ANALISIS KEBIJAKAN FRAMEWORK CONVENTION ON TOBACCO CONTROL TERKAIT PEREDARAN TEMBAKAU DI INDONESIA.

(1)

i

SKRIPSI

ANALISIS KEBIJAKAN

FRAMEWORK CONVENTION

ON TOBACCO CONTROL

TERKAIT PEREDARAN

TEMBAKAU DI INDONESIA

NI MADE KRISNAWATI NIM. 1203005018

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

SKRIPSI

ANALISIS KEBIJAKAN

FRAMEWORK CONVENTION

ON TOBACCO CONTROL

TERKAIT PEREDARAN

TEMBAKAU DI INDONESIA

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

NI MADE KRISNAWATI NIM. 1203005018

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

(4)

(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas Asung Kertha Wara Nugraha-Nya, skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Adapun judul skripsi ini adalah “Analisis Kebijakan Framework Convention On Tobacco Control Terkait Peredaran Tembakau Di Indonesia”. Skripsi ini diajukan sebagai kewajiban dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Penulis menyadari bahwa penyusunan dan penyelesaian skripsi ini dapat berhasil dengan baik berkat arahan, bimbingan, dukungan, masukan dan saran dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktunya dalam penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan ini izinkanlah penulis menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH, Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH.,MH, Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH.,MH, Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, SH.,MH, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak,Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH, Ketua Bagian Hukum Internasional serta Bapak


(6)

vi

6. Bapak I Gede Putra Ariana, SH.,M.Kn Sekretaris Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan semangat dan petunjuk yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. BapakDr. Tuni Cakrabawa Landra, SH.,M.Hum, Dosen Pembimbing I dalam penyusunan skripsi ini, yang telah memberi arahan, bimbingan, dukungan, saran dan petunjuk yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Bapak Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH, Dosen Pembimbing II dalam penyusunan skripsi ini, yang telah meluangkan banyak waktu dan telah dengan sabar memberi arahan, bimbingan, dukungan, masukan dan saran serta petunjuk yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Ir. I Wayan Budiartana dan Ni Wayan Wati, SE selaku orang tua penulis yang senantiasa sabar dan tak pernah berhenti memberikan dukungan demi rampungnya skripsi ini,

10.I Wayan Pasek Budisetiawan selaku saudara penulis, yang selalu memberikan motivasi-motivasi penyemangat pada saat jenuh maupun suntuk.

11.A.A Ngurah Maha Putra yang selama ini selalu memotifasi dan penyemangat untuk menyelsaikan skripsi ini.


(7)

vii

12.Bapak Suatra Putrawan .SH.,MH, Dosen Pembimbing Akademik penulis yang senantiasa mengarahkan dan membimbing penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

13.Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah sangat berjasa memberikan ilmu pengetahuan selama penulis duduk di bangku perkuliahan.

14.Seluruh Staff Administrasi dan Pegawai di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

15.Para sahabat Dewi Lestari, Maria Margeratha C.N.B.L, Yulistya Dewi, Sulbianti, Leona, Nanda, Grace Amelia, Nitayanti yang selalu memberi semangat dan sahabat penghilang lelah.

16.Keluarga Besar Perum BULOG, Ibu Cok Istri Muthiana, Ibu Mety, Bapak Ketut Ginada, Ibu Karni, Bapak Made Kawan, Komang Candra, Pak Arnawa, Ahmad, Ilham, Panji, Andri Charlie dan seluruh pegawai BULOG yang telah mendukung dan memberikan saya kesempatan untuk bekerja dan menyelesaikan skripsi ini.

17.Keluarga besar, Student Community for International Law, tempat saya menempa soft skill dan menimba pengalaman yang tak kalah berguna dan sangat bermanfaat dalam penyusunan dan perampungan tugas akhir ini.


(8)

viii

Akhirnya, dengan menyadari keterbatasan dan ketidaksempurnaan skripsi ini, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.Semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh pembaca dan bagi kemajuan ilmu hukum.

Denpasar, 29 Februari 2016


(9)

ix

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 10

1.3. Ruang Lingkup Masalah... 10

1.4. Orisinalitas Penelitian ... 11

1.5. Tujuan Penelitian ... 12

a. Tujuan Umum ... 13

b. Tujuan Khusus ... 13

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM...ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...iii

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI...iv

KATA PENGANTAR...v

DAFTAR ISI...ix

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN...xii

ABSTRAK...xiii


(10)

x

1.6. Manfaat Penelitian ... 13

1.6.1 Manfaat Teoritis... 13

1.6.2 Manfaat Praktis ... 13

1.7. Landasan Teoritis ... 14

1.7.1 Teori Kerjasama Internasional ... 15

1.7.2 Teori Universalitas Hak Asasi Manusia ... 15

1.7.3 Teori Kebijakan Luar Negeri ... 16

1.8. Metode Penelitian ... 17

1.8.1 Jenis Penelitian ... 17

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 18

1.8.3 Sumber Bahan Hukum ... 19

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 20

1.8.5 Teknik Analisa Bahan Hukum... 20

BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Latar belakang Framework Convention on Tobacco Contro 2.1.1 Pengertian Framework Convention on Tobacco Control ... 21

2.1.2 Sejarah dibentuknya Framework Convention on Tobacco Control ... 21

2.2 Substasi yang diaturdalamFramework Convention on Tobacco Control ... 23

2.2.1 Epidemi tembakau ... 29


(11)

xi

2.3.1 Perjanjian Internasional ... 31

2.3.2 Ratifikasi ... 34

BAB III KEBIJAKAN FRAMEWORK CONVENTION ON TOBACCOCONTROL DALAM MENGENDALIKAN PEREDARANTEMBAKAU DI DUNIA 3.1 Pengaturan Pengendalian Tembakau di Beberapa Negara...46

3.1.1 Penerapan FCTC di India ... 46

3.1.2 Penerapan FCTC di Malaysia ... 48

3.1.3 Penerapan FCTC di Thailand ... 49

3.1.4 Penerapan FCTCdi Australia ... 50

3.2 Dampak yang dirasakan Negara Peserta FCTC ... 52

BAB IV KEBIJAKAN FRAMEWORK CONVENTION ON TOBACCO CONTROL DALAM MENGENDALIKAN PEREDARAN TEMBAKAU DI INDONESIA 4.1Pengaturan Pengendalian Tembakau di Indonesia ... 56

4.2Prospek Ratifikasi FCTC bagi Indonesia ... 63

4.2.1 Pokok – pokok Isi FCTC dan Perbandingannya dengan Aturan di Indonesia Saat ini ... 63

4.2.2 DampakFramework Convention on Tobacco Control Bagi Indonesia ... 70

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 72


(12)

xii

5.2 Saran ... 75


(13)

(14)

xiv

ABSTRAK

Saat ini tembakau menjadi suatu produk yang memberikan keuntungan yang besar bagi perkonomian negara-negara penghasil tembakau.Akan tetapi, dibalik itu biaya ekonomi dan sosial yang disebabkan akibat konsumsi tembakau di dunia tiap tahunnya terus meningkat, dan beban peningkatan tersebut kebanyakan ditanggung oleh masyarakat menengah kebawah.Peredaran rokok yang semakin mudah ditemui dan promosi rokok yang gencar dilakukan untuk menarik minat konsumen dan kurangnya penjelasan dampak yang ditimbulkan mengakibatkan jumlah perokok di kalangan pemuda semakin bertambah di Indonesia.Sehingga disinilah dibutuhkan peran pemerintah untuk mengendalikan peredaran tembakau yang dapat berakibat buruk pada kesehatanmasyarakat.FCTC sebagai perjanjian internasional berada di bawah naungan WHO berupaya untuk mengendalikan tembakau di dunia. Saat ini banyak negara di dunia yang memiliki latar belakang yang sama seperti Indonesia telah meratifikasi FCTC, seperti India, Malaysia dan Thailnd serta negara maju seperti Australia telah meratifikasi dan mengamati langkah strategis yang diambil dalam mengendalikan peredaran tembakau di negaranya.

Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif dan pendekatan perundang-undangan dan analisis-konseptual hukum, penulis melalui skripsi ini akan membahas dua permasalahan hukum utama yakni: bagaimanakah kebijakan Framework Convention on Tobacco Control dalam mengendalikan peredaran tembakau di duniadan apakah kebijakan Framework Convention on Tobacco Control dapat mengendalikan peredaran tembakau di Indonesia.

Melalui penelitian normatif skripsi ini, adapun kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut : 1) FCTC sebagai perjanjian internasional yang berada di bawah naungan WHO memiliki tujuan untuk mengendalikan peredaran tembakau dan menjunjung drajat setinggi-tingginya terhadap kesehatan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Di beberapa negara yang telah meratifikasi FCTC seperti India, Malaysia, Thailand, dan Australia telah membuktikan penurunan terhadap jumlah perokok dengan menerapkan FCTC di hukum nasionalnya masing-masing. 2) Walaupun, Indonesia saat ini telah memiliki peraturan yang berkaitan dengan pengendalian tembakau, dan langkah-langkah untuk melindungi masyarakat dari dampak rokok. Akan tetapi peraturan yang dimiliki oleh Indonesia dirasa belum cukup untuk mengatur pengendalian tembakau lebih rinci lagi.


(15)

xV ABSTRACT

Nowadays tobacco is a product that provides great benefits to the economies of tobacco producing countries. However, behind the economic and social costs caused due to consumption of tobacco in the world each year continues to increase, and the burden of the increase is mostly borne by the public medium. Distribution of cigarettes are more easily found and promotion of cigarettes are aggressively done to attract the interest of consumers and the lack of explanation of the impact resulted in the number of smokers among youth is increasing in Indonesia. So that is where the role of government is needed to control the circulation of tobacco is harmful to public health. FCTC as an international agreement under the auspices of WHO seeks to control tobacco in the world. Currently, many countries in the world that has the same background as Indonesia has ratified the FCTC, such as India, Malaysia and Thailnd as well as developed countries such as Australia has ratified and observed the strategic steps taken in controlling the circulation of tobacco in the country.

By using the normative legal research methods and approach to legislation and analysis of conceptual-law, the author through this paper will discuss two issues key legal namely: how policies Framework Convention on Tobacco Control in controlling the circulation of tobacco in the world and whether the policy Framework Convention on Tobacco Control can control the circulation of tobacco in Indonesia.

Through normative research of this thesis, as for the conclusions that can be drawn are as follows: 1) FCTC as an international agreement under the auspices of WHO has the aim of controlling the circulation of tobacco and uphold the highest degrees on the health of the present generation and future. In some countries that have ratified the FCTC such as India, Malaysia, Thailand, and Australia have shown a decrease in the number of smokers by implementing the FCTC in their respective national laws. 2) Although, Indonesia currently has regulations related to tobacco control, and measures to protect the public from the effects of smoking. But regulation is owned by Indonesia are still not enough to regulate tobacco control in more detail.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perdagangan tembakau yang dibuat dalam bentuk rokok, saat ini masih menjadi usaha yang menjanjikan keuntungan yang sangat besar bagi perekonomian dunia. Keuntungan tersebut mencakup sektor pertanian, industri, perdagangan serta keuangan. Akan tetapi, dibalik pertumbuhan ekonomi yang meningkat akibat tembakau itu sendiri, produksi tembakau dianggap sebagai sebuah bencana kesehatan yang menyangkut masyarakat global yang utama pada abad ke-20 ini.1 Jumlah konsumsi rokok di seluruh dunia diperkirakan mencapai 15 milyar batang per harinya, hal ini memberikan kerugian berat yang dapat mengancam kesehatan manusia. Hal ini dikarenakan rokok mengandung zat adiktif sehingga termasuk dalam golongan napza, seperti narkotika dan psikotropika.

Kandungan zat-zat adiktif yang dikandung dalam setiap batang rokok ditengarai sebagai penyebab berbagai macam penyakit seperti kanker, paru-paru, gangguan jantung, impotensi dan masih banyak lagi penyakit yang lainnya yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia baik bagi perokok aktif maupun perokok pasif.2 Dampak rokok akan terasa setelah 10-20 tahun pasca digunakan. Paparan

1 Commission On Macroeconomics and Health, 2001, Confronting the Tobacco Epidemic in an Era of Trade Liberalization, Jenewa, WHO Press, h. 1.

2Valentina S. Valdi, 2012, Global Health Governance at a Crossroads: Trademark Protection V.Tobacco Control in International Investment Law, Stanford Journal of International Law Stanford, h. 125.


(17)

2

asap rokok yang terus menerus pada orang dewasa yang sehat dapat menambah resiko terkena penyakit jantung dan paru paru sebesar 20 – 30 persen. Selain itu lingkungan yang tercemar akibat asap rokok dapat memperburuk kondisi seseorang yang mengidap penyakit asma, yang dapat menyebabkan bronkitis dan pneumonia.3

Data resmi dari WHO (World Health Organization) sampai saat ini menyatakan bahwa rokok telah merenggut nyawa rata-rata sekitar enam juta jiwa pengguna setiap tahunnya. Angka tersebut setengah dari jumlah total perokok di seluruh dunia.4 Tingginya jumlah perokok yang berbanding lurus dengan munculnya sejumlah kasus penyakit serta kematian akibat konsumsi rokok yang terjadi hampir di seluruh belahan dunia, menimbulkan rasa kekhawatirkan bagi masyarakat Internasional.

WHO sebagai badan kesehatan dunia bekerja sama dengan Bank Dunia merumuskan suatu kerangka kerjasama untuk mengontrol penyebaran tembakau dengan membentuk Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau yang disebut kerangka kerjasama konvensi pengendalian tembakau, yang berlaku sejak tanggal 27 Februari 2005. FCTC merupakan kebijakan global yang diperuntukkan bagi negara-negara secara umum. Tujuan dibentuknya FCTC untuk

3 Murry Harmawan Saputra, 2000, Analisis Industri Rokok Kretek di Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purwerejo, Purwerejo, h. 20.

4 Bsn, 2014, Kebijakan Plain Packaging For Tobacco Dan Food Label Menjadi Sorotan Negara Anggota WTO, dalamURL : http://www.bsn.go.id/main/berita/berita_det/5640/kebijakan-

plain-packaging-or-tobacco-dan-food-label-menjadi-sorotan-negara-anggota-wto-laporan-rangkaian-sidang-komite-tbt--tanggal-4--6-november--2014-#.vyimw_mqqko, diakses pada tanggal 1 agustus 2015.


(18)

mengurangi secara terus-menerus dan secara substansial prevalensi konsumsi tembakau dan paparan asap tembakau.5

Berlakunya FCTC yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2005 merupakan sebuah langkah awal dalam pengendalian tembakau secaara global. Instrumen dalam FCTC ini mendukung negara-negara anggotanya dalam mengembangkan program pengendalian tembakau di tingkat nasionalnya untuk menekan kematian dan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pengkonsumsian tembakau. Pada 28 Januari 2014 bersumber dari data terakhir yang di keluarkan oleh FCTC, sebanyak 193 negara yang menjadi anggota WHO, terdapat 185 (seratus delapan puluh lima) negara yang telah melakukan ratifikasi yang menjadi anggota WHO dan terdapat 8 (delapan) negara yang tidak melakukan ratifikasi FCTC.6

Indonesia merupakan salah satu anggota WHO yang ikut terlibat aktif dalam penyusunan rancangan FCTC baik dalam pertemuan – pertemuan internasional maupun pertemuan regional antara negara anggota WHO Kawasan Asia Tenggara, akan tetapi Indonesia merupakan satu-satunya negara di ASEAN dan Asia Pasifik yang belum menandatangani dan meratifikasi konvensi tersebut. Mengingat masalah yang dihadapi oleh Indonesia dalam pengendalian perdagangan tembakau ini sebenarnya sangatlah sulit dan serba salah, karena di satu sisi perdagangan tembakau ini akan meningkatkan jumlah perokok di Indonesia yang mana merokok dapat mengakibatkan dampak yang buruk bagi kesehatan, serta zat-zat yang terkandung dalam rokok sendiri merupakan sumber

5 WHO Framework Convention on Tobacco Control, Fifth-Sixth World Health Assembly.

6 WHO FCTC, 2015, Parties to the WHO Framework Convention on Tobacco Control, dalam URL : http://www.who.int/fctc/signatories_parties/en/, diakses pada tanggal 5 Agustus 2015.


(19)

4

dari berbagai macam penyakit. Tetapi disisi lain industri hasil tembakau tersebut memberikan kontribusi yang besar melalui pendapatan cukai. Industri hasil tembakau berkontribusi dalam penerimaan negara melalui cukai. Cukai tembakau sekarang ini memperlihatkan peningkatan rata-rata 13,64% dari Rp. 29 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp. 49 triliun pada tahun 2008. Cukai hasil tembakau tersebut menyumbang Rp. 50,2 triliun yang merupakan jumlah penerimaan cukai pada tahun 2008.7 Pada tahun 2009 penerimaan negara dari cukai hingga akhir Oktober mencapai Rp. 46,201 triliun. Pada tahun 2010 ini ditargetkan penerimaan negara dari cukai adalah sebesar Rp. 55,9 triliun.8 Berdasarkan gambaran tersebut, maka pada dasarnya penerimaan cukai dari industri hasil tembakau berupa rokok memiliki potensi yang cukup besar dalam meningkatkan peranannya sebagai salah satu sumber dana pembangunan negara.

Selain itu kontribusi temabaku sendiri banyak menyedot tenaga kerja karena lapangan kerja yang tercipta dari sektor tembakau dan industri hasil tembakau terdiri atas petani tembakau, pekerja pabrik rokok, pedagang rokok, hingga pedagang asongan serta rokok sendiri memiliki peranan yang sangat besar dalam memberikan kontribusi terhadap APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja, baik langsung maupun tidak langsung, pada tahun 2008 industri hasil tembakau mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 6,1 juta orang dengan rincian petani tembakau 2 juta orang, petani

7 Anton Aprianto, 2008, “Reformasi Birokrasi Dongkrak Penerimaan Cukai 2008”, Majalah Tempo, dalam URL: http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2008/12/31/brk,20081231- 153253,id.html, diakses pada 2 Januari 2016.

8 Agoeng Wijaya, 2009, “Kenaikan Tarif Cukai Rokok Lebih 5 Persen”, Majalah Tempo, dalam URL : http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2009/11/04/brk,20091104-206424,id.html, diakses pada pada 2 Januari 2016.


(20)

cengkeh 1,5 juta orang, tenaga kerja di pabrik rokok sekitar 600 ribu orang, pengecer rokok atau pedagang asongan sekitar 1 juta orang, dan tenaga kerja percetakan, periklanan, pengangkutan serta jasa transportasi sekitar 1 juta orang.9

Fakta tersebutlah yang selalu dijadikan alasan bagi Pemerintah Republik Indonesia (RI) untuk melindungi industri hasil tembakau dari segala bentuk regulasi, termasuk kesepakatan internasional seperti FCTC.10

Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar, pada tahun 2010 prevalensi perokok di Indonesia sangat tinggi dan didominasi oleh masyarakat yang berpendidikan rendah sebesar 37,8% dan masyarakat golongan miskin sebesar 35%. Sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa perokok dari kalangan orang yang berpendidikan bukan menjadi suatu permasalahan yang besar. Hal ini dapat diyakini bahwa perokok sudah meliputi seluruh lapisan masyarakat, baik itu kalangan ekonomi ke atas sampai ke bawah dan yang berpendidikan maupun tidak berpendidikan. Merokok bukanlah menjadi suatu permasalahan bagaimana tingkat pengetahuan seseorang, melainkan soal polapikir dari individu itu sendiri. Saat ini sekitar 45 persen remaja Indonesia yang berusia 13-19 tahun

adalah perokok aktif, data dari Global Youth Tobacco Survey menyebutkan Indonesia merupakan negara dengan jumlah remaja perokok terbesar di Asia,"

9 Anton Aprianto, Loc.cit

10 Jeane Neltje Saly, 2011, Efektivitas Peraturan Terkait Pengendalian Produk Tembakau Terhadap Kesehatan, Laporan Akhir Penelitian Hukum Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia R.I., Jakarta, h. 98.


(21)

6

kata Direktur Eksekutif Lentera Anak Indonesia Herry Chariansyah di Jakarta.11 Pada usia yang tergolong rawan ini, para remaja belum memiliki kemampuan untuk menilai dan mengambil keputusan dengan benar. Majunya perkembangan teknologi menyebabkan saat ini remaja dihadapkan dengan gencarnya iklan dan citra yang dijual oleh industri tembakau serta pengaruh sosial yang tinggi dengan tidak diimbangi pengetahuan yang cukup mengenai risiko produk yang dibeli, efek ketagihan dan dampak pembelian yang dibebankan pada orang lain pun tidak dapat dihindari. Hal ini mengakibatkan jumlah pengonsumsi tembakau pada kalangan remaja semakin hari kian meningkat sehingga generasi muda yang menjadi penerus bangsa Indonesia nantinya tidak memiliki kualitas kesehatan yang baik padahal merekalah yang akan menentukan kemana bangsa ini akan diarahkan.

Indonesia merupakan negara dengan konsumsi rokok terbesar di dunia, yaitu pada urutan ke empat setelah Cina, USA dan Rusia. Jumlah batang rokok yang dikonsumsi di Indonesia cenderung meningkat dari 182 milyar batang pada tahun 2001 (Tobacco Atlas 2002) menjadi 260,8 milyar batang pada tahun 2009.12 Tingginya jumlah perokok di Indonesia disebabkan karena upaya agresif dari industri tembakau yang tidak terkendali yang menjaring seluruh masyarakat sebagai konsumen tidak memandang usia muda atau tua, pria maupun wanita sehingga dampak jangka panjangnya akan merusak generasi sekarang maupun

11 Liputan6, 2015, 45 Persen Remaja Indonesia Usia 13-19 Perokok, dalam URL : okhttp://health.liputan6.com/read/2142904/45-persen-remaja-indonesia-usia-13-19-perokok, diakses pada tanggal 5 Agustus 2015.

12 Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, 2012, Bunga Rampai Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia, Buku ke-4, Lembaga Demografi UI, Jakarta, h.1.


(22)

mendatang. Penjualan rokok yang bebas di Indonesia memudahkan bagi siapa saja untuk mendapatkannya, bahkan di warung sekitaran rumah dan kantin kampus penjual menjualnya secara eceran, sehingga dengan uang tiga ribu rupiah seseorang dapat memperoleh sebatang rokok. Mudahnya memperoleh dan murahnya harga rokok ini, mengakibatkan semakin banyaknya orang dapat menjadi konsumen rokok, yang tidak hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak.

Peningkatan konsumsi rokok yang kian hari terus mengalami peningkatan, mengakibatkan makin tingginya penyakit, bertambahnya angka kematian, beban biaya ekonomi dan sosial yang ditanggung oleh masyarakat miskin pun semakin berat yang semuanya diakibatkan oleh rokok. Rokok membunuh 1 dari 10 orang dewasa di seluruh dunia, dengan angka kematian dini mencapai 5,4 juta jiwa pada tahun 2005. Tahun 2030 diperkirakan angka kematian perokok di dunia akan mencapai 10 juta jiwa, dan 70% diantaranya berasal dari negara berkembang. Saat ini 50% kematian akibat rokok berada di negara berkembang.13 Bila keadaaan ini terus berlanjut dan diabiarkan begitu saja, maka sekitar 650 juta orang akan terbunuh oleh rokok yang setengahnya berusia produktif dan akan kehilangan umur hidup (lost life) sebesar 20 sampai 25 tahun.14

Dampak rokok yang mengakibatkan kerusakan kesehatan baik bagi perokok aktif maupun perokok pasif dapat mengancam kondisi kesehatan masyarakat pada umumnya. Hal ini meneyebabkan produktivitas kerja masyarakat akan menurun serta terabaikannya hak seorang perokok pasif untuk mendapatkan lingkungan

13 WHO, 2003, World Health Report: Shaping the Future (2003) in FCA, Tobacco Facts, Fact Sheet 1.

14 World Bank, Curbing The Epidemic: Government and the economics of Tobacco Control (1999) in FCA, Tobacco Fact, Fact Sheet 1.


(23)

8

yang bersih serta udara yang bebas dari asap rokok. Hak tersebut sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam UUD RI 1945 Pasal 28 H (1), yaitu: ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pasal ini menjamin kesehatan setiap orang untuk hidup dalam lingkungan yang bersih dah sehat, karena kesehatan merupakan hak yang fundamental, sehingga harus dihormati oleh setiap orang di muka bumi. Begitu juga dengan FCTC yang bertujuan untuk mempromosikan perlindungan hak atas kesehatan dan hak atas hidup seluruh masyarakat internasional.

Menurut Dina Kania, anggota dari Komnas Pengendalian Tembakau, “Pentingnya untuk mengadopsi FCTC karena populasi perokok di Indonesia termasuk terbesar di dunia. Ironisnya, kebanyakan perokok di negara berkembang seperti Indonesia adalah masyarakat kelompok ekonomi lemah. Sekalipun Indonesia telah memiliki regulasi yang berupaya mengendalikan tembakau seperti Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, tapi ia menilai FCTC penting untuk diaksesi. Dampak buruk rokok tidak selalu berasal dari dalam negeri, tapi juga global. Seperti perdagangan tembakau dan ekspansi perusahaan rokok luar negeri yang lintas negara. Mengatasi hal tersebut dibutuhkan regulasi yang lebih dari sekadar PP. FCTC dibentuk untuk mengatasi


(24)

liberalisasi perdagangan, pemasaran global dan investasi asing dan mobilitas sosial, hal tersebut tidak terdapat dalam PP No.109 Tahun 2012.15

Pekerja industri rokok dan petani tembakau tidak mendapat penghasilan yang layak. Bahkan Badan Pusat Statistik (BPS) melansir petani tembakau memiliki penghasilan terendah kedua. Mengacu hal tersebut Imam menilai industri tembakau atau rokok hanya menguntungkan pemilik industri rokok ketimbang petani tembakau dan pekerja. “Pemilik industri rokok adalah orang yang terkaya di indonesia,” pungkasnya

Fakta tersebut diatas menjadi gambaran bahwa, kondisi hukum di Indonesia masih perlu adanya suatu pembaharuan atau pembentukan hukum baru yang lebih khusus yang dapat mengatur masalah peredaran terhadap tembakau. Walaupun tembakau mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan negara, dan memberikan sumbangan terhadap penyerapan tenaga kerja sehingga mampu mengurangi angka pengangguran di Indonesia. Namun, disisi lain pemerintah seharusnya tidak mengabaikan bahaya atau dampak yang dtimbulkan dari tembakau dan rokok tersebut. Pemerintah seharusnya mempunyai kebijakan yang tegas dalam meminimalisir dampak negatif dari tembakau dan rokok dengan meratifikasi kebijakan FCTC sebagai acuan dalam upaya untuk mengendalikan tembakau dan rokok. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkat kasus tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis

15 Ady, 2014, Framework Convention on Tobacco Control diyakini tidak berdampak buruk terhadap industri tembakau dan rokok, dalam URL : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53a3f65d347f1/tak-ada-alasan-menolak-fctc, diakses pada tanggal 7 Agustus 2015.


(25)

10

Hukum Mengenai Kebijakan Framework Convention On Tobacco Control

Terkait Peredaran Tembakau Di Indonesia”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kebijakan Framework Convention on Tobacco Control dalam mengendalikan peredaran tembakau di dunia?

2. Apakah kebijakan Framework Convention on Tobacco Control dapat mengendalikan peredaran tembakau di Indonesia?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Masalah utama yang seringkali muncul dalam setiap penulisan adalah menentukan luas ruang lingkup objek yang menjadi pokok-pokok bahasan. Terutama mengenai bagaimana pembahasan akan dilakukan sehingga tujuan yang akan dicapai dapat terwujud. Untuk lebih mendapat uraian yang lebih terarah perlu kiranya diadakan pembatasan pembahasan terhadap permasalahan tersebut. Hal ini untuk menghidari adanya pembahasan yang menyimpang dari permasalahan yang dikemukakan.

Dalam membahas masalah pertama yaitu latar belakang Framework Convention on Tobacco Control , sejarah dibentuknya Framework Convention on Tobacco Control, substansi yang diatur dalam Framework Convention on


(26)

Tobacco Control, epidemi tembakau, definisi perjanjian internasional dan ratifikasi.

Dalam membahas permasalahan kedua akan dibahas mengenai pengaturan pengendalian tembakau di beberapa negara seperti India, Malaysia, Thailand dan Australia, dampak yang dirasakan negara peserta FCTC, kebijakan Framework Convention On Tobacco Contro ldalam mengendalikan peredaran tembakau di Indonesia, pengaturan pengendalian tembakau di Indonesia, prospek ratifikasi FCTC bagi Indonesia, pokok-pokok isi FCTC dan perbandingannya dengan aturan Indonesia saat ini dan dampak FCTC bagi Indonesia.

1.4 Orisinalitas

Penulusuran terhadap penelitian dan karya-karya ilmiah yang relevan dengan pemasalahan yang dibahas dalam rencana penulisan hukum ini telah dilakukan. Namun demikian, berdasarkan penelusuran yang dilakukan penulis, belum ditemukan permasalahan yang sama atau hampir sama dengan penelitian yang penulis rencanakan.

Sepanjang pengetahuan penulis, terdapat beberapa karya ilmiah yang mengandung sebagian dari unsur-unsur dalam penelitian ini namun memiliki perbedaan dalam hal materi dan fokus kajiannya, antara lain :

1. Tesis yang ditulis oleh Taufan Wahyu Febrianto dengan judul “Implikasi Pengaturan Kemasan Polos Produk Tembakau Melalui The Tobacco Plain Packaging Act 2011 Australia Terhadap Kewajiban Australia Dalam Perdagangan Internasional”. Fokus dalam penulisan hukum tersebut adalah


(27)

12

meneliti kebijakan pengendalian tembakau yang dilaksanakan oleh Australia dengan mengatur kemasan produk rokok. Aturan kemasan ini merupakan ketentuan yang terdapat di dalam FCTC yang dituangkan ke dalam hukum nasional Australia. Sedangkan pembahasan yang diteliti dalam penulisan ini adalah kebijakan Framework Convention on Tobacco Control dalam mengendalikan peredaran tembakau di dunia.

2. Jurnal Jurusan Ilmu Hubungan Internasional yang ditulis oleh Nofri Yuska dengan judul “Kepentingan Indonesia Tidak Meratifikasi Framework Convention On Tobacco Control (Fctc)”, berfokus pada bahasan alasan alasan indonesia tidak meratifikasi framework convention on tobacco control(fctc), sedangkan penelitian ini berfokus terhadap kebijakan Framework Convention on Tobacco Control dalam mengendalikan peredaran tembakau di Indonesia.

Sehingga penulisan hukum dengan judul “Analisis Kebijakan Framework Convention On Tobacco Control Terkait Peredaran Tembakau di Indonesia” belum pernah ada. Sehingg penulis meyakini bahwa penelitian yang akan penulis lakukan merupakan penelitian yang pertama kali dan bersifat asli atau orisinil.

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus sebagai berikut :


(28)

1.5.1 Tujuan Umum

Tulisan ini secara umum bertujuan untuk mengetahui dari sudut yuridis Pengendalian tembakau di Indonesia melalui kebijakan Framework Convention on Tobacco Control.

1.5.2 Tujuan Khusus

a) Untuk mengetahui muatan aturan dari kebijakan Framework Convention On Tobacco Contro dalam mengendalikan peredaran tembakau di dunia.. b) Untuk mengetahui Framework Convention On Tobacco Control dalam

mengendalikan peredaran tembakau di Indonesia.

1.6 Manfaat Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, ada beberapa manfaat yang akan diperoleh, yaitu :

1.6.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum dalam kaitannya dengan dapat diperoleh gambaran secara faktual tentang analisis Framework Convention On Tobacco Control terkait pengendalian peredaran tembakau di Indonesia untuk meminimalisir jumlah perokok aktif di Indonesia.

1.6.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan referensi bagi pemerintah untuk meninjau ulang


(29)

14

keikutsertaan Indonesia dalam Framework Convention On Tobacco Control sebagai upaya untuk mengedalikan peredaran rokok di Indonesia serta menekan jumlah perokok aktif di Indonesia.

1.7 Landasan Teori

Dalam melakukan sebuah penelitian diperlukan adanya landasan teoritis, sebagaimana dikemukakan oleh M. Solly Lubis bahwa landasan teoritis merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, asas maupun konsep yang relevan digunakan untuk mengupas suatu kasus ataupun permasalahan.16

Untuk meneliti mengenai suatu permasalahan hukum, maka pembahasan adalah relevan apabila dikaji menggunakan teori-teori hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum. Teori hukum dapat digunakan untuk menganalisis dan menerangkan pengertian hukum dan konsep yuridis, yang relevan untuk menjawab permasalahan yang muncul dalam penelitian hukum.17

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan penemuan-penemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, prediksi atas dasar penemuan dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan pertanyaan-pertanyaan. Hal ini berarti teori bisa digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Untuk itu, orang dapat meletakkan fungsi dan kegunaan teori dalam penelitian sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.

16 M. Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, h. 80. 17 Salim H. S., 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h. 54.


(30)

1.7.1 Teori Kerjasama Internasional

Kerjasama internasional muncul karena keadaan, kebutuhan, kemampuan serta potensi dari suatu negara yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan suatu negara bekerjasama dengan negara lainnya agar dapat memenuhi kepentingan nasionalnya di luar negeri.18 Kerjasama internasional dapat dilakukan jika suatu negara sekurang-kurangnya memiliki dua syarat utama, yaitu adanya keharusan menghargai kepentingan masing-masing negara yang terlibat bekerjasama serta adanya keputusan bersama negara-negara yang melakukan kerjasama dalam mengatasi setiap persoalan yang timbul dalam perjanjian tersebut.19

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengaitkan teori ini dengan kerjasama yang dilakukan oleh negara-negara anggota WHO untuk membentuk suatu kerangka kerjasama internasional mengenai pengendalian masalah tembakau. Dalam konvensi ini akan mengatur lebih rinci dan spesifik mengenai upaya pemerintah untuk mengurangi dampak serta permintaan akan tembakau.

1.7.2 Teori Universalitas Hak Asasi Manusia

Teori universalitas berpegang pada teori radikal universalitas HAM. Menurut teori ini semua nilai temasuk nilai-nilai HAM adalah bersifat universal dan tidak dapat dimodifikasi untuk menyesuaikan perbedaan budaya dan sejarah suatu negara. Teori ini HAM berangkat dari konsep universalisme moral dan kepercayaan akan keberadaan kode-kode moral universal yang melekat pada seluruh umat manusia. Universalisme moral meletakkan keberadaan kebenaran

18 Sjamsumar Dam dan Riswandi, 1995, Kerjasama ASEAN, Latar Belakang, Perkembangan, dan Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 15.


(31)

16

moral yang bersifat lintas budaya dan lintas sejarah yang dapat diidentifikasikan secara rasional.20 Teori ini menganggap hanya ada satu pemahaman mengenai HAM, bahwa nilai-nilai HAM sama dimanapun dan kapanpun serta dapat diterapkan pada masyarakat yang mempunyai latar belakang budaya dan sejarah yang berbeda. Dengan demikian, pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai HAM berlaku secara universal. Walaupun kebiasaan merokok tersebut telah ada sejak zaman dahulu dan diwariskan secara turun temurun, akan tetapi hak yang dimiliki oleh setiap seseorang tersebut sama, sehingga Ham yang berlaku secara universal tersebut diselaraskan dengan sosial dan budaya masyarakat setempat. Dengan demikian, hak seseorang untuk merokok dapat dilakukan sepanjang hak seseorang perokok pasif tidak dilanggar dan tetap dilindungi demi memperoleh taraf hidup sehat yang tinggi dan lingkugan yang bebas akan pencemaran.

1.7.3 Teori Kebijakan Luar Negeri

Saling membutuhkan antar bangsa-bangsa diberbagai kehidupan yang mengakibatkan timbulnya hubungan yang tetap dan terus menerus antar bangsa-bangsa, karena itu untuk menciptakan hubungan internasional tersebut dibutuhkan hukum untuk menjamin unsur kepastian yang sangat diperlukan dalam setiap hubungan yang teratur. Salah satu perwujudan dalam menjaga hubungan kerjasama tersebut dituangkan dalam bentuk perjanjian internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, perjanjian internasional adalah perjanjian yang

20Henry J. Steiner dan Philip Alston, 2000, International Human Rights in Context, Law,


(32)

diadakan anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.21

Kesepakatan untuk mengikat diri pada perjanjian merupakan tindak lanjut oleh negara-negara setelah diselesaikannya suatu perundingan untuk membentuk suatu perjanjian internasional. Tindakan inilah yang melahirkan kewajiban-kewajiban tertentu bagi negara perunding (negotiating state) setelah menerima baik suatu naskah perjanjian (adoption of the text).

Berkaitan dengan FCTC, kesepakatan untuk mengikat diri dari perjanjian yang dibentuki oleh Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembly), yang melalui penandatangan perjanjian, pengadopsian, maupun ratifikasi, FCTC menjadi hukum nasional masing-masing negara peserta.

1.8 Metode Penulisan 1.8.1 Jenis Penelitian

Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif jenis penelitian ini berfokus pada peraturan yang tertulis (law in book)22, artinya jenis penelitian terhadap suatu masalah yang akan dilihat dari aspek hukumnya yaitu dengan cara meneliti bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder kemudian dikaitkan dengan permasalahan yang dibahas. Penelitian hukum ini beranjak dari kekosongan norma dimana belum adanya ada regulasi/peraturan pemerintah untuk pengaturan pengendalian

21 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Edisi II, Cetakan I, PT Alumni, Bandung, h. 56.

22 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Edisi ke-1 Cet IV, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 118.


(33)

18

tembakau yang lebih rinci lagi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, sehingga hasil yang diperoleh tersebut, sudah mengandung nilai.23

1.8.2 Jenis Pendekatan

Pembahasan dalam skripsi ini akan dikaji dengan perndekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan perbandingan (Comparative apporoach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara mendalam, kemudian dikaitkan dengan permasalahan yang akan dibahas.24 Penulis menelaah undang- undang maupun peraturan yang terkait dengan isu yang sedang ditangani. Peraturan yang dimaksud dalam skripsi ini adalah dari aspek instrumen hukum internasional, yakni Framework Convention On Tobacco Control. Penulis juga melakukan pendekatan dengan menelaah peraturan hukum nasional Indonesia, diantaranya: UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah No.109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Aditif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No.33 tahun 1999 tentang Penyiaran, UU No. 39 tahun 2007 tentang Cukai dan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM.

Sedangkan peendekatan-pendekatan perbandingan (comparative approach) dilakukan dengan mengadakan studi perbandingan hukum, dimana kegiatan ini dilakukan untuk membandingakan hukum satu negara dengan hukum

23 Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 35.


(34)

negara lain atau hukum dari suatu waktu tertentu dengan hukum dari waktu yang lain. Perbandingan hukum yang dilakukan ialah dengan membandingankan hukum-hukum yang berada di negara Asia seperti India, Malaysia danThailand maupun dengan negara di Luar Asia seperti Australia. 25

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, maka sumber bahan hukum yang digunakan adalah data sekunder yang berupa bahan hukum, yang terdiri atas :

1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat, antara lain : Framework Convention On Tobacco Control, UU No. 36 Tahun 2009 Kesehatan, Peraturan Pemerintah No.109 Tahun 2012 tentang Pengamanan bahan yang mengandung zat aditif berupa produk tembakau bagi kesehatan, UU no.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU no.33 tahun 1999 tentang Penyiaran, UU no 39 tahun 2007 tentang Cukai dan UU no 39 tahun 1999 tentang HAM.

2. Bahan hukum sekunder yaitu yang berupa teori-teori hukum dan pendapat para sarjana hukum terkemuka. Bahan hukum sekunder disini adalah bahan yang sudah ditulis atau diolah oleh orang lain atau suatu lemabaga (bahan yang sudah tersedia), bukan bahan yang diperoleh secara langsung dari masyarakat.

25 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar MetodePenelitian Hukum, Rajawali Perss, Jakarta, h. 72.


(35)

20

3. Hukum Tersier, yaitu berupa bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia.26

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam karya tulis ini teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah metode library research (penelitian kepustakaan), yaitu dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku, situs internet, media massa, dan kamus yang berkaitan dengan judul skripsi ini yang bersifat teoritis ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan menganalisa masalah-masalah yang dihadapi.27

1.8.5 Teknik Analisa Bahan Hukum

Setelah bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder terkumpul, selanjutnya dianalisa dengan menggunakan teknik deskripsi, yakni menguraikan dan menghubungkan dengan teori-teori atau literatur-literatur yang berhubungan dengan permasalahan, dan akhirnya menarik suatu kesimpulan dalam bentuk argumentasi hukum untuk menentukan hasil dari penelitian.28

26 Peter Mahmud Marzuki, op.cit, h. 32.

27 Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UIPress), Jakarta, h. 21.

28 Ronny Hanitijo Soemitro, 1991, Metode Penelitian Hukum, Cet.II, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 93.


(36)

BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1 Tinjauan UmumFramework Convention On Tobacco (FCTC) 2.1.1 Pengertian FCTC

Framework Convention On Tobacco yang selanjutnya disebut dengan FCTC diadopsi oleh Majelis Kesehatan Dunia pada 21 Mei 2003, konvensi ini merupakan perjanjian internasional pertama yang dinegosiasikan oleh 192 negara. FCTC berada di bawah naungan WHO mengatur hak setiap orang untuk mendapatkan standar yang tinggi terhadap kesehatan. FCTC ini mulai berlaku secara internasional pada 27 Februari 2005, yaitu 90 hari setelah disetujui, ratifikasi, diterima, atau disetujui oleh 40 negara.1 Saat ini FCTC sudah menjadi hukum internasional karena sudah diratifikasi oleh lebih dari 40 negara. FCTC merupakan suatu produk hukum internasional yang bersifat mengikat (intetnationally legally binding instrument) bagi negara-negara yang meratifikasinya.

2.1.2 Sejarah Dibentuknya FCTC

Sejak tahun 1990, epidemi tembakau menjadi suatu masalah kesehatan publik yang mengakibatkan hampir 5 juta orang yang meninggal setiap tahunnya. Jika kondisi ini menetap, diperkirakan 10 juta orang meninggal pada tahun 2030


(37)

22

dimana 70%nya terjadi di negara berkembang.2 Penyebaran epidemi tembakau ini dipengaruhi oleh beberapa faktor lintas batas negara termasuk liberalisasi perdagangan dan investasi asing. Selain itu, faktor lain seperti pemasaran global, pengiklanan lintas negara dan penyelundupan rokok ilegal juga ikut berkonstribusi terhadap peningkatan konsumsi tembakau (rokok).3 Semua faktor itu kini tengah berlangsung di negara-negara berkembang karena aturan pengendalian tembakau masih sangat longgar, termasuk Indonesia.

Atas keprihatinan tersebut kemudian WHO membentuk suatu Konvensi Pengendalian Tembakau yaitu Framework Convention On Tobacco Control dalam menanggapi epidemi tembakau di dunia. FCTC menyediakan suatu kerangka bagi upaya pengendalian tembakau untuk dilaksanakan oleh pihak-pihak baik dalam tingkat nasional, regional dan internasional . Pada bagian pembukaan FCTC diawali dengan pernyataan :

“ Negara para pihak dari Konvensi ini, memutuskan untuk memberikan pririoritas pada hak mereka untuk melindungi kesehatan”.

Dalam pasal ini diartikan bahwa para pihak konvensi memberlakukan konvensi FCTC sebagai payung hukum untuk melidungi dari penyebab rusaknnya kesehatan warga negaranya di masa sekarang maupun yang akan datang. Penyusunan FCTC dilakukan selama 4 (empat) tahun sejak tahun 1999 melalui proses negosiasi yang intensif dari negara-negara anggota WHO termasuk

2 World Health Organisation, 2008, WHO report on the Global Tobacco Epidemic, The MPOWER package, Geneva. h.2.

3 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013, Pentingnya Aksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) bagi Indonesia, PT.Gramedia, Jakarta, h.1.


(38)

Indonesia, dan disepakati dalam sidang Kesehatan Sedunia ke-56 pada tanggal 21 Mei 2003. FCTC memasuki fase tanda tangan di Jenewa mulai tanggal 16-22 Juni 2004. Sampai batas waktu yang telah ditentukan, pada tanggal 27 Februari 2005 sudah terdapat 177 negara yang menandatangani konvensi tersebut.

Negara yang menandatangani FCTC dapat meratifikasi dan menjadi party (negara para pihak) dari konvensi. Negara-negara yang tidak menandatangani sampai tanggal 29 Juni 2004, hanya membutuhkan satu langkah untuk menjadi party yaitu dengan aksesi atau meratifikasi. FCTC menjadi instrumen hukum internasional yang diprakarsai oleh Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) sejak tanggal 27 Februari 2005 yaitu 90 hari setelah 40 negara menandatangani dan kemudian meratifikasinya.

2.2 Substansi Yang Diatur Dalam Framewok Convention on Tobacco Control (FCTC)

Kerangka kerja pengendalian tembakau (Framewok Convention on Tobacco Control) terdiri dari Mukadimah, 11 Bab, 38 Pasal, dan 2 lampiran tentang asal mula lahirnya FCTC dan sejarah FCTC. Bagian awal berisi tentang Preambule atau Mukadimah yang berisi tentang pengakuan, penggambaran dan komitmen para peserta konvensi. Secara umum, pasal-pasal dalam FCTC dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok kebijakan. Pertama tentang pasal-pasal


(39)

24

pengendalian permintaan konsumsi tembakau (demand reduction) dan kedua tentang pasal-pasal pengendalian pasokan tembakau (supply reduction).4

Kelompok pertama mengenai pasal-pasal pengendalian permintaan konsumsi tembakau (demand reduction) :

1. Perlindungan terhadap Paparan Asap Rokok (Pasal 8)

Paparan asap rokok terbukti secara alamiah menyebabkan kematian, penyakit, dan kecacatan. Negara para pihak sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang nasionalnya, wajib mengikuti dan menerapkan kebijakan efektif untuk melindungi perokok pasif dari paparan asap rokok di tempat umum dan tempat kerja tertutup, angkutan umum, dan di tempat-tempat umum lainnya.

2. Iklan Promosi dan Sponsor Rokok (Pasal 13)

Dalam waktu lima tahun setelah negara para pihak meratifikasi atau mengaksesi FCTC, negara para pihak wajib mengadopsi dan melaksanakan kebijakan efektif tentang larangan komprehensif iklan, promosi dan sponsor rokok termasuk iklan, promosi, dan sponsor rokok lintas batas negara dalam teritorial yang sama melalui peraturan perundang-undangan nasionalnya. Pada kondisi dimana larangan yang disusun telah secara luas tidak memungkinkan secara konstitusional, maka dilakukan pembatasan terhadap iklan, promosi dan pemberian sponsor. Pembatasan diberlakukan juga pada lintas batas negara dalam teritorial yang sama.

4 Draft WHO Framework Convention on Tobacco Control, 2003, Intergevernmental Negotiating Body, Sixth session, Geneva.


(40)

3. Harga dan Cukai (Pasal 6)

FCTC menyatakan para pihak harus mempertimbangkan tujuan kesehatan dalam kebijakan harga dan cukai. Meningkatkan harga melalui peningkatan cukai akan menurunkan konsumsi rokok pada semua kelompok masyarakat terutama orang muda. Penjualan produk tembakau bebas bea tidak dibenarkan.

4. Kemasan dan Pelabelan (Pasal 11)

Dalam waktu tiga tahun setelah negara peserta meratifikasi, negara-negara para pihak sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan nasional, wajib mengikuti dan melaksanakan kebijakan efektif tentang kemasan dan pelabelan produk tembakau. Tidak mempromosikan tembakau dengan kata-kata menyesatkan seolah-olah produknya lebih aman, seperti : “low tar”, “light”, “ultra-light”,”mild”, dsb. Pada setiap kemasan produk tembakau dicantumkan peringatan tentang bahaya merkok disertai pesan yang tepat. Peringatan kesehatan harus disetujui oleh pemerintah pusat, diganti secara periodik, cukup besar dan dapat dibaca dengan jelas, berbentuk gambar, yang luasnya 50% atau lebih dari sisi lebar kemasan dan tidak kurang dari 30%. Disamping itu perlu dicantumkan informasi tentang kandungan dan emisi produk tembakau. 5. Kandungan Produk Tembakau dan Pencantuman Produk Tembakau ( Pasal

9 dan 10)

Konferensi para pihak sepakat untuk menetapkan sebuah pedoman yang dapat digunakan oleh semua anggotanya dalam mengatur kandungan


(41)

26

produk tembakau. Setiap negara pihak wajib mengadopsi dan melaksanakan kebijakan yang mewajibkan produsen untuk menginformasikan kandungan produk tembakau mereka kepada pemerintah.

6. Edukasi, Komunikasi, Pelatihan dan Kesadaran Publik (Pasal 12)

Tiap pihak harus mempromosikan dan memperkuat kesadaran masyarakat tentang isu pengendalian tembakau dengan menggunakan alat komunikasi yang tersedia, baik melalui program pendidikan yang menyadarkan masyarakat mengenai resiko kesehatan akibat konsumsi tembakau dan paparan asap rokok, pelatihan yang efektif atau program kepekaan dan penyadaran mengenai pengendalian tembakau dan akses informasi yang cukup bagi masyarakat mengenai akibat buruk dari produk tembakau terhadap kesehatan, ekonomi dan lingkungan hidup.

Kelompok kedua tentang pasal-pasal pengendalian pasokan tembakau (supply reduction) yaitu :

1. Perdagangan ilegal produk-produk tembakau (Pasal 15)

Para Pihak memberlakukan dan menerapkan upaya untuk mengatur perdagangan tembakau yang secara ilegal termasuk penyelundupan, produksi ilegal dan pemalsuan. Dengan memberikan tanda untuk menentukan asal produk tembakau tersebut, menentukan pusat penyebaran dan melakukan pengendalian arus produk tembakau dan status legalnya.


(42)

2. Penjualan kepada dan oleh anak-anak di bawah umur (Pasal 16)

Para pihak harus menetapkan aturan untuk melarang penjualan produk tembakau kepada anak yang di bawah umur, produk tembakau harus mencantumkan dengan jelas larangan penjualan kepada anak di bawah umur, menempatkan tempat penjualan rokok di tempat yang sulit dijangkau anak-anak, dan melarang penjualan rokok batangan per batang atau dalam paket kecil.

3. Pemberian dukungan terhadap alternatif kegiatan yang laksana secara ekonomis (Pasal 17)

Para pihak harus menyebarluaskan alternatif kegiatan yang layak laksana secara ekonomis kepada pekerja, petani dan penjual perorangan temabakau.

FCTC merupakan suatu konvensi yang berbeda dengan traktat pengendalian obat masa lalu, baik dalam hal mengembangkan strategi maupun mengendalikan dan mengatasi zat adiktif. Pasal-pasal dalam FCTC menegaskan pentingnya strategi pengurangan permintaan terhadap produk tembakau. Hal itu karena fokus FCTC adalah mencegah orang merokok daripada mengobati kecanduan.

Guna memperluas perlawanan terhadap epidemi tembakau, World Health Organization menyarankan enam langkah-langkah pengendalian tembakau dan kematian yang disebut dengan strategi MPOWER, meliputi :5

1. Monitor Penggunaan Tembakau dan Pencegahannya


(43)

28

Monitor penggunaan tembakau dan dampak yang ditimbulkannya harus diperkuat untuk kepentingan perumusan kebijakan. Saat ini 2/3 negara berkembang di seluruh dunia tidak memiliki data dasar penggunaan tembakau pada anak muda dan orang dewasa. Hampir 2/3 perokok tinggal di 10 negara dan Indonesia menduduki posisi keempat.

2. Perlindungan terhadap Asap Tembakau

Asap rokok tidak hanya berbahaya bagi orang yang menghisap rokok tetapi juga orang di sekitarnya (perokok pasif). Lebih dari separuh negara di dunia, dengan populasi mendekati 2/3 penduduk dunia, masih membolehkan merokok di kantor pemerintah, tempat kerja dan di dalam gedung. Perlindungan terhadap asap tembakau hanya efektif apabila diterapkan kawasan tanpa rokok 100%.

3. Optimalkan Dukungan untuk Berhenti Merokok

Tiga dari 4 perokok di seluruh dunia menyatakan ingin berhenti merokok namun bantuan komprehensif yang tersedia baru dapat menjangkau 5% nya. Bantuan yang dapat diberikan adalah:

1) Pelayanan konsultasi bantuan berhenti merokok yang terintegrasi di pelayanan kesehatan primer.

2) Quitline: Telepon layanan bantuan berhenti merokok yang mudah diakses dan cuma-cuma.


(44)

4. Waspadakan Masyarakat akan Bahaya Tembakau

Walaupun sebagian besar perokok tahu bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan, namun kebanyakan dari mereka tidak tahu apa bahayanya. Karena itulah, pesan kesehatan wajib dicantumkan dalam bentuk gambar. 5. Eliminasi iklan, Promosi dan Sponsor terkait Tembakau

Pemasaran tembakau memiliki peranan besar dalam meningkatkan gangguan kesehatan dan kematian karena tembakau. Larangan terhadap promosi produk tembakau adalah senjata yang ampuh untuk memerangi tembakau. Sepuluh tahun sejak inisiasi larangan iklan rokok dijalankan, konsumsi rokok di negara dengan larangan iklan turun 9 kali lipat dibandingkan dengan negara tanpa larangan iklan.

6. Raih Kenaikan Cukai Tembakau

Dengan menaikkan cukai tembakau, harga rokok menjadi lebih mahal. Hal ini merupakan cara yang paling efektif dalam menurunkan pemakaian tembakau dan mendorong perokok untuk berhenti.

Strategi MPOWER harus dilaksanakan secara keseluruhan untuk mencapai hasil yang efektif dalam menanggulangi epidemi tembakau.

2.2.1 Epidemi Tembakau

Tembakau adalah genus tanaman yang berdaun lebar yang berasal dari daerah Amerika Utara dan Amerika Selatan. Daun dari pohon ini sering digunakan sebagai bahan baku rokok, baik dengan menggunakan pipa maupun


(45)

30

digulung dalam bentuk rokok atau cerutu. Daun tembakau dapat pula dikunyah atau dikulum, dan ada pula yang menghisap bubuk tembakau melalui hidung.

Robin Appleberry mengemukakan bahwa konsumsi tembakau secara global menyebabkan kerugian bersih ekonomi tahunan sekitar 200 miliar dolar.6 Sejalan dengan pendapat Appleberry, Alberto Alemanno juga mengatakan bahwa konsumsi tembakau bertanggung jawab atas kematian 650.000 jiwa setiap tahunnya, terhitung lebih dari lima belas persen dari semua kematian di Uni Eropa.7

Promosi aktif produk-produk tembakau oleh perusahaan-perusahaan tembakau juga sangat berpengaruh terhadap konsumsi produk-produk tembakau yang mana juga menyebabkan peringatan-peringatan medis atas bahaya tembakau kurang menjadi hal yang kurang diperhatikan oleh masyarakat khususnya konsumen produk tembakau. Ketika individu menyadari dampak kesehatan dari konsumsi tembakau, kebanyakan dari penggunanya berkeinginan untuk berhenti mengkonsumsi tembakau namun pada kenyataannya sulit untuk dilakukan dikarenakan oleh adiksi nikotin.8

Sebatang rokok mengandung 4.000 jenis senyawa kimia beracun yang berbahaya untuk tubuh, 43 di antaranya bersifat karsinogenik (yang menyebabkan kanker atau meningkatkan resiko timbulnya kanker). Bahan berbahaya dan racun

6 Robin Appleberry, 2001, Breaking the Camel’s Back: Bringing Women’s Human Rights to

Bear.Yale Journal of Law & Feminism: Vol. 13: Iss. 1, Article 4. h.86

7 Alberto Alemanno, 2012, Out Sight, Out Mind: Towards a New EU Toabcco ProductsDirective, The Shredan Press, Hanoven, h. 197.

8 Federal Trade Commission, 2005, Cigarette Report for 2003, Washington D.C, Federal Trade Comission, h. 1.


(46)

dalam rokok tidak hanya mengakibatkan gangguan kesehatan pada orang yang merokok, namun juga kepada orang-orang di sekitarnya yang tidak merokok yang sebagian besar adalah bayi, anak-anak dan ibu-ibu yang terpaksa menjadi perokok pasif oleh karena ayah atau suami mereka merokok di rumah. Padahal perokok pasif mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita kanker paru-paru dan penyakit jantung. Sedangkan pada janin, bayi dan anak-anak mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita kejadian berat badan lahir rendah, bronchitis dan pneumonia, infeksi rongga telinga dan asthma.9

Dalam menangggulangi epidemi tembakau global, organisasi kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO) melalui Framework Convention on Tobacco Control dengan 185 negara penandatangan dalam pencapaiannya, pengendalian tembakau memerlukan koordinasi antara banyak instansi pemerintah, lembaga akademik, asosiasi profesi dan organisasi masyarakat sipil di tingkat negara, serta koordinasi dan dukungan kerjasama internasional dan lembaga pembangunan.

2.3 Indonesia dan Framework Convention On Tobacco Control

2.3.1 Perjajian Internasional

Perjanjian internasional yang dibuat antar negara diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 (Konvensi Wina 1969). Konvensi ini berlaku pada 27 Januari 1980. Konvensi ini memuat seperangkat peraturan

9Anonim, 2012, “Komnas HAM Mendukung Aksesi FCTCEdisi IV”, Wacana HAM Edisi IV, September 2013,h.3


(47)

32

komprehensif mengenai pembentukan, penafsiran dan pengakhiranperjanjian.10 Sebelum adanya Konvensi Wina 1969 yang mengatur tentang perjanjian internasional antar negara baik bilateral maupun multilateral, perjanjian internasional diadakan berdasarkan asas-asas seperti good faith, pacta sunservanda dan perjanjian tersebut terbentuk atas consent dari negara-negara di dalamnya.

Perjanjian internasional atau “treaty” adalah sarana utama yang dimiliki negara untuk memulai dan mengembangkan hubungan internasional. Perjanjian internasional merupakan bentuk dari semua perbuatan hukum dan transaksi dalam masyarakat internasional.11 Berdasarkan ketentuan di dalam Pasal 2 The Vienna Convention on the Law of Treaties (VCLT), treaty didefinisikan sebagai:

“An international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation”.

Artinya :

Suatu persetujuan yang di buat antara negara dalam bentuk tertulis dan di atur oleh hukum internasional, apakah dalam instrument tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya.

Kemudian menurut Mochtar Kusumaatmaja, perjanjian internasional adalah perjanjian yang di adakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. Berdasarkan defenisi ini

10 Huala Adolf, 1997, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta, h.103.


(48)

subyek hukum internasional yang mengadakan perjanjian adalah anggota masyarakat bangsa-bangsa, lembaga-lembaga internasional dan negara-negara. 12 Definisi ini kemudian dikembangkan oleh pasal 1 ayat 3 Undang -Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang menerangkan bahwa 13:

“Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional, atau subyek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.”

Dari sumber hukumnya, terdapat 2 macam perjanjian internasional yaitu : a. Treaty Contract : Perjanjian-perjanjian seperti suatu kontrak atau

perjanjian dalam hukum perdata yang mengakibatkan adanya hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu saja. b. Law Making Treaties : Perjanjian yang meletakkan ketentuan atau

kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa FCTC termasuk ke dalam jenis perjanjian internasional yang bersumber pada hukum Law Making Treaties, karena perjanjian tersebut memuat kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan.

Selain itu, terdapat 2 macam perjanjian internasional jika ditinjau dari sudut para pihak yang mengadakannya, yaitu antara lain:

12 Boer Mauna, 2001, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, P.T Alumni, Bandung, h. 84.


(49)

34

a. Perjanjian Bilateral

Perjanjian yang hanya diadakan oleh dua pihak (negara) saja yang pada umumnya hanya mengatur soal-soal khusus yang menyangkut kepentingan kedua belah pihak saja perjanjian bilateral pada umumnya termasuk apa yang dinamakan “treaty contracts”.

b. Perjanjian Multilateral

Perjanjian yang diadakan oleh banyak pihak (negara), yang pada umumnya merupakan perjanjian terbuka (open verdrag). Di mana hal-hal yang diatur lazimnya hal-hal-hal-hal yang menyangkut kepentingan umum, yang tidak hanya menyangkut kepentingan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu saja, melainkan menyangkut pula kepentingan lain yang bukan peserta perjanjian itu sendiri. Perjanjian Multilateral inilah yang umumnya dikategorikan sebagai “law making treaties”.14

FCTC dikategorikan sebagai perjanjian multilateral. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah negara yang tergabung dalam perjanjian internasional tersebut, kemudian memiliki komitmen yang sama di dalam bidang kepentingan umum khususnya mengenai pengendalian dampak tembakau.

2.3.2 Ratifikasi

Pada tahun 1969, negara-negara telah menandatangani Konvensi Wina tentang perjanjian internasional, yang mulai berlaku pada tahun 1980. Pasal 2 Konvensi Wina 1980 mendefinisikan perjanjian internasional sebagai persetujuan antara dua

14Syahmin A.K, 1985, Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Wina 1969), C.V.Armico, Bandung, h.12.


(50)

negara atau lebih, dengan tujuan mengadakan hubungan timbal balik menurut hukum Internasional. Dalam praktiknya, beberapa negara yang membentuk perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi :15

1. Perjanjian internasional melalui 2(dua) tahap.

Kedua tersebut adalah tahap perundingan (negotiation) dan tahap penandatanganan (signature). Dalam tahap perundingan ini, wakil-wakil parapihak bertemu dalam suatu forum atau tempat khusus membahas dan merumuskan masalah-masalah. Perumusan tersebut kemudian menjadi hasil kata sepakat yang akhirnya berupa naskah perjanjian. Selanjutnya naskah perjanjian tersebut ditandatangani yang berarti telah mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang bersangkutan. Perjanjian yang dibentuk melalui dua tahap cukup sederhana dan cukup prosesnya. Perjanjian dua tahap ini hanya sesuai untuk masalah-masalah yang pelaksanaannya segera dapat diselesaikan.

2. Perjanjian internasional melalui 3(tiga) tahap.

1. Tahap perundingan (negotiation), pada tahap ini pihak-pihak akan mempertimbangkan terlebih dahulu materi yang hendak dicantumkan dalam naskah perjanjian. Materi tersebut ditinjau dari sudut pandang politik, ekonomi maupun keamanan dan juga mempertimbangkan akibat-akibat yang akan muncul setelah perjanjian disahkan. Penunjukkan wakil suatu negara dalam

15 I Wayan Parthiana, 2003, Pengantar Hukum Internasional, CV. Mandar Maju, Bandung, h. 221.


(51)

36

perundingan diserahkan sepenuhnya kepada negara bersangkutan.

2. Tahap penandatangan (signature), tahap penandatanganan diakhiri dengan penerimaan naskah (adoption of the text) dan pengesahan (authentication of the text). Apabila koferensi tidak menentukan cara pengesahan maka pengesahan dapat dilakukan dengan penendatanganan, penandatanganan sementara atau pembubuhan paraf. Dengan menandatangani suatu naskah perjanjian, berarti suatu negara telah menyetujui untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian.

3. Tahap ratifikasi (ratification), meskipun delegasi suatu negara telah menandatangani suatu perjanjian internasional, tidak berarti bahwa negara tersebut secara otomatis terikat pada perjanjian itu. Negara tersebut baru terikat pada materi/ isi perjanjian setelah naskah tersebut diratifikasi.

Sehingga kekuatan mengikat dari suatu perjanjian internasional erat kaitannya dengan ratifikasi. Ratifikasi berasal dari bahasa latin yaitu “ratificare”yang terbentuk dari kata ratus yang berarti dimantapkan (fixed) dan facto yang berarti dibuat atau dibentuk. Jadi ratifikasi secara harafiah dapat dikatakan disahkan melalu persetujuan (make valid by approving).16 Dalam bahasa latin, ratifikasi mempunyai dua arti, pertama ratum babare dan ratum ducare, ratifikasi dalam hal ini bersifat deklarator karena hanya mengesahkan

16Priyatna Abdurasyid, 1991, Instrument Hukum Nasional bagi Peratifikasian Perjanjian Internasional, dalam Majalah Hukum Nasional BPHN No.1Tahun 1991, BPHN, Jakarta, h.29.


(52)

suatu perjanjian yang telah disepakati oleh wakil-wakil negara. Kedua, ratum facare dan ratum alicuiesse, ratifikasi dalam hal ini bersifat konstitutif karena merupakan pengesahan semua ketentuan yang tercantum dalam perjanjian, yang berarti dapat mengikat bagi negara peserta.17

Pengertian ratifikasi dalam konvensi internasional terdapat pada Konvensi Wina 1969 (Vienna Convention on the Law of Treaties) Pasal 2 ayat (1b): "Ratification means in each cases the internasional act so named whereby a state astheblishes on the internasional plan its consent to be bound by treaty". Ratifikasi dalam artian ini merupakan suatu tindakan negara yang dipertegas oleh pemberian persetujuannya ini menekankan adanya persetujuan yang akan meningkatkan rencana perjanjian menjadi perjanjian internasional yang berlaku (mengikat) bagi negara-negara peserta. Ratifikasi tersebut tidak hanya menjadi persoalan hukum internasional, tetapi juga merupakan persoalan hukum nasional (Hukum Tata Negara). Hukum internasional hanya menentukan pentingnya suatu perjanjian internasional diratifikasi, sedangkan tata cara pemberian ratifikasi perjanjian diatur oleh hukum nasional masing- masing negara. Dengan demikian perjanjian internasional yang telah di tandatangani agar memiliki suatu kekuatan hukum diperlukannya suatu persetujuan yang dilakukan oleh lembaga ratifikasi. Adanya ratifikasi ini bertujuan agara suatu setiap negara dapat meninjau kembali hasil perundingan perutusannya sebelum menerima kewajiban yang ditetapkan dalam perjanjian internasional yang bersangkutan dan bahwa negara tersebut mungkin memerlukan penyesuaian hukum nasionalnya dengan memperhatikan

17 Andreas Pramudianto, 1998, Ratifikasi Perjanjian Internasional di Bidang Lingkungan Hidup, Mandar Maju, Jakarta, h.237.


(53)

38

dari segala aspek seperti hukum, politik, ekonomi, social serta budaya yang ada didalamnya termasuk bidang kesehatan masyarakat terhadap ketentuan-ketentuan yang diperjanjikan.

Ada beberapa alasan ratifikasi dianggap perlu dan penting yaitu:18

a. Perjanjian-perjanjian itu umumnya menyangkut kepentingan dan masa depan negara dalam hal-hal tertentu, karena itu harus disahkan oleh kekuasaan negara tertinggi.

b. Untuk menghindarkan kontroversi antara utusan-utusan yang berunding dengan pemerintah yang mengutus mereka.

c. Perlu adanya waktu agar instansi-instansi yang bersangkutan dapat mempelajari naskah yang diterima.

d. Pengaruh rezim parlementer yang mempunyai wewenang untuk mengawasi kegiatan-kegiatan eksekutif.

Selain ratifikasi, dalam konvensi Wina 196 terdapat istilah lain namun secara garis besar maknanya sama dengan ratifikasi yaitu aksesi (accession). Walaupun menurut Konvensi Wina 1969 pengertian aksesi sama dengan ratifikasi, namun doktrin memberi pengertian lain pada aksesi, aksesi diartikan sebagai keikut sertaan suatu negara yang bukan negara penandatangan suatu perjanjian internasional, dalam perjajian internasional tersebut dengan status yang sama dengan negara para pihak penandatanganan yang pertama.19 Istilah aksesi ini juga berlaku dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Sebagai

18 Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional,Alumni,Jakarta,h.118.


(54)

negara yang tidak meratifikasi naskah FCTC, maka Indonesia dalam hal prosedur pengikatan diri terhadap FCTC dapat dilakukan melalui cara aksesi.

Dalam FCTC terdapat 3 tahapan untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan FCTC ke dalam hukum nasional masing-masing negara peserta seperti yang telah diatur dalam Pasal 34, 35 dan 36 konvensi ini. Setelah 90 (sembilan puluh)hari FCTC diratifikasi oleh sedikitnya 40 negara, maka ia menjadi hukum internasional dengan aturan dan prosedur tersendiri. Perjanjian internasionalini hanya mengatur hubungan antar negara-negara yang telah meratifikasinya.

Negara peserta yang meratifikasi FCTC, wajib mengadopsi substansi utama dari FCTC terhadap hukum domestik mereka sehingga negara tersebut memiliki ikatan hukum terhadap konvensi.20Akan tetapi, Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum menandatangani dan meratifikasi FCTC serta mengingat Indonesia merupakan negara dengan peringkat ke-4 dengan jumlah perokok terbesar di dunia, banyak pendapat dan keinginan dari berbagai pihak yang peduli lingkungan dan kesehatan yang meminta agar pemerintah meratifikasi FCTC, namun hingga tahun 2015 pemerintah masih tetap belum meratifikasi perjanjian tersebut. Hal tersebut karena Indonesia masih mempertimbangkan masalah-masalah ekonomi, sosial dan budaya yang akan dihadapi ketika FCTC tersebut diratifikasi.

Berikut ini adalah daftar negara-negara yang menandatangani dan meratifikasi FCTC :21

20 Oscar Cabrera and Alejandro Madrazo, 2010,“Human Rights as a Tool for Tobacco Control


(55)

40

Participant Signature Ratification

Afghanistan 29-Jun-04 13 Aug 2010

Albania 29-Jun-04 26-Apr-06

Algeria 20-Jun-03 30-Jun-06

Angola 29-Jun-04 20-Sep-07

Antigua and Barbuda 28-Jun-04 5 Jun 2006

Argentina 25-Sep-03

Armenia 29 Nov 2004

Australia 5 Dec 2003 27 Oct 2004

Austria 28 Aug 2003 15-Sep-05

Azerbaijan 1 Nov 2005

Bahamas 29-Jun-04 3 Nov 2009

Bahrain 20 Mar 2007

Bangladesh 16-Jun-03 14-Jun-04

Barbados 28-Jun-04 3 Nov 2005

Belarus 17-Jun-04 8 Sep 2005

Belgium 22-Jan-04 1 Nov 2005

Belize 26-Sep-03 15 Dec 2005

Benin 18-Jun-04 3 Nov 2005

Bhutan 9 Dec 2003 23 Aug 2004

Bolivia (Plurinational State of) 27-Feb-04 15-Sep-05

Bosnia and Herzegovina 10 Jul 2009

Botswana 16-Jun-03 31-Jan-05

Brazil 16-Jun-03 3 Nov 2005

Brunei Darussalam 3 Jun 2004 3 Jun 2004

Bulgaria 22 Dec 2003 7 Nov 2005

Burkina Faso 22 Dec 2003 31-Jul-06

Burundi 16-Jun-03 22 Nov 2005

Cabo Verde 17-Feb-04 4 Oct 2005

Cambodia 25 May 2004 15 Nov 2005

Cameroon 13 May 2004 3 Feb 2006

21 United Nations- Trety Collection “Status Of The Who Framework Convention On Tobacco Control (FCTC)”.


(56)

Canada 15-Jul-03 26 Nov 2004 Central African Republic 29 Dec 2003 7 Nov 2005

Chad 22-Jun-04 30-Jan-06

Chile 25-Sep-03 13-Jun-05

China 10 Nov 2003 11 Oct 2005

Colombia 10 Apr 2008

Comoros 27-Feb-04 24-Jan-06

Congo 23-Mar-04 6 Feb 2007

Cook Islands 14 May 2004 14 May 2004

Costa Rica 3 Jul 2003 21 Aug 2008

Côte d'Ivoire 24-Jul-03 13 Aug 2010

Croatia 2 Jun 2004 14-Jul-08

Cuba 29-Jun-04

Cyprus 24 May 2004 26 Oct 2005

Czech Republic 16-Jun-03 1 Jun 2012

Democratic People's Republic of

Korea 17-Jun-03 27-Apr-05

Democratic Republic of the Congo 28-Jun-04 28 Oct 2005

Denmark 16-Jun-03 16 Dec 2004

Djibouti 13 May 2004 31-Jul-05

Dominica 29-Jun-04 24-Jul-06

Ecuador 22-Mar-04 25-Jul-06

Egypt 17-Jun-03 25-Feb-05

El Salvador 18-Mar-04 21-Jul-14

Equatorial Guinea 17 Sep 2005

Estonia 8 Jun 2004 27-Jul-05

Ethiopia 25-Feb-04 25-Mar-14

European Union 16-Jun-03 30 Jun 2005

Fiji 3 Oct 2003 3 Oct 2003

Finland 16-Jun-03 24-Jan-05

France 16-Jun-03 19 Oct 2004

Gabon 22 Aug 2003 20-Feb-09

Gambia 16-Jun-03 18-Sep-07

Georgia 20-Feb-04 14-Feb-06

Germany 24 Oct 2003 16 Dec 2004

Ghana 20-Jun-03 29 Nov 2004

Greece 16-Jun-03 27-Jan-06

Grenada 29-Jun-04 14 Aug 2007

Guatemala 25-Sep-03 16 Nov 2005

Guinea 1 Apr 2004 7 Nov 2007


(57)

42

Guyana 15 Sep 2005

Haiti 23-Jul-03

Honduras 18-Jun-04 16-Feb-05

Hungary 16-Jun-03 7 Apr 2004

Iceland 16-Jun-03 14-Jun-04

India 10-Sep-03 5 Feb 2004

Iran (Islamic Republic of) 16-Jun-03 6 Nov 2005

Iraq 29-Jun-04 17-Mar-08

Ireland 16-Sep-03 7 Nov 2005

Israel 20-Jun-03 24 Aug 2005

Italy 16-Jun-03 2 Jul 2008

Jamaica 24-Sep-03 7 Jul 2005

Japan 9 Mar 2004 8 Jun 2004

Jordan 28 May 2004 19 Aug 2004

Kazakhstan 21-Jun-04 22-Jan-07

Kenya 25-Jun-04 25-Jun-04

Kiribati 27-Apr-04 15-Sep-05

Kuwait 16-Jun-03 12 May 2006

Kyrgyzstan 18-Feb-04 25 May 2006

Lao People's Democratic Republic 29-Jun-04 6 Sep 2006

Latvia 10 May 2004 10-Feb-05

Lebanon 4 Mar 2004 7 Dec 2005

Lesotho 23-Jun-04 14-Jan-05

Liberia 25-Jun-04 15-Sep-09

Libya 18-Jun-04 7 Jun 2005

Lithuania 22-Sep-03 16 Dec 2004

Luxembourg 16-Jun-03 30-Jun-05

Madagascar 24-Sep-03 22-Sep-04

Malaysia 23-Sep-03 16-Sep-05

Maldives 17 May 2004 20 May 2004

Mali 23-Sep-03 19 Oct 2005

Malta 16-Jun-03 24-Sep-03

Marshall Islands 16-Jun-03 8 Dec 2004

Mauritania 24-Jun-04 28 Oct 2005

Mauritius 17-Jun-03 17 May 2004

Mexico 12 Aug 2003 28 May 2004

Micronesia (Federated States of) 28-Jun-04 18-Mar-05

Mongolia 16-Jun-03 27-Jan-04

Montenegro 4 23 Oct 2006

Morocco 16-Apr-04


(1)

Participant Signature Ratification

Afghanistan 29-Jun-04 13 Aug 2010

Albania 29-Jun-04 26-Apr-06

Algeria 20-Jun-03 30-Jun-06

Angola 29-Jun-04 20-Sep-07

Antigua and Barbuda 28-Jun-04 5 Jun 2006

Argentina 25-Sep-03

Armenia 29 Nov 2004

Australia 5 Dec 2003 27 Oct 2004

Austria 28 Aug 2003 15-Sep-05

Azerbaijan 1 Nov 2005

Bahamas 29-Jun-04 3 Nov 2009

Bahrain 20 Mar 2007

Bangladesh 16-Jun-03 14-Jun-04

Barbados 28-Jun-04 3 Nov 2005

Belarus 17-Jun-04 8 Sep 2005

Belgium 22-Jan-04 1 Nov 2005

Belize 26-Sep-03 15 Dec 2005

Benin 18-Jun-04 3 Nov 2005

Bhutan 9 Dec 2003 23 Aug 2004

Bolivia (Plurinational State of) 27-Feb-04 15-Sep-05

Bosnia and Herzegovina 10 Jul 2009

Botswana 16-Jun-03 31-Jan-05

Brazil 16-Jun-03 3 Nov 2005

Brunei Darussalam 3 Jun 2004 3 Jun 2004

Bulgaria 22 Dec 2003 7 Nov 2005

Burkina Faso 22 Dec 2003 31-Jul-06

Burundi 16-Jun-03 22 Nov 2005

Cabo Verde 17-Feb-04 4 Oct 2005

Cambodia 25 May 2004 15 Nov 2005

Cameroon 13 May 2004 3 Feb 2006

21 United Nations- Trety Collection “Status Of The Who Framework Convention On Tobacco Control (FCTC)”.


(2)

Canada 15-Jul-03 26 Nov 2004

Central African Republic 29 Dec 2003 7 Nov 2005

Chad 22-Jun-04 30-Jan-06

Chile 25-Sep-03 13-Jun-05

China 10 Nov 2003 11 Oct 2005

Colombia 10 Apr 2008

Comoros 27-Feb-04 24-Jan-06

Congo 23-Mar-04 6 Feb 2007

Cook Islands 14 May 2004 14 May 2004

Costa Rica 3 Jul 2003 21 Aug 2008

Côte d'Ivoire 24-Jul-03 13 Aug 2010

Croatia 2 Jun 2004 14-Jul-08

Cuba 29-Jun-04

Cyprus 24 May 2004 26 Oct 2005

Czech Republic 16-Jun-03 1 Jun 2012

Democratic People's Republic of

Korea 17-Jun-03 27-Apr-05

Democratic Republic of the Congo 28-Jun-04 28 Oct 2005

Denmark 16-Jun-03 16 Dec 2004

Djibouti 13 May 2004 31-Jul-05

Dominica 29-Jun-04 24-Jul-06

Ecuador 22-Mar-04 25-Jul-06

Egypt 17-Jun-03 25-Feb-05

El Salvador 18-Mar-04 21-Jul-14

Equatorial Guinea 17 Sep 2005

Estonia 8 Jun 2004 27-Jul-05

Ethiopia 25-Feb-04 25-Mar-14

European Union 16-Jun-03 30 Jun 2005

Fiji 3 Oct 2003 3 Oct 2003

Finland 16-Jun-03 24-Jan-05

France 16-Jun-03 19 Oct 2004

Gabon 22 Aug 2003 20-Feb-09

Gambia 16-Jun-03 18-Sep-07

Georgia 20-Feb-04 14-Feb-06

Germany 24 Oct 2003 16 Dec 2004

Ghana 20-Jun-03 29 Nov 2004

Greece 16-Jun-03 27-Jan-06

Grenada 29-Jun-04 14 Aug 2007

Guatemala 25-Sep-03 16 Nov 2005

Guinea 1 Apr 2004 7 Nov 2007


(3)

Guyana 15 Sep 2005

Haiti 23-Jul-03

Honduras 18-Jun-04 16-Feb-05

Hungary 16-Jun-03 7 Apr 2004

Iceland 16-Jun-03 14-Jun-04

India 10-Sep-03 5 Feb 2004

Iran (Islamic Republic of) 16-Jun-03 6 Nov 2005

Iraq 29-Jun-04 17-Mar-08

Ireland 16-Sep-03 7 Nov 2005

Israel 20-Jun-03 24 Aug 2005

Italy 16-Jun-03 2 Jul 2008

Jamaica 24-Sep-03 7 Jul 2005

Japan 9 Mar 2004 8 Jun 2004

Jordan 28 May 2004 19 Aug 2004

Kazakhstan 21-Jun-04 22-Jan-07

Kenya 25-Jun-04 25-Jun-04

Kiribati 27-Apr-04 15-Sep-05

Kuwait 16-Jun-03 12 May 2006

Kyrgyzstan 18-Feb-04 25 May 2006

Lao People's Democratic Republic 29-Jun-04 6 Sep 2006

Latvia 10 May 2004 10-Feb-05

Lebanon 4 Mar 2004 7 Dec 2005

Lesotho 23-Jun-04 14-Jan-05

Liberia 25-Jun-04 15-Sep-09

Libya 18-Jun-04 7 Jun 2005

Lithuania 22-Sep-03 16 Dec 2004

Luxembourg 16-Jun-03 30-Jun-05

Madagascar 24-Sep-03 22-Sep-04

Malaysia 23-Sep-03 16-Sep-05

Maldives 17 May 2004 20 May 2004

Mali 23-Sep-03 19 Oct 2005

Malta 16-Jun-03 24-Sep-03

Marshall Islands 16-Jun-03 8 Dec 2004

Mauritania 24-Jun-04 28 Oct 2005

Mauritius 17-Jun-03 17 May 2004

Mexico 12 Aug 2003 28 May 2004

Micronesia (Federated States of) 28-Jun-04 18-Mar-05

Mongolia 16-Jun-03 27-Jan-04

Montenegro 4 23 Oct 2006

Morocco 16-Apr-04


(4)

Myanmar 23 Oct 2003 21-Apr-04

Namibia 29-Jan-04 7 Nov 2005

Nauru 29 Jun 2004

Nepal 3 Dec 2003 7 Nov 2006

Netherlands 16-Jun-03 27 Jan 2005

New Zealand 5 16-Jun-03 27-Jan-04

Nicaragua 7 Jun 2004 9 Apr 2008

Niger 28-Jun-04 25 Aug 2005

Nigeria 28-Jun-04 20 Oct 2005

Niue 18-Jun-04 3 Jun 2005

Norway 16-Jun-03 16 Jun 2003

Oman 9 Mar 2005

Pakistan 18 May 2004 3 Nov 2004

Palau 16-Jun-03 12-Feb-04

Panama 26-Sep-03 16 Aug 2004

Papua New Guinea 22-Jun-04 25 May 2006

Paraguay 16-Jun-03 26-Sep-06

Peru 21-Apr-04 30 Nov 2004

Philippines 23-Sep-03 6 Jun 2005

Poland 14-Jun-04 15-Sep-06

Portugal 9 Jan 2004 8 Nov 2005

Qatar 17-Jun-03 23-Jul-04

Republic of Korea 21-Jul-03 16 May 2005

Republic of Moldova 29-Jun-04 3 Feb 2009

Romania 25-Jun-04 27-Jan-06

Russian Federation 3 Jun 2008

Rwanda 2 Jun 2004 19 Oct 2005

Samoa 25-Sep-03 3 Nov 2005

San Marino 26-Sep-03 7 Jul 2004

Sao Tome and Principe 18-Jun-04 12-Apr-06

Saudi Arabia 24-Jun-04 9 May 2005

Senegal 19-Jun-03 27-Jan-05

Serbia 28-Jun-04 8 Feb 2006

Seychelles 11-Sep-03 12 Nov 2003

Sierra Leone 22 May 2009

Singapore 29 Dec 2003 14 May 2004

Slovakia 19 Dec 2003 4 May 2004

Slovenia 25-Sep-03 15-Mar-05

Solomon Islands 18-Jun-04 10 Aug 2004

South Africa 16-Jun-03 19-Apr-05


(5)

Sri Lanka 23-Sep-03 11 Nov 2003

St. Kitts and Nevis 29-Jun-04 21-Jun-11

St. Lucia 29-Jun-04 7 Nov 2005

St. Vincent and the Grenadines 14-Jun-04 29 Oct 2010

Sudan 10-Jun-04 31 Oct 2005

Suriname 24-Jun-04 16 Dec 2008

Swaziland 29-Jun-04 13-Jan-06

Sweden 16-Jun-03 7 Jul 2005

Switzerland 25-Jun-04

Syrian Arab Republic 11-Jul-03 22 Nov 2004

Tajikistan 21 Jun 2013

Thailand 20-Jun-03 8 Nov 2004

The former Yugoslav Republic of

Macedonia 30 Jun 2006

Timor-Leste 25 May 2004 22 Dec 2004

Togo 12 May 2004 15 Nov 2005

Tonga 25-Sep-03 8 Apr 2005

Trinidad and Tobago 27 Aug 2003 19 Aug 2004

Tunisia 22 Aug 2003 7 Jun 2010

Turkey 28-Apr-04 31 Dec 2004

Turkmenistan 13 May 2011

Tuvalu 10-Jun-04 26-Sep-05

Uganda 5 Mar 2004 20-Jun-07

Ukraine 25-Jun-04 6 Jun 2006

United Arab Emirates 24-Jun-04 7 Nov 2005

United Kingdom of Great Britain and

Northern Ireland 16-Jun-03 16 Dec 2004

United Republic of Tanzania 27-Jan-04 30-Apr-07

United States of America 10 May 2004

Uruguay 1 19-Jun-03 9 Sep 2004

Uzbekistan 15 May 2012

Vanuatu 22-Apr-04 16-Sep-05

Venezuela (Bolivarian Republic of) 22-Sep-03 27-Jun-06

Viet Nam 3 Sep 2003 17 Dec 2004

Yemen 20-Jun-03 22-Feb-07

Zambia 23 May 2008


(6)

Negara Peserta yang telah menanda tangani FCTC namun belum mertifikasi :

Negara – negara yang tidak menjadi peserta FCTC dan yang tidak

menandatangani FCTC :22

22Ibid.

1. Argentina

2. Cuba

3. Haiti

4. Moroco

5. Mozambique

6. Switzerland

7. United State of America

1 Andora

2 Dominica Republic

3 Eritrea

4 Indonesia

5 Liectenstein

6 Malawi

7 Monaco

8 Somalia