PERBEDAAN STATUS GIZI PASIEN TB PARU SEB

PERBEDAAN STATUS GIZI PASIEN TB PARU SEBELUM DAN
6 BULAN SESUDAH PENGOBATAN DENGAN OAT
DI PUSKESMAS GANTING SIDOARJO
Oleh :
ABSTRACT
Tuberculosis (TB) is an infectious disease right lung is still a major social problem in
Indonesia. The purpose of this research is to investigate the differences in the nutritional
status of pulmonary tuberculosis patients before and 6 months after treatment.
This study is a retrospective descriptive study. The population in this study is that the
age of TB patients in the outpatient health center Ganting Sidoarjo. Dependent variable in this
study is the treatment of OAT in Patients with Pulmonary TB age, while the independent
variable is the anthropometric nutritional status of patients with pulmonary TB age. The data
analysis technique used in this study is different from t test (paired sample t test).
The results obtained in this study were obtained Sig. to variable nutrient status by BMI
kg/m2 value (0.000) is less than 0.05, then reject H0 and accept H1 which means there are
significant differences nutritional status of patients based on the value of BMI kg/m2 among
pulmonary tuberculosis patients before treatment with OAT After OAT therapy.
The conclusion of this research is that there are significant differences in the
nutritional status of patients based on the value of BMI kg/m2 among pulmonary tuberculosis
patients before therapy OAT After therapy with OAT. The nutritional status of patients with
pulmonary TB average BMI kg/m2 before the therapy values of 19.4013 OAT. The nutritional

status of patients with pulmonary TB average BMI kg/m2 after therapeutic value of 20.8575
OAT.
Keywords: Tuberculosis (TB), Nutritional Status, OAT
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Tuberkulosis
(TBC)
paru
merupakan penyakit menular langsung
yang masih menjadi masalah utama
kemasyarakatan Indonesia.
Laporan terbaru WHO (2008), yang
menggambarkan situasi dunia tahun 2006,
menunjukkan
bahwa
setiap
tahun
diperkirakan ada 9,2 juta kasus TB baru
(139/100.000
penduduk),

4,1
juta
diantaranya (44%) adalah pasien dengan
Basil Tahan Asam (BTA) positif, artinya
yang menular, dan 0,7 juta pasien TB yang
juga terinfeksi virus HIV (human
immunodefficiency virus) (80%). Jumlah
kasus baru ini meningkat dari angka 2005,
yaitu 9,1 juta. Hal ini terjadi karena

meningkatnya jumlah penduduk di 5
negara penyumbang kasus TB terbesar di
dunia yaitu : India, Cina, Indonesia, Afrika
Selatan dan Nigeria. Incidence rate
tertinggi di dunia adalah Afrika, yaitu
363/100.000 penduduk.
Salah
satu
faktor
yang

mempengaruhi terjangkitnya penyakit TBC
adalah status gizi. Status gizi yang buruk
akan meningkatkan risiko terhadap
penyakit TBC paru. Sebaliknya, penyakit
TBC paru dapat mempengaruhi status gizi
penderita karena proses perjalanan
penyakitnya yang mengalami kekurangan
gizi
mempunyai
risiko
terhadap
penyakitnya dan juga dapat mempengaruhi
produktivitas kerjanya. Selain itu, penderita
TBC
yang
kurang
gizi
akan

mengakibatkan produksi antibodi dan

limfosit terhambat, sehingga proses
penyembuhan akan terhambat pula. Situasi
ini yang diduga sebagai salah satu
penyebab utama berkembangnya kuman
TBC di Indonesia. Menyadari hubungan
antara perjalanan penyakit TBC dengan
daya tahan tubuh dan bagaimana pengaruh
gizi pada daya tahan tubuh sudah saatnya
untuk tidak melihat seorang penderita
hanya dengan pengobatan atau vaksinasi
semata – mata. Masalah gizi menjadi
penting karena perbaikan gizi merupakan
salah satu upaya untuk memutus lingkaran
setan penularan dan pemberantasan TBC di
Indonesia.
Dalam program penanggulangan
TBC paru nasional, penderita TBC paru
BTA positif akan diberi paket Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) kategori 1. Paduan
OAT disediakan dalam bentuk paket

kombipak. Satu paket untuk satu penderita
dalam satu masa pengobatan. Namun,
dalam program tersebut pemantauan status
gizi penderita belum mendapat perhatian
serius. Strategi DOTS yang dijalankan
belum menyentuh upaya perbaikan gizi
penderita
secara
langsung.
Dalam
penanganan penderita TBC, peranan gizi
cukup berarti untuk meningkatkan status
imunologi penderita.
Berdasarkan uraian diatas, terlihat
bahwa upaya strategi DOTS dengan
pemberian OAT belum mampu mengatasi
permasalahan gizi penderita, terutama
penderita TB paru BTA positif. Oleh
karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui perubahan status gizi pasien

TB Paru sebelum dan setelah mendapatkan
pengobatan dengan OAT.
Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui adanya perbedaan status
gizi pasien TB paru sebelum dan 6
bulan sesudah pengobatan.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui status gizi pasien TB
paru sebelun terapi dengan OAT.

b. Mengetahui status gizi pasien TB
paru sebelun terapi dengan OAT.
c. Membuktikan adanya perbaikan
status gizi pasien TB Paru setelah 6
bulan terapi OAT.
TINJAUAN PUSTAKA
Tuberkulosis (TBC)
Penyakit
tuberkulosis

(TBC/TB)
adalah penyakit menular yang disebabkan
bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Penyebaran penyakit TBC terutama
melalui udara yang ditularkan pada saat
penderita batuk. Bila bakteri ini masuk dan
terkumpul di dalam paru – paru akan
berkembang biak dan menyebar melalui
pembuluh darah atau kelenjar getah bening
sehingga dapat menginfeksi otak, ginjal
saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah
bening, meskipun organ yuang paling
sering terinfeksi adalah paru – paru.
Tuberkulosis dan Kejadiannya
a. Penularan Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular
langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian
besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya

b. Cara Penularan
Sumber penularan adalah pasien TB
BTA positif.
- Pada waktu batuk atau bersin, pasien
menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet ruclei).
Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak.
- Umumnya penularan terjadi dalam
ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi
dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung
dapat membunuh kuman. Percikan
dapat bertahan selama beberapa jam
dalam keadaan yang gelap dan lembab.
-

Daya penularan seorang pasien
ditentukan oleh banyaknya kuman


-

yang dikeluarkan dari parunya. Makin
tinggi
derajat
kepositifan
hasil
pemeriksaan dahak, makin menular
pasien tersebut.
Faktor yang memungkinkan seseorang
terpajan kuman TB ditentukan oleh
kosentrasi percikan dalam udara dan
lamanya menghirup udara tersebut

Gejala Klinis Pasien TB
Gejala utama pasien TB paru
adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan
gejala tambahan yaitu dahak bercampur

darah, batuk darah, sesak nafas, badan
lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari
tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih
dari satu bulan
Tipe Pasien
 Kasus baru
Adalah pasien yang belum diobati
dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4
minggu).
 Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang
sebelumnya
pernah
mendapat
pengobatan
tuberkulosis
dan
dinyatakan sembuh atau pengobatan

lengkap, didiagnosis kembali dengan
BTA positif (apusan atau kultur).
 Kasus setelah putus berobat (default)
Adalah pasien yang telah berobat
dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
 Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang dipindahkan
dari UPK yang memiliki register TB
lain untuk melanjutkan pengobatannya
 Kasus pindahan (transfe in)
Adalah pasien yang dipindahkan
dari UPK yang memiliki register TB
lain untuk melanjutkan pengobatannya.
 Kasus lain :
Adalah semua kasus yang tidak
memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk Kasus Kronik,

yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
masih BTA positif setelah pengobatan
ulangan.
Pengobatan TB
Pengobatan TB bertujuan untuk
menyembuhkan
pasien,
mencegah
kematian,
mencegah
kekambuhan,
memutuskan
rantai
penularan
dan
mencegah terjadinya resistensi kuman
terhadap OAT.
Jenis, Sifat dan Dosis OAT
Jenis OAT

Sifat

Isoniazid (H)

Bakterisid

Rifampicin (R)

Bakterisid

Pyrazinamide (Z)

Bakterisid

Streptomycin (S)

Bakterisid

Ethambutol (E)

Bakteriostatik

Dosis yang
direkomendasikan
(mg/kg)
3x
Harian
seminggu
5
10
(4-6)
(8-12)
10
10
(8-12)
(8-12)
25
35
(20-30)
(30-40)
15
15
(12-18)
(12-18)
15
30
(15-20)
(20-35)

a. Prinsip Pengobatan
Pengobatan
tuberkulosis
dilakukan dengan prinsip – prinsip
sebagai berikut :
OAT harus diberikan dalam
bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat
sesuai dengan kategori pengobatan.
Jangan
gunakan
OAT
tunggal
(monoterapi).
Pemakaian
OATKombinasi Dosis Tetap (OAT – KDT)
lebih menguntungkan dan sangat
dianjurkan.
Pengobatan
tuberkulosis
dilakukan dengan prinsip – prinsip
sebagai berikut :
OAT harus diberikan dalam
bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat
sesuai dengan kategori pengobatan.
Jangan
gunakan
OAT
tunggal
(monoterapi).
Pemakaian
OATKombinasi Dosis Tetap (OAT – KDT)

lebih menguntungkan
dianjurkan

dan

sangat

Penilaian Status Gizi Secara Langsung
Penilaian status gizi ada 2 macam,
yaitu penilaian status gizi secara langsung
dan penilaian status gizi secara tidak
langsung (Supariasa. IDN, 2002: 18).
Penilaian Status Gizi secara Langsung.
 Penilaian status gizi secara langsung
dapat dibagi menjadi empat penilaian,
yaitu:
a. Antropometri
Secara umum antropometri artinya
ukuran tubuh manusia, ditinjau dari
sudut
pandang
gizi,
maka
antropometri
gizi
berhubungan
dengan berbagai macam pengukuran
dimensi tubuh dan komposisi tubuh
dari berbagai tingkat umur dan
tingkat gizi. Parameter antropometri
merupakan dasar dari penilaian
status gizi. Kombinasi antara
beberapa parameter disebut indeks
antropometri.
Beberapa
indeks
antropometri yang sering digunakan
yaitu:
1. Berat Badan Menurut Umur
(BB/U)
Berat badan adalah salah satu
parameter yang memberikan
gambaran
massa
tubuh.
Mengingat karakteristik berat
badan yang labil, maka indeks
BB/U lebih menggambarkan
status gizi seseorang saat ini
(Current Nutrirional Status).
2. Tinggi Badan Menurut Umur
(TB/U)
Tinggi
badan
merupakan
antropometri
yang
menggambarkan
keadaan
pertumbuhan
skeletal.
Pada
keadaan normal tinggi badan
tumbuh
seiring
dengan
pertambahan umur.
3. Berat badan Menurut Tinggi
Badan (BB/TB)
Berat badan memiliki hubungan
yang linear dengan tinggi badan.

Dalam
keadaan
normal,
perkembangan berat badan akan
searah dengan pertumbuhan tinggi
badan dengan kecepatan tertentu.
4. Lingkar Lengan Atas Menurut
Umur (LLA/U)
Lingkar lengan atas memberikan
gambaran
tentang
keadaan
jaringan otot dan lapisan lemak
bawah kulit. Lingkar lengan atas
berkolerasi dengan indeks BB/U
maupun BB/TB.
5. Indeks Massa Tubuh (IMT)
Rumus perhitungan IMT adalah
sebagai berikut:

Atau
Barat badan (kg) dibagi
kuadrat tinggi badan (m).
Batas
ambang
IMT
ditentukan
dengan
merujuk
ketentuan
FAO/WHO,
yang
membedakan batas ambang untuk
laki-laki dan perempuan
Batas ambang normal lakilaki adalah 20,1-25,0 dan untuk
perempuan adalah 18,7-23,8.
6. Tebal Lemak Bawah Kulit
Menurut Umur
Pengukuran lemak tubuh melalui
pengukuran ketebalan lemak
bawah kulit dilakukan pada
beberapa bagian tubuh, misalnya
pada bagian lengan atas, lengan
bawah, di tengah garis ketiak, sisi
dada, perut, paha, tempurung
lutut, dan pertengahan tungkai
bawah.
7. Rasio Lingkar Pinggang dengan
Pinggul
Rasio Lingkar Pinggang dengan
Pinggul digunakan untuk melihat
perubahan metabolisme yang
memberikan gambaran tentang
pemeriksaan
penyakit
yang
berhubungan dengan perbedaan
distribusi lemak tubuh.

METODOLOGI PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
retrospektif yang bersifat deskriptif untuk
mengetahui status gizi secara antropometri
pada penderita TB Paru di Puskesmas
Peterongan Jombang Untuk tujuan ini
maka penelitian ini dibagi atas beberapa
bagian, yakni : (1) Menentukan jumlah
yang menderita TB Paru secara klinis. (2)
Menentukan
status
gizi
secara
antropometris subyek penelitian pada awal
terapi dan setelah 6 bulan terapi OAT.
Populasi Penelitian
1. Populasi target adalah pasien TB usia
15 – 55 tahun
2. Populasi terjangkau adalah penderita
TB usia yang berobat jalan di
Puskesmas Ganting Sidoarjo
Kriteria Penelitian
1. Kriteria Inklusi
a. Sampel penelitian ini adalah pasien
baru yang didiagnosis TB paru pada
1 Januari 2011 – 31 Desember 2012
yang berobat jalan di puskesmas
Ganting Sidoarjo.
b. Pengobatan OAT teratur dan telah
mendapat terapi OAT selama 6
bulan.
2. Kriteria Ekslusi
a. Pengobatan dilanjutkan di luar
Puskesmas.
b. Menderita kelainan kongenital atau
sindrom bawaan, tumor yang besar.
c. Mempunyai penyakit kronis yang
mempengaruhi berat badan seperti
asma.
Variabel Penelitian
1. Variabel Tergantung :
Pengobatan
OAT pada Penderita TB Paru usia
produktif
2. Variabel Bebas : Status Gizi
Antropometri penderita TB Paru usia
produktif

Analisis Data
 Data deskriptif penelitian ini disajikan
dalam bentuk teks, tabel dan/gambar.
 Uji t paired test, untuk menguji ada
tidaknya perbedaan status gizi pasien
TB paru yang signifikan antara
kelompok kontrol (sebelum melakukan
terapi OAT) dan kelompok perlakuan
(sesudah melakukan terapi OAT),
dimana
anggota
sampel
dalam
kelompok sampel yang satu tidak
mungkin diambil lagi untuk kelompok
sampel yang lain.
Uji beda t (Paired sample t test) secara
matematis dapat dirumuskan sebagai
berikut (Nazir, 1983 : 462) :
t

x1  x 2
Sx  x

;
Keterangan :
t
= nilai t
1

2

x1

= Mean atau rata-rata
sebelum perlakuan

sampel

x2

= Mean atau rata-rata
sesudah perlakuan

sampel

Sx

1

x2

= Mean atau `rata-rata sampel
sesudah perlakuan

HASIL PENELITIAN
1. Jenis Kelamin
Dari ke 60 orang yang menjadi
responden dalam sampel penelitian ini
akan dijelaskan melalui gambar berikut
ini:
Gambar 1
Jenis Kelamin

Berdasarkan
gambar
diatas
diketahui bahwa mayoritas jenis
kelamin pasien TB di Puskesmas
Ganting Sidoarjo adalah perempuan
sebanyak 37 orang (61.7%) dan sisanya
23 orang (38.3%) berjenis kelamin
laki-laki.
2. Umur
Dari ke 60 orang yang menjadi
responden dalam sampel penelitian ini
akan dijelaskan melalui gambar di
bawah ini:
Gambar 2
Umur

Berdasarkan gambar diatas dapat
diketahui bahwa mayoritas umur
pasien TB di Puskesmas Ganting
Sidoarjo mayoritas adalah 46-55 tahun
sebanyak 18 orang (30.0%).
3.

Analisa
Deskriptif
Variabel
Penelitian
a. Hasil Untuk Status Gizi Sebelum
Terapi OAT
Berikut hasil pengujian status gizi
sebelum terapi OAT yang disajikan
pada gambar grafik di bawah ini :

Gambar 3
Status Gizi Sebelum Terapi OAT

Berdasarkan gambar 3 diketahui diatas
dapat
diketahui
bahwa
mayoritas
responden memiliki status gizi baik
sebelum terapi OAT sebanyak 39 orang
(65.0%). Untuk responden yang memiliki
Status Gizi Kurang sebelum terapi OAT
sebanyak 12 orang (20.0%). Dan yang
memiliki status Gizi Buruk sebelum terapi
OAT sebanyak 9 orang (15.0%).
b. Hasil Untuk Status Gizi Sesudah
OAT
Berikut hasil pengujian status gizi
sesudah terapi OAT yang disajikan
pada gambar grafik di bawah ini :
Gambar 4
Grafik Untuk Status Gizi Sesudah
OAT

Berdasarkan gambar 4 diatas diatas
dapat
diketahui
bahwa
mayoritas
responden memiliki status gizi baik
sebelum terapi OAT sebanyak 39 orang
(65.0%). Untuk responden yang memiliki
Status Gizi Kurang sebelum terapi OAT
sebanyak 12 orang (20.0%). Dan yang
memiliki status Gizi Buruk sebelum terapi
OAT sebanyak 9 orang (15.0%).

d. Hasil Pengujian TBC BTA Sebelum
Terapi OAT
Gambar 6
Grafik TBC BTA Sebelum Terapi OAT

c. Perbandingan Jumlah Pasien TB
Paru dengan Status Gizi Baik
Sebelum dan Sesudah Terapi OAT
Gambar 5
Grafik Perbandingan Jumlah Pasien TB
Paru dengan Status Gizi Baik Sebelum
dan Sesudah Terapi OAT
Perbandingan Jumlah Pasien TB Paru dengan Status
Gizi Baik Sebelum dan Sesudah Terapi OAT

Berdasarkan gambar 5 diatas dapat
dapat
diketahui
bahwa
mayoritas
responden memiliki Status Gizi baik
sesudah OAT sebanyak 49 orang (81.7%),
untuk responden yang memiliki Status Gizi
Kurang sesudah OAT sebanyak 6 orang
(10.0%), dan responden yang memiliki
Status Gizi Buruk sesudah OAT hanya 5
orang (8.3%).

Berdasarkan gambar 6 diatas diketahui
bahwa mayoritas responden memiliki TBC
BTA negatif sebelum terapi OAT sebanyak
23 orang (38.3%), untuk responden yang
memiliki TBC BTA positif 1 sebelum
terapi OAT sebanyak 9 orang (15%), untuk
responden yang memiliki TBC BTA positif
2 sebelum terapi OAT sebanyak 17 orang
(28.3%), dan sisanya untuk responden
yang memiliki TBC BTA positif 3 sebelum
terapi OAT hanya 11 orang (18.3%).
e. Hasil Pengujian TBC BTA Sesudah
Terapi OAT
Gambar 7
Grafik TBC BTA Sesudah Terapi OAT

Berdasarkan gambar 7 diatas
diketahui bahwa mayoritas responden
memiliki TBC BTA negatif sesudah terapi
OAT sebanyak 57 orang (95.0%), untuk
responden yang memiliki TBC BTA positif

1 sesudah terapi OAT sebanyak 2 orang
(3.3%), sedangkan responden yang
memiliki TBC BTA positif 2 sesudah
terapi OAT hanya 1 orang (1.7%).
4. Analisis Uji Beda
Analisis uji beda t paired test
yang bertujuan untuk ada tidaknya
perbedaan status gizi pasien TB paru
sebelum dan 6 bulan sesudah
pengobatan dengan OAT. Status gisi
dalam hal ini dilihat dari nilai IMT
Kg/m2 untuk masing-masing pasien.
Langkah pengujian hipotesis
Berdasarkan hasil analisis uji beda
didapatkan nilai Sig. untuk variabel Status
Gizi berdasarkan nilai IMT Kg/m2 (0.000)
lebih kecil dari 0,05, maka tolak H0 dan
terima H1 yang berarti ada perbedaan yang
signifikan status gizi pasien berdasarkan
nilai IMT Kg/m2 antara pasien TB Paru
sebelum terapi OAT dengan Sesudah terapi
OAT. Hal ini juga dapat diketahui dari nilai
IMT Kg/m2 pasien TB Paru sesudah terapi
OAT lebih besar dari nilai IMT Kg/m2
pasien TB Paru sebelum terapi OAT.
Rata-rata nilai IMT Kg/m2 Pasien TB
Paru sesudah Terapi OAT mengalami
peningkatan sebelum adanya Terapi OAT.
Sebelum adanya Terapi OAT, nilai IMT
Kg/m2 pasien sebesar 19.4013 kemudian
setelah diberikan Terapi OAT, nilai IMT
Kg/m2 pasien meningkat menjadi 20.8575.
PEMBAHASAN
1. Status Gizi Pasien TB Paru Sebelum
Terapi dengan OAT
Status gizi adalah suatu keadaan
tubuh
yang
diakibatkan
oleh
keseimbangan antara asupan zat gizi
dengan kebutuhan. Keseimbangan
tersebut dapat dilihat dari variabel
pertumbuhan, yaitu berat badan, tinggi
badan/panjang badan, lingkar kepala,
lingkar lengan, dan panjang tungkai
(Gibson, 1990).

Tabel 1

Karakteristik Responden Pasien TB
Paru Berdasarkan Berat Badan dan
Umur

Berdasarkan tabel diatas diketahui
bahwa umur penderita TB paru antara 15
sampai 25 tahun mayoritas memiliki berat
badan awal antara 41 sampai 50 kg dengan
jumlah sebanyak 7 pasien (11.7% dari 60
pasien). Begitu pula pada umur penderita
TB paru antara 26 sampai 35 tahun, 36
sampai 45 tahun, dan 46 sampai 55 tahun
masing-masing mayoritas memiliki berat
badan awal 41 sampai 50 kg
2. Karakteristik Responden Pasien TB
Paru Berdasarkan Tinggi Badan dan
Umur
pengukuran tinggi badan Pasien TB
Paru sebelum terapi dengan OAT
berdasarkan umur adalah seperti yang
tertera pada tabel berikut:
Tabel 2
Karakteristik Responden Pasien TB
Paru Berdasarkan Tinggi Badan dan
Umur

Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa
karakteristik responden berdasarkan tinggi

badan adalah sebagai berikut, umur
penderita TB paru antara 15 sampai 25
tahun mayoritas memiliki tinggi badan
antara 147 sampai 164 cm dengan jumlah
sebanyak 6 pasien (10% dari 60 pasien).
Begitu pula pada umur penderita TB paru
antara 26 sampai 35 tahun, 36 sampai 45
tahun, dan 46 sampai 55 tahun masingmasing mayoritas memiliki tinggi badan
antara 147 sampai 164 cm.
3. Status Gizi Pasien TB Paru Sesudah
Terapi dengan OAT.
Pengukuran berat badan Pasien TB
Paru sesudah terapi dengan OAT
berdasarkan umur adalah seperti yang
tertera pada tabel berikut
Tabel 3
Karakteristik Responden Pasien TB
Paru Berdasarkan Berat Badan Setelah
6 Bulan dan Umur

Berdasrkan tabel 3 didapatkan
hasil bahwa umur penderita TB paru
antara 15 sampai 25 tahun setelah
mengikuti
terapi
dengan
OAT
mayoritas memiliki berat badan antara
41 sampai 50 kg dengan jumlah
sebanyak 6 pasien (10% dari 60
pasien). Begitu pula pada umur
penderita TB paru antara 26 sampai 35
tahun mayoritas juga memiliki berat
badan antara 41 sampai 50 kg dengan
jumlah sebanyak 6 pasien (10% dari 60
pasien). Sedangkan umur penderita TB
paru antara 36 sampai 45 tahun dan 46
sampai 55 tahun mayoritas memiliki
berat badan lebih dari 50 kg.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Ada perbedaan yang signifikan status
gizi pasien berdasarkan nilai IMT
Kg/m2 antara pasien TB Paru sebelum
terapi OAT dengan Sesudah terapi
OAT. Hal tersebut diketahui dari nilai
Sig. (0.000) lebih kecil dari 0,05, maka
tolak H0. Status gizi pasien penderita
OAT lebih baik setelah diberikan terapi
OAT.
2. Status gizi pasien TB paru dengan ratarata nilai IMT Kg/m2 sebelum terapi
OAT sebesar 19.4013. Dimana pasien
TB paru yang memiliki status gizi baik
sebelum terapi OAT sebanyak 43 orang
(71.7%). Untuk pasien TB paru yang
memiliki Status Gizi Kurang sebelum
terapi OAT sebanyak 11 orang
(18.3%). Dan pasien TB paru yang
memiliki status Gizi Buruk sebelum
terapi OAT sebanyak 6 orang (10.0%).
3. Status gizi pasien TB paru dengan ratarata nilai IMT Kg/m2 sesudah terapi
OAT sebesar 20.8575. Dimana pasien
TB paru yang memiliki status gizi baik
sesudah OAT sebanyak 53 orang
(88.3%), untuk pasien TB paru yang
memiliki status gizi kurang sesudah
OAT sebanyak 4 orang (6.7%), dan
pasien TB paru yang memiliki status
gizi buruk sesudah OAT hanya 3 orang
(5.0%).
Saran
Penyakit TB merupakan penyakit
infeksi yang sangat mudah menular dan
memerlukan pengobatan yang intensif,
namun kalau kita perhatikan lebih rinci
ternyata pengobatan TB ini haruslah
ditopang oleh berbagai sektor dimana yang
paling berperan adalah Pengawas Minum
Obat yang harus selalu mengingatkan agar
penderita teratur meminum obat sesuai
dosis yang dianjurkan. Untuk ini
disarankan
agar
penderita
rajin
memeriksakan penyakitnya sesuai anjuran
petugas kesehatan dalam hal ini dokter,
karena kalau kita perhatikan hasil diatas
ternyata kalau penderita teratur minum

obat, hasil konversi BTA pada dahaknya
akan memberikan hasil yang maksimal
Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut mengenai kesesuaian pemilihan
paduan obat antituberkulosis (OAT)
berdasarkan dosis dan frekuensi OAT, serta
selain pemberian OAT yang tepat dan
akurat perlu diperhatikan beberapa hal
yang akan membantu penyembuhan dan
pencegahan tuberkulosis paru seperti
pemahaman tentang penyakit terhadap
penderita maupun pada keluarganya,
terutama mengenai perbaikan gizi maupun
melalui cara hidup sehat.
Kepada dinas pelayanan kesehatan
atau
pengambil
kebijakan
tentang
pengelolaan nutrisi disarankan untuk dapat
memperhatikan dan meningkatkan status
gizi pasien selama perawatan. Dan
pemberian motivasi yang baik sangat
berperan dalam meningkatkan status gizi
pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Z., Bahar, A., 2007.. Jilid II. Edisi
IV. Jakarta : Internal Publishing, 988994.
Badan Penagawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia. Kepatuhan:
factor penting dalam keberhasilan
terapi. BPOM. 2006;7(5) p: 2-4.
Chan J, Tian Y, Tanak KE., 1996. Effect of
Protein Calorie Malnutrition on
Tuberculosis in Mice, Proc Natl
Acad Sci USA (XII); 93: 14857-61.
Dalam: Usman, S.,2008. Konversi
BTA Pada Penderita Paru Kategori I
dengan Berat Badan Rendah
Dibandingkan Berat Badan Normal
yang Mendapakatkan Terapi Intensif.
USU e-Repository.
Departemen
Kesehatan
RI.
2005.
Pharmaceutical
Care
Untuk
Penyakit Tuberkulosis. Direktorat

Bina Farmasi Komunitas Dan
Klinik Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian Dan Alat Kesehatan; p.
24-78
Departemen
Kesehatan
RI,
2002.
Pedoman
Nasional
Penanggulangan
Tuberkulosis,
Jakarta.
DEPKES RI. 1994. Pedoman Praktis
Memantau Status Gizi Orang
Dewasa.
Dirjen.Bina
Gizi
Masyarakat. Jakarta
Dodor, EA, 2008. Evaluation of
Nutritional
Status
of
New
Tuberculosis Patients at the EffiaNkwanta Regional Hospital. Ghana
Med J 42 (1): 22-28.
Gibson RS. 2005. Principles of
Nutritional Assessment. Ed ke-2.
New York : oxford University Press.
Gibson. 1990. Pengertian Status Gizi.
http:/www.rajawana.com
diakses
pada 15 Pebruari 2011
Hutapea TP. Pengaruh dukungan
keluarga terhadap kepatuhan
minum obat anti tuberkulosis.
RSUD Dr Syaiful Anwar Malang.
[homepage on the internet]. No date
[cited 2011 May 8]. Available from:
http://jurnalrespirologi.org.
Khan, A., Sterling, T.R., Reves, R.,
Vernon, A., Horsburgh C, R., and
Tuberculosis Trails Consortium,
2006. Lack of Weight Gain and
Relapse
Risk
in
a
Large
Tuberculosis Treatment Trial. Am J
Respir Crit Care Med 174: 344-48.

Linder,
MC.,
1991.
Nutritional
biochemistry and metabolism with
clinical applications. UK: Prentice
Hall Int: 87-108. Dalam: Usman,
S.,2008. Konversi BTA Pada
Penderita Paru Kategori I dengan
Berat
Badan
Rendah
Dibandingkan
Berat
Badan
Normal yang Mendapakatkan
Terapi Intensif. USU e-Repository.
Mariono, S., 2003. Nutrisi untuk Pasien
Paru di Rumah Sakit dan Rawat
Jalan, Respina V. Dalam: Usman,
S.,2008. Konversi BTA Pada
Penderita Paru Kategori I dengan
Berat
Badan
Rendah
Dibandingkan
Berat
Badan
Normal yang Mendapakatkan
Terapi Intensif. USU e-Repository.
Nazir, M. 1983. Metode Penelitian.
Jakarta : Penerbit Balai Aksara.
Perdana, P. 2008.Faktor-faktor yang
berhubungan dengan Kepatuhan
Berobat Penderita TB Paru selama
Pengobatan
di
Puskesmas
Kecamatan Ciracas Jakarta Timur
[Skripsi Tidak diterbitkan]. Jakarta:
UI.
Sidabutar B, Soedibyo S, Tumbelaka A.
2004. Nutritional status of under
five pulmonary tuberkulosis patiens
before and after six month therapy.
Pediatrica Indonesia ; 44(2) p: 2124.
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan
Aplikasinya. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Supriasa, I Dewa Nyoman, Ibnu Fajar.
2002. Penilaian Status Gizi. EGC.
Jakarta.

Triwanti, Fakhrurrozi M., Waspada
C.,2005. Perubahan Indeks Massa
Tubuh Penderita Tuberkulosis
Paru Setelah Mendapat Obat
AntiTuberkulosis Fase Intensif.
Berita Kedokteran Masyarakat XII :
117- 123.
Usman, S.,2008. Konversi BTA Pada
Penderita Paru Kategori I dengan
Berat
Badan
Rendah
Dibandingkan
Berat
Badan
Normal yang Mendapakatkan
Terapi Intensif. USU e-Repository.
Vasantha M, Gopi P G, Subramani R.,
2008. Weight Gain in Patients With
Tuberculosis
Treated
Under
Directly Observed Treatment ShortCourse (DOTS). Indian J Tubrc
2009, (56): 5-9.
Wahyu R, Tri.2008. Hubungan kondisi
fisik rumah dan praktik kesehatan
dengan kejadian TB Paru di
Puskesmas Masopati Kabupaten
Magetan [Tidak diterbitkan].
Semarang: UNDIP.
WHO. 2008. Guidance for National
Tuberkulosis Programmes on The
Management of Tuberkulosis in
Children. Geneva:World Health
Organization; p. 10-14.