PEMBELAJARAN DENGAN SCIENTIFIC DEBATE UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI, PENALARAN, DAN KONEKSI MATEMATIS MAHASISWA DALAM KONSEP INTEGRAL.

(1)

PEMBELAJARAN DENGAN SCIENTIFIC DEBATE

UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI,

PENALARAN, DAN KONEKSI MATEMATIS MAHASISWA

DALAM KONSEP INTEGRAL

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Persyaratan Memperoleh

Gelar Doktor Pendidikan dalam Pendidikan Matematika

Promovenda

Yani Ramdani

NIM. 0907657

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2013


(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “Pembelajaran dengan

Scientific Debate untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan

Koneksi Matematis Mahasiswa dalam Konsep Integral” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Bandung, 11 Januari 2013 Yang membuat pernyataan


(3)

(4)

ABSTRAK

Yani Ramdani (2012). Pembelajaran dengan Scientific Debate untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa dalam Konsep Integral.

Penelitian ini mengkaji pengaruh pembelajaran dengan scientific debate terhadap peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis mahasiswa. Desain penelitian adalah kuasi eksperimen dengan perbandingan kelompok statis yang melibatkan 96 mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika di kota Bandung. Instrumen penelitian meliputi pengetahuan awal mahasiswa (PAM), tes kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis serta bahan ajar. Data dianalisis dengan Mann-Whitney U, ANAVA dua jalur, dan Kruskal Wallis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi dan penalaran matematis mahasiswa dengan scientific debate tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan konvensional dan peningkatan kemampuan koneksi matematis berbeda secara signifikan. Ini berarti bahwa mahasiswa yang mengikuti pembelajaran dengan scientific debate memiliki peningkatan kemampuan koneksi matematis lebih baik dibandingkan secara konvensional. Tidak terdapat perbedaan rata-rata peningkatan kemampuan komunikasi dan koneksi matematis antara mahasiswa yang mengikuti pembelajaran dengan scientific debate dengan mahasiswa yang mengikuti pembelajaran secara konvensional yang didasarkan pada PAM. Tidak terdapat interaksi antara PAM dengan pendekatan pembelajaran terhadap peningkatan kemampuan komunikasi dan koneksi matematis. Rata-rata peningkatan kemampuan penalaran matematis pada mahasiswa dengan scientific debate yang didasarkan pada PAM tidak berbeda secara signifikan. Rata-rata peningkatan kemampuan penalaran matematis pada kelas konvensional yang didasarkan pada PAM berbeda secara signifikan. Pada pembelajaran scientific debate, perbedaan latar belakang pendidikan mahasiswa tidak memberikan efek yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis. Pada pembelajaran konvensional perbedaan latar belakang pendidikan mahasiswa memberikan efek yang signifikan. Mahasiswa yang berlatar belakang Sekolah Menengah Umum memiliki peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis yang lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa yang berlatar belakang yang berlatar belakang Madrasah Aliyah. Strategi pemecahan masalah yang dilakukan mahasiswa adalah menyelesaikan masalah secara algoritmik, memberikan argumen dengan: mendefinisikan simbol matematika; menguraikan alasan model matematika yang digunakan; menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika dari tabel atau grafik; menguraikan perubahan model matematika menjadi bentuk representasi matematis lainnya; menggambarkan masalah dalam bentuk tabel atau grafik; menyebutkan bidang ilmu lain yang terkait dengan masalah; menjelaskan konsep-konsep yang digunakan; dan membuat generalisasi. Kekeliruan mahasiswa tergolong: (1) Structural errors; (2) Arbitrary errors; atau (3) Executive errors. Kata Kunci: Scientific Debate, Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis.


(5)

ABSTRACT

Yani Ramdani (2012). Scientific Debate Instructional to Enhance Students’ Mathematical Communication, Reasoning, and Connection Ability in the Concept of Integral.

This study examines the effect of scientific debate instructional strategy on the enhancement of students’ mathematical communication, reasoning, and connections ability in the concept of Integral. This quasi-experimental study with a static group comparison design involves 96 students from Department of Mathematics Education in Bandung. Research instruments include student’ prior knowledge (PAM), a test of mathematical communication, reasoning and connection ability as well as teaching materials. The data are analyzed by using Mann-Whitney U test, two-way ANOVA and Kruskal-Wallis Test. The study finds that the students’ enhancement in mathematical communication and reasoning abilities in students with the scientific debate is not significantly different from that of the conventional instruction. Students’ mathematical connection ability that follows instruction with scientific debate strategy is better than that of students who follow the conventional instruction. There was no difference in the average rate of the increasing mathematical communication and connection skills of students between the interactions of PAM with learning approach. There is no interaction between instructional factors and PAM factors on the increasing mathematical communication and connection skills. The enhancement of student’ mathematical reasoning abilities with a scientific debate based on the PAM, it is not completely distinctive. On the other hand, the enhancement of students’ mathematical reasoning abilities with a conventional instruction based on the PAM was considerably different. On the scientific debate, students’ educational background differences do not give major effect on the enhancement mathematical communication, reasoning and connection ability but on the conventional instruction provides a better effect. This means that, the students with background of Senior High School have enhanced mathematical communication, reasoning, and connections ability better than compare to the students of the Islamic Senior High School. There are several strategies that the students take to solve the problem; first, the students elucidate the algorithmic problems and then they give the answer as an argument like defining mathematical symbols, mathematical models and describing the reason why they use it; explaining ideas, situations, and mathematical relationships of tables or graphs; portraying the mathematical model into other forms of mathematical representation; depicting the problem in the form of tables or graphs, mentioning other disciplines related to the matter, illustrating the concepts used and make generalizations. There are three major errors of students in this research. The researcher classified them into three groups (1) structural errors, (2) arbitrary errors, (3) executive errors.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN PENGESAHAN

RIWAYAT HIDUP

PERNYATAAN……….

KATA PENGANTAR ………..

ABSTRAK ………

ABSTRACT ………..

DAFTAR ISI ……….

DAFTAR TABEL ……….

DAFTAR LAMPIRAN ……….

i ii vi vii x xi xii xiv xvii BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ………. B. Rumusan Masalah ……….. C. Tujuan Penelitian ……… D. Manfaat Penelitian ……….. E. Definisi Operasional ………...

1 12 13 15 16 BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Aliran Konstruktivisme (Constructivism) ……….. B. Teori Belajar yang Mendukung Penelitian ………. C. Kemampuan Berfikir Matematis Tingkat Tinggi ……… D. Mengembangkan Kemampuan Berfikir Matematis Tingkat

Tinggi ………..

E. Pendekatan Pembelajaran untuk Meningkatan Kemampuan Berfikir Matematis Tingkat Tinggi ………... F. Model Pembelajaran Scientific Debate ………...

20 22 27 40 42 51 BAB III METODE PENELITIAN

A. Disain Penelitian ……….. B. Populasi dan Sampel ………... C. Variabel Penelitian ……….. D. Teknik Pengumpulan Data dan Teknik Analisis Data ………… E. Waktu Penelitian ………. F. Pengembangan Instrumen ………... G. Pengembangan Bahan Ajar ………. H. Prosedur Penelitian

55 56 57 57 62 62 86 90 BAB IV PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian

1. Peningkatan Kemanpuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis ……… 91


(7)

2. Perbandingan Kemanpuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Manurut Interaksi antara Model Pembelajaran dengan PAM ………... 3. Kemanpuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi

Matematis Menurut Hubungan antara Model Pembelajaran dengan Latar Belakang Pendidikan Mahasiswa

……….

4. Strategi Penyelesaian Masalah oleh Mahasiswa …………... 5. Analisis Kesalahan, Kekeliruan, atau Kekurangan dan

Kesulitan Mahasiswa dalam Proses Penyelesaian Masalah ... B. Pembahasan

1. Model Pembelajaran ………... 2. Pengetahuan Awal Matematis ……… 3. Latar Belakang Pendidikan Mahasiswa ……….

96

127 139 142

171 177 182 BAB

V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ……….. B. Implikasi ………...

C. Rekomendasi ………

189 192 197 DAFTAR PUSTAKA ………... 199


(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Rancangan Anova Dua Jalur ……….. 60

Tabel 3.2 Matriks Rancangan Tes ………. 68

Tabel 3.3 Hasil Pertimbangan Instrumen Tentang Validitas Isi ……… 74

Tabel 3.4 Uji Hasil Pertimbangan Validitas Isi ………. 74

Tabel 3.5 Hasil Pertimbangan Instrumen Tentang Validitas Muka ……….. 75

Tabel 3.6 Uji Hasil Pertimbangan Validitas Muka ……… 75

Tabel 3.7 Pedoman Penskoran ………... 76

Tabel 3.8 Data Skor Mahasiswa Hasil Ujicoba Instrumen ……… 77

Tabel 3.9 Validitas Butir Soal ……… 79

Tabel 3.10 Tingkat Reliabilitas ……… 80

Tabel 3.11 Tingkat Kesukaran Soal ………. 80

Tabel 3.12 Klasifikasi Daya Pembeda ………. 81

Tabel 3.13 Daya Pembeda Soal ………... 81

Tabel 4.1 Uji Normalitas Skor PAM ………. 93

Tabel 4.2 Uji Homogenitas Varians Populasi Skor PAM ……….. 94

Tabel 4.3 Deskripsi Data PAM Kelas Eksperimen dan Kontrol …………... 94

Tabel 4.4 Uji-t Skor PAM ……….. 95

Tabel 4.5 Kelompok PAM Siswa berdasarkan Asal Sekolah ……… 96

Tabel 4.6 Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa ……… 97

Tabel 4.7 Uji Normalitas Skor Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis ……… 98

Tabel 4.8 Deskripsi Data Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis ……… 101

Tabel 4.9 Rank Skor Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis ………. 102


(9)

Tabel 4.10 Uji Mann-Whitney U Skor Peningktan Kemampuan Komuniksi, Penalaran, dan Koneksi Matematis ………

103 Tabel 4.11 Deskripsi Data Peningkatan Kemampuan Komunikasi,

Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa Kelas Eksperimen berdasarkan PAM ……….. 105 Tabel 4.12 Deskripsi Data Peningkatan Kemampuan Komunikasi,

Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa Kelas Kontrol

berdasarkan PAM ……….. 106 Tabel 4.13 Uji Normalitas Skor Peningkatan Kemampuan Komunikasi,

Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa Kelas Eksperimen berdasarkan PAM ……….. 108 Tabel 4.14 Uji Normalitas Skor Peningkatan Kemampuan Komunikasi,

Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa Kelas Kontrol

berdasarkan PAM ……….. 109 Tabel 4.15 Uji Homogenitas Varians Populasi Skor Peningkatan

Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis

Mahasiswa Kelas Eksperimen berdasarkan PAM ………. 113 Tabel 4.16 Kelompok Mahasiswa berdasarkan PAM dan Metode ………….. 115 Tabel 4.17 Deskripsi Data Peningkatan Kemampuan Komunikasi

berdasarkan PAM dan Metode ……….. 115 Tabel 4.18 ANOVA Skor Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis

berdasarkan PAM dan Metode ……….. 116 Tabel 4.19 Perbandingan Selisih Peningkatan Kemampuan Komunikasi

Matematis berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dengan PAM... 117 Tabel 4.20 Homogeneous Subsets Peningkatan Kemampuan Komunikasi

Matematis ………... 118 Tabel 4.21 Deskripsi Data Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis

berdasarkan PAM dan Metode ……….. 120 Tabel 4.22 ANOVA Skor Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis

berdasarkan PAM dan Metode ……….. 122 Tabel 4.23 Perbandingan Selisih Peningkatan Kemampuan Koneksi

Matematis berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dengan PAM .. 123 Tabel 4.24 Homogeneous Subsets Peningkatan Kemampuan Koneksi

Matematis ………... 123 Tabel 4.25 Rank Skor Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis Kelas


(10)

Tabel 4.26 Uji Kruskal Wallis Skor Peningkatan Kemampuan Penalaran

Matematis Kelas Eksperimen ……… 126

Tabel 4.27 Rank Skor Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis Kelas

Kontrol berdasarkan PAM ………. 126 Tabel 4.28 Uji Kruskal Wallis Skor Peningkatan Kemampuan Penalaran

Matematis Kelas Kontrol ……… 127 Tabel 4.29 Uji Normalitas Skor Peningkatan Kemampuan Komunikasi,

Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa Kelas

Eksperimen berdasakan Latar Belakang Pendidikan ………… 128 Tabel 4.30 Uji Normalitas Skor Peningkatan Kemampuan Komunikasi,

Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa Kelas Kontrol

berdasakan Latar Belakang Pendidikan ………. 129 Tabel 4.31 Uji Homogenitas Varian Populasi Skor Peningkatan Kemampuan

Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa

Kelas Eksperimen berdasakan Latar Belakang Pendidikan …… 130 Tabel 4.32 Uji Homogenitas Varian Populasi Skor Peningkatan Kemampuan

Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa

Kelas Kontrol berdasakan Latar Belakang Pendidikan …………. 131 Tabel 4.33 Deskripsi Data Peningkatan Kemampuan Komunikasi,

Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa Kelas

Eksperimen berdasakan Latar Belakang Pendidikan Mahasiswa. 133 Tabel 4.34 Rank Skor Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran,

dan Koneksi Matematis Mahasiswa Kelas Eksperimen

berdasakan Latar Belakang Pendidikan Mahasiswa ……… 134 Tabel 4.35 Uji Mann-Whitney U Skor Peningkatan Kemampuan

Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa Kelas Kontrol berdasakan Latar Belakang Pendidikan

Mahasiswa ……… 135

Tabel 4.36 Deskripsi Data Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa Kelas Kontrol

berdasakan Latar Belakang Pendidikan Mahasiswa ……… 136 Tabel 4.37 Rank Skor Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran,

dan Koneksi Matematis Mahasiswa Kelas Kontrol berdasakan

Latar Belakang Pendidikan Mahasiswa ………... 137 Tabel 4.38 Uji Mann-Whitney U Skor Peningkatan Kemampuan

Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa


(11)

Mahasiswa ……….

Tabel 4.39 Karakteristik Model Pembelajaran ……… 172

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Lampiran A-1 Lampiran A-2 Lampiran A-3 Lampiran B Lampiran B-1 Lampiran B-2 Lampiran B-3 Lampiran B-4 Lampiran C Lampiran C-1 Lampiran C-2 Lampiran C-3 Lampiran C-4 Lampiran C-5 Lampiran C-6

Lembar Pertimbangan ………. Hasil Pertimbangan Mengenai Validitas Isi dan Muka Tes Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi

Matematis Mahasiswa……….. Data Hasil Uji Coba Soal Tes Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa …………..

Rencana Pembelajaran ……… Lembar Kerja Mahasiswa Pembelajaran Scientific Debate. Lembar Observasi Pembelajaran Scientific Debate……….. Kisi-kisi dan Soal Kemampuan Komunikasi, Penalaran dan Koneksi Matematis Mahasiswa ………

Skor Pretes dan Postes Kemampuan Komunikasi

Matematis Mahasiswa Kelas Eksperimen ……….. Skor Pretes dan Postes Kemampuan Penalaran Matematis Mahasiswa Kelas Eksperimen ……… Skor Pretes dan Postes Kemampuan Koneksi Matematis Mahasiswa Kelas Eksperimen ……… Skor Pretes dan Postes Kemampuan Komunikasi

Matematis Mahasiswa Kelas Kontrol ………. Skor Pretes dan Postes Kemampuan Penalaran Matematis Mahasiswa Kelas Kontrol ………... Skor Pretes dan Postes Kemampuan Koneksi Matematis Mahasiswa Kelas Kontrol ………...

Halaman 202 205 206 207 242 271 277 280 281 282 283 284 285


(12)

Lampiran C-7 Lampiran C-8

Skor PAM dan Asal Sekolah Kelas Eksperimen ………… Skor PAM dan Asal Sekolah Kelas Kontrol ………...

286 287


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Integral dan turunan adalah konsep yang penting dalam matematika. Integral dan turunan merupakan dua operasi utama di dalam kalkulus. Prinsip-prinsip integral diformulasikan oleh Isaac Newton and Gottfried Leibniz pada abad 17 dengan memanfaatkan hubungan erat yang ada antara anti turunan dan integral tentu, yaitu suatu hubungan yang memungkinkan kita untuk menghitung secara mudah nilai yang sebenarnya dari banyak integral tentu tanpa perlu memakai jumlah Riemann. Hubungan ini disebut teorema dasar kalkulus. Melalui teorema dasar kalukulus mereka mengembangkan konsep integral yang dikaitkan dengan turunan. Sehingga integral dapat didefinisikan sebagai anti turunan.

Definisi secara modern tentang integral dikemukakan oleh Riemann dengan gagasan pertamanya adalah jumlah Riemann. Gagasan ini memunculkan kaitan antara integral tentu dengan luas daerah. Secara umum, integral tentu menyatakan batasan luas daerah yang tercakup di antara kurva y = f(x) dan sumbu-x dalam selang [a,b]. Luas bagian-luas bagian yang berada di bagian atas sumbu-x diberikan tanda positif, sedangkan luas bagian-luas bagian yang berada di bagian bawah sumbu-x diberikan tanda negatif.

Integral memiliki aplikasi yang luas dalam bidang sains dan industri. Sebagai contoh integral banyak dilibatkan dalam berbagai situasi seperti: penggunaan laju


(14)

tertentu, penggunaan kecepatan pesawat ulang-alik Endeavour untuk menentukan ketinggian yang dicapai pada waktu tertentu, penggunaan pengetahuan tentang konsumsi energi untuk menentukan energi yang digunakan di suatu tempat pada suatu hari. Selain itu, dalam beberapa bidang, integral juga digunakan untuk memecahkan persoalan yang berkaitan dengan volume, panjang kurva, perkiraan populasi, keluaran kardiak, gaya pada bendungan, usaha, surplus konsumen, bisbol, dan lain-lain.

Berdasarkan peta konsep integral, integral tak tentu diperoleh dari konsep turunan. Turunan digunakan untuk mendefinisikan konsep anti turunan yang menghasilkan sifat-sifat aljabar integral dan dengan teorema dasar kalkulus digunakan untuk mendefinisikan integral tentu dan memunculkan sifat-sifat aljabar integral tentu. Dari integral tentu dapat digunakan untuk mendefinisikan dan menghitung panjang, luas, volume yang memuat juga konsep volume benda putar, usaha/kerja, momen, dan pusat masa. Untuk menyelesaikan persoalan pada konsep integral tentu maka muncul teknik pengintegralan yang bersifat integral parsial dan dengan menggunakan aturan rantai maka muncul aturan substitusi yang mencakup juga substitusi trigonometri.

Di Perancis, konsep integral diperkenalkan pada siswa secondary education (17 - 18) tahun, yang disajikan dalam bentuk definisi secara tradisional dalam bentuk fungsi primitif. Pada tahun 1972, diperkenalkan integral kalkulus yang meliputi: definisi jumlah Riemann untuk fungsi numerik dari variabel real pada interval terbatas; teorema terintegrabel dari fungsi kontinu dan fungsi monoton. Setelah reformasi tahun 1982, kembali lagi melihat integral sebagai fungsi primitif dan sebagai daerah yang berada dibawah fungsi positif, serta memperkenalkan contoh pendekatan nilai integral dengan berbagai metode secara numerik.


(15)

Di Indonesia, konsep integral diberikan pada siswa-siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang meliputi: (1) pengertian integral; (2) integral tak tentu; (3) integral tertentu; (4) menentukan luas daerah; dan (5) menentukan volume benda putar. Untuk tingkat Perguruan Tinggi, kalkulus integral merupakan bagian dari mata kuliah Kalkulus, materi yang diberikan meliputi: (1) integral tentu sebagai pengabstrakan berbagai permasalahan nyata; (2) definisi integral fungsi kontinu dengan aturan lima langkah dan interpretasi setiap langkah; (3) perumusan bentuk integral untuk berbagai situasi nyata; (4) aljabar integral: sifat kelinearan, integral pada suatu selang dan integral pada sub selangnya; (5) pengertian fungsi primitif dan sifatnya. Integral suatu fungsi sebagai fungsi batas atasnya, teorema dasar I dan II dalam kalkulus, primitif suatu fungsi sebagai integral tak tentu, primitif dan integral tentu fungsi-fungsi sederhana; (6) sifat kelinearan integral tak tentu, pengintegralan parsial, metode substitusi sederhana; serta (7) teknik pengintegralan yang meliputi: metode substitusi, substitusi trigonometri, integral fungsi rasional dengan menguraikan atas fungsi rasional sederhana (partial fraction), integral fungsi trigonometri yang dijadikan integral fungsi rasional, pengintegralan parsial.

Kemampuan integral yang diujikan untuk tingkat SMU dan sederajat adalah: (1) menghitung integral tak tentu; (2) menghitung integral tertentu fungsi aljabar dan fungsi trigonometri; (3) menghitung luas daerah; dan (4) menghitung volume benda putar. Kemampuan yang diujikan tersebut, masih berkisar sekitar pemahaman konsep, dan termasuk dalam kategori tingkat rendah dalam tingkat berfikir matematis tingkat tinggi. Hal ini dicirikan dengan soal yang berbentuk: mengingat, menerapkan rumus secara rutin, menghitung secara sederhana, serta menerapkan rumus atau konsep


(16)

dalam kasus sederhana atau dalam kasus serupa. Menurut Polya kemampuan yang diujikan ini termasuk pada: (1) pemahaman mekanikal yang dicirikan oleh mengingat dan menerapkan rumus secara rutin dan menghitung secara sederhana dan (2) pemahaman induktif, yaitu menerapkan rumus atau konsep dalam kasus sederhana atau dalam kasus serupa. Kemampuan ini tergolong pada kemampuan tingkat rendah. Padahal standar kompetensi lulusan (SKL) yang harus dicapai untuk konsep integral adalah memahami konsep integral dari fungsi aljabar dan fungsi trigonometri serta mampu menerapkannya dalam pemecahan masalah.

Walaupun kemampuan yang diujikan masih termasuk dalam kategori tingkat rendah dan belum sesuai dengan SKL, namun beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa dalam tingkat rendah pun hasil belajar siswa untuk konsep integral ini masih termasuk dalam kategori rendah dibandingkan dengan materi matematika lainnya. Rendahnya kemampuan siswa dalam memahami konsep integral dikemukakan oleh Orton (1983) bahwa nilai rata-rata hasil evaluasi untuk materi integral memiliki nilai terendah, yaitu 1,895 untuk tingkat persekolahan dan 1,685 untuk tingkat perguruan tinggi pada skala 0 s.d 4, dibandingkan dengan materi dalam Kalkulus yang lainnya seperti: barisan, limit, dan turunan. Orton mengklasifikasi kesalahan siswa ke dalam tiga kategori yaitu: (1) Structural errors: muncul dari beberapa kesalahan dalam melihat hubungan-hubungan yang terlibat dalam masalah atau pada grafik beberapa prinsip-prinsip yang penting untuk menyelesaikan masalah. (2) Arbitrary errors: kesalahan tidak sesuai aturan atau muncul secara kebetulan dan kesalahan pada mengambil perhitungan dari pembatas. (3) Executive errors: melibatkan kesalahan-kesalahan melakukan manipulasi meskipun prinsip-prinsip yang dilibatkan telah dapat


(17)

dipahami. Selain itu, kesulitan lain yang muncul melibatkan kesulitan tentang penggunaan penyajian grafik yang relevan. Siswa biasanya dapat menghitung integral dari fungsi polinomial secara benar dan berhasil untuk soal-soal yang berbentuk tentukanlah atau hitunglah, tetapi untuk soal yang berupa aplikasi atau terapan pada umumnya mereka kesulitan dalam membentuk model matematikanya. Serta sangat minimnya siswa dalam memahami simbol yang digunakan.

Sabella dan Redish (2011) menyatakan bahwa kebanyakan mahasiswa di perguruan tinggi pada kelas konvensional memiliki pemahaman yang dangkal dan tidak lengkap tentang konsep dasar dalam kalkulus. Romberg and Tufte (1987) menyatakan bahwa para mahasiswa memandang matematika sebagai kumpulan dari konsep dan teknis yang statis untuk diselesaikan tahap demi tahap. Dalam pembelajaran matematika, mahasiswa hanya diminta untuk menyelesaikan, menggambarkan dalam bentuk grafik, menemukan, mengevaluasi, menentukan, dan menghitung dalam suatu model yang sudah jelas. Mereka jarang ditantang untuk menyelesaikan masalah-masalah matematika tingkat tinggi (Ferrini-Mundy 627).

Hasil uji coba UN 2010 yang diberikan kepada 879 siswa SMA di kota Bandung menunjukkan bahwa siswa yang mampu menjawab benar untuk konsep integral hanya 30,22%. Kondisi ini tentu saja belum mencapai ketuntasan secara kelompok, artinya suatu pembelajaran dikatakan berhasil bila ketuntasan belajar siswa secara kelompok mencapai 65%. Sedangkan hasil uji coba UN 2011 yang diikuti oleh 1578 siswa di kota Bandung, juga menunjukkan kemampuan siswa yang masih rendah dalam konsep integral yaitu hanya 6,7% siswa yang mampu menjawab benar dibandingkan dengan konsep kalkulus lainnya seperti limit 42,3% dan turunan 11,5%.


(18)

Hal ini merupakan masalah yang cukup serius tentang pemahaman siswa SMA untuk konsep integral. Kelemahan ini dapat dipandang dari berbagai aspek seperti: siswa, guru, materi, dan pendukung lainnya.

Mempelajari kecenderungan pembelajaran matematika saat ini, penerapan keempat pilar UNESCO, serta pentingnya penguasaan kompetensi matematika untuk kehidupan peserta didik, tentu saja kondisi di atas sangat memprihatinkan khususnya bagi siswa yang melanjutkan pendidikannya pada jurusan matematika. Ketidaktuntasan siswa dalam materi integral tersebut tentu saja akan berdampak pada perkuliahan Kalkulus. Padahal Kalkulus ini sangat terkait dengan mata kuliah lainnya dan merupakan pondasi untuk mempelajari mata kuliah selanjutnya seperti: Persamaan Differensial, Analisis Real, Aljabar, Statistika Matematika, juga untuk mata kuliah lain yang bersifat aplikasi seperti Fisika dan Kimia. Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh mata kuliah Kalkulus adalah:

1. Pemahaman konsep dengan baik dan benar, meliputi: kemampuan mengungkapkan konsep dengan benar dengan kata-kata sendiri, mampu mengidentifikasi penerapan konsep yang benar dan yang salah, serta mampu menginterpretasikan konsep dalam berbagai situasi sehingga mampu menggunakannya dengan baik dan benar.

2. Penguasaan keterampilan teknis, yaitu kemampuan dalam berbagai manipulasi matematika yang tepat.

3. Terbiasa berfikir logis (logical reasoning), meliputi: mampu dan terbiasa memberikan alasan yang logis atas segala tindakan atau langkah yang


(19)

dilakukan serta mampu dan terbiasa mempertanyakan sesuatu yang baru dan berusaha mencari jawabannya dengan mengemukakan alasan yang logis. Berdasarkan sasaran yang ingin dicapai tersebut, nampak bahwa kemampuan mahasiswa untuk materi kalukulus ini harus sampai pada kemampuan berfikir tingkat tinggi yang meliputi kemampuan pemahaman, pemecahan masalah, komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis. Tetapi proses pembelajaran Kalkulus masih disajikan dalam bentuk konsep-konsep dasar, penjelasan konsep melalui contoh, dan latihan penyelesaian soal. Proses pembelajaran tersebut pada umumnya dilaksanakan sejalan dengan pola sajian seperti yang tersedia dalam buku rujukan. Proses pembelajaran seperti ini lebih cenderung mendorong proses berfikir reproduktif sebagai akibat dari proses penalaran yang dikembangkan lebih bersifat imitatif. Situasi seperti ini kurang memberikan ruang untuk meningkatkan kemampuan berfikir tingkat tinggi serta berfikir kritis dan kreatif bagi mahasiswa, karena mahasiswa cenderung untuk menyelesaikan masalah integral dengan melihat contoh yang sudah ada, sehingga ketika diberikan soal non rutin, mahasiswa kesulitan.

Pengembangan kemampuan berfikir matematika tingkat tinggi ini sangat penting bagi mahasiswa karena dalam semua disiplin ilmu dan dalam dunia kerja mensyaratkan seseorang untuk mampu: (1) Mengekrepresikan gagasan melalui bicara, menulis, mendemonstrasikan, dan menggambarkan secara visual dalam berbagai penyajian yang berbeda; (2) Memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi gagasan yang disajikan secara lisan, dalam bentuk tulisan, atau dalam bentuk visual; (3) Mengkonstruksi, menginterpretasi, dan menghubungkan representasi yang berbeda tentang gagasan dan hubungannya; (4) Membuat penyelidikan-penyelidikan dan


(20)

dugaan, memformulasikan pertanyaan, dan menarik kesimpulan serta mengevaluasi informasi; dan (5) Menghasilkan dan menyajikan argumentasi-argumentasi yang meyakinkan (Secretary’s Commission on Achieving Necessary Skills, 1991).

Kemampuan-kemampuan di atas erat kaitannya dengan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis. Dengan demikian, kemampuan mahasiswa dalam berkomunikasi, bernalar, dan kemampuan melakukan koneksi merupakan kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap mahasiswa.

Dalam pendidikan matematika, kemampuan berkomunikasi, bernalar, dan melakukan koneksi merupakan kemampuan tingkat tinggi yang harus dimiliki oleh mahasiswa untuk menyelesaikan masalah matematika dan masalah kehidupannya yang dapat dialihgunakan pada setiap keadaan, seperti berfikir kritis, logis dan sistematis. Hal ini sesuai dengan karakteristik matematika sebagai ilmu yang bernilai guna yang tercermin dalam peran matematika sebagai bahasa simbolik serta alat komunikasi yang tangguh, singkat, padat, cermat, tepat, dan tidak memiliki makna ganda (Wahyudin, 2003). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa matematika mempunyai peranan yang sangat penting bagi pengembangan pola berfikir mahasiswa baik sebagai representasi pemahaman terhadap konsep matematika, alat komunikasi, maupun sebagai alat yang melayani bidang ilmu lainnya.

Melalui kemampuan komunikasi matematis, mahasiswa dapat saling bertukar pengetahuan dan mengklarifikasi pemahamannya. Proses komunikasi tersebut membantu mahasiswa membangun makna dan kelengkapan gagasan serta menghindari miskonsepsi. Aspek komunikasi juga membantu mahasiswa untuk dapat mengkomunikasikan gagasannya baik secara lisan maupun tertulis. Ketika seorang


(21)

mahasiswa ditantang dan diminta berargumentasi untuk mengkomunikasikan hasil pemikiran mereka kepada orang lain baik secara lisan maupun tertulis, maka mahasiswa belajar untuk menjelaskan dan meyakinkan orang lain, mendengarkan gagasan atau penjelasan orang lain, dan memberikan kesempatan kepada dirinya untuk mengembangkan pengalamannya.

Komunikasi matematis bisa terjadi dua arah di mana gagasan matematika dieksplorasi dari berbagai sudut pandang untuk membantu mahasiswa mempertajam pemikiran dan membuat hubungan-hubungan (koneksi) serta menilai kebenaran penyelesaian suatu masalah. Kondisi ini akan membantu mahasiswa mengembangkan bahasa untuk mengemukakan gagasan matematika dan apresiasi akan kebutuhan berbahasa secara tepat.

Selain kemampuan komunikasi, kemampuan lain yang harus dikembangkan adalah kemampuan bernalar. Kemampuan bernalar seseorang dapat terlihat dari kemampuannya mengatasi berbagai persoalan hidup. Seseorang dengan kemampuan bernalar tinggi akan selalu mampu dengan cepat mengambil keputusan dalam menyelesaikan berbagai persoalan dalam kehidupannya. Kemampuan ini didukung oleh kekuatan daya nalarnya sehingga mampu menghubungkan fakta dan bukti untuk sampai pada suatu kesimpulan yang tepat. Dengan demikian, pengembangan kemampuan bernalar menjadi esensial bagi setiap mahasiswa, sebagai bekal agar mampu melakukan analisis sebelum membuat keputusan dan mampu membuat argumen untuk mempertahankan pendapat.

Dalam matematika, penalaran diistilahkan sebagai penalaran matematis yang berarti kemampuan seseorang untuk berpikir secara logis dan sistematis. Kemampuan


(22)

penalaran matematis tidak hanya diperlukan untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan bidang matematika, tetapi juga diperlukan dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi dalam kehidupan. Penalaran matematis diperlukan seseorang ketika dihadapkan pada persoalan, di mana kita harus mengevaluasi argumen dan menyeleksi beberapa solusi fisibel. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa ketika seseorang dihadapkan pada sejumlah pernyataan atau argumen yang berkaitan dengan persoalan yang dihadapinya, kemampuan penalaran matematis diperlukan untuk membuat pertimbangan atau mengevaluasi pernyataan tersebut sebelum membuat keputusan. Dengan demikian, kemampuan matematis yang dimiliki seseorang tidak hanya digunakan untuk tujuan perhitungan tetapi juga untuk memberikan argumentasi atau mengklaim penyajian yang memerlukan kelogisan untuk meyakinkan bahwa cara berfikir yang dilakukan adalah benar.

Kemampuan lain yang juga penting untuk dikembangkan bagi mahasiswa adalah kemampuan untuk melakukan koneksi matematis. Kemampuan koneksi ini akan nampak pula pada kemampuan mahasiswa dalam melakukan komunikasi dan penalaran. Kemampuan koneksi matematis (mathematical connection) erat kaitannya dengan pemahaman relasional. Pemahaman relasional menuntut seseorang untuk dapat memahami lebih dari satu konsep dan melihat hubungan antara konsep-konsep tersebut serta mampu merelasikannya. Sedangkan kemampuan koneksi matematis adalah kemampuan seseorang untuk menghubungkan berbagai macam gagasan-gagasan atau ide-ide matematis yang ada pada dirinya baik dalam bidang matematika maupun dalam bidang lain serta dunia nyata. Dengan demikian, agar kemampuan pemahaman matematis bisa berkembang secara optimal, maka kemampuan koneksi


(23)

matematis juga harus dikembangkan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dengan meningkatnya kemampuan koneksi matematis untuk menghubungkan antar konsep dan ide-ide matematika maka kemampuan pemahaman relasional siswa tersebut akan ikut bertambah.

Kemampuan matematika yang dikembangkan di atas, sesuai dengan kompetensi matematika yang dikemukakan oleh Niss (dalam Kusumah, 2012:3) yaitu: (1) Berfikir dan bernalar secara matematis (mathematical thinking and reasoning); (2) Berargumentasi secara matematis (mathematical argumentation); (3) Komunikasi matematis (mathematical communication); (4) Pemodelan (modeling); (5) Problem possing dan problem solving; (6) Penyajian (representation); (7) simbol; dan (8) Alat dan teknologi (tool and technology). NCTM (2000) telah mengidentifikasi bahwa, kemampuan komunikasi, penalaran (reasoning), dan problem solving merupakan proses yang penting dalam pembelajaran matematika dalam upaya menyelesaikan masalah-masalah matematika. Kemampuan-kemampuan yang dimiliki mahasiswa tersebut selanjutnya akan bermuara pada kemampuannya memecahkan masalah kehidupan yang dihadapinya.

Kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis ini, hanya dapat dicapai melalui pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan-kemampuan khususnya dalam domain kognitif di samping kemampuan afektif dan psikomotor. Penelitian Suryadi (2005) tentang pengembangan berfikir tingkat tinggi melalui pendekatan tidak langsung, terdapat dua hal mendasar yang perlu mendapat pengkajian serta penelitian lebih lanjut dan mendalam yaitu hubungan siswa-materi dan hubungan siswa-guru. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa untuk


(24)

mendorong terjadinya suatu aksi mental, proses pembelajaran harus diawali oleh sajian masalah yang memuat tantangan bagi mahasiswa untuk berfikir. Selain itu proses pembelajaran, juga harus dapat memfasilitasi mahasiswa untuk mengkonstruksi pengetahuan atau konsep secara mandiri sehingga mahasiswa akan mampu menemukan kembali pengetahuan (reinvention).

Salah satu model pembelajaran yang dapat memenuhi tuntutan di atas adalah model pembelajaran scientific debate (debat ilmiah). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Legrand et al. (1986), yang mengungkapkan bahwa pengaruh dari penerapan pembelajaran scientific debate dalam pembelajaran dapat memperbaiki pemahaman mahasiswa dalam konsep integral pada saat ujian akhir. Hasil penelitian lain, ditunjukkan oleh Alibert et al. (1987) bahwa penerapan scientific debate dalam pembelajaran adalah mayoritas mahasiswa mencapai tingkat ketuntasan dalam memahami konsep integral, selain itu mahasiswa dapat mengetahui bagaimana mengeskplorasi pengetahuan mereka di mana penyelesaian secara algoritma tidak diterapkan.

Model pembelajaran scientific debate mampu menciptakan nuansa interaktivitas yang diharapkan dapat memunculkan collaborative learning, sehingga peranan dosen dalam kelas tidak lagi dominan tetapi berfungsi sebagai fasilitor yang akan berperan untuk mengarahkan dan membantu mahasiswa. Model pembelajaran scientific debate ini berbasis teori belajar konstruktivisme. Dalam implementasi pembelajarannya dicirikan antara lain: menganut model pembelajaran berbasis masalah, berorientasi pada mahasiswa, dosen lebih berperan sebagai fasilitator, menganut sistem asesmen yang bersifat menyatu dengan proses pembelajaran


(25)

(authentic assessment), serta mahasiswa dan dosen secara bersama-sama membentuk suatu learning community.

Dalam penerapan model pembelajaran scientific debate, mahasiswa dilatih untuk mengkomunikasikan pengetahuannya melalui debat, dan mahasiswa harus mampu mempertahankan argumen yang dimilikinya sesuai dengan kebenaran dalam konsep matematika. Kemampuan untuk berargumentasi ini akan memacu mengembangkan kemampuan penalaran dan koneksi matematisnya, karena dengan sendirinya mahasiswa harus mampu berfikir logis dan sistematis, serta mampu mengaitkan berbagai konsep untuk mempertahankan argumentasinya. Hal ini sesuai dengan teori konstruktivisme yang menyatakan bahwa pengetahuan diperoleh mahasiswa, dimana mahasiswa mengkonstruksi pengetahuan sendiri melalui interaksi, konflik, dan re-equilibration yang melibatkan pengetahuan matematika, mahasiswa lain, dan berbagai persoalan. Interaksi diatur oleh dosen untuk mengambil pilihan-pilihan persoalan yang mendasar. Teori belajar yang mendukung agar mahasiswa mampu mengkonstruksi sendiri konsep atau pengetahuannya, menemukan kembali (reinvention) dengan cara diskusi, berdebat, dan berbagi ide dengan temannya baik pada kelompok kecil maupun dalam seluruh kelas dengan bimbingan dosen, mengaitkan materi yang sedang dipelajari dengan pengetahuan yang telah ada pada mahasiswa adalah teori belajar dari Piaget, Vygostky, Bruner, Ausubel, dan Dubinsky. Untuk menunjang keberhasilan penerapan model pembelajaran scientific debate dalam upaya meningkatkan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis mahasiswa, maka diperlukan suatu bahan ajar dan rencana pembelajaran yang sesuai. Oleh karena itu, dalam tahapan mendesain dan mengembangkan bahan


(26)

ajar serta rencana pembelajaran diperlukan penekanan-penekanan pada mempertimbangkan materi matematika yang lebih bersifat pemecahan masalah, menyadari adanya learning obstacles (hambatan pembelajaran), model pembelajaran dengan scientific debate.

Berdasarkan kondisi di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji dan menganalisis penerapan model pembelajaran scientific debate serta mengklasifikasi kesulitan-kesulitan mahasiswa dalam mempelajari konsep integral dalam upaya meningkatkan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis. Adapun judul penelitian yang dilakukan adalah: “Pembelajaran dengan Scientific Debate untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa dalam Konsep Integral.

B.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti dapat merformulasikan rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis antara mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran Scientific Debate dengan mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran konvensional? 2. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi dan koneksi

matematis menurut interaksi antara mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran Scientific Debate dengan


(27)

mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran konvensional ditinjau dari pengetahuan awal matematika (PAM) mahasiswa? 3. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis

antara mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran Scientific Debate dengan mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran konvensional ditinjau dari pengetahuan awal matematika (PAM) mahasiswa?

4. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis antara mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran Scientific Debate dengan mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran konvensional ditinjau dari latar belakang pendidikan mahasiswa?

5. Bagaimana strategi penyelesaian mahasiswa terhadap permasalahan-permasalahan yang diberikan terkait dengan materi integral baik mahasiswa dengan model pembelajaran Scientific Debate maupun mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran konvensional? 6. Kesalahan, kekeliruan, atau kekurangan serta kesulitan apa yang dialami

mahasiswa ditinjau dari proses penyelesaian soal matematika?

C.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:


(28)

1. Menganalisis secara komprehensif perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis antara mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran Scientific Debate dengan mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran konvensional ditinjau dari keragaman serta sifat berfikir matematis mahasiswa.

2. Menganalisis perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi dan koneksi matematis menurut interaksi antara mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran Scientific Debate dengan mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran konvensional ditinjau dari pengetahuan awal matematika (PAM) mahasiswa? 3. Menganalisis perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis antara

mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran Scientific Debate dengan mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran konvensional ditinjau dari pengetahuan awal matematika (PAM) mahasiswa?

4. Menganalisis perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis antara mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran Scientific Debate dengan mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran konvensional dilihat dari latar belakang pendidikan mahasiswa.

5. Menganalisis strategi penyelesaian mahasiswa terhadap permasalahan-permasalahan yang diberikan terkait dengan materi integral baik mahasiswa


(29)

dengan model pembelajaran Scientific Debate maupun mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran konvensional. 6. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan secara komprehensip kesalahan,

kekeliruan, atau kekurangan serta kesulitan yang dialami mahasiswa ditinjau dari proses penyelesaian soal matematika.

D.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:

1. Dengan penerapan model pembelajaran scientific debate, mahasiswa akan terlatih untuk mengkomunikasikan pengetahuannya melalui debat, sehingga mahasiswa akan mampu mempertahankan argumen yang dimilikinya sesuai dengan kebenaran dalam konsep matematika. Kemampuan untuk berargumentasi ini akan memacu mengembangkan kemampuan komunikasi, penalaran dan koneksi matematisnya, karena dengan sendirinya mahasiswa ditantang untuk mampu mengkomunikasikan pengetahuannya, berfikir logis dan sistematis, serta mampu mengaitkan berbagai konsep untuk mempertahankan argumentasinya.

2. Model pembelajaran scientific debate mampu menciptakan nuansa interaktivitas antara dosen dengan mahasiswa dan antara mahasiswa dengan mahasiswa, sehingga dapat memunculkan collaborative learning. Dalam kondisi ini dosen dapat pula memperoleh pengetahuan dari interaksi tersebut. 3. Bagi peneliti, dari hasil analisis terhadap perbedaan kemampuan serta


(30)

integral diharapkan dapat mengantisipasinya melalui penerapan model pembelajaran scientific debate sehingga dapat menyusun dan mengembangkan bahan ajar serta buku ajar yang dapat digunakan sebagai acuan bagi para pengajar.

4. Pembuat kebijakan, agar lebih memahami bahwa model pembelajaran scientific debate dalam matematika merupakan model pembelajaran yang dapat meningkatkan aspek-aspek kognitif kemampuan matematis seperti pemahaman, pemecahan masalah, penalaran, komunikasi, dan koneksi matematis serta dapat meningkatkan aspek-aspek afektif ketika berkomunikasi dan berdebat dalam kelompok.

E.

Definisi Operasional

Variabel-variabel dalam penelitian, didefinisikan sebagai berikut:

1. Kemampuan berfikir tingkat tinggi matematis adalah pemahaman matematis, problem solving matematis, komunikasi matematis, penalaran matematis, dan koneksi matematis. Adapun kemampuan berfikir tingkat tinggi matematis yang dikembangkan dalam penelitian disertasi ini meliputi: komunikasi matematis, penalaran matematis, dan koneksi matematis.

a. Komunikasi matematis adalah kemampuan untuk berkomunikasi yang meliputi kegiatan penggunaan keahlian menulis, menyimak, menelaah, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide, simbol, istilah, serta informasi matematika yang diamati melalui proses mendengar, mempresentasi, dan diskusi. Kemampuan komunikasi matematis yang dikembangkan meliputi:


(31)

(1) kemampuan merepresentasikan objek-objek nyata dalam gambar, diagram, atau model matematika; (2) kemampuan menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika secara tulisan dalam bentuk gambar, tabel, diagram, atau grafik; (3) kemampuan menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika; (4) kemampuan mengubah suatu bentuk representasi matematis ke bentuk representasi matematis lainnya.

b. Penalaran diartikan sebagai proses berfikir sebagai upaya penjelasan dalam upaya memperlihatkan hubungan antara dua atau lebih berdasarkan sifat-sifat, atau hukum-hukum tertentu yang sudah terbukti kebenarannya melalui langkah-langkah tertentu dan berakhir dengan sebuah kesimpulan (Kusumah, 1986). Kemampuan penalaran matematis yang dikembangkan meliputi: (1) kemampuan memberikan penjelasan terhadap model, gambar, fakta, sifat, hubungan, atau pola yang ada; (2) kemampuan memperkirakan jawaban dan proses solusi, dan menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematik, menarik analogi dan generalisasi; (3) kemampuan menyusun dan menguji konjektur, memberikan lawan contoh; (4) kemampuan mengikuti aturan inferensi. Menyusun argumen yang valid, memeriksa validitas argumen.

c. Koneksi matematis adalah keterkaitan antara konsep matematika, matematika dengan ilmu lain, dan matematika dengan kehidupan sehari-hari. Kemampuan koneksi matematis yang dikembangkan meliputi: (1) kemampuan mencari dan memahami hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur; (2) kemampuan menggunakan matematika dalam


(32)

bidang studi lain atau kehidupan sehari-hari; (3) kemampuan memahami representasi ekuivalen konsep atau prosedur yang sama; (4) kemampuan mencari koneksi satu prosedur ke prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen; (5) kemampuan menggunakan koneksi antar topik matematika, dan antara topik matematika dengan topik lain.

2. Model pembelajaran scientific debate adalah model pembelajaran yang implementsinya menganut model pembelajaran berbasis masalah, berorientasi pada mahasiswa, guru lebih berperan sebagai fasilitator, menganut sistem asesmen yang bersifat menyatu dengan proses pembelajaran (authentic assessment), serta mahasiswa dan guru secara bersama-sama membentuk suatu learning community. Model pembelajaran scientific debate meliputi tiga tahap yaitu: (1) Guru memulai dan mengorganisir hasil-hasil pernyataan siswa. Hasil-hasil ini ditulis pada papan tulis tanpa mengevaluasi kebenaran pernyataan tersebut; (2) Pernyataan diberikan kembali pada siswa untuk mempertimbangkan dan mendiskusikannya. Kemudian siswa memberikan kembali kepada guru setelah mereka mendiskusikannya, di mana setiap persoalan telah didukung oleh beberapa cara, diberikan argumentasinya, dibuktikan, pembuktian bahwa sesuatu tidak benar, dengan counter-examples, dan lain-lain; (3) Pernyataan dibenarkan dengan menunjukkan teorema-teorema atau aturan yang berlaku, sedangkan beberapa yang dibangun sebagai pernyataan yang tidak benar disajikan sebagai “pernyataan yang salah”, dengan sebuah yang berhubungan dengan counter-examples.


(33)

3. Pengetahuan awal matematika adalah pengetahuan yang dimiliki mahasiswa sebelum pembelajaran berlangsung, pengetahuan ini diukur melalui hasil akhir mata kuliah Kalkulus 1.


(34)

BAB III

METODE PENELITIAN

A.

Disain Penelitian

Penelitian ini adalah eksperimen dengan disain kelompok pretes postes. Penelitian ini diawali dengan pengembangan perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian. Dalam penelitian ini, terdapat perlakuan terhadap kelompok eksperimen, yaitu kelompok mahasiswa dengan pendekatan pembelajaran scientific debate (X). Adapun kelompok kontrol memperoleh pendekatan pembelajaran matematika secara konvensional. Setelah proses pembelajaran, diberikan tes kemampuan komunikasi, penalaran dan koneksi matematis (O). Disain penelitiannya adalah disain kelompok kontrol pretes-postes dengan bentuk:

O X O O O Di mana:

O = Pretes dan Postes pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. X = Model pembelajaran Scientific Debate.

Data yang dianalisis adalah perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis mahasiswa antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Data dikelompokkan berdasarkan pendekatan pembelajaran (scientific debate dan konvensional), pengetahuan awal mahasiswa (tinggi, sedang, dan rendah), dan latar belakang pendidikan mahasiswa (Sekolah Menengah Umum


(35)

B.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika di Indonesia, yang setingkat mutunya dengan Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung. Pemilihan subjek penelitian mahasiswa dipertimbangkan berdasarkan kemampuan mahasiswa, yang diharapkan dapat dioptimalkan melalui penerapan pendekatan pembelajaran scientific debate.

Sampel diambil dari mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Tarbiyah UIN Bandung, yang mengambil Mata Kuliah Kalkulus 2, yaitu mata kuliah wajib yang diberikan pada semester II. Mata Kuliah Kalkulus 2 dipilih karena sangat terkait dengan mata kuliah lainnya dan merupakan pondasi untuk pemahaman mata kuliah selanjutnya seperti: Persamaan Differensial, Analisis Real, Aljabar, juga untuk mata kuliah lain yang bersifat aplikasi. Dengan penerapan pendekatan scientific debate diharapkan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis mahasiswa ini dapat meningkat.

Untuk melihat secara lebih mendalam pengaruh penerapan kedua pendekatan terhadap hasil belajar mahasiswa, maka penelitian ini melibatkan dua faktor yaitu pengetahuan awal mahasiswa (PAM) dan latar belakang pendidikan mahasiswa. PAM dikategorikan menjadi tinggi, sedang, dan kurang berdasarkan pada nilai mata kuliah matematika yang sudah ditempuh oleh mahasiswa. Tingkatan kemampuan awal mahasiswa ini sangat penting dan juga harus diperhatikan secara serius dalam penelitian pendidikan matematika (Dubinsky, 1994). Sedangkan latar belakang


(36)

pendidikan mahasiswa dikelompokan menjadi SMU (Sekolah Menengah Umum) dan MA (Madarasah Aliyah).

C.

Variabel Penelitian

Variabel penelitian merupakan suatu kondisi yang dimanipulasi, dikendalikan atau diobservasi oleh peneliti. Penelitian ini melibatkan tiga jenis variabel: (1) variabel bebas, yaitu pembelajaran scientific debate dan pembelajaran konvensional; (2) variabel terikat, yaitu peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis; dan (3) variabel kontrol, yaitu tingkatan kemampuan awal mahasiswa dalam matematika yang dikategorikan ke dalam tingkatan pandai, sedang, dan rendah, serta latar belakang pendidikan mahasiswa.

D.

Teknik Pengumpulan Data dan Teknik Analisis Data

Teknik pengumpulan data diambil dari keluaran instrumen, berupa hasil pretes dan postes serta data pengetahuan awal matematika (PAM). Sedangkan teknik pengolahan data dilakukan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Data yang dianalisis untuk tujuan 1, 2, 3, dan 4 adalah skor hasil pretes, postes, dan PAM.

Untuk menganalisis data PAM yang diperoleh, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan homogenitas terhadap data PAM. Berdasarkan uji Shapiro-Wilk diketahui bahwa skor pengetahuan awal mahasiswa berdistribusi normal dan bervariansi homogen maka satistik uji yang digunakan untuk menguji apakah terdapat perbedaan kemampuan awal mahasiswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol


(37)

dilakukan uji t. Pengujian terhadap PAM ini dilakukan dalam upaya ingin mengetahui kondisi awal dari subyek yang diteliti. Pengujian hipotesis yang dilakukan yaitu:

Ho : 1 =2 H1 : 1 2

1 adalah rata-rata skor PAM kelompok eksperimen, sedangkan 2 adalah rata-rata skor PAM kelompok kontrol. Adapun statistik uji yang digunakan adalah uji-t dengan asumsi varians populasi tidak diketahui dan homogen. Rumus yang digunakan adalah:

2 1

2 1

1 1

n n s

x x t

 

Kriteria pengujian, terima Ho jika –t(1-1/2)  t  t(1-1/2) dimana t(1-1/2) didapat dari daftar tabel distribusi t dengan derajat bebas n1 + n2– 2 dan peluang (1-1/2). Untuk harga-harga t lainnya Ho ditolak.

Data hasil pretes dan postes digunakan untuk menganalisis perbedaan peningkatan kemampuan hasil pembelajaran scientific debate yang dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran konvensional terhadap kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis mahasiswa. Adapun faktor-faktor yang berinteraksi dalam eksperimen ini adalah pendekatan pembelajaran (scientific debate dan konvensional), pengetahuan awal mahasiswa (tinggi, sedang, dan rendah), kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis, serta latar belakang pendidikan mahasiswa yang diklasifikasi menjadi dua yaitu SMU dan MA.

Berdasarkan rumusan masalah dan hasil kajian secara teoritis, maka hipotesis penelitian yang diajukan untuk diuji kebenarannya adalah sebagai berikut:


(38)

1. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa yang menggunakan model pembelajaran scientific debate lebih baik dari pada mahasiswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional.

2. Peningkatan kemampuan penalaran matematis mahasiswa yang menggunakan model pembelajaran scientific debate lebih baik dari pada mahasiswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional.

3. Peningkatan kemampuan koneksi matematis mahasiswa yang menggunakan model pembelajaran scientific debate lebih baik dari pada mahasiswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional.

4. Terdapat interaksi antara model pembelajaran yang digunakan (scientific debate dan konvensional) dengan pengetahuan awal mahasiswa (PAM) terhadap peningkatan kemampuan komunikasi matematis.

5. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran antara mahasiswa dengan model pembelajaran scientific debate dan mahasiswa dengan model pembelajaran konvensional yang didasarkan pada pengetahuan awal mahasiswa (PAM).

6. Terdapat interaksi antara model pembelajaran yang digunakan (scientific debate dan konvensional) dengan pengetahuan awal mahasiswa (PAM) terhadap peningkatan kemampuan koneksi matematis.

7. Perbedaan latar belakang pendidikan mahasiswa tidak memberikan efek yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa.


(39)

8. Perbedaan latar belakang pendidikan mahasiswa tidak memberikan efek yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematis mahasiswa. 9. Perbedaan latar belakang pendidikan mahasiswa tidak memberikan efek yang

signifikan terhadap peningkatan kemampuan koneksi matematis mahasiswa. Untuk tujuan 1 yaitu melihat kategori peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis antara mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan pendekatan Scientific Debate dan mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan pembelajaran konvensional digunakan uji gain ternormalisasi menurut Meltzer (2002) dengan rumus:

.

Dengan kategori gain ternormalisasi (g) adalah: g < 0,3 adalah rendah; 0,3 ≤ g < 0,7 adalah sedang; dan 0,7 ≤ g adalah tinggi. Selanjutnya, dilakukan uji normalitas dan homogenitas terhadap data peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis. Berdasarkan uji Shapiro-Wilk diketahui bahwa data peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis tidak seluruhnya berdistribusi normal. Dengan demikian, statistik uji yang digunakan untuk menguji apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis antara mahasiswa yang mengikuti pembelajaran dengan scientific debate dengan mahasiswa yang mengikuti pembelajaran secara konvensional digunakan uji Mann-Whiney (U).

Untuk tujuan 2, yaitu hipotesis 4 dan 6 adalah melihat perbedaan peningkatan kemampuan mahasiswa komunikasi dan koneksi matematis menurut interaksi antara mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan Scientific Debate dengan


(40)

mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan konvensional ditinjau dari pengetahuan awal matematika mahasiswa (tinggi, sedang, dan kurang) digunakan ANOVA dua jalur dan Uji Scheffe karena data berdistribusi normal dan bervariansi homogen. Tabel Anova dua jalur disajikan dalam Tabel 3.1 berikut,

Tabel 3.1 Rancangan Anova Dua Jalur

Kemampuan PAM

Metode Belajar Konvensional

(A1)

Scientific Debate (A2) Komunikasi

(B1)

Tinggi (C1) Sedang (C2) Rendah (C3) Koneksi

(B2)

Tinggi (C1) Sedang (C2) Rendah (C3)

Untuk melihat faktor-faktor mana yang berinteraksi antara pendekatan pembelajaran dengan PAM terhadap peningkatan kemampuan komunikasi dan koneksi matematis mahasiswa maka dilanjutkan dengan Uji Scheffe.

Untuk tujuan 3 yaitu melihat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis antara mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan Scientific Debate dengan mahasiswa yang pembelajaran matematikanya secara konvensional ditinjau dari pengetahuan awal matematika mahasiswa (tinggi, sedang, dan kurang) digunakan satistik uji nonparametrik dengan Uji Kruskal Wallis karena data skor kemampuan penalaran matematis kelas eksperimen dan kelas kontrol pada level tinggi tidak berdistribusi normal, sedangkan untuk level lainnya berdistribusi normal.

Untuk tujuan 4 yaitu melihat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis antara mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan Scientific Debate dibandingkan dengan mahasiswa yang


(41)

pembelajaran matematikanya secara konvensional ditinjau dari latar belakang pendidikan mahasiswa (SMU, MA, dan Kejuruan) digunakan uji nonparametrik dengan uji Mann-Whitney (U). Karena, berdasarkan uji normalitas terhadap data skor peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis mahasiswa yang didasarkan pada latar belakang pendidikan mahasiswa, diperoleh hasil bahwa untuk kelas eksperimen menunjukkan data tersebut tidak berdistribusi normal. Sedangkan untuk kelas kontrol menunjukkan berdistribusi normal. Sedang untuk uji homogenitas varians kedua kelompok baik eksperimen maupun kontrol menunjukkan variansinya homogen.

Sementara untuk tujuan 5 dan 6 dianalisis menggunakan klasifikasi dari Orton, di mana kesalahan dan kekeliruan mahasiswa dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu: (1) Structural errors: muncul dari beberapa kesalahan dalam melihat hubungan-hubungan yang terlibat dalam masalah atau pada grafik beberapa prinsip-prinsip yang penting untuk menyelesaikan masalah. (2) Arbitrary errors: kesalahan tidak sesuai aturan atau muncul secara kebetulan dan kesalahan pada mengambil perhitungan dari pembatas. (3) Executive errors: melibatkan kesalahan-kesalahan melakukan manipulasi meskipun prinsip-prinsip yang dilibatkan telah dapat dipahami.

E.

Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juni 2011 sampai Juni 2012 dengan rincian sebagai berikut:


(42)

September 2011 – Nopember 2011 : Uji instrumen penelitian dan analisis

Desember 2011- Desember 2012 : Pretes, pembelajaran, postes. Pengolahan dan analisis data serta penulisan laporan.

F.

Pengembangan Instrumen

Instrumen utama yang digunakan dalam penelitian disertasi meliputi: 1) tes kemampuan komunikasi matematis, penalaran matematis, dan koneksi matematis yang akan digunakan untuk mengevaluai hasil belajar mahasiswa dan menganalisis kesulitan-kesulitan mahasiswa dalam menyelesaikan masalah untuk konsep integral; 2) lembar observasi untuk dosen; dan 3) lembar observasi untuk mahasiswa.

1. Tes Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis

Tipe soal tes kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis

yang dikembangkan berbentuk tes uraian dengan tujuan untuk mengukur higher level learning outcomes. Alasan digunakannya tes bentuk uraian, karena dengan tes bentuk uraian diharapkan kemampuan mahasiswa dalam penguasaan materi dapat terlihat melalui langkah-langkah penyelesaian soal yang diberikan. Hanya mahasiswa yang telah menguasai dengan benarlah yang dapat memberikan jawaban yang baik dan benar. Adapun langkah-langkah pelaksanaan yang dilakukan dalam pengembangan soal tes kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis meliputi:


(43)

a. Menganalisis tujuan dan sasaran yang ingin dicapai

Pengembangan instrumen penelitian berupa tes harus mengacu pada aspek kompetensi yang harus dikuasai oleh setiap mahasiswa, sehingga analisis tujuan dan sasaran yang ingin dicapai mutlak diperlukan. Sebelum instrumen tes dibuat, maka terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap standar kompetensi dan kompetensi dasar agar setiap item tes sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang sudah ditentukan. Dengan demikian tujuan dan sasaran yang ingin dicapai oleh instrumen tes tersebut dapat dicapai secara akurat. Disamping itu, analisis terhadap standar kompetensi dan kompetensi dasar juga ditujukan untuk melihat apakah instrumen tes tersebut telah memenuhi validitas konstruk sebagai dasar dalam pengembangan instrumen tes. Validitas konstruk adalah validitas yang diperoleh melalui penyusunan instrumen yang didasarkan kepada kharakteristik subjek yang dituju atau perilaku subjek yang diharapkan. Validitas konstruk ditentukan oleh perhatian terhadap perlakuan psikologis atau susun (konstruk) yang akan diukur oleh soal tesnya.

Tes yang dikembangkan digunakan untuk dua tujuan utama meliputi: 1) memberikan umpan balik bagi mahasiswa tentang hasil belajar mahasiswa dalam setiap tahap proses belajarnya. Tes ini berfungsi juga sebagai tes formatif. Hasil tes ini dijadikan petunjuk tentang kesulitan mahasiswa dalam bagian-bagian tertentu dari bahan ajar yang digunakan dan 2) menilai efektifitas sistem pembelajaran secara keseluruhan. Tes ini akan digunakan sebagai tes awal dan tes akhir dalam ujicoba sistem pembelajaran yang telah dikembangkan.


(44)

Yani Ramdani, 2013

Pembelajaran Dengan Scientific Debate Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, Dan Sasaran yang ingin dicapai dalam mengembangkan tes kemampuan komunikasi, penalaran, dan komunikasi matematis meliputi: 1) meningkatkan tingkat kemajuan mahasiswa; 2) mengukur pertumbuhan dan perkembangan mahasiswa; 3) merangking mahasiswa berdasarkan kemampuannya; 4) mendiagnosis kesulitan mahasiswa; 5) mengevaluasi hasil pengajaran; 6) mengetahui efektifitas pencapaian kurikulum; dan 7) memotivasi.

b. Menyusun peta konsep utama berdasarkan tujuan dan sasaran

Instrumen tes yang dikembangkan harus benar-benar mampu mengukur apa yang harus diukur, seperti berbagai kompetensi yang harus dikuasai oleh mahasiswa. Untuk itu, diperlukan peta konsep untuk mengelompokkan berbagai kompetensi tersebut secara esensial. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kumaidi (2008) bahwapeta konsep merupakan pengelompokan kompetensi esensial dan level pemahaman seperti yang diamanatkan dalam kurikulum, agar tes yang dikembangkan itu benar-benar mampu mengukur berbagai pencapaian kompetensi yang harus dikuasai mahasiswa. Formulasi materi pembelajaran dalam bentuk peta konsep akan memudahkan penyusunan soal tes dan mampu mengidentifikasi keterkaitan kompetensi yang harus dicapai, sehingga ketika soal tes dirancang kita akan memperoleh gambaran yang jelas bagaimana sebuah tes harus dikembangkan sesuai dengan kompetensi yang harus dikuasai oleh setiap mahasiswa. Dengan demikian, untuk mengembangkan bahan ajar dan intrumen penelitian disusun peta konsep utama yang didasarkan pada tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Adapun kegiatan penyusunan instrumen disajikan dalam Diagram 3.1 sebagai berikut:

PERUMUSAN TUJUAN: 1.Menggunakan

KEGIATAN BELAJAR:


(45)

Diagram 3.1

Rancangan Penyusunan Instrumen Penelitian

Sedangkan peta konsep untuk integral adalah sebagai berikut, PENGEMBANGAN ALAT

EVALUASI:

1.Menentukan jenis tes yang akan digunakan untuk menilai tercapai tidaknya tujuan.

2.Menyusun tes untuk menilai masing-masing tujuan

PELAKSANAAN: 1. Mengadakan tes awal. 2. Menyampaikan materi

pelajaran.

3. Mengadakan tes akhir. 4. Perbaikan.

PENGEMBANGAN PROGRAM KEGIATAN:

1. Merumuskan materi pelajaran. 2. Menetapkan metode yang dipakai. 3. Memilih alat pelajaran dan sumber

yang dipakai. 4. Menyusun jadwal.


(46)

(47)

Peta Konsep Integral c. Menyusun matriks rancangan tes

Salah satu pedoman penting dalam penyusunan instrumen tes adalah matriks rancangan tes. Matriks rancangan tes ini dapat dijadikan pedoman oleh penyusun tes dalam mengembangkan instrumen dengan bobot soal yang sama. Bagi penelaah tes, tes yang sudah jadi dapat ditelaah kesesuaian antara kompetensi yang ingin dicapai dengan kurikulum didasarkan pada kompetensi dasar yang ada dan kemudian dikembangkan berbagai indikator untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi mahasiswa.

Banyaknya item tes disesuaikan dengan waktu yang tersedia dan materi yang akan diujikan. Karena tidak mungkin semua materi bisa diujikan, maka untuk menentukan materi mana yang akan diujikan dapat digunakan sampel materi tes atau pemilihan materi tes yang dimungkinkan mewakili seluruh materi yang diberikan dan mewakili kompetensi yang ingin dicapai.

Adapun matriks rancangan tes kemampuan komunikasi matematis, penalaran matematis, dan koneksi matematis dalam materi kalukulus 2 didasarkan pada kemampuan berfikir mahasiswa yang ingin ditingkatkan, indikator kemampuan mahasiswa yang harus diukur, dan indikator materi pembelajaran. Secara lengkap matriks rancangan tes dapat dilihat dalam Tabel 3.2 berikut:


(48)

Tabel 3.2 Matriks Rancangan Tes Kemampuan

Berfikir Materi Pembelajaran

Indikator kemampuan siswa yang diukur

Soal Tes

Komunikasi Matematis

1. Definisi integral tak tentu dan sifat-sifatnya.

2. Konsep luas polygon dalam dan luar.

Merepresentasikan objek-objek nyata dalam gambar, diagram, atau model matematika;

1a, 2a, dan 3a. Menjelaskan ide, situasi, dan relasi

matematika secara tulisan dalam bentuk gambar, tabel, diagram, atau grafik

1b, 2b, dan 3b. Menyatakan peristiwa sehari-hari

dalam bahasa atau simbol matematika;

1c, 2c, dan 3c. Mengubah suatu bentuk representasi

matematis ke bentuk representasi matematis lainnya.

1d, 2d, dan 3d.

Koneksi Matematis

1. Definisi integral tertentu dan sifat-sifat Integral Tentu.

2. Sifat-sifat integral tertentu lebih lanjut.

3. Teorema Dasar Kalkulus, Integral taktentu dan teorema perubahan total.

Mencari dan memahami hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur

4a, 6a Menggunakan matematika dalam

bidang studi lain atau kehidupan sehari-hari

4b, 5b Memahami representasi ekuivalen

konsep atau prosedur yang sama. 5a, 6b Mencari koneksi satu prosedur ke

prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen.

5c Menggunakan koneksi antar topik

matematika, dan antara topik matematika dengan topik lain

4c Penalaran Matematis 1. Penggunaan integral dalam menentukan luas bidang datar. 2. Penggunaan integral dalam menentukan volume benda pada bidang.

Memberikan penjelasan terhadap model, gambar, fakta, sifat, hubungan, atau pola yang ada.

7 Memperkirakan jawaban dan proses

solusi, dan menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematik, menarik analogi dan generalisasi

8

Menyusun dan menguji konjektur,

memberikan lawan contoh. 10 Mengikuti aturan inferensi.

Menyusun argumen yang valid, memeriksa validitas argumen.


(49)

(50)

d. Memilah peta konsep berdasarkan indikator yang ingin dikembangkan menjadi item tes.

Berdasarkan peta konsep integral di atas, penulis memilah peta konsep tersebut didasarkan pada materi integral yang terdapat dalam mata kuliah Kalkulus 2 dan sesuai dengan kurikulum UIN untuk mahasiswa UIN semester 2. Adapun peta konsep hasil analisis disajikan dalam peta berikut,


(51)

e. Menyusun spesifikasi untuk satu atau lebih butir soal

Spesifikasi tes merupakan uraian yang menunjukkan keseluruhan karakteristik yang harus dimiliki oleh suatu item tes. Spesifikasi yang jelas akan mempermudah dalam menulis soal dan siapa saja yang menulis soal akan menghasilkan tingkat kesulitan yang relatif sama. Penyusunan spesifikasi tes mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 1) menentukan diskripsi umum item tes, yaitu berisi tentang informasi mengenai karakteristik umum item atau soal yang harus dikembangkan oleh penulis tes, 2) menentukan atribut atau bentuk stimulus yang berisi tentang rangkaian atau uraian deskripsi item tes secara lebih spesifik dan terukur, dan 3) menentukan atribut jawaban yang berisi tentang karakteristik jawaban yang dikehendaki. Atribut jawaban juga dimaksudkan untuk memberikan jawaban pengecoh yang baik sehingga mahasiswa tidak terlalu spekulatif dalam menjawab soal. Berdasarkan matriks rancangan tes di atas, disusun butir-bitur tes sebagai berikut:

Tes Matematika

1. Suatu zat diubah menjadi zat lain dengan kelajuan yang sebanding dengan jumlah zat yang tak diubah. Jika jumlah mula-mula adalah 50 dan 25 pada t = 3, maka

a. Jelaskan bidang ilmu lain yang terkait dengan persoalan di atas!

b. Konsep matematika apa yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan di atas?

c. Formulasikan persoalan di atas ke dalam model matematika! d. Tentukan t bila

zat akan tetap tidak diubah!

2. Sebuah bola dijatuhkan dari balon yang berada 196 m di atas tanah. Jika balon naik dengan laju 14.7 ms-1, maka

a. Jelaskan bidang ilmu lain yang terkait dengan persoalan di atas!

b. Konsep matematika apa yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan di atas?


(52)

c. Formulasikan persoalan di atas ke dalam model matematika! d. Jarak terjauh di atas tanah yang ditempuh bola.

e. Waktu selama bola berada di udara.

f. Kecepatan bola bila bola menumbuk tanah.

3. Mobil balap yang dikemudikan oleh Chris dan Kelly saling berdampingan pada saat start. Tabel berikut memperlihatkan kecepatan masing-masing mobil (dalam km per jam) selama sepuluh menit pertama balapan.

Waktu (t) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Kecepatan Chris (VC) 0 20 32 46 54 62 69 75 81 86 90 Kecepatan Kelly (VK) 0 22 37 52 61 71 80 86 93 98 102 a. Jelaskan bidang ilmu lain yang terkait dengan persoalan di atas!

b. Konsep matematika apa yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan di atas?

c. Sajikan data di atas dalam bentuk grafik!

d. Ada berapa aturan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan soal di atas? Jelaskan kelemahan dan kelebihan dari masing-masing aturan tersebut! Mana aturan pendekatan yang lebih mendekati nilai eksak?

e. Gunakan aturan titik-ujung kiri dan titik-ujung kanan untuk memperkirakan seberapa jauh Kelly melampauai Chris selama sepuluh menit pertama tersebut!

4. Populasi binatang bertambah pada laju 200 + 50t tiap tahun (dengan t diukur dalam tahun).

a. Bidang ilmu apa yang terkait dengan soal di atas? Jelaskan!

b. Jelaskan konsep-konsep matematika yang terkait untuk menyelesaikan soal di atas? Jelaskan!

c. Dengan berapa banyak populasi binatang bertambah di antara tahun ke empat dan ke sepuluh?

5. Laju inflasi seringkali didefinisikan sebagai turunan dari „Consumer Price Index (CPI)‟, yang diterbitkan oleh „U.S. Bureau of Labor Statistics‟ dan mengukur harga barang di sebuah „keranjang perwakilan pasar‟ dari konsumen daerah kota yang khas. Tabel memberikan laju inflasi di Amerika Serikat dari tahun 1981 sampai 1997.


(1)

1. Model pembelajaran scientific debate hendaknya terus dikembangkan dan dijadikan sebagai model pembelajaran matematika mengingat munculnya kebiasaan-kebiasaan pemecahan masalah matematis yang tentu saja positif bagi mahasiswa dan dosen.

2. Dalam mengimplementasikan model pembelajaran scientific debate perlu dipertimbangkan pengetahuan awal matematika mahasiswa, bahan ajar harus dilengkapi dengan konsep-konsep inti sebagai bekal bagi mahasiswa untuk berdebat dan berbasis masalah tetapi harus dapat mengakomodasi kemampuan mahasiswa yang berlatar belakang pendidikan non IPA. Kondisi ini diharapkan dapat menantang berfikir mahasiswa dan memicu terjadinya konflik kognitif mahasiswa, sehingga dapat mengembangkan setiap aspek kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis mahasiswa secara optimal. 3. Bagi peneliti lebih lanjut, penerapan model pembelajaran scientific debate

sebaiknya dipadukan dengan model pembelajaran matematika dengan bantuan tutor sebaya mengingat jumlah mahasiswa dalam satu kelas berkisar 45 sampai dengan 50 mahasiswa. Pemilihan tutor dilakukan melalui hasil kemampuan awal yang dimiliki mahasiswa kemudian dilakukan pembinaan terhadap calon tutor tersebut sebelum esperimen dilakukan.

4. Bagi peneliti lebih lanjut, pengembangan penerapan model pembelajaran scientific debate sebaiknya diterapkan dalam materi lain dalam Kalkulus seperti limit dan turunan atau mata kuliah lain seperti persamaan differensial, matematika diskrit, statistika, dan sebagainya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Alibert, D., Legrand, M. & Richard, F., (1987) „Alteration of didactic contract in codidactic situation‟, Proceeding of PME 11, Monteral, 379-386.

Bachelard

Becker dan Shimada (1997: 2 Bottencourt (1989)

Brousseau, G. (1997). Theory of Didactical Situations in Mathematics. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

Businkas (2005) Copeland (1979) Cornu (1983)

Cornu, B. (1991). Limits. In D.O. Tall (Ed.), Advanced Mathematical Thinking (pp. 153-166). Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

Dahlan, J.A.(2004). Meningkatkan Kemampuan penalaran dan Pemahaman Siswa SLTP Melalui Pendekatan Pembelajaran Open-Ended. Bandung: Disertasi SPS UPI tidak diterbitkan.

Dubisnky, E., (1991). Reflective Abstraction in Advanced Mathematical Thinking. In D.O. Tall (Ed.), Advanced Mathematical Thinking (pp. 95-123). Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

Dubisnky, E. (2001). Using a Theory of Learning in College Mathematics Courses. Coventry: University of Warwick.

Djemari, Mardapi, 2003, Konstrukai Tes dan Analisis Butir, Bahan lokakarya Metodologi Interaksi Pembelajaran. Tidak Dipublikasi.

Djemari, Mardapi, 2005, Sistem Penilaian pada Kurikulum Berbasis Kompetensi, Makalah. Tidak Dipublikasi.

Ernest, P. (1991). The Philosophy of Mathematics Education. Hamisphere: The Parmer Press.

Esty, Warren W., and Anne R. Teppo (1996) “Algebraic Thinking, Language, and Word Problems. Communication in Mathematics K-12 and Beyond: National Council of Teachers of Mathematics


(3)

Esty, Warren W., and Anne R. Teppo. “A General-Education Course Emphasizing

Mathematical Language and Reasoning”. FOCUS on Learning Problem in

Mathematics 16.1 (Winter 1994): 13-35.

Facione, P.A. (1994). Holistic Critical Thinking Scoring Rubric. [Online]. Tersedia: www.temple.edu/tlc/resources/handouts/holistic20Critical20Thinking20Scorin g%20Rubric.v2.pdf [6 Juni 2007].

Fraenkel, J. R., & Wallen, N. E. (1993). How to Design and EvaluateResearch in Education. Singapore: Mc Graw Hill.

Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: CD-b Press.

Hamalik, Oemar. (2008). Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung:Rosda. Harnisch (2003)

Herscovics, N. (1989). Cognitive Obstacles Encountered in The Learning of Algebra. In S. Wagner and C. Kieran (Eds.), Research Issues in The Learning and Teaching of Algebra. (pp. 60-86). Reston, V: Lawrence Erlbaum for NCTM. Howey (2001: 105)

Geller (2008)

Ibrahim (2007). Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa SMP dalam Matematika melalui pendekatan Advokasi dengan Penyajian Masalah Open-Ended. Tesis SPS UPI: tidak diterbitkan.

Ibrahim & Syaodih, 2003

Kilpatrick, J., Swafford, J., & Findell, B. (2001). Adding It up: Helping Children Learn Mathematics. Washingon, DC: National Academy Press.

Kusumah, Y.S., (1986). Logika matematika Elementer. Bandung: PT Tarsito.

Kusumah, Y.S., (2012). Current Trends in Mathematics and Mathematics Eduacation: Teacher Professionsl Development in The Enhancement of Students’ Mathematical Literacy and Competency. Makalah Seminar Nasional: Universitas Pendidikan Indonesia.

Leader, et al. (1995: 78)

Legrand, M., et al, (1986), “Le debat scientifique”, Actes du Collaques franco-allemands de Marseille, 53-66.


(4)

Longstreet, W & Shane, H.(1993). Curriculum for a New Millennium. Washingon, DC:Allyn and Bacon.

Mc. Millan, J H. dan Schumacher. (2001). Research In Education, A conceptual Introduction. Fifth edition. New York: Addison Wesley Longman. Inc.

Mousley (2004)

National Council of Teachers of Mathematics, (1989) Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, VA.: National Council of Teachers of Mathematics.

NCTM (2000). Principles and Standards for School Mathematics, Reston, Virginia. Niss, G. (1996). Goals of mathematics teaching. In A.J. Bishop, K. Clementa, C.

Keitel, J. Kilpatrick,& C. Laborde (Eds.). International handbook of mathematical education. Netherlands: Kluwer Academic Publisher.

Nurhadi. (2002). Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Orton, A. (1983). Student‟understanding of Integration. Educational Studies in

Mathematics, 14, 1-18.

Peggy A. House, (1995), Connecting Mathematics Across The Curriculum, Northern Michigan University: Yearbook.

Polya, G. (1973). How to Solve It. A New Aspect of Mathematical Method. New Jersey: Princenton University Press.

Pollatsek (1981)

Rohani & Ahmadi, 1995

Ruseffendi, E. T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Sabandar, J. (2003). Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika. Makalah: tidak diterbitkan.

Slavin, 1977

Slavin, R.E (1994) Educational Psychology Theory: Theory and Practice. Massachusettts: Allyn and Bacon Publiser.


(5)

Suherman, E. dan Sukjaya, Y. (1990). Petunjuk Praktis Untuk Melaksanakan Eevaluasi Pendidikan Matematika. Bandung, Wijayakusuma.

Suherman dan Winataputra, 1983: 222

Suryadi. D (2001). Pengembangan Kemampuan Berfikir Matematika Tingkat Tinggi Melalui Kegiatan Pemecahan Masalah di SLTP. Bandung: UPI.

Suryadi. D (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung Serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berfikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi pada PPS UPI: tidak diterbitkan.

Suryadi. D (2010). Model Antisipasi dan Situasi Didaktis dalam Pembelajaran Matematika Kombinatorik Berbasis Pendekatan Tidak Langsung. Bandung: UPI.

Sukmadinata, Nana, S., 2002). Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Rosda Karya.

Sumarmo, U. (1993), Peranan Kemampuan Logik dan Kegiatan Belajar terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik pada Siswa SMA di Kodya Bandung. Laporan Penelitian IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

Sumarmo, U. (1994), Suatu Alternatif untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik pada Guru dan Siswa SMP. Laporan Penelitian IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

Sumarmo, U., et al. (2005). Pengembangan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP dan SMU serta Mahasiswa Strata Satu (S1) Melalui Berbagai Pendekatan Pembelajaran. Laporan Hibah Penelitian Pascasarjana Tahun Ketiga: tidak diterbitkan.

Sumarmo, U. (2006), Berfikir Matematik Tingkat Tinggi: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Siswa Sekolah Menengah dan Mahasiswa Calon Guru. Makalah disajikan pada Seminar Pendidikan Matematika di Jurusan Matematika FMIPA Universitas Padjadjaran Tanggal 22 April 2006: tidak diterbitkan.

Sutiarso, (2000), Problem Posing, Strategi Efektif Meningkatkan Aktifitas Siswa dalam Pembelajaran Matematika. Makalah pada Seminar di Bandung: tidak diterbitkan.


(6)

Sutarto-Hadi (2002). Effective Teacher Professional Development for the Implementation of Realistic Mathematics Education in Indonesia. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente.

Tall (1986)

Tall, D., (1991). Advanced Mathematical Thinking, London: Kluwer Academic Publisher.

Tall, D. (1996). Functions and Calculus. In A.J. Bishop, K. Clements, C. Keitel, J. Kilpatrick & C. Laborde (Eds.), Inetrnational Handbook of Methematics education (pp. 289-311). Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

Tim MKPBM (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-Universitas Pendidikan Indonesia.

(Toulmin, 1972) Utari (1999)

Utari-Sumarmo, (2004). Pembelajaran Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah yang disajikan pada pertemuan MGMP Matematika SMPN 1 Tasikmalaya, 11 Februari 2004. Bandung: PPS UPI.

Utari, S. (2008) Berfikir Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Cara Mempelajarinya. Makalah.

Wahyudin, (1999), Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika. Disertasi pada PPS UPI: tidak diterbitkan.