Menyalakan Integritas Dalam Badai docx

MENYALAKAN INTEGRITAS DALAM BADAI
Disusun untuk mengikuti Lomba Penulisan Kisah Suka Duka Selama Bertugas
dalam rangka Peringatan Hari Bhakti Pemasyarakatan Ke-49 Tahun 2013

Disusun oleh :
Nama

: Muhammad Anang Saefulloh

NIP

: 19840505 200703 1 002

Pangkat/Gol. : Pengatur Muda Tk. I / (II/b)
Satker

: Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pekalongan

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Tahun 2013


0

MENYALAKAN INTEGRITAS DALAM BADAI

Hari itu masih teringat jelas dalam ingatanku, Senin tanggal 29 Januari 2007, setelah
selesai bekerja dari Laboratorium Fisika SMA Negeri 1 Banjarnegara, ku kayuh sepedaku
perlahan-lahan menuju tempat penjual koran yang terletak di sebelah barat Terminal Bus
Banjarnegara. Meski siang itu terik matahari sedang membara, hal itu tidak menyurutkan
niatku untuk membeli koran Media Indonesia yang memuat pengumuman Calon Pegawai
Negeri Sipil (CPNS) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham). Rasa
bahagia tak dapat ku lukis dengan kata-kata tatkala melihat namaku tercantum dalam
pengumuman itu.
Tak terasa air mataku jatuh berlinang karena aku sangat bahagia diterima sebagai CPNS
untuk formasi Tenaga Pengamanan (Sipir) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIA
Pekalongan. Setelah membeli koran, aku langsung pulang ke rumah, ku peluk nenek
kesayanganku yang sejak bayi telah merawatku, lalu aku sampaikan berita bahagia itu
kepadanya. Nenek sangat senang mendengar berita itu, sampai-sampai beliau menghadiahi
aku dengan makanan kesukaanku, telur dadar yang diberisi irisan daun kemuncang dan cabai
merah. Bagiku masakan itu sangat istimewa karena biasanya hanya dimasak setelah nenekku
mengambil uang pensiun di Kantor Pos.

Hari berikutnya, aku sampaikan berita itu kepada Pak Sugeng Daryanto, S.Pd. selaku
Koordinator Laboratorium IPA di sekolah tempat aku bekerja. Selain sebagai atasan
langsungku, beliau adalah mentorku ketika memulai karir disana. Beliau cukup kaget
mendengar aku diterima sebagai CPNS karena menurut kabar yang beliau tahu untuk bisa
diterima CPNS di Depkumham harus mengeluarkan uang puluhan juta dan biasanya berasal
dari keluarga pegawai Depkumham. “Hebat mas bisa diterima disana. Pertahankan cara
kerja Mas Anang seperti disini. Ingatlah pepatah Jawa, ngguyak jeneng ndisit, mengko
jenange mesti melu (cari nama dahulu, nanti rejeki pasti mengikuti). Selamat ya.”, itulah
pesan beliau yang sampai hari ini masih aku jaga selalu.
Satu bulan kemudian, aku mengundurkan diri sebagai tenaga laboran dan pembina
ekstrakulikuler Majalah Dinding di SMA Negeri 1 Banjarnegara. Saat itu perasaanku sedih
karena harus meninggalkan aktivitas, rekan kerja dan siswa binaanku yang selama kurun
waktu lima tahun akrab menemani hari-hariku. Selain itu, aku juga harus rela berpisah dengan
santriwan-santriwati Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) dekat rumahku dan siswa-siswi SD
Muhammadiyah 2 Banjarnegara, dimana aku mengabdikan diri sebagai guru. Tak hanya itu,
1

aku juga harus meninggalkan bangku kuliah di jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar
(PGSD) Universitas Terbuka Kelompok Belajar Banjarnegara yang sudah menginjak semester
IV. Namun aku sadar, semua itu harus aku lakukan sebagai konsekuensi diterima sebagai

CPNS. Aku percaya ini adalah kesempatan emas dari Allah yang tidak boleh disia-siakan,
kesempatan yang mungkin hanya sekali datang seumur hidup. Sebagai bentuk rasa syukur
kepada-Nya, aku bertekad untuk memberikan yang terbaik dari apa yang aku bisa, do the best
as you can.
Tak lama kemudian, pada tanggal 18 April 2007 aku dipanggil ke Kantor Wilayah
Depkumham Jawa Tengah untuk menerima SK CPNS dan mendapat pengarahan dari Kepala
Kantor Wilayah (Kakanwil) yang pada saat itu dijabat oleh Bapak Drs. Bambang Margono,
MH. Pada acara pengarahan itu, ada satu pesan bijak yang beliau sampaikan, “Dalam
berkarir, jangan andalkan siapa orang tuamu, jangan andalkan siapa saudaramu di
Depkumham, tapi andalkan dirimu sendiri karena kunci sukses sebagian besar ditentukan
olehmu.” Pesan bijak aku renungkan dalam-dalam, sejenak aku teringat pidato presiden
pertama Indonesia, Bung Karno tentang Berdikari (Berdiri diatas kaki sendiri) yang sering
aku baca dalam buku biografinya. Kemandirian bukanlah hal yang asing bagiku karena sejak
kecil aku sudah dibiasakan mandiri oleh nenek, mulai dari urusan cuci baju sampai mendaftar
sekolah. Waktu kecil aku merasakan mandiri itu pahit karena hampir semua aktivitas aku
lakukan sendiri, namun aku baru tahu betapa manisnya kemandirian itu ketika diterima
sebagai CPNS.
Setelah selesai acara itu, seluruh CPNS diwajibkan untuk mulai melaksanakan tugas
pada hari berikutnya. Sore itu juga aku langsung menuju Lapas Pekalongan dengan
menumpang mobil teman sesama CPNS yang akan menuju ke Tegal. Sekitar habis isya aku

sampai disana dan langsung menuju pintu portir. Setelah menjelaskan maksud kedatanganku
kepada petugas penjaga pintu, aku dipersilahkan masuk, kemudian aku duduk dengan
beberapa petugas di halaman depan pintu III Lapas.
Dalam forum yang santai dan akrab itu, aku diberondong dengan berbagai macam
pertanyaan, mulai dari mana aku berasal sampai berapa biaya yang aku keluarkan untuk dapat
diterima sebagai CPNS. Aku jawab semua pertanyaan itu dengan sopan dan jujur, namun
sebagian besar tidak percaya dan menertawakanku ketika aku menjawab biaya yang aku
keluarkan untuk dapat menjadi CPNS sebesar Rp. 200.000,- yang terdiri dari biaya
transportasi bus dari Banjarnegara ke Semarang selama pendaftaran dan ujian CPNS. Setelah
sekitar satu jam larut dalam obrolan yang hangat itu, aku teringat kalau aku belum
menunaikan shalat Isya, lalu aku mohon ijin untuk ke masjid. Dalam perjalanan ke masjid aku
ditemani seorang petugas Lapas.
2

Ketika melewati blok-blok hunian narapidana, aku cukup kaget dan heran, Lapas yang
ku kira tempat yang sunyi dan jauh dari keramaian, ternyata bagai sebuah diskotik karena
terdengar dentuman musik yang ingar bingar dari beberapa kamar. Sebenarnya aku ingin
menanyakan kondisi itu pada petugas yang menemaniku, namun saat itu aku belum berani
untuk mengungkapkannya. Untuk sesaat aku simpan pertanyaan itu dulu sambil menunggu
saat yang tepat untuk mengungkapkannya. Setelah selesai shalat aku diperkenankan istirahat

di Asrama Pegawai yang letaknya tidak jauh dari Lapas.
Setelah satu minggu mengikuti orientasi CPNS, pertanyaanku itu terjawab dengan
sendirinya, Lapas Pekalongan ternyata jauh dari harapanku sebagai tempat kerja yang ideal.
Awalnya aku banyak berkeluh kesah terhadap diriku sendiri, namun setelah aku pikir ternyata
mengeluh tidak menyelesaikan masalah, sekedar mengeluh juga tidak akan bisa merubah
keadaan. Lalu aku mencoba kuatkan diri dan belajar mencintai pekerjaan baruku itu. Memang
butuh waktu bertahun-tahun sampai akhirnya aku mencintai pekerjaan itu. Ternyata untuk
dapat mencintai sesuatu kita harus memandang dari berbagai perspektif, jangan memandang
dari satu sudut saja.
Di Lapas Pekalongan, pertama kali aku ditugaskan sebagai anggota regu pengamanan
(Rupam). Menurut rekan kerjaku, pekerjaan anggota rupam identik dengan masuk-keluar blok
dan naik-turun pos. Bahkan ada yang bilang, otak tidak terpakai. Namun aku tidak serta merta
percaya itu, karena sebelumnya aku sudah mendapat pengarahan di Kantor Wilayah. Tugas itu
aku laksanakan dengan itikad baik dengan memberikan yang terbaik sesuai dengan tekadku
dulu ketika diterima sebagai CPNS. Bekerja dengan baik ternyata tidak selalu diterima dengan
baik oleh lingkungan kerja. Banyak tantangan dan hambatan yang aku hadapi pada masamasa awal bekerja di Lapas. Waktu itu pungutan liar (pungli) dan handphone masih marak
terjadi, namun aku berusaha sebisa mungkin tidak ikut terlibat di dalamnya. Walau dibilang
sok suci ataupun lugu, aku tidak ambil pusing. Beruntung aku pernah ditempa mental bekerja
yang baik di SMA Negeri 1 Banjarnegara.
Salah satu pengalaman yang tak pernah ku lupa adalah Tragedi 27 April 2008. Saat itu

setelah Upacara Hari Bhakti Pemasyarakatan ke-44, pihak Lapas mengadakan acara panggung
hiburan musik dangdut di lapangan upacara dengan maksud untuk menghibur Warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP). Tak lama kemudian terjadi tawuran antarWBP, 1 orang WBP
meninggal dunia. Setelah selesai tawuran itu, situasi di dalam Lapas menjadi tidak kondusif.
Pada saat piket siang hari berikutnya, aku bertugas membagikan air bersih kepada Warga
Binaan Pemasyarakatan (WBP) Blok IVA dengan beberapa rekan lain. Saat sedang duduk
jongkok membetulkan slang air yang melilit, aku malah dikencingi salah satu WBP dari
dalam kamar yang tak sabar menunggu datangnya air bersih. Untung saja aku berhasil
3

menghindar sehingga tidak sampai membasahi sekujur tubuhku. Rasanya jengkel bukan main,
namun aku coba meredamnya dengan membaca banyak-banyak istighfar. Alhamdulillah resep
itu manjur sehingga aku tidak terlibat konflik emosional yang mendalam kepada WBP.
Dibalik segala duka dalam musibah tawuran antarWBP itu, ternyata ada hikmah yang
bisa aku petik pelajaran. Musibah itu menjadi titik tolak perubahan di Lapas Pekalongan
menjadi lebih bersih dan tertib. Sebagai tindakan kuratif, operasi keamanan dan ketertiban
(Kamtib) yang dilakukan petugas Lapas rutin dilaksanakan sehingga pelanggaran tata tertib di
dalam Lapas dapat diminimalisir. Ditambah dengan adanya program Bulan Tertib
Pemasyarakatan (Buterpas) yang digalakkan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang
kemudian diimplementasikan oleh Lapas Pekalongan dengan baik maka kondisi kamtib di

Lapas Pekalongan berangsur-angsur pulih kembali.
Selama empat tahun bekerja di Lapas, aku memakai sepeda sebagai sarana transportasi
menuju ke kantor. Walau awalnya sering dicemooh “gaji jutaan kok masih pakai sepeda
kayak gitu. Mbok beli sepeda motor mas” tapi hal itu tidak membuatku bergeming. Terus
terang aku adalah tipe orang yang takut mengambil kredit untuk hal-hal yang bukan
kebutuhan primer, bagiku lebih baik ditunda dulu untuk memiliki sepeda motor daripada
harus memaksakan diri. Walau memakai sepeda, aku berusaha masuk kerja tepat waktu dan
tidak minder dengan rekan-rekan kerjaku yang sudah mempunyai sepeda motor. Untuk
memompa semangatku, aku mempunyai tagline : Tak apalah memakai sepeda yang
penting kecepatan kerjaku seperti sepeda motor. Bagiku, baik sepeda maupun sepeda
motor hanyalah alat transportasi, esensinya adalah tingkat kualitas kerja dan seberapa besar
manfaat yang diberikan bagi Lapas Pekalongan.
Selama menjalankan tugas sebagai anggota Rupam, aku mengaktualisasikan pesan
Kakanwil ketika pengarahan CPNS dulu. Pesan yang aku yakini kebenarannya itu ternyata
berbuah manis. Pada akhir tahun 2008, aku ditugaskan sebagai Staf Urusan Kepegawaian dan
Keuangan. Pada saat itu, posisi ini dianggap prestisius karena biasanya hanya ditempati oleh
pegawai yang mempunyai masa kerja cukup lama. Maklum unsur senioritas pada saat itu
tergolong tinggi.
Namun unsur senioritas aku tepis dengan menunjukkan performa kerja yang tinggi. Aku
berusaha mengerjakan tugas tepat waktu, bahkan kalau perlu aku lembur sampai malam hari.

Awalnya tugasku hanya sedikit, namun lama-kelamaan terus bertambah banyak, bahkan aku
terkadang mengerjakan tugas-tugas dari seksi lain. Awalnya aku merasa diplonco sebagai staf
baru, namun aku ambil sisi positifnya saja, kini aku bisa mengerjakan berbagai macam tugas
administrasi dan perbendaharaan pengetahuanku bertambah banyak.
4

Walau berusaha kerja sebaik mungkin, ternyata tidak semua pegawai mengapresiasi
bagus pekerjaanku. Bahkan tak jarang yang mencibir, “Mau-maunya tiap hari lembur,
padahal mungkin saja atasanmu sudah tidur. Kalau bukan Bc.IP (sebutan untuk alumni
AKIP) nanti kamu tetap sulit jadi pejabat.” Cibiran itu aku singkirkan perlahan-lahan dari
otakku karena jika aku terus memikirkannya maka semangat kerjaku akan berkurang.
Disamping itu aku memang tidak mengejar jabatan dalam bekerja. Bagiku jabatan adalah
bonus, adapun hadiah utamanya adalah apabila aku dapat mengaktualisasikan diri dalam
setiap pekerjaan yang menjadi bidang tugasku. Dalam hal aktualisasi diri, aku banyak belajar
dari teorinya Abraham Maslow tentang Hirarki Kebutuhan yang aku dapatkan di SMA dulu.
Meskipun bidang tugasku di administrasi tidak bersinggungan langsung dengan Warga
Binaan Pemasyarakakatan (WBP), namun aku terkadang menyempatkan diri bergaul dengan
mereka. Salah satu WBP yang akrab denganku adalah Husein alias Mukhsin, WBP kasus
pembunuhan. Kebetulan kami mempunyai minat yang sama di bidang sastra yaitu puisi.
Mukhsin adalah sosok WBP yang pandai membuat puisi, sekitar medio tahun 2009 karyakarya puisinya sering aku bacakan dalam acara Komunitas di Radio BSP Pekalongan setiap

hari Minggu malam jam 21.00 s/d 22.00 WIB.
Ada kepuasan batin tersendiri ketika aku bisa membacakan puisinya pada acara radio
itu. Selain bisa menunjukkan kepada masyarakat Kota Pekalongan bahwa di Lapas ada WBP
yang mempunyai talenta sastra yang baik, hal itu juga menjadi hiburan tersendiri bagi
Mukhsin maupun WBP lainnya, kerena biasanya mereka menyimak acara itu melalui radio
yang ada di kamarnya. Setelah sering mendengarkan acara itu, ada beberapa WBP yang
tergerak membuat puisi serupa, sebagian besar temanya tentang kehidupan mereka di Lapas.
Selain puisi karya Mukhsin, karya WBP lainnya juga aku bacakan. Namun sayang, acara itu
kini telah ditiadakan oleh pihak manajemen radio, mungkin karena dianggap kurang
komersial.
Tahun 2010 bagiku merupakan tahun penuh harapan; selain di tahun ini aku menikah,
tahun ini merupakan permulaan diterapkannya Reformasi Birokrasi (RB) di Kementerian
Hukum dan HAM (Kemenkumham). Saat itu aku membayangkan jika RB diterapkan di
Lapas maka pola pikir (mindset) dan budaya kerja (culture set) rekan-rekan pegawai di Lapas
akan berubah kearah yang lebih baik dan beban kerjaku akan berkurang karena akan
didistribusikan merata. Secara umum tingkat kedisiplinan pegawai meningkat, hal itu ditandai
dengan ketertiban absensi. Namun dalam hal kualitas maupun kuantitas pekerjaan, belum
berubah secara signifikan. Pandangan siapa yang bisa maka itulah yang mengerjakan masih
juga belum hilang dari budaya kerja di Lapas.
5


Giri Purbadi, Bc.IP, SH adalah sosok Kepala Lapas (Kalapas) Pekalongan yang visioner
dan berkesan bagiku. Selain beliau mempunyai kepedulian yang tinggi dalam hal estetika,
beliau banyak mengajarkanku dalam hal etika kerja. Salah satu pandangan beliau yang saya
anut adalah jika punya niat baik maka harus dilakukan nyata. Jadi menurut beliau, apabila kita
hanya berbicara tanpa berbuat apa-apa maka hal itu tidak ada gunanya. Dibawah
kepemimpinan beliau, nilai-nilai reformasi birokrasi mulai tumbuh subur di Lapas
Pekalongan. Ada beberapa pengalaman menarik sewaktu beliau memimpin disana, yaitu
ketika insentif petugas jaga malam akan berubah dari berbentuk uang ke natura dan sewaktu
akan diterapkannya absesnsi sidik jari untuk semua pegawai. Awalnya banyak pegawai yang
menentang dengan berbagai alasan. Banyak pegawai yang mengadu kepadaku karena
kebetulan aku termasuk yang keukeuh agar kebijakan itu diterapkan dan aku bertindak sebagai
operator absensi sidik jari itu. Dengan sabar aku jelaskan kepada mereka, walau kadang sering
menjadi ajang perang urat syaraf karena mereka terus ngeyel. Namun masa-masa itu telah
dilalui dengan baik dan kini semua pegawai telah merasakan manfaat dari kedua kebijakan
itu.
Di tahun itu pula aku mulai kuliah di jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Pekalongan yang letaknya persis di belakang Lapas Pekalongan. Banyak
yang heran kenapa aku kuliah disana, termasuk isteriku sendiri. Mereka berfikir hal itu tidak
menunjang karir karena bidang tugas Lapas adalah hukum saja. Namun aku punya pendapat

out of the box, aku melihat di Lapas untuk kegiatan pembinaan agama dan pendidikan formal
belum tertata dengan baik. Dengan bekal pengalaman mengajar sebelumnya, aku ingin
mengembangkan pendidikan di Lapas. Dengan semangat itu maka aku mantapkan diri untuk
menimba ilmu pendidikan di sana.
Di kala tengah berbahagia karena kehamilan isteri pertama, ada kabar duka datang dari
Banjarnegara. Hari itu tepat satu tahun perkawinan kami, nenekku meninggal dunia. Takdir
Tuhan itu cukup menggoncang hidupku karena beliau adalah spirit hidupku selama ini. Aku
sedih karena merasa belum bisa membalas semua kebaikan dan memberikan yang terbaik
seperti ketulusannya merawat aku sejak kecil. Namun setelah itu ternyata Tuhan mempunyai
rencana yang indah, anakku lahir dan tumbuh dengan sehat.
Selain nikmat hidup itu, tepatnya pada saat Hari Dharma Karyadhika Tahun 2012 aku
berkesempatan mempresentasikan ideku tentang Pendidikan Karakter bagi Warga Binaan
Pemasyarakatan dalam kegiatan Anugerah Inovasi Pegawai dalam Pelaksanaan Tugas dan
Fungsi Kemenkumham. Walau tidak menjadi juara, aku senang karena bisa menyampaikan
ide dihadapan juri yang berasal dari pejabat eselon II Kemenkumham dan aku bisa bertemu
6

dengan finalis lain yang mempunyai ide-ide brilian untuk kemajuan Pemasyarakatan dimasa
yang akan datang.
Tahun 2013 ini, dibawah kepemimpinan Bapak Suprapto, Bc.IP, SH, MH, Lapas
Pekalongan sudah menjadi lebih baik lagi, terutama dalam hal ketertiban pakaian dan
kedisiplinan pegawai. Sesuatu hal yang aku dambakan sekitar enam tahun lalu kini telah
terwujud nyata. Ada perasaan bahagia yang tiada terkira akan hal itu. Ternyata stigma awalku
terhadap pegawai Lapas yang kolot dan susah diatur itu salah. Ternyata kini mereka bisa
berubah menjadi lebih tertib dan disiplin. Bersama mereka kini aku ingin terus mewujudkan
mimpi besarku, menjadikan Pemasyarakatan insitusi yang bermartabat dan dihormati
masyarakat. Dengan bekal resep khusus dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan saat ini,
Bapak M. Sueb, yaitu KIRAP yang merupakan akronim dari Kepentingan Masyarakat,
Integritas, Responsif, Akuntabel dan Profesional, aku yakin suatu hari nanti mimpi besarku itu
akan terwujud.

7