Pendidikan dalam Perspektif Budaya. pdf

1

HUBUNGAN BUDAYA DAN PENDIDIKAN
Oleh: Djamaluddin Perawironegoro

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Budaya sebagaimana didefinisikan oleh para antropolog adalah segala
sesuatu yang membedakan manusia (sebagai kelompok) dengan spesies-spesies
lainnya.1
Edward B. Tylor mendefinisikan budaya semisal dengan peradaban yang
bararti suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni,
moral, hukum, adat-istiadat, serta kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lainnya
yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.2
Diungkapkan oleh Tilaar bahwa para ahli antropologi pendidikan seperti
Theodore Brameld melihat keterkaitan yang sangat erat antara pendidikan,
masyarakat, dan kebudayaan.3
Menurut Ki Hajar Dewantara, dalam suatu Kongres Pendidikan Antar
Indonesia pada tahun 1949, beliau mengatakan antara lain bahwa pendidikan dan
pengajaran adalah usaha kebudayaan semata-mata, bahwa perguruan itu ialah
taman persemaian benih-benih kebudayaan bagi suatu bangasa.4

Pendidikan tidak dapat terlepas dari kebudayaan dan hanya dapat
terlaksana dalam suatu masyarakat. Pendidikan dapat dikatakan sebagai proses
pembudayaan, mengingat bahwa dalam kebudayaan terdapat proses penanaman
nilai-nilai kehidupan yang dipegang teguh peserta didik untuk menentukan
kualitas kehidupannya.
Dalam kaitannya antara pendidikan dan pembudayaan maka kajian ini
adalah suatu usaha untuk mencari landasan pada proses pembudayaan yang

1

Kusdi, Budaya Organisasi: Teori, Penelitian dan Praktek, Cet. Pertama, (Jakarta, Salemba
Empat, 2011). hlm. 9
2
H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategri Reformasi
Pendidikan Nasional, (Bandung: P.T Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 39
3
H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: hlm. 7
4
H.A.RTilaar, Pendidikan, Kebudayan, dan Masyarakat Madani Indonesia, hlm 56


1

2

terdapat dalam Surah Ali Imron ayat 112. Sehingga kajian ini mendapatkan
pemahaman mengenai hakikat kebudayaan dalam perspektif Al-Qur‟an.
2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut dirumuskan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah para mufassir menjelaskan kata “tsuqifuu”surah Ali Imron
ayat 112?
b. Apa hakikat “tsaqafa” dalam surah Ali Imron ayat 112?
c. Adakah keterkaitan antara surah Ali Imron dengan ayat-ayat lain mengenai
pembudayaan dan pendidikan?

3. Tujuan Pembahasan
Dengan rumusan masalah sebagaimana disebutkan, maka tujuan
pembahasan dalam makalah ini adalah:
a. Untuk mengetahui tafsir dari surah Ali Imron ayat 112
b. Untuk mengetahui maksud dari “tsaqafa” dalam surah Ali Imron ayat 112
c. Untuk mengetahui keterkaitan antara surah Ali Imron ayat 112 dengan

ayat-ayat yang lain dalam proses pembudayaan dan pendidikan.

B. PEMBAHASAN
Allah Swt berfirman dalam surah Ali Imron ayat 112 yang berbunyi:
            
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka
berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia (Q.S.
Ali Imron: 112)
Dalam Shafwatu-t-tafaasir karya Ali Ash-Shabuni, ayat tersebut
menunjukkan perintah Allah Swt kepada Ahli Kitab agar berpegang dengan
agama Allah, dan pada syari‟at yang lurus. Sedangkan kepada orang-orang yang
beriman Allah Swt mengajak untuk melakukan kewajiban berda‟wah,
memerintahkan kepada kebaikan, dan mencegah kemunkaran, dan diperintahkan
juga untuk bersatu dan menghindari perbedaan. Sehingga Allah Swt

2

3

mengingatkan apa yang menimpa orang-orang Yahudi dari kehinaan dan

kekerdilan disebabkan kedengkian dan permusuhan.5
Dalam tafsir Jalalain, disebutkan bahwa dimanapun mereka berada maka
tidaklah mereka mendapatkan kemuliaan dan tidak pula pegangan, kecuali jika
mereka berpegang pada agama Allah dan janji atas orang-orang beriman. Yang
demikian itu janji mereka untuk keamanan yaitu dengan membayar jizyah atau
tidak ada bagi mereka perlindungan selain dengan hal tersebut.6
Sedangkan Ibnu Katsir, mentafsirkan ayat tersebut dengan mewajibkan
bagi mereka (Orang-orang Yahudi) kehinaan dan kekerdilan dimanapun mereka
berada dan tidak mendapatkan keamanan, kecuali jika mereka berada pada janji
dari Allah, yaitu ikatan janji bagi mereka dengan membayar jizyah atas diri
mereka, juga kewajiban mereka untuk menjalankan hukum-hukum agama. Dan
keamanan dari mereka untuk mereka, sebagaimana dalam perjanjian-perjanjian
dan tawanan jika mengamankannya salah seorang dari orang-orang Islam,
meskipun perempuan. Disebutkan bahwa Ibnu Abbas, Ikrimah, „Athaa, AdhDhahaak, Al-Hasan, Qatadah, As-Suda, dan Rabi‟ bin Anas, mengartikan “hablun
min Allahi wa hablun min an-Naas” dengan janji dari Allah dan janji dari
manusia.7
Demikian juga Ali Ash-Shabuni yang mentafsirkan ayat tersebut bahwa
bagi mereka kehinaan dan dan kenistaan dimanapun mereka berada , dan meliputi
mereka sebagaimana rumah yang diliputi kehancuran oleh penghuninya, kecuali
jika mereka berpegang pada janji Allah dan Janji orang-orang muslim. AshShabuni juga mengutip pendapat Ibun Abbas.8

Zamakhsyari dalam tafsir Al-Kasysyaaf, mengatakan bahwa “hablun mina
Allahi” adalah suatu kondisi. Dengan kata lain kecuali mereka berpegang teguh
atau berpedoman atau berpegang dengan cinta dari Allah, demikian itu

Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatu-t-Tafaasir: Tafsiiru-l-Qur’an Al-Karim, Juz.1 (Cairo:
Daaru Shabuni li-th-Thiba‟ah Wa-n-Nasyr Wa-t-Tawzi‟, 1997), hlm. 201
6
Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Mahily dan Jalaluddin Abdu Rahman bin Abu Bakar
as-Suyuthi, Tafsir Jalalayn, (Beirut: Daru Shaadir, 2003), hlm. 64
7
Imadu-d-Diin Abi al-Fida Ismail ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adziim. Juz 1.
(Cairo: Al-Maktabah at-Tawfiiqiyah, t.t), hlm. 74
8
Ali Ash-Shabuni, hlm. 202

5

3

4


pengecualian atas kondisi yang lebih umum. Maknanya adalah bahwa mereka
ditimpakan kehinaan secara umum kecuali dalam pegangan mereka atas janji
Allah dan janji manusia, dengan kata lain, tidaklah mereka mendapatkan
kemuliaan kecuali dalam satu hal ini yaitu kembalinya mereka pada janji, dan
penerimaan mereka atas jizyah.9
Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah mengartikan ayat tersebut yaitu
setelah menjelaskan keadaan kebanyakan orang-orang Yahudi saat menghadapi
orang-orang Islam, di sini dijelaskan keadaan mereka setiap waktu dan saat yang
telah mendarah daging, membudaya, dan melekat pada diri mereka. Yaitu bahwa:
Mereka diliputi, sebagaimana satu bangunan meliputi penghuninya, diliputi oleh
kenistaan, yakni ketundukan akibat kekalahan di mana saja mereka berada,
kecuali jika mereka berpegang kepadaAllah, yakni ajaran agama-Nya, atau tunduk
membayar jizyah (pajak) sebagai warga negara yang berhak memeroleh keamanan
setelah tunduk pada pemerintahan Islam dan tali dengan manusia, yakni
pembelaan dari kelompok manusia.10
Dari beberapa tafsir tersebut dapat difahami bahwa apa yang menimpa
orang-orang Yahudi dari kehinaan dan kenistaan adalah bersumber pada
pengingkarannya terhadap janji dari Allah - dalam hal ini adalah agama yang
dibawakan oleh Nabinya – dan janji terhadap sesama manusia yaitu untuk

membayara jizyah sebagai jaminan atas keamanan mereka berada di antara orangorang Islam.
Dengan menggunakan kata yang sama yaitu “tsaqafa”, Allah Swt
berfirman:
       
191. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka
dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah). (Q.S. Al-Baqarah: 191)

Abu Qasim Jaarullah Mahmud bin Umar Az-Zamakhsyari al-Khowarizmi, Al-Kasysyaf ‘an
Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyuuni-l-Aqaawiil fi wujuuhi-t-Takwil, Juz. 1, (al-Fajaalah: Maktabah
Misra, t.t), hlm. 353
10
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), hlm. 227
9

4

5

    

91. Maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka dan merekalah orang-orang
yang Kami berikan kepadamu alasan yang nyata (untuk menawan dan
membunuh) mereka. (Q.S. An-Nisa: 91)
          
57. jika kamu menemui mereka dalam peperangan, Maka cerai beraikanlah orangorang yang di belakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya mereka
mengambil pelajaran. (Q.S. Al-Anfal: 57)
      
61. di mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebathebatnya. (Q.S. Al-Ahzab: 61)
            



2. jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh
bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan
menyakiti(mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir. (Q.S. AlMumtahanah: 2)
Lima ayat tersebut di atas, tiga diantaranya mengartikan “tsaqafa” dengan
bertemu atau berjumpa. Yaitu pada Al-Baqarah: 91, Al-Anfaal: 57, dan Al-Ahzab
61. Sedangkan An- Nisa‟: 91, mengartikannya dengan alasan yang nyata. Dan AlMumtahanah: 2, mengartikannya dengan menangkap.
Dalam kitab “Shahih Bukhori” terdapat satu hadits yang menyebut kata
“tsaqifun” yaitu hadits 3692, 3905, 5807, 5470, yang isinya menceritakan tentang

Nabi Muhammad Saw dalam suksesi hijrah dari Makkah ke Madinah bersama
sahabatnya Abu Bakar, dan ditemani juga dengan Abdullah bin Abu Bakar, yang
ikut bersamanya tinggal di dalam gua Tsur, Pada hadits tersebut disebutkan:

5

6


Selain dalam Kitab Shahih Bukhori, hadits tersebut juga terdapat pada AlMustadrak ‘ala Shahihayni, yang ditulis oleh Muhammad ibnu Abdullah Abu
Abdillah Al-Haakim An-Naysabur, dalam bab hijrah, dengan nomor hadits 4272.
Dalam kitab Mushannaf ‘Abdu Razaq yaitu pada hadits. Dalam kitab Dalaail anNubuwwah disebutkan dengan nomor hadits 729. Dalam kitab Musykaalu al-Atsar
Li-th-Thahawi menyebutkan hadits tersebut dengan nomor hadits 3446. Dalam
kitab Jaami’ al-Ushul min Ahaadiitsi Ar-Rasul dengan nomor hadits 9203. Dalam
Musnaad ash-Shahabah fi al-Kutub at-Tis’ah juz 8 halaman 230.
Bukhari menjelaskan kata “tsaqifun” tersebut diartikan dengan “haadziqun
fathanun” yang berarti pandai dan cerdas. Dan “laqinun” diartikan dengan daya
faham yang cepat, penyampaian yang baik atas apa yang didengarkannya dan
diketahuinya. Demikian juga dalam Dalaail an-Nubuwwah, Musykaalu al-Atsar
Li-th-Thahawi , dimaknai sama dengan pendapat Bukhari.

Menarik untuk melihat makna dari kata “tsuqifuu” pada surah Ali Imron
112, yang diartikan dalam tafsir jalalayn sebagai “wajaduu” yang berarti berada,
atau “wujiduu wa laquu” dalam tafsir Qurthubi yang berarti didapatkan dan
bertemu,12 Thobari mengartikan “laquu” yang berarti bertemu.13 Dan tsaqifun
dalam Shahih Bukhari diartikan dengan kepandaian dan kecerdasan.
Sedangkan menurut bahasa kata “tsuqifuu” bermula dari kata “tsaqafa”
yang berarti cerdas,14 memahami dengan cepat,15 didapatkan dan diketahui.16
Dengan demikian dapat diartikan kata “tsuqifuu” sebagai dibudayakan. Karena
dalam budaya terdapat kecerdasan dan pengetahuan yang dalam tentang

Muhammad bin Isma‟il Abu Abdullah Al-Bukhari Al-Ja‟fi, Al-Jami’ Ash-Shahih AlMukhtashar, Juz 3, Bab Hijratu-n-Nabiy Shallaallahu ‘alayhi wa sallam, (Beirut: Daaru Ibnu
Katsir, 1987), hlm. 1417.
12
Abu Ahmad bin Muhammad al-Anshari, Tafsir al-Qurthubi, Juz. 3, (Cairo: Maktabah al-Iman,
t.t), hlm. 82
13
Abu Ja‟far bin Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari: Jaami’ al-Bayaan ‘an Takwiili Ayi alQur’an, Juz. 2, (Beirut: Ad-Daar Asy-Syamiyah, 1997), hlm. 359
14
Abu al-Fadhl Jamaluddin Muhammad bin Mukrim bin Mandzur al-Afriqi al-Mishri, Lisaanu-lArab, Al-Mujallad 1. (Beirut: Daaru Shaadir, 1997), hlm. 340
15

Loise Maluf, Al-Munjid fi Lughah wa al-‘Alaam, (Beirut: Daaru-l-Masyriq, 1986), hlm. 71
16
www.almaany.com/quran/3/112/6/ diakses 27 November 2014 jam 21.32

11

6

7

kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, serta kemampuan-kemampuan dan
kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat yang tidak
hanya kepada sesama manusia, namun juga Tuhan.
Kepada Tuhan menjadi penekanan disini, demikian karena pada saat ini
terdapat pergeseran pemahaman akan budaya yang cenderung diartikan hanya
sebagai hubungan terbatas antara manusia, sehingga melupakan Tuhan. Maka
jikalau demikian tidak jauh berbeda dengan apa yang ditimpakan kepada orangorang Yahudi tersebut dari kerendahan dan kenistaan. Jikalau kita menginginkan
keselamatan tidak berhenti pada hubungan dari manusia yang dijalin, tetapi juga
hubungan dengan Allah Swt.
Jikalau dilanjutkan dari ayat tersebut, adalah lantaran orang-orang Yahudi
tersebut kufur yaitu lawan syukur atas tanda-tanda dari Allah, dan mereka
membunuh Nabi-nabi mereka tanpa alasan yang benar. Dan perbuatan ini
dikategorikan maksiat (durhaka) juga melampaui batas.
Dalam prespektif budaya pemimpin memiliki peranan untuk menjadi
teladan, sehingga dengan teladannya dalam menghadapi masalah-masalah internal
ataupun eksternal, dapat dijadikan pelajaran bagi anggota organisasi untuk
memecahkan masalahnya ketika berada dalam masalah. Pertanyaannya adalah
mengapa mereka membunuh Nabi-nabi mereka?
Dari beberapa keterangan tersebut dapat dimengerti bahwa pembudayaan
pada hakikatnya adalah usaha untuk menjalin hubungan yang intim dengan
menjalankan perintah Allah Swt dan menjauhi larangannya, dan hubungan dari
antara manusia.
Terkait dengan ayat lain yang menggunakan kata “hablun” yaitu dalam
surah Ali Imron ayat 103, yang memerintahkan kepada orang-orang yang beriman
untuk berpegang pada tali (agama) Allah Swt. Yang diikuti berikutnya dengan
larangan untuk bercerai berai, dan mengingat nikmat yang Allah Swt telah
diberikan.
Dalam Indeks Al-Qur‟an yang ditulis oleh Dawam Raharjo yang berjudul
Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci,memuat
satu judul yaitu “Strategi Kebudayaan Bertolak dari Nafs”, diungkapkan bahaw

7

8

dalam pengembangan strategi kebudayaan yang bertolah dari psikoanalisis,
konsep Id, Superego dan Ego dapat dijadikan kerangka, baik untuk memahami
struktur nilai dalam al-Qur‟an maupaun dalam mengembangkan satrategi
penyadaran masyarakat tentang naluri-naluri dasar manusia yang perlu
dikendanlikan, yang memberi bimbingan ke pembentukan masyarakat yang lebih
manusiawi, maupun tentang pengendalian yang dilakukan oleh Ego. Ini semua
sebenarnya dapat dilakukan dengan pendalaman makna taqwa, sebagai konsep
kepribadian yang dimuliakan sebagaimana dalam surah al-Hujurat ayat 13 yang
berisi tentang penciptaan Allah Swt berbagai bangsa dan suku-suku dengan tujuan
untuk saling mengetahui.
  
             

       

Ayat tersebut adalah merupakan pengikat atas tiga ayat sebelumnya yaitu
pada dasarnya sesama orang beriman adalah saudara, sebab itu perdamaian adalah
hal yang penting dan ketaqwaan. Dan hal-hal untuk itu adalah agar diantara orangorang beriman tidak saling menghina baik itu atas individu atau kelompok, tidak
merendahkan diri, tidak memberikan panggilan-panggilan yang tidak layak,
menjauhi perbuatan prasangka, bertajassus (mencari-cari kesalahan orang lain),
dan berghibah (membicarakan kejelekan orang lain tanpa kehadiran orang yang
dijelekkan).
Asumsi-asumsi dalam diri manusialah yang menuntutnya untuk menghina,
menjelekkan, merendahkan diri, mengolok-olok, berprasangka, mencari-cari
kesalahan, dan ghibah. Atau sebaliknya, memuji, memuliakan, menunjukkan
sikap-sikap positif, menyampaikan kelebihan seseorang pada yang lain. Demikian
itu, adalah kenyataan bahwa tidak terdapat cara lain untuk mengendalikannya,
selain penanaman nilai ketaqwaan dalam diri manusia. Taqwa menjadi penting,
karena ketika seseorang mendalami nilai-nilai ketaqwaannya sehingga menjadi
taken for granted dalam dirinya. Maka ia akan menjadi pribadi yang mulia.
Pengakuan Allah Swt terhadap perbedaan suku dan qabilah, merupakan
pengakuan juga terkait dengan kebudayaannya. Demikian itu dengan harapan,

8

9

agar sesama manusia untuk saling berbagi pengetahuan. Setiap kelompok pasti
memiliki hasil olah fikir kelompoknya yang disampaikan secara turun menurun
pada generasi-generasi berikutnya, oleh karena itu maka hal tersebut untuk
dibagikan satu sama lain.
Proses “ta’aruf” adalah proses saling mengetahui, untuk saling
mengetahui dapat dimaknai sebagai proses belajar. Pendidikan adalah proses
pembelajaran dengan memberikan pengaruh melalui media yang ada untuk
membantu perkembangan peserta didik. Dalam hal ini adalah pembelajaran
mengenai keadaan suku dan qabilah.17Boleh jadi, ayat ini dijadikan landasan
untuk mempelajari ilmu-ilmu sosial. Karena dengan mengetahui hakikat
kelompok, ritmenya, pemahamannya, tradisi dan budayanya, akan memberikan
wawasan dan pengetahuan untuk mengelola umat manusia.
Pada akhirnya, Allah Swt mengikat semua itu dengan ungkapan “inna
akramakum ‘inda Allah atqaakumu”, kata taqwa adalah inti dari pendidikan dan
pengetahuan, atau bahkan menjadi sesuatu yang diharapkan taken for granted
dalam diri manusia. Sehingga apa yang dilakukan pada proses pembelajaran
memberikan makna keterkaitan tidak hanya manusia dengan manusia, manusia
dengan alam sekitarnya, tetapi juga mengaitkan manusia dengan Tuhan.

C. KESIMPULAN
1. Surah Ali Imron ayat 112 menjelaskan atas kondisi orang-orang Yahudi
yang

ditimpakan

kepada

mereka

kehinaan

dimanapun

mereka

dibudayakan, kecuali jikalau mereka berpegang pada janji (agama) Allah,
dan berpegang pada janji diantara manusia.
2. Dalam surah Ali Imron ayat 112, menjelaskan keberadaan orang-orang
Yahudi tersebut dengan pengetahuan (budaya), namun yang demikian itu

17

Pada mulanya ilmu pengetahuan dalam perspektif modern memiliki dua cabang, yaitu natural
science dan budaya. Natural science yaitu apa yang kita ketahui sebagai ilmu pengetahuan alam
seperti fisika, kimia, dan biologi. Sedangkan budaya yaitu ilmu pengetahuan terkait dengan hasil
olah, cipta, karya, manusia dalam menjaga keberlangsungan hidupnya atau sekarang kita sebut
dengan ilmu sosial. Ilmu sosial tidak dapat dimengerti dengan baik, kecuali dengan mempelajari,
mengamati, mendata, atau dengan kata lain menggunakan metode-metode ilmiah untuk
mempelajari kelompok.

9

10

mereka ingkari dengan membunuh Nabi-nabi mereka. Nabi adalah
pemimpin bagi mereka yang Allah utus untuk menjadi teladan bagi
mereka,

namun

mereka membunuhnya.

Dengan demikian dapat

dimengerti bahwa pembunuhan atas Nabi adalah sikap pembunuhan
terhapdap pendidik orang-orang Yahudi.
3. Lima ayat yang lain menjelaskan berikut: tiga diantaranya mengartikan
“tsaqafa” dengan bertemu atau berjumpa. Yaitu pada Al-Baqarah: 91, AlAnfaal: 57, dan Al-Ahzab 61. Sedangkan An- Nisa‟: 91, mengartikannya
dengan alasan yang nyata. Dan Al-Mumtahanah: 2, mengartikannya
dengan menangkap.
4. Satu hadits yang baru penulis temukan dengan menggunakan kata
“tsaqafa” yaitu sebagai kata sifat “tsaqifun” yang berarti pandai dan
cerdas. Sifat tersebut dinisbahkan kepada Abdullah bin Abu Bakar yang
menemani Nabi Muhammad Saw dan Abu Bakar pada prosesi Hijrah Nabi
dari Makkah ke Madinah.
5. Boleh jadi kata “tsaqafa” memiliki isyarat makna sebagai budaya, dimana
budaya merupakan hasil olah pikir manusia yang disampaikan secara turun
menurun untuk dipelajari, diketahui, dan dikerjakan. Bukankah bangsa
Yahudi adalah bangsa dengan kecerdasan yang tinggi?
6. Dalam surah Al-Hujuurat Allah Swt menganjurkan kepada umat manusia
untuk saling mengetahui, saling belajar, atas suku-suku dan bangsa-bangsa
yang beraneka ragam, dengan menggunakan “ta’arafuu”. Yaitu suatu
anjuran untuk mempelajari apa yang terkait dengan bangsa-bangsa
tersebut, diantaranya adalah budayanya.
7. Budaya adalah pelajaran, pendidikan, dan pengetahuan yang bermula dari
kelompok atau komunitas.
8. Budaya dalam perspektif Islam tidak berhenti pada asumsi manusia
(waktu, tempat, realitas, kebenaran, hubungan, aktivitas, hakikat manusia)
dalam kehidupannya di dunia, tetapi hendaknya hal tersebut dikaitkan
dengan kehidupan di akhirat kelak. Kebahagiaan tidak terhenti di dunia,
namun juga di akhirat.

10

11

9. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa hakikat dari pendidikan yang
terkait dengan pembudayaan adalah memaknai budaya sebagai hubungan
yang diberikan oleh Allah Swt, dan hubungan diantara manusia.
Hubungan dengan Allah adalah melaksanakan apa yang Allah Swt dan
Rasul-NYa perintahkan dalam Al-Qur‟an dan Hadits, dan menjauhi
larangan-Nya. Dan selain itu adalah menjaga hubungan diantara manusia.
Waallahu A’lam bi-sh-Shawab.

11

12

Daftar Rujukan
Al-Qur‟an al-Karim
Al-Anshari, Abu Ahmad bin Muhammad, Tafsir al-Qurthubi, Juz. 3, Cairo:
Maktabah al-Iman, t.t
Ash-Shabuni, Muhammad Ali, Shafwatu-t-Tafaasir: Tafsiiru-l-Qur’an Al-Karim,
Juz.1 Cairo: Daaru Shabuni li-th-Thiba‟ah Wa-n-Nasyr Wa-t-Tawzi‟, 1997
Ath-Thabari, Abu Ja‟far bin Jarir, Tafsir ath-Thabari: Jaami’ al-Bayaan ‘an
Takwiili Ayi al-Qur’an, Juz. 2, Beirut: Ad-Daar Asy-Syamiyah, 1997
Az-Zamakhsyari, Abu Qasim Jaarullah Mahmud bin Umar, Al-Kasysyaf ‘an
Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyuuni-l-Aqaawiil fi wujuuhi-t-Takwil, Juz. 1, alFajaalah: Maktabah Misra, t.t
Raharjo. M. Dawam, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan KonsepKonsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996
Ibnu Katsir, Imadu-d-Diin Abi al-Fida Ismail, Tafsir al-Qur’an al-‘Adziim. Juz 1.
Cairo: Al-Maktabah at-Tawfiiqiyah, t.t
Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Mahily dan Jalaluddin Abdu Rahman
bin Abu Bakar as-Suyuthi, Tafsir Jalalayn, Beirut: Daru Shaadir, 2003
Kusdi, Budaya Organisasi: Teori, Penelitian dan Praktek, Cet. Pertama, Jakarta,
Salemba Empat, 2011.
Maluf, Loise, Al-Munjid fi Lughah wa al-‘Alaam, Beirut: Daaru-l-Masyriq, 1986
Mandzur, Abu al-Fadhl Jamaluddin Muhammad bin Mukrim, Lisaanu-l-Arab, AlMujallad 1. Beirut: Daaru Shaadir, 1997
Maktabah Syamilah, Ver. 2.11
Shihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, 2002
Tilaar, H.A.R, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia:
Strategri Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: P.T Remaja
Rosdakarya, 2002
Yusuf, Muhammad, Qur’an In Word, ver. 1.3
www.almaany.com/quran/3/112/6/ diakses 27 November 2014 jam 21.32

12