Perbandingan Strategi Adaptasi Pemanfaat tik

Perbandingan Strategi Adaptasi Pemanfaatan Kerang
pada Situs Terbuka dengan Situs Tertutup
(Studi Kasus : Situs Pesisir Pantai Timur Sumatra
dengan Gua-Gua di Sumatra Utara)

I. Pendahuluan
Kala Holosen ditandai pada masa hidup berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut.
Keadaan lingkungan hidup pada masa Holosen tidak banyak berbeda dengan keadaan sekarang
ini. Hidup berburu dan mengumpulkan bahan-bahan makanan yang didapat dari alam sekitarnya
dilanjutkan, terbukti ditemukannya alat-alat seperti yang terbuat dari batu, tulang dan kerang.
Perubahan-perubahan penting yang terjadi pada awal masa Holosen ialah berubahnya iklim.
Dimana terjadi perubahan antara masa glasial (jaman es) dan masa interglasial (jaman antar es).
Perubahan ini mempengaruhi perubahan iklim secara global. Adanya masa glasial berakibat pada
perubahan temperatur yang berubah menjadi dingin. Keadaan air di lautan dan kutub menurun
dan berkurang sehingga memperluas wilayah daratan. Masa ini berlangsung sekitar 18.000 tahun
yang lalu.
Pada masa interglasial terjadi perubahan iklim dari dingin menjadi panas. Gumpalangumpalan es mencair sehingga mengakibatkan kenaikan permukaan air laut.

Hal ini

mengakibatkan beberapa daratan tenggelam dan antar pulau terpisahkan dengan lautan. Masa

interglasial telah berlangsung sekitar 10.000 tahun yang lalu hingga sekarang. Perubahanperubahan inilah yang mengakibatkan manusia berpindah dari lingkungan terbuka ke lingkungan
tertutup (gua) sebagai tempat hunian (Bellwood, 2000: 45-50).

Adaptasi adalah kemampuan suatu makhluk hidup untuk mempertahankan diri terhadap
lingkungannya. Proses dalam adaptasi tersebut untuk bertahan hidup mereka pasti memerlukan
makan. Makanan diperlukan dalam upaya mempertahankan hidup, menyesuaikan diri dan dapat
memperbaiki status sehingga pemulihan tempat hunian dan jenis makanan dapat dipandang
sebagai indikasi strategis adaptasi manusia masa lampau. Adapula pola subsitensi atau
bagaimana cara bertahan hidup. Dalam hal ini tentu ada faktor pendukungnya, sebagai salah satu
contoh kondisi lingkungan disekitar pemukiman yang didiami. Untuk bertahan hidup, sistim
subsitensi yang dilakukan adalah bermata pencaharian seperti berburu, mengumpulkan makanan,
memancing. Adaptasi dengan pemanfaatan terhadap lingkungan fisik seperti sungai dan laut.
Berbedanya tempat hunian antara situs terbuka dengan situs tertutup dalam kasus ini adalah
situs terbuka dengan daerah yang mencakup wilayah pesisir pantai dan situs tertutup dengan
cakupan gua sebagai tempat hunian. Dari perbedaan tempat hunian inilah kemungkinan adanya
perbedaan strategi adaptasi dan pola subsitensi yang terdapat dikedua situs hunian tersebut.
Dalam makalah ini akan membandingkan tentang eksploitasi molusca yang ditemukan dikedua
tempat tersebut. Situs terbuka dalam makalah ini adalah Situs Pesisir Pantai Timur Sumatra dan
situs tertutup di Gua-gua Sumatra Utara. Kedua lokasi tersebut banyak ditemukan artefak
maupun ekofak tinggalan manusia penghuninya yang bisa digunakan untuk merekonstruksi

kehidupan masa lalu.
II. Rumusan Masalah
1. Apakah perbedaan strategi adaptasi dengan pemanfaatan kerang di Situs Terbuka
Pesisir Pantai Timur Sumatra dengan Gua-gua di Sumatra Utara ?
2. Apakah pola subsitensi di kedua situs tersebut dipengaruhi oleh lingkungan ?
III. Tujuan

Dalam paradigma arkeologi terkandung disiplin arkeologi, yaitu merekonstruksi sejarah
budaya manusia, merekonstruksi cara-cara hidup manusia pada masa lampau dan untuk
mengetahui terjadinya perrubahan budaya (Wijaya, 1993: - ). Tujuan dibuatnya makalah ini
mengambil dari salah satu disiplin arkeologi tersebut yaitu merekonstruksi kehidupan manusia
dalam memanfaatkan kerang sebagai sumberdaya. Kerang dipilih dalam topik makalah ini
karena kerang dianggap sebagai data penting dalam usaha merekonstruksi berbagai aspek
kehidupan manusia masa lampau. Dalam pola subsitensi, dari sisa-sisa kerang dapat diketahui
jenis-jenis kerang yang dimakan, tempat diperolehnya kerang, dan bagaimana cara
memperolehnya. Kerang mampu menjelaskan pola makan manusia dan merekonstruksi
lingkungan tempat tinggal manusia masa lampau.
IV.

Pembahasan


Molusca merupakan salah satu filum dari kelompok hewan invertebrata atau tidak bertulang
belakang. Kelompok hewan ini bertubuh lunak dan berdaging tetapi tidak bertulang belakang.
Menurut ahli biologi Filum molusca dapat dibagi menjadi beberapa kelas. Liebe H. Hyman
membagi filum molusca menjadi 7 kelas (Wijaya, 1993), yaitu :
1. Pelecypoda
2. Scaphopoda
3. Gastropoda

4. Chepalopoda
5. Aplacopora
6. Polyplacophora

7. Monoplachopora

Menurut Charles Eastman, Filum molusca terbagi menjadi 5 kelas, yaitu :
1. Pelecypoda
3. Amphineura
5. Cepalopods
2. Scaphopods

4. Gastropods

Dalam makalah ini akan di jabarkan beberapa temuan artefak serta ekofak kerang dalam
situs terbuka Pesisir Pantai Timur Pulau Sumatra dan situs tertutup Gua-gua di Sumatra Utara
serta kemungkinan adanya tinggalan artefak lain yang menunjanag data arkeologi untuk
membandingkan temuan antara situs terbuka dengan situs tertutup.
Situs Pesisir Pantai Timur Pulau Sumatra
Salah satu bukti tinggalan masa lalu pada masa berburu dan mengumpulkan makanan
tingkat lanjut ialah sisa-sisa bukit kerang di sepanjang pantai timur Sumatra dengan wilayahnya
sepanjang 130 km, mulai dari Percut, Bulu Cina, dan Tandem Hilir di wilayah Sumatra Utara
hingga ujung Tamiang berlokasi di Kampung Binjai Kecamatan Seruwai, Kabupaten Aceh Timur
(Poesponegoro dkk, 1984 dikutip Suhadi, 1997 : 2).
Salah satu situs di pesisir timur Sumatra adalah Situs Kampung Baru, Kecamataan Hinai,
Kabupaten Langkat yang merupakan salah satu situs bukit kerang yang terdapat di Sumatra
Utara. Situs ini berjarak kurang lebih 60 km dari Kota Medan melalui jalan raya Medan-Aceh
lalu berbelok ke kanan menyusuri jalan tanah sejauh kurang lebih 1 km. Situs ini terletak di
kawasan pinggir perkampungan dan persawahan. Di sekitar situs terdapat sungai Sei Wampu
yang berjarak kurang lebih 5 km dan Sungai Besilang yang berjarak 10 km dari situs. Bentuk
situs bukit kerang ini sekarang berupa kolam/danau yang dikelilingi tanah sisa galian bukit
kerang tersebut. Dua buah sungai yang mengapit situs merupakan sumber air untuk kebutuhan

sehari-hari.
Kerang-kerang yang ditemukan pada situs bukit kerang Kampung Baru ada dua kelas yaitu
Gastropoda dan Pelecypoda (bivalvia). Sampel siput gastropoda sekarang tersimpan di Museum
Sumatra Utara dengan keadaan pecah yang kemungkinan akibat dari pengambilan isinya. Kulit

kerang yang ditemukan di situs ini hanya setengahnya dari kulit kerang utuh karena kerang jenis
bivalvia terdiri atas dua bagian. Kemungkinan terbesar yang sebelahnya sudah hilang (untuk
kapur) atau terlepas akibat teraduknya situs dan temuan kulit kerang yang tidak insitu lagi
(Wiradnyana, 1997 : 41)
Manusia masa mesolitik di Kampung Baru disamping memanfaatkan kerang laut juga
memanfaatkan kerang air tawar. Dari kerusakan kulit kerang tersebut berindikasi kerang diambil
dan dikonsumsi tanpa melalui proses pengolahan baik dengan cara direbus atau dibakar. Indikasi
cara mengkonsumsi kerang pada situs Kampung Baru yaitu dengan memecah kulit kerang dan
isinya dijemur dan diawetkan sehingga sewaktu-waktu dapat dikonsumsi kembali. Adapula
dengan cara memecah kulit kerang dengan alat-alat batu seperti Kapak Sumatra atau mencongkel
kulit kerang tersebut dengan kulit kerang lainnya (Wiradnyana, 1997 : 43). Kulit-kulit kerang
tersebut dibuang begitu saja selama waktu bertahun-tahun, mungkin ratusan bahkan ribuan
tahun, akhirnya menjadi bukit kerang yang disebut Kjokkenmoddinger (sampah dapur) dengan
tinggi beberapa meter.
Penelitan terhadap bukit kerang sudah dilakukan pada tahun 1925-1926 oleh Van Stein

Callenfels di situs bukit kerang Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli
Serdang dan melakukan ekskavasi pada bukit kerang di wilayah Medan tersebut dan berhasil
menemukan artefak lain berupa kapak genggam Sumatra (Sumatralith), alu dan lesung batu,
sebuah kapak pendek dan cangkang atau kulit kerang. Khusus terhadap sisa ekofak kerang , Van
Deer Mohr telah melakukan penelitian dan menyatakan bahwa sebagian besar kerang berasal
dari jenis Meretirx meretix dan sebagian kecil kerang itu berasal dari jenis Ostrea. Adapun
daging kerang dijadikan makanan, ada yang langsung dipanaskan lalu dagingnya dikeluarkan,
adapula yang dipecahkan terlebih dahulu lalu dagingnya diambil dan dimasak (Suhadi, 1997 : 2-

3). Ada juga kemungkinan kerang yang dijadikan alat tiup, sebagai wadah air (gayung), sebagai
perhiasan dan dijadikan alat penggaruk (serut).
Gua-gua di Sumatra Utara
Okupasi manusia dari padang terbuka selama Kala Plestosen segera berganti dengan ruang
tertutup sejak awal Kala Holosen (Widianto, 2010). Tempat kedua dari kebudayaan
mesolithikum adalah gua yang dipakai sebagai tempat tinggal (abris sous roche), dan gua-gua
tersebut menjadi tempat hunian dan memberi perlindungan dari hujan dan panas. Situs tertutup
seperti gua-gua di wilayah Sumatra Utara pada umumnya di dataran agak tinggi dan mendekati
hulu sungai. Situs ini berada di kawasan Bukit Barisan yang terdapat di bagian tengah Pulau
Sumatra membujur dari barat hingga ke timur sehingga membagi wilayah pulau tersebut menjadi
dua bagian yaitu barat dan timur (Wiradnyana, 2008 : 71).

Seperti contoh yaitu Gua Kampret, Gua Merike, Ceruk Bukit Lawang, Nomutongan,
Bungara, Kebun Sayur, yang berada di lereng di Bukit Barisan. Pada beberapa situs tersebut
ditemukan artefak batu dan beberapa temuan fragmen tulang. Hulu sungai di situs gua tersebut
berada di sekitar DAS Bohorok dan DAS Wampu. Pada situs tertutup tinggalan yang ditemukan
pada umumnya berupa tinggalan alat litik, tulang binatang, dan molusca darat.
Ras Australomelanesid dikenal sebagai sub-spesies dari Homo Sapiens yang tertua di
Indonesia sejak kedatangan pertama kali sekitar 10000 tahun silam, hingga punah sekitar 5000
tahun yang lalu, mereka adalah penghuni pertama di kepualauan ini dan kedatanganya mendiami
pesisir timur Aceh, dan Sumatra Utara. Bukti-bukti fisik dan budayanya mengindikasikan bahwa
asal mereka berasal dari wilayah utara yaitu berasal dari suatu daerah di Vietnam sekitar situs
Hoabinh, yang kemudian melakukan migrasi ke daerah selatan, sesaat setelah jaman es berlalu.

Menyusur Semenanjung Malaka, mereka akhirnya menyebrang ke Sumatra dan mendirikan
koloni-koloninya di Sepanjang Pantai Timur Sumatra (Aceh) dan Sumatra Utara. Di lokasi ini
jejak-jejak mereka marak itumpukan bukit kerang sisa-sisa makanan (Kjokkenmoddinger). Di
daerah baru inilah tempat terbuka pesisir pantai mereka menetap hingga lebih dari 2000 tahun
(Widianto, 2010 : 69). Hal ini dapat dibuktikan dari temuan rangka yang di gali di situs Bukit
Kerang di Binjai dan Tamiang yang merupakan Ras Australomelanesid.
Dari kedua situs diatas, antara situs terbuka dan situs tertutup ternyata masih dalam satu
budaya yang sama yaitu Budaya Hoabinh. Eksploitasi pendukung budaya Hoabinh terhadap

lingkungan marin sangat tinggi maka ada kecenderungan bahwa budaya Hoabinh ditemukan di
daerah pesisir laut, namun dengan data yang ada budaya hoabinh juga ditemukan di situs dataran
tinggi dan mendekati hulu sungai (gua) dan mengeksploitasi kerang air tawar. Maka dalam
makalah ini kedua situs ini mempunyai persamaan dalam budayanya, yaitu sama-sama dari
Budaya Hoabinh namun tetap akan dibandingakan sejauh mana pemanfaatan kerang di kedua
situs serta strategi adaptasi pengusung Hoabinian dalam pemenuahan kebutuhan makanan dan
pola subsitensinya.
Budaya Hoabinh di Indonesia bila ditinjau dari morfologi dan teknologi peralatan batunya
dapat dimasukkan dalam pembabakan masa mesolitik. Masa itu masyarakatnya mengekploitasi
biota laut, payau, tawar dan darat serta menghasilkan peralatan litik berupa sumatralith. Sebaran
situs hoabinh yang berada di dua situs hunian yang berbeda bila dilihat dari artefak dan
ekofaknya, situs terbuka yang biasanya di dataran rendah (pesisir Pantai) tinggalan arkeologisnya
dominan adalah cangkang kerang yang hidup di air payau. Sebagian kecil molusca air laut, darat
dan air tawar, tulang binatang dan serta alat batu. Pada situs tertutup (gua) pada umumnya
peralatan batu, dan tulang serta molusca darat (Wiradnyana, 2005 :50). Keberadaan kedua situs

tersebut menggambarkan bahwa pada masa prasejarah manusia melakukan pemilihan lokasi bagi
tempat tinggalanya. Pemilihan tempat tinggal dilakukan pada daerah yang memiliki sumber
makanan tetapi tidak hanya pada jenis molusca tertentu.
Pada situs terbuka, masyarakat yang hidup di sekitar sungai/pantai mereka hanya

mengumpulkan makanan dengan sumber bahan dari molusca sebagai makan utama. Sedangkan
berburu merupakan pekerjaan sampingan. Hal ini dilihat dari temuan alat-alat batu di sekitar
situs bukit kerang di pesisir pantai utara Sumatra. Ini dilakukan mengingat alam tidak selalu
menyediakan molusca yang dibutuhkan. Lingkungan menjadi pengaruh dan menjadi masalah
ketika mereka harus memanfaatkan jenis-jenis molusca lain yang tidak umum berada di
lingkungannya (Wiradnyana, 2005 :51). Dan mencari buruan lain walaupun molusca menjadi
bahan makanan utama.
Pada situs tertutup, dengan temuan artefak lain ysng lebih besar seperti alat batunya tidak
menutup kemungkinan strategi adaptasi yang dilakukan adalah merubah pola hidup sehari-hari.
Pola hidup mengumpulkan makanan menjadi pola hidup berburu. Hal ini juga mengingat alam
tidak setiap saat menyediakan molusca. Mereka keluar untuk berburu sehingga menjadikan
makanan buruan sebagai makanan utamanya. Gua-gua yang dipilih yang tidak jauh dari sumber
air, atau dekat dengan sungai yang terdapat sumber-sumber makanan seperti ikan, siput, kerang
(Poesponegoro dkk, 1993 :156)

V.

Kesimpulan
Kerang yang merupakan salah satu hewan laut dan dijadikan makanan pada masa


mesolitik sampai pada masa sekarang. Bukti dari penggunaan kerang dari masa mesolitik
adalah dengan adanya bukit kerang serta alat-alat batu seperti kapak sumatra.

Pada situs terbuka maupun tertutup di kawasan Pantai Timur Sumatra dengan daerah
Sumatra Utara berasal dari kebudayaan yang sama yaitu Budaya Hoabinh. Mereka
mengeksploitasi kerang sebagai makanan dan membuang cangkang kerang begitu saja
selama bertahun-tahun sehingga membentuk sebuah bukit kerang hingga menjadi sangat
tinggi.
Strategi adaptasi yang dilakukan antara kedua situs hunian tersebut adalah strategi
pemilihan alasan tempat tinggal hunian. Mereka yang hidup di pinggir sungai/laut
memanfaatkan molusca air tawar sebagai makanan utama dan ketika menghadapi gangguan
alam mereka lalu memanfaatkan molusca lainnya seperti molusca air payau atau darat. Lalu
mereka juga melakukan perburuan kecil-kecilan yang bisa saja sebagai pekerjaan sambilan
mereka karena ditemukan berbagai tulang binatang di situs bukit kerang.
Strategi adaptasi yang diterapkan oleh manusia pendukung budaya Hoabinh
memerlukan alasan yang tepat dalam pemilihan tempat tinggal, begitu juga dalam pemilihan
bahan pangan disesuaikan dengan ketersediaan bahan makanan di lingkungan sekitarnya
yang merupakan cara untuk memodifikasi kebiasaan rutin sehingga tindakan yang
dijalankan sesuai dengan yang dihadapi (Wiradnyana, 2005 : 51). Hal tersebut berkaitan
juga dengan lingkungan yang ada. Karena dari lingkungan bisa merekonstruksi usaha-usaha

manusia dalam menyesuaikan diri dari lingkungannya.
Bila lingkungan memberikan segala bahan makanan sumber-sumber hidup yang
mencukupi bagi manusia pendukung gua, mereka akan hidup lebih lama dalam mendiami
gua tersebut, namun mereka juga akan meninggalkan tempat tersebut bila sumber makanan
hidup mereka mulai berkurang bahkan habis. Demikian pula dengan cara hidup di tempat
terbuka di daerah pinggir pantai. Mencari kerang dan binatang laut lain menjadi kegiatan
utama disamping berburu dan meramu.

Daftar Pustaka
Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia
I. Jakarta: Balai Pustaka.
Setiawan, Taufiqurrahman. 2008. “Sungai Wampu Pendukung Kehidupan Pemukiman Bukit
Kerang” dalam Berkala Arkeologi SANGKHAKALA. Medan : Balai Arkeologi
Medan. Hal 104-113.

Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Yogyakarta : Kanisius
Yogyakarta.
Suhadi, Machi. 1997. “Dari Bukit Kerang hingga Sangkhakala” dalam Berkala Arkeologi
SANGKHAKALA. Medan: Balai Arkeologi Medan. Hal 1-13.
Widianto, Harry. 2010. Jejak Langkah Setelah Sangiran. Balai Pelestarian Situs Manusia Purba
Sangiran.
Wijaya, Yulius Agung. 1993. Pemanfaatan Sumberdaya Kerang pada Masyarakat Pantai Masa
Perundagian. Skripsi Sarjana Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada . tidak
diterbitkan.
Wiradnyana, Ketut. 1997. ”Model Pemukiman dan Penggunaan Kerang Masa Mesolitik di Situs
Bukit Kerang Kampung Baru, Kec Hinai, Kab Langkat, Prov Sumatra Utara”
dalam Berkala Arkeologi SANGKHAKALA. Medan : Balai Arkeologi Medan. Hal
35-47.
Wiradnyana, Ketut. 2005. “Keletakan Situs dan Karakteristik Molusca, Indikasi Strategi
Adaptasi Pendukung Budaya Hoa-Binh di Pantai Timur Pulau Sumatra” dalam
Berkala Arkeologi SANGKHAKALA. Medan : Balai Arkeologi Medan. Hal 44-53.
Wiradnyana, Ketut. 2008. ”Strategi Adaptasi Pengusung Hoabinhian dalam Pemenuhan
Kebutuhan Makanan” dalam Berkala Arkeologi SANGKHAKALA. Medan : Balai
Arkeologi Medan. Hal 69-77.

UNIVERSITAS GADJAH

MADA

FAKULTAS ILMU

BUDAYA
JURUSAN ARKEOLOGI

Makalah Panjang Ujian Akhir Semester

MATA KULIAH : Arkeologi Prasejarah
SEMESTER V 2011/2012

Dosen Pengampu:
Dra. Mahirta, M.A.
Prof. Sumijati Atmosudiro

Dikerjakan Oleh:

Fika Nuriavi (09/284069/SA/14989)