112543767 Peranan Konservasi Air Unt DAS
DAS dan Pengelolaannya (2)
Peranan Konservasi Tanah dan Air dalam
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Naik Sinukaban
Ketua Umum Pengurus Pusat MKTI Periode 2004 – 2007 Jurusan ilmu Tanah, Institut
Pertanian Bogor
PENDAHULUAN
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas-batas topografi
secara alami sedemikian rupa sehingga setiap air hujan yang jatuh dalam DAS tersebut akan
mengalir melalui titik tertentu (titik pengukuran di sungai) dalam DAS tersebut. Dalam
Bahasa Inggris pengertian DAS sering diidentikan dengan watershed, catchment area atau
river basin.
Pengertian DAS tersebut menggambarkan bahwa DAS adalah suatu wilayah yang
mengalirkan air yang jatuh di atasnya beserta sedimen dan bahan terlarut melalui titik yang
sama sepanjang suatu aliran atau sungai. Dengan demikian DAS atau watershed dapat
terbagi menjadi beberapa sub DAS dan sub-sub DAS, sehingga luas DAS pun akan bervariasi
dari beberapa puluh meter persegi sampai ratusan ribu hektar tergantung titik pengukuran
ditempatkan.
Apabaila ada kegiatan di suatu DAS maka kegiatan tersebut dapat mempengaruhi aliran air di
bagian hilir baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Penebangan hutan secara sembarangan
di bagian hulu suatu DAS dapat mengganggu distribusi aliran sungai di bagian hilir. Pada
musim hujan air sungai akan terlalu banyak bahkan sering menimbulkan banjir tetapi pada
musim kemarau jumlah air sungai akan sangat sedikit atau bahkan kering. Disamping itu
kualitas air sungai pun menurun, karena sedimen yang terangkut akibat meningkatnya erosi
cukup banyak. Perubahan penggunaan lahan atau penerapan agroteknologi yang tidak cocok
pun dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas air yang mengalir ke bagian hilir.
Oleh karena itu, dari segi hidrologi, erosi dan sedimentasi, DAS dapat dianggap sebagai suatu
sistem dimana perubahan yang terjadi di suatu bagian akan mempengaruhi bagian lain dalam
DAS tersebut. Berbagai kegiatan dalam pengelolaan dan pengembangan DAS yang dapat
mempengaruhi kualitas dan kuantitas air, yang pada gilirannya kualitas seluruh lingkungan
hidup, antara lain, penebangan hutan, penambangan, permukiman, lingkungan pabrik,
perubahan penggunaan lahan, penerapan teknik konservasi tanah dan air, pengembangan
pertanian lahan kering, termasuk tanaman pangan, tanaman perkebunan, seperti tebu, karet,
kelapa sawit, dan perubahan agroteknologi.
DAMPAK KERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
Sumberdaya alam utama yang terdapat dalam suatu DAS yang harus diperhatikan dalam
pengelolaan DAS adalah sumberdaya hayati, tanah dan air. Sumberdaya tersebut peka
terhadap berbagai macam kerusakan (degradasi) seperti kehilangan keanekaragaman hayati
(biodiversity), kehilangan tanah (erosi), kehilangan unsur hara dari daerah perakaran
(kemerosotan kesuburan tanah atau pemiskinan tanah), akumulasi garam (salinisasi),
penggenangan (water logging), dan akumulasi limbah industri atau limbah kota (pencemaran)
(Rauschkolb, 1971; ElSwaify, et. al. 1993). Menurunnya kualitas air yang disebabkan baik
oleh sedimen yang bersumber dari erosi maupun limbah industri (polusi) sudah sangat
dirasakan di daerah aliran sungai yang berpenduduk padat.
Erosi di daerah tropika basah dengan berbagai fenomena yang bertalian erat dengannya
seperti penurunan produktivitas tanah, sedimentasi, banjir, kekeringan, termasuk jenis
kerusakan DAS yang memerlukan penanganan segera dengan menggunakan teknologi yang
telah dikuasai maupun teknologi baru, agar degradasi lingkungan tidak berlanjut mencapai
tingkat yang gawat. Dampak negatif erosi terjadi pada dua tempat yaitu pada tanah tempat
erosi terjadi, dan pada tempat sedimen diendapkan.
Kerusakan utama yang dialami pada tanah tempat erosi terjadi adalah kemunduran kualitas
sifat-sifat biologi, kimia, dan fisik tanah. Kemunduran kualitas tanah tersebut dapat berupa
kehilangan keanekaragaman hayati, unsur hara dan bahan organik yang terbawa oleh erosi,
tersingkapnya lapisan tanah yang miskin hara dan sifat-sifat fisik yang menghambat
pertumbuhan tanaman, menurunnya kapasitas infiltrasi dan kapasitas tanah menahan air,
meningkatnya kepadatan tanah dan ketahanan penetrasi serta berkurangnya kemantapan
struktur tanah. Hal tersebut pada akhirnya berakibat pada memburuknya pertumbuhan
tanaman, menurunnya produktivitas tanah atau meningkatnya pasokan yang dibutuhkan
untuk mempertahankan produksi. Memburuknya sifat-sifat biologi, kimia dan fisik tanah
serta menurunnya produktivitas tanah sejalan dengan semakin menebalnya lapisan tanah yang
tererosi (Sudirman et al 1986).
Tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut oleh aliran permukaan diendapkan di bagian
tertentu atau masuk ke sungai serta diendapkan di dalam sungai, waduk, danau atau saluransaluran air. Disamping itu dengan berkurangnya kapasitas infiltrasi tanah yang mengalami
erosi akan menyebabkan aliran permukaan (run off) meningkat. Peningkatan aliran
permukaan dan mendangkalnya sungai mengakibatkan banjir semakin sering dengan
tingkatan (derajat) yang semakin berat pada setiap musim hujan. Terjadinya banjir sudah
merupakan fenomena yang berulang setiap tahun di banyak DAS di Indonesia.
Berkurangnya infiltrasi air ke dalam tanah yang mengalami erosi di bagian hulu DAS
menyebabkan pengisian kembali (recharge) air di bawah tanah (ground water) juga
berkurang yang mengakibatkan kekeringan di musim kemarau. Dengan demikian terlihat
bahwa peristiwa banjir dan kekeringan merupakan fenomena ikutan yang tidak terpisahkan
dari peristiwa eropsi. Bersama dengan sedimen, unsur-unsur hara terutama N dan P serta
bahan organikpun banyak yang ikut terbawa masuk ke dalam waduk atau sungai (Sinukaban
1981). Hal ini mengakibatkan terjadinya eutrofikasi berlebihan dalam danau atau waduk
sehingga memungkinkan perkembangan tananam air menjadi lebih cepat dan pada akhirnya
mempercepat pendangkalan dan kerusakan waduk atau danau tersebut. Meningkatnya
aktivitas pertambangan dan pembanguan pabrik yang tidak diikuti dengan teknik konservasi
dan penanganan limbah yang memadai, akan meningkatkan pencemaran yang luar biasa di
bagian hilir.
Dari gambaran tersebut telihat juga bahwa laju erosi suatu DAS dapat dijadikan salah satu
indikator kecepatan proses pengrusakan (degradasi) DAS. Untuk menilai laju erosi yang
terjadi di suatu DAS, petunjuk dasar yang mudah diperoleh adalah konsentrasi sedimen
dalam aliran permukaan (Sinukaban 1981). Berdasarkan konsentrasi sedimen dalam air
sungai, laju erosi di beberapa DAS di Indonesia pada 30 – 40 tahun yang lalu sudah
mencapai tingkat yang mengkhawatirkan (Badrudin Mahbub, 1978) dan di banyak tempat
sudah lebih besar dari erosi yang dapat ditoleransikan (Sinukaban 1994). Dari perkembangan
pengamatan ternyata laju erosi saat ini sudah semakin meningkat dan sudah jauh lebih gawat
dari pada keadaan 30 – 40 tahun yang lalu, terutama pada DAS kategori prioritas I.
Banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau adalah indikator utama kerusakan
DAS yang sangat jelas. Pada dasarnya banjir terjadi karena sebagian besar dari hujan yang
jatuh ke bumi tidak masuk kedalam tanah mengisi akuifer, tetapi mengalir di atas permukaan
yang pada gilirannya masuk ke sungai dan mengalir sebagai banjir ke bagian hilir. Hal ini
terjadi karena kapasitas infiltrasi tanah sudah menurun akibat rusaknya DAS. Faktor utama
kerusakan DAS yang mengakibatkan menurunnya infiltrasi adalah: (1) hilang / rusaknya
penutupan vegetasi permanen / hutan di bagian huilu, (2) pengunaan lahan yang tidak sesuai
dengan kemampuannya, dan (3) penerapan teknologi pengelolaan lahan / pengelolaan DAS
yang tidak memenuhi syarat yang diperlukan.
Penurunan infiltrasi akibat kerusakan DAS mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan
(run off) dan menurunnya pengisian air bawah tanah (groundwateri) mengakibatkan
meningkatnya debit aliran sungai pada musim hujan secara drastis dan menurunnya debit
aliran pada musim kemarau. Pada keadaan kerusakan yang ekstrim akan terjadi banjir besar
di musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi
kehilanghan air dalam jumlah besar di musim hujan yaitu mengalirnya air ke laut dan
hilangnya mata air di kaki bukit akibat menurunnya permukaan air bawah tanah. Dengan
perkataan lain, pengelolaan DAS yang tidak memadai akan mengakibatkan rusaknya
sumberdaya air.
PERANAN KONSERVASI TANAH DAN AIR PADA PELESTARIAN
PRODUKTIVITAS DAN SUMBERDAYA AIR
Untuk menjaga produktivitas lahan, maka penggunaan lahan harus sesuai dengan
kemampuan lahan serta penggunaan agroteknologi harus disertai dengan penerapan teknik
konservasi tanah dan air yang memadai. Tipe teknik konservasi tanah dan air yang banyak
diterapkan di seluruh dunia termasuk dalam pengelolaan DAS di Indonesia dapat
dikelompokkan ke dalam empat kelompok utama yaitu agronomi, vegetatif, struktur, dan
manajemen (WASWC, 1998).
Teknik konservasi tanah dan air yang dikelompokkan ke dalam kelompok agronomi antara
lain penanaman tanaman campuran (tumpang sari), penananam berurutan (rotasi),
penggunaan mulsa, pengolahan tanah minimum, penananam tanpa olah tanah, penanaman
mengikuti kontur, penananam di atas guludan mengikuti kontur, penggunaan pupuk hijau atau
pupuk buatan, dan penggunaan kompos.
Teknik konservasi tanah dan air yang dikelompokkan ke dalam kelompok vegetatif antara
lain penanaman tanaman pohon atau tanaman tahunan (seperti kopi, teh, tebu, pisang),
penanaman tanaman tahunan di batas lahan (tanaman pagar), penanaman strip rumput
(vetiver, rumput makanan ternak).
Teknik konservasi tanah dan air yang dikelompokkan ke dalam kelompok struktur antara lain
saluran penangkap aliran permukaan, saluran pembuangan air, saluran teras, parit penahan air
(rorak), sengkedan, guludan, teras guludan, teras bangku, dam penahan air, dan embung
pemanen air hujan.
Teknik konservasi tanah dan air yang dikelompokkan ke dalam kelompok manajemen antara
lain perubahan pengunaan lahan menjadi lebih sesuai, pemilihan usaha pertanian yang lebih
cocok, pemilihan peralatan dan masukan komersial yang lebih tepat, penataan pertanian
termasuk komposisi usaha pertanian, dan penentuan waktu persiapan lahan, penanaman, dan
pemberian input.
Penerapan teknik konservasi tanah dan air yang memadai di berbagai proyek pengembangan
pertanian dan penelitian telah membuktikan bahwa teknik konservasi tanah dan air mampu
menstabilkan produktivitas pertanian dan bahkan pada beberapa tempat mampu
meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani (Sihite dan Sinukaban, 2004).
Penanaman sayuran mengikuti kontur pada tanah Andosol yang mempunyai drainase yang
baik di Citere Jawa Barat mampu mempertahankan produktivitas lahan dan sangat efektif
menekan erosi. Penggunaan rorak dan tananam penaung multistrata di pekebunan kopi rakyat
mampu menekan erosi dan meningkatkan pendapatan petani sampai lebih dari Rp. 6.000.000
di DAS Besai Lampung barat.
Untuk menjaga kelestarian sumberdaya air di suatu DAS, maka penutupan vegetasi permanen
harus tetap dijaga kelestariannya, penggunaan lahan harus sesuai dengan kemampuan lahan
dan teknologi pengelolaan DAS harus memenuhi kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Di
DAS yang didominasi oleh daerah pertanian, penerapan teknik konservasi yang memadai
sangat diperlukan untuk meningkatkan infiltrasi dan menurunkan aliran permukaan yang
pada gilirannya dapat melestarikan sumberdaya air.
Hasil penelitian tentang pengaruh teknik konservasi tanah dan air yang memadai dalam
pengelolaan DAS terhadap kelestarian sumber daya air di Jawa Barat dan Lampung sangat
positif (Sinukaban et al, 1998, Sihite dan Sinukaban 2004). Penelitian di Jawa Barat dan
Lampung Barat tersebut menunjukan bahwa teknik pengelolaan DAS yang memenuhi kaidah
konservasi tanah dan air akan menurunkan aliran permukaan (quick flow) dan menaikan
aliran dasar (base flow) serta memperpanjang masa aliran dasar secara substansial (Sinukaban
et al, 198).
Walaupun hanya sepertiga dari luas DAS yang menerapkan teknik konservasi yang memadai,
teknik konservasi tersebut sudah mampu menekan koefisien aliran permukaan dari 0,72
menjadi 0,49 pada tahun berikutnya dan menjadi 0,39 dua tahun setelah penerapan teknik
konservasi. Disamping itu koefisien aliran dasar (base flow) meningkat dari 0,28 menjadi
0,51 pada tahun berikutnya dan menjadi 0,61 dua tahun setelah peneapan teknik konservasi
(Tabel 1). Disamping adanya peningkatan debit aliran dasar, penerapan teknik konservasi
tanah dan air juga memperpanjang lamanya aliran dasar dari hanya sampai bulan Juni pada
saat belum diterapkannya teknik konservasi menjadi sampai bulan Juli setelah setahun
penerapannya dan menjadi sampai bulan Agustus setelah dua tahun (Gambar 1 dan 2). Bila
dikombinasikan dengan peningkatan penutupan vegetasi permanen dan menempatkan
penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuannya maka kelestarian sumberdaya air di
DAS akan terjaga secara lestari.
Gambar 1. Jumlah, rata-rata dan minimum aliran permukaandan hujan dari Oktober 1992 September 1995 di daerah tangkapan Citere Jawa Barat
Gambar 2. Perbandingan antara aliran maksimum, rata-rata dan minimum dari tiga musim
hujan di Daerah Tangkapan Citere Jawa Barat
KONSEPSI PENGEMBANGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
Pengembangan / pengelolaan DAS adalah rangkaian upaya yang dilakukan oleh manusia
untuk memanfaatkan sumberdaya alam DAS secara rasional guna memenuhi kebutuhan
hidup dan meningkatkan taraf hidup, seraya membina hubungan yang harmonis antara
sumberdaya alam dan manusia serta keserasian ekosistem secara lestari. Untuk itu maka
setiap kegiatan dalam DAS harus juga memenuhi tujuan pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable development). Suatu kegiatan pembangunan dapat dikatakan berkelanjutan
apabila pembangunan itu dapat mewujudkan paling sedikit tiga indikator utama secara
simultan yaitu pendaatan yang cukup tinggi, teknologi yang digunakan tidak mengakibatkan
degradasi lingkungan dan teknologi tersebut dapat diterima (acceptable) dan dapat
dikembangkan oleh masyarakat (replicable) dengan sumberdaya lokal yang dimiliki.
Keadaan DAS dianggap sebagai suatu sistem, maka dalam pembangunannya pun, DAS harus
diperlakukan sebagai suatu sistem (Gill, 1979). Dengan memperlakukan DAS sebagai suatu
sistem dan pengembangannya bertujuan untuk memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan,
maka sasaran pengembangan DAS akan menciptakan ciri-ciri yang baik sebagai berikut:
1. Mampu memberikan produktivitas lahan yang tinggi. Setiap bidang lahan harus
memberikan produktivitas yang cukup tinggi sehingga dapat mendukung kehidpan
yang layak bagi petani yang mengusahakannya. Produktivitas yang tinggi dapat
diperoleh apabila lahan tersebut digunakan sesuai dengan kemampuannya. Untuk itu
harus dipilih komoditas pertanian yang cocok dengan faktor biofisik setempat dan
dikelola dengan agroteknologi yang memenuhi persyaratan, sehingga produktivitas
tetap tinggi dan kualitas lahan terjaga secara lestari.
2. Mampu mewujudkan pemerataan produktivitas di seluruh DAS. Perencana
pengelolaan DAS harus memberikan perhatian serius pada hal ini agar seluruh
stakeholders di dalam DAS memperoleh pendapatan yang dapat mendukung
kehidupan yang layak. Apabila keadaan seperti ini terwujud maka DAS tersebut akan
bersifat lentur, sehingga walaupn ada kegagalan produksi di salah satu bagian DAS
akibat bencana alam, maka bagian lain DAS akan dapat membantu bagian yang
terkena bencana.
3. Dapat menjamin kelestarian sumberdaya air. Salah satu faktor penting yang harus
diwujudkan dalam setiap sistem pengelolaan DAS adalah menjaga fungsi DAS
sebagai pengatur tata air yang baik. Oleh sebab itu fungsi hidrologis DAS harus dapat
terjaga secara lestari yang dicirikan oleh ketersediaan sumberdaya air yang meliputi
kuantitas, kualitas dan distribusi yang baik sepanjang tahun di seluruh DAS.
Suatu daerah aliran sungai terdiri dari bagian hulu, tengah dan hilir. Berbagai kegiatan dapat
dijumpai dalam pengembangan satu DAS, antara lain, kegiatan konstruksi seperti:
pembangunan jalan, perluasan kota / daerah permukiman, industri, pengembangan tenaga
listrik, dam atau waduk untuk irigasi atau hidrolistrik, kegiatan pengerukan, pembangunan
kanal, transportasi / navigasi, pertambangan, pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan
serta kegiatan lainnya.
Setiap kegiatan bertujuan untuk memenuhi kepentingan masyarakat. Dari sisi lain kegiatan
tersebut mempunyai kemungkinan menghasilkan dampak negatif terhadap kegiatan lainnya.
Oleh karena itu semakin banyak kegiatan dalam pengembangan suatu DAS apabila tidak
dilandasi oleh suatu perencanaan yang menyeluruh dan terintegrasi, akan semakin besar
terjadinya persaingan atau konflik atau benturan di antara berbagai kegiatan yang dapat
menimbulkan berbagai masalah.
Sebagai contoh kemungkinan terjadinya benturan berbagai kegiatan adalah pekerjaan
penggalian / pembongkaran tanah selama kegiatan konstruksi dam, waduk atau jalan raya
dapat mengakibatkan terjadinya sedimentasi perairan di sebelah hilir. Pengembangan
pertanian di daerah berlereng, apabila tidak disertai usaha konservasi yang memadai, akan
menyebabkan terjadinya erosi dan sedimentasi pada dam / waduk. Demikian pula dengan
dampak negatif terhadap kualitas lingkungan yang dapat diakibatkan oleh pembangunan di
bidang industri atau pertambangan. Tujuan yang lebih besar dari setiap kegiatan
pembangunan dalam suatu DAS seharusnya sama, yaitu untuk menmberikan kontribusi pada:
(1) pembangunan ekonomi nasional, (2) pembangunan daerah atau wilayah, (3) usaha
memperbaiki dan meningkatkan kualitas lingkungan.
Untuk menghindari atau mengurangi kemungknan timbulnya masalah, benturan atau
persaingan antar kegiatan dalam suatu DAS, diperlukan suatu rencana pengembangan yang
komprehensif dan terpadu. Betapa pun sukarnya penyusunan rencana ini, hanya dengan cara
inilah tujuan kegiatan tersebut dapat dicapai, tanpa atau dengan benturan yang minimal. Di
dalam perencanaan yang demikian, berbagai aspek yang mempengaruhi pengelolaan DAS
seperti sifat tanah, karakteristik hidrologi DAS, potensi yang dapat dikembangkan guna
memberikan kontribusi di bidang: pangan, industri , pertambangan, penyediaaan air untuk
irigasi, industri dan air minum, maupun kemungkinan terjadinya banjir, erosi, sedimentasi
dan lainnya, harus diperhitungkan. Demikian pula dengan faktor sosial ekonomi seperti
kependudukan, tingkat pendapatan, pemasaran hasil, kelembagaan, pelayanan di bidang
pendidikan dan sebagainya juga perlu diperhatikan.
Perencanaan pengembangan DAS terpadu tersebut harus dilakukan secara interdisipliner
sehingga semua stakeholders menyadari atau mengetahui apa yang harus dilakukan di setiap
bagian di dalam DAS tersebut agar kelestarian sumber daya lahan dan air dapat terjamin.
Berbagai model sudah tersedia dan dapat dipakai dalam membuat perencanaan terpadu
tersebut. Setelah perencanaan secara menyeluruh dilakukan maka aktivitas pengembangan
dapat dilakukan oleh setiap stakeholders sesuai bidang, sektor, atau profesinya.
Daftar Pustaka
Badrudin M. 1978. Tingkat Erosi Beberapa Wilayah Sungai di ndonesia. Direktorat
Penyediaan Masalah Air.
Gill, N. 1979. Watershed Development with Special Reference to Soil and Water
Conservation. FAO. Soil. Bull. No. 44.
Rauschkolb, R.S. 1971. Land Degradation. FAO Soil Bull, No. 13
Sihite, J. and Sinukaban. 2004. Economic Valuation of Land Use Cange in Besai Sub
Watershed Tulang Bawang Lampung. Proceed of International Seminar on “Toward
Harmonization between Development and Environmental Conservation in Biological
Production” 3 – 5 Dec 2004. Cilegon, Indonesia.
Sinukaban, N. 1981. Erosion Selectivity as Affected by Tillage Planting System. Ph.D Thesis
University of Winconsin, Madison, USA.
Sinukaban, N. 1994. Integrated Land Managementfor Sustainable Agriculture Development
in Indonesia. Contour Vol. VI no. 1.
Sinukaban, N., H. Pawitan, S. Arsyad. J.L. Amstrong and MG Nethery, 1994. Effect of Soil
Conservation Practices and Slope Lengths on Run Off, Soil Loss and Yield of Vegetables in
West Java. Aust, J. Soil and Water Cons. 7(3): 25-29.
Sinukaban, N., H. Pawitan, S. Arsyad. and J. Amstrong. 1998. Impact of soil and Water
Conservation Practiceson Stream Flows in Citere Catchment, West Java, Indonesia. Toward
Sustainable Land Use. Advances in Geoecology 31:1275-1280
Sudirman, N. Sinukaban, Suwardjo dan S. Arsyad. 1985. Pengaruh Tingkat Erosi dan
Pengapurn terhadap Produktivitas Tanah. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk (6)9-14.
Swaify, El. S.A, S. Arsyad, dan P. Krisnalajati. 1983. Soil erosion by Water. Dalam Carpenter
R.A. (Ed). 1983. Natural system for Development What Planners Need To Know, Mc,
millan, Publ, Co:19-161
WASWC (World Association of soil dan eater Conservation). 1998. Wocat (World Overview
of Conervation Approachs and Technologies). A Frame Work for the Evaluation of Soil and
water Conservation. Lang Druck AG, Bern Switzerland.
Sumber: Naik Sinukaban (2007). “Peranan Konservasi Tanah dan Air dalam Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai.” Dalam Fahmudin Agus et al (2007) (Penyunting). “Bunga
Rampai Konservasi Tanah dan Air. Jakarta: Pengurus Pusat Masyarakat Konservasi
Tanah dan Air Indonesia 2004-2007.
Pembangunan Daerah Berbasis Strategi
Pengelolaan DAS
Oleh : NAIK SINUKABAN
Sumber: http://muhtadi71.wordpress.com/2008/
Otonomi daerah (OTDA) yang secara universal dikenal sebagai desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah (UU
Otonomi Daerah,1999). Desentralisasi secara efektif dan menyeluruh telah dilaksanakan di
Indonesia sejak 1 Januari 2001 dengan dasar hukum pokok yaitu Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Dalam Undang-undang tersebut desentralisasi
menyangkut penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah (pusat) kepada daerah
otonom yang berada pada tingkat di bawahnya. Namun prinsip desentralisasi bukan hanya
mengenai penyerahan wewenang pemerintahan, tetapi yang lebih penting lagi adalah transfer
proses pengambilan keputusan (transfer of decision-making process) dari otoritas pusat
kepada otoritas tingkat daerah yang paling dekat dengan masyarakat dalam merencanakan
dan melaksanakan kegiatan pembangunan.
Pelaksanaan otonomi daerah (OTDA) yang luas dan utuh di Indonesia ditempatkan pada
daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan OTDA di propinsi merupakan otonom yang
terbatas. Penerapan desentralisasi merupakan respon atas gagalnya sistem pembangunan
nasional yang sentralistik dan keinginan berbagai daerah untuk mendapatkan manfaat dan
rasa keadilan dalam alokasi hasil pengelolaan sumberdaya alam. Sistem sentralistik yang
diterapkan di Indonesia selama masa orde baru telah berakhir dengan kondisi antiklimaks dari
pelaksanaan pembangunan jangka panjang yang ditandai oleh terjadinya krisis ekonomi,
sosial, dan politik. Era sentralisasi ekonomi dan pemerintahan yang diterapkan secara
nasional oleh pemerintahan orde baru selama 32 tahun (1966-1998) telah banyak menguras
sumberdaya alam (SDA) lokal dan mengalirkan keuntungan ekonomi yang diperoleh ke pusat
pemerintahan dan bisnis di Jakarta sehingga menimbulkan ketimpangan ekonomi dan sosial
di daerah. Indikator hasil pengurasan SDA secara sentralistik di Indonesia ditunjukkan
dengan terjadinya kesenjangan ekonomi antara daerah dan pusat, tingginya tingkat
kemiskinan di daerah, kerusakan lingkungan hidup di daerah , dan lemahnya kelembagaan di
daerah.
Munculnya era reformasi menggantikan orde baru menguatkan tuntutan daerah untuk
mendapatkan kewenangan yang luas dalam pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan
sumberdaya nasional serta perimbangan keuangan pusat dan daerah secara berkeadilan.
Pembangunan Dalam Era Otonomi Daerah
Desentralisasi mengasumsikan bahwa dengan semakin pendeknya rentang birokrasi,
pembangunan dapat dijalankan lebih terfokus dan tepat sesuai dengan aspirasi dan
perkembangan masyarakat serta dinamika pembangunan .
Pelaksanaan OTDA dalam pembangunan daerah diharapkan dapat mendorong pemberdayaan
masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat,
dan mengembangkan fungsi dan peran kelembagaan (legislatif) di daerah.
Desentralisasi sebagai instrumen kebijakan pembangunan merupakan kebalikan sistem
sentralistik. Suatu alat atau instrumen bisa sesuai atau bisa pula tidak sesuai dalam
penggunaanya untuk mencapai tujuan. Stockmayer (1999) menyatakan bahwa desentralisasi
dapat lebih mendekatkan peranan (pelayanan) pemerintah terhadap masyarakat, terutama
yang menyangkut efisiensi pelaksanaan pembangunan. Sesungguhnya desentralisasi
menyangkut masalah ekonomi secara keseluruhan, terutama yang menyangkut distribusi hasil
pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) yang lebih merata dan dinikmati lebih besar oleh
masyarakat di daerah. Beberapa peran dan manfaat yang diharapkan dari penerapan
desentralisasi antara lain adalah: (a) mempercepat terselenggaranya pelayanan publik dan
pengadaan fasilitas kepada masyarakat, sehingga mempercepat pertumbuhan ekonomi
daerah, (b) alokasi dan distribusi hasil pemanfaatan sumberdaya alam lebih adil dan merata,
(c) membuka peluang berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah
yang lebih merata, (d) meningkatkan peran pemerintah daerah dan masyarakat dalam
pemanfaatan sumberdaya alam secara lebih efisien, efektif, dan sesuai dengan dinamika
masyarakat di daerah, dan (e) menempatkan posisi pengambil kebijakan lebih dekat dengan
kepentingan masyarakat.
Implementasi Otonomi Daerah Dalam Pembangunan
Namun dalam perkembangan pelaksanaan OTDA, telah teridentifikasi beberapa hal yang
berpotensi menimbulkan masalah atau konflik antara lain : (a) adanya daerah miskin dan
kaya sebagai konsekuensi tidak meratanya distribusi sumberdaya alam (SDA) dan
kesenjangan tingkat kemampuan sumberdaya manusia, (b) adanya perbedaan kepentingan
antar daerah dalam pemanfaatan SDA yang dapat memicu timbulnya konflik antar daerah
otonom yang berdekatan, dan (c) keberhasilan pelaksanaan otonomi tidak diukur dengan
prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development), sehingga OTDA
mengeksploitasi SDA secara besar-besaran untuk meningkatkan pendapatan asli daerah
(PAD).
Daerah otonom dengan kewenangan yang diberikan sesungguhnya memiliki tanggung-jawab
yang lebih besar dalam menjamin keberhasilan kinerja pembangunan di daerah. Kinerja
pembangunan pada umumnya dipengaruhi oleh empat faktor penentu, yaitu sumberdaya alam
(natural capital), sumberdaya manusia (human capital), sumberdaya buatan manusia (man
made capital), dan kelembagaan formal maupun informal masyarakat (social capital)
(Kartodihardjo, 1999). Oleh sebab itu pemahaman OTDA tidak boleh parsial, tetapi harus
menyeluruh dan komprehensif di dalam kerangka pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) yang menjamin pemanfaatan sumberdaya alam secara bertanggung jawab
dengan memperhatikan kelestarian fungsi ekologis, ekonomis, dan sosial budaya. Namun hal
itu tidak terjadi diseluruh OTDA. Beberapa pemerintah daerah tidak memahami prinsip
pembangunan berkelanjutan dalam pelaksanaan OTDA sehingga mereka memprioritaskan
pemanfaatan sumberdaya alam sebagai modal utama untuk membiayai pembangunan daerah.
Upaya eksploitasi SDA secara besar-besaran di beberapa daerah untuk mengejar target
pendapatan asli daerah (PAD) disinyalir telah meningkatkan laju kerusakan SDA. Banyak
pelaku pembangunan di daerah mengejar PAD sebesar-besarnya sebagai indikator
keberhasilan pelaksanaan OTDA yang akhirnya berdampak pada penurunan kualitas
lingkungan. Dampak kerusakan lingkungan tidak hanya terjadi pada daerah setempat (on-site
effects) seperti longsor dan erosi tanah tetapi juga di luar daerah setempat (off-site effects)
seperti banjir dan sedimentasi. Fenomena degradasi lingkungan seperti banjir, erosi, longsor,
sedimentasi dimusim hujan serta kekeringan dimusim kemarau itu sudah terjadi dengan
frekuensi yang semakin sering dan intensitas yang semakin parah.
Hal ini akan mengakibatkan produktivitas pertanian semakin menurun, biaya pengelolaan
lingkungan semakin tinggi, dan petani miskin menjadi semakin miskin
Pembangunan Daerah dan Pengelolaan DAS
Konsekuensi dari pelaksanaan OTDA juga berpengaruh terhadap kinerja pengelolaan daerah
aliran sungai (DAS). Batas daerah otonom (Kabupaten/Kota/Propinsi) secara umum tidak
berimpit dengan batas DAS. Suatu DAS dibatasi oleh topografi alami berupa punggungpunggung bukit/gunung, dimana presipitasi yang jatuh di atasnya mengalir melalui titik
keluar tertentu (outlet) yang akhirnya bermuara ke danau atau laut. Wilayah DAS terdiri dari
komponen sumberdaya biotik, abiotik, dan lingkungan lainnya yang saling berinteraksi
membentuk suatu sistem.
Suatu kegiatan dibagian hulu DAS akan berpengaruh pada daerah dibagian hilir. Dengan
demikian DAS menjadi integrator beragam interaksi komponen ekosistem, sehingga batas
DAS sering dijadikan patokan batas bioregion. Batas bioregion dalam pembagunan daerah
menjadi sangat penting dalam pembangunan berkelanjutan yang menjamin keseimbangan
fungsi ekologis dan ekonomi. Sungai, pada umumnya berada di tengah DAS, sering dijadikan
batas terluar dari batas administratif daerah otonom. Oleh karena itu batas DAS akan bersifat
lintas lokal melampaui batas-batas kekuasaan politis dan administrasi, sehingga masalah
DAS pada umumnya menyangkut beberapa kabupaten dalam satu atau lebih propinsi.
Pengaturan dan pengelolaan SDA dalam DAS dirasakan semakin kompleks dalam era OTDA
dan berpotensi menimbulkan konflik antar daerah otonom. Oleh karena itu strategi atau
konsep pengelolaan DAS dalam era otonomi daerah sangat diperlukan untuk menghindari
konflik dan degradasi SDA dan lingkungan.
Masalah pengelolaan DAS dalam kaitannya dengan OTDA sebaiknya tidak diletakkan dalam
perspektif perbedaan antara batas ekologis DAS dengan batas administrasi daerah otonom
secara kaku. Oleh sebab itu DAS harus dipandang sebagai suatu kesatuan bio-region yang
mungkin terdiri dari beberapa daerah otonom yang secara ekologis dan ekonomi saling
berkaitan. Selanjutnya OTDA dijadikan alat untuk mencapai tujuan pemanfaatan potensi
SDA berkelanjutan dan bukan merupakan tujuan. Pandangan ini sejalan dengan Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang:
bahwa pengelolaan sumberdaya alam yang beraneka ragam perlu dilakukan secara
terkoordinasi dan terpadu dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan dalam pola
pembangunan yang berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan
tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan
hidup.
Wilayah DAS sebagai kesatuan bio-region harus dipahami secara holistik dan komprehensif
oleh penyelenggara daerah otonom. Prinsip dasar dari DAS sebagai bio-region adalah
keterkaitan berbagai komponen dalam DAS secara spasial (ruang), fungsional, dan temporal
(waktu). Perubahan salah satu bagian dari bio-region atau DAS akan mempengaruhi bagian
lainnya, sehingga dampak dari perubahan bagian bio-region atau DAS tersebut tidak hanya
akan dirasakan oleh bagian itu sendiri (on site) tetapi juga bagian luarnya (off site). Rusaknya
hutan di bagian hulu akan menimbulkan banjir, erosi, sedimentasi, dan penurunan kualitas air
di bagian hilirnya.
Ketidakpahaman atas implementasi prinsip keterkaitan SDA dalam bio-region atau DAS
dapat menimbulkan konflik antar daerah/regional, terutama yang menyangkut alokasi dan
distribusi sumberdaya. Semakin terbatas suatu SDA dibandingkan dengan permintaan
masyarakat, maka kompetisi untuk memperoleh SDA tersebut semakin tinggi dan peluang
terjadinya konflik makin besar. Hal ini jelas terlihat pada konflik pemanfaatan sumber daya
air, hutan, dan lahan.
Konflik yang terjadi dalam masyarakat selalu menimbulkan dampak negatif dalam
pembangunan, dimana pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan menjadi tidak
terjamin atau bahkan hancur. Oleh karena itu implementasi pengelolaan DAS dalam
pelaksanaan OTDA tidak boleh mengandung potensi konflik antar wilayah.
Strategi Pengelolaan DAS Lintas Daerah
Penggunaan SDA yang meliputi beberapa wilayah perlu diatur oleh strategi pengelolaan DAS
secara terpadu, menyeluruh, fleksibel, efisien, dan berkeadilan dalam kerangka pembangunan
berkelanjutan. Dari uraian diatas terlihat bahwa kapasitas untuk mengelola SDA atau DAS
secara berkelanjutan masih sangat lemah . Untuk itu diperlukan kegiatan peningkatan
kapasitas (Capacity building) yang sistematis secara terus menerus. Strategi yang dapat
ditempuh dalam peningkatan kapasitas dan untuk menghindari terjadinya konflik antarwilayah adalah :
1. Membangun kesepahaman dan kesepakatan antar daerah otonom dalam pengelolaan
DAS lintas regional
2. Membangun sistem legislasi yang kuat
3. Meningkatkan peranan institusi (kelembagaan) dalam Pengelolaan DAS
4. Meningkatkan kemampuan SDM dalam pengelolaan SDA
Membangun Kesepahaman dan Kesepakatan Masing-masing daerah otonom perlu
memahami mekanisme hidrologis yang berjalan secara alami dalam penggunaan SDA lintas
regional.
Mekanisme
hidrologis
menekankan
adanya
karakteristik
ketergantungan/interdependensi (interdependency) antar spasial.Sebagai contoh terjadi
penurunan penutupan lahan di bagian hulu DAS dapat mengakibatkan terjadinya banjir saat
musim hujan di bagian hilir, dan meningkatnya buangan limbah di bagian hulu dapat
menurunkan kualitas air aliran sungai di hilirnya.
Masalah ketidakmerataan dan ketidak efisienan penggunaan alokasi SDA yang mencakup
kuantitas dan kualitasnya sering memicu timbulnya konflik antar daerah. Daerah yang
memiliki sumberdaya lebih dan cenderung menguasainya secara eksklusif akan mengancam
daerah-daerah lainnya sepanjang DAS. Penguasaan secara eksklusif bersifat kaku akan
memicu terjadinya inefisiensi sumberdaya dan meningkatkan biaya pemakaian sumberdaya
serta memicu konflik.
Beragam aktifitas pembangunan yang dilakukan sepanjang DAS selalu saling terkait,
sehingga untuk menghindari terjadinya konflik dalam pemanfaatan SDA perlu dibangun
kesepakatan antar daerah otonom. Dasar kesepakatan adalah komitmen bersama untuk
membangun sistem pengelolaan DAS yang berkelanjutan yang melandaskan setiap strategi
pada upaya untuk mencapai keseimbangan dan keserasian antara kepentingan ekonomi,
ekologis, dan sosial budaya. Komitmen bersama antar daerah otonom adalah strategi awal
yang perlu dilakukan untuk menyusun langkah-langkah pengelolaan DAS. Salah satu faktor
dari ketidakberhasilan pengelolaan DAS selama ini adalah tidak dibangunnya komitmen
bersama antar daerah secara baik. Wujud dari komitmen bersama adalah munculnya perhatian
dan tanggung-jawab bersama terhadap kelestarian SDA pada setiap unit kegiatan
pembangunan di daerah masing-masing.
Proses untuk mencapai komitmen bersama dapat ditempuh dengan melakukan negosiasi
politik antar daerah yang didasarkan pada adanya kepentingan bersama dalam memanfaatkan
SDA, sehingga alokasi dan distribusi SDA dapat ditetapkan secara adil.
Kerjasama antar daerah otonom dapat diwujudkan dengan membentuk Badan Kerjasama
antar Daerah (Pasal 87 ayat 2, UU No. 22/1999). Keputusan bersama yang membebani
masyarakat dan Daerah harus mendapat persetujuan DPRD masing-masing. Jika
Kabupaten/Kota tidak dapat melaksanakan kerjasama antar daerah, maka kewenangan
penyediaan pelayanan lintas kabupaten/kota dilaksanakan oleh Propinsi. Apabila kerjasama
antar Propinsi diperlukan maka kerjasama tersebut harus dibawah koordinasi pemerintah
pusat. Kewenangan propinsi juga mencakup kewenangan yang tidak dilaksanakan oleh
Kabupaten/Kota karena dalam pelaksanaannya dapat merugikan Kabupaten/Kota masingmasing. Jika pelaksanaan kewenangan Kabupaten/Kota dapat menimbulkan konflik
kepentingan antar Kabupaten/Kota, maka Kabupaten dan Kota dapat membuat kesepakatan
agar kewenangan tersebut dilaksanakan oleh Propinsi.
Membangun Sistem Legislasi yang Kuat
Kebijakan publik dalam aspek pengelolaan sumberdaya alam akan memiliki kekuatan untuk
mengendalikan perilaku masyarakat (publik) apabila dikukuhkan oleh sistem legal (hukum)
yang memadai. Legislasi dalam pengelolaan DAS sangat diperlukan terutama dalam
merancang dan mendukung pelaksanaan kebijakan pengelolaan DAS. Beberapa peran
legislasi dalam menjamin pelaksanaan pengelolaan DAS yang baik adalah :
Adanya Undang-undang, keputusan presiden, atau produk hukum lainnya yang dapat
dijadikan dasar untuk membentuk institusi dan perangkat organisasi yang dibutuhkan dalam
mengimplementasikan pengelolaan DAS berkelanjutan.
Untuk melegalisasi mandat yang diterima oleh institusi yang dibentuk dan menjamin sahnya
alokasi
anggaran
rutin
yang
diberikan
oleh
pemerintah
Untuk mengurangi aktivitas yang menimbulkan kerusakan lingkungan dalam DAS dan
“memaksa” publik untuk mentaati prinsip-prinsip pengelolaan DAS berkelanjutan.Legislasi
lingkungan dapat mengatur perilaku manusia dalam hubungannya dengan alokasi dan
pemanfaatan sumberdaya alam, seperti lahan, air, udara, mineral, hutan dan lanskap alam.
Perilaku manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam diberi pedoman agar tidak
menimbulkan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan.Legislasi memberikan kekuatan
(power) dan kewenangan (authorities) kepada pemerintah atau lembaga yang ditunjuk
berdasarkan undang-undang untuk melakukan pengaturan, penguasaan, pengusahaan,
pemeliharaan, perlindungan, rehabilitasi, pemberian sanksi, penyelesaian konflik dan
sebagainya, dalam mengatur hubungan manusia dengan sumberdaya alam dan lingkungan
untuk mewujudkan tujuan pengelolaan sumberdaya alam yang dikehendaki (sustainable
natural resources development) Produk legal harus menempatkan prinsip keadilan dan
kemanfaatan sebagai pertimbangan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan DAS.
Meningkatkan Peranan Institusi Pengelolaan DAS.
Institusi atau kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, dan abstrak yang
mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan dan kebiasaan yang tidak terlepas dari
lingkungan. Institusi mengatur apa yang dilarang untuk dikerjakan oleh individu atau dalam
kondisi bagaimana individu dapat mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu, institusi adalah
instrumen yang mengatur antar individu (Kartodihardjo, et.al, 2000).
Institusi juga berarti seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, dimana masyarakat
tersebut telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, bentuk-bentuk aktifitas
yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang
telah diberikan, serta tanggung-jawab yang harus mereka lakukan. Hak-hak tersebut
mengatur hubungan antar individu dan/atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan
pemanfaatan sumberdaya alam tertentu (Schmid, 1987 dalam Kartodihardjo, 2000). Di
Amerika Serikat dikenal adanya riparian right dan appropriation-rights dalam pengelolaan
sumberdaya air.
Institusi sebagai modal dasar masyarakat (social capital) dapat dipandang sebagai aset
produktif yang mendorong anggotanya untuk bekerjasama menurut aturan perilaku tertentu
yang disetujui bersama untuk meningkatkan produktifitas anggotanya secara keseluruhan.
Ikatan institusi masyarakat yang rusak secara langsung akan menurunkan produktifitas
masyarakat dan menjadi faktor pendorong percepatan eksploitasi sumberdaya alam
disekitarnya (Kartodihardjo, et. al, 2000).
Perwujudan institusi masyarakat dapat diidentifikasi melalui sifat-sifat kepemilikan (property
rights) sumberdaya, batas-batas kewenangan (jurisdiction boundary) masyarakat dalam
memanfaatkan sumberdaya, dan aturan-aturan perwakilan (rules of representation) dalam
memanfaatkan sumberdaya, apakah ditetapkan secara individu atau kelompok. Instansi
pemerintah merupakan institusi formal yang menjadi agen pembangunan dan berperan sentral
dalam menentukan perubahan-perubahan yang diinginkan. Kinerja institusi sangat tergantung
dari kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya.
Penguatan institusi dalam pengelolaan DAS dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan
pengelolaan DAS. Kondisi institusi yang kuat merupakan prasyarat penyelenggaraan
pengelolaan DAS yang baik. Kinerja institusi pengelolaan DAS di Indonesia relatif tertinggal
dibandingkan dengan Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, bahkan Thailand.
Ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang masih tinggi dan kurangnya kepedulian
masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan merupakan indikator
lemahnya institusi pengelolaan DAS di Indonesia. Institusi pengelolaan DAS yang ada di
Indonesia belum memiliki peranan yang kuat terhadap peningkatan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat dalam DAS. Pengembangan kelembagaan masih bersifat
keproyekan, sehingga intervensi penguatan institusi hanya berjalan selama proyek masih ada.
Instansi pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan DAS di Indonesia sebagai institusi
formal cukup beragam. Kendala yang sering dihadapi antara lain adalah masalah koordinasi
program; seringkali program yang sama atau mirip diusulkan oleh instansi yang berbeda.
Duplikasi program akan menyebabkan ketidak efisienan anggaran berupa pemborosan dan
mark-up, ketidaksinambungan pembinaan program, serta ketidakjelasan rentang kewenangan
pengelolaan DAS. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengelolaan DAS di Indonesia belum
menerapkan prinsip strategi satu perencanaan (one plan strategy) dengan baik, sehingga
tingkat keberhasilan program pengelolaan DAS masih rendah. Prinsip one river, one plan
belum di implementasikan secara menyeluruh.
Meningkatkan Kualitas SDM
Kualitas sumberdaya manusia untuk pengelolaan SDA secara umum masih rendah dan
terdapat kesenjangan diseluruh daerah otonom. Kemampuan petani, perencana pengelolaan
DAS, pejabat yang melaksanakan pengelolaan DAS masih sangat rendah untuk mengelola
SDA secara berkelanjutan dan menerapkan prinsip one river one plan.
Petani tidak mempunyai cukup pengetahuan tentang tindakan tepat apa yang harus dia
lakukan didalam usahataninya agar tidak terjadi degradasi lahan yang dapat menurunkan
produktivitas lahannya. Penyuluh pertanianpun tidak dibekali pengetahuan dan pedoman
yang memadai untuk membimbing petani dalam memilih dan menerapkan agroteknologi atau
teknik-teknik konservasi yang memadai. Pejabat yang berwewenang menentukan kebijakan
pun tidak punya pemikiran dan konsep yang menyeluruh (holistic) untuk mengelola SDA
secara berkelanjutan dalam suatu DAS. Pejabat didaerah hilir hanya mau mempertimbangkan
teknologi yang diperlukan untuk mencegah banjir didaerahnya, walaupun ada teknologi
pencegahan banjir yang lebih efektif dan berkelanjutan melalui pengelolaan DAS dibagian
hulu/ diluar daerahnya. Padahal kalau teknologi pengelolaan DAS yang dilaksanakan
dibagian hulu, maka selain banjir dapat dicegah/ dikurangi, kekeringan dimusim kemaraupun
dapat diatasi.
Oleh sebab itu diperlukan program pelatihan yang sistematis secara terus menerus untuk
meningkatkan kapasitas individu/ SDM dalam pengelolaan SDA agar prinsip pembangunan
berkelanjutan terlaksana diseluruh DAS dan daerah otonom.
Kesimpulan
Pelaksanaan pembangunan daerah dalam era otonomi daerah berpengaruh terhadap
pengelolaan DAS. Karakteristik SDA yang bersifat lintas daerah /lokal melewati batas
kekuasaan politis dan administratif berpotensi menimbulkan konflik antar daerah otonom.
Potensi konflik antar daerah banyak terkait dengan alokasi dan penggunaan SDA yang
menyangkut aspek ketidakluwesan (inflexible), ketidakefisienan (inefficient), ketidakadilan
(inequitable). Disamping itu persepsi keberhasilan suatu daerah otonom adalah jumlah PAD
mengakibatkan terjadinya pemanfaatan SDA secara berlebihan yang akhirnya menimbulkan
degradasi SDA yang ditandai oleh banjir, longsor, sedimentasi dan kekeringan yang semakin
sering dan parah.
Strategi pengelolaan DAS dalam era otonomi daerah harus dilakukan melalui peningkatan
kapasitas (capacity building) daerah yang meliputi : (a) membangun kesepahaman dan
kesepakatan antar daerah otonom dalam pengelolaan SDA; (b) membangun sistem legislasi
yang kuat; dan (c) meningkatkan peranan institusi (kelembagaan) dalam pengelolaan SDA
dan (d) meningkatkan kapasitas SDM melalui pelatihan (training).
DAFTAR PUSTAKA
Kartodihardjo, H. 1999. Analisis Kelembagaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai : Konsep,
Paradox, dan Masalah, serta Upaya Peningkatan Kinerja. Makalah Lokakarya Nasional
Kebijaksanaan Pengelolaan DAS. Sekretariat Tim Pengendali Bantuan Penghijauan dan
Reboisasi Pusat. Bogor, 18 Februari 1999.
Kartodihardjo, H, K. Murtilaksono, H.S. Pasaribu, U. Sudadi, dan N. Nuryantono. 2000.
Kajian Institusi Pengelolaan DAS dan Konservasi Tanah. K3SB Bogor.
UU Otonomi Daerah, 1999. Undang-undang Otonomi Daerah UU No. 22. 1999 tentang
Pemerintah Daerah; UU No 25 Thn. 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah; UU No 28 Thn 1999, tentang penyelenggara yang bersih dan bebas dari
KKN.
Stockmayer, A. 1999. Decentralization : Global Fad or Recipe for Sustainable Local
Development Agriculture + Development Vol (6) : 1
SISTEM EKOLOGI DAN MANAJEMEN
DAERAH ALIRAN SUNGAI
Tejowulan, R.S. dan Suwardji
Pusat Pengkajian Lahan Kering dan Rehabilitasi Lahan (P2LKRL), Fakultas Pertanian
Universitas Mataram
ABSTRAK
Daerah Aliran Sungai atau DAS adalah hamparan pada permukaan bumi yang dibatasi oleh
punggungan perbukitan atau pegunungan di hulu sungai ke arah lembah di hilir. DAS oleh
karenanya merupakan satu kesatuan sumberdaya darat tempat manusia beraktivitas untuk
mendapatkan manfaat darinya. Agar manfaat DAS dapat diperoleh secara optimal dan
berkelanjutan maka pengelolaan DAS harus direncanakan dan dilaksanakan dengan sebaikbaiknya. Makalah ini secara singkat menyajikan pokok-pokok pikiran tentang sistim ekologi
dan filosofi DAS untuk mencapai pengelolaan DAS yang berkelanjutan dan menguntungkan.
PENDAHULUAN
Pengertian daerah aliran sungai (DAS) adalah keseluruhan daerah kuasa (regime) sungai
yang menjadi alur pengatus (drainage) utama. Pengertian DAS sepadan dengan istilah dalam
bahasa inggris drainage basin, drainage area, atau river basin. Sehingga batas DAS
merupakan garis bayangan sepanjang punggung pegunungan atau tebing/bukit yang
memisahkan sistim aliran yang satu dari yang lainnya. Dari pengertian ini suatu DAS terdiri
atas dua bagian utama daerah tadah (catchment area) yang membentuk daerah hulu dan
daerah penyaluran air yang berada di bawah daerah tadah.
Dalam pengelolaannya, DAS hendaknya dipandang sebagai suatu kesatuan sumberdaya
darat. Sehingga pengelolaan DAS yang bijak hendaklah didasarkan pada hubungan antara
kebutuhan manusia dan ketersediaan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan manusia
tersebut.
Pengelolan sumberdaya biasanya sudah menjadi keharusan manakala sumberdaya tersebut
tidak lagi mencukupi kebutuhan manusia maupun ketersediaannya melimpah. Pada kondisi
dimana sumberdaya tidak mencukupi kebutuhan manusia pengelolaan DAS dimaksudkan
untuk mendapatkan manfaat sebaik-baiknya dari segi ukuran fisik, teknik, ekonomi, sosial
budaya maupun keamanan-kemantapan nasional. Sedangkan pada kondisi dimana
sumberdaya DAS melimpah, pengelolaan dimaksudkan untuk mencegah pemborosan.
Dalam makalah ini akan dibahas (1) Pengertian DAS dan DAS sebagai Sistem Ekologi, (2)
Hakekat DAS sebagai dasar dalam pengelolaannya, (3) Hakekat DAS sebagai dasar dalam
pengelolaannya, (4) Dasar-dasar pengelolaan DAS, dan (5) Data dasar yang diperlukan untuk
merencanakan pengelolaan DAS.
PENGERTIAN DAS DAN DAS SEBAGAI SISTIM EKOLOGI
Banyak definisi tentang sumberdaya (resource) seperti obtainable reserve supply of desirable
thing (suatu persediaan barang yang diperlukan, berupa suatu cadangan yang dapat diperoleh)
(Menard,1974). Pengetian sumberdaya selalu menyangkut manusia dan kebutuhannya serta
usaha atau biaya untuk memperolehnya. Oleh karena berkaitan dengan kebutuhan manusia,
maka sumberdaya mempunyai arti nisbi (relative).
Atas dasar kehadirannya, sumberdaya dapat dipilahkan ke dalam dua kelompok (1)
sumberdaya alam dan (2) sumberdaya buatan manusia. Ada juga yang menggolongkan
sumberdaya atas dasar kemantapannya terhadap kegiatan manusia : (1) sumberdaya yang
sangat mantap, (2) sumberdaya yang cukup mantap dan (3) sumberdaya yang tidak mantap.
Suatu sumberdaya tertentu dapat mempunyai nilai kemantapan beragam, tergantung dari
gatranya yang diperhatikan. Misalnya, tanah sebagai tubuh alam mempuyai nilai kemantapan
daripada kesuburannya. Mutu air jauh lebih mudah goyah daripada jumlahnya. Manusia
secara jelas tidak dapat mengubah volume udara dalam atmosfer akan tetapi dia secara nisbi
mudah mencemarkannya.
Selain itu, ada yang menggolongkan sumberdaya atas kemampuannya untuk memperbaiki
diri (self restoring). Dalam hal ini sumberdaya dibagi ke dalam dua kategori: (1) terbarukan
(renewable), seperti udara, air tanah, hutan dan ikan. Memang ditinjau secara local atau
setempat, air tanah, hutan, dan ikan dapat menyusut atau habis. Akan tetapi secara
keseluruhan, mereka itu tidak akan habis selama faktor-faktor pembentuknya masih tetap
berfungsi. Bahkan yang habis di suatu tempat akan dapat timbul kembali jika diberi
kesempatan cukup. (2) Tak-terbarukan (non-renewable), seperti minyak bumi, panas dan
cebakan mineral.
DAS merupakan gabungan sejumlah sumberdaya darat, yang saling berkaitan dalam suatu
hubungan interaksi atau saling tukar (interchange). DAS dapat disebut suatu sistem dan tiaptiap sumberdaya penyusunnya menjadi anak-sistemnya (subsystem) atau anasirnya
(component). Kalau kita menerima DAS sebagai suatu sistem maka ini berarti, bahwa sifat
dan kelakuan DAS ditentukan bersama oleh sifat dan kelakuan semua anasirnya secara
terpadu (integrated). Arti “terpadu” di sini ialah bahwa keadaan suatu anasir ditentukan oleh
dan menentukan keadaan anasir-anasir yang lain.
Yang dinamakan “sistem” ialah suatu perangkat rumit yang terdiri atas anasir-anasir yang
saling berhubungan di dalam suatu kerangka otonom, sehingga berkelakuan sebagai suatu
keseluruhan dalam menghadapi dan menanggapi rangsangan pada bagian manapun (Dent
dkk. 1979; Spedding, 1979). Disamping memiliki ciri penting berupa “organisasi dalam“
(internal organization), atau disebut pula dengan “struktur fungsi“ (fungtional structure),
suatu sistem dipisahkan “batas system“ dari sistem yang lain. Batas ini memisahkan sis
Peranan Konservasi Tanah dan Air dalam
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Naik Sinukaban
Ketua Umum Pengurus Pusat MKTI Periode 2004 – 2007 Jurusan ilmu Tanah, Institut
Pertanian Bogor
PENDAHULUAN
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas-batas topografi
secara alami sedemikian rupa sehingga setiap air hujan yang jatuh dalam DAS tersebut akan
mengalir melalui titik tertentu (titik pengukuran di sungai) dalam DAS tersebut. Dalam
Bahasa Inggris pengertian DAS sering diidentikan dengan watershed, catchment area atau
river basin.
Pengertian DAS tersebut menggambarkan bahwa DAS adalah suatu wilayah yang
mengalirkan air yang jatuh di atasnya beserta sedimen dan bahan terlarut melalui titik yang
sama sepanjang suatu aliran atau sungai. Dengan demikian DAS atau watershed dapat
terbagi menjadi beberapa sub DAS dan sub-sub DAS, sehingga luas DAS pun akan bervariasi
dari beberapa puluh meter persegi sampai ratusan ribu hektar tergantung titik pengukuran
ditempatkan.
Apabaila ada kegiatan di suatu DAS maka kegiatan tersebut dapat mempengaruhi aliran air di
bagian hilir baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Penebangan hutan secara sembarangan
di bagian hulu suatu DAS dapat mengganggu distribusi aliran sungai di bagian hilir. Pada
musim hujan air sungai akan terlalu banyak bahkan sering menimbulkan banjir tetapi pada
musim kemarau jumlah air sungai akan sangat sedikit atau bahkan kering. Disamping itu
kualitas air sungai pun menurun, karena sedimen yang terangkut akibat meningkatnya erosi
cukup banyak. Perubahan penggunaan lahan atau penerapan agroteknologi yang tidak cocok
pun dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas air yang mengalir ke bagian hilir.
Oleh karena itu, dari segi hidrologi, erosi dan sedimentasi, DAS dapat dianggap sebagai suatu
sistem dimana perubahan yang terjadi di suatu bagian akan mempengaruhi bagian lain dalam
DAS tersebut. Berbagai kegiatan dalam pengelolaan dan pengembangan DAS yang dapat
mempengaruhi kualitas dan kuantitas air, yang pada gilirannya kualitas seluruh lingkungan
hidup, antara lain, penebangan hutan, penambangan, permukiman, lingkungan pabrik,
perubahan penggunaan lahan, penerapan teknik konservasi tanah dan air, pengembangan
pertanian lahan kering, termasuk tanaman pangan, tanaman perkebunan, seperti tebu, karet,
kelapa sawit, dan perubahan agroteknologi.
DAMPAK KERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
Sumberdaya alam utama yang terdapat dalam suatu DAS yang harus diperhatikan dalam
pengelolaan DAS adalah sumberdaya hayati, tanah dan air. Sumberdaya tersebut peka
terhadap berbagai macam kerusakan (degradasi) seperti kehilangan keanekaragaman hayati
(biodiversity), kehilangan tanah (erosi), kehilangan unsur hara dari daerah perakaran
(kemerosotan kesuburan tanah atau pemiskinan tanah), akumulasi garam (salinisasi),
penggenangan (water logging), dan akumulasi limbah industri atau limbah kota (pencemaran)
(Rauschkolb, 1971; ElSwaify, et. al. 1993). Menurunnya kualitas air yang disebabkan baik
oleh sedimen yang bersumber dari erosi maupun limbah industri (polusi) sudah sangat
dirasakan di daerah aliran sungai yang berpenduduk padat.
Erosi di daerah tropika basah dengan berbagai fenomena yang bertalian erat dengannya
seperti penurunan produktivitas tanah, sedimentasi, banjir, kekeringan, termasuk jenis
kerusakan DAS yang memerlukan penanganan segera dengan menggunakan teknologi yang
telah dikuasai maupun teknologi baru, agar degradasi lingkungan tidak berlanjut mencapai
tingkat yang gawat. Dampak negatif erosi terjadi pada dua tempat yaitu pada tanah tempat
erosi terjadi, dan pada tempat sedimen diendapkan.
Kerusakan utama yang dialami pada tanah tempat erosi terjadi adalah kemunduran kualitas
sifat-sifat biologi, kimia, dan fisik tanah. Kemunduran kualitas tanah tersebut dapat berupa
kehilangan keanekaragaman hayati, unsur hara dan bahan organik yang terbawa oleh erosi,
tersingkapnya lapisan tanah yang miskin hara dan sifat-sifat fisik yang menghambat
pertumbuhan tanaman, menurunnya kapasitas infiltrasi dan kapasitas tanah menahan air,
meningkatnya kepadatan tanah dan ketahanan penetrasi serta berkurangnya kemantapan
struktur tanah. Hal tersebut pada akhirnya berakibat pada memburuknya pertumbuhan
tanaman, menurunnya produktivitas tanah atau meningkatnya pasokan yang dibutuhkan
untuk mempertahankan produksi. Memburuknya sifat-sifat biologi, kimia dan fisik tanah
serta menurunnya produktivitas tanah sejalan dengan semakin menebalnya lapisan tanah yang
tererosi (Sudirman et al 1986).
Tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut oleh aliran permukaan diendapkan di bagian
tertentu atau masuk ke sungai serta diendapkan di dalam sungai, waduk, danau atau saluransaluran air. Disamping itu dengan berkurangnya kapasitas infiltrasi tanah yang mengalami
erosi akan menyebabkan aliran permukaan (run off) meningkat. Peningkatan aliran
permukaan dan mendangkalnya sungai mengakibatkan banjir semakin sering dengan
tingkatan (derajat) yang semakin berat pada setiap musim hujan. Terjadinya banjir sudah
merupakan fenomena yang berulang setiap tahun di banyak DAS di Indonesia.
Berkurangnya infiltrasi air ke dalam tanah yang mengalami erosi di bagian hulu DAS
menyebabkan pengisian kembali (recharge) air di bawah tanah (ground water) juga
berkurang yang mengakibatkan kekeringan di musim kemarau. Dengan demikian terlihat
bahwa peristiwa banjir dan kekeringan merupakan fenomena ikutan yang tidak terpisahkan
dari peristiwa eropsi. Bersama dengan sedimen, unsur-unsur hara terutama N dan P serta
bahan organikpun banyak yang ikut terbawa masuk ke dalam waduk atau sungai (Sinukaban
1981). Hal ini mengakibatkan terjadinya eutrofikasi berlebihan dalam danau atau waduk
sehingga memungkinkan perkembangan tananam air menjadi lebih cepat dan pada akhirnya
mempercepat pendangkalan dan kerusakan waduk atau danau tersebut. Meningkatnya
aktivitas pertambangan dan pembanguan pabrik yang tidak diikuti dengan teknik konservasi
dan penanganan limbah yang memadai, akan meningkatkan pencemaran yang luar biasa di
bagian hilir.
Dari gambaran tersebut telihat juga bahwa laju erosi suatu DAS dapat dijadikan salah satu
indikator kecepatan proses pengrusakan (degradasi) DAS. Untuk menilai laju erosi yang
terjadi di suatu DAS, petunjuk dasar yang mudah diperoleh adalah konsentrasi sedimen
dalam aliran permukaan (Sinukaban 1981). Berdasarkan konsentrasi sedimen dalam air
sungai, laju erosi di beberapa DAS di Indonesia pada 30 – 40 tahun yang lalu sudah
mencapai tingkat yang mengkhawatirkan (Badrudin Mahbub, 1978) dan di banyak tempat
sudah lebih besar dari erosi yang dapat ditoleransikan (Sinukaban 1994). Dari perkembangan
pengamatan ternyata laju erosi saat ini sudah semakin meningkat dan sudah jauh lebih gawat
dari pada keadaan 30 – 40 tahun yang lalu, terutama pada DAS kategori prioritas I.
Banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau adalah indikator utama kerusakan
DAS yang sangat jelas. Pada dasarnya banjir terjadi karena sebagian besar dari hujan yang
jatuh ke bumi tidak masuk kedalam tanah mengisi akuifer, tetapi mengalir di atas permukaan
yang pada gilirannya masuk ke sungai dan mengalir sebagai banjir ke bagian hilir. Hal ini
terjadi karena kapasitas infiltrasi tanah sudah menurun akibat rusaknya DAS. Faktor utama
kerusakan DAS yang mengakibatkan menurunnya infiltrasi adalah: (1) hilang / rusaknya
penutupan vegetasi permanen / hutan di bagian huilu, (2) pengunaan lahan yang tidak sesuai
dengan kemampuannya, dan (3) penerapan teknologi pengelolaan lahan / pengelolaan DAS
yang tidak memenuhi syarat yang diperlukan.
Penurunan infiltrasi akibat kerusakan DAS mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan
(run off) dan menurunnya pengisian air bawah tanah (groundwateri) mengakibatkan
meningkatnya debit aliran sungai pada musim hujan secara drastis dan menurunnya debit
aliran pada musim kemarau. Pada keadaan kerusakan yang ekstrim akan terjadi banjir besar
di musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi
kehilanghan air dalam jumlah besar di musim hujan yaitu mengalirnya air ke laut dan
hilangnya mata air di kaki bukit akibat menurunnya permukaan air bawah tanah. Dengan
perkataan lain, pengelolaan DAS yang tidak memadai akan mengakibatkan rusaknya
sumberdaya air.
PERANAN KONSERVASI TANAH DAN AIR PADA PELESTARIAN
PRODUKTIVITAS DAN SUMBERDAYA AIR
Untuk menjaga produktivitas lahan, maka penggunaan lahan harus sesuai dengan
kemampuan lahan serta penggunaan agroteknologi harus disertai dengan penerapan teknik
konservasi tanah dan air yang memadai. Tipe teknik konservasi tanah dan air yang banyak
diterapkan di seluruh dunia termasuk dalam pengelolaan DAS di Indonesia dapat
dikelompokkan ke dalam empat kelompok utama yaitu agronomi, vegetatif, struktur, dan
manajemen (WASWC, 1998).
Teknik konservasi tanah dan air yang dikelompokkan ke dalam kelompok agronomi antara
lain penanaman tanaman campuran (tumpang sari), penananam berurutan (rotasi),
penggunaan mulsa, pengolahan tanah minimum, penananam tanpa olah tanah, penanaman
mengikuti kontur, penananam di atas guludan mengikuti kontur, penggunaan pupuk hijau atau
pupuk buatan, dan penggunaan kompos.
Teknik konservasi tanah dan air yang dikelompokkan ke dalam kelompok vegetatif antara
lain penanaman tanaman pohon atau tanaman tahunan (seperti kopi, teh, tebu, pisang),
penanaman tanaman tahunan di batas lahan (tanaman pagar), penanaman strip rumput
(vetiver, rumput makanan ternak).
Teknik konservasi tanah dan air yang dikelompokkan ke dalam kelompok struktur antara lain
saluran penangkap aliran permukaan, saluran pembuangan air, saluran teras, parit penahan air
(rorak), sengkedan, guludan, teras guludan, teras bangku, dam penahan air, dan embung
pemanen air hujan.
Teknik konservasi tanah dan air yang dikelompokkan ke dalam kelompok manajemen antara
lain perubahan pengunaan lahan menjadi lebih sesuai, pemilihan usaha pertanian yang lebih
cocok, pemilihan peralatan dan masukan komersial yang lebih tepat, penataan pertanian
termasuk komposisi usaha pertanian, dan penentuan waktu persiapan lahan, penanaman, dan
pemberian input.
Penerapan teknik konservasi tanah dan air yang memadai di berbagai proyek pengembangan
pertanian dan penelitian telah membuktikan bahwa teknik konservasi tanah dan air mampu
menstabilkan produktivitas pertanian dan bahkan pada beberapa tempat mampu
meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani (Sihite dan Sinukaban, 2004).
Penanaman sayuran mengikuti kontur pada tanah Andosol yang mempunyai drainase yang
baik di Citere Jawa Barat mampu mempertahankan produktivitas lahan dan sangat efektif
menekan erosi. Penggunaan rorak dan tananam penaung multistrata di pekebunan kopi rakyat
mampu menekan erosi dan meningkatkan pendapatan petani sampai lebih dari Rp. 6.000.000
di DAS Besai Lampung barat.
Untuk menjaga kelestarian sumberdaya air di suatu DAS, maka penutupan vegetasi permanen
harus tetap dijaga kelestariannya, penggunaan lahan harus sesuai dengan kemampuan lahan
dan teknologi pengelolaan DAS harus memenuhi kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Di
DAS yang didominasi oleh daerah pertanian, penerapan teknik konservasi yang memadai
sangat diperlukan untuk meningkatkan infiltrasi dan menurunkan aliran permukaan yang
pada gilirannya dapat melestarikan sumberdaya air.
Hasil penelitian tentang pengaruh teknik konservasi tanah dan air yang memadai dalam
pengelolaan DAS terhadap kelestarian sumber daya air di Jawa Barat dan Lampung sangat
positif (Sinukaban et al, 1998, Sihite dan Sinukaban 2004). Penelitian di Jawa Barat dan
Lampung Barat tersebut menunjukan bahwa teknik pengelolaan DAS yang memenuhi kaidah
konservasi tanah dan air akan menurunkan aliran permukaan (quick flow) dan menaikan
aliran dasar (base flow) serta memperpanjang masa aliran dasar secara substansial (Sinukaban
et al, 198).
Walaupun hanya sepertiga dari luas DAS yang menerapkan teknik konservasi yang memadai,
teknik konservasi tersebut sudah mampu menekan koefisien aliran permukaan dari 0,72
menjadi 0,49 pada tahun berikutnya dan menjadi 0,39 dua tahun setelah penerapan teknik
konservasi. Disamping itu koefisien aliran dasar (base flow) meningkat dari 0,28 menjadi
0,51 pada tahun berikutnya dan menjadi 0,61 dua tahun setelah peneapan teknik konservasi
(Tabel 1). Disamping adanya peningkatan debit aliran dasar, penerapan teknik konservasi
tanah dan air juga memperpanjang lamanya aliran dasar dari hanya sampai bulan Juni pada
saat belum diterapkannya teknik konservasi menjadi sampai bulan Juli setelah setahun
penerapannya dan menjadi sampai bulan Agustus setelah dua tahun (Gambar 1 dan 2). Bila
dikombinasikan dengan peningkatan penutupan vegetasi permanen dan menempatkan
penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuannya maka kelestarian sumberdaya air di
DAS akan terjaga secara lestari.
Gambar 1. Jumlah, rata-rata dan minimum aliran permukaandan hujan dari Oktober 1992 September 1995 di daerah tangkapan Citere Jawa Barat
Gambar 2. Perbandingan antara aliran maksimum, rata-rata dan minimum dari tiga musim
hujan di Daerah Tangkapan Citere Jawa Barat
KONSEPSI PENGEMBANGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
Pengembangan / pengelolaan DAS adalah rangkaian upaya yang dilakukan oleh manusia
untuk memanfaatkan sumberdaya alam DAS secara rasional guna memenuhi kebutuhan
hidup dan meningkatkan taraf hidup, seraya membina hubungan yang harmonis antara
sumberdaya alam dan manusia serta keserasian ekosistem secara lestari. Untuk itu maka
setiap kegiatan dalam DAS harus juga memenuhi tujuan pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable development). Suatu kegiatan pembangunan dapat dikatakan berkelanjutan
apabila pembangunan itu dapat mewujudkan paling sedikit tiga indikator utama secara
simultan yaitu pendaatan yang cukup tinggi, teknologi yang digunakan tidak mengakibatkan
degradasi lingkungan dan teknologi tersebut dapat diterima (acceptable) dan dapat
dikembangkan oleh masyarakat (replicable) dengan sumberdaya lokal yang dimiliki.
Keadaan DAS dianggap sebagai suatu sistem, maka dalam pembangunannya pun, DAS harus
diperlakukan sebagai suatu sistem (Gill, 1979). Dengan memperlakukan DAS sebagai suatu
sistem dan pengembangannya bertujuan untuk memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan,
maka sasaran pengembangan DAS akan menciptakan ciri-ciri yang baik sebagai berikut:
1. Mampu memberikan produktivitas lahan yang tinggi. Setiap bidang lahan harus
memberikan produktivitas yang cukup tinggi sehingga dapat mendukung kehidpan
yang layak bagi petani yang mengusahakannya. Produktivitas yang tinggi dapat
diperoleh apabila lahan tersebut digunakan sesuai dengan kemampuannya. Untuk itu
harus dipilih komoditas pertanian yang cocok dengan faktor biofisik setempat dan
dikelola dengan agroteknologi yang memenuhi persyaratan, sehingga produktivitas
tetap tinggi dan kualitas lahan terjaga secara lestari.
2. Mampu mewujudkan pemerataan produktivitas di seluruh DAS. Perencana
pengelolaan DAS harus memberikan perhatian serius pada hal ini agar seluruh
stakeholders di dalam DAS memperoleh pendapatan yang dapat mendukung
kehidupan yang layak. Apabila keadaan seperti ini terwujud maka DAS tersebut akan
bersifat lentur, sehingga walaupn ada kegagalan produksi di salah satu bagian DAS
akibat bencana alam, maka bagian lain DAS akan dapat membantu bagian yang
terkena bencana.
3. Dapat menjamin kelestarian sumberdaya air. Salah satu faktor penting yang harus
diwujudkan dalam setiap sistem pengelolaan DAS adalah menjaga fungsi DAS
sebagai pengatur tata air yang baik. Oleh sebab itu fungsi hidrologis DAS harus dapat
terjaga secara lestari yang dicirikan oleh ketersediaan sumberdaya air yang meliputi
kuantitas, kualitas dan distribusi yang baik sepanjang tahun di seluruh DAS.
Suatu daerah aliran sungai terdiri dari bagian hulu, tengah dan hilir. Berbagai kegiatan dapat
dijumpai dalam pengembangan satu DAS, antara lain, kegiatan konstruksi seperti:
pembangunan jalan, perluasan kota / daerah permukiman, industri, pengembangan tenaga
listrik, dam atau waduk untuk irigasi atau hidrolistrik, kegiatan pengerukan, pembangunan
kanal, transportasi / navigasi, pertambangan, pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan
serta kegiatan lainnya.
Setiap kegiatan bertujuan untuk memenuhi kepentingan masyarakat. Dari sisi lain kegiatan
tersebut mempunyai kemungkinan menghasilkan dampak negatif terhadap kegiatan lainnya.
Oleh karena itu semakin banyak kegiatan dalam pengembangan suatu DAS apabila tidak
dilandasi oleh suatu perencanaan yang menyeluruh dan terintegrasi, akan semakin besar
terjadinya persaingan atau konflik atau benturan di antara berbagai kegiatan yang dapat
menimbulkan berbagai masalah.
Sebagai contoh kemungkinan terjadinya benturan berbagai kegiatan adalah pekerjaan
penggalian / pembongkaran tanah selama kegiatan konstruksi dam, waduk atau jalan raya
dapat mengakibatkan terjadinya sedimentasi perairan di sebelah hilir. Pengembangan
pertanian di daerah berlereng, apabila tidak disertai usaha konservasi yang memadai, akan
menyebabkan terjadinya erosi dan sedimentasi pada dam / waduk. Demikian pula dengan
dampak negatif terhadap kualitas lingkungan yang dapat diakibatkan oleh pembangunan di
bidang industri atau pertambangan. Tujuan yang lebih besar dari setiap kegiatan
pembangunan dalam suatu DAS seharusnya sama, yaitu untuk menmberikan kontribusi pada:
(1) pembangunan ekonomi nasional, (2) pembangunan daerah atau wilayah, (3) usaha
memperbaiki dan meningkatkan kualitas lingkungan.
Untuk menghindari atau mengurangi kemungknan timbulnya masalah, benturan atau
persaingan antar kegiatan dalam suatu DAS, diperlukan suatu rencana pengembangan yang
komprehensif dan terpadu. Betapa pun sukarnya penyusunan rencana ini, hanya dengan cara
inilah tujuan kegiatan tersebut dapat dicapai, tanpa atau dengan benturan yang minimal. Di
dalam perencanaan yang demikian, berbagai aspek yang mempengaruhi pengelolaan DAS
seperti sifat tanah, karakteristik hidrologi DAS, potensi yang dapat dikembangkan guna
memberikan kontribusi di bidang: pangan, industri , pertambangan, penyediaaan air untuk
irigasi, industri dan air minum, maupun kemungkinan terjadinya banjir, erosi, sedimentasi
dan lainnya, harus diperhitungkan. Demikian pula dengan faktor sosial ekonomi seperti
kependudukan, tingkat pendapatan, pemasaran hasil, kelembagaan, pelayanan di bidang
pendidikan dan sebagainya juga perlu diperhatikan.
Perencanaan pengembangan DAS terpadu tersebut harus dilakukan secara interdisipliner
sehingga semua stakeholders menyadari atau mengetahui apa yang harus dilakukan di setiap
bagian di dalam DAS tersebut agar kelestarian sumber daya lahan dan air dapat terjamin.
Berbagai model sudah tersedia dan dapat dipakai dalam membuat perencanaan terpadu
tersebut. Setelah perencanaan secara menyeluruh dilakukan maka aktivitas pengembangan
dapat dilakukan oleh setiap stakeholders sesuai bidang, sektor, atau profesinya.
Daftar Pustaka
Badrudin M. 1978. Tingkat Erosi Beberapa Wilayah Sungai di ndonesia. Direktorat
Penyediaan Masalah Air.
Gill, N. 1979. Watershed Development with Special Reference to Soil and Water
Conservation. FAO. Soil. Bull. No. 44.
Rauschkolb, R.S. 1971. Land Degradation. FAO Soil Bull, No. 13
Sihite, J. and Sinukaban. 2004. Economic Valuation of Land Use Cange in Besai Sub
Watershed Tulang Bawang Lampung. Proceed of International Seminar on “Toward
Harmonization between Development and Environmental Conservation in Biological
Production” 3 – 5 Dec 2004. Cilegon, Indonesia.
Sinukaban, N. 1981. Erosion Selectivity as Affected by Tillage Planting System. Ph.D Thesis
University of Winconsin, Madison, USA.
Sinukaban, N. 1994. Integrated Land Managementfor Sustainable Agriculture Development
in Indonesia. Contour Vol. VI no. 1.
Sinukaban, N., H. Pawitan, S. Arsyad. J.L. Amstrong and MG Nethery, 1994. Effect of Soil
Conservation Practices and Slope Lengths on Run Off, Soil Loss and Yield of Vegetables in
West Java. Aust, J. Soil and Water Cons. 7(3): 25-29.
Sinukaban, N., H. Pawitan, S. Arsyad. and J. Amstrong. 1998. Impact of soil and Water
Conservation Practiceson Stream Flows in Citere Catchment, West Java, Indonesia. Toward
Sustainable Land Use. Advances in Geoecology 31:1275-1280
Sudirman, N. Sinukaban, Suwardjo dan S. Arsyad. 1985. Pengaruh Tingkat Erosi dan
Pengapurn terhadap Produktivitas Tanah. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk (6)9-14.
Swaify, El. S.A, S. Arsyad, dan P. Krisnalajati. 1983. Soil erosion by Water. Dalam Carpenter
R.A. (Ed). 1983. Natural system for Development What Planners Need To Know, Mc,
millan, Publ, Co:19-161
WASWC (World Association of soil dan eater Conservation). 1998. Wocat (World Overview
of Conervation Approachs and Technologies). A Frame Work for the Evaluation of Soil and
water Conservation. Lang Druck AG, Bern Switzerland.
Sumber: Naik Sinukaban (2007). “Peranan Konservasi Tanah dan Air dalam Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai.” Dalam Fahmudin Agus et al (2007) (Penyunting). “Bunga
Rampai Konservasi Tanah dan Air. Jakarta: Pengurus Pusat Masyarakat Konservasi
Tanah dan Air Indonesia 2004-2007.
Pembangunan Daerah Berbasis Strategi
Pengelolaan DAS
Oleh : NAIK SINUKABAN
Sumber: http://muhtadi71.wordpress.com/2008/
Otonomi daerah (OTDA) yang secara universal dikenal sebagai desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah (UU
Otonomi Daerah,1999). Desentralisasi secara efektif dan menyeluruh telah dilaksanakan di
Indonesia sejak 1 Januari 2001 dengan dasar hukum pokok yaitu Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Dalam Undang-undang tersebut desentralisasi
menyangkut penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah (pusat) kepada daerah
otonom yang berada pada tingkat di bawahnya. Namun prinsip desentralisasi bukan hanya
mengenai penyerahan wewenang pemerintahan, tetapi yang lebih penting lagi adalah transfer
proses pengambilan keputusan (transfer of decision-making process) dari otoritas pusat
kepada otoritas tingkat daerah yang paling dekat dengan masyarakat dalam merencanakan
dan melaksanakan kegiatan pembangunan.
Pelaksanaan otonomi daerah (OTDA) yang luas dan utuh di Indonesia ditempatkan pada
daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan OTDA di propinsi merupakan otonom yang
terbatas. Penerapan desentralisasi merupakan respon atas gagalnya sistem pembangunan
nasional yang sentralistik dan keinginan berbagai daerah untuk mendapatkan manfaat dan
rasa keadilan dalam alokasi hasil pengelolaan sumberdaya alam. Sistem sentralistik yang
diterapkan di Indonesia selama masa orde baru telah berakhir dengan kondisi antiklimaks dari
pelaksanaan pembangunan jangka panjang yang ditandai oleh terjadinya krisis ekonomi,
sosial, dan politik. Era sentralisasi ekonomi dan pemerintahan yang diterapkan secara
nasional oleh pemerintahan orde baru selama 32 tahun (1966-1998) telah banyak menguras
sumberdaya alam (SDA) lokal dan mengalirkan keuntungan ekonomi yang diperoleh ke pusat
pemerintahan dan bisnis di Jakarta sehingga menimbulkan ketimpangan ekonomi dan sosial
di daerah. Indikator hasil pengurasan SDA secara sentralistik di Indonesia ditunjukkan
dengan terjadinya kesenjangan ekonomi antara daerah dan pusat, tingginya tingkat
kemiskinan di daerah, kerusakan lingkungan hidup di daerah , dan lemahnya kelembagaan di
daerah.
Munculnya era reformasi menggantikan orde baru menguatkan tuntutan daerah untuk
mendapatkan kewenangan yang luas dalam pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan
sumberdaya nasional serta perimbangan keuangan pusat dan daerah secara berkeadilan.
Pembangunan Dalam Era Otonomi Daerah
Desentralisasi mengasumsikan bahwa dengan semakin pendeknya rentang birokrasi,
pembangunan dapat dijalankan lebih terfokus dan tepat sesuai dengan aspirasi dan
perkembangan masyarakat serta dinamika pembangunan .
Pelaksanaan OTDA dalam pembangunan daerah diharapkan dapat mendorong pemberdayaan
masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat,
dan mengembangkan fungsi dan peran kelembagaan (legislatif) di daerah.
Desentralisasi sebagai instrumen kebijakan pembangunan merupakan kebalikan sistem
sentralistik. Suatu alat atau instrumen bisa sesuai atau bisa pula tidak sesuai dalam
penggunaanya untuk mencapai tujuan. Stockmayer (1999) menyatakan bahwa desentralisasi
dapat lebih mendekatkan peranan (pelayanan) pemerintah terhadap masyarakat, terutama
yang menyangkut efisiensi pelaksanaan pembangunan. Sesungguhnya desentralisasi
menyangkut masalah ekonomi secara keseluruhan, terutama yang menyangkut distribusi hasil
pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) yang lebih merata dan dinikmati lebih besar oleh
masyarakat di daerah. Beberapa peran dan manfaat yang diharapkan dari penerapan
desentralisasi antara lain adalah: (a) mempercepat terselenggaranya pelayanan publik dan
pengadaan fasilitas kepada masyarakat, sehingga mempercepat pertumbuhan ekonomi
daerah, (b) alokasi dan distribusi hasil pemanfaatan sumberdaya alam lebih adil dan merata,
(c) membuka peluang berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah
yang lebih merata, (d) meningkatkan peran pemerintah daerah dan masyarakat dalam
pemanfaatan sumberdaya alam secara lebih efisien, efektif, dan sesuai dengan dinamika
masyarakat di daerah, dan (e) menempatkan posisi pengambil kebijakan lebih dekat dengan
kepentingan masyarakat.
Implementasi Otonomi Daerah Dalam Pembangunan
Namun dalam perkembangan pelaksanaan OTDA, telah teridentifikasi beberapa hal yang
berpotensi menimbulkan masalah atau konflik antara lain : (a) adanya daerah miskin dan
kaya sebagai konsekuensi tidak meratanya distribusi sumberdaya alam (SDA) dan
kesenjangan tingkat kemampuan sumberdaya manusia, (b) adanya perbedaan kepentingan
antar daerah dalam pemanfaatan SDA yang dapat memicu timbulnya konflik antar daerah
otonom yang berdekatan, dan (c) keberhasilan pelaksanaan otonomi tidak diukur dengan
prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development), sehingga OTDA
mengeksploitasi SDA secara besar-besaran untuk meningkatkan pendapatan asli daerah
(PAD).
Daerah otonom dengan kewenangan yang diberikan sesungguhnya memiliki tanggung-jawab
yang lebih besar dalam menjamin keberhasilan kinerja pembangunan di daerah. Kinerja
pembangunan pada umumnya dipengaruhi oleh empat faktor penentu, yaitu sumberdaya alam
(natural capital), sumberdaya manusia (human capital), sumberdaya buatan manusia (man
made capital), dan kelembagaan formal maupun informal masyarakat (social capital)
(Kartodihardjo, 1999). Oleh sebab itu pemahaman OTDA tidak boleh parsial, tetapi harus
menyeluruh dan komprehensif di dalam kerangka pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) yang menjamin pemanfaatan sumberdaya alam secara bertanggung jawab
dengan memperhatikan kelestarian fungsi ekologis, ekonomis, dan sosial budaya. Namun hal
itu tidak terjadi diseluruh OTDA. Beberapa pemerintah daerah tidak memahami prinsip
pembangunan berkelanjutan dalam pelaksanaan OTDA sehingga mereka memprioritaskan
pemanfaatan sumberdaya alam sebagai modal utama untuk membiayai pembangunan daerah.
Upaya eksploitasi SDA secara besar-besaran di beberapa daerah untuk mengejar target
pendapatan asli daerah (PAD) disinyalir telah meningkatkan laju kerusakan SDA. Banyak
pelaku pembangunan di daerah mengejar PAD sebesar-besarnya sebagai indikator
keberhasilan pelaksanaan OTDA yang akhirnya berdampak pada penurunan kualitas
lingkungan. Dampak kerusakan lingkungan tidak hanya terjadi pada daerah setempat (on-site
effects) seperti longsor dan erosi tanah tetapi juga di luar daerah setempat (off-site effects)
seperti banjir dan sedimentasi. Fenomena degradasi lingkungan seperti banjir, erosi, longsor,
sedimentasi dimusim hujan serta kekeringan dimusim kemarau itu sudah terjadi dengan
frekuensi yang semakin sering dan intensitas yang semakin parah.
Hal ini akan mengakibatkan produktivitas pertanian semakin menurun, biaya pengelolaan
lingkungan semakin tinggi, dan petani miskin menjadi semakin miskin
Pembangunan Daerah dan Pengelolaan DAS
Konsekuensi dari pelaksanaan OTDA juga berpengaruh terhadap kinerja pengelolaan daerah
aliran sungai (DAS). Batas daerah otonom (Kabupaten/Kota/Propinsi) secara umum tidak
berimpit dengan batas DAS. Suatu DAS dibatasi oleh topografi alami berupa punggungpunggung bukit/gunung, dimana presipitasi yang jatuh di atasnya mengalir melalui titik
keluar tertentu (outlet) yang akhirnya bermuara ke danau atau laut. Wilayah DAS terdiri dari
komponen sumberdaya biotik, abiotik, dan lingkungan lainnya yang saling berinteraksi
membentuk suatu sistem.
Suatu kegiatan dibagian hulu DAS akan berpengaruh pada daerah dibagian hilir. Dengan
demikian DAS menjadi integrator beragam interaksi komponen ekosistem, sehingga batas
DAS sering dijadikan patokan batas bioregion. Batas bioregion dalam pembagunan daerah
menjadi sangat penting dalam pembangunan berkelanjutan yang menjamin keseimbangan
fungsi ekologis dan ekonomi. Sungai, pada umumnya berada di tengah DAS, sering dijadikan
batas terluar dari batas administratif daerah otonom. Oleh karena itu batas DAS akan bersifat
lintas lokal melampaui batas-batas kekuasaan politis dan administrasi, sehingga masalah
DAS pada umumnya menyangkut beberapa kabupaten dalam satu atau lebih propinsi.
Pengaturan dan pengelolaan SDA dalam DAS dirasakan semakin kompleks dalam era OTDA
dan berpotensi menimbulkan konflik antar daerah otonom. Oleh karena itu strategi atau
konsep pengelolaan DAS dalam era otonomi daerah sangat diperlukan untuk menghindari
konflik dan degradasi SDA dan lingkungan.
Masalah pengelolaan DAS dalam kaitannya dengan OTDA sebaiknya tidak diletakkan dalam
perspektif perbedaan antara batas ekologis DAS dengan batas administrasi daerah otonom
secara kaku. Oleh sebab itu DAS harus dipandang sebagai suatu kesatuan bio-region yang
mungkin terdiri dari beberapa daerah otonom yang secara ekologis dan ekonomi saling
berkaitan. Selanjutnya OTDA dijadikan alat untuk mencapai tujuan pemanfaatan potensi
SDA berkelanjutan dan bukan merupakan tujuan. Pandangan ini sejalan dengan Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang:
bahwa pengelolaan sumberdaya alam yang beraneka ragam perlu dilakukan secara
terkoordinasi dan terpadu dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan dalam pola
pembangunan yang berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan
tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan
hidup.
Wilayah DAS sebagai kesatuan bio-region harus dipahami secara holistik dan komprehensif
oleh penyelenggara daerah otonom. Prinsip dasar dari DAS sebagai bio-region adalah
keterkaitan berbagai komponen dalam DAS secara spasial (ruang), fungsional, dan temporal
(waktu). Perubahan salah satu bagian dari bio-region atau DAS akan mempengaruhi bagian
lainnya, sehingga dampak dari perubahan bagian bio-region atau DAS tersebut tidak hanya
akan dirasakan oleh bagian itu sendiri (on site) tetapi juga bagian luarnya (off site). Rusaknya
hutan di bagian hulu akan menimbulkan banjir, erosi, sedimentasi, dan penurunan kualitas air
di bagian hilirnya.
Ketidakpahaman atas implementasi prinsip keterkaitan SDA dalam bio-region atau DAS
dapat menimbulkan konflik antar daerah/regional, terutama yang menyangkut alokasi dan
distribusi sumberdaya. Semakin terbatas suatu SDA dibandingkan dengan permintaan
masyarakat, maka kompetisi untuk memperoleh SDA tersebut semakin tinggi dan peluang
terjadinya konflik makin besar. Hal ini jelas terlihat pada konflik pemanfaatan sumber daya
air, hutan, dan lahan.
Konflik yang terjadi dalam masyarakat selalu menimbulkan dampak negatif dalam
pembangunan, dimana pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan menjadi tidak
terjamin atau bahkan hancur. Oleh karena itu implementasi pengelolaan DAS dalam
pelaksanaan OTDA tidak boleh mengandung potensi konflik antar wilayah.
Strategi Pengelolaan DAS Lintas Daerah
Penggunaan SDA yang meliputi beberapa wilayah perlu diatur oleh strategi pengelolaan DAS
secara terpadu, menyeluruh, fleksibel, efisien, dan berkeadilan dalam kerangka pembangunan
berkelanjutan. Dari uraian diatas terlihat bahwa kapasitas untuk mengelola SDA atau DAS
secara berkelanjutan masih sangat lemah . Untuk itu diperlukan kegiatan peningkatan
kapasitas (Capacity building) yang sistematis secara terus menerus. Strategi yang dapat
ditempuh dalam peningkatan kapasitas dan untuk menghindari terjadinya konflik antarwilayah adalah :
1. Membangun kesepahaman dan kesepakatan antar daerah otonom dalam pengelolaan
DAS lintas regional
2. Membangun sistem legislasi yang kuat
3. Meningkatkan peranan institusi (kelembagaan) dalam Pengelolaan DAS
4. Meningkatkan kemampuan SDM dalam pengelolaan SDA
Membangun Kesepahaman dan Kesepakatan Masing-masing daerah otonom perlu
memahami mekanisme hidrologis yang berjalan secara alami dalam penggunaan SDA lintas
regional.
Mekanisme
hidrologis
menekankan
adanya
karakteristik
ketergantungan/interdependensi (interdependency) antar spasial.Sebagai contoh terjadi
penurunan penutupan lahan di bagian hulu DAS dapat mengakibatkan terjadinya banjir saat
musim hujan di bagian hilir, dan meningkatnya buangan limbah di bagian hulu dapat
menurunkan kualitas air aliran sungai di hilirnya.
Masalah ketidakmerataan dan ketidak efisienan penggunaan alokasi SDA yang mencakup
kuantitas dan kualitasnya sering memicu timbulnya konflik antar daerah. Daerah yang
memiliki sumberdaya lebih dan cenderung menguasainya secara eksklusif akan mengancam
daerah-daerah lainnya sepanjang DAS. Penguasaan secara eksklusif bersifat kaku akan
memicu terjadinya inefisiensi sumberdaya dan meningkatkan biaya pemakaian sumberdaya
serta memicu konflik.
Beragam aktifitas pembangunan yang dilakukan sepanjang DAS selalu saling terkait,
sehingga untuk menghindari terjadinya konflik dalam pemanfaatan SDA perlu dibangun
kesepakatan antar daerah otonom. Dasar kesepakatan adalah komitmen bersama untuk
membangun sistem pengelolaan DAS yang berkelanjutan yang melandaskan setiap strategi
pada upaya untuk mencapai keseimbangan dan keserasian antara kepentingan ekonomi,
ekologis, dan sosial budaya. Komitmen bersama antar daerah otonom adalah strategi awal
yang perlu dilakukan untuk menyusun langkah-langkah pengelolaan DAS. Salah satu faktor
dari ketidakberhasilan pengelolaan DAS selama ini adalah tidak dibangunnya komitmen
bersama antar daerah secara baik. Wujud dari komitmen bersama adalah munculnya perhatian
dan tanggung-jawab bersama terhadap kelestarian SDA pada setiap unit kegiatan
pembangunan di daerah masing-masing.
Proses untuk mencapai komitmen bersama dapat ditempuh dengan melakukan negosiasi
politik antar daerah yang didasarkan pada adanya kepentingan bersama dalam memanfaatkan
SDA, sehingga alokasi dan distribusi SDA dapat ditetapkan secara adil.
Kerjasama antar daerah otonom dapat diwujudkan dengan membentuk Badan Kerjasama
antar Daerah (Pasal 87 ayat 2, UU No. 22/1999). Keputusan bersama yang membebani
masyarakat dan Daerah harus mendapat persetujuan DPRD masing-masing. Jika
Kabupaten/Kota tidak dapat melaksanakan kerjasama antar daerah, maka kewenangan
penyediaan pelayanan lintas kabupaten/kota dilaksanakan oleh Propinsi. Apabila kerjasama
antar Propinsi diperlukan maka kerjasama tersebut harus dibawah koordinasi pemerintah
pusat. Kewenangan propinsi juga mencakup kewenangan yang tidak dilaksanakan oleh
Kabupaten/Kota karena dalam pelaksanaannya dapat merugikan Kabupaten/Kota masingmasing. Jika pelaksanaan kewenangan Kabupaten/Kota dapat menimbulkan konflik
kepentingan antar Kabupaten/Kota, maka Kabupaten dan Kota dapat membuat kesepakatan
agar kewenangan tersebut dilaksanakan oleh Propinsi.
Membangun Sistem Legislasi yang Kuat
Kebijakan publik dalam aspek pengelolaan sumberdaya alam akan memiliki kekuatan untuk
mengendalikan perilaku masyarakat (publik) apabila dikukuhkan oleh sistem legal (hukum)
yang memadai. Legislasi dalam pengelolaan DAS sangat diperlukan terutama dalam
merancang dan mendukung pelaksanaan kebijakan pengelolaan DAS. Beberapa peran
legislasi dalam menjamin pelaksanaan pengelolaan DAS yang baik adalah :
Adanya Undang-undang, keputusan presiden, atau produk hukum lainnya yang dapat
dijadikan dasar untuk membentuk institusi dan perangkat organisasi yang dibutuhkan dalam
mengimplementasikan pengelolaan DAS berkelanjutan.
Untuk melegalisasi mandat yang diterima oleh institusi yang dibentuk dan menjamin sahnya
alokasi
anggaran
rutin
yang
diberikan
oleh
pemerintah
Untuk mengurangi aktivitas yang menimbulkan kerusakan lingkungan dalam DAS dan
“memaksa” publik untuk mentaati prinsip-prinsip pengelolaan DAS berkelanjutan.Legislasi
lingkungan dapat mengatur perilaku manusia dalam hubungannya dengan alokasi dan
pemanfaatan sumberdaya alam, seperti lahan, air, udara, mineral, hutan dan lanskap alam.
Perilaku manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam diberi pedoman agar tidak
menimbulkan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan.Legislasi memberikan kekuatan
(power) dan kewenangan (authorities) kepada pemerintah atau lembaga yang ditunjuk
berdasarkan undang-undang untuk melakukan pengaturan, penguasaan, pengusahaan,
pemeliharaan, perlindungan, rehabilitasi, pemberian sanksi, penyelesaian konflik dan
sebagainya, dalam mengatur hubungan manusia dengan sumberdaya alam dan lingkungan
untuk mewujudkan tujuan pengelolaan sumberdaya alam yang dikehendaki (sustainable
natural resources development) Produk legal harus menempatkan prinsip keadilan dan
kemanfaatan sebagai pertimbangan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan DAS.
Meningkatkan Peranan Institusi Pengelolaan DAS.
Institusi atau kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, dan abstrak yang
mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan dan kebiasaan yang tidak terlepas dari
lingkungan. Institusi mengatur apa yang dilarang untuk dikerjakan oleh individu atau dalam
kondisi bagaimana individu dapat mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu, institusi adalah
instrumen yang mengatur antar individu (Kartodihardjo, et.al, 2000).
Institusi juga berarti seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, dimana masyarakat
tersebut telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, bentuk-bentuk aktifitas
yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang
telah diberikan, serta tanggung-jawab yang harus mereka lakukan. Hak-hak tersebut
mengatur hubungan antar individu dan/atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan
pemanfaatan sumberdaya alam tertentu (Schmid, 1987 dalam Kartodihardjo, 2000). Di
Amerika Serikat dikenal adanya riparian right dan appropriation-rights dalam pengelolaan
sumberdaya air.
Institusi sebagai modal dasar masyarakat (social capital) dapat dipandang sebagai aset
produktif yang mendorong anggotanya untuk bekerjasama menurut aturan perilaku tertentu
yang disetujui bersama untuk meningkatkan produktifitas anggotanya secara keseluruhan.
Ikatan institusi masyarakat yang rusak secara langsung akan menurunkan produktifitas
masyarakat dan menjadi faktor pendorong percepatan eksploitasi sumberdaya alam
disekitarnya (Kartodihardjo, et. al, 2000).
Perwujudan institusi masyarakat dapat diidentifikasi melalui sifat-sifat kepemilikan (property
rights) sumberdaya, batas-batas kewenangan (jurisdiction boundary) masyarakat dalam
memanfaatkan sumberdaya, dan aturan-aturan perwakilan (rules of representation) dalam
memanfaatkan sumberdaya, apakah ditetapkan secara individu atau kelompok. Instansi
pemerintah merupakan institusi formal yang menjadi agen pembangunan dan berperan sentral
dalam menentukan perubahan-perubahan yang diinginkan. Kinerja institusi sangat tergantung
dari kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya.
Penguatan institusi dalam pengelolaan DAS dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan
pengelolaan DAS. Kondisi institusi yang kuat merupakan prasyarat penyelenggaraan
pengelolaan DAS yang baik. Kinerja institusi pengelolaan DAS di Indonesia relatif tertinggal
dibandingkan dengan Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, bahkan Thailand.
Ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang masih tinggi dan kurangnya kepedulian
masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan merupakan indikator
lemahnya institusi pengelolaan DAS di Indonesia. Institusi pengelolaan DAS yang ada di
Indonesia belum memiliki peranan yang kuat terhadap peningkatan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat dalam DAS. Pengembangan kelembagaan masih bersifat
keproyekan, sehingga intervensi penguatan institusi hanya berjalan selama proyek masih ada.
Instansi pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan DAS di Indonesia sebagai institusi
formal cukup beragam. Kendala yang sering dihadapi antara lain adalah masalah koordinasi
program; seringkali program yang sama atau mirip diusulkan oleh instansi yang berbeda.
Duplikasi program akan menyebabkan ketidak efisienan anggaran berupa pemborosan dan
mark-up, ketidaksinambungan pembinaan program, serta ketidakjelasan rentang kewenangan
pengelolaan DAS. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengelolaan DAS di Indonesia belum
menerapkan prinsip strategi satu perencanaan (one plan strategy) dengan baik, sehingga
tingkat keberhasilan program pengelolaan DAS masih rendah. Prinsip one river, one plan
belum di implementasikan secara menyeluruh.
Meningkatkan Kualitas SDM
Kualitas sumberdaya manusia untuk pengelolaan SDA secara umum masih rendah dan
terdapat kesenjangan diseluruh daerah otonom. Kemampuan petani, perencana pengelolaan
DAS, pejabat yang melaksanakan pengelolaan DAS masih sangat rendah untuk mengelola
SDA secara berkelanjutan dan menerapkan prinsip one river one plan.
Petani tidak mempunyai cukup pengetahuan tentang tindakan tepat apa yang harus dia
lakukan didalam usahataninya agar tidak terjadi degradasi lahan yang dapat menurunkan
produktivitas lahannya. Penyuluh pertanianpun tidak dibekali pengetahuan dan pedoman
yang memadai untuk membimbing petani dalam memilih dan menerapkan agroteknologi atau
teknik-teknik konservasi yang memadai. Pejabat yang berwewenang menentukan kebijakan
pun tidak punya pemikiran dan konsep yang menyeluruh (holistic) untuk mengelola SDA
secara berkelanjutan dalam suatu DAS. Pejabat didaerah hilir hanya mau mempertimbangkan
teknologi yang diperlukan untuk mencegah banjir didaerahnya, walaupun ada teknologi
pencegahan banjir yang lebih efektif dan berkelanjutan melalui pengelolaan DAS dibagian
hulu/ diluar daerahnya. Padahal kalau teknologi pengelolaan DAS yang dilaksanakan
dibagian hulu, maka selain banjir dapat dicegah/ dikurangi, kekeringan dimusim kemaraupun
dapat diatasi.
Oleh sebab itu diperlukan program pelatihan yang sistematis secara terus menerus untuk
meningkatkan kapasitas individu/ SDM dalam pengelolaan SDA agar prinsip pembangunan
berkelanjutan terlaksana diseluruh DAS dan daerah otonom.
Kesimpulan
Pelaksanaan pembangunan daerah dalam era otonomi daerah berpengaruh terhadap
pengelolaan DAS. Karakteristik SDA yang bersifat lintas daerah /lokal melewati batas
kekuasaan politis dan administratif berpotensi menimbulkan konflik antar daerah otonom.
Potensi konflik antar daerah banyak terkait dengan alokasi dan penggunaan SDA yang
menyangkut aspek ketidakluwesan (inflexible), ketidakefisienan (inefficient), ketidakadilan
(inequitable). Disamping itu persepsi keberhasilan suatu daerah otonom adalah jumlah PAD
mengakibatkan terjadinya pemanfaatan SDA secara berlebihan yang akhirnya menimbulkan
degradasi SDA yang ditandai oleh banjir, longsor, sedimentasi dan kekeringan yang semakin
sering dan parah.
Strategi pengelolaan DAS dalam era otonomi daerah harus dilakukan melalui peningkatan
kapasitas (capacity building) daerah yang meliputi : (a) membangun kesepahaman dan
kesepakatan antar daerah otonom dalam pengelolaan SDA; (b) membangun sistem legislasi
yang kuat; dan (c) meningkatkan peranan institusi (kelembagaan) dalam pengelolaan SDA
dan (d) meningkatkan kapasitas SDM melalui pelatihan (training).
DAFTAR PUSTAKA
Kartodihardjo, H. 1999. Analisis Kelembagaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai : Konsep,
Paradox, dan Masalah, serta Upaya Peningkatan Kinerja. Makalah Lokakarya Nasional
Kebijaksanaan Pengelolaan DAS. Sekretariat Tim Pengendali Bantuan Penghijauan dan
Reboisasi Pusat. Bogor, 18 Februari 1999.
Kartodihardjo, H, K. Murtilaksono, H.S. Pasaribu, U. Sudadi, dan N. Nuryantono. 2000.
Kajian Institusi Pengelolaan DAS dan Konservasi Tanah. K3SB Bogor.
UU Otonomi Daerah, 1999. Undang-undang Otonomi Daerah UU No. 22. 1999 tentang
Pemerintah Daerah; UU No 25 Thn. 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah; UU No 28 Thn 1999, tentang penyelenggara yang bersih dan bebas dari
KKN.
Stockmayer, A. 1999. Decentralization : Global Fad or Recipe for Sustainable Local
Development Agriculture + Development Vol (6) : 1
SISTEM EKOLOGI DAN MANAJEMEN
DAERAH ALIRAN SUNGAI
Tejowulan, R.S. dan Suwardji
Pusat Pengkajian Lahan Kering dan Rehabilitasi Lahan (P2LKRL), Fakultas Pertanian
Universitas Mataram
ABSTRAK
Daerah Aliran Sungai atau DAS adalah hamparan pada permukaan bumi yang dibatasi oleh
punggungan perbukitan atau pegunungan di hulu sungai ke arah lembah di hilir. DAS oleh
karenanya merupakan satu kesatuan sumberdaya darat tempat manusia beraktivitas untuk
mendapatkan manfaat darinya. Agar manfaat DAS dapat diperoleh secara optimal dan
berkelanjutan maka pengelolaan DAS harus direncanakan dan dilaksanakan dengan sebaikbaiknya. Makalah ini secara singkat menyajikan pokok-pokok pikiran tentang sistim ekologi
dan filosofi DAS untuk mencapai pengelolaan DAS yang berkelanjutan dan menguntungkan.
PENDAHULUAN
Pengertian daerah aliran sungai (DAS) adalah keseluruhan daerah kuasa (regime) sungai
yang menjadi alur pengatus (drainage) utama. Pengertian DAS sepadan dengan istilah dalam
bahasa inggris drainage basin, drainage area, atau river basin. Sehingga batas DAS
merupakan garis bayangan sepanjang punggung pegunungan atau tebing/bukit yang
memisahkan sistim aliran yang satu dari yang lainnya. Dari pengertian ini suatu DAS terdiri
atas dua bagian utama daerah tadah (catchment area) yang membentuk daerah hulu dan
daerah penyaluran air yang berada di bawah daerah tadah.
Dalam pengelolaannya, DAS hendaknya dipandang sebagai suatu kesatuan sumberdaya
darat. Sehingga pengelolaan DAS yang bijak hendaklah didasarkan pada hubungan antara
kebutuhan manusia dan ketersediaan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan manusia
tersebut.
Pengelolan sumberdaya biasanya sudah menjadi keharusan manakala sumberdaya tersebut
tidak lagi mencukupi kebutuhan manusia maupun ketersediaannya melimpah. Pada kondisi
dimana sumberdaya tidak mencukupi kebutuhan manusia pengelolaan DAS dimaksudkan
untuk mendapatkan manfaat sebaik-baiknya dari segi ukuran fisik, teknik, ekonomi, sosial
budaya maupun keamanan-kemantapan nasional. Sedangkan pada kondisi dimana
sumberdaya DAS melimpah, pengelolaan dimaksudkan untuk mencegah pemborosan.
Dalam makalah ini akan dibahas (1) Pengertian DAS dan DAS sebagai Sistem Ekologi, (2)
Hakekat DAS sebagai dasar dalam pengelolaannya, (3) Hakekat DAS sebagai dasar dalam
pengelolaannya, (4) Dasar-dasar pengelolaan DAS, dan (5) Data dasar yang diperlukan untuk
merencanakan pengelolaan DAS.
PENGERTIAN DAS DAN DAS SEBAGAI SISTIM EKOLOGI
Banyak definisi tentang sumberdaya (resource) seperti obtainable reserve supply of desirable
thing (suatu persediaan barang yang diperlukan, berupa suatu cadangan yang dapat diperoleh)
(Menard,1974). Pengetian sumberdaya selalu menyangkut manusia dan kebutuhannya serta
usaha atau biaya untuk memperolehnya. Oleh karena berkaitan dengan kebutuhan manusia,
maka sumberdaya mempunyai arti nisbi (relative).
Atas dasar kehadirannya, sumberdaya dapat dipilahkan ke dalam dua kelompok (1)
sumberdaya alam dan (2) sumberdaya buatan manusia. Ada juga yang menggolongkan
sumberdaya atas dasar kemantapannya terhadap kegiatan manusia : (1) sumberdaya yang
sangat mantap, (2) sumberdaya yang cukup mantap dan (3) sumberdaya yang tidak mantap.
Suatu sumberdaya tertentu dapat mempunyai nilai kemantapan beragam, tergantung dari
gatranya yang diperhatikan. Misalnya, tanah sebagai tubuh alam mempuyai nilai kemantapan
daripada kesuburannya. Mutu air jauh lebih mudah goyah daripada jumlahnya. Manusia
secara jelas tidak dapat mengubah volume udara dalam atmosfer akan tetapi dia secara nisbi
mudah mencemarkannya.
Selain itu, ada yang menggolongkan sumberdaya atas kemampuannya untuk memperbaiki
diri (self restoring). Dalam hal ini sumberdaya dibagi ke dalam dua kategori: (1) terbarukan
(renewable), seperti udara, air tanah, hutan dan ikan. Memang ditinjau secara local atau
setempat, air tanah, hutan, dan ikan dapat menyusut atau habis. Akan tetapi secara
keseluruhan, mereka itu tidak akan habis selama faktor-faktor pembentuknya masih tetap
berfungsi. Bahkan yang habis di suatu tempat akan dapat timbul kembali jika diberi
kesempatan cukup. (2) Tak-terbarukan (non-renewable), seperti minyak bumi, panas dan
cebakan mineral.
DAS merupakan gabungan sejumlah sumberdaya darat, yang saling berkaitan dalam suatu
hubungan interaksi atau saling tukar (interchange). DAS dapat disebut suatu sistem dan tiaptiap sumberdaya penyusunnya menjadi anak-sistemnya (subsystem) atau anasirnya
(component). Kalau kita menerima DAS sebagai suatu sistem maka ini berarti, bahwa sifat
dan kelakuan DAS ditentukan bersama oleh sifat dan kelakuan semua anasirnya secara
terpadu (integrated). Arti “terpadu” di sini ialah bahwa keadaan suatu anasir ditentukan oleh
dan menentukan keadaan anasir-anasir yang lain.
Yang dinamakan “sistem” ialah suatu perangkat rumit yang terdiri atas anasir-anasir yang
saling berhubungan di dalam suatu kerangka otonom, sehingga berkelakuan sebagai suatu
keseluruhan dalam menghadapi dan menanggapi rangsangan pada bagian manapun (Dent
dkk. 1979; Spedding, 1979). Disamping memiliki ciri penting berupa “organisasi dalam“
(internal organization), atau disebut pula dengan “struktur fungsi“ (fungtional structure),
suatu sistem dipisahkan “batas system“ dari sistem yang lain. Batas ini memisahkan sis