KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN AL MAWARDI
KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN AL-MAWARDI
Oleh: Muhammad Rozali
A. Pendahuluan
Di masa kekhalifahan Bani Abbasiyah, khazanah
intelektualisme
mengalami
kemajuan yang
sangat
berarti. Bahkan sebagian kalangan menilai, zaman itu
sebagai salah satu tonggak kebangkitan peradaban
Islam dan keemasan keilmuan. Salah satu tokoh ilmuwan
dan pelopor kemajuan itu adalah al-Mawardi. Sejarah
Islam telah mencatat nama al-Mawardi sebagai pemikir
dan peletak dasar keilmuan.
Menelaah pemikiran al-Mawardi, bisa dikatakan cukup dengan
membaca karya besarnya, yakni al-Ahkaam ash-Shultoniyah (Hukum dan
Prinsip Kekuasaan), yang menjadi master piece-nya. Meskipun demikian ia
juga menulis beberapa buku lain diantaranya: al-Hawi al-Kabir, Tashonif
al-Katsiroh Fi al-Ushul Wa al-Furu’ Wa at-Tafsir, Adabu ad-Dunya wa adDin,1 an-Naktu wa al-Uyyun, A’lam an-Nubuwah, al-Amtsalu wa al-Hikam, 2
Nasihat al-Mulk, Qanun al-Wizara wa Siyasah al-Mulk, Tashil an-Nadhar wa
Ta’jil adh-Dhufur, Kitab an-Nahwu, Kitab al-Baghiyah al-Ulya fi Adab ad-Din
wa ad-Dunya,3 namun dalam buku al-Ahkam ash-Shultoniyah inilah pokok
pemikiran dan gagasannya menyatu.
Bahkan, harus diakui pula bahwa pemikiran dan gagasannya
memiliki pengaruh besar atas penulis-penulis generasi selanjutnya,
terutama di negeri-negeri Islam. Pengaruh ini misalnya, terlihat pada
karya Nizamul Mulk Tusi, yakni Siyasat Nama, dan Prolegomena karya
Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun, yang diakui sebagai peletak dasar sosiologi,
1
2
3
Ibnu Katsir, al-Bidayah Wa an-Nihayah (Cairo: Dar Al-Hadis,1998), jil. 12. h. 3.
Al-Mawardi, Adab ad-Dunya wa ad-Din (Cairo: Dar al-Rayan li at-Turats, 1988), h. 13.
Ibid., h. 14
1
dan pengarang terkemuka mengenai ekonomi politik tak ragu lagi telah
melebihi a1-Mawardi dalam banyak hal. Berkat keahliannya dalam bidang
hukum Islam, Al-Mawardi dipercaya untuk memegang jabatan sebagai
hakim di beberapa kota, seperti di Utsuwa (daerah Iran) dan di Baghdad.4
Pada tahun 1037 M, khalifah al-Qadir mengundang empat orang ahli
hukum mewakili keempat mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan
Hanbali). Mereka diminta menulis sebuah buku fikih. Maka al-Mawardi
terpilih untuk menulis buku fikih Mazhab Syafi'i. Setelah selesai, hanya
dua orang yang memenuhi permintaan khalifah sesuai yang diharapkan,
yakni al-Quduri dengan bukunya al-Mukhtashor (Ringkasan), dan alMawardi dengan kitabnya al-Igna'. Khalifah memuji karya al-Mawardi
sebagai yang terbaik, dan menyuruh para penulis kerajaan untuk
menyalinnya, lalu menyebarluaskannya ke seluruh perpustakaan Islam di
wilayah kekuasaannya.
Selain kedua karya besarnya itu, yakni al-Igna' dan al-Ahkaam alShultoniyah, al-Mawardi yang sejak kecil bercita-cita menjadi pegawai
negeri ini juga menulis buku Adab al-Wazir (Etika Menteri), Siyasat alMalik (Politik Raja), Tahsil un Nasr wat Tajit uz-Zafar (Memudahkan
Penaklukan
dan
Mempercepat
Kemenangan).
Kitab
al-Ahkam
al-
Shultoniyah telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Italia,
Indonesia, dan Urdu.
B. Riwayat hidup al-Mawardi
Ulama penganut Mazhab Syafi'i ini bernama lengkap Abu al-Hasan
Ali bin Habib al-Mawardi al-Bashry, panggilannya Abul Hasan, gelarnya alMawardi, diambil dari gelar keluarganya yang menjual maaul ward (air
mawar).5 Lahir di kota pusat peradaban Islam klasik, Basrah (Irak) pada
tahun 364 H. al-Mawardi menerima pendidikan pertamanya di kota
4
5
Mircea Eliade, Charles J. Adams, The Encyclopedia Of Religion vol. 9. h. 290.
Al-Mawardi, al-Hawy al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), jil. I. h. 3.
2
kelahirannya, ia belajar ilmu hukum dari Abul Qasim Abdul Wahid asSaimari,6 seorang ahli hukum Mazhab Syafi'i terkenal di masa itu.
Di kota ini juga al-Mawardi sempat mempelajari hadis dari beberapa
ulama terkenal seperti al-Hasan bin Ali bin Muhammad bin al-Jaily, Abu
Khalifah al-Jumhy, Muhammad bin ‘Adiy bin Zuhar al-Marzy, Muhammad
bin al-Ma’aly al-Azdy serta Ja’far bin Muhammad bin al-Fadl al-Baghdadi.
7
Menurut pengakuan muridnya, Ahmad Bin Ali al-Khatib, 8 bahwa
dalam bidang Hadis, Al-Mawardi termasuk orang yang tsiqoh.9 Selain
mendalami bidang Hadis, al-Mawardi juga mendalami bidang fikih pada
syekh Abu al-Hamid al-Isfarayyini,10 sehingga ia tampil sebagai salah
seorang ahli fikih terkemuka dari Madzhab Syafi’i. Keahlian al-Mawardi
selanjutnya juga dalam bidang sastra dan sya’ir, nahwu, filsafat dan ilmu
sosial, namun belum dapat diketahui secara pasti dari mana ia
mempelajari ilmu kebahasaan tersebut. Dalam waktu singkat ia telah
menguasai dengan baik ilmu-ilmu agama tersebut.
Setelah
seluruh
hayatnya
diabdikan
untuk
dunia
ilmu
dan
kemaslahatan umat, sang Khaliq akhirnya memanggil al-Mawardi untuk
selama-lamanya pada usia 86 tahun yaitu pada tanggal 30 Rabiul Awal
450 H, dan dimakamkan di Bab Harb Baghdad.11
C. Pemikiran Al-Mawardi dalam bidang pendidikan
Pemikiran al-Mawardi dalam bidang pendidikan sebagian besar
terkonsentrasi pada masalah etika hubungan guru dengan murid dalam
proses belajar mengajar. Pemikiran ini dapat dipahami, karena dari
seluruh aspek pendidikan, guru memegang peranan yang sangat penting,
bahkan berada pada garda terdepan. Keberhasilan pendidikan sebagian
besar bergantung kepada kualitas guru baik dari segi penguasaannya
6
7
8
11
Ibid., h. 4.
Al-Mawardi, al-Hawy…, h. 58.
Ibid., h. 60.
9
Musthofa, as-Saqo, Adab al-Dunya wa al-Din (Beirut: Dar al Fikr, 1995), h. 21.
10
Ibnu Katsir, al-Bidayah Wa…, h. 3.
Al-Mawardi, al-Hawy al-Kabir …, h. 5.
3
terhadap materi pelajaran yang diajarkan maupun cara menyampaikan
materi pelajaran tersebut serta kepribadiannya yang baik, yaitu pribadi
yang terpadu antara ucapan dan perbuatannya secara harmonis.
Al-Mawardi memandang penting seorang guru harus memiliki sikap
tawadhu (rendah hati) serta menjauhi sikap ujub (besar kepala). Menurut
al-Mawardi sikap tawadhu akan menimbulkan simpatik dari para peserta
didiknya,12 sedangkan sikap ujub akan menyebabkan guru kurang
disenangi.13 Sikap Tawadhu yang dimaksudkan al-Mawardi bukanlah sikap
menghinakan diri atau merendahkan diri ketika berhadapan dengan orang
lain, karena sikap ini akan menyebabkan orang lain meremehkannya.
Sikap tawadhu yang dimaksud adalah sikap rendah hati dan merasa
sederajat dengan orang lain dan saling menghargai. Sikap demikian akan
menumbuhkan rasa persamaan, menghormati orang lain, toleransi, serta
rasa senasib dan cinta keadilan.14 Dengan sikap tawadhu tersebut, guru
akan menghargai muridnya sebagai makhluk yang memiliki potensi, serta
melibatkannya dalam kegiatan belajar mengajar. Prinsip ini sejalan
dengan prinsip yang digunakan para pendidik di zaman modern, yaitu
bahwa dalam kegiatan belajar-mengajar di masa sekarang seorang murid
dan guru berada dalam kebersamaan.
Pada perkembangan selanjutnya sikap tawadhu tersebut akan
menyebabkan guru bersikap demokratis dalam menghadapi muridmuridnya. Sikap demokratis ini mengandung makna bahwa guru berusaha
mengembangkan
individu
seoptimal
mungkin.
Guru
tersebut
menempatkan peranannya sebagai pemimpin dan pembimbing dalam
proses belajar mengajar yang berlangsung dengan utuh dan luwes,
dimana seluruh siswa terlibat di dalamnya.
Pelaksanaan prinsip demokratis di dalam kegiatan belajar mengajar
dapat diwujudkan dalam bentuk timbal balik antara siswa dengan siswa
12
Al-Maududi, Adab al Dunya wa al-Din (Beirut: Dar al Fikr, tt), h. 80.
Al-Mawardi, Adab al-Dunya…, h. 99.
14
Ahmad Muhammad al-Hufi, Min Akhlaq Nabi (Cairo : Al-Majlis al-A'la li Syu'uni al-Islamiyah,
1968), h. 283.
13
4
dan antara siswa dengan guru. 15 Dalam interaksi tersebut seorang guru
akan lebih banyak memberikan motivasi, sehingga murid menjadi
bersemangat dan bergairah serta merasa mempunyai harga diri, karena
potensi, kemauan, prakarsa, dan kreatifitasnya merasa dihargai. Dengan
demikian sikap demokratis guru akan mendorong terciptanya cara belajar
siswa aktif.
Selanjutnya al-Mawardi mengatakan bahwa seorang guru selain
harus bersikap tawadhu, juga harus bersikap ikhlas. Secara harfiah berarti
menghindari riya, sedangkan dari segi istilah ikhlas berarti pembersihan
hati dari segala dorongan yang dapat mengeruhkannya.16 Keikhlasan ini
ada kaitannya dengan motivasi seseorang. Sebagaimana kita ketahui
bahwa ada guru yang mengajar karena motif ekonomi, memenuhi
harapan orang tua, dorongan teman atau mengharapkan status dan
penghormatan serta lainnya.
Selain motif-motif tersebut seorang guru harus mencintai tugasnya.
Kecintaan
ini
akan
tumbuh
dan
berkembang
apabila
keagungan,
keindahan dan kemuliaan tugas guru itu sendiri benar-benar dapat
dihayati. Namun motif yang paling utama menurut al-Mawardi adalah
karena panggilan jiwanya untuk berbakti kepada Allah SWT dengan tulus
dan ikhlas. Lebih lanjut lagi ia mengatakan bahwa akhlak yang harus
dimiliki para guru adalah menjadikan keridhoan dan pahala dari Allah SWT
sebagai tujuan dalam melaksanakan tugas mengajar dan mendidik
muridnya, bukan mengharapkan balasan berupa materi.17
Pernyataan tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa alMawardi menghendaki agar seorang guru benar-benar ikhlas dalam
melaksanakan
tugasnya.
Menurutnya
bahwa
tugas
mendidik
dan
mengajar harus diorientasikan kepada tujuan yang luhur, yakni keridhoan
Allah SWT. Sebagai konsekuensi dari orientasi semacam ini adalah
15
Rusyan A. Tabrani, Kemampuan Guru dalam Proses Mengajar (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1994), h. 117.
16
Ali bin Muhammad al Jurjaniy, Kitab al Ta’rifat (Beirut: Dar al-Kutub, 1978), h.13.
17
Al-Maududiy, Adab al-Dunya…, h. 4.
5
pelaksanaan tugas guru dengan sebaik-baiknya serta penuh tanggung
jawab.
Selanjutnya al-Mawardi melarang seseorang mengajar dan mendidik
atas dasar motif ekonomi. Dalam pandangannya bahwa mengajar dan
mendidik merupakan aktifitas keilmuan, sementara ilmu itu sendiri
mempunyai
nilai
dan
kedudukan
yang
tinggi,
yang
tidak
dapat
disejajarkan dengan materi. Dalam kaitan ini al-Mawardi mengatakan
bahwa sesungguhnya ilmu adalah puncak segala kenikmatan dan pemuas
segala keinginan. Siapa yang mempunyai niat ikhlas dalam ilmu, maka ia
tidak akan mengharap mendapatkan balasan dari ilmu itu.18
Dengan demikian, tugas mendidik dan mengajar dalam pandangan
al-Mawardi merupakan tugas yang luhur dan mulia. 19 Itulah sebabnya
dalam
mendidik
dan
mengajar
seseorang
harus
semata-mata
mengharapkan ridha Allah. Apabila yang dituju dari tugas mengajarnya itu
adalah materi, maka ia akan mengalami kegoncangan ketika ia merasa
bahwa
kerja
yang
dipikulnya
tidak
seimbang
dengan
hasil
yang
diterimanya. Selain itu ia sengat peka terhadap hal-hal atau persoalan
yang ditemukan dalam tugasnya, misalnya soal administrasi, kenaikan
pangkat, hubungan dengan kepala sekolah dan sebagainya. Tindakan dan
sikapnya terhadap anak didik akan terpengaruh pula. Hal ini selanjutnya
dapat merusak atau mengurangi hasil atau nilai pendidikan yang diterima
anak didik.20 Dengan kata lain, seorang guru dalam pandangan al-Mawardi
bukanlah orang yang berorientasi pada nilai ekonomi yang diterimanya
sebagai akibat atau imbalan dari tugasnya.21
Dari uraian tersebut kiranya dapat disimpulkan bahwa makna
keikhlasan
seorang
guru
dalam
mendidik
adalah
kesadaran
akan
pentingnya tugas, sehingga dengan kesadaran tersebut ia akan terdorong
untuk mencapai hasil yang maksimal. Keikhlasan inilah akan menentukan
keberhasilan tugasnya sehari-hari, tanpa merasakannya sebagai suatu
18
Muntasir M. Sholeh, Mencari Evidensi Islam (Jakarta: Rajawali, 1985), h. 141.
Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan al-Ghazali (Jakarta:
19
P3M,
1986),
h. 41.
20
21
Zakiyah Derajat, Kepribadian Guru (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 14.
Muntasir M. Sholeh, Mencari Evidensi…, h. 142.
6
beban, melainkan sebaliknya justru akan merasa bahagia, penuh harapan
dan motivasi, karena dari tugas mengajar dan mendidiknya itu, ia kelak
akan mendapatkan pahala yang setimpal dari Allah SWT.
Berdasarkan sikap ikhlas tersebut, maka seorang guru akan tampil
melaksanakan tugasnya
secara professional.
Hal ini ditandai oleh
beberapa sikap sebagai berikut:
Pertama: Selalu mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan
guna mendukung pelaksanaan proses belajar mengajar, seperti dalam
penguasaan materi (bahan pelajaran), pemilihan metode, penggunaan
sumber dan media pengajaran, pengelolaan kelas dan lain sebagainya.
Kedua: Disiplin terhadap peraturan dan waktu, dalam keseluruhan
hubungan sosial dan profesionalnya, seorang guru yang ikhlas akan
bertindak tepat dalam janji dan penyelesaian tugasnya. Guru yang ikhlas
akan mampu mengelola waktu bekerja dan waktu lainnya dengan
perencanaan yang rasional dan disiplin yang tinggi.
Ketiga: Penggunaan waktu luang akan diarahkan untuk kepentingan
profesionalnya. Guru yang ikhlas, keseluruhan waktunya akan digunakan
secara
efisien,
baik
dengan
tugas
keguruan
maupun
dalam
pengembangan kariernya, sehingga ia akan mencapai peningkatan. Bila
sebagian waktu luang digunakan untuk hal-hal yang berada di luar
tugasnya, maka guru yang ikhlas akan menggunakannya secara bijaksana
dan produktif serta tidak mengganggu tugas pokoknya.
Keempat: Ketekunan dan keuletan dalam bekerja. Guru yang ikhlas
akan menyadari pentingnya katekunan dan keuletan bekerja dalam
pencapaian keberhasilan tugasnya. Oleh karenanya ia akan selalu
berusaha menghadapi kegagalan tanpa putus asa dan mengatasi segala
kesulitan
pendidikan
dengan
yang
penuh
telah
kesabaran,
ditetapkannya
sehingga
akan
akhirnya
berjalan
program
sebagaimana
mestinya serta mencapai sasaran. Di samping itu, keuletan dan ketekunan
yang ditampilkan guru sebagai pribadi yang utuh, akan terbiasa
7
melakukan
suatu
tugas
atau
pekerjaan
yang
ulet,
tekun,
penuh
kesungguhan dan ketelitian.
Kelima: Memiliki daya kreasi dan inovasi yang tinggi. Hal ini timbul
dari kesadaran akan semakin banyaknya tuntutan dan tantangan
pendidikan masa mendatang, sejalan dengan kemajuan imu pengetahuan
dan
teknologi.
Guru
yang
ikhlas
akan
terus
mengevaluasi
dan
mengadakan perbaikan proses belajar mengajar yang telah digunakannya
selama ia bertugas. Lebih jauh dari itu, guru tersebut akan mempelajari
kelemahan dan kelebihan dari berbagai teori dan konsep yang dapat
digunakan
dalam
pendahulunya,
proses
untuk
belajar
selanjutnya
mengajar
dilakukan
yang
diterapkan
para
penyempurnaan
dan
pengayaan. Mengingat tugas keguruan tidak dapat dipolakan secara
mekanis, eksak dan dengan resep tunggal serta tak terbatasnya variasi
tindakan keguruan, maka guru dituntut untuk mampu bertindak kreatif.
Dalam kaitannya dengan keikhlasan tersebut, al-Mawardi juga
berbicara tentang gaji. Dalam hubungan ini, al-Mawardi mengatakan
bahwa di antara akhlak yang harus dimiliki seorang guru adalah
membersihkan diri dari pekerjaan-pekerjaan syubhat dan menguras
tenaga. Hendaknya ia merasa cukup atas penghasilan yang dicapai
dengan mudah, dari pada penghasilan yang dicapai dengan susah payah.
Guru harus meninggalkan pekerjaan yang syubhat, karena perbuatan
syubhat akan berakibat dosa. Pahala lebih baik dari dosa dan kemuliaan
lebih pantas dibandingkan dengan kehinaan.22
Pernyataan al-Mawardi tersebut mengingatkan kepada kita tentang
peranan dan figur strategis yang dimiliki seorang guru. Menurut alMawardi bahwa seorang guru harus merupakan figur yang dapat dicontoh
oleh murid dan masyarakat. Oleh karena itu segala tingkah laku guru
harus sesuai dan sejalan dengan nilai-nilai ajaran agama yang berasal dari
wahyu. Sejalan dengan pernyataan tersebut, maka seorang guru harus
tampil sebagai teladan yang baik. Usaha penanaman nilai-nilai kehidupan
melalui pendidikan tidak akan berhasil, kecuali jika peranan guru tidak
22
Al-Mawardi, Adab al-Dunya..., h. 112.
8
hanya sekedar komunikator nilai, melainkan sekaligus pelaku nilai yang
menuntut
adanya
rasa
tanggung
jawab
dan
kemampuan
dalam
meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang utuh. Dalam kaitan ini
al-Mawardi mangatakan hendaknya seorang guru menjadikan amal atas
ilmu yang dimilkinya serta memotivasi diri untuk selalu berusaha
memenuhi segala tuntutan ilmu. Janganlah ia temasuk golongan yang
dinilai Tuhan sebagai orang Yahudi yang diberi Taurat tetapi mereka tidak
mengamalkannya, tak ubahnya dengan seekor keledai membawa kitab di
punggungnya.23
Pernyataan al-Mawardi tersebut mengisyaratkan bahwa bagian dari
kegiatan mendidik adalah memberikan teladan. Oleh karena itu dalam
memberikan ilmu kapada muridnya, seorang guru dituntut memiliki
kejujuran dengan menerapkan apa yang diajarkan dalam kehidupan
pribadinya. Dengan kata lain, seorang guru harus konsekuen dalam
menjaga keharmonisan antara ucapan, larangan dan perintah dengan
amal perbuatannya sendiri. Selain sebagai teladan, seorang guru juga
harus tampil sebagai penyayang. Guru merupakan aktor kedua setelah
orang tua dalam memberikan modal atau bekal dasar kepada anakanaknya. Oleh karenannya, guru sebagai pendidik profesional dituntut
untuk berperan sebagai orang tua di sekolah. Dengan kedudukannya yang
demikian, maka seorang guru harus memiliki sifat kasih sayang dan
lemah lembut terhadap muridnya. Dalam hubungan ini, al-Mawardi
mengatakan bahwa diantara akhlak seorang guru adalah tidak berlaku
kasar kepada muridnya, tidak boleh menghina murid yang sedang
berkembang, tidak boleh memandang rendah murid-muridnya. Karena
semua
itu
akan
membuat
mereka
lebih
tertarik,
terkesan,
dan
bersemangat.24
Kasih-sayang dan lemah-lembut yang ditunjukan oleh guru tersebut
sejalan dengan psikologis manusia. Diketahui bahwa kegairahan dan
semangat belajar seorang murid atau sebaliknya amat bergantung
kepada adanya hubungan antara murid dan guru. Apabila guru bersikap
23
24
Ibid., h. 113.
Musthofa. as-Saqo, al-Dunya..., h. 142.
9
kasar dan keras hati serta menggunakan cara-cara mengajar yang tidak
tepat, seperti mengancam, menyesali, menghina dan tidak mendorong
para murid untuk giat belajar, maka hal itu dapat menyebabkan para
murid kurang senang kepada guru dan tidak mau menerima pelajaran
yang
diberikannya.
diperlakukan
Secara
dengan
psikologis,
cara-cara
yang
setiap
lembut
manusia
dan
lebih
halus
suka
daripada
diperlakukan dengan cara-cara keras dan kasar. Selanjutnya seorang guru
juga harus tampil sebagai motivator. Seorang murid akan belajar
sungguh-sungguh dan ulet dengan mencurahkan pikiran, tenaga, biaya,
dan waktu yang cukup banyak demi mencapai kesuksesan, jika ia
menyadari manfaat belajar, sehingga kegiatan belajar itu dirasakannya
sebagai suatu kebutuhan dan sesuatu hal yang penting baginya. Dalam
kaitan ini diantara akhlak para guru adalah tidak menghadapi muridnya
dengan kasar, tidak menghilangkan minat dan semangatnya. Karena
semua itu akan menghilangkan rasa simpati pada gurunya dan pada
gilirannya murid akan menolak pelajaran mereka. Jika hal itu terus
berlangsung, maka akan mengakibatkan kesia-siaan suatu ilmu yang
disebabkan kelalaian para guru. Peranan guru sebagai motivator penting
artinya dalam rangka meningkatkan kegairahan dan pengembangan
kegiatan belajar siswa. Megingat mengajar adalah membimbing kegiatan
belajar siswa sehingga ia mau belajar.
Selanjutnya al-Mawardi menegaskan tentang tugas dan peran guru
sebagai
pembimbing.
Bimbingan
dapat
diartikan
sebagai
kegiatan
memantau murid dalam perkembangannya dengan jalan menciptakan
lingkungan dan arahan sesuai dengan tujuan pendidikan. Sedangkan dari
segi bentukya bimbingan tersebut dapat berupa pemberian petunjuk,
teladan,
bantuan,
latihan,
penerangan,
pengetahuan,
pengertian,
kecakapan dan keterampilan, nilai-nilai, norma serta sikap yang positif.
Dalam kaitan ini al-Mawardi mengatakan, di antara kewajiban guru adalah
memberikan nasihat atau bimbingan kepada muridnya, kasih sayang,
mempermudah jalan bagi muridnya, berusaha keras menolong dan
10
membantu muridnya. Semua itu akan menghasilkan pahala yang besar,
keluhuran namanya, serta semakin bertambah dan menyebar ilmunya.25
Bentuk-bentuk bimbingan tersebut selanjutnya adalah dengan jalan
membantu murid-murid untuk mengembangkan pemahaman diri sesuai
dengan kecakapan, minat, pribadi, hasil belajar serta kesempatan yang
ada, membantu proses sosialisasi dan sensivitas kepada kebutuhan orang
lain,
mengembangkan
motif-motif
intrinsik
dalam
belajar
sehingga
tercapai kemajuan pengajaran, memberikan dorongan dalam pengarahan
diri, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan keterlibatan diri
dalam proses pendidikan, mengembangkan nilai dan sikap secara
menyeluruh serta perasaan sesuai dengan penerimaan diri sendiri,
memahami
tingkah
laku
manusia,
membantu
murid-murid
untuk
memperoleh kepuasan pribadi dan dalam penyesuaian diri secara
maksimum terhadap masyarakat serta membantu aspek fisik, mental dan
sosial.26
Dalam uraian tersebut di atas terlihat bahwa pemikiran al-Mawardi
dalam
bidang
kepribadian
pendidikan
seorang
guru,
banyak
terkonsentrasi
kepribadian
inilah
pada
yang
masalah
tampaknya
diutamakan. Sebenarnya seorang guru bukan hanya harus memiliki
kepribadian yang baik, tetapi juga harus memilki latar belakang ilmu
keguruan dan penguasaan yang baik terhadap materi yang akan
diajarkannya. Namun jika hal tersebut dibandingkan dengan kepribadian,
tampaknya al-Mawardi lebih mengutamakan kepribadian. Hal ini dapat
dipahami, karena penguasaan terhadap ilmu dan latar pendidikan
keguruan dapat dipelajari, sedangkan kepribadian merupakan hal yang
sulit dibentuk.
D. Penutup
Al-Mawardi
banyak
sekali
memberikan
kontribusinya
berupa
pemikirannya terhadap pendidikan Islam. Beliau banyak menitikberatkan
25
Ibid., h. 113.
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 65.
26
11
pada hubungan guru dengan murid. Dalam hal ini Mawardi menfokuskan
pada
keprofesionalan
guru
dalam
mendidik
anak
didiknya.
Guru
merupakan sentral dari kegiatan belajar mengajar, menurut al-Mawardi
keberhasilan pendidikan sebagian besar ditentukan oleh guru. Jadi pada
dasarnya
kualitas
guru
dalam
proses
belajar
mengajar
sangat
menentukan.
Keberhasilan pendidikan sebagian besar ditentukan oleh mutu
profesionalisme seorang guru. Guru yang profesional bukanlah guru yang
hanya dapat mengajar dengan baik, tetapi juga guru yang dapat
mendidik. Untuk itu selain harus menguasai ilmu yang diajarkan dan cara
mengajarkannya dengan baik, seorang guru juga harus memiliki akhlak
yang mulia. Guru juga harus mampu meningkatkan pengetahuannya dari
waktu
ke
perubahan
waktu,
yang
sesuai
dengan
diakibatkan
oleh
perkembangan
kemajuan
zaman.
dalam
Berbagai
bidang
ilmu
pengetahuan dan teknologi juga harus diantisipasi oleh guru. Dengan
demikian seorang guru tidak hanya menjadi sumber informasi, ia juga
dapat manjadi motivator, inspirator, dinamisator, fasilitator, evaluator dan
sebagainya.
Jika kita membandingkan karakteristik guru yang dikatakan oleh alMawardi dengan para ahli pendidikan yang lainnya, misalnya al-Ghazali. Ia
mengatakan bahwa seorang guru yang menyampaikan ilmu pengetahuan
harus bersih hati, berbuat dan bersikap yang terpuji, serta sebagai
pengayom,
berkasih-sayang
terhadap
murid-muridnya
dengan
memperlakukannya sebagai anak sendiri. 27 Sedangkan menurut Bin
Muqaffa bahwa guru yang baik adalah guru yang mau berusaha memulai
dengan mendidik dirinya, memperbaiki tingkah lakunya, meluruskan
pikirannya,
dan
menjaga
kata-katanya
terlebih
dahulu
sebelum
menyampaikan kepada orang lain.
E. Kesimpulan
27
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din (Cairo: Dar al-Hadis, 1998), jil. I. h. 75.
12
Sehubungan dengan penjelasan-penjelasan di atas, terlihat bahwa
pemikiran al-Mawardi dalam bidang pendidikan banyak terkonsentrasi
pada masalah kepribadian seorang pendidik, kepribadian inilah yang
tampaknya yang paling utama harus ditonjolkan. Sebenarnya seorang
pendidik bukan hanya harus memiliki kepribadian yang baik, tetapi harus
memiliki latar belakang ilmu keguruan dan penguasaan yang baik
terhadap materi pelajaran yang akan diajarkan. Namun jika hal tersebut
dibandingkan
dengan
kepribadian,
tampaknya
al-Mawardi
lebih
mengutamakan kepribadian.
Hal ini dapat dipahami, karena penguasaan terhadap ilmu dan latar
belakang pendidikan keguruan dapat dipelajari, sedangkan kepribadian
merupakan hal yang sulit dibentuk. Maka penulis berasumsi bahwa
keberhasilan pendidikan tidak seluruhnya tergantung terhadap pendidik.
Namun di samping itu ada sub sistem lain yang berhubungan dengan
saling keterkaitan yang mendukungnya. Penulis sendiri sangat memahami
pemikiran al-Mawardi, mungkin di saat itu guru dijadikan sentral dalam
pendidikan, berbeda dengan pendukung-pendukung lainnya.
Daftar Pustaka
Ahmad Muhammad al-Hufi, Min Akhlaq Nabi, Cairo: Al-Majlis al-A'la li
Syu'uni
al-Islamiyah, 1968.
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Cairo: Dar al-Hadis, 1998.
13
Al-Mawardi, Adab ad-Dunya wa ad-Din, Cairo: Dar al-Rayan li at-Turats,
1988.
Al-Mawardi, al-Hawy al-Kabir, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiah, 1994.
Al-Maududi, Adab al Dunya wa al-Din, Beirut: Dar al Fikr, tt.
Ali bin Muhammad al Jurjaniy, Kitab al Ta’rifat, Beirut: Dar al-Kutub, 1978.
Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan al-Ghazali, Jakarta: P3M,
1986.
Ibnu Katsir, al-Bidayah Wa an-Nihayah, Cairo: Dar Al-Hadis, 1998.
Mircea Eliade, Charles J. Adams, The Encyclopedia Of Religion vol. 9.
Musthofa, as-Saqo, Adab al-Dunya wa al-Din. Beirut: Dar al Fikr, 1995.
Muntasir M. Sholeh, Mencari Evidensi Islam. Jakarta: Rajawali, 1985.
Rusyan A. Tabrani, Kemampuan Guru dalam Proses Mengajar, Bandung:
Remaja
Rosdakarya, 1994.
Zakiyah Derajat, Kepribadian Guru, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
14
Oleh: Muhammad Rozali
A. Pendahuluan
Di masa kekhalifahan Bani Abbasiyah, khazanah
intelektualisme
mengalami
kemajuan yang
sangat
berarti. Bahkan sebagian kalangan menilai, zaman itu
sebagai salah satu tonggak kebangkitan peradaban
Islam dan keemasan keilmuan. Salah satu tokoh ilmuwan
dan pelopor kemajuan itu adalah al-Mawardi. Sejarah
Islam telah mencatat nama al-Mawardi sebagai pemikir
dan peletak dasar keilmuan.
Menelaah pemikiran al-Mawardi, bisa dikatakan cukup dengan
membaca karya besarnya, yakni al-Ahkaam ash-Shultoniyah (Hukum dan
Prinsip Kekuasaan), yang menjadi master piece-nya. Meskipun demikian ia
juga menulis beberapa buku lain diantaranya: al-Hawi al-Kabir, Tashonif
al-Katsiroh Fi al-Ushul Wa al-Furu’ Wa at-Tafsir, Adabu ad-Dunya wa adDin,1 an-Naktu wa al-Uyyun, A’lam an-Nubuwah, al-Amtsalu wa al-Hikam, 2
Nasihat al-Mulk, Qanun al-Wizara wa Siyasah al-Mulk, Tashil an-Nadhar wa
Ta’jil adh-Dhufur, Kitab an-Nahwu, Kitab al-Baghiyah al-Ulya fi Adab ad-Din
wa ad-Dunya,3 namun dalam buku al-Ahkam ash-Shultoniyah inilah pokok
pemikiran dan gagasannya menyatu.
Bahkan, harus diakui pula bahwa pemikiran dan gagasannya
memiliki pengaruh besar atas penulis-penulis generasi selanjutnya,
terutama di negeri-negeri Islam. Pengaruh ini misalnya, terlihat pada
karya Nizamul Mulk Tusi, yakni Siyasat Nama, dan Prolegomena karya
Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun, yang diakui sebagai peletak dasar sosiologi,
1
2
3
Ibnu Katsir, al-Bidayah Wa an-Nihayah (Cairo: Dar Al-Hadis,1998), jil. 12. h. 3.
Al-Mawardi, Adab ad-Dunya wa ad-Din (Cairo: Dar al-Rayan li at-Turats, 1988), h. 13.
Ibid., h. 14
1
dan pengarang terkemuka mengenai ekonomi politik tak ragu lagi telah
melebihi a1-Mawardi dalam banyak hal. Berkat keahliannya dalam bidang
hukum Islam, Al-Mawardi dipercaya untuk memegang jabatan sebagai
hakim di beberapa kota, seperti di Utsuwa (daerah Iran) dan di Baghdad.4
Pada tahun 1037 M, khalifah al-Qadir mengundang empat orang ahli
hukum mewakili keempat mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan
Hanbali). Mereka diminta menulis sebuah buku fikih. Maka al-Mawardi
terpilih untuk menulis buku fikih Mazhab Syafi'i. Setelah selesai, hanya
dua orang yang memenuhi permintaan khalifah sesuai yang diharapkan,
yakni al-Quduri dengan bukunya al-Mukhtashor (Ringkasan), dan alMawardi dengan kitabnya al-Igna'. Khalifah memuji karya al-Mawardi
sebagai yang terbaik, dan menyuruh para penulis kerajaan untuk
menyalinnya, lalu menyebarluaskannya ke seluruh perpustakaan Islam di
wilayah kekuasaannya.
Selain kedua karya besarnya itu, yakni al-Igna' dan al-Ahkaam alShultoniyah, al-Mawardi yang sejak kecil bercita-cita menjadi pegawai
negeri ini juga menulis buku Adab al-Wazir (Etika Menteri), Siyasat alMalik (Politik Raja), Tahsil un Nasr wat Tajit uz-Zafar (Memudahkan
Penaklukan
dan
Mempercepat
Kemenangan).
Kitab
al-Ahkam
al-
Shultoniyah telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Italia,
Indonesia, dan Urdu.
B. Riwayat hidup al-Mawardi
Ulama penganut Mazhab Syafi'i ini bernama lengkap Abu al-Hasan
Ali bin Habib al-Mawardi al-Bashry, panggilannya Abul Hasan, gelarnya alMawardi, diambil dari gelar keluarganya yang menjual maaul ward (air
mawar).5 Lahir di kota pusat peradaban Islam klasik, Basrah (Irak) pada
tahun 364 H. al-Mawardi menerima pendidikan pertamanya di kota
4
5
Mircea Eliade, Charles J. Adams, The Encyclopedia Of Religion vol. 9. h. 290.
Al-Mawardi, al-Hawy al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), jil. I. h. 3.
2
kelahirannya, ia belajar ilmu hukum dari Abul Qasim Abdul Wahid asSaimari,6 seorang ahli hukum Mazhab Syafi'i terkenal di masa itu.
Di kota ini juga al-Mawardi sempat mempelajari hadis dari beberapa
ulama terkenal seperti al-Hasan bin Ali bin Muhammad bin al-Jaily, Abu
Khalifah al-Jumhy, Muhammad bin ‘Adiy bin Zuhar al-Marzy, Muhammad
bin al-Ma’aly al-Azdy serta Ja’far bin Muhammad bin al-Fadl al-Baghdadi.
7
Menurut pengakuan muridnya, Ahmad Bin Ali al-Khatib, 8 bahwa
dalam bidang Hadis, Al-Mawardi termasuk orang yang tsiqoh.9 Selain
mendalami bidang Hadis, al-Mawardi juga mendalami bidang fikih pada
syekh Abu al-Hamid al-Isfarayyini,10 sehingga ia tampil sebagai salah
seorang ahli fikih terkemuka dari Madzhab Syafi’i. Keahlian al-Mawardi
selanjutnya juga dalam bidang sastra dan sya’ir, nahwu, filsafat dan ilmu
sosial, namun belum dapat diketahui secara pasti dari mana ia
mempelajari ilmu kebahasaan tersebut. Dalam waktu singkat ia telah
menguasai dengan baik ilmu-ilmu agama tersebut.
Setelah
seluruh
hayatnya
diabdikan
untuk
dunia
ilmu
dan
kemaslahatan umat, sang Khaliq akhirnya memanggil al-Mawardi untuk
selama-lamanya pada usia 86 tahun yaitu pada tanggal 30 Rabiul Awal
450 H, dan dimakamkan di Bab Harb Baghdad.11
C. Pemikiran Al-Mawardi dalam bidang pendidikan
Pemikiran al-Mawardi dalam bidang pendidikan sebagian besar
terkonsentrasi pada masalah etika hubungan guru dengan murid dalam
proses belajar mengajar. Pemikiran ini dapat dipahami, karena dari
seluruh aspek pendidikan, guru memegang peranan yang sangat penting,
bahkan berada pada garda terdepan. Keberhasilan pendidikan sebagian
besar bergantung kepada kualitas guru baik dari segi penguasaannya
6
7
8
11
Ibid., h. 4.
Al-Mawardi, al-Hawy…, h. 58.
Ibid., h. 60.
9
Musthofa, as-Saqo, Adab al-Dunya wa al-Din (Beirut: Dar al Fikr, 1995), h. 21.
10
Ibnu Katsir, al-Bidayah Wa…, h. 3.
Al-Mawardi, al-Hawy al-Kabir …, h. 5.
3
terhadap materi pelajaran yang diajarkan maupun cara menyampaikan
materi pelajaran tersebut serta kepribadiannya yang baik, yaitu pribadi
yang terpadu antara ucapan dan perbuatannya secara harmonis.
Al-Mawardi memandang penting seorang guru harus memiliki sikap
tawadhu (rendah hati) serta menjauhi sikap ujub (besar kepala). Menurut
al-Mawardi sikap tawadhu akan menimbulkan simpatik dari para peserta
didiknya,12 sedangkan sikap ujub akan menyebabkan guru kurang
disenangi.13 Sikap Tawadhu yang dimaksudkan al-Mawardi bukanlah sikap
menghinakan diri atau merendahkan diri ketika berhadapan dengan orang
lain, karena sikap ini akan menyebabkan orang lain meremehkannya.
Sikap tawadhu yang dimaksud adalah sikap rendah hati dan merasa
sederajat dengan orang lain dan saling menghargai. Sikap demikian akan
menumbuhkan rasa persamaan, menghormati orang lain, toleransi, serta
rasa senasib dan cinta keadilan.14 Dengan sikap tawadhu tersebut, guru
akan menghargai muridnya sebagai makhluk yang memiliki potensi, serta
melibatkannya dalam kegiatan belajar mengajar. Prinsip ini sejalan
dengan prinsip yang digunakan para pendidik di zaman modern, yaitu
bahwa dalam kegiatan belajar-mengajar di masa sekarang seorang murid
dan guru berada dalam kebersamaan.
Pada perkembangan selanjutnya sikap tawadhu tersebut akan
menyebabkan guru bersikap demokratis dalam menghadapi muridmuridnya. Sikap demokratis ini mengandung makna bahwa guru berusaha
mengembangkan
individu
seoptimal
mungkin.
Guru
tersebut
menempatkan peranannya sebagai pemimpin dan pembimbing dalam
proses belajar mengajar yang berlangsung dengan utuh dan luwes,
dimana seluruh siswa terlibat di dalamnya.
Pelaksanaan prinsip demokratis di dalam kegiatan belajar mengajar
dapat diwujudkan dalam bentuk timbal balik antara siswa dengan siswa
12
Al-Maududi, Adab al Dunya wa al-Din (Beirut: Dar al Fikr, tt), h. 80.
Al-Mawardi, Adab al-Dunya…, h. 99.
14
Ahmad Muhammad al-Hufi, Min Akhlaq Nabi (Cairo : Al-Majlis al-A'la li Syu'uni al-Islamiyah,
1968), h. 283.
13
4
dan antara siswa dengan guru. 15 Dalam interaksi tersebut seorang guru
akan lebih banyak memberikan motivasi, sehingga murid menjadi
bersemangat dan bergairah serta merasa mempunyai harga diri, karena
potensi, kemauan, prakarsa, dan kreatifitasnya merasa dihargai. Dengan
demikian sikap demokratis guru akan mendorong terciptanya cara belajar
siswa aktif.
Selanjutnya al-Mawardi mengatakan bahwa seorang guru selain
harus bersikap tawadhu, juga harus bersikap ikhlas. Secara harfiah berarti
menghindari riya, sedangkan dari segi istilah ikhlas berarti pembersihan
hati dari segala dorongan yang dapat mengeruhkannya.16 Keikhlasan ini
ada kaitannya dengan motivasi seseorang. Sebagaimana kita ketahui
bahwa ada guru yang mengajar karena motif ekonomi, memenuhi
harapan orang tua, dorongan teman atau mengharapkan status dan
penghormatan serta lainnya.
Selain motif-motif tersebut seorang guru harus mencintai tugasnya.
Kecintaan
ini
akan
tumbuh
dan
berkembang
apabila
keagungan,
keindahan dan kemuliaan tugas guru itu sendiri benar-benar dapat
dihayati. Namun motif yang paling utama menurut al-Mawardi adalah
karena panggilan jiwanya untuk berbakti kepada Allah SWT dengan tulus
dan ikhlas. Lebih lanjut lagi ia mengatakan bahwa akhlak yang harus
dimiliki para guru adalah menjadikan keridhoan dan pahala dari Allah SWT
sebagai tujuan dalam melaksanakan tugas mengajar dan mendidik
muridnya, bukan mengharapkan balasan berupa materi.17
Pernyataan tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa alMawardi menghendaki agar seorang guru benar-benar ikhlas dalam
melaksanakan
tugasnya.
Menurutnya
bahwa
tugas
mendidik
dan
mengajar harus diorientasikan kepada tujuan yang luhur, yakni keridhoan
Allah SWT. Sebagai konsekuensi dari orientasi semacam ini adalah
15
Rusyan A. Tabrani, Kemampuan Guru dalam Proses Mengajar (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1994), h. 117.
16
Ali bin Muhammad al Jurjaniy, Kitab al Ta’rifat (Beirut: Dar al-Kutub, 1978), h.13.
17
Al-Maududiy, Adab al-Dunya…, h. 4.
5
pelaksanaan tugas guru dengan sebaik-baiknya serta penuh tanggung
jawab.
Selanjutnya al-Mawardi melarang seseorang mengajar dan mendidik
atas dasar motif ekonomi. Dalam pandangannya bahwa mengajar dan
mendidik merupakan aktifitas keilmuan, sementara ilmu itu sendiri
mempunyai
nilai
dan
kedudukan
yang
tinggi,
yang
tidak
dapat
disejajarkan dengan materi. Dalam kaitan ini al-Mawardi mengatakan
bahwa sesungguhnya ilmu adalah puncak segala kenikmatan dan pemuas
segala keinginan. Siapa yang mempunyai niat ikhlas dalam ilmu, maka ia
tidak akan mengharap mendapatkan balasan dari ilmu itu.18
Dengan demikian, tugas mendidik dan mengajar dalam pandangan
al-Mawardi merupakan tugas yang luhur dan mulia. 19 Itulah sebabnya
dalam
mendidik
dan
mengajar
seseorang
harus
semata-mata
mengharapkan ridha Allah. Apabila yang dituju dari tugas mengajarnya itu
adalah materi, maka ia akan mengalami kegoncangan ketika ia merasa
bahwa
kerja
yang
dipikulnya
tidak
seimbang
dengan
hasil
yang
diterimanya. Selain itu ia sengat peka terhadap hal-hal atau persoalan
yang ditemukan dalam tugasnya, misalnya soal administrasi, kenaikan
pangkat, hubungan dengan kepala sekolah dan sebagainya. Tindakan dan
sikapnya terhadap anak didik akan terpengaruh pula. Hal ini selanjutnya
dapat merusak atau mengurangi hasil atau nilai pendidikan yang diterima
anak didik.20 Dengan kata lain, seorang guru dalam pandangan al-Mawardi
bukanlah orang yang berorientasi pada nilai ekonomi yang diterimanya
sebagai akibat atau imbalan dari tugasnya.21
Dari uraian tersebut kiranya dapat disimpulkan bahwa makna
keikhlasan
seorang
guru
dalam
mendidik
adalah
kesadaran
akan
pentingnya tugas, sehingga dengan kesadaran tersebut ia akan terdorong
untuk mencapai hasil yang maksimal. Keikhlasan inilah akan menentukan
keberhasilan tugasnya sehari-hari, tanpa merasakannya sebagai suatu
18
Muntasir M. Sholeh, Mencari Evidensi Islam (Jakarta: Rajawali, 1985), h. 141.
Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan al-Ghazali (Jakarta:
19
P3M,
1986),
h. 41.
20
21
Zakiyah Derajat, Kepribadian Guru (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 14.
Muntasir M. Sholeh, Mencari Evidensi…, h. 142.
6
beban, melainkan sebaliknya justru akan merasa bahagia, penuh harapan
dan motivasi, karena dari tugas mengajar dan mendidiknya itu, ia kelak
akan mendapatkan pahala yang setimpal dari Allah SWT.
Berdasarkan sikap ikhlas tersebut, maka seorang guru akan tampil
melaksanakan tugasnya
secara professional.
Hal ini ditandai oleh
beberapa sikap sebagai berikut:
Pertama: Selalu mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan
guna mendukung pelaksanaan proses belajar mengajar, seperti dalam
penguasaan materi (bahan pelajaran), pemilihan metode, penggunaan
sumber dan media pengajaran, pengelolaan kelas dan lain sebagainya.
Kedua: Disiplin terhadap peraturan dan waktu, dalam keseluruhan
hubungan sosial dan profesionalnya, seorang guru yang ikhlas akan
bertindak tepat dalam janji dan penyelesaian tugasnya. Guru yang ikhlas
akan mampu mengelola waktu bekerja dan waktu lainnya dengan
perencanaan yang rasional dan disiplin yang tinggi.
Ketiga: Penggunaan waktu luang akan diarahkan untuk kepentingan
profesionalnya. Guru yang ikhlas, keseluruhan waktunya akan digunakan
secara
efisien,
baik
dengan
tugas
keguruan
maupun
dalam
pengembangan kariernya, sehingga ia akan mencapai peningkatan. Bila
sebagian waktu luang digunakan untuk hal-hal yang berada di luar
tugasnya, maka guru yang ikhlas akan menggunakannya secara bijaksana
dan produktif serta tidak mengganggu tugas pokoknya.
Keempat: Ketekunan dan keuletan dalam bekerja. Guru yang ikhlas
akan menyadari pentingnya katekunan dan keuletan bekerja dalam
pencapaian keberhasilan tugasnya. Oleh karenanya ia akan selalu
berusaha menghadapi kegagalan tanpa putus asa dan mengatasi segala
kesulitan
pendidikan
dengan
yang
penuh
telah
kesabaran,
ditetapkannya
sehingga
akan
akhirnya
berjalan
program
sebagaimana
mestinya serta mencapai sasaran. Di samping itu, keuletan dan ketekunan
yang ditampilkan guru sebagai pribadi yang utuh, akan terbiasa
7
melakukan
suatu
tugas
atau
pekerjaan
yang
ulet,
tekun,
penuh
kesungguhan dan ketelitian.
Kelima: Memiliki daya kreasi dan inovasi yang tinggi. Hal ini timbul
dari kesadaran akan semakin banyaknya tuntutan dan tantangan
pendidikan masa mendatang, sejalan dengan kemajuan imu pengetahuan
dan
teknologi.
Guru
yang
ikhlas
akan
terus
mengevaluasi
dan
mengadakan perbaikan proses belajar mengajar yang telah digunakannya
selama ia bertugas. Lebih jauh dari itu, guru tersebut akan mempelajari
kelemahan dan kelebihan dari berbagai teori dan konsep yang dapat
digunakan
dalam
pendahulunya,
proses
untuk
belajar
selanjutnya
mengajar
dilakukan
yang
diterapkan
para
penyempurnaan
dan
pengayaan. Mengingat tugas keguruan tidak dapat dipolakan secara
mekanis, eksak dan dengan resep tunggal serta tak terbatasnya variasi
tindakan keguruan, maka guru dituntut untuk mampu bertindak kreatif.
Dalam kaitannya dengan keikhlasan tersebut, al-Mawardi juga
berbicara tentang gaji. Dalam hubungan ini, al-Mawardi mengatakan
bahwa di antara akhlak yang harus dimiliki seorang guru adalah
membersihkan diri dari pekerjaan-pekerjaan syubhat dan menguras
tenaga. Hendaknya ia merasa cukup atas penghasilan yang dicapai
dengan mudah, dari pada penghasilan yang dicapai dengan susah payah.
Guru harus meninggalkan pekerjaan yang syubhat, karena perbuatan
syubhat akan berakibat dosa. Pahala lebih baik dari dosa dan kemuliaan
lebih pantas dibandingkan dengan kehinaan.22
Pernyataan al-Mawardi tersebut mengingatkan kepada kita tentang
peranan dan figur strategis yang dimiliki seorang guru. Menurut alMawardi bahwa seorang guru harus merupakan figur yang dapat dicontoh
oleh murid dan masyarakat. Oleh karena itu segala tingkah laku guru
harus sesuai dan sejalan dengan nilai-nilai ajaran agama yang berasal dari
wahyu. Sejalan dengan pernyataan tersebut, maka seorang guru harus
tampil sebagai teladan yang baik. Usaha penanaman nilai-nilai kehidupan
melalui pendidikan tidak akan berhasil, kecuali jika peranan guru tidak
22
Al-Mawardi, Adab al-Dunya..., h. 112.
8
hanya sekedar komunikator nilai, melainkan sekaligus pelaku nilai yang
menuntut
adanya
rasa
tanggung
jawab
dan
kemampuan
dalam
meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang utuh. Dalam kaitan ini
al-Mawardi mangatakan hendaknya seorang guru menjadikan amal atas
ilmu yang dimilkinya serta memotivasi diri untuk selalu berusaha
memenuhi segala tuntutan ilmu. Janganlah ia temasuk golongan yang
dinilai Tuhan sebagai orang Yahudi yang diberi Taurat tetapi mereka tidak
mengamalkannya, tak ubahnya dengan seekor keledai membawa kitab di
punggungnya.23
Pernyataan al-Mawardi tersebut mengisyaratkan bahwa bagian dari
kegiatan mendidik adalah memberikan teladan. Oleh karena itu dalam
memberikan ilmu kapada muridnya, seorang guru dituntut memiliki
kejujuran dengan menerapkan apa yang diajarkan dalam kehidupan
pribadinya. Dengan kata lain, seorang guru harus konsekuen dalam
menjaga keharmonisan antara ucapan, larangan dan perintah dengan
amal perbuatannya sendiri. Selain sebagai teladan, seorang guru juga
harus tampil sebagai penyayang. Guru merupakan aktor kedua setelah
orang tua dalam memberikan modal atau bekal dasar kepada anakanaknya. Oleh karenannya, guru sebagai pendidik profesional dituntut
untuk berperan sebagai orang tua di sekolah. Dengan kedudukannya yang
demikian, maka seorang guru harus memiliki sifat kasih sayang dan
lemah lembut terhadap muridnya. Dalam hubungan ini, al-Mawardi
mengatakan bahwa diantara akhlak seorang guru adalah tidak berlaku
kasar kepada muridnya, tidak boleh menghina murid yang sedang
berkembang, tidak boleh memandang rendah murid-muridnya. Karena
semua
itu
akan
membuat
mereka
lebih
tertarik,
terkesan,
dan
bersemangat.24
Kasih-sayang dan lemah-lembut yang ditunjukan oleh guru tersebut
sejalan dengan psikologis manusia. Diketahui bahwa kegairahan dan
semangat belajar seorang murid atau sebaliknya amat bergantung
kepada adanya hubungan antara murid dan guru. Apabila guru bersikap
23
24
Ibid., h. 113.
Musthofa. as-Saqo, al-Dunya..., h. 142.
9
kasar dan keras hati serta menggunakan cara-cara mengajar yang tidak
tepat, seperti mengancam, menyesali, menghina dan tidak mendorong
para murid untuk giat belajar, maka hal itu dapat menyebabkan para
murid kurang senang kepada guru dan tidak mau menerima pelajaran
yang
diberikannya.
diperlakukan
Secara
dengan
psikologis,
cara-cara
yang
setiap
lembut
manusia
dan
lebih
halus
suka
daripada
diperlakukan dengan cara-cara keras dan kasar. Selanjutnya seorang guru
juga harus tampil sebagai motivator. Seorang murid akan belajar
sungguh-sungguh dan ulet dengan mencurahkan pikiran, tenaga, biaya,
dan waktu yang cukup banyak demi mencapai kesuksesan, jika ia
menyadari manfaat belajar, sehingga kegiatan belajar itu dirasakannya
sebagai suatu kebutuhan dan sesuatu hal yang penting baginya. Dalam
kaitan ini diantara akhlak para guru adalah tidak menghadapi muridnya
dengan kasar, tidak menghilangkan minat dan semangatnya. Karena
semua itu akan menghilangkan rasa simpati pada gurunya dan pada
gilirannya murid akan menolak pelajaran mereka. Jika hal itu terus
berlangsung, maka akan mengakibatkan kesia-siaan suatu ilmu yang
disebabkan kelalaian para guru. Peranan guru sebagai motivator penting
artinya dalam rangka meningkatkan kegairahan dan pengembangan
kegiatan belajar siswa. Megingat mengajar adalah membimbing kegiatan
belajar siswa sehingga ia mau belajar.
Selanjutnya al-Mawardi menegaskan tentang tugas dan peran guru
sebagai
pembimbing.
Bimbingan
dapat
diartikan
sebagai
kegiatan
memantau murid dalam perkembangannya dengan jalan menciptakan
lingkungan dan arahan sesuai dengan tujuan pendidikan. Sedangkan dari
segi bentukya bimbingan tersebut dapat berupa pemberian petunjuk,
teladan,
bantuan,
latihan,
penerangan,
pengetahuan,
pengertian,
kecakapan dan keterampilan, nilai-nilai, norma serta sikap yang positif.
Dalam kaitan ini al-Mawardi mengatakan, di antara kewajiban guru adalah
memberikan nasihat atau bimbingan kepada muridnya, kasih sayang,
mempermudah jalan bagi muridnya, berusaha keras menolong dan
10
membantu muridnya. Semua itu akan menghasilkan pahala yang besar,
keluhuran namanya, serta semakin bertambah dan menyebar ilmunya.25
Bentuk-bentuk bimbingan tersebut selanjutnya adalah dengan jalan
membantu murid-murid untuk mengembangkan pemahaman diri sesuai
dengan kecakapan, minat, pribadi, hasil belajar serta kesempatan yang
ada, membantu proses sosialisasi dan sensivitas kepada kebutuhan orang
lain,
mengembangkan
motif-motif
intrinsik
dalam
belajar
sehingga
tercapai kemajuan pengajaran, memberikan dorongan dalam pengarahan
diri, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan keterlibatan diri
dalam proses pendidikan, mengembangkan nilai dan sikap secara
menyeluruh serta perasaan sesuai dengan penerimaan diri sendiri,
memahami
tingkah
laku
manusia,
membantu
murid-murid
untuk
memperoleh kepuasan pribadi dan dalam penyesuaian diri secara
maksimum terhadap masyarakat serta membantu aspek fisik, mental dan
sosial.26
Dalam uraian tersebut di atas terlihat bahwa pemikiran al-Mawardi
dalam
bidang
kepribadian
pendidikan
seorang
guru,
banyak
terkonsentrasi
kepribadian
inilah
pada
yang
masalah
tampaknya
diutamakan. Sebenarnya seorang guru bukan hanya harus memiliki
kepribadian yang baik, tetapi juga harus memilki latar belakang ilmu
keguruan dan penguasaan yang baik terhadap materi yang akan
diajarkannya. Namun jika hal tersebut dibandingkan dengan kepribadian,
tampaknya al-Mawardi lebih mengutamakan kepribadian. Hal ini dapat
dipahami, karena penguasaan terhadap ilmu dan latar pendidikan
keguruan dapat dipelajari, sedangkan kepribadian merupakan hal yang
sulit dibentuk.
D. Penutup
Al-Mawardi
banyak
sekali
memberikan
kontribusinya
berupa
pemikirannya terhadap pendidikan Islam. Beliau banyak menitikberatkan
25
Ibid., h. 113.
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 65.
26
11
pada hubungan guru dengan murid. Dalam hal ini Mawardi menfokuskan
pada
keprofesionalan
guru
dalam
mendidik
anak
didiknya.
Guru
merupakan sentral dari kegiatan belajar mengajar, menurut al-Mawardi
keberhasilan pendidikan sebagian besar ditentukan oleh guru. Jadi pada
dasarnya
kualitas
guru
dalam
proses
belajar
mengajar
sangat
menentukan.
Keberhasilan pendidikan sebagian besar ditentukan oleh mutu
profesionalisme seorang guru. Guru yang profesional bukanlah guru yang
hanya dapat mengajar dengan baik, tetapi juga guru yang dapat
mendidik. Untuk itu selain harus menguasai ilmu yang diajarkan dan cara
mengajarkannya dengan baik, seorang guru juga harus memiliki akhlak
yang mulia. Guru juga harus mampu meningkatkan pengetahuannya dari
waktu
ke
perubahan
waktu,
yang
sesuai
dengan
diakibatkan
oleh
perkembangan
kemajuan
zaman.
dalam
Berbagai
bidang
ilmu
pengetahuan dan teknologi juga harus diantisipasi oleh guru. Dengan
demikian seorang guru tidak hanya menjadi sumber informasi, ia juga
dapat manjadi motivator, inspirator, dinamisator, fasilitator, evaluator dan
sebagainya.
Jika kita membandingkan karakteristik guru yang dikatakan oleh alMawardi dengan para ahli pendidikan yang lainnya, misalnya al-Ghazali. Ia
mengatakan bahwa seorang guru yang menyampaikan ilmu pengetahuan
harus bersih hati, berbuat dan bersikap yang terpuji, serta sebagai
pengayom,
berkasih-sayang
terhadap
murid-muridnya
dengan
memperlakukannya sebagai anak sendiri. 27 Sedangkan menurut Bin
Muqaffa bahwa guru yang baik adalah guru yang mau berusaha memulai
dengan mendidik dirinya, memperbaiki tingkah lakunya, meluruskan
pikirannya,
dan
menjaga
kata-katanya
terlebih
dahulu
sebelum
menyampaikan kepada orang lain.
E. Kesimpulan
27
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din (Cairo: Dar al-Hadis, 1998), jil. I. h. 75.
12
Sehubungan dengan penjelasan-penjelasan di atas, terlihat bahwa
pemikiran al-Mawardi dalam bidang pendidikan banyak terkonsentrasi
pada masalah kepribadian seorang pendidik, kepribadian inilah yang
tampaknya yang paling utama harus ditonjolkan. Sebenarnya seorang
pendidik bukan hanya harus memiliki kepribadian yang baik, tetapi harus
memiliki latar belakang ilmu keguruan dan penguasaan yang baik
terhadap materi pelajaran yang akan diajarkan. Namun jika hal tersebut
dibandingkan
dengan
kepribadian,
tampaknya
al-Mawardi
lebih
mengutamakan kepribadian.
Hal ini dapat dipahami, karena penguasaan terhadap ilmu dan latar
belakang pendidikan keguruan dapat dipelajari, sedangkan kepribadian
merupakan hal yang sulit dibentuk. Maka penulis berasumsi bahwa
keberhasilan pendidikan tidak seluruhnya tergantung terhadap pendidik.
Namun di samping itu ada sub sistem lain yang berhubungan dengan
saling keterkaitan yang mendukungnya. Penulis sendiri sangat memahami
pemikiran al-Mawardi, mungkin di saat itu guru dijadikan sentral dalam
pendidikan, berbeda dengan pendukung-pendukung lainnya.
Daftar Pustaka
Ahmad Muhammad al-Hufi, Min Akhlaq Nabi, Cairo: Al-Majlis al-A'la li
Syu'uni
al-Islamiyah, 1968.
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Cairo: Dar al-Hadis, 1998.
13
Al-Mawardi, Adab ad-Dunya wa ad-Din, Cairo: Dar al-Rayan li at-Turats,
1988.
Al-Mawardi, al-Hawy al-Kabir, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiah, 1994.
Al-Maududi, Adab al Dunya wa al-Din, Beirut: Dar al Fikr, tt.
Ali bin Muhammad al Jurjaniy, Kitab al Ta’rifat, Beirut: Dar al-Kutub, 1978.
Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan al-Ghazali, Jakarta: P3M,
1986.
Ibnu Katsir, al-Bidayah Wa an-Nihayah, Cairo: Dar Al-Hadis, 1998.
Mircea Eliade, Charles J. Adams, The Encyclopedia Of Religion vol. 9.
Musthofa, as-Saqo, Adab al-Dunya wa al-Din. Beirut: Dar al Fikr, 1995.
Muntasir M. Sholeh, Mencari Evidensi Islam. Jakarta: Rajawali, 1985.
Rusyan A. Tabrani, Kemampuan Guru dalam Proses Mengajar, Bandung:
Remaja
Rosdakarya, 1994.
Zakiyah Derajat, Kepribadian Guru, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
14