kad TB paru dalam pengobatan (3)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Salah satu penyakit menular yang ada adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Mycrobacterium tuberculosis (TB), sebagian besar TB umumnya menyerang paru-paru namun
juga dapat menyerang organ lainnya. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam,
sehingga dikenal dengan Basil Tahan Asam (BTA). Penyakit ini dapat menyerang pada semua
orang, baik anak-anak maunpun orang dewasa. Penyakit ini sangat mudah ditularkan pada orang
lain, bakteri Microbacterium tuberculosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara
pernapasan kedalam paru, kemudian bakteri tersebut dapat menyebar dari paru-paru ke bagian
tubuh lain melalui peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas (bronkus) atau
menyerang langsung ke bagian tubuh lainnya.
TB Paru merupakan bentuk yang paling sering dijumpai yaitu sekitar 80% dari semua
penderita. TB yang menyerang jaringan paru ini merupakan satu-satunya bentuk dari TB yang
dapat menular. TB merupakan salah satu masalah kesehatan penting di Indonesia. Selain itu,
Indonesia menduduki peringkat ke-3 negara dengan jumlah penderita TB terbanyak di dunia
setelah India dan China. Jumlah pasien TB di Indonesia adalah sekitar 5,8 % dari total jumlah
pasien TB dunia.
Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus TB baru dengan kematian
sekitar 91.000 orang. Angka prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2009 adalah 100 per 100.000
penduduk dan TB terjadi pada lebih dari 70% usia produktif. Laporan WHO tentang angka

kejadian TBC evaluasi selama 3 tahun dari 2008, 2009, 2010 menunjukkan bahwa kejadian TBC
Indonesia mencapai 189 per 100.000 penduduk. Secara global, angka kejadian kasus kejadian
TBC 128 per 100.000 penduduk. Data ini menunjukkan bahwa kasus TBC berada di sekitar kita.
Daya penularan dari seorang penderita TB ditentukan oleh banyaknya kuman yang
terdapat dalam paru penderita. Persebaran dari kuman-kuman tersebut dalam udara serta yang
dikeluarkan bersama dahak berupa droplet dan berada diudara disekitar penderita TB. Untuk
membatasi

terjadinya

penyakit

TB

paru

pemerintah

mengupayakan


strategi

untuk

menanggulanginya seperti dengan mencanangkan program DOTS (Directly Observed Treatment

BI
B II

B III

Short-course) yang mana fokus utama dari program ini adalah penemuan dan penyembuhan
pasien, dengan prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular.
Oleh karena itu, demi tercapainya program tersebut perlu adanya upaya untuk
menambahkan pengetahuan pada masyarakat mengenai pemahaman anatomi sistem respirasi
yang terkait erat dengan penyakit TB paru, pengertian tentang, etiologi, manifestasi klinis,
patofisiologi, pathway, pemeriksaan penunjang, komplikasi, dan penatalaksanaan (medis,
keperawatan, diet) serta asuhan keperawatan bagi penderita TB paru.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

a. Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan dengan tanggap dan benar bagi penderita
Tuberkulosis Paru
b. Tujuan Umum
1) Mahasiswa mampu memahami anatomi sistem pernapasan
2) Mahasiswa mampu memahami definisi dari Tuberkulosis (TB) Paru
3) Mahasiswa mampu memahami etiologi dan faktor risisko TB paru
4) Mahasiswa mampu memahami manifestasi klinis dari TB Paru
5) Mahasiswa mampu memahami patofisiologi dari TB Paru
6) Mahasiswa mampu memahami pathway dari TB Paru
7) Mahasiswa mampu memahami komplikasi yang kemungkinan terjadi pada penderita TB Paru
8) Mahasiswa mampu memahami pemeriksaan diagnostik TB Paru
9) Mahasiswa mampu memahami penatalaksanaan medis, keperawatan dan diet TB Paru
10) Mahasiswa mampu melakukan pengkajian bagi penderita TB Paru
11) Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan bagi penderita TB Paru dengan tepat
1.3 Sistematika Penulisan
Dalam menyusun makalah ini, penyusun membagi atas beberapa bab dan tiap bab dan
tiap-tiap bagiannya menjadi beberapa bagian. Adapun isi dari tiap-tiap bagian tersebut adalah:
1. Bagian formalitas, terdiri dari halaman judul, kata pengantar, daftar isi
2. Bagian isi terdiri dari:

Pendahuluan, meliputi: latar belakang masalah, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan.
Kajian pustaka, meliputi: anatomi sistem pernapasan, definisi, etiologi, manifestasi klinis,
patofisiologi, pathway, komplikasi, pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaan
Pembahasan, meliputi: pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana intervensi dan rasional
tindakan
BAB IV Penutup, meliputi: simpulan.

BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Anatomi Sistem Pernapasan

Anatomi saluran pernapasan dapat dibedakan menjadi dua yaitu saluran pernapasan
bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah.
Saluran pernapasan bagian atas terdiri dari:
1. Lubang hidung (cavum nasalis)
Hidung dibentuk oleh tulang sejati (os) dan tulang rawan (kartilago) serta jaringan ikat. Bagian
dalam hidung merupakan suatu lubang yang dipisahkan menjadi lubang kiri dan kanan oleh sekat
(septum). Rongga hidung mengandung rambut (fimbriae) yang berfungsi sebagai penyaring
(filter) terhadap benda asing yang masuk. Pada permukaan (mukosa) hidung terdapat epitel
bersilia yang mengandung sel goblet. Sel ini mengeluarkan lendir sehingga dapat menangkap

benda asing yang masuk pada saluran pernapasan.
Di dalam lubang hidung terdapat reseptor yang dapat membuat kita dapat membau yang di
kendalikan oleh nervous olfaktorius.
Hidung berfungsi sebagai jalan napas, pengatur udara, pengatur kelembaban udara, pelindung
dan penyaring udara, indra penciuman dan resonator suara.
2. Sinus paranasalis
Sinus paranasalis merupakan daerah yang terbuka pada tulang kepala. Dinamakan sesuai dengan
a.
b.
c.
d.

tulang tempat dia berada yaitu:
Sinus frontalis
Sinus spenoidalis
Sinus maxilaris
Sinus lakrimalis

Sinus berfungsi untuk:
a.

b.
c.
3.

Membantu menghangatkan dan melembabkan udara (humidifikasi)
Meringankan berat tulang tengkorak
Mengatur bunyi suara manusia dengan ruang resonansi
Faring
Faring merupakan pipa berotot berbentuk cerobong yang letaknya bermula dari dasar tengkorak
sampai persambungannya dengan esophagus. faring digunakan pada saat ‘digestion’ (menelan)

seperti pada saat bernapas.
Faring dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Nasofaring
Nasofaring terdapat pada superior di area yang terdapat epitel bersilis dan tonsil (adenoid), seta
merupakan muara tube eustachhius. Aadenoid atau faringeal tonsil berada di langit-langit
nasofaring.
b. Orofaring
Orofaring berfungsi untuk menampung udara dari nasofaring dan makanan dari mulut. Pada
bagian ini terdapat tonsili palatina (posterior) dan tonsili lingualis (dasar lidah).

c. Laringofaring
Merupakan bagian terbawah faring yang berhubungan dengan esophagus dan pita suara (vocal
cord) yang berada dalam trachea. Laringofaring berfungsi pada saat menelan dan respirasi.
Laringofaring terletak dibagian depan pada laring, sedangkan trachea terdapat di belakang.
4. Laring
Laring sering disebut dengan “voice box” dibentuk oleh struktur epitelium lined yang
berhubungan dengan faring (di atas) dan trakkhea (di bawah). Laring terletak di anterior tulang
belakang (vertebrae) ke-4 dan ke-6. Bagian atas dari esophagus berada di posterior laring.
Fungsi utama laring adalah untuk pembentukan suara, sebagai proteksi jalan napas bawah dari

a.
b.
c.

benda asing dan untuk memfasilitasi proses terjadinya batuk.
Laring terdiri atas:
Epiglottis: katup kartilago yang menutup dan membuka selama menelan
Glottis: lubang antara pita suara dan laring
Kartilago thyroid: kartilago yang terbesar pada trakea, terdapat bagian yang membentuk jakun


d.
e.
f.

(adam’s apple)
Kartilago krikoid: cincin kartilago yang utuh di laring (terletak di bawah kartilago thyroid)
Kartilago aritenoid: digunakan pada pergerakan pita suara bersama dengan kartilago thyroid
Pita suara: sebuah ligamen yang dikontrol oleh pergerakan otot yang menghasilkan suara dan
menempel pada lumen laring.
Sedangkan saluran pernapasan bagian bawah adalah sebagai berikut:

1. Trakhea

Trakhea merupakan perpanjangan dari laring pada ketinggian tulang vertebrae torakal ke-7 yang
bercabang menjadi dua bronchus. Ujung cabang trakhea disebut carina. Trakhea bersifat sangat
fleksibel, berotot, dan memiliki panjang ± 12 cm dengan cincin kartilago berbentuk C. Pada
cincin tersebut terdapat epitel bersilis tegak yang banyak mengandung sel goblet yang
mensekresikan lendir (mucus).
2. Bronkhus dan Bronkhiolus
Cabang bronkhus kanan lebih pendek, lebih lebar, dan cenderung lebih vertical daripada yang

kiri. Hal tersebut menyebabkan benda asing lebih mudah masuk ke dalam cabang sebelah kanan
daripada cabang bronkhus sebelah kiri.
Segmen dan subsegmen bronkhus bercabang lagi dan berbentuk seperti ranting masuk ke setiap
paru-paru. Bronkhus di susun oleh jaringan kartilago sedangkan bronkhiolus, yang berakhir di
alveoli, tidak mengandung kartilago.
Tidak adanya kartilago menyebabkan bronkhiolus mampu menangkap udara, namun juga dapat
mengalami kolaps. Agar tidak kolaps, alveoli dilengkapi dengan porus atau lubang kecil yang
terletak antar alveoli ‘kohn pores’ yang berfungsi untuk mencegah kolaps alveoli.
Saluran pernapasan mulai dari trakhea sampai bronkhus terminalis tidak mengalami pertukaran
gas dan merupakan area yang dinamakan Anatomical Dead Space. Banyaknya udara yang berada
dalam area tersebut adalah sebesar 150 mL. Awal dari proses pertukaran gas terjadi di
bronkhiolus respiratorius.
3. Alveoli
Alveoli merupakan kantung udara yang berukuran sangat kecil, dan merupakan akhir dari
bronkhiolus respiratorius sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran oksigen dan
karbondioksida. Fungsi utama dari unit alveolus adalah pertukaran oksigen dan karbondioksida
di antara kapiler pulmoner dan alveoli.
4. Paru-paru
Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang ujungnya berada di atas tulang iga
pertama dan dasrnya berada pada diafragma. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus (superior,

medial, inferior) sedangkan paru-paru kiri mempunyai dua lobus (superior dan inferior). Paruparu kanan dan kiri dipisahkan oleh ruang yang disebut mediastinum (Irman somantri, 2008).
Paru-paru manusia terbungkus oleh dua selaput, yaitu pleura dalam (pleura visceralis) dan pleura
luar (pleura parietalis). Pleura dalam langsung menyelimuti paru-paru, sedangkan pleura luar
bersebelahan dengan tulang rusuk. Antara kedua pleura tersebut terdapat rongga tulang rusuk.
Antara kedua pleura tersebut terdapat rongga yang berisi cairan pleura yang berfungsi sebagai
pelumas paru-paru

2.2 Definisi
Tuberculosis paru-paru (TB Paru) merupakan penyakit infeksi kronis atau menahun yang
menyerang parenkim paru-paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini
juga dapat menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang dan nodus limfe
(Irman somantri, 2008).
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko
1. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang berukuran
panjang 1- 4 mm dengan tebal 0,3 – 0,6 mm. sebagian besar komponen M. tuberculosis adalah
berupa lemak (lipid) sehingga kuman mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap
zat kimia dan faktor fisik.
Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni menyukai daerah yang banyak oksigen.
Oleh karena itu, M. tuberculosis senang tinggal di daerah apeks paru-paru yang kandungan

oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberkulosis
(Irman somantri, 2008).
2. Faktor Risiko
Mereka yang paling berisiko terpajan dengan basil adalah mereka yang tinggal
berdekatan dengan orang yang terinfeksi aktif. Kelompok ini antara lain tunawisma yang tinggal
di tempat penampungan yang terdapat kasus tuberculosis, serta anggota keluarga paisen. Anakanak merupakan kelompok yang sangat rentan. Imigran ke Amerika Serikat yang berasal dari
Negara berkembang sering mengidap infeksi aktif atau laten.
Tenaga kesehatan yang merawat pasien tuberculosis, dan mereka yang menggunakan
fasilitas klinik perawatan atau rumah sakit yang juga digunakan oleh penderita tuberculosis juga
berisiko terpajan dan terjangkit penyakit TB. Di antara mereka yang terpajan basil, individu yang
sistem imunnya tidak adekuat, seperti mereka yang kekurangan gizi, individu lanjut usia atau
bayi dan anak-anak, individu yang mendapat obat imunosupresan, dan mereka yang mengidap
virus imunodiferensiasi manusia (HIV) kemungkinan besar akan terinfeksi. Virulensi galur
kuman juga mempengaruhi penularan, jenis galur tertentu teridentifikasi sanagt virulen.
Pengendalian TB terhambat oleh munculnya resisten multi-obat dan efek sinergis pada
HIV/AIDS (Elizabeth J. Corwin, 2009).

2.4 Manifestasi Klinis
Pada banyak individu yang terinfeksi tuberculosis adalah asimptomatis. Pada individu
lainnya, gejala berkembang secara bertahap sehingga gejala tersebut tidak dikenali sampai
penyakit telah masuk sampai tahap lanjut. Bagaimanapun, gejala dapat timbul pada individu
yang mengalami imunosupresif dalam beberapa minggu sampai terpajan oleh basil.
Manifestasi klinis yang umum termasuk keletihan, penurunan berat badan, letargi,
anoreksia (kehilangan nafsu makan), dan demam ringan yang biasanya terjadi pada siang hari.
Berkeringat malam dan ansietas umum sering tampak. Dispnea, batuk purulen produktif disertai
nyeri dada, dan hemoptsis adalah juga temuan yang umum (Niluh dan Cristiantie, 2003).

2.5 Patofisiologi
Infeksi primer. Pertama kali klien terinfeksi oleh tuberculosis disebut sebagai
“infeksi primer” dan biasanya terdapat pada apeks paru atau dekat pleura lobus bawah. Infeksi
primer mungkin hanya berukuran mikroscopis, dan karenanya tidak tampak pada foto ronsen.
Tempat infeksi primer dapat mengalami proses degenerasi nekrotik (perkejuan) tetapi bisa saja
tidak, yang menyebabkan pembentukan rongga yang terisi oleh masa basil tuberkel seperti keju,
sel-sel darah putih yang mati, dan jaringan paru nekrotik. Pada waktunya, material ini mencair
dan dapat mengalir ke dalam percabangan trakheobronkhial dan dibatukkan. Rongga yang terisi
udara tetap ada dan mungkin terdeteksi ketika dilakukan ronsen dada.
Sebagian besar tuberkel primer menyembuh dalam periode bulanan dengan membentuk
jaringan parut, dan pada akhirnya terbentuk lesi pengapuran yang juga dikenal sebagai tuberkel
ghon. Lesi ini dapat mengandung basil hidup yang dapat aktif kembali meski telah bertahuntahun, dan menyebabkan infeksi sekunder.

Infeksi TB primer menyebabkan tubuh mengalami reaksi alergi terhadap basil tuberkel
dan proteinnya. Respon imun seluler ini tampak dalam bentuk sensitisasi sel-sel T dan terdeteksi
oleh reaksi positif pada tes kulit tuberkulin. Perkembangan sensitivitas tuberkulin ini terjadi pada
semua sel-sel tubuh 2-6 minggu setelah infeksi primer. Dan akan dipertahankan selama basil
hidup berada dalam tubuh. Imunitas didapat ini biasanya menghambat pertumbuhan basil lebih
lanjut dan terjadinya infeksi aktif.
Faktor yang tampaknya mempunyai peran dalam perkembangan TB menjadi penyakit aktif
termasuk:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

usia lanjut
imunosupresi
infeksi HIV
malnutrisi
alkoholisme dan penyalahgunaan obat
adanya keadaan penyakit lain
predispose genetic
Infeksi sekunder. Selain penyakit primer yang progresif, infeksi ulang juga mengarah pada
bentuk klinis TB aktif. Tempat primer infeksi yang mengandung basil TB dapat tetap laten
selama bertahun-tahun dan kemudian teraktifkan kembali jika daya tahan klien menurun. Penting
artinya untuk mengkaji kembali secara periodik klien yang telah mengalami infeksi TB untuk
mengetahui adanya penyakit aktif (Niluh dan Christie, 2003).

Resiko infeksi

Individu dengan tbc
2.6 Pathway

Pemecahan
cadanganmakanan

Kebutuhan nutrisi
selmeningkat

Ganggaun
nutrisikurang dari
kebutuhan

Iritasi jaringan paru

Peningkatan
sekresi
2.7
Komplikasi
Akumulasi sekret
dijalan nafas

Bersihan jalan
nafastidak efektif
Reaktivasi parut tuberculosis lama dapat terjadi bila seseorang pasien mengalami
gangguan imun. Kemoprofilaksis dengan isoniazid sering diberikan sebelum pengobatan
imunosupresif (kemoterapi, transplantasi organ). Bronkiektaksis dan kavitas paru dengan infeksi

jamur sekunder (misetoma), lesi nervus kranialis, dan obstruksi saluran ginjal dapat terjadi akibat
pembentukan parut yang disertai penyembuhan setelah TB.
Pengobatan

yang

tidak

adekuat

atau

tidak

patuh

menyebabkan

munculnya

strainmikrobakteri multiresisten yang dapat sulit dieradiksi. Supervisi kompulsif dan isolasi
pasien tersebut mungkin diperlukan (Jeremy dan Richard, 2007).
2.8 Pemeriksaan Diagnostik
Deteksi dan diagnosis TB dicapai dengan tes objektif dan temuan pengkajian subjektif.
Perawat dan tenaga kesehatan lainnya harus terus mempertahankan indeks kecurigaan yang
tinggi terhadap TB bagi kelompok yang berisiko tinggi. Infeksi TB primer primer sering tidak
dikenali karena biasanya infeksi ini asimptomatis.
Lesi pengapuran dan tes kulit positif sering kali merupakan satu-satunya indikasi infeksi TB
primer telah terjadi. Pemeriksaan diagnostik berikut biasanya dilakukan untuk menegakkan
infeksi TB:
a. Kultur sputum: positif untuk M. Tuberculosis pada tahap aktif penyakit
b. Ziehl-Neeslen (pewarnaan tahan asam): positif untuk basil tahan asam
c. Tes kulit mantoux(PPD, OT): reaksi yang signifikan pada individu yang sehat. Biasanya
menunjukan TB dorman atau infeksi yang disebabkan mikrobakterium yang berbeda,
d. Ronsen dada: menunjukkan infiltrasi kecil lesi dini pada bidang atas paru, deposit kalsium dari
lesi primer yang telah menyembuh, atau cairan dari suatu efusi. Perubahan yang menandakan TB
e.

lebih lanjut kavitasi, area fibrosa.
Biopsi jarum jaringan paru: positif untuk granuloma TB. Adanya sel-sel raksasa menunjukkan

nekrosis.
f. ADG: mungkin abnormal bergantung pada letak, keparahan dan lerusakan paru residual.
g. Pemeriksaan fungsi pulmonal: penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang rugi, peningkatan
rasio udara residual terhadap kapasitas paru total, dan penurunan saturasi oksigen sekunder
akibat infiltrasi atau fibrosis parenkim (Niluh dan Cristiantie, 2003).
2.9 Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
Kebanyakan individu dengan TB aktif yang baru didiagnosa tidak di rawat di rumah sakit. Jika
TB paru terdiagnosa pada individu yang sedang di rawat, klien mungkin akan tetap di rawat
sampai kadar obat terapeutik telah ditetapkan. Beberapa klien dengan TB aktif mungkin di rawat
di rumah sakit karena alasan:
1) Mereka sakit akut

2) Situasi kehidupan mereka dianggap berisiko tinggi
3) Mereka diduga tidak patuh terhadap program pengobatan
4) Terdapat riwayat TB sebelumnya dan penyakit aktif kembali
5) Terdapat penyakit lain yang bersamaan dan bersifat akut
6) Tidak terjadi perbaikan sesudah terapi, dan
7) Mereka resisten terhadap pengobatan yang biasa, membutuhkan
obat garis ke-2 dan ke-3. Dalam situasi seperti ini, perawat singkat di rumah sakit diperlukan
untuk memantau keefektifan terapi dan efek samping obat-obat yang diberikan.
Klien dengan diagnosa TB aktif biasanya mulai diberikan tiga jenis medikasi atau lebih untuk
memastikan bahwa organisme yang resisten telah disingkirkan. Dosis dari beberapa obat
mungkin cukup besar karena basil sulit untuk dibunuh. Pengobatan berlanjut cukup lama untuk
menyingkirkan atau mengurangi secara substansial jumlah basil dorman atau semidorman. Terapi
jangka panjang yang tak terputus merupakan kunci sukses dalam pengobatan TB.
Medikasi yang digunakan untuk TB mungkin dibagi menjadi preparat primer dan preparat
baris kedua. Preparat primer hampir selalu diresepkan pertama kali sampai laporan hasil kultur
dan labolatorium memberikan data yang pasti. Klien dengan riwayat TB yang tidak selesai
mungkin mempunyai organisme yang menjadi resisten dan preparat sekunder harus digunakan.
Lamanya pengobatan beragam, beberapa program mempunyai pendekatan dua fase:
1)

Fase intensif yang menggunakan dua atau tiga jenis obat, ditujukan untuk menghancurkan

sejumlah besar organisme yang berkembang baik dengan cepat, dan
2) Fase rumatan, biasanya dengan dua obat, diarahkan pada pemusnahan sebagian besar basil yang
masih tersisa.
Program pengobatan dasar yang direkomendasikan bagi klien yang sebelumnya belum
diobati adalah dosis harian isoniazid, rifampin, dan pirazinamid selama 2 bulan. Pengobatan ini
diikuti dengan isoniazid dan rifampin selama 4 bulan. Kultur sputum digunakan untuk
mengevaluasi keberhasilan terapi. Jika kepatuhan terhadap pendosisan harian menjadi masalah,
maka diperlukan protokol TB yang memberikan medikasi dua atau tiga kali seminggu. Program
ini biasanya diberikan di klinik untuk memastikan klien menerima obat yang di haruskan.
Jika medikasi yang digunakan tampak tidak efektif (misalnya: memburuknya gejala,
peningkatan infiltrat, atau pembentukan kavitas), program harus dievakuasi kembali, dan
kepatuhan klien harus dikaji. Setidaknya dua medikasi (tidak pernah hanya satu) ditambahkan
pada program terapi TB yang gagal.

Medikasi yang digunakan untuk mengobati TB mempunyai efek samping serius, bergantung
pada obat spesifik yang diresepkan. Toleransi obat, efek obat, dan toksisitas obat bergantung
pada faktor-faktor seperti usia, dosis obat, waktu sejak obat terakhir yang digunakan, formula
kimia dari obat, fungsi ginjal dan usus, dan kepatuhan klien. Klien penderita TB yang tidak
membaik atau yang tidak mampu menoleransi medikasi mungkin membutuhkan pengkajian dan
pengobatan pada fasilitas medis yang mengkhususkan dalam pengobatan TB paru berkomplikasi.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Tentukan apakah pasien pernah terpajan pada individu dengan TB atau tidak. Sering kali
“sumber” dari infeksi tidak diketahui dan mungkin tidak pernah ditemukan. Pada saat yang
sama, kontak erat pasien harus diidentifikasi sehingga mereka dapat menjalani “follow-up” untuk
menentukan apakah mereka terinfeksi dan mempunyai penyakit aktif atau tes tuberculin positif.
Keluhan pasien yang paling umum adalah batuk produktif dan berkeringat malam hari.
Data yang harus dikumpulkan untuk mengkaji pasien dengan TB mencakup batu produktif,
kenaikan suhu tubuh siang hari, reaksi tuberkulin dengan indurasi 10 mm atau lebih dan rotgen
dada yang menunjukkan infiltrat pulmonal (Niluh dan Christie, 2003).
c. Penatalaksanaan Diet
Terapi diet bertujuan untuk memberikan makanan secukupnya guna memperbaiki dan
mencegah kerusakan jaringan tubuh lebih lanjut serta memperbaiki status gizi agar penderita
dapat melakukan aktivitas normal.
Terapi diet untuk penderita kasus Tuberculosis paru adalah:
1) Energi diberikan sesuai dengan keadaan penderita untuk mencapai berat badan normal
2) Protein yang tinggi untuk mengganti sel-sel yang rusak meningkatkan kadar albumin serum
yang rendah (75-100 gram)
3) Lemak cukup 15-25 % dari kebutuhan energy total
4) Karbohidrat cukup sisa dari kebutuhan energy total
5) Vitamin dan mineral cukup sesuai kebutuhan total
Macam diet untuk penyakit TBC:
1) Diet Tinggi Energi Tinggi Protein I (TETP I)
Energy: 2600 kkal, protein 100 gram (2/kg BB)
2) Diet Tinggi Energi Tinggi Protein II (TETP II)
Energy: 3000 kkal, protein 125 gram (2,5 gr/kg BB)

Perhitungan kebutuhan energi dan zat gizi makro dapat disesuaikan dengan kondisi tubuh
penderita (BB dan TB) dan penderita dapat diberikan salah satu dari dua macam diet tinggi
energi tinggi protein (TETP) sesuai tingkat penyakit penderita (Denny Indra, 2010).
Dapat dilihat di bawah ini bahan makanan yang dianjurkan dan tidak diancurkan pada
penderita TB paru:
Bahan Makanan
Sumber karbohidrat

Dianjurkan
Nasi, roti macaroni dan
hasil olahan tepung
seperti cake, pudding.
Daging sapi, ayam, telur,

Sumber protein

ikan, susu dan hasil
olahan sepeti yogurt dan
keju
Semua jenis kacang-

Sumber protein nabati

Yang Tidak Dianjurkan

kacang dan hasil
olahannya seperti temped

Dimasak dengan banyak
minyak kelapa atau
santan kental

Dimasak hanya dengan
minyak kelapa

an keju
Semua jenis sayuran
Sayuran

seperti: bayam, buncis,
daun singkong
Semua jenis segar,

Buah-buahan

Minuman

Lemak dan minyak

seperti: papaya,
semangka, melon
Soft drink, madu, sirup,
teh dan kopi encer
Minyak goreng, mentega,
margarine, santan encer,
salat
Bumbu tidak tajam

Bumbu

seperti bawang merah,
bawang putih, laos

Minuman rendah kalori

Santan kental

Bumbu yang tajam
seperti cabe dan lada

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
a. Data pasien
penyakit tuberkulosis (TB) dapat menyerang manusia mulai dari usia anak sampai dewasa
dengan perbandingan yang hampir sama antara laki-laki dan perempuan. Penyakit ini biasanya
banyak ditemukan pada pasien yang tinggal di daerah dengan tingkat kepadatan tinggi sehingga
masuknya cahaya kedalam rumah sangat minim
tuberkulosis pada nak dapat terjadi di usia berapapun , namun usia paling umum antara 1-4
tahun. Anak-anak lebih sering mengalami TB luar paru-paru (extrapulmonary) dibanding Tb
paru-paru dengan perbandingan 3:1. Tuberkulosis luar paru-paru adalah TB berat yang terutama
yang ditemukan pada usia