Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Empati Antara Siswa Laki-Laki dan Perempuan pada Siswa Kelas IX SMP Negeri 3 Salatiga T1 132008010 BAB II

(1)

BAB II

LANDASAN TEORETIK

2.1 Pengertian Empati

Menurut Winkel dan Sri Hastuti (2004) empati yaitu mampu mendalami pikiran dan menghayati perasaan siswa, seolah-olah konselor pada saat ini menjadi siswa tanpa terbawa-bawa sendiri oleh semua itu dan kehilangan kesadaran akan pikiran serta perasaan pada diri sendiri. Dalam psikologi dan psikiatri yang berorientasikan humanistic, empati merupakan bagian penting dari teknik-teknik konseling. Rogers merupakan salah satu tokoh awal yang menunjukkan pentingnya empati dalam proses konseling (Cotton,2001). Rogers mengungkapkan berempati berarti mempersepsi kerangka pikir internal orang lain secara tepat mencakup unsur-unsur emosional dan cara-cara bertingkah laku, disertai dengan kepedulian seolah-olah diri sendiri adalah orang lain yang sedang dipersepsi tetapi tetapi tanpa kehilangan kesadaran sedang mengandaikan sebagai orang lain.

Inti empati yang praktis adalah mendengarkan dengan seksama dunia internal orang lain. Melibatkan pribadi utuh, termasuk pemahaman kognitif, dan respons tubuh, emosional, dan intuitif. Yang penting terkait dengan empati adalah menjadi sadar dengan keadaan internal seseorang‘seolah-olah’ Anda adalah dia, namun tanpa pernah kehilangan kesadaran keadaan internal anda sendiri. Dengan cara ini, kongruensi dan empati menjadi proses yang parallel.


(2)

Mengkomunikasikan empati adalah penting bagi klien agar tahu bahwa individu tersebut dipahami, dan bagi konselor untuk mengecek pemahamannya. Dampaknya, konselor mengatakan, “Beginilah saya merasakan itu bagi anda. Benarkah?” Walaupun klien seorang ahli, ia tetaplah klien, proses yang saling menguatkan. Respons empatik sering kali meliputi penyampaian kata-kata verbal apa yang didengar dan dirasakan, namun expresi wajah, nada suara, gerak-gerik dan kehadiran yang diam dan membisu bisa mempunyai arti dalam pemahaman konselor.

Pengalaman bisa didekati pada tahap yang berbeda dan, begitu pula dengan kongruensi, apa yang harus dikatakan dan kapan mengatakannya adalah isu utama. Merespons dengan aspek situasi permukaan ketika klien mengalami perasaan yang sangat mendalam, atau senaliknya, justru akan mengguncang proses eksplorasi karena tidak cukup dekat dengan pengalaman klien. Jika kita tetap menentukan tingkat respons empatik, maka kita juga membangun rasa aman. Tinggal ‘bersama’ klien dan kadang-kadang menangani hal-hal yang bisa dirasakan, namun tak benar-benar sepenuhnya terbentuk di alam kesadaran klien tersebut sebagai tinggal dengan tepian kesadaran. Hal itu membantu klien mengungkap aspek baru tentang dirinya, tanpa harus mencabut mereka dari wilayah atau perasaan di mana mereka terlibat didalamnya. (Palmer Stephen Ed.2011)


(3)

kata “einfulung” yang dipakai oleh para psikolog Jerman. Secara harfiah ia berarti “merasakan ke dalam”. Empati berasal dari kata Yunani “pathos”, yang berarti perasaan yang mendalam dan kuat yang mendekati penderitaan, dan kemudian diberi awalan “in”. Kata ini paralel dengan kata “ simpati “. Tetapi antara keduanya terdapat perbedaan. Bila simpati berarti merasakan bersama dan mungkin mengarah pada sentimentalitas, maka empati mengacu pada keadaan identifikasi kepribadian yang lebih mendalam kepada seseorang, sedemikian sehingga seseorang yang berempati sesaat melupakan/kehilangan identitas dirinya sendiri. Dalam proses empati yang mendalam dan misterius inilah berlangsung proses pengertian, pengaruh dan bentuk hubungan antar pribadi yang penting lainnya

Kalau mau merujuk pada teori kompetensi, tingkatan yang paling rendah adalah ketika individu baru dapat memahami ungkapan verbal, entah itu perasaan atau pikiran. Tingkatan menengahnya adalah ketika sudah dapat memahami isu kompleks yang ada di balik suatu percakapan; mampu mengerti penyebab yang kompleks dari perbuatan, pola kebiasaan ataupun masalah seseorang di masa lalu. Dan, yang paling tinggi adalah memahami lalu tergerak untuk memberikan bantuan nyata yang dibutuhkan orang itu berdasarkan keadaannya.

Empati ini sangat dibutuhkan. Jika dikaitkan dengan penjelasan sebelumnya, empati akan membuat setiap individu terbiasa menjadi orang yang tidak terlalu efektif dan tidak terlalu human. Empati akan membuat kita dapat memisahkan orang dan masalahnya dengan cepat; empati akan mendorong kita untuk lebih


(4)

melihat bagaimana menyelesaikan masalah ketimbang bagaimana menyerang orang (concerning on people).

Ada pemikiran dari Daniel Goleman (2001) soal melatih empati.” Untuk melatih empati, Goleman menyarankan lima hal, yaitu:

a. Cepat menangkap isi perasaan dan pikiran orang lain (under-standing others).

b. Memberikan pelayanan yang dibutuhkan orang lain (service orientation).

c. Memberikan masukan-masukan positif atau membangun orang lain (developing others).

d. Mengambil manfaat dari perbedaan, bukan menciptakan konflik dari perbedaan (leveraging diversity).

e. Memahami aturan main yang tertulis atau yang tidak tertulis dalam hubungan kita dengan orang lain (political awareness).

Egan (1975, dalam Ivey et al, 1987) membedakan dua tipe untuk memahami “emphatic understanding”,yakni :

a. Empati primer, adalah empati sebagaimana dikemukakan oleh Rogers. Membentuk fondasi dan atmosfer inti helping relationship. Termasuk mendengarkan semua pesan dan meresponnya. Kemampuan paraphrasing dan merefleksikan perasaan konselor dengan baik akan memulai dasar empati untuk memahami klien.


(5)

Contoh perkataan : “ Sekarang saya bisa merasakan betapa sedih Anda pada waktu itu”.

b. Empati lanjutan (advanced accurate emphaty)

Memahami hal yang tersembunyi dari klien, bentuk dasar dari empati lanjutan adalah memberi respon dan pemahaman terhadap hal yang tidak langsung dikatakan klien. Di mana konselor memberikan lebih dari dirinya dan seringkali membutuhkan upaya langsung untuk mempengaruhi klien. Karena informasi itu selalu subjektif bagi interpretasi individu, konselor harus menyusun kembali situasi, kepercayaan, atau pengalaman untuk membantu klien melihatnya dari perspektif yang berbeda dan mengecek apakah interpretasi itu sudah benar.

Advanced emphaty lebih kritis, mendalam, dan membahas masalah yang sensitif oleh karena itu dapat menyebabkan klien bertambah stress. Untuk mencegah klien mengalami emosi berlebihan dan melakukan perlawanan respon empati konselor harus bersifat sementara dan hati-hati.

Contoh perkataan :

“ Saya akan merasa sedih juga” ; ”Dari apa yang kamu katakan...” ; ” Apakah hal ini ...?” ; ”Sepertinya hal ini ...”

Menurut Rogers (dalam Gunarsa Singgih, 1992), empati bukan hanya sesuatu yang bersifat kognitif namun meliputi emosi dan pengalaman. Juga diartikan sebagai usaha menglami dunia klien sebagaimana klien mengalaminya. Karena


(6)

itu, seorang kenselor harus berusaha memahami pengalaman klien dari sudut klien itu sendiri. Rogers mengemukakan tentang emphatic understanding, yakni kemampuan untuk memasuki dunia pribadi orang. Emphatic understanding merupakan salah satu dari tiga atribut yang harus dimiliki oleh seorang terapis dalam usaha mengubah perilaku klien. Atribut yang lain yaitu kewajaran atau keadaan sebenarnya (realness) dan menerima (acceptance) atau memperhatikan (care).

a. Tanpa empati, tidak mungkin ada pengertian. Memahami secara empati merupakan kemampuan seseorang untuk memahami cara pandang dan perasaan orang lain. Memahami secara empati bukanlah memahami orang lain secara objektif, tetapi sebaliknya berusaha memahami pikiran dan perasaan orang lain dengan cara orang lain tersebut berpikir dan merasakan atau melihat dirinya sendiri. Memahami klien berdasarkan kerangka persepsi dan perasaan klien sendiri oleh Rogers disebut internal frame of reference, artinya menggunakan kerangka pemikiran internal. b. Menurut Rogers empati konselor sebagai salah satu factor kunci yang

membantu klien untuk memecahkan masalah personalnya. Ketika individu mulai berempati kepada orang lain, individu meletakkan diri individu tersebut“in their shoes”, melihat dunia dari mataindidu tersebut, membayangkan bagaimana bila menjadi individu yang lain, dan berusaha merasakan apa yang individu lain rasakan.


(7)

c. Faktor sosial dan budaya (seperti gender, etnis, perbedaan kultur) mempunyai pengaruh dalam pengekspresian emosi. Faktor ini mempengaruhi cara bagaimana konselor merespon secara emosional. d. Jika klien merasa dimengerti, maka individu tersebut akan lebih mudah

membuka diri untuk mengungkapkan pengalamanya dan berbagi pengalaman tersebut dengan orang lain. Klien yang membagi pengalamannya secara mendalam memungkinkan untuk menilai kapan dan di mana individu tersebut membutuhkan dukungan, dan potensi kesulitan yang membutuhkan fokus untuk rencana perubahan.

Saat klien melihat empati pada diri konselor, klien tersebut akan lebih nyaman untuk dan tidak melakukan defend seperti penyangkalan, penarikan diri, dll. Artinya empati konselor mampu memfasilitsi perubahan pada klien. Sebaliknya akan lebih mau membuka diri terhadap dunia luar dengan cara yang lebih konstruktif. Karena itulah istilah empati ditambah menjadi perkataan “emphatic understanding”.

2.2 Aspek Pada Empati

Menurut Eisenberg (2002) dalam aspek empati, bahwa dalam proses individu berempati melibatkan aspek afektif dan kognitif. Aspek afektif merupakan kecenderungan seseorang untuk mengalami perasaan emosional orang lain yaitu ikut merasakan ketika orang lain merasa sedih, menangis, terluka, menderita, bahkan disakiti. Sedangkan aspek kognitif dalam empati difokuskan pada proses intelektual untuk memahami prespektif orang lain dengan tepat dan menerima


(8)

pandangan mereka misalnya membayangkan perasaan orang lain ketika marah, kecewa, senang, memahami keadaan orang lain dari cara berbicara, dari raut wajah, cara pandang dalam dalam berpendapat.

Dari komponen kognitif diturunkan aspek perspective taking dan fantasy :

a. Perspective taking adalah kecenderungan individu untuk mengambil alih secara spontan sudut pandang orang lain.

b. Fantasy adalah kecenderungan individu untuk mengubah pola diri secara imajinatif ke dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dari karakter-karakter khayalan pada buku, film, permainan atau orang lain.

Dari komponen afektif diturunkan aspek empatjic concern dan personel distress : a. Empathic concern merupakan perasaan simpati dan perhatian terhadap orang

lain, khususnya untuk berbagi pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain.

b. Personal Distress adalah reaksi pribadi terhadap penderitaan orang lain yang meliputi perasaan terkejut, takut, cemas, prihatin dan tidak berdaya.

2.3 Empati Laki-Laki dan Perempuan

Pada manusia, ini berarti bahwa anak yang baru lahir secara otomatis akan mulai menangis jika mendengar rekan-rekan lain untuk menangis. Jadi ketika melihat seseorang yang tersenyum sehingga individu merasa umumnya lebih bahagia ketika individu melihat seseorang yang tampak marah individu akan merasa sering lebih marah atau lebih takut.


(9)

Pada usia satu dan dua tahun, anak mulai dapat membedakan antara dirinya dengan orang lain, mulai dapat membedakan kesusahan yang dirasakan oleh dirinya dan bukan dari orang lain atau sebaliknya. Seiring dengan pertumbuhan kognitif, anak mulai mengenali kesedihan pada orang lain dan mampu menyesuaikan kepeduliannya dengan perilaku yang tepat. Perilaku empati anak perempuan dan laki-laki mempunyai status sosial yang sama, hanya saja bentuk empati antara perempuan dan laki-laki berbeda.

Perilaku empati pada anak perempuan terlihat pada anak yang membantu adiknya meredam kesedihan, sedangkan pada anak laki-laki seperti membantu temannya mengendarai sepeda. Pria empati lebih baik pada pria budaya pop biasanya digambarkan sebagai lebih egois daripada wanita ketika datang ke aktivitas asmara, tapi budaya pop bisa sangat bodoh. Lebih menenangkan, sebuah studi baru menunjukkan banyak sangat fokus pada memastikan pasangan mereka menikmati dirinya sendiri.

Penelitian yang dilakukan oleh Maccoby dan Jacklin (1974) menunjukkan bahwa pada usia awal perkembangan anak laki- laki lebih banyak menunjukkan sikap empati dari pada anak perempuan. Namun demikian, seiring dengan perkembangannya perempuan lebih banyak menunjukkan empati dari pada laki-laki.

Pola pengasuhan memengaruhi kepribadian anak ketika tumbuh dewasa. Anak laki-laki yang dididik dengan baik dan benar sejak belia, akan tumbuh menjadi pribadi yang membanggakan dan dapat diandalkan oleh keluarganya.


(10)

Orang tua perlu membekali anak, terutama anak laki-laki, dengan empati sejak belia. Anak laki-laki yang semasa tumbuh kembangnya terlatih berempati, ia akan tampil sebagai pribadi yang memahami perasaan orang lain. Pribadi penuh empati seperti ini memudahkan ia untuk berteman, dan menjadikannya sebagai calon suami dan ayah yang baik untuk keluarganya kelak. Dalam perkembangannya, empati sudah ada sejak usia awal, yang ditunjukkan melalui reaksi fasial, kemudian mengalami perkembangan sejalan dengan pertambahan usia (Levine dan Hoffman, 1975), elaborasi kognisi (Hoffman, 1976). Jika dalam perjalanannya ternyata antara satu orang dengan yang lainnya memiliki perbedaan dalam memberikan atau menerima reaksi empati, hal itu dikarenakan oleh (a) perbedaan jenis kelamin, (b) perbedaan self esteem dan (c) tuntutan keluarga.

2.4 Proses Perkembangan Empati

Menurut Eisenberg (2002) ada lima factor yang mempengaruhi proses perkembangan empati pada diri seseorang yaitu:

a. Pola Asuh

(1) Pola Asuh Demokratis

Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga


(11)

berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.

(2) Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter adalah suatu bentuk pola asuh yang menuntut anak agar patuh dan tunduk terhadap semua perintah dan aturan yang dibuat oleh orang tua tanpa ada kebebasan untuk bertanya atau mengemukakan pendapatnya sendiri. Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah dan menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. (3) Pola Asuh Permisif

Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.

(4) Pola Asuh Penelantar

Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga kadangkala biaya pun dihemat-hemat untuk anak mereka.


(12)

b. Kebutuhan

Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi akan mempunyai tingkat empati dan nilai prososial yang rendah, sedangkan individu yang memiliki kebutuhan afiliasi yang rendah akan mempunyai tingkat empati yang tinggi.

c. Jenis Kelamin

Perempuan mempunyai tingkat empati yang lebih tinggi dari pada laki-laki. Persepsi ini didasarkan ada kepercayaan bahwa perempuan lebih nurturance (bersifat memelihara) dan lebih berorientasi interpersonal dibandingkan laki-laki. Untuk respon empati, mendapatkan hasil bahwa anak perempuan lebih empatik dalam merespon secara verbal keadaan distress orang lain. Empati adalah merupakan ciri khas dari wanita yang lebih peka terhadap emosi orang lain dan bias lebih mengungkapkan emosinya dibandingkan laki-laki (Koestner, 1990)

Ada persamaan yang dimiliki laki-laki maupun perempuan dalam empati, yaitu adanya respons dari otak (pemindaian otak untuk menyelidiki reaksi terhadap suatu yang “menyentuh) ketika melihat seseorang yang sedang mengalami perasaan senang atau sedih. Hal ini dikemukakan oleh Dr. Klaas Enoo Stephen (2008).

Kemampuan berempati akan semakin bertambah dengan meningkatnya usia. Sealanjutnya Koestner (1990) menyatakan bahwa


(13)

semakin tua seseorang semakin baik kemampuan empatinya dikarenakan pemahaman persoektif.

d. Derajat Kematangan Psikis

Empati juga dipengaruhi oleh derajat kematangan. Derajat kematangan adalah besarnya kemampuan dalam memandang, menempatkan diri pada perasaan orang lain serta melihat kenyataan dengan empati secara proporsional. Derajat kematangan seseorang akan sangat mempengaruhi kemampuan empatinya terhadap orang lain. Seseorang dengan derajat kematangan yang baik akan mampu untuk menampilkan empati yang tinggi pula.

e. Sosialisasi

Sosialisasi merupakan proses melatih kepekaan diri terhadap rangsangan social yang berhubungan dengan empati dan sesuai dengan norma, nilai atau harapan social. Sosialisasi memungkinkan seseorang dapat mengalami empati artinya mengarahkan seseorang untuk melihat keadaan orang lain dan berfikir tentang orang lain. Sosialisasi menjadi dasar penting dalam berempati karena dapat melahirkan sikap empati pada anak, kepekaan social juga berpengaruh pada perkembangan empati anak terhadap lingkungan.

Betapa pentingnya empati itu dalam kehidupan sehari-hari, karena akan menjaga bagaimana mengatur perasaan individu terhadap orang lain, tidak


(14)

sembarangan dan tidak sembrono, karena mereka juga manusia, tetangga juga manusia, polisi juga manusia, dokter juga manusia, guru juga manusia, tokoh agama juga manusia, maka kita harus saling menghormati satu sama lain, saling menyayangi satu sama lain, saling tolong satu sama lain. Respons empati, terutama untuk menolong orang lain yang sedang kesusahan.

Empati adalah sikap atau perilaku memahami sesuatu dari sudut pandang atau perasaan orang lain. Sikap-sikap sejenis tidak peduli, egois, cuek, hanya memikirkan diri sendiri merupakan cerminan rendahnya empati. Dalam banyak kasus, tipisnya empati ini dapat menjadi penyulut beragam konflik. Berbeda dengan simpati yang lebih merujuk pada ekspresi ataupun tindakan mengasihani seseorang, empati lebih merupakan upaya memahami posisi seseorang dan apa yang sedang dirasakannya. Empati, karenanya, lebih dari sekadar rasa kasihan. Di dalamnya terkandung maksud untuk menghargai dan menghormati orang di sekitarnya. Kunci untuk memahami persaan orang lain adalah mampu membaca pesan nonverbal :

1. nada bicara 3. ekpresi

2. gerak-gerik 4. wajah dan sebagainya

Upaya yang dilakukan dalam mengembangkan empati menurut Eisenberg (2002) upaya-upaya tersebut antara lain :


(15)

a. Menyadari sepenuhnya emosi, semakin terbuka seseorang dalam emosinya maka akan semakin ia membaca perasaan seseorang. b. Belajar mendengar pendapat orang lain, memberikan kesempatan

kepada orang lain untuk menyelesaikan apa yang dikatakannya kemudian mengajukan pertanyaan sebelum memberikan penilaian. c. Memperhatikan orang lain di jalan, di restoran dan bus dan

mencoba memahami perasaan melalui raut mukanya.

d. Menilai orang lain tidak hanya didasarkan pada tampak luar saja. Mengetahui sikap dasar seseorang, melalui pembicaraan dan tanya jawab yang menarik.

e. Melihat film pendek di televisi dan mencoba memperkirakan pokok persoalan yang dibicarakan. Untuk itu setiap diri perlu menempatkan diri dalam adekan itu.

f. Role play atau bermain peran. Teknik bermain peran dinilai sebagai tehnik yang efektif dan akan membantu seseorang membentuk pemahaman yang lebih dalam.

g. Menganalisis perbedaan dalam suatu pembicaraan yang bertentangan dengan pendapat yang kita sampaikan.

h. Bertanya pada diri sendiri mengapa dalam situasi tertentu memberikan reaksi tertentu untuk mengetahui latar belakang tingkah laku sendiri, akan mudah untuk menempatkan diri dalam kedudukan orang lain.


(16)

i. Mencari sebab-sebab dalam diri sendiri ketika tidak menyukai seseorang.

j. Mencoba mencari sebanyak mungkin keterangan tentang seseorang sebelum melakukan penilaian terhadap orang itu. Jika kita mengetahui mengapa seseorang mempunyai tingkah laku tertentu, maka kita akan dapat menilainya dengan lebih cepat dan bagaimana sikap kita terhadapnya akan menjadi lebih sesuai. k. Mengingat setiap orang dipengaruhi oelh perasaan dan periakunya. 2.5 Empati dalam Bimbingan dan Konseling

Seorang siswa membutuhkan pendidikan yang benar dan berhasil tidak sekedar membekali para siswa dengan kepiawaian akademik yang mungkin membatu meningkatkan empati kognitif, melainkan juga mengoreksi dan memperbaiki defisiensi empatinya. Guru pembimbing harus tanggap empatik yang tepat terhadap siswa yang memerlukan serta merawat dalam kerangka menumbuh-kembangkan kemampuan empati emosional para siswa (Trusty, Ng & Wattis, 2005). Empati perlu ditumbuh-kembangkan dalam iklim relasi pada setiap pendidikan-pelatihan para siswa agar iklim relasi ini dapat berperan korektif terhadap kemungkinan empati pada para siswa serta berperan menumbuh-kembangkan kemampuan empati setiap siswa.

Dalam bimbingan dan konseling empati adalah sebuah kemampuan untuk melihat, memahami, dan merasakan sesuatu hal yang terjadipada diri orang


(17)

Agar dapat membantu siswa, maka guru pembimbing harus dapat memahami diri dan dunia siswanya dari sudut pandang siswa. Guru pembimbing memberikan keyakinan pada diri siswa bahwa guru pembimbing memahami keadaan dan perasaan siswa yang unik. Bahkan sering kali siswa berusaha menutupi sebagian besar diri mereka. Siswa jarang menampilkan dunia dalam diri mereka kecuali terhadap orang yang mereka percayai. Orang yang mendapatkan kepercayaan ini adalah orang yang dapat membantu dan merasakan isi pikiran pengalaman hidup maupun perasaan mereka. Keberhasilan konseling sangat ditentukan oleh kemampuan guru pembimbing dalam berempati. Jika guru pembimbing mampu berempati terhadap siswa, maka siswa nantinya akan lebih terbuka . dengan demikian konseling pun akan berjalan dengan lebih lancer (Willis, 2004).

Ketrampilan melakukan empati harus selalu dilatih, agar sebagai guru pembimbing tetap peka terhadap berbagai emosi yang dirasakan siswa dan mudah dalam memahami isis atau jalan pikiran mereka. Latihan berempati melibatkan kemampuan memasuki dunia siswa melalui angkapan-ungkapan empati yang sekiranya dapat menyentuh perasaan dan memperlihatkam pada siswa akan kepedulian guru pembimbing. Kemampuan guru pembimbing melakukan empati akan membuat siswa bersikap terbuka. Dengan demikian, siswa akan bersedia mengungkapkan dunia dalam dirinya dengan cara yang jauh lebih baik. Dunia dalam diri ini berbentuk pikiran, emosi, maupun pengalaman hidupnya yang tersembunyi, dan bahkan sisi kelam dalam dirinya (Willis, 2004)


(18)

2.6 Penelitian yang Terkait

Penelitian Hadjar (2006) berjudul “Perbedaan Empati Siswa Laki-Laki Dengan Siswa Perempuan Reguler Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus”yang menggunakan rancangan penelitian deskriptif, dengan subjek penelitian berjumlah 90 siswa regular usia 12-17 tahun. Hasilnya menunjukkan ada perbedaan signifikan empati baik afektif maupun kognitif antara siswa laki-laki dan perempuan. Dengan hasil empati pada aspek afektif siswa perempuan berjumlah 53 siswa dengan persentase 56,7%. Sedangkan klasifikasi rendah berjumlah 37 siswa laki-laki dengan persentase 43,3%. Dan pada aspek kognitif menunjukkan 80,4% siswa perempuan mampu memahami dan berfikir siswa berkebutuhan khusus dan mengerti bahwa berkelakuan khusus memiliki cara yang berbeda-beda dalam menyelesaikan masalahnya., sedangkan siswa laki-laki hanya menunjukkan 19,6% dalam memahami cara berfikir siswa berkebutuhan khusus.

Toussant (2005), dalam penelitian menunjukkan hasil bahwa wanita lebih berempatik dari pada pria. Namun, perempuan dan laki-laki sama-sama memaafkan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan dimana perempuan lebih empatik dari pada laki-laki, dan ada perbedaan antara empati dan permintaan maaf berdasarkan gender.

2.7 Hipotesa

Hipotesa dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:


(1)

semakin tua seseorang semakin baik kemampuan empatinya dikarenakan pemahaman persoektif.

d. Derajat Kematangan Psikis

Empati juga dipengaruhi oleh derajat kematangan. Derajat kematangan adalah besarnya kemampuan dalam memandang, menempatkan diri pada perasaan orang lain serta melihat kenyataan dengan empati secara proporsional. Derajat kematangan seseorang akan sangat mempengaruhi kemampuan empatinya terhadap orang lain. Seseorang dengan derajat kematangan yang baik akan mampu untuk menampilkan empati yang tinggi pula.

e. Sosialisasi

Sosialisasi merupakan proses melatih kepekaan diri terhadap rangsangan social yang berhubungan dengan empati dan sesuai dengan norma, nilai atau harapan social. Sosialisasi memungkinkan seseorang dapat mengalami empati artinya mengarahkan seseorang untuk melihat keadaan orang lain dan berfikir tentang orang lain. Sosialisasi menjadi dasar penting dalam berempati karena dapat melahirkan sikap empati pada anak, kepekaan social juga berpengaruh pada perkembangan empati anak terhadap lingkungan.

Betapa pentingnya empati itu dalam kehidupan sehari-hari, karena akan menjaga bagaimana mengatur perasaan individu terhadap orang lain, tidak


(2)

sembarangan dan tidak sembrono, karena mereka juga manusia, tetangga juga manusia, polisi juga manusia, dokter juga manusia, guru juga manusia, tokoh agama juga manusia, maka kita harus saling menghormati satu sama lain, saling menyayangi satu sama lain, saling tolong satu sama lain. Respons empati, terutama untuk menolong orang lain yang sedang kesusahan.

Empati adalah sikap atau perilaku memahami sesuatu dari sudut pandang atau perasaan orang lain. Sikap-sikap sejenis tidak peduli, egois, cuek, hanya memikirkan diri sendiri merupakan cerminan rendahnya empati. Dalam banyak kasus, tipisnya empati ini dapat menjadi penyulut beragam konflik. Berbeda dengan simpati yang lebih merujuk pada ekspresi ataupun tindakan mengasihani seseorang, empati lebih merupakan upaya memahami posisi seseorang dan apa yang sedang dirasakannya. Empati, karenanya, lebih dari sekadar rasa kasihan. Di dalamnya terkandung maksud untuk menghargai dan menghormati orang di sekitarnya. Kunci untuk memahami persaan orang lain adalah mampu membaca pesan nonverbal :

1. nada bicara 3. ekpresi

2. gerak-gerik 4. wajah dan sebagainya

Upaya yang dilakukan dalam mengembangkan empati menurut Eisenberg (2002) upaya-upaya tersebut antara lain :


(3)

a. Menyadari sepenuhnya emosi, semakin terbuka seseorang dalam emosinya maka akan semakin ia membaca perasaan seseorang. b. Belajar mendengar pendapat orang lain, memberikan kesempatan

kepada orang lain untuk menyelesaikan apa yang dikatakannya kemudian mengajukan pertanyaan sebelum memberikan penilaian. c. Memperhatikan orang lain di jalan, di restoran dan bus dan

mencoba memahami perasaan melalui raut mukanya.

d. Menilai orang lain tidak hanya didasarkan pada tampak luar saja. Mengetahui sikap dasar seseorang, melalui pembicaraan dan tanya jawab yang menarik.

e. Melihat film pendek di televisi dan mencoba memperkirakan pokok persoalan yang dibicarakan. Untuk itu setiap diri perlu menempatkan diri dalam adekan itu.

f. Role play atau bermain peran. Teknik bermain peran dinilai sebagai tehnik yang efektif dan akan membantu seseorang membentuk pemahaman yang lebih dalam.

g. Menganalisis perbedaan dalam suatu pembicaraan yang bertentangan dengan pendapat yang kita sampaikan.

h. Bertanya pada diri sendiri mengapa dalam situasi tertentu memberikan reaksi tertentu untuk mengetahui latar belakang tingkah laku sendiri, akan mudah untuk menempatkan diri dalam


(4)

i. Mencari sebab-sebab dalam diri sendiri ketika tidak menyukai seseorang.

j. Mencoba mencari sebanyak mungkin keterangan tentang seseorang sebelum melakukan penilaian terhadap orang itu. Jika kita mengetahui mengapa seseorang mempunyai tingkah laku tertentu, maka kita akan dapat menilainya dengan lebih cepat dan bagaimana sikap kita terhadapnya akan menjadi lebih sesuai. k. Mengingat setiap orang dipengaruhi oelh perasaan dan periakunya. 2.5 Empati dalam Bimbingan dan Konseling

Seorang siswa membutuhkan pendidikan yang benar dan berhasil tidak sekedar membekali para siswa dengan kepiawaian akademik yang mungkin membatu meningkatkan empati kognitif, melainkan juga mengoreksi dan memperbaiki defisiensi empatinya. Guru pembimbing harus tanggap empatik yang tepat terhadap siswa yang memerlukan serta merawat dalam kerangka menumbuh-kembangkan kemampuan empati emosional para siswa (Trusty, Ng & Wattis, 2005). Empati perlu ditumbuh-kembangkan dalam iklim relasi pada setiap pendidikan-pelatihan para siswa agar iklim relasi ini dapat berperan korektif terhadap kemungkinan empati pada para siswa serta berperan menumbuh-kembangkan kemampuan empati setiap siswa.

Dalam bimbingan dan konseling empati adalah sebuah kemampuan untuk melihat, memahami, dan merasakan sesuatu hal yang terjadipada diri orang laindari sudut pandang orang lain tersebut, bukan dari sudut pandang pribadi.


(5)

Agar dapat membantu siswa, maka guru pembimbing harus dapat memahami diri dan dunia siswanya dari sudut pandang siswa. Guru pembimbing memberikan keyakinan pada diri siswa bahwa guru pembimbing memahami keadaan dan perasaan siswa yang unik. Bahkan sering kali siswa berusaha menutupi sebagian besar diri mereka. Siswa jarang menampilkan dunia dalam diri mereka kecuali terhadap orang yang mereka percayai. Orang yang mendapatkan kepercayaan ini adalah orang yang dapat membantu dan merasakan isi pikiran pengalaman hidup maupun perasaan mereka. Keberhasilan konseling sangat ditentukan oleh kemampuan guru pembimbing dalam berempati. Jika guru pembimbing mampu berempati terhadap siswa, maka siswa nantinya akan lebih terbuka . dengan demikian konseling pun akan berjalan dengan lebih lancer (Willis, 2004).

Ketrampilan melakukan empati harus selalu dilatih, agar sebagai guru pembimbing tetap peka terhadap berbagai emosi yang dirasakan siswa dan mudah dalam memahami isis atau jalan pikiran mereka. Latihan berempati melibatkan kemampuan memasuki dunia siswa melalui angkapan-ungkapan empati yang sekiranya dapat menyentuh perasaan dan memperlihatkam pada siswa akan kepedulian guru pembimbing. Kemampuan guru pembimbing melakukan empati akan membuat siswa bersikap terbuka. Dengan demikian, siswa akan bersedia mengungkapkan dunia dalam dirinya dengan cara yang jauh lebih baik. Dunia dalam diri ini berbentuk pikiran, emosi, maupun pengalaman hidupnya yang tersembunyi, dan bahkan sisi kelam dalam dirinya (Willis, 2004)


(6)

2.6 Penelitian yang Terkait

Penelitian Hadjar (2006) berjudul “Perbedaan Empati Siswa Laki-Laki Dengan Siswa Perempuan Reguler Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus”yang menggunakan rancangan penelitian deskriptif, dengan subjek penelitian berjumlah 90 siswa regular usia 12-17 tahun. Hasilnya menunjukkan ada perbedaan signifikan empati baik afektif maupun kognitif antara siswa laki-laki dan perempuan. Dengan hasil empati pada aspek afektif siswa perempuan berjumlah 53 siswa dengan persentase 56,7%. Sedangkan klasifikasi rendah berjumlah 37 siswa laki-laki dengan persentase 43,3%. Dan pada aspek kognitif menunjukkan 80,4% siswa perempuan mampu memahami dan berfikir siswa berkebutuhan khusus dan mengerti bahwa berkelakuan khusus memiliki cara yang berbeda-beda dalam menyelesaikan masalahnya., sedangkan siswa laki-laki hanya menunjukkan 19,6% dalam memahami cara berfikir siswa berkebutuhan khusus.

Toussant (2005), dalam penelitian menunjukkan hasil bahwa wanita lebih berempatik dari pada pria. Namun, perempuan dan laki-laki sama-sama memaafkan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan dimana perempuan lebih empatik dari pada laki-laki, dan ada perbedaan antara empati dan permintaan maaf berdasarkan gender.

2.7 Hipotesa

Hipotesa dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

“Ada perbedaan yang signifikan empati antara siswa laki-laki dengan empati siswa perempuan di kelas IX SMP Negeri 3 Salatiga.”


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Kecerdasan Spasial antara Siswa Laki-Laki dan Siswa Perempuan pada Kelas X SMA Negeri 1 Salatiga T1 202012064 BAB I

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Kecerdasan Spasial antara Siswa Laki-Laki dan Siswa Perempuan pada Kelas X SMA Negeri 1 Salatiga T1 202012064 BAB II

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Kecerdasan Spasial antara Siswa Laki-Laki dan Siswa Perempuan pada Kelas X SMA Negeri 1 Salatiga T1 202012064 BAB IV

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Kecerdasan Spasial antara Siswa Laki-Laki dan Siswa Perempuan pada Kelas X SMA Negeri 1 Salatiga T1 202012064 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Kecerdasan Spasial antara Siswa Laki-Laki dan Siswa Perempuan pada Kelas X SMA Negeri 1 Salatiga

0 1 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Empati Antara Siswa Laki-Laki dan Perempuan pada Siswa Kelas IX SMP Negeri 3 Salatiga

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Empati Antara Siswa Laki-Laki dan Perempuan pada Siswa Kelas IX SMP Negeri 3 Salatiga T1 132008010 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Empati Antara Siswa Laki-Laki dan Perempuan pada Siswa Kelas IX SMP Negeri 3 Salatiga T1 132008010 BAB IV

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Empati Antara Siswa Laki-Laki dan Perempuan pada Siswa Kelas IX SMP Negeri 3 Salatiga T1 132008010 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Empati Antara Siswa Laki-Laki dan Perempuan pada Siswa Kelas IX SMP Negeri 3 Salatiga

0 1 10