Kurikulum Pendidikan Hukum dalam Persfek

Kurikulum Pendidikan Hukum dalam Persfektif Kebutuhan
Pasar1
Oleh Maqdir Ismail2

Pengantar
Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru.
Pendidikan Hukum dan sekolah hukum di Indonesia meskipun belum merupakan
pendidikan tinggi

sudah dimulai sejak tahun 1909 oleh Gubernur Jenderal J B.

van Heuts, Reglement voor de Opleiding voor Inlandsche Rechtskundigen
(Reglemen untuk Sekolah Pendidikan Ahli Hukum Pribumi), diundangkan dalam
Stb.No. 93/1909.3 Sedangkan pendidikan tinggi hukum itu sendiri baru
diselenggarakan mulai tahun 1924, berdasarkan Hooger Onderwijs-Ordonnantie
(Ordonansi Pendidikan Tinggi), Stb. No. 457/1924, Gubernur Jenderal D. Fock
pada

tanggal

9


Oktober

1924

yang

menetapkan

Reglement

van

de

Rechtshoogeschool (Reglemen Sekolah Tinggi Hukum), Stb. No. 457/1924 dan
dinyatakan berlaku efektif pada saat dibukanya Rechtshoogesschool (disingkat
RHS atau RH).4 Cerita ini untuk menunjukkan bahwa pendidikan hukum di
Indonesia bukan hal yang baru. Bahkan sesudah zaman kemerdekaan


ada

Sekolah Hakim dan Jaksa, begitu juga ada Pendidikan Hakim Islam. Akan tetapi
pembicaraan dan perbincangan yang akan dilakukan terbatas pada kurikulum
Fakultas Hukum secara umum dan Fakultas Hukum UII.
Tulisan ini secara singkat akan memaparkan perkembangan pendidikan
hukum di Indonesia, kemudian akan didiskusikan pula urgensi kurikulum hukum
yang mengakomodasi kebutuhan pasar, selain itu akan didiskusikan pula
karakteristik dan model kurikulum yang sesuai dengan tuntutan pasar,
1

Disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya PENGKAJIAN KURIKULUM, yang diselenggarakan oleh Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia, pada tanggal 23 Desember 2006
2
Advokat dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia.
3
Sidharta Pohan Prastowo Legal Research Institute : 2004, Reformasi dan Reorentasi Pendidikan Tinggi
Hukum di Indonesia, Komisi Hukum Nasional, h.vii, diakses dari
http://www.komisihukum.go.id/hasil_komisi.php
4

Ibid, h.viii.; Soetandyo Wignjosoebroto:2000, Pembangunan Hukum Nasional dan Pendidikan Hukum di
Indonesia Pada Era Pascakolonial, h.2, diakses dari http://www.huma.or.id

1

impelementasi kurikulum hukum dan tantangannya. Tulisan ini didasarkan pada
penelitian kepustakaan dan pengalaman empiris dalam mengikuti pendidikan
hukum dan pengalaman sebagai praktisi maupun sebagai staf pengajar Fakultas
Hukum.
Pendidikan Hukum di Indonesia
Ketika pendidikan tinggi hukum dimulai di Indonesia pada awal abad 20,
pendidikan hukum sepenuhnya mengikuti pola pendidikan tinggi hukum di
Belanda. Kurikulum serta pola pengajaran juga sepenuhnya mengikuti pola
pengajaran di Belanda, meskipun ada penyesuaian dengan kondisi obyektif
Hindia Belanda sebagai tanah jajahan. Memang dilakukan perubahan pada tahun
1946 kemudian diperbaharui dengan Hoogeronderwijs Ordonnantie 1946 (Stb.
No.

47/1947)


dan

Universiteitsreglement

1946

(Stb.

No.

170/1947).

Sebagaimana halnya dengan penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum di
Belanda, maka pendidikan hukum di Indonesia

kurikulumnya lebih menitik-

beratkan pada pendidikan akademiknya (academic schooling) dan kurang
memperhatikan “professional schooling”-nya.5
Pada masa ini, pendidikan tinggi hukum dikatakan oleh Soetandyo

Wignjosoebroto6 bertujuan,
“....yang amat sadar untuk menghasilkan lulusan-lulusan yang berkualitas
sebagai rechtsambtenaren yang cakap, yang dengan demikian dapat
diangkat ke dalam jabatan-jabatan tertentu, entah sebagai hakim
landraad atau sebagai petugas-petugas hukum di kantor-kantor
pemerintah dalam negeri. Di sekolah tinggi ini matakuliah-matakuliah
diberikan dengan tujuan utama agar para mahasiswa menguasai sejumlah
kaidah hukum -- utamanya yang tertuang sebagai hukum perundangundangan -- yang harus dipahami menurut tradisi reine Rechtslehre
Kelsenian, yang memodelkan hukum sebagai suatu sistem normatif yang
tertutup, yang dalam penggunaannya harus dipandang tak ada
hubungannya yang logis dengan kenyataan-kenyataan empirik yang
dialami orang di lapangan. Nyata bahwa program pendidikan hukum pada
masa itu, di Rechtshogeschool itu, amat menonjolkan pula kemahiran
berlogika deduksi sebagai satu-satunya cara berpikir yuridis. Di sini, dalam
kesempatan ini, para mahasiswa dilatih untuk menguasai cara berpikir
5
6

Ibid, h ix.
Soetandyo Wignjosoebroto:2000, Op.cit h 4-5.


2

deduksi sebagai satu-satunya cara untuk menemukan hukum in concreto
(keputusan hukum) sebagai simpulan silogisme yang ditarik dari premis
mayor yang berupa kaidah hukum positif in abstracto. Tanpa mengenali
metode berpikir yang induktif untuk membuat keputusan-keputusan
hukum, studi-studi hukum di Indonesia semasa pemerintahan kolonial
lebih cocoklah kalau dikualifikasi ke dalam bilangan apa yang disebut
Rudolf von Jhering sebagai Begriffsjurisprudenz, dan tidak sedikitpun
menampakkan bertanda-tanda sebagai Tatsachenjurisprudenz.”
Hal ini berlanjut hingga tahun 1950 an dimana fakultas-fakultas hukum
tetap saja menuruskan kurikulum yang digunakan pada masa sebelum perang,
dimana para ahli hukum dididik untuk memenuhi kepentingan jabatan
dipemerintahan dan kehakiman.7 Sebagaimana dikatakan oleh Soetandyo
Wignjosoebroto antara tahun 1942 hingga tahun 1962 tidak ada perubahan yang
bermakna dan patut dicatat, meskipun hukum kolonial begitu dipersoalkan,
namum tetap dipertahankan dan digunakan sebagai hukum nasional, meskipun
pembagian golongan penduduk yang berwarna rasial dihilangkan.8
Kondisi ini mendatangkan kritik dari Presiden Soekarno, bahkan dalam

pidato dihadapan Kongres Persahi (Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia) di
tahun 1961. Dalam pidatonya beliau mengungkapkan keperihatinannya terhadap
kekurang pekaan dan kurang tanggapnya para yuris Indonesia terhadap
perubahan yang tengah terjadi. Karena para yuris dianggap oleh beliau
cenderung melihat dan menyelesaikan perkara hanya dari persfektif yuridis dan
doktrinal.9 Bahkan dulu ada ucapan Presiden Soekarno yang sangat terkenal
yang menyatakan, “ ........ bahwa “met de juristen kunnen wij geen revolutie
maken”, dengan sarjana hukum kita tidak bisa membuat revolusi.10 Hal ini
sebagai akibat dari pendidikan hukum kita yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo

7

Ibid, h.5
Ibid, h.2.
9
Ibid, h.6.
10
J.E. Sahetapy : 2003, Reformasi Hukum : Quo Vadis ? diakses dari
http://www.komisihukum.go.id/article_opinion.php?
8


3

sebagai “penjaga status quo”.11 Kondidisi ini kemudian oleh Hikmahanto Juwana
dikatakan bahwa,
“Para lulusan tahun 1930-an, 1950-an, 1970-an, 1980-an maupun 1990an dapat dikatakan sama. Lulusan yang dihasilkan cenderunglegalistik
tidak berbeda dengan lulusan pada masa pemerintahan Kolonial, bahkan
cenderung tidak dapat memenuhi berbagai tujuan pendidikan hukum
pasca Indonesia merdeka”.12
Perubahan dan pembaharuan arah pendidikan hukum di Indonesia mulai
dikembangkan pada tahun 70 an. Salah seorang pelopor dari pembaharuan
pendidikan hukum ini adalah Mochtar Kusumaatmadja, yang mengemukakan
bahwa hukum itu bukan hanya sebagai kaidah, tetapi juga adalah sebagai sarana
pembangunan. Teori ini sebagai modifikasi terhadap teori law as a tool of social
engineering dari Roscoe Pound.13 Pada periode ini mulai diperkenalkan latihan
keterampilan professional, etika professional, dan tanggung jawab professional.14
Pembaharuan kurikulum ini terus menurus dipikirkan dan dilakukan dan
kemudian menjadi baku dikenal dengan nama kurikulum 1993. Dengan
kurikulum


ini diharapkan semua Fakultas Hukum

mengajarkan aspek-aspek kemahiran hukum

secara proporsional

dan aspek-aspek pengetahuan

atau keilmuan hukum. Dengan demikian diharapkan setelah lulus nanti mereka
memiliki bekal yang cukup memadai untuk masuk ke dunia praktik hukum.15
Kurikulum inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Kurikulum pendidikan
tinggi hukum di Indonesia. Kurikulum ini berlaku berdasarkan Keputusan
Mendikbud No. 0325/U/1994 dan No. 056/U/1994 yang kemudian dalam
perkembangannya mengalami sedikit perubahan di tahun 2000 dengan
Keputusan Mendikbud No. 232/U/2000. Perubahan pokok dari kurikulum bukan
pada substansinya melainkan lebih pada (1). perubahan penamaan materi
muatan kurikulum nasional menjadi kurikulum inti, dan kurikulum lokal menjadi
11

Satjipto Rahardjo: 2005, Dimanakan Pendidikan Hukum ?, Kompas, Kamis 8 April 2004.

Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D: 2006, Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia, diakses
dari http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=252&tipe=opini, h 5-6.
13
Mochtar Kusumaatmadja: 2006, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, h. 59-60.
14
Ibid, h 67.
15
Sidharta Pohan Prastowo Legal Research Institute : 2004, Op.cit. h xii
12

4

kurikulum institusional (2).16 Kurikulum 1994 ini pada dasarnya disusun dengan
landasan dengan semangat, serta motivasi untuk melakukan pembaharuan
pendidikan tinggi hukum agar lebih mampu menyiapkan para lulusan fakultas
hukum siap

dalam memasuki kerja atau siap mengemban profesi hukum,

sehingga dalam kurikulum 1994 ini diintrodusirnya matakuliah hukum yang sarat

dengan bobot kemahiran hukum.

Sebelum berlakunya kedua SK tersebut,

kurikulum program Sarjana Hukum mengacu pada “kurikulum inti” yang
ditetapkan

dalam

Keputusan

Direktur

Pendidikan

Tinggi

Depdikbud

No

30/DJ/Kep/1983 tanggal 27 April 1983. Kurikulum inti tersebut lebih berorientasi
dan menitik beratkan pada kepentingan fungsi peradilan dan pemerintahan. 17

Kurikulum dan kebutuhan pasar
Kalau benar asumsi bahwa pendidikan hukum kita adalah untuk
memenuhi kebutuhan pasar, maka pasar yang paling besar membutuhkan apara
ahli hukum adalah yang berhubungan dengan peradilan, mejadi hakim, jaksa
atau advokat, dan menjadi

bagian hukum pada perusahaan atau menjadi

pegawai pemerintah.
Hal yang harus segera dilakukan agar lulusan fakultas hukum siap pakai
adalah melakukan perubahan kurikulum pendidikan hukum. Perubahan ditujukan
agar para lulusan tidak sekedar memahami teori tetapi juga menguasai
ketrampilan hukum, sehingga

pendidikan hukum akademis dan profesi tidak

disatukan dalam satu kurikulum. Penyatuan pendidikan hukum akademis dan
profesi sebenarnya tidak realistis.18 Waktu yang dialokasikan untuk mahasiswa
agar memiliki pengetahuan teoritis dan praktis terlalu singkat. Untuk itu Fakultas
Hukum diharapkan memiliki laboratorium hukum yang dapat dijadikan media
bagi mahasiswa fakultas hukum dalam mengembangkan kemampuan berpraktik
yang baik dalam arti terhindar dari praktik “kotor” yang biasa disebut mafia
16

Ibid, h. 24
Asep Saefullah dan Herni Sri N: 2003, Pendidikan Hukum di Indonesia Perlu Jalan Alternatif, Jentera
Jurnal Hukum, Edisi Khusus, h. 122.
18
Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D: 2006, Op.cit, h. 9.
17

5

peradilan. Tugas Laboratorium Hukum ini seperti dikatakan oleh Mardjono
Reksodiputro adalah: (a) menyelenggarakan pendidikan kemahiran (secara
khusus dan tersendiri), dan (b) membina (para dosen) menggunakan
pendekatan-terapan melalui penyediaan bahan untuk dosen, maupun memacu
para dosen untuk menggunakan bahan dari studi kasus, peraturan.19
Dengan kondisi yang dikemukan diatas yang harus dibangun adalah sikap
optimis, sebagaimana pernah dikemukakan Prof. Erman Rajagukguk, S.H,. LL.M,
Ph.D,

dalam orasinya ketika dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang

Hukum, menyimpulkan:
“… pendidikan hukum menghasilkan sarjana hukum yang mempunyai
keterampilan dalam praktek hukum yang mengandung unsur
internasional; di pihak lain membekali mereka dengan kemampuan
menghadapi berbagai masalah yang dihadap masayarakat, termasuk
memberikan jalan bantuan hukum bagi mereka yang palin terkena
globalisasi”.20
Dengan demikian yang layak untuk segera dipikirkan dan dilakukan
sekarang adalah menjadikan pendidikan hukum menjadi satu kesatuan dengan
pembangunan hukum, sehingga arah dari pendidikan hukum adalah mendidik
mahasiswa agar dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan dan
penegakan hukum.21 Menurut Bagir Manan,22

selama ini, pendidikan hukum

ditempatkan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Struktur dan isi pendidikan
hukum dari dahulu sampai sekarang sangat ditekankan pada sistimatik dan isi
kaedah hukum. Akibatnya pendidikan hukum beserta hasil-hasilnya kurang
fungsional dalam mengembangkan dan mengisi secara tepat komponen

19
Mardjono Reksodiputro : 2005, Reformasi Pendidikan Tinggi Hukum untuk Memungkinkan Pendidikan
Khusus bagi Advokat, h.1, diakses dari http://www.komisihukum.go.id/article_opinion.php?
20
Erman Rajagukguk: 1997, Peranan Hukum dalam Pembangunan pada era Globalisasi:
Implikasinya bagi Pendidikan Hukum di Indonesia, Pidato pengukuhan diucapkan pada upacara
penerimaan jabatan Guru Besar dalam bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, 4 Januari 1997, h.24.
21

Bandingkan dengan pernyataan Bagir Manan dalam Bisnis Indonesia Rabu 18 Februari 2004, h T3.
Prof. Bagir Manan: 2004, Peranan Pendidikan Hukum dalam Pembangunan dan Penegakkan Hukum untuk
Masa Depan Indonesia, diakses dari http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=9738&cl=Kolom

22

6

subsistim hukum yang lain. Sehingga pendidikan hukum kita tidak akan
mempunyai kontribusi apapun terhadap pembangunan hukum dan penegakan
hukum.
Pendidikan hukum yang mampu melahirkan mahasiswa yang mampu
melakukan pembangunan hukum dan mampu menjadi penegak hukum hanya
dapat dilakukan dengan cara melibatkan mahasiswa dalam kegiatan penelitian
dan kegiatan peraktis. Seperti magang pada kantor Advokat, atau pada
Kejaksaan dan juga dengan magang di Pengadilan.
Selain dengan kegiatan magang untuk kepentingan Mahasiswa, yang juga
harus dilakukan adalah memperbincangkan kurikulum secara terus menerus dan
disesuaikan dengan kebutuhan riil dalam masyarakat dan perkembangan
kebutuhan praktis masyarakat, sehingga ini, “akan mengatasi kekakuan dan
kekurang pekaan atas kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang sedang berubah
yang hingga kini merupakan kelemahan sekian banyak universitas-universitas
kita”.23 Perbincangan terus menerus atas kurikulum bukan hanya dilakukan oleh
kalangan staff pengajar, tetapi juga melibatkan para peneliti dan praktisi, baik
sebagai alumni atau sebagai ahli.
Persoalan kurikulum itu bukan hanya persoalan apa yang harus
diajarkan,24 tetapi juga adalah menyangkut topik apa yang patut dan dibutuhkan
oleh masyarakat pada masa yang akan datang ketika Mahasiswa sudah kembali
ke masyarakat. Hal seperti ini yang disebut oleh Conant sebagai “ clinical
professor”,

25

karena professor adalah seorang praktisi yang setiap hari

memperaktikkan berbagai macam teori ke dalam peraktik dengan tepat . Dengan
meminjam kalimat dari Prof. Mochtar Kusumatmadja, maka akan dikatakan,
“..pendidikan klinis yang direncanakan dengan baik tidak hanya
mengajarkan keteramplan teknis, melainkan juga harus menghadapakan
mahasiswa-mahasiswa pada keadaan-keadaan yang akan dijumpainya
dalam masyarakat kelak dan juga harus menambahkan suatu kebiasaan
23

Soedjatmoko: 1976, Beberapa Fikiran tentang Perguruan Tinggi, Prisma, No.2 Maret, h 30.
Bursja Zahir : 1978, Pendidikan Tinggi: Hubungan dengan Masyarakat dan Keadaan Sekarang, Prisma
No.2 Maret, Tahun VII, h 28.
25
Dikutip dari Toisuta, Willi: 1976, Kurikulum Perguruan Tinggi: Perimbangan antara Beban Belajar Dan
Mengajar, Prisma N0.2, Maret, h 37.

24

7

atau sikap terhadap suatu masalah yang dapat disebut suatu problem
solving attitude”.26
Kurikulum pendidikan hukumpun seharusnya dipikirkan seperti apa yang
dilakukan oleh seorang professor yang mempraktikkan teori kedokteran ke dalam
praktik dokter sehari-hari. Dengan kurikulum seperti ini Mahasiswa diharapkan
dapat berpikir dan memecahkan masalah secara independent, karena mereka
berkesempatan untuk memperoleh pengalaman secara langsung. Atau seperti
dikatakan oleh, Richard J. Wilson,
“The methodology by which, such programs are accomplished is as broad
as the creative minds of the legal educator; it may include something as
simple as a short role play by students in a large lecture section or as
complex as supervised representation of people involved in real legal
disputes, usually referred to in the US (without any apparent sense of
irony) as "live client" work. In between these two extremes are many
other pedagogical devises: the role-play, gaming, small and large-scale
simulations, externships or other work under the supervision of a
practitioner in that person's office, or other devises. Any of these is a
means by which students can understand their work as lawyers through
experience, the assumption being that attempting to teach lawyering
through lectures or reading alone is tantamount to learning how to drive
by reading the car owner's manual”.27
Artinya kurikulum seperti inilah yang diharapkan akan melahirkan Sarjana
Hukum yang mampu melakukan pembangunan hukum dan juga mampu
melakukan penegakan hukum, sebab mahasiswa mendapat bukti yang kuat dan
efektif serta menerima pelajaran praktis sebagai lawyer karena berhubungan
langsung dengan klien, selain itu mahasiswa juga memperoleh kesempatan
memberikan kontribusi dalam penegakan hukum. Paling tidak ada dua alasan
menurut Richard J. Wilson, pendidikan klinik hukum itu dilakukan, yaitu:

26

Mochtar Kusumaatmadja: 2006, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, cetakan ke 2, Alumni, h.
63.
27

Richard J. Wilson: 1996 Clinical Legal Education as a Means to Improve Access to Justice in Developing
and Newly Democratic, A Paper Presented at the Human Rights Seminar of the Human Rights Institute,
International Bar Association Berlin, Germany Oct. 17, h.1.

8

“First, while do not denigrate the effectiveness of other means of clinical
legal education, each of which can and should have a central place in law
school curricula, I believe the live client clinic has prove itself to be the
most powerful and effective means by which to teach the art of lawyering.
Just, experience has shown that neophyte doctors learn best when
working with real patients, the same is true with neophyte lawyers and
real clients. Second, and perhaps just as important, the live client clinic
provides a means by which students and law schools can make a
contribution toward access to justice in their communities.”28
Dari apa yang dikemukakan diatas, maka hal pokok yang harus dipelajari
oleh Mahasiswa dan harus dipersiapkan secara baik dalam perkara litigasi agar
supaya siap dalam memperaktikkan pengetahuan hukum yang mereka miliki
adalah pengetahuan praktik dalam menyusun gugatan, menyusun jawaban
dalam perkara perdata, menyusun surat dakwaan dan tuntutan atau membuat
eksepsi dan pleidooi dalam perkara pidana dan tentu saja pengetahuan untuk
menyusun putusan pengadilan dalam perkara perdata atau pidana serta gugatan
dan jawaban serta putusan dalam perkara tata usaha Negara. Sedangkan untuk
bersiap menjadi konsultan hukum, maka mahasiswa harus dipersiapkan untuk
mampu

menyusun

memorandum

hukum,

menyusun

pendapat

hukum,

menyusun kontrak,
Karakteristik dan model kurikulum yang sesuai dengan tuntutan
pasar
Kalau karakteristik dan model kurikulum yang sesuai dengan tuntutan
pasar yang dibicarakan, maka yang harus dikaji dari awal adalah peta lapangan
kerja dan kebutuhan masyarakat terhadap sarjana hukum. Secara umum dapat
kita katakan bahwa Sarjana Hukum bisa masuk kesemua lapangan kerja yang
tersedia. Sarjana Hukum dibutuhkan hampir oleh semua lapangan pekerjaan.
Perusahaan membutuhkan Sarjana Hukum untuk bagian hukum perusahaan,
yang pekerjaannya mulai dari pengurusan izin-izin sampai pada menyelasaikan

28

Ibid, h. 2.

9

masalah PHK, menyusun perjanjian. Sehingga tidak jarang Sarjana Hukum itu
bisa mengerjakan apa saja. Pekerjaan-pekerjaan ini tidak membutuhkan banyak
pengetahuan

hukum

praktis

seperti

menjadi

praktisi

hukum,

meskipun

pengetahuan dasar untuk berpraktik tetap juga diperlukan.
Pasar kerja yang cukup luas untuk para Sarjana Hukum adalah mengisi
lapangan kerja dilingkungan pengadilan. Sarjana Hukum bisa menjadi Hakim,
bisa menjadi Jaksa dan bisa menjadi Pengacara. Hal ini sesuai seperti dikatakan
oleh Prof. Hamid S Attamimi, bahwa dari 12 mata kuliah dari kurikulum inti
keahlian hukum adalah untuk menunjang fungsi peradilan dan 3 mata kulaih
menunjang fungsi pemerintahan, sedangkan 15 dari 16 mata kuliah pendalaman
adalah untuk menunjang fungsi peradilan.29 Jika asumsi ini yang benar, artinya
model kurikulum yang dibutuhkan pasar adalah model kurikulum yang
dibutuhkan untuk menunjang fungsi peradilan, untuk menjadi hakim, jaksa atau
pengacara. Akan tetapi pengetahuan yang menunjang fungsi peradilan ini tidak
akan banyak manfaatnya untuk mereka yang bergerak dalam bidang konsultan
hukum, atau yang biasa kita sebut untuk kegiatan non-litigasi.
Namun pertanyaan pokok yang patut diajukan dengan kurikulum Fakultas
Hukum UII 2002, sebagai penjabaran dari kurikulum nasional, Mahasiswa itu
akan dididik menjadi apa ? Menjadi praktisi yang bekerja dilingkungan
pengadilan, menjadi pekerja dibidang pemerintahan atau menjadi konsultan
hukum yang biasa disebut non litigasi ? Kita juga tidak pernah tahu segmen
pasar yang diisi oleh sarjana hukum lulusan UII.
Terus terang

percaya tidak percaya melihat begitu banyaknya mata

kuliah yang harus ditempuh seorang mahasiswa Fakultas Hukum UII sesuai
kurikulum 200230 untuk mendapatkan gelar sarjana hukum. Mari kita lihat
kurikulum inti – matakuliah wajib yang terdiri dari :
a. matakuliah pengembangan kepribadian (mpk)

29
30

3

Asep Saefullah dan Herni Sri N: 2003, Op. Cit, h, 123.
Diakses dari http://www.uii.ac.id/index.asp?u=410&b=I&v=1&j=I&id=8

10

1.

10000511

Pendidikan Pancasila

2 SKS

2.

10000611

Pendidikan Kewarganegaraan

2 SKS

3.

10000711

Pendidikan Agama

2 SKS

b. matakuliah keilmuan dengan kepribadian (mkk) 16

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.

41000121
41000221
41000321
41000421
41000521
41000621
41000721
41000821
41000921
41001021
41001121
41001221
41001321
41001421
41001521
41001621

Ilmu Negara
Pengantar Ilmu Hukum
Pengantar Hukum Indonesia
Hukum Perdata
Hukum Pidana
Hukum Islam
Hukum Tata Negara
Hukum Administrasi Negara
Hukum Acara Perdata
Hukum Acara Pidana
Hukum Acara PTUN
Hukum Internasional
Hukum Adat
Hukum Lingkungan
Hukum Dagang
Hukum Agraria

c. matakuliah keahlian berkarya
1.

2.
3.

PENDIDIKAN DAN
41004131
41004231
41004331
10001831
41004431

41001851
41001951
41002051

(mkb)

3

LATIHAN KEMAHIRAN (6 SKS) meliputi matakuliah :
Praktek Peradilan
Legal Drafting
Teknik Pembuatan Kontrak
Penulisan Hukum / Skripsi
MPH dan Metode Penulisan Hukum

d. matakuliah prilaku berkarya
1.
2.
3.

2 SKS
4 SKS
4 SKS
4 SKS
4 SKS
2 SKS
4 SKS
4 SKS
3 SKS
3 SKS
2 SKS
3 SKS
2 SKS
2 SKS
2 SKS
3 SKS

(mpb)

2
2
2
4
3

SKS
SKS
SKS
SKS
SKS

3

Antropologi Budaya
Sosiologi
Hukum Dan Hak Asasi Manusia

2 SKS
2 SKS
2 SKS

Matakuliah institusional – matakuliah wajib
a. matakuliah pengembangan kepribadian

(mpk) 4

b. matakuliah keilmuan dan keterampilan

(mkk) 17

c. matakuliah keahlian berkarya

(mkb)

2

d. matakuliah perilaku berkarya

(mpb)

1

11

e. matakuliah berkehidupan bersama

(mbb)

1

Kemudian ada lagi tambahan kurikulum institusional- matakuliah pilihan
yang terdiri dari:
a. matakuliah pilihan beban wajib lulus 6 dari 60 pilihan;
b. matakuliah pilihan pendidikan kemahiran 1 dari 6 pilihan;
c. matakuliah pilihan hukum islam 1 dari 8 pilihan;

Data-data ini menunjukkan bahwa seorang mahasiswa fakultas hukum
baru dapat lulus menjadi sarjana hukum kalau sudah menyelesaikan 144 SKS
yang terdiri dari 78 SKS kurikulum inti dan 66 SKS kurikulum institusional,
sehingga dapat diduga sarjana hukum yang diharapkan adalah sarjana hukum
yang serba tahu, meskipun dapat berakibat tidak tahu apa-apa, karena
“…para mahasiswa yang mengambil banyak mata kuliah ini hanya akan
memahami hukum yang dipelajarinya secara superficial belaka, dan tidak
mendalam”.31
Sebagai perbandingan mari kita lihat syarat matakuliah yang dapat
diambil untuk lulus menjadi sarjana hukum atau BA in Law di salah satu
Universitas di Inggris.32 Seorang mahasiswa akan dianggap lulus misalnya kalau
sudah mengambil mata kuliah sebagai berikut:
Part IA:

Civil law I; Constitutional law; Criminal law; Law of tort

Part IB:

Law of contract; Land law; International law; Sentencing
and the penal system; Criminal procedure and criminal
evidence

Part II:

Equity; European Union law; Commercial law; Company law;
Essay;

Pada tahun pertama cukup mengambil 4 mata kuliah wajib, pada tahun
kedua 5 mata kuliah dan tahun ketiga 4 matakuliah serta skripsi. Tidak terlalu
31

Harkistuti Harkisnowo: 2003, Selintas Sejarah dan Prospek Pengembangan Pendidikan Tinggi Hukum di
Indonesia, Jentera Jurnal Hukum, Edisi Khusu, h. 14.
32
Faculty Handbook University of Cambridge Faculty of Law 2003 – 2004, h. 39-54.

12

banyak matakuliah yang perlu diambil, tetapi dipelajari dengan cukup mendalam,
bukan hanya melalui kuliah di kelas, tetapi ada juga tutorial yang sangat intensif
dengan jumlah mahasiswa yang cukup terbatas pada setiap kelompok dan
dibimbing oleh para staf pengajar senior dan mempunyai keahlian

pada

matakuliah yang diajarkan.
Dengan mengambil contoh dari kurikulum di salah satu Universitas di
Inggris ini layak untuk dipikirkan untuk mengurangi jumlah matakuliah yang ada
di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, terutama matakuliah yang tidak
terlalu banyak hubungannya dengan kegiatan praktis pada masa yang akan
datang, atau karena hal itu akan menjadi pasti untuk dihadapi sebagai seorang
anak manusia. Atau bisa juga dipikirkan untuk menggabung beberapa
matakuliah tertentu yang dianggap saling berhubungan dan seperti simbiosis.
Selain itu patut pula dipikirkan untuk penambahan matakuliah baru seperti
Common Law

system dan European Union Law, serta hukum yang akan

berhubungan dengan peraktik internasional, mengingat semakin banyaknya
aturan-aturan hukum yang diadopsi menjadi hukum nasional.
Impelementasi kurikulum hukum dan tantangannya
Memang yang menjadi persoalan pokok dalam mengimpelementasikan
kurikulum adalah ketersedian staf pengajar yang mempunyai keahlian dan
handal. Terutama sejak diperkenalkannya kurikulum yang berbasis kompetensi,
karena “ciri dari kompetensi dapat juga dicerminkan dalam metode mengajar
maupun proses belajar mengajar.”33 Dalam arti yang diperlukan adalah staf
pengajar yang sepenuhnya mendedikasikan diri untuk mengajar mata kuliah
tententu secara terus menerus dan disesuaikan dengan perkembangan. Bukan
staf pengajar yang mau dan merasa bisa mengajar apa saja sesuai dengan
kebutuhan dan pesanan dari Fakultas Hukum. Hal ini diperburuk lagi oleh para

33

Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D: 2006, Op.cit, h. 23

13

pengajar yang tidak pernah memperbaharui buku diktat yang selalu didiktekan
dan terus mengajar dengan cara monolog.
Hal yang berat

juga kita hadapi adalah yang berkaitan erat dengan

ketersediaan buku teks. Kalau kita lihat buku-buku teks yang diterbitkan oleh
penerbit-penerbit Amerika atau Inggris atau Australia, hampir semua buku teks
pokok dan selalu menjadi standar yang penulis awalnya sudah meninggal selalu
ada orang yang memperbaharui buku teks tersebut. Hal ini yang tidak terjadi di
Indonesia. Bahkan buku-buku teks pokok dan standar yang penulisnya masih
hidup-pun, jarang sekali ada pembaharuan terhadap isi buku teks sesuai dengan
perkembangan hukum. Sebagai contoh buku teks tentang kontrak berbahasa
Inggris adalah Chitty on Contract General Principles, yang terbit pertama tahun
1826 masih diperbaharui terus menerus,34 atau Paget’s Law of Banking yang
diterbitkan tahun 1904, masih juga diperbaharui dan diterbitkan.35
Hal lain yang juga dapat mempersulit implementasi kurikulum adalah
ketersediaan buku dan Journal di perpustakaan yang tidak memadai, bahkan ada
saja Universitas atau fakultas yang tidak mempunyai kemampuan menyediakan
buku dan ruang belajar di perpustakaan secara memadai.
Problem lain yang cukup berat kita hadapi adalah kualitas mahasiswa
Fakultas Hukum bukan berasal dari calon mahasiswa terbaik. Bahkan tidak
jarang, pada awalnya mahasiswa yang mengikuti pendidikan tinggi hukum
kualitas nilai pelajarannya pada tingkat sekolah menengah

tidak sebaik

mahasiswa fakultas tehnik atau mahasiwa fakultas kedokteran misalnya. Hal ini
yang berbeda dengan di Australia dan Inggris, dimana syarat untuk menjadi
calon mahasiswa Fakultas Hukum itu adalah

dengan syarat terbaik kedua

setelah Fakultas Kedokteran.
Mungkin ada korelasinya antara input mahasiwa fakultas hukum dengan
penemuan hasil penelitian yang dilakukan oleh World Bank dan Bappenas bahwa
umumnya sarjana hukum kita tidak mampu menuliskan secara logis dan
34
35

Kebetulan copy yang ada pada saya terbitan tahun 1994.
Kebetulan copy yang ada pada saya terbitan tahun 1996.

14

konsisten suatu opini hukum atau memorandum hukum, padahal kemampuan
menuliskan secara logis dan konsisten ini adalah satu keahlian yang harus
dimiliki seorang sarjana hukum.36

Ini artinya tantangan yang dihadapi oleh

Fakultas Hukum, tidak hanya terbatas pada kurang sarana dan prasarana, tetapi
juga kurang bagusnya kualitas input. Kalau asumsi ini benar, maka beban dari
Fakultas Hukum untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas baik, menjadi dua
kali lebih berat dari yang dihadapi oleh fakultas yang lain.
Penutup
Perubahan kurikulum kearah sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan
mengikuti perkembangan hukum adalah satu keniscayaan. Namun melakukan
perubahan itu tidak semudah membalik telapak tangan, perlu kesabaran dan
kerja keras, dan dana yang tidak sedikit disamping keberanian untuk melakukan
perubahan itu sendiri.
Sudah

barang tentu

bahwa setiap perubahan

yang besar

akan

mendatangkan guncangan, tetapi apapun bentuk perubahan itu adalah demi
kepentingan fakultas hukum itu sendiri dan demi kebaikan bangsa pada masa
yang akan datang.
Tantangan bagi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia akan menjadi
imam dalam melakukan perubahan sekarang, atau akan menjadi makmum
menunggu perubahan yang akan dilakukan oleh Fakultas Hukum yang lain.

36

Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro kerjasama Mochtar, Karuwin & Komar : 2002, Reformasi

Hukum di Indonesia, CYBERconsult, h.51.

15

Daftar Bacaaan
Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro kerjasama Mochtar, Karuwin & Komar :
2002, Reformasi Hukum di Indonesia, CYBERconsult.
Asep Saefullah dan Herni Sri N: 2003, Pendidikan Hukum di Indonesia Perlu
Jalan Alternatif, Jentera Jurnal Hukum, Edisi Khusus.
Bagir Manan dalam Bisnis Indonesia Rabu 18 Februari 2004, h T3.
Prof. Bagir Manan: 2004, Peranan Pendidikan Hukum dalam Pembangunan dan
Penegakkan Hukum untuk Masa Depan Indonesia, diakses dari
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=9738&cl=Kolom
Bursja Zahir : 1978, Pendidikan Tinggi: Hubungan dengan
Keadaan Sekarang, Prisma No.2 Maret, Tahun VII

Masyarakat dan

Erman Rajagukguk: 1997, Peranan Hukum dalam Pembangunan pada era
Globalisasi: Implikasinya bagi Pendidikan Hukum di Indonesia, Pidato
pengukuhan diucapkan pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar dalam
bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 4 Januari
1997.
Faculty Handbook University of Cambridge Faculty of Law 2003 – 2004.
Harkistuti Harkisnowo: 2003, Selintas Sejarah dan Prospek Pengembangan
Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, Jentera Jurnal Hukum, Edisi Khusus.
Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D: 2006, Reformasi Pendidikan Hukum
di Indonesia, diakses dari http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.
Fakultas Hukum UII http://www.uii.ac.id/index.asp?u=410&b=I&v=1&j=I&id=8
J.E. Sahetapy : 2003, Reformasi Hukum : Quo Vadis ? diakses dari
http://www.komisihukum.go.id/article_opinion.php?
Mardjono Reksodiputro : 2005, Reformasi Pendidikan

Memungkinkan Pendidikan

Khusus bagi

Tinggi Hukum untuk

Advokat, h.1, diakses dari

http://www.komisihukum.go.id/article_opinion.php?
Mochtar Kusumaatmadja: 2006, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan,
cetakan ke 2, Alumni.

16

Richard J. Wilson: 1996, Clinical Legal Education as a Means to Improve Access
to Justice in Developing and Newly Democratic, A Paper Presented at the Human
Rights Seminar of the Human Rights Institute, International Bar Association
Berlin, Germany Oct. 17.
Satjipto Rahardjo: 2005, Dimanakan Pendidikan Hukum ?, Kompas, Kamis 8 April
2004.
Sidharta Pohan Prastowo Legal Research Institute : 2004, Reformasi dan
Reorentasi Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, Komisi Hukum Nasional,
diakses dari http://www.komisihukum.go.id/hasil_komisi.php
Soedjatmoko: 1976, Beberapa Fikiran tentang Perguruan Tinggi, Prisma, No.2
Maret.
Soetandyo Wignjosoebroto:2000, Pembangunan Hukum Nasional dan Pendidikan
Hukum di Indonesia Pada Indonesia Pascakolonial, h.2, diakses dari
http://www.huma.or.id

Willi Toisuta : 1976, Kurikulum Perguruan Tinggi: Perimbangan antara Beban
Belajar Dan Mengajar, Prisma N0.2, Maret.

17