TERORISME DOMESTIK.doc 35KB Jun 13 2011 06:28:23 AM

TERORISME DOMESTIK
Oleh Haedar Nashir
Isu terorisme kembali mencuat di negeri ini. Bahkan, setelah tragdei
pengeboman di Legian, Kuta Bali, kosakata teoris dan terorisme makin menggelegar
ke permukaan. Semoga tak sekadar jadi buah bibir berbau retorika politik, apalagi
menjadi komoditi politik sesaat!
“Terorisme nyata-nyata ada di bumi Indonesia”, demikian kata Presiden
Megawati Soekarnoputri dan Menkopolkan Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintah
begitu bergairah melantunkan kata terorisme, seolah-olah telah berhasil menangkap
terorisnya dan mengungkap kasus-kasus yang selama ini didakwakan sebagai
terorisme di Indonesia.
Semoga saja tragedy demi tragedy yang didakwaakan kepada terorisme itu
cepat terungkap dan akhirnya Indonesia menjadi negeri teraman di muka bumi. Lalu,
pemerintah menjadi tidak memiliki musuh lagi yang bernama terorisme, untuk
kemudian melawan musuh terbesar yang selama ini tak kunjung terkalahkan, yaitu
krisis nasional.
Tapi, di situlah kerumitan masalahnya. Kita tidak tahu persis bagaimana
pemerintah memiliki visi dan persepsi yang luas mengenai fenomena yang disebut
teroris dan terorisme di Indonesia. Kita khawatir, jangan-jangan pemerintah terjebak
pada dua ruang sempit dalam memandang gejala terorisme.
Ruang sempit pertama, pemerintah terjebak pada pola pandang dan stereotype

yang sengaja dikonstruksi oleh Amerika Serikat atau dunia Barat yang begitu rupa
traumatic dengan terorisme. Dalam hal ini Amerika Serikat sendiri seakan terjebak
pada pandangan negatif atau salah acu, bahwa yang disebut terorisme adalah Islam
atau kelompok Islam, yang mengancam kepentingan-kepentingan politiknya. Trauma
terorisme itu bahkan diperparah oleh tragedy 11 September, yang makin memperkuat
daya reaksioner pemerintah Amerika serikat ketika menghadapi fenomena apapun
yang sejenis atau berbau terorisme. Lebih khusus lagi terorisme itu adalah jaringan
Al-Qaida.
Jika tak hati-hati, pemerintah Indonesia dapat terperangkap atau terjangkiti
trauma terorisme negeri Paman Sam itu. Apalagi jika terjebak pada ambivalensi
sebagaimana dialami oleh negara-negara Barat pada umumnya dan Amerika serikat
pada khususnya. Bahwa terorisme dicandra dengan standar ganda. Ketika kekerasan
itu dating dari kelompok Islam atau negeri-negeri Timur Tengah, maka dinamakan
terorisme. Tapi, ketika perilaku kekerasan itu dilakukan oleh Israel misalnya, yang
demikian destruktif dan berlangsung lama terhadap bangsa Palestina, maka bukan
terorisme. Isrrael bahkan selalu mendapat perlindungan istimewa.
Ruang sempit kedua, pemerintah Indonesia tidak mencoba menghitung factorfaktor internal atau domestik. Ketika kekerasan-kekerasan seperti pengeboman
sebelum Bali terjadi, juga munculnya gerakan-gerakan yang diindikasikan radikal di
negeri ini, siapa tahu disamakan dan dibaca sebagai terorisme. Padahal, boleh jadi
berbagai kekerasan tersebut justru bertemali erat dengan problematika social-politik

di dalam negeri sendiri.
Dalam hal yang kedua tersebut, pemerintah Indonesia bias terkena penyakit
rabun ayam dalam memandang terorisme di negerinya sendiri. Tak terpikir bahwa
kekerasan-kekerasan yang selama ini muncul memiliki keterkaitan atau merupakan

reaksi yang keras atas lemahnya penegakkan hokum, rapuhnya fungsi-fungsi
pemerintahan dalam menyelesaikan masalah, penyakit social yang merajalela dan tak
tersentuh oleh penertiban, marginalisasi social yang melahirkan keterasingan
kelompok-kelompok masyarakat, dan berbagai factor internal dalam negeri baik yang
bercorak agama, etnik, ideology politik, ekonomi, dan sebagainya.
Jadi, apa yang di permukaan terlihat sebagai terorisme, sesungguhnya
merupakan problematika domestik dari kehidupan masyarakat dan pemerintahan di
Indonesia sendiri. Sama sekali tidak terkait atau tidak selalu terkait dengan jaringan
terorisme internasional semacam Al-Qaida dan sebagainya. Siapa tahu, kekerasan
demi kekerasan yang muncul ke permukaan di negeri tercinta sekarang ini adalah
terorisme domestik.
Jika kekerasan-kekerasan dan gerakan-gerakan radikal di negeri ini lebih
bercorak domestik, maka pemerintah harus mengubah cara pandaang dan penyikapan
dalam menghadapi apa yang selama ini digembar-gemborkan sebagai terorisme.
Lebih-lebih jika terorisme itu didakwakan kepada kelompok-kelompok Islam semata.

Mengubah orientasi semacam itu tentu akan berpengaruh pula pada cara kita dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan kekerasan dan radikalisme di rumah sendiri.
Memahami fenomena terorisme domestik itu tentu bukan berarti mengabaikan
kemungkinan adanya terorisme atau kekerasan yang bertemali dengan jaringan
internasional. Kemungkinan tersebut selalu terbuka. Tetapi, sekali jangan sampai
terjebak ke ruang sempit dalam membaca gejala terrorisme. Apalagi sampai
terjangkiti penyakit rabun ayam dan trauma ala Amerika Serkat, yang terperangkap
dalam pepatah: Semut di seberang lautan tampak, Gajah di pelupuk mata tak tampak!
Di negeri mana pun kekerasan dan radikalisme social-politik biasanya muncul
karena kondisi-kondisi kontradiksi yang demikian tajam dan keras, yang melahirkan
sikap dan kelompok-kelompok true-believer alias para mukalid buta dalam
melakukan tindakan-tindakan social-politik.
Para mukalid buta itu bias berkedok agama, ideology, politik, kultur, dan
sebagainya, yang dalam melakukan pilihan tindakan pada akhirnya memakai segala
macam cara, termasuk melalui kekerasan. Kekerasan dipilih sebagai cara paling
ampuh untuk mencapai target atau tujuan, karena dengan cara yang normal dan lazim
dianggap tak pernah mencapai hasil.
Mudah-mudahan, pemerintah Indonesia dan semua pihak dapat membaca
lebih terang mengenai kekerasan dan radikalisme yang disebut terorisme lebih dari
sekadar berpesta dengan kosakata dan pola pikir negeri-negeri yang terkena penyakit

rabun ayam dalam memandang terorisme!
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 21 2002