BAB 08 PERDAGANGAN INTERNASIONAL Kosngosan

(1)

B

AB

8

A

NALISIS DAYA SAING PRODUK

A. Pengertian

Keunggulan adalah adanya kelebihan yang melekat pada suatu komoditi yang dihasilkan suatu negara dibandingkan dengan komoditi serupa yang diproduksi di negara lain. Ada beberapa faktor yang menjadikan suatu komoditi mempunyai keunggulan tertentu, yaitu faktor alam (keunggulan absolut), faktor manajemen produksi yang mengakibatkan penggunaan biaya produksi yang rendah dan faktor penggunaan teknologi akan menciptakan keunggulan komparatif.

Beberapa hal yang harus dimiliki oleh suatu negara atau industri untuk meningkatkan keunggulan kompetitifnya adalah: teknologi, tingkat entrepreneurship yang tinggi, tingkat efisiensi/produktivitas yang tinggi dalam proses produksi, kualitas output tinggi, promosi yang meluas dan agresif, pelayanan purna jual (service after sale) yang memuaskan, tenaga kerja dengan tingkat keterampilan/pendidikan, etos kerja, kreatifitas serta motivasi yang tinggi, skala ekonomi, inovasi, diferensiasi produk, modal dan sarana serta prasarana lainnya yang memadai, jaringan distribusi di dalam dan luar negeriproses produksi yang dilakukan dengan JIT (just-in-time).

M. Porter mengemukakan, keunggulan kompetitif ditentukan oleh 4 (empat) determinan, atau yang dikenal dengan Berlian Porter, yaitu:

1. keunggulan komparatif (factor conditions) 2. permintaan pasar (demand conditions)

3. struktur industri dalam negeri yang kuat, dalam arti adanya industri-industri pendukungan dan terkait, yang memungkinkan keterkaitan produksi antar industri dan spesialisasi berdasarkan distribusi kerja internasional


(2)

Gambar 8.1. Empat Determinan Daya Saing (Berlian Porter)

1. Factor Conditions: adalah sumberdaya (resources) yang dimiliki oleh suatu negara yang terdiri atas lima kategori, yaitu:

human resources (SDM)  physical resources (SDA)  knowledge resources (IPTEK)  capital resources (permodalan)  infrastructure resources (prasarana)

2. Demand Conditions: permintaan merupakan salah satu faktor penting sebagai penentu keunggulan daya saing suatu negara (perusahaan) atau produk yang dihasilkan. Demand condition mencakup hal-hal:

composition of home demand

size and pattern of growth of home demandrapid home market growth

trend of internatinal demand

3. Related and supporting industry, yang mensyaratkan perlu dilakukan kontak dan koordinasi dengan pemasok (suplier) untuk memelihara kelangsungan dan keunggulan daya saing.

4. Firm strategy structure and rivalry, yaitu strategi perusahaan, struktur organisasi dan modal perusahaan, serta kondisi persaingan (rivalry) di dalam negeri merupakan faktor yang akan menentukan dan mempengaruhi keunggulan kompetitif suatu negara atau perusahaan. Persaingan (rivalry) yang berat di dalam negeri biasanya akan mendorong perusahaan untuk

Factor Strategy Structur & Rivalry

Factor Conditions

Related & Supporting Industry

Demand Conditions


(3)

melakukan pengembangan produk dan teknologi, peningkatan produktivitas, efisiensi dan efektivitas, serta peningkatan kualitas produk dan pelayanan.

Daya saing ekspor suatu komoditas adalah kemampuan suatu komoditas untuk memasuki pasar luar negeri yang kemudian memiliki kemampuan untuk mempertahankan pasar tersebut. Daya saing suatu komoditas dapat diukur atas perbandingan pangsa pasar (market share) komoditi tersebut pada kondisi pasar yang tetap. Daya saing merupakan kemampuan suatu komoditas untuk memberikan keuntungan secara terus-menerus dan kemampuan memperbaiki pangsa pasar (market share). Oleh sebab itu pengukuran daya saing dapat dilakukan dengan pendekatan keuntungan dan pangsa pasar.

Pengukuran daya saing dapat juga dilihat dari rasio orientasi ekspor bersih yaitu perbedaan ekspor dan impor industri tertentu, yang diekspresikan sebagai persentase rata-rata produksi dan konsumsi domestik. Tanda pengukuran tersebut menunjukkan apakah industri tersebut merupakan net-exportir atau net-importir, dan ukuran absolut tersebut mengindikasikan kepentingan perdagangan secara relatif. Analisis daya saing dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan Constant Market Share (CMS) yang dikembangkan oleh Richardson, dan Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) yang dikembangkan oleh Ballasa.

B. Constant Market Share(CMS)

Constant Market Share (CMS) mengukur dinamika tingkat daya saing ekspor, yang menggambarkan efek pertumbuhan ekspor, sehingga dapat diketahui apakah ekspor suatu komoditas mengalami peningkatan (expansions) atau penurunan (contraction) di pasaran dunia yang didasarkan pada pangsa (share) pasar periode sebelumnya. CMS menggambarkan pertumbuhan ekspor dengan tiga efek komposisi, yaitu:

(1) efek pertumbuhan standar (growth effect) yang mengambarkan keuntungan yang diperoleh suatu negara dari kegiatan ekspor yang dilakukan akibat pertumbuhan perdagangan komoditas tersebut di pasar dunia,


(4)

(2) efek distribusi pasar (distribution market effect) yang menunjukkan kemampuan memfokuskan dan mempercepat pertumbuhan pasar ekspor suatu komoditas dari suatu negara, dan

(3) efek sisa (residual effect) yang menggambarkan daya saing komoditas suatu negara di pasar ekspor.

Pengukuran efek pertumbuhan dalam analisis CMS pada penelitian ini digunakan formulasi yang digunakan oleh Kumar dan Vaidya (1999), dengan formulasi sebagai berikut:

                    

j j j j j j

S XO XWO S XO S XWO S

XO 0. 0. 0. 1.

Keterangan:

XO = perubahan total ekspor komoditi i dari tahun 1 dan 0

S0 = share ekspor komoditi i pada pasar komoditi i dunia tahun 0

XWO = perubahan total komoditi i dunia dari tahun 1 dan 0 Sj0 = share ekspor komoditi i pada negara j, tahun 0

XOj = perubahan ekspor komoditi i di negara j dari tahun 1 dan 0

XOj1 = jumlah ekspor komoditi i ke negara j pada tahun 1

Sj = perubahan share komoditi i di negara j

1 dan 0 = periode waktu (1 = tahun sekarang; 0 = tahun sebelumnya)

Formulasi pengukuran daya saing dengan CMS menjelaskan tiga efek yang menggambarkan apakah ekspor suatu negara mengalami perubahan lebih kecil, sama, atau lebih besar dari laju pertumbuhan ekspor rata-rata dunia (pertumbuhan standar). Untuk itu, deviasi negatif antara pertumbuhan ekspor suatu negara denngan pertumbuhan standar dapat dikarenakan oleh tiga hal, yaitu: (a) pertumbuhan permintaan dunia memang melambat, (b) masalah distribusi pasar dunia dari negara eksportir, dan (c) masalah daya saing dalam harga dan kualitas. Ketiga komponen ini dapat dianalisis dengan:

a. Bahagian pertama dari sebelah kanan persamaan menunjukkan efek pertumbuhan standar, yang mengukur perubahan (peningkatan atau penurunan) ekspor komoditi i akibat perubahan pertumbuhan ekspor komoditi i di pasar dunia.


(5)

b. Bahagian kedua menunjukkan efek distribusi pasar, yang menggambarkan perkembangan pasar ekspor komoditi i pada berbagai negara.

c. Bahagian ketiga merupakan efek residual yang menggambarkan daya saing ekspor komoditi i yang tidak diakibatkan oleh efek pertumbuhan standar dan distribusi pasar, akan tetapi daya saing akibat keunggulan mutu produk atau harga.

Daya saing ekspor komoditi i akan dijelaskan oleh komposisi ketiga efek tersebut:

a. Apabila efek pertumbuhan standar bernilai positif, maka faktor utama yang mengakibatkan peningkatan ekspor komoditi i adalah pertumbuhan ekspor komoditi i di pasar dunia.

b. Apabila efek distribusi pasar yang bernilai positif mengindikasikan pertumbuhan ekspor komoditi i ditentukan oleh pertumbuhan ekspor pada negara-negara yang mengalami pertumbuhan impor komoditi i yang tinggi, atau pasar ekspor komoditi i mengalami perkembangan.

c. Apabila efek residual yang bernilai positif mengindikasikan daya saing ekspor komoditi i akibat keunggulan mutu atau harga adalah kuat, sedangkan apabila efek residual bernilai negatif mengindikasikan daya saing ekspor komoditi i lemah dilihat dari aspek mutu dan harga.

C. Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA)

Indeks RCA akan menggambarkan penampilan ekspor suatu komoditas dari suatu negara terhadap total ekspor negara tersebut dan terhadap total ekspor dunia. Indeks ini menunjukkan perbandingan antara pangsa ekspor komoditas atau sekelompok komoditas suatu negara terhadap pengsa ekspor komoditas tersebut dari seluruh dunia. Dengan kata lain Indeks RCA menunjukkan keunggulang komparatif (daya saing) ekspor dari suatu negara dalam suatu komoditas terhadap dunia.

Jika nilai indeks RCA dari suatu negara untuk suatu komoditas tertentu lebih besar dari satu (1), berarti negara tersebut mempunyai keunggulan komparatif diatas rata-rata dunia dalam komoditas tersebut. Sebaliknya, jika


(6)

indeks RCA lebih kecil dari satu (1) berarti keunggulan komparatif negara tersebut untuk komoditas tersebut rendah, atau dibawah rata-rata dunia.

t i

ti i i

XW XWO

X XO RCA

Indeks 

Keterangan:

XOi = nilai ekspor komoditas x dari negara i

Xti = nilai total ekspor komoditas x dari negara i

XWOi = nilai ekspor komoditas x dunia

XWt = nilai total ekspor komoditas x dunia

Untuk mengetahui apakah suatu negara memiliki keunggulan atau tidak dalam aktifitas perdagangan suatu komoditas tertentu di dunia, akan tergambar dari perubahan persentase rasio ekspor bersih (net export) komoditas tersebut dengan total perdagangan komoditas tersebut pada negara bersangkutan. Nilai rasio net ekspor dengan total perdagangan berkisar antara +100 dan –100.

Apabila rasio net ekspor dengan total perdagangan bernila positif berarti negara tersebut mempunyai nilai ekspor yang lebih besar dari nilai impor pada total perdagangan komoditas tersebut di negara bersangkutan. Untuk mendapatkan nilai rasio tersebut diformulasikan dengan:

i i

i i i

i

MO XO

MO XO TT

NE

  

Keterangan: NE/TT = rasio Net Export dan Total Trade komoditas x di negara i XOi = nilai ekspor komoditas x di negara i

MOi = nilai impor komoditas x di negara I

D. Analisis Daya Saing Ekspor CPO Indonesia dan Malaysia

Analisis daya saing ekspor CPO Indonesia dan Malaysia dilihat dari dua pendekatan yaitu Constant Market Share (CMS), dan analisis indeks Revealed Comparative Advantage (RCA).

Share ekspor CPO asal Indonesia ke negara-negara Eropa untuk periode 1995-1999 secara rata-rata mengalami penurunan, dan cenderung direbut oleh


(7)

CPO asal Malaysia, yaitu tahun 1995 share ekspor CPO Indonesia dan Malaysia di pasar Eropa masing-masing 36,7 dan 28,0 persen, dan tahun 1999 menjadi 21,9 dan 36,7 persen. Penurunan share ekspor CPO Indonesia di pasar Eropa tersebut mengindikasikan daya saing CPO Indonesia lebih rendah dari CPO asal Malaysia, sehingga pasar Eropa dapat direbut CPO asal Malaysia. Sedangkan di pasar Amerika, India dan China, share pasar CPO Indonesia berfluktuasi tetapi cenderung mengalami peningkatan.

Tabel 8.1 Market Share Impor CPO Asal Indonesia dan Malaysia pada Bebarapa Negara Importir, 1995-1999 (dalam persen)

Negara Importir

1995 1996 1997 1998 1999

Ind. Mys. Ind. Mys. Ind. Mys. Ind. Mys. Ind. Mys. Bel-lux 53.5 18.3 45.51 13.34 28.7 13.1 27.6 18.9 17.9 15.1 Denmark 21.2 57.7 24.01 55.68 20.6 55.9 15.3 44.1 0.0 64.8 Perancis 4.6 3.2 6.45 0.00 5.0 2.0 5.4 12.4 1.2 0.0 Jerman 45.7 26.0 48.96 24.28 57.9 23.0 38.5 35.7 32.1 46.6 Greece 35.2 33.6 62.50 18.92 48.0 35.7 39.5 46.9 27.1 52.1 Italia 50.0 34.1 43.05 29.93 18.4 48.3 21.1 42.1 16.3 40.2 Nederland 58.3 17.1 44.89 28.73 58.0 22.7 38.9 43.2 36.9 40.1 Spanyol 61.0 33.2 57.06 31.10 67.4 20.4 55.7 22.9 61.8 20.2 Swedia 4.5 40.7 6.09 12.19 15.6 20.0 2.5 22.7 1.3 45.2 UK 32.5 15.9 26.19 11.08 25.7 14.8 27.3 39.3 24.7 42.6 Eropa 36.7 28.0 36.5 22.5 34.5 25.6 27.2 32.8 21.9 36.7 USA 17.5 73.4 20.73 74.96 16.4 81.9 13.1 85.4 21.3 74.4 China 10.2 68.4 13.95 63.10 24.0 63.7 22.1 66.5 27.3 62.0 India 13.2 85.3 23.56 75.36 31.1 67.1 16.3 83.1 30.9 68.8 Pakistan 4.8 95.0 2.55 97.44 7.2 90.7 2.0 97.5 0.9 96.2 Sumber: Oil World (1999 dan 2000)

Pergeseran pangsa pasar CPO Indonesia itu menunjukkan daya saing minyak kelapa sawit Indonesia di pasar Eropa semakin lemah, yang diduga disebabkan oleh klasifikasi mutu CPO asal Indonesia belum memenuhi keinginan konsumen Eropa. Sementara itu klasifikasi mutu CPO Malaysia lebih dapat diterima konsumen Eropa, seperti pencantuman kadar kandungan logam dalam klasifikasi mutu CPO yang telah diterapkan oleh Malaysia, sedangkan Indonesia, belum mampu memenuhi tuntutan ini. Walaupun demikian penampilan ekspor CPO Indonesia dari tahun-ketahun tetap mengalami kenaikan, baik terhadap perkembangan ekspor CPO dunia maupun terhadap perkembangan ekspor total Indonesia. Kemampuan memperbaiki penampilan ekspor CPO Indonesia sesuai


(8)

dengan analisis market share yang menggambarkan tingkat daya saing CPO Indonesia terhadap total ekspor Indonesia. Penampilan ekspor (export performance) CPO Indonesia secara jelas dapat dilihat pada Tabel 8.2.

Tabel 8.2. Analisis Constant Market Share Ekspor CPO Indonesia 1991-1999 Tahun Pertumbuhan Ekspor CPO (%) Deviasi Efek Distribusi

Indonesia Dunia PS DP RS

1991 64,9 19,9 45,0 30,7 6,0 50,0

1992 6,3 13,3 -7,1 213,0 11,1 -147,8

1993 32,5 8,1 24,5 24,8 -19,9 119,0

1994 51,9 61,2 -9,2 117,7 -7,6 -13,0

1995 4,1 12,4 -8,3 300,6 61,8 -312,0

1996 10,4 -11,9 22,4 -114,4 8,3 202,9

1997 75,2 18,4 56,8 24,4 -2,9 61,8

1998 -48,5 12,7 -61,1 -26,2 -11,4 120,1

1999 49,5 -31,2 80,7 -63,1 -1,3 138,8

Sumber: World Bank (diolah) PS = Pertumbuhan Standar DP = Distribusi Pasar RS = Residual (Daya Saing)

Deviasi positif antara pertumbuhan ekspor CPO Indonesia dan dunia selama periode penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekspor CPO Indonesia lebih tinggi daripada pertumbuhan ekspor CPO dunia, sedangkan deviasi negatif menunjukkan bahwa pada tahun-tahun tersebut (1992, 1994, 1995, dan 1998) pertumbuhan ekspor CPO Indonesia lebih rendah dari pertumbuhan ekspor CPO dunia.

Efek pertumbuhan standar ekspor CPO Indonesia bernilai positif kecuali tahun 1996, 1998, dan 1999. Efek pertumbuhan standar lebih banyak menentukan tingkat daya saing ekspor CPO Indonesia untuk periode 1991-1995. Hal ini mengindikasikan bahwa pada periode tersebut pertumbuhan ekspor CPO Indonesia lebih banyak memanfaatkan pertumbuhan ekspor CPO dunia. Disisi lain efek distribusi pasar lebih kecil, yang menggambarkan upaya ekspansi pasar ekspor CPO Indonesia sangat kecil. Sedangkan efek residual yang menggambarkan daya saing CPO Indonesia untuk tahun 1993 cukup besar. Hal ini menunjukkan bahwa daya saing CPO Indonesia pada tahun 1993 cukup kuat bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.


(9)

Sedangkan untuk periode 1996-1999, daya saing ekspor CPO Indonesia lebih banyak dijelaskan oleh efek residual yang menggambarkan daya saing. Artinya untuk periode tersebut daya saing ekspor CPO Indonesia cukup kuat, tetapi bukan karena pertumbuhan ekspor CPO dunia tinggi, atau karena ekspansi pasar yang lebih luas, akan tetapi lebih disebabkan oleh daya saing karena perubahan harga, atau peningkatan mutu. Kecenderungan peningkatan daya saing ekspor CPO Indonesia pada periode tersebut lebih disebabkan oleh penurunan harga CPO Indonesia yang dinilai dengan USD. Turunya harga ekspor CPO Indonesia tersebut akibat terjadinya depresiasi Rupiah terhadap USD, sebagai dampak krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997. Dengan harga yang lebih rendah tersebut konsumen CPO dunia melakukan impor CPO asal Indonesia dalam jumlah yang lebih besar.

Hasil analisis RCA menunjukkan bahwa indeks RCA ekspor CPO Indonesia dan Malaysia lebih besar dari satu (>1), berarti ekspor CPO asal Indonesia dan Malaysia mempunyai daya saing yang lebih besar dari rata-rata dunia. Artinya Indonesia dan Malaysia memiliki daya saing yang kuat dalam perdagangan CPO dunia. Dan apabila ekspor CPO antara Indonesia dan Malaysia dibandingkan, ternyata daya saing CPO Indonesia lebih rendah dari CPO Malaysia, yang ditunjukkan oleh indeks RCA Malaysia yang lebih tinggi dari Indonesia. Lebih jelas indeks RCA ekspor CPO asal Indonesia dan Malaysia, serta rasio Net export dan Total Trade dapat dilihat pada Tabel 8.3.

Tabel 8.3. Analisis Indeks RCA Ekspor CPO Indonesia dan Malaysia, 1990-1999 Tahun Nilai Eks. CPO*) Indeks RCA NE/TT (%)

Dunia Indonesia Malaysia Indonesia Malaysia Indonesia Malaysia 1990 0,07 0,79 4,73 11,22 66,91 92,74 99,13 1991 0,08 1,15 4,71 13,85 56,67 92,05 90,26 1992 0,09 1,05 4,64 11,94 52,73 51,70 93,93 1993 0,10 1,58 4,25 16,60 44,55 80,30 91,50 1994 0,14 1,79 4,83 13,21 35,63 85,59 93,37 1995 0,13 1,65 4,86 12,92 38,11 91,97 98,57 1996 0,11 1,66 4,21 15,55 39,52 87,06 99,57 1997 0,12 2,71 4,35 22,22 35,73 93,32 98,48 1998 0,14 1,53 5,64 10,93 40,42 96,87 97,96 1999 0,09 2,29 4,08 24,76 44,09 96,95 96,16 *) Share ekspor CPO terhadap total ekspor (%)


(10)

Indonesia dan Malaysia ternyata sama-sama memiliki keunggulan dalam aktifitas ekonomi CPO, yang digambarkan oleh perubahan persentase rasio ekspor bersih (net export) CPO dengan total perdagangan pada kedua negara tersebut. Rasio net ekspor dengan total perdagangan Indonesia yang lebih besar dari 80 persen kecuali 1992, menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai nilai ekspor CPO lebih besar dari nilai impor CPO.

Dari kedua indikator daya saing tersebut CMS dan RCA, dapat dikatakan bahwa CPO Indonesia memiliki daya saing yang kuat dalam perdagangan CPO dunia, tetapi masih lebih rendah dari daya saing CPO Malaysia. Rasio net ekspor dan total perdagangan terlihat bahwa Indonesia dan Malaysia sama-sama negara net eksportir. Dan pada tahun 1999 terlihat bahwa net ekspor Indonesia telah melampaui net eksportir Malaysia, hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki peluang besar untuk menyaingi Malaysia dalam ekspor CPO dunia.

E. Rangkuman

Keunggulan adalah adanya kelebihan yang melekat pada suatu komoditi yang dihasilkan suatu negara dibandingkan dengan komoditi serupa yang diproduksi di negara lain. Ada beberapa faktor yang menjadikan suatu komoditi mempunyai keunggulan tertentu, yaitu faktor alam (keunggulan absolut), faktor manajemen produksi yang mengakibatkan penggunaan biaya produksi yang rendah dan faktor penggunaan teknologi akan menciptakan keunggulan komparatif.

Keunggulan kompetitif ditentukan oleh 4 (empat) determinan, atau yang dikenal dengan Berlian Porter, yaitu: (a) keunggulan komparatif (factor conditions), (b) permintaan pasar (demand conditions), (c) struktur industri dalam negeri yang kuat, dalam arti adanya industri-industri pendukungan dan terkait, yang memungkinkan keterkaitan produksi antar industri dan spesialisasi berdasarkan distribusi kerja internasional, dan (d) struktur pasar dengan persaingan bebas sepenuhnya.

Constant Market Share (CMS) mengukur dinamika tingkat daya saing ekspor, yang menggambarkan efek pertumbuhan ekspor, sehingga dapat diketahui


(11)

apakah ekspor suatu komoditas mengalami peningkatan (expansions) atau penurunan (contraction) di pasaran dunia yang didasarkan pada pangsa (share) pasar periode sebelumnya. CMS menggambarkan pertumbuhan ekspor dengan tiga efek komposisi, yaitu: (a) efek pertumbuhan standar (growth effect) yang mengambarkan keuntungan yang diperoleh suatu negara dari kegiatan ekspor yang dilakukan akibat pertumbuhan perdagangan komoditas tersebut di pasar dunia, (b) efek distribusi pasar (distribution market effect) yang menunjukkan kemampuan memfokuskan dan mempercepat pertumbuhan pasar ekspor suatu komoditas dari suatu negara, dan (c) efek sisa (residual effect) yang menggambarkan daya saing komoditas suatu negara di pasar ekspor.

Indeks RCA akan menggambarkan penampilan ekspor suatu komoditas dari suatu negara terhadap total ekspor negara tersebut dan terhadap total ekspor dunia. Indeks ini menunjukkan perbandingan antara pangsa ekspor komoditas atau sekelompok komoditas suatu negara terhadap pengsa ekspor komoditas tersebut dari seluruh dunia. Dengan kata lain Indeks RCA menunjukkan keunggulang komparatif (daya saing) ekspor dari suatu negara dalam suatu komoditas terhadap dunia.


(1)

indeks RCA lebih kecil dari satu (1) berarti keunggulan komparatif negara tersebut untuk komoditas tersebut rendah, atau dibawah rata-rata dunia.

t i

ti i i

XW XWO

X XO RCA

Indeks 

Keterangan:

XOi = nilai ekspor komoditas x dari negara i

Xti = nilai total ekspor komoditas x dari negara i

XWOi = nilai ekspor komoditas x dunia XWt = nilai total ekspor komoditas x dunia

Untuk mengetahui apakah suatu negara memiliki keunggulan atau tidak dalam aktifitas perdagangan suatu komoditas tertentu di dunia, akan tergambar dari perubahan persentase rasio ekspor bersih (net export) komoditas tersebut dengan total perdagangan komoditas tersebut pada negara bersangkutan. Nilai rasio net ekspor dengan total perdagangan berkisar antara +100 dan –100.

Apabila rasio net ekspor dengan total perdagangan bernila positif berarti negara tersebut mempunyai nilai ekspor yang lebih besar dari nilai impor pada total perdagangan komoditas tersebut di negara bersangkutan. Untuk mendapatkan nilai rasio tersebut diformulasikan dengan:

i i

i i i

i

MO XO

MO XO TT

NE

  

Keterangan: NE/TT = rasio Net Export dan Total Trade komoditas x di negara i

XOi = nilai ekspor komoditas x di negara i

MOi = nilai impor komoditas x di negara I

D. Analisis Daya Saing Ekspor CPO Indonesia dan Malaysia

Analisis daya saing ekspor CPO Indonesia dan Malaysia dilihat dari dua pendekatan yaitu Constant Market Share (CMS), dan analisis indeks Revealed

Comparative Advantage (RCA).

Share ekspor CPO asal Indonesia ke negara-negara Eropa untuk periode 1995-1999 secara rata-rata mengalami penurunan, dan cenderung direbut oleh


(2)

CPO asal Malaysia, yaitu tahun 1995 share ekspor CPO Indonesia dan Malaysia di pasar Eropa masing-masing 36,7 dan 28,0 persen, dan tahun 1999 menjadi 21,9 dan 36,7 persen. Penurunan share ekspor CPO Indonesia di pasar Eropa tersebut mengindikasikan daya saing CPO Indonesia lebih rendah dari CPO asal Malaysia, sehingga pasar Eropa dapat direbut CPO asal Malaysia. Sedangkan di pasar Amerika, India dan China, share pasar CPO Indonesia berfluktuasi tetapi cenderung mengalami peningkatan.

Tabel 8.1 Market Share Impor CPO Asal Indonesia dan Malaysia pada Bebarapa Negara Importir, 1995-1999 (dalam persen)

Negara Importir

1995 1996 1997 1998 1999

Ind. Mys. Ind. Mys. Ind. Mys. Ind. Mys. Ind. Mys. Bel-lux 53.5 18.3 45.51 13.34 28.7 13.1 27.6 18.9 17.9 15.1 Denmark 21.2 57.7 24.01 55.68 20.6 55.9 15.3 44.1 0.0 64.8 Perancis 4.6 3.2 6.45 0.00 5.0 2.0 5.4 12.4 1.2 0.0 Jerman 45.7 26.0 48.96 24.28 57.9 23.0 38.5 35.7 32.1 46.6 Greece 35.2 33.6 62.50 18.92 48.0 35.7 39.5 46.9 27.1 52.1 Italia 50.0 34.1 43.05 29.93 18.4 48.3 21.1 42.1 16.3 40.2 Nederland 58.3 17.1 44.89 28.73 58.0 22.7 38.9 43.2 36.9 40.1 Spanyol 61.0 33.2 57.06 31.10 67.4 20.4 55.7 22.9 61.8 20.2 Swedia 4.5 40.7 6.09 12.19 15.6 20.0 2.5 22.7 1.3 45.2 UK 32.5 15.9 26.19 11.08 25.7 14.8 27.3 39.3 24.7 42.6

Eropa 36.7 28.0 36.5 22.5 34.5 25.6 27.2 32.8 21.9 36.7

USA 17.5 73.4 20.73 74.96 16.4 81.9 13.1 85.4 21.3 74.4 China 10.2 68.4 13.95 63.10 24.0 63.7 22.1 66.5 27.3 62.0 India 13.2 85.3 23.56 75.36 31.1 67.1 16.3 83.1 30.9 68.8 Pakistan 4.8 95.0 2.55 97.44 7.2 90.7 2.0 97.5 0.9 96.2

Sumber: Oil World (1999 dan 2000)

Pergeseran pangsa pasar CPO Indonesia itu menunjukkan daya saing minyak kelapa sawit Indonesia di pasar Eropa semakin lemah, yang diduga disebabkan oleh klasifikasi mutu CPO asal Indonesia belum memenuhi keinginan konsumen Eropa. Sementara itu klasifikasi mutu CPO Malaysia lebih dapat diterima konsumen Eropa, seperti pencantuman kadar kandungan logam dalam klasifikasi mutu CPO yang telah diterapkan oleh Malaysia, sedangkan Indonesia, belum mampu memenuhi tuntutan ini. Walaupun demikian penampilan ekspor CPO Indonesia dari tahun-ketahun tetap mengalami kenaikan, baik terhadap perkembangan ekspor CPO dunia maupun terhadap perkembangan ekspor total


(3)

dengan analisis market share yang menggambarkan tingkat daya saing CPO Indonesia terhadap total ekspor Indonesia. Penampilan ekspor (export

performance) CPO Indonesia secara jelas dapat dilihat pada Tabel 8.2.

Tabel 8.2. Analisis Constant Market Share Ekspor CPO Indonesia 1991-1999 Tahun Pertumbuhan Ekspor CPO (%) Deviasi Efek Distribusi

Indonesia Dunia PS DP RS

1991 64,9 19,9 45,0 30,7 6,0 50,0

1992 6,3 13,3 -7,1 213,0 11,1 -147,8

1993 32,5 8,1 24,5 24,8 -19,9 119,0

1994 51,9 61,2 -9,2 117,7 -7,6 -13,0

1995 4,1 12,4 -8,3 300,6 61,8 -312,0

1996 10,4 -11,9 22,4 -114,4 8,3 202,9

1997 75,2 18,4 56,8 24,4 -2,9 61,8

1998 -48,5 12,7 -61,1 -26,2 -11,4 120,1

1999 49,5 -31,2 80,7 -63,1 -1,3 138,8

Sumber: World Bank (diolah)

PS = Pertumbuhan Standar DP = Distribusi Pasar RS = Residual (Daya Saing)

Deviasi positif antara pertumbuhan ekspor CPO Indonesia dan dunia selama periode penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekspor CPO Indonesia lebih tinggi daripada pertumbuhan ekspor CPO dunia, sedangkan deviasi negatif menunjukkan bahwa pada tahun-tahun tersebut (1992, 1994, 1995, dan 1998) pertumbuhan ekspor CPO Indonesia lebih rendah dari pertumbuhan ekspor CPO dunia.

Efek pertumbuhan standar ekspor CPO Indonesia bernilai positif kecuali tahun 1996, 1998, dan 1999. Efek pertumbuhan standar lebih banyak menentukan tingkat daya saing ekspor CPO Indonesia untuk periode 1991-1995. Hal ini mengindikasikan bahwa pada periode tersebut pertumbuhan ekspor CPO Indonesia lebih banyak memanfaatkan pertumbuhan ekspor CPO dunia. Disisi lain efek distribusi pasar lebih kecil, yang menggambarkan upaya ekspansi pasar ekspor CPO Indonesia sangat kecil. Sedangkan efek residual yang menggambarkan daya saing CPO Indonesia untuk tahun 1993 cukup besar. Hal ini menunjukkan bahwa daya saing CPO Indonesia pada tahun 1993 cukup kuat bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.


(4)

Sedangkan untuk periode 1996-1999, daya saing ekspor CPO Indonesia lebih banyak dijelaskan oleh efek residual yang menggambarkan daya saing. Artinya untuk periode tersebut daya saing ekspor CPO Indonesia cukup kuat, tetapi bukan karena pertumbuhan ekspor CPO dunia tinggi, atau karena ekspansi pasar yang lebih luas, akan tetapi lebih disebabkan oleh daya saing karena perubahan harga, atau peningkatan mutu. Kecenderungan peningkatan daya saing ekspor CPO Indonesia pada periode tersebut lebih disebabkan oleh penurunan harga CPO Indonesia yang dinilai dengan USD. Turunya harga ekspor CPO Indonesia tersebut akibat terjadinya depresiasi Rupiah terhadap USD, sebagai dampak krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997. Dengan harga yang lebih rendah tersebut konsumen CPO dunia melakukan impor CPO asal Indonesia dalam jumlah yang lebih besar.

Hasil analisis RCA menunjukkan bahwa indeks RCA ekspor CPO Indonesia dan Malaysia lebih besar dari satu (>1), berarti ekspor CPO asal Indonesia dan Malaysia mempunyai daya saing yang lebih besar dari rata-rata dunia. Artinya Indonesia dan Malaysia memiliki daya saing yang kuat dalam perdagangan CPO dunia. Dan apabila ekspor CPO antara Indonesia dan Malaysia dibandingkan, ternyata daya saing CPO Indonesia lebih rendah dari CPO Malaysia, yang ditunjukkan oleh indeks RCA Malaysia yang lebih tinggi dari Indonesia. Lebih jelas indeks RCA ekspor CPO asal Indonesia dan Malaysia, serta rasio Net export dan Total Trade dapat dilihat pada Tabel 8.3.

Tabel 8.3. Analisis Indeks RCA Ekspor CPO Indonesia dan Malaysia, 1990-1999

Tahun Nilai Eks. CPO*) Indeks RCA NE/TT (%)

Dunia Indonesia Malaysia Indonesia Malaysia Indonesia Malaysia

1990 0,07 0,79 4,73 11,22 66,91 92,74 99,13

1991 0,08 1,15 4,71 13,85 56,67 92,05 90,26

1992 0,09 1,05 4,64 11,94 52,73 51,70 93,93

1993 0,10 1,58 4,25 16,60 44,55 80,30 91,50

1994 0,14 1,79 4,83 13,21 35,63 85,59 93,37

1995 0,13 1,65 4,86 12,92 38,11 91,97 98,57

1996 0,11 1,66 4,21 15,55 39,52 87,06 99,57

1997 0,12 2,71 4,35 22,22 35,73 93,32 98,48

1998 0,14 1,53 5,64 10,93 40,42 96,87 97,96

1999 0,09 2,29 4,08 24,76 44,09 96,95 96,16

*) Share ekspor CPO terhadap total ekspor (%)


(5)

Indonesia dan Malaysia ternyata sama-sama memiliki keunggulan dalam aktifitas ekonomi CPO, yang digambarkan oleh perubahan persentase rasio ekspor bersih (net export) CPO dengan total perdagangan pada kedua negara tersebut. Rasio net ekspor dengan total perdagangan Indonesia yang lebih besar dari 80 persen kecuali 1992, menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai nilai ekspor CPO lebih besar dari nilai impor CPO.

Dari kedua indikator daya saing tersebut CMS dan RCA, dapat dikatakan bahwa CPO Indonesia memiliki daya saing yang kuat dalam perdagangan CPO dunia, tetapi masih lebih rendah dari daya saing CPO Malaysia. Rasio net ekspor dan total perdagangan terlihat bahwa Indonesia dan Malaysia sama-sama negara net eksportir. Dan pada tahun 1999 terlihat bahwa net ekspor Indonesia telah melampaui net eksportir Malaysia, hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki peluang besar untuk menyaingi Malaysia dalam ekspor CPO dunia.

E. Rangkuman

Keunggulan adalah adanya kelebihan yang melekat pada suatu komoditi yang dihasilkan suatu negara dibandingkan dengan komoditi serupa yang diproduksi di negara lain. Ada beberapa faktor yang menjadikan suatu komoditi mempunyai keunggulan tertentu, yaitu faktor alam (keunggulan absolut), faktor manajemen produksi yang mengakibatkan penggunaan biaya produksi yang rendah dan faktor penggunaan teknologi akan menciptakan keunggulan komparatif.

Keunggulan kompetitif ditentukan oleh 4 (empat) determinan, atau yang dikenal dengan Berlian Porter, yaitu: (a) keunggulan komparatif (factor

conditions), (b) permintaan pasar (demand conditions), (c) struktur industri dalam

negeri yang kuat, dalam arti adanya industri-industri pendukungan dan terkait, yang memungkinkan keterkaitan produksi antar industri dan spesialisasi berdasarkan distribusi kerja internasional, dan (d) struktur pasar dengan persaingan bebas sepenuhnya.

Constant Market Share (CMS) mengukur dinamika tingkat daya saing


(6)

apakah ekspor suatu komoditas mengalami peningkatan (expansions) atau penurunan (contraction) di pasaran dunia yang didasarkan pada pangsa (share)

pasar periode sebelumnya. CMS menggambarkan pertumbuhan ekspor dengan tiga efek komposisi, yaitu: (a) efek pertumbuhan standar (growth effect) yang mengambarkan keuntungan yang diperoleh suatu negara dari kegiatan ekspor yang dilakukan akibat pertumbuhan perdagangan komoditas tersebut di pasar dunia, (b) efek distribusi pasar (distribution market effect) yang menunjukkan kemampuan memfokuskan dan mempercepat pertumbuhan pasar ekspor suatu komoditas dari suatu negara, dan (c) efek sisa (residual effect) yang menggambarkan daya saing komoditas suatu negara di pasar ekspor.

Indeks RCA akan menggambarkan penampilan ekspor suatu komoditas dari suatu negara terhadap total ekspor negara tersebut dan terhadap total ekspor dunia. Indeks ini menunjukkan perbandingan antara pangsa ekspor komoditas atau sekelompok komoditas suatu negara terhadap pengsa ekspor komoditas tersebut dari seluruh dunia. Dengan kata lain Indeks RCA menunjukkan keunggulang komparatif (daya saing) ekspor dari suatu negara dalam suatu komoditas terhadap dunia.