelompok yang tetap setia dan mendukung Ali itulah yang kemudian popular disebut Syiah.47

2) Syiah pemikiran

Syiah pemikiran sebenarnya lebih disebabkan karena orang Syiah memang terkenal dengan tradisi intelektual dan keilmuan. Pemikiran-pemikiran Syiah ini mulai marak di dunia sejak meletusnya Revolusi Iran 1979 M. berbagai kelompok diskusi bermunculan membahas dan menelaah gagasan-gagasan dari pemikir dan ulama Syiah, yang kemudian kelompok ini popular dikenal dengan nama Syiah pemikiran. Artinya, mereka pada awalnya hanya tertarik pada pemikiran Syiah, sebagai alternatif pemikiran dalam wacana keislaman.48

3) Syiah pergerakan dan politik

Karena merasa dizalimi dalam hal kekuaasaan/

kepemimpinan, akhirnya muncul Syiah pergerakan, yang mengorganisasikan diri dan melakukan berbagai upaya melalui sebuah pergerakan yang bertujuan untuk berkuasa secara politik. Namun sejauh ini, syiah politik hanya berhasil meraih kekuasaan di

47 Bambang Karsono, Komunitas Syiah di Indonesia, (Jakarta: Badan Intelejen Negara RI, 2008),

5.


(56)

47

Iran. Sementara di negara Muslim lainnya, mereka hanya gerakan yang lebih cenderung bergerak secara under-ground.49

4) Syiah Fikhi

Di kalangan orang Syiah, ada ajaran atau keyakinan yang

menyebutkan bahwa Rasulullah SAW memiliki “ilmu inti” atau “ilmu dari segala ilmu” tentang Islam, yang hanya disebarkan dan

diwariskan khusus untuk kalangan ahlul bait saja. Ajaran itu antara lain, soal praktek sholat yang dalam beberapa hal berbeda dengan praktek shalat Muslim Sunni.50

b. Aliran-aliran dalam Syiah

Selanjutnya Syiah mengalami perkembangan dan bahkan perpecahan, terutama ketika imam mereka meninggal dunia. sebagai mana kita ketahui bahwa setiap agama mempunyai dasar pokok yang difahami dan ditafsirkan secara berbeda oleh pemeluknya meski tetap memelihara dasar-dasar agama. Aliran-aliran dalam Syi’ah adalah:

Gulat, Zaidiyah, Isma’iliyah dan Itsna ‘Asyariyah. Namun yang masih bertahan sampai saat ini ada tiga, yaitu Zaidiyah, Isma’Iliyah dan

Itsna’Asyariyah.51

49 Bambang Karsono, Komunitas Syiah di Indonesia, (Jakarta: Badan Intelejen Negara RI, 2008),

7.

50Ibid.


(57)

c. Doktrin keagamaan Syiah

1) Ushuluddin dan Furu’uddin

Dalam Syiah dikenal dua doktrin/ajaran utama, yakni pertama ushuluddin (pokok-pokok agama) atau dalam istilah Sunni

dikenal dengan istilah rukun iman. Kedua, furu’uddin (masalah penerapan agama) yang dalam sunni dikenal dengan istilah rukun Islam. Lima rukun iman Syiah adalah: (1) Tauhid bahwa Allah SWT adalah Tuhan Yang Esa, (2) Al-‘Adlbahwa Allah SWT Maha Adil, (3) An-Nubuwah, bahwa kepercayaan Syiah pada keberadaan para Nabi adalah sama dengan muslim lainnya. I’tikad Syiah tentang kenabian: Jumlah Nabi dan Rasul Allah berjumlah 124.000; Nabi terakhir adalah Nabi Muhammad yang maksum dan Nabi utama diantara yang lainnya; Ahlul Baitnya, yaitu Ali, Fatimah, Hasan, Husain, dan 9 imam dari keturunan Husain adalah manusia-manusia suci; Al-Qur’an ialah Mu’jizat kekal Muhammad SAW, (4) Al-Imamah, bahwa pemimpin urusan agama dan dunia, yaitu orang yang bisa menggantikan peran Nabi Muhammad SAW sebagai pemelihara syariah Islam, mewujudkan kebaikan dan ketentraman umat. (5) Al-Ma’ad, Syiah mempercayai kehidupan akhirat. Sementara itu, rukun Islam Syiah terdiri atas lima, yaitu:


(58)

49

As-Shalat, As-Shaum, Az-Zakah, Al-Hajj, dan Al-Wilayah (otoritas dan kepemimpinan seorang imam).52

2) Imamah

Dari sekian banyak perbedaan antara Sunni dan Syiah, salah satu yang paling prinsipil adalah soal Imamah. Sebab, posisi seorang imam di hati dan pikiran penganut Syiah adalah figur yang bersentuhan langsung dengan perilaku dan kehidupan keseharian setiap penganut Syiah, dimana pun dan kapan pun mereka berada.

Seorang imam adalah penguasa. Artinya kekuasaan dan otoritas seorang imam menduduki posisi kunci dalam tatanan sosial politik komunitas Syiah. Sebab Al-Wilayah bersifat mengikat dan diposisikan sebagai salah satu rukun Islam.

Adapun 12 imam yang dipercayai oleh Syiah adalah sebagai berikut: Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Husain bin Ali, Ali bin Husain, Muhammad bin Ali, Ja’far bin Muhammad, Musa

bin Ja’far, Ali bin Musa, Muhammad Bin Ali, Ali bin Muhammad,

Hasan bin Ali, Muhammad bin Al-Hasan (al-Mahdi) yang dipercayai masih hidup dan sedang bersembunyi.

3) Nikah mut’ah

Mut’ah yaitu melakukan akad nikah dalam jangka waktu tertentu, atau lebih dikenal dengan nikah/kawin kontrak. Apabila waktu yang disepakati pada saat akad telah habis, maka dengan

52 Bambang Karsono, Komunitas Syiah di Indonesia, (Jakarta: Badan Intelejen Negara RI, 2008),


(1)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada hasil penelitian yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka kesimpulan yang didapat adalah sebagai berikut:

1. Perilaku keagamaan remaja pengungsi Syiah setelah ditelaah melalui teori

fakulti serta teori keberagamaan Golck dan Stark bisa dipetakan menjadi dua kelompok. Yang pertama adalah mereka yang memiliki perilaku keagamaan yang matang atau baik yang dapat diketahui melalui indikator terintegrasinya semua unsur keagamaan serta baiknya dimensi-dimensi keagamaan yang mereka miliki. Seperti halnya yang dikatakan dalam teori fakulti terkait dengan adanya integrasi antara fungsi rasa, karsa, dan cipta. Sedangkan kelompok remaja yang kedua adalah mereka yang memiliki perilaku keagamaan yang kurang matang. Dengan indikator kurang sinergisnya unsur-unsur keagamaan yang mereka miliki. Hal ini terjadi karena perbedaan pendidikan yang mereka peroleh, sehingga terjadi perbedaan perilaku keagamaan. Mereka yang dikirim ke pondok-pondok Syiah cenderung memiliki perilaku keagamaan yang baik jika dibandingkan mereka yang tidak, yaitu yang memilih bekerja atau memilih pendidikan diluar pondok Syiah.


(2)

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku keagamaan remaja pengungsi Syiah meliputi faktor internal yang mencakup: pengalaman pribadi, peranan konflik moral, kebutuhan-kebutuhan, dan faktor penalaran verbal. Sedangkan faktor eksternal meliputi: pengaruh lingkungan keluarga, lingkungan institusional, dan pengaruh lingkungan masyarakat. Dari faktor-faktor ini, faktor yang paling dominan dalam memperngaruhi perilaku keagamaan dari remaja pengungsi Syiah adalah faktor Institusional, yaitu dimana mereka memperoleh pendidikan tentang pemahaman keagamaan. Mereka yang menempa pendidikan di pondok-pondok Syiah perilaku keagamaannya cenderung baik. Karena disana mereka bisa mendapatkan pelajaran tentang Syiah secara intensif dan komprehensif. Hal ini ditunjukkan dari data perilaku keagamaan remaja Pengungsi Syiah yang sudah dijelaskan sebelumnya.

B. Saran

Setelah mengetahui hasil dari penelitian tentang perilaku keagamaan remaja pengungsi Syiah, saran yang bisa penulis sampaikan adalah sebagai berikut:

1. Kepada remaja pengungsi Syiah untuk terus memperdalam kejian

keagamaannya. Karena mereka merupakan kader penerus yang diharapkan oleh orang tua serta pemuka agama.


(3)

2. Kepada relawan pengungsi Syiah untuk terus memperhatikan kondisi psikologis para pengungsi, selain itu, bukan hanya pendidikan, aspek keagamaan mereka pun perlu diperhatikan.

3. Kepada pemerintah, untuk segera mengambil langkah-langkah rekonsiliasi

yang nyata agar masalah yang sudah hampir lima tahun berlangsung ini segera bisa diambil solusi terbaiknya. Karena menjadi pengungsi dan jauh dari kampung halaman merupakan mimpi buruk bagi mereka.

4. Kepada para ulama’, untuk ikut membantu jalannya rekonsiliasi agar kasus ini segera terselesaikan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik dan M. Rusli Karim. 1989. Metodologi Penelitian Agama

Sebuah pengantar. Yogayakarta: Tiara Wacana.

Ahyadi, Abdul Aziz. 2002. Psikologi Agama. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Ahyadi, Abdul Aziz. 2005. Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila.

Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Ali, Mohammad dan Asrori, Mohammad. 2008. Psikologi Remaja,

Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara.

Ancok, Jamaluddin Fuad Nasori Suroso. 2004. Psikologi Islami,Solusi Islam atas

Problem– problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anonim. 2012. Laporan Investigasi dan Pemantauan Kasus Syi’ah Sampang,.

Surabaya: KontraS Surabaya.

Anwar, Mohammad Dawam. 1997. Mengapa Kita Menolak Syiah. Jakarta: LPPI. Arifin, Bambang Syamsul. 2008. Psikologi Agama. Bandung: Pustaka Setia.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek.

Jakarta: Rineka Cipta.

Bafadal, Fadhal AR. 2002. Al-Qur’an dan Terjemah Bahasa Indonesia.

Semarang: Toha putra Semarang.

Darajat, Zakiah. 1982. Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental. Jakarta:

Bulan Bintang.

Darajat, Zakiah. 1988. Peranan Agama dalam kesehatan Mental. Jakarta: P.T.

Gunung Mulia.

Darajat, Zakiyah. 1993. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT Bulan Bintang.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Dewan Pimpinan MUI Jatim. 2012. Fatwa dan Keputusan MUI tentang Ajaran

Syiah. Surabaya: MUI Jawa Timur.

Djamaluddin, Amin. 2011. Mewaspadai Gerakan Syiah di Indonesia. Jakarta:

LPPI.

Fatimah, Enung. 2006. Psikologi Perkembangan (perkembangan Peserta didik).


(5)

Hakim,Agus. 1996. Perbandingan Agama. Bandung: Diponegoro.

Hasanah, Yosi Uswatun. 2007. Perilaku Keberagamaan Anak Jalanan di Ledhok

Timoho, Kelurahan Muja Muju, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jogjakarta: Skripsi Jurusan Perbandingan Agama UIN Sunan Kalijaga.

Ja’fari, Fadil Su’ud. 2010. Islam Syi’ah. Malang: UIN MALIKI PRESS.

Jalaluddin.2010. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Karsono, Bambang. 2008. Komunitas Syiah di Indonesia. Jakarta: Badan Intelejen

Negara RI.

Kartono, Kartini. 1996. Psikologi Umum. Bandung: Mandar Maju.

Knoers, F.J. Monks, A.M.P. dan Siti Rahayu Haditono. 2006. Psikologi

Perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Miles, Matthew B. dan A. Michel Huberman. 1992. Analisis data Kualitatif.

Jakarta:UI Press.

Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian:Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Muhadjir, Noeng. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Reka

Sarasin.

Nasution, Harun. 2005. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. jilid 1, cet. ke 5.

Jakarta: UI Press.

Poerwadarmanto, W.J.S. 1985. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka.

Rahmat, Jalaluddin. 2001. Psikologi Agama Edisi Revisi. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.

Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Psikologi Agama Sebuah Pengantar. Bandung:

Mizan.

Sarwono, Sarlito Wirawan. 2010. Psikologi Remaja. Jakarta: RajaGrafindo

Remaja.

Scharf, Betty R. 2004. Sosiologi Agama. edisi kedua. Jakarta Timur: Prenada


(6)

Semedhi, Bima Pusaka Resiliens. 2015. Pengungsi Konflik Sampang. Malang: Laporan penelitian Program Studi Psikologi Universitas Brawijaya.

Singarimbun, Irawati. 1989. “Teknik Wawancara”, dalam Masri Singrimbun dan

Sofien Effendi (Ed), Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.

Stark, Rodney and Charles Y. Glock. 1968. American Piety: The Nature of

Religious Commitment. Berkeley: University of California Press.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Surakhmad, Winarno. 1994. Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, teknik.

Bandung: Tarsito.

Sururin. 2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Syaifudin Achmad Fedyani. 1995. Agama Dalam Analisa dan Interpretasi

Sosiologis. (terj) Glock and Stark. dalam Roland Robertson Sosiology Of Religion. Jakarta: Rajawali.

Thio, Alex. 2007. Deviant Behavioristik. Jakarta: Rosda Karya.

Data dari BPBD Jawa Timur.

Firdaus, Akhol. Kronologi Penempatan Pengungsi Jamaah Syiah di Puspa Agro.

Dari:http://www.sidoarjonews.com/kronologi-penempatan-pengungsi-jamaah-syiah-di-puspa-agro/ (di akses pada: 22 Maret 2016).

Abduh, Wawancara, Sidoarjo, 27 Juni 2016.

Irfan, Wawancara, Sidoarjo, 19 Juni 2016.

Muhlisin, Wawancara, Sidorajo, 15 Juli 2016.

Nur Cholis, Wawancara, Sidoarjo, 15 Juli 2016.