PERSEPSI TERHADAP KONFLIK PERKAWINAN ORA
PERSEPSI TERHADAP KONFLIK PERKAWINAN ORANGTUA
SEBAGAI PREDIKTOR DARI RASA PERCAYA/TRUST
KEPADA PASANGAN (STUDI PADA WANITA DEWASA AWAL)
Santi Rizka Maya
([email protected])
Ari Pratiwi
Intan Rahmawati
Universitas Brawijaya Malang
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah persepsi terhadap konflik perkawinan
orangtua memiliki pengaruh dalam memprediksi rasa percaya (trust) kepada pasangan.
Penilitian ini dilakukan pada mahasiswi FISIP Universitas Brawijaya Malang yang berada
pada usia dewasa awal (20 – 30 tahun) dengan jumlah subjek n=100 orang Data dalam
penilitian ini dikumpulkan dengan menggunakan penyebaran skala persepsi terhadap konflik
orangtua dan skala rasa percaya kepada pasangan (trust scale). Metode analisa yang
digunakan adalah analisis regresi linier sederhana. Berdasarkan hasil pengolahan data yang
dilakukan, rata-rata mahasiswi FISIP Universitas Brawijaya Malang memiliki persepsi
terhadap konflik perkawinan orangtua pada tingkat sedang, begitu juga pada rasa percaya/trus
kepada pasangan berada pada tingkat sedang. Berdasarkan uji hipotesis didapatkan hasil
signifikansi lebih dari 0,05 yaitu 0,127, sehingga dapat dikatakan bahwa persepsi terhadap
konflik perkawinan orangtua tidak dapat memprediksi rasa percaya/trust kepada pasangan
secara signifikan. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan nilai persepsi terhadap konflik
perkawinan orangtua yang dimiliki individu sehingga tidak memberikan peranan yang berarti
pada rasa percaya/trust individu kepada pasangannya.
Kata kunci: persepsi, konflik perkawinan, rasa percaya, wanita dewasa awal.
Abstract
This study was conducted to determine whether the perception of parental marital
conflict have influence as a predictor of trust level to the partner. This study was carried out
on FISIP Brawijaya University women students who on early adult age range (20 – 30 years).
Women students who used as the subject of this study is n=100 persons by using purposive
sampling techniques. The data in this study were collected by using a two-scale deployment
of the scale perception of parental marital conflict and the scale of trust to the partner. The
methods of analysis used in this study is simple linear regression analysis methods. Based on
the results of data processing, the average of FISIP Brawijaya University Malang women
students have perceptions of parental marital conflict at a medium level, as well as trust to the
partner at a medium level. Based on the hypothesis test showed significance 0.127 which
more than 0.05, then it can be said the perceptions of parental marital conflict does not affect
trust to the partner significantly. This result caused by the change in the perceptions value of
the parental marital conflict, so not give significant influence to predicting trust level to the
partner.
Keywords: perception, marital conflict, trust, early adult woman
1
2
LATAR BELAKANG
Menurut Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1,
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat
penting dalam kehidupan manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami
dari kehidupan manusia itu sendiri yang meliputi kebutuhan dan fungsi biologis, melahirkan
keturunan, kebutuhan akan kasih sayang dan persaudaraan, memelihara keturunan tersebut
menjadi anggota-anggota masyarakat yang sempurna (Titik & Trianto, 2007).
Pasangan suami istri yang terdiri dari seorang pria dan seorang wanita yang membentuk
rumah tangga atau keluarga dalam suatu ikatan perkawinan pada dasarnya merupakan naluri
manusia sebagai makhluk sosial guna melangsungkan kehidupannya (Lodewik, 2012). Ikatan
perkawinan merupakan unsur pokok dalam pembentukan keluarga yang harmonis dan penuh
rasa cinta kasih. Seorang pria dan wanita yang merupakan pribadi yang berbeda dan dulunya
bebas tanpa ikatan hukum, namun setelah perkawinan menjadi terikat lahir dan batin sebagai
suami isteri. Tidak hanya sebagai sarana membangun ikatan, namun perkawinan juga
merupakan landasan natural bagi berkembangnya konflik (Sadarjoen, 2005).
Coser (Anogara, 1992) menyatakan bahwa konflik selalu ada di tempat kehidupan
bersama, bahkan dalam hubungan yang sempurna sekalipun konflik tidak akan pernah dapat
dihindari dan konflik akan semakin meningkat dalam hubungan yang serius. Demikian pula
halnya dengan kehidupan perkawinan.
Perselisihan, pertentangan, dan konflik dalam suatu rumah tangga merupakan sesuatu
yang terkadang tidak bisa dihindari, tetapi harus dihadapi. Meskipun ada kalanya suami atau
istri telah berusaha untuk menghindari adanya konflik dan lebih memilih untuk mengalah
daripada berkonfrontasi, namun konflik akan tetap hadir dalam perkawinan (Sadarjoen,
2005). Hal ini karena dalam suatu perkawinan terdapat penyatuan dua pribadi yang unik
dengan membawa sistem keyakinan masing-masing berdasar latar belakang budaya serta
pengalaman yang berbeda. Perbedaan tersebut perlu disesuaikan untuk membentuk sistem
keyakinan baru bagi kehidupan perkawinan mereka. Proses inilah yang seringkali
menimbulkan ketegangan, ditambah lagi dengan sejumlah perubahan yang harus mereka
hadapi, misalnya perubahan kondisi hidup, perubahan kebiasaan atau perubahan kegiatan
sosial.
Efek negatif konflik perkawinan berdasarkan penelitian di Amerika (Sadarjoen, 2005),
antara lain peningkatan risiko psikopatologi, kecelakaan, bunuh diri, kekerasan antar
3
pasangan, rentan berpenyakit, dan ketegangan psikis yang mengakibatkan kematian. Apabila
perselisihan atau konflik berkelanjutan, hal itu dapat mengarah pada perceraian. Seperti hasil
penelitian yang diperlihatkan Greer (Rakhmawati, 2004) bahwa dari 27.000 istri terdapat
78% yang merasakan keberhasilan berkeluarga dan 22% yang gagal dalam berumah tangga
dan memilih perceraian sebagai cara penyelesaian konflik yang terjadi dalam perkawinan.
Dengan kata lain pasangan yang memilih bercerai berarti telah gagal melakukan penyesuaian
diri terhadap konflik yang hadir di tengah-tengah bahtera perkawinan mereka.
Konflik dari perkawinan ini tidak hanya memberikan dampak pada pasangan itu sendiri,
tetapi juga pada berbagai aspek perkembangan anak, seperti perkembangan psikologis,
kognitif, serta sosial anak. Dalam perkembangannya, anak cenderung untuk meniru apa yang
dilihat dan didengar daripada nasihat yang diberikan pada mereka. Cara orang tua
berkomunikasi ketika berkonflik juga akan dipraktekkan oleh anak melalui caranya
berkomunikasi dengan orang lain karena bagi mereka orang tua merupakan panutan yang
benar (Satiadarma, 2001).
Orangtua merupakan sumber kepribadian anak, sebab di dalam keluarga dapat ditemukan
berbagai elemen dasar yang membentuk kepribadian seseorang. Konflik orang tua ini dapat
menyebabkan anak menjadi trauma, prestasi akademik menjadi menurun, perubahan sikap,
menjadi tertutup bahkan terhadap orang tua, terjerumus pada hal-hal yang negatif, dan tidak
percaya diri dan takut menjalin kedekatan dengan lawan jenis, bahkan menjadi takut untuk
menikah (Zira, 2011).
Menurut Hurlock (1999) salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi seorang
individu adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis dimana individu tersebut harus
mempersiapkan diri untuk mendapatkan pasangan hidup yang harus dipenuhi pada periode
dewasa awal. Masa dewasa awal adalah masa-masa tersulit sepanjang kehidupan. Masa
dewasa awal merupakan tahap dimana seseorang membuat banyak keputusan dalam
kehidupan mereka. Tugas perkembangan dewasa awal lebih khusus berkaitan dengan
keluarga, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Menurut Wrosch pada masa ini individu akan
menemukan pasangannya, menikah, belajar hidup dengan pasangannya, memiliki dan
mengasuh anak serta membangun kehidupan berkeluarga (Fauzia & Nu’man, 2008).
Pada masa dewasa awal, individu akan mulai membangun hubungan romantis dengan
lawan jenisnya agar dapat mememenuhi tugas perkembangan individu pada masa ini yaitu
menikah dan membangun keluarga. Dalam hubungannya dengan pasangannya, rasa percaya
(trust) menjadi salah satu faktor yang penting (Walgito, 2000). Seperti yang disebutkan oleh
Karsner (Novita, 2014) terdapat empat komponen yang penting dalam menjalin hubungan
4
romantis (berpacaran), yaitu meningkatkan komitmen (increase commitment), komunikasi
(communicate your self), keintiman (keep the romance alive), serta saling percaya (trust each
other ). Robinson (Fauzia & Nu’man, 2008) mendefinisikan kepercayaan sebagai sebuah
harapan, asumsi atau keyakinan seseorang tentang kemungkinan bahwa tindakan seseorang
atau pasangan dimasa mendatang akan bermanfaat, baik, atau tidak merusak. Salah satu
faktor terbentuknya trust adalah reputasi dan stereotype. Reputasi dan stereotype ini
merupakan apa yang individu lihat dan dengar dari pengalaman orang lain, salah satunya
adalah persepsi yang ia miliki tentang perkawinan orangtuanya. Persepsi yang ia miliki ini
akan ia aplikasikan dalam perilakunya terhadap pasangan dan membentuk harapan yang kuat
dan membawa individu untuk trust dan distrust (Rahmadhany, 2010).
Kartono (Meizara & Basti, 2008) menyatakan bahwa dibandingkan laki-laki wanita lebih
banyak menunjukkan tanda-tanda emosional. Hal ini terlihat bahwa wanita lebih cepat
bereaksi dengan hati yang penuh ketegangan, lebih cepat berkecil hati, bingung, takut, cemas,
dan curiga. Selain itu, kesatuan totalitas dari tingkah laku wanita bukan terletak pada
kesadaran objektif, akan tetapi terletak pada perasaannya yang didorong oleh afek dan
sentiment yang kuat, yang pada akhirnya membuat dugaan dan perhitungan mereka menjadi
keliru dan tidak mudah percaya.
Berdasarkan beberapa fakta yang telah dijelaskan di atas, maka penulis bermaksud
mengadakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah persepsi terhadap konflik
perkawinan orangtua mempengaruhi rasa percaya (trust) kepada pasangan pada wanita
dewasa awal.
LANDASAN TEORI
A. Persepsi Terhadap Konflik Perkawina Orangtua
1. Definisi Persepsi Terhadap Konflik Perkawinan Orangtua
Menurut Robbins, persepsi merupakan suatu proses yang digunakan individu untuk
mengelola dan menafsirkan pesan indera dari lingkungan dalam rangka memberikan makna
kepada lingkungan dengan cara mengorganisir dan menginterpretasi sehingga akan
mempengaruhi perilaku individu (Mastari, 2012).
Menurut Johnson (Supratiknya, 1995) konflik adalah situasi dimana tindakan salah satu
pihak berakibat menghalangi, menghambat atau mengganggu tindakan pihak lain endati
unsur konflik selalu terdapat setiap bentuk hubungan antar pribadi, pada umumnya
masyarakat memandang konflik sebagai keadaan yang harus dihindarkan karena konflik
dianggap sebagai faktor yang merusak hubungan. Menurut Johnson (Supratiknya, 1995)
5
konflik adalah situasi dimana tindakan salah satu pihak berakibat menghalangi, menghambat
atau mengganggu tindakan pihak lain endati unsur konflik selalu terdapat setiap bentuk
hubungan antar pribadi, pada umumnya masyarakat memandang konflik sebagai keadaan
yang harus dihindarkan karena konflik dianggap sebagai faktor yang merusak hubungan.
Finchman (Mawaddah, 2012) mendefenisikan konflik perkawinan sebagai keadaan suamiistri yang sedang menghadapi masalah dalam perkawianannya dan hal tersebut tampak dalam
perilaku mereka yang cenderung kurang harmonis ketika sedang menghadapi konflik.
Menurut Srey, konflik dalam perkawinan terjadi dikarenakan masing-masing individu
membawa kebutuhan, keinginan dan latar belakang yang unik dan berbeda (Mawaddah,
2012).
Orangtua adalah orang yang telah melahirkan kita yaitu ibu dan bapak. Ibu dan bapak
selain telah melahirkan kita ke dunia ini juga yang mengasuh dan yang telah membimbing
anaknya dengan cara memberikan contoh baik dalam menjalani kehidupanya (Djamarah,
2004).
Persepsi terhadap konflik perkawinan orangtua merupakan suatu proses penerimaan,
pemahaman, dan pengalaman yang telah lalu yang berkaitan erat dengan konflik perkawinan
orangtua, dan merupakan proses input sehingga masuk dalam pola pikir, sehingga apabila
menghadapi suatu masalah maka perilaku yang dimunculkan akan cenderung sama dengan
yang diperbuat oleh orangtuanya (Widyaningsih, 2000). Hal ini merupakan hasil dari proses
modeling, dan juga adanya tuntutan yang berkaitan dengan kemampuan sosialnya.
Menurut Adler (Merrim, 2008) individu belajar tentang kehidupan rumah tangga dan
gambaran ideal tentang pasangan lawan jenis melalui orangtua mereka Berdasarkan teori
yang dikemukakan oleh Wallerstrein (Merrim, 2008) persepsi yang dibentuk oleh anak bisa
saja membuat anak untuk berusaha lebih baik dari pada orangtuanya. Sebaliknya
Wallerstrein juga mengatakan bahwa persepsi terhadap pernikahan tersebut juga dapat
membuat anak jadi skeptis terhadap pernikahan.
2. Aspek Persepsi Terhadap Konflik Perkawinan Orangtua
Berikut ini aspek-aspek persepsi terhadap konflik perkawinan orangtua, yaitu:
a. Pengetahuan
Pengetahuan yang dimaksud berupa pengetahuan yang dimiliki individu mengenai
pernikahan dan konfli-konfliknya. Pengetahuan ini didapatkan dari masa lalu dan
perasaan terhadap pernikahan.
6
b. Harapan
Selain individu mempunyai satu set pandangan terhadap pernikahan, individu juga
memiliki pengharapan terhadap pernikahannya sendiri, seperti apa pernikahan itu
seharusnya dan apa yang harus dilakukan dalam pernikahan.
c. Penilaian
Penilaian adalah kesimpulan individu terhadap pernikahan yang didasarkan pada
bagaimana pernikahan tersebut memenuhi pengharapan individu terhadap pernikahan.
3. Komponen Persepsi Terhadap Konflik Perkawinan Orangtua
Adapun komponen persepsi terhadap konflik perkawinan orangtua menurut Grych dkk
(1992) adalah sebagai berikut:
a. Dimensi marital konflik
Dimensi marital konflik menjelaskan bagaimana anak menggambarkan konflik yang
terjadi pada orangtua mereka berdasarkan sudut pandang dan panca indera mereka. Dimensi
marital konflik terdiri dari empat indikator, yaitu sebagai berikut:
1) Frekuensi (Frequency)
Indikator frequency ini menjelaskan kuantitas konflik dalam suatu periode yang dilihat
dan didengar oleh anak (Chapman, 1997).
2) Intensitas (Intensity)
Indikator
intensitas
menjelaskan
tingkat
emosionalitas
dan
kehebatan
dalam
mengekspresikan konflik. Aspek-aspek dalam indikator intensitas ini adalah aspek-aspek
yang dikemukakan oleh Gottman dan Declaire (Meizera, 2008) yaitu, terjadinya
kekerasan fisik pada pasangan, pelontaran kekerasan secara verbal, adanya sikap
bertahan, dan menarik diri dari interaksi pasangannya.
3) Penyelesaian masalah (Resolution)
Indikator resolution ini menjelaskan tingkatan pengambilan keputusan dan penyelesaian
konflik dan perdebatan dilakukan secara damai dan memuaskan masing-masing pihak
(Chapman, 1997)
4) Isi konflik (Content)
Indikator content menjelaskan topik yang terjadi dalam konflik apakah berhubungan
dengan anak atau merupakan masalah diantara suami dan istri.
b. Child reaction
Child reaction atau reaksi anak menjelaskan bagaimana reaksi dan persepsi anak
terhadap konflik yang terjadi pada orangtua mereka. dimensi child reaction terdiri dari
empat indikator, yaitu sebagai berikut:
7
1) Menyalahkan diri sendiri (Self Blame)
Indikator self blame ini menjelaskan apakah anak menyalahkan diri mereka sndiri
sebagai penyebab terjadinya konflik yang terjadi dalam perkawinan orangtuanya
(Bickham & Fiese, 1997).
2) Perasaan terancam (Perceived Threat)
Indikator perceived thread ini menjelaskan perasaan takut dan cemas anak akan konflik
yang dapat meluas dan ketakutan anak apabila ia terlibat dalam konflik dan mendapat
dampaknya (Grych dkk, 1992).
3) Kemampuan coping (coping efficacy)
Indikator coping efficacy menjelaskan bagaimana kemampuan anak untuk coping secara
emosional
(emotion-focused
coping)
seperti
bagaimana
ia
dapat
mengurangi
kecemasannya dan rasa tidak nyamannya apabila orangtuanya sedang berkonflik, serta
menjelaskan kemampuan anak untuk membuat suasana diantara kedua orangtuanya
menjadi nyaman (problem-focused coping) (Grych dkk, 1992).
4) Stabilitas (Stability)
Indikator stabilitas merupakan indikator yang menjelaskan bagaimana penggambaran
anak mengenai penyebab terjadinya konflik yang terjadi diantara kedua orangtuanya
secara umum.
c. Stressfulness
Dimensi stressfulness ini menjelaskan bagaimana konflik yang terjadi pada perkawinan
orangtua mempengaruhi anak dan hubungannya dengan orangtua. Dimensi ini memiliki satu
indikator, yaitu triangulation atau hubungan segitiga. Indikator triangulation ini
menjelaskan bagaimana anak terlibat dalam konflik tersebut, apakah anak harus memihak
salah satu diantara mereka atau menjadi penengah dalam konflik tersebut (Grych dkk, 1992).
B. Rasa Percaya (Trust)
1. Definisi Rasa Percaya (Trust)
Robinson (Fauzia & Nu’man, 2008) mendefinisikan kepercayaan sebagai sebuah harapan,
asumsi atau keyakinan seseorang tentang kemungkinan bahwa tindakan seseorang/pasangan
dimasa mendatang akan bermanfaat, baik, atau tidak merusak. Kepercayaan yang akan
diperoleh dari pihak lain tergantung beberapa hal antara lain umur, otoritas atau keahlian dan
juga pengalaman (Walgito, 2000).
2. Faktor Terbentuknya Rasa Percaya (Trust)
Menurut Lewicky (Rahmadhany, 2010) bagaimana seseorang mempercayai orang lain
dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut ini :
8
a. Predisposisi kepribadian
Deutsch (Rahmadhany, 2010) menunjukkan bahwa setiap individu memiliki predisposisi
yang berbeda untuk percaya kepada orang lain. Semakin tinggi tingkat predisposisi individu
terhadap trust, semakin besar pula
b. Reputasi dan stereotype
Harapan individu dapat terbentuk melalui apa yang dipelajari dari teman ataupun dari
apa yang didengar dari sekitarnya, meskipun individu tersebut tidak memiliki pengalaman
langsung. Reputasi orang lain biasanya membentuk harapan yang kuat yang membawa
individu untuk trust dan distrust serta membawa pada pendekatan pada hubungan untuk
saling percaya.
c. Pengalaman aktual
Pada kebanyakan orang, individu membangun faset dari pengalaman untuk berbicara,
bekerja, berkoordinasi dan berkomunikasi. Beberapa dari faset tersebut sangat kuat di dalam
trust, dan sebagian kuat di dalam distrust. Sepanjang berjalannya waktu, baik elemen trust
maupun distrust memulai untuk mendominasi pengalaman, untuk menstabilkan dan secara
mudah mendefenisikan sebuah hubungan. Ketika polanya sudah stabil, individu cenderung
untuk mengeneralisasikan sebuah hubungan dan menggambarkannya dengan tinggi atau
endahnya trust atau distrust.
d. Orientasi psikologis
Deutsch
(Rahmadhany,
2010)
menyatakan
bahwa
individu
membangun
dan
mempertahankan hubungan sosial berdasarkan orientasi psikologisnya. Orientasi ini
dipengaruhi oleh hubungan yang terbentuk dan sebaliknya. Dalam artian, agar orientasinya
tetap konsisten, maka individu akan mencari hubungan yang sesuai dengan jiwa mereka.
3. Komponen Rasa Percaya (Trust)
Menurut Rempel dkk (Fauzia & Nu’man, 2008) komponen rasa percaya adalah sebagai
berikut:
a.
Keadaan dapat diramalkan (Predictability)
Seseorang yang dapat diramalkan adalah seseorang yang mempunyai perilaku yang
konsisten walaupun perilaku tersebut terus menerus buruk.
b.
Keadaan dapat diandalkan (Dependability)
Keadaan dapat diandalkan (Dependability) berhubungan dengan perasaan yang timbul
bahwa pasangannya adalah seseorang yang bisa diandalkan.
9
c.
Keyakinan (Faith)
Keyakinan berupa kemampuan seseorang dalam pengambilan risk taking, in depth
relationship, percaya pada janji yang diberikan dengan mengorbankan penghargaan
seseorang untuk sebuah keuntungan yang akan datang.
C. Masa Dewasa Awal
1. Definisi Masa Dewasa Awal
Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang berarti telah
tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa. Masa
dewasa awal pada umumnya dimulai pada umur 18 sampai 40 tahun saat perubahanperubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif
(Hurlock, 2004). Individu dewasa awal dituntut memulai kehidupannya memerankan peran
ganda seperti suami/istri, orangtua dan peran dalam dunia kerja (berkarir), dan
mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan
tugas-tugas baru ini.
2. Ciri-Ciri Masa Dewasa Awal
Menurut Hurlock (2004) ada beberapa ciri-ciri masa dewasa awal, antara lain:
a.
Masa Usia Reproduktif
Dinamakan sebagai masa produktif karena pada rentang usia ini adalah masa-masa yang
cocok untuk menentukan pasangan hidup, menikah, dan berproduksi/menghasilkan anak.
b. Masa Bermasalah
Masa dewasa dini dikatakan sebagai masa yang sulit dan bermasalah. Hal ini
dikarenakan seseorang harus mengadakan penyesuaian dengan peran barunya (perkawinan
VS pekerjaan).
c. Masa Keterasingan Sosial
Masa dewasa dini adalah masa dimana seseorang mengalami “krisis isolasi”, ia terisolasi
atau terasingkan dari kelompok sosial. Kegiatan sosial dibatasi karena berbagai tekanan
pekerjaan dan keluarga. Hubungan dengan teman-teman sebaya juga menjadi renggang.
Keterasingan diintensifkan dengan adanya semangat bersaing dan hasrat untuk maju dalam
berkarir.
d. Masa Komitmen
Pada masa ini juga setiap individu mulai sadar akan pentingnya sebuah komitmen. Ia
mulai membentuk pola hidup, tanggungjawab, dan komitmen baru.
10
e. Masa Perubahan Nilai
Nilai yang dimiliki seseorang ketika ia berada pada masa dewasa dini berubah karena
pengalaman dan hubungan sosialnya semakin meluas. Nilai sudah mulai dipandang dengan
kaca mata orang dewasa. Nilai-nilai yang berubah ini dapat meningkatkan kesadaran positif.
Alasan kenapa seseorang berubah nilia-nilainya dalam kehidupan karena agar dapat diterima
oleh kelompoknya yaitu dengan cara mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati. Pada
masa ini juga seseorang akan lebih menerima/berpedoman pada nilai konvensional dalam hal
keyakinan. Egosentrisme akan berubah menjadi sosial ketika ia sudah menikah.
f. Masa Penyesuaian Diri dengan Hidup Baru
Ketika seseorang sudah mencapai masa dewasa berarti ia harus lebih bertanggungjawab
karena pada masa ini ia sudah mempunyai peran ganda (peran sebagai orangtua dan sebagai
pekerja).
METODE
Partisipan dan Desain Penelitian
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya yang sedang menjalin hubungan percintaan
dengan jumlah tidak diketahui. Sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
sebanyak 100 orang mahasiswi FiSIP Universitas Brawijaya berusia 20 – 30 tahun (Sanrock
2002) dan sedang menjalin hubungan percintaan (berpacaran). Teknik pengambilan sampel
yang digunakan adalah teknik purposive sampling dimana orang-orang yang terpilih sebagai
subjek merupakan orang-orang yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan dan dirasa
paling representatif (Santoso & Tjiptono, 2004).
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif bersifat koresaional. Penelitian
korelasional merupakan penelitian antara dua variabel atau lebih, guna melihat hubungan
antara kedua variabel, juga dapat melihat pengaruh dari satu variabel terhadap variabel lain
(Sugiyono, 2008). Metode uji hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji regresi
linier sederhana (simple linier regression) yang dimaksudkan untuk menguji hubungan antara
sebuah variabel terikat dengan satu variabel bebas.
Alat Ukur Dan Prosedur Penelitian
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket atau kuesioner, yaitu skala
persepsi terhadap konflik perkawinan orangtua dan skala rasa percaya kepada pasangan ( trust
scale). Teknik penskalaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Likert (metode
11
skala rating yang dijumlahkan, yaitu skor setiap aitem dijumlahkan menjadi skor total aitem),
dengan bentuk aitem favourable dan unfavourable.
Kedua skala yang telah disusun dan dilakukan pengujian validitas menggunakan metode
Content Validity Ratio yang diukur melalui tiga dosen psikologi sebagai professional
judgment, kemudian diuji cobakan kepada 30 orang mahasiswi jurusan statistika Universitas
Brawijaya yang sedang menjalin hubungan romantis (berpacaran). Skala persepsi terhadap
konflik perkawinan orang tua terdiri dari 53 aitem, setelah proses uji coba menghasilkan 15
nomer aitem valid dengan cronbach alpha 0,758. Sedangkan trust scale terdiri dari 32 aitem,
setelah proses uji coba menghasilkan 16 nomer aitem valid dengan cronbach alpha 0,791.
HASIL PENELITIAN
Deskripsi data diketahui dengan menggunakan analisis deskriptif untuk mengetahui
persepsi terhadap konflik perkawinan orangtua dan rasa percaya (trust) kepada pasangan.
Dari pengolahan data yang dilakukan untuk variabel persepsi terhadap konflik perkawinan
orangtua (lihat tabel 1), diketahui rata-rata skor empirik sebesar 40,72 yang berarti bahwa
subjek yang ada memiliki persepsi terhadap konflik perkawinan orangtua yang cukup baik.
Nilai terendah dari nilai empirik adalah 30 dengan nilai tertinggi sebesar 51, sedangkan
standar deviasinya sebesar 3,48.
Sedangkan Skor hipotetik diperoleh dari perhitungan manual pada variabel persepsi
terhadap konflik perkawinan orangtua dengan aitem sebanyak 15 item. Skor terendah untuk
pilihan jawaban adalah 1, dan skor tertinggi untuk pilihan jawaban adalah 4, diperoleh nilai
terendah 1 x 15 = 15 dan total nilai tertinggi = 4 x 15 = 60. Untuk luas sebarannya adalah 60
– 15 = 45. Dengan demikian setiap satuan deviasi standarnya bernilai SD = 45/6 = 7,5, dan
rata-rata (mean) hipotetiknya adalah µ = 45- 7,5 = 37,5.
Tabel 1. Deskripsi Data Skor Persepsi Terhadap Konflik Perkawinan Orangtua
Variabel
Statistik
Hipotetik Empirik
Persepsi terhadap
Skor Minimum
15
30
konflik perkawinan Skor Maksimum
60
51
orangtua
Mean
37,5
40,72
Standar Deviasi
7,5
3,48
Dari pengolahan data yang dilakukan untuk variabel rasa percaya (trust) kepada
pasangan (lihat tabel 2), diketahui rata-rata skor empirik sebesar 47,94 yang berarti bahwa
subjek yang ada memiliki rasa percaya kepada pasangan yang cukup baik. Nilai terendah dari
nilai empirik adalah 38 dengan nilai tertinggi 62, sedangkan standar deviasinya sebesar 5,1.
12
Skor hipotetik variabel y diperoleh dari perhitungan manual dengan Total aitem dalam
skala variabel trust kepada pasangan adalah 16 aitem. Skor terendah untuk pilihan jawaban
adalah 1, dan skor tertinggi untuk pilihan jawaban adalah 4, sehingga dapat diperoleh total
nilai terendah/minimum = 1 x 16 = 16 dan total nilai tertinggi/maksimum = 4 x 16 = 64.
Untuk luas sebarannya adalah 64 – 16 = 48, dengan demikian dapat diketahui satuan deviasi
standarnya bernilai SD = 48/6 = 8 dan rata-rata/mean hipotetiknya adalah µ = 48 – 8 = 40.
Tabel 2. Deskripsi Data Skor Rasa Percaya (Trust) Kepada Pasangan
Variabel
Statistik
Hipotetik Empirik
Rasa Percaya
Skor Minimum
16
38
Skor Maksimum
64
62
(trust) kepada
Mean
40
47,94
pasangan
Standar Deviasi
8
5,1
Deskripsi subjek berdasarkan lama berpacaran (lihat tabel 3), dapat dilihat bahwa
mahasiswi FISIP Universitas Brawijaya yang menjalin hubungan romantis kurang dari enam
bulan sebanyak 19%, lebih dari enam bulan dan kurang dari satu tahun sebanyak 14%, lebih
dari satu tahun dan kurang dari dua tahun sebanyak 24%, lebih dari dua tahun dan kurang
dari tiga tahun sebanyak 21%, lebih dari tiga tahun dan kurang dari empat tahun sebanyak
12%, lebih dari empat tahun dan kurang dari lima tahun sebanyak 5%, lebih dari lima tahun
dan kurang dari enam tahun sebanyak 2%, sedangkan 3% sisanya telah menjalin hubungan
romantis selama lebih dari enam tahun dan kurang dari tujuh tahun.
Tabel 3. Deskripsi Subjek Berdasarkan Lama Menjalin Hubungan Romantis
Lama Menjalin Hubungan
Jumlah
Presentase
Romantis
Subjek
19
19%
� < 6 bulan
14
14%
6 bulan ≤ � < 1 tahun
24
24%
1 tahun ≤ � < 2 tahun
21
21%
2 tahun ≤ � < 3 tahun
12
12%
3 tahun ≤ � < 4 tahun
5
5%
4 tahun ≤ � < 5 tahun
2
2%
5 tahun ≤ � < 6 tahun
3
3%
6 tahun ≤ � < 7 tahun
Total
100
100%
Uji Hipotesis
Hasil dari uji normalitas menunjukkan bahwa variabel persepsi terhadap konflik
perkawinan orangtua dan rasa percaya kepada pasangan dalam penelitian ini menyebar secara
normal. Hal ini dapat dilihat dari uji normalitas yang menghasilkan nilai Kolmogorov-
13
Smirnov untuk variabel persepsi terhadap konflik perkawinan orangtua dan untuk variabel
rasa percaya kepada pasangan sebesar 1,280 dengan nilai signifikansi kedua variabel sebesar
0,076. Nilai signifikansi kedua variabel tersebut mempunyai nilai lebih besar dari 0,05 yang
berarti keduanya dikatakan menyebar secara normal.
Uji heteroskedastisitas yang dilakukan melalui uji glejser terhadap kedua variabel
mendapatkan nilai signifikan 0,133. Nilai signifikansi ini lebih besar dari α (> 0.05) sehingga
dapat dikatakan bahwa kedua variabel dalam penelitian ini yaitu persepsi terhadap konflik
perkawinan orangtua dan rasa percaya (trust) kepada pasangan tidak heteroskedastisitas atau
dapat dikatakan homogen.
Uji Autokorelasi yang dilakukan dengan metode Durbin-Watson mendapatkan nilai d
hitung sebesar 2,027 dengan dL = 1,6540 dan dU = 1,6901. Karena 2,033 > 1,6901. Model
regresi pada penelitian ini dapat dikatakan tidak memiliki autokorelasi positif maupun
negatif. Hal ini disebabkan karena model regresi ini memiliki nilai durbin watson yang sama
dengan persamaan dU ≤ d ≤ (4 – dU ), dimana nilai dL (1,6504) lebih kecil dari nilai Durbin
Watson (2,014) yang lebih kecil dari nilai dU (1,690) setelah dikurangi 4 (2,3099).
Uji linieritas yang dilakukan dengan uji F mendapatkan nilai signifikan uji F sebesar
0,328. Nilai signifikansi ini lebih besar dari taraf signifikansi yang telah ditentukan, yaitu
0,05 (0,328 > 0,05) dengan demikian dapat dikatakan bahwa distribusi data penelitian ini
linier atau memiliki hubungan garis lurus dan uji linieritas terpenuhi.
Karena keempat uji asumsi klasik yang dilakukan terpenuhi, maka uji hipotesis yang
dilakukan dapat menggunakan uji regresi linier sederhana. Setelah melakukan uji regresi
linier sederhana didapatkan nilai signifikansi pada model regresi ini sebesar 0,127. Nilai
tersebut lebih besar dari taraf signifikansi yaitu 0,05 maka dapat dikatakan bahwa pengujian
tidak signifikan secara statistik atau Ho diterima. Dapat disimpulkan bahwa variabel X
(persepsi terhadap konflik perkawinan orangtua tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
variabel Y (rasa percaya/trust kepada pasangan).
DISKUSI
Menurut Lewicky (Ramadhany, 2010) pengalaman aktual menjadi faktor yang memiliki
peran paling besar dalam mempengaruhi rasa percaya seseorang. Pengalaman aktual yang
dimiliki individu dapat merubah reputasi dan stereotype yang ia miliki sebelumnya, seperti
persepsinya terhadap konflik perkawinan orang tuanya. Pengalaman aktual ini individu
dapatkan dengan membangun faset berbicara, bekerja, berkoordinasi dan berkomunikasi
bersama pasangannya. Beberapa dari faset tersebut sangat kuat di dalam trust, dan sebagian
14
kuat di dalam distrust. Sepanjang berjalannya waktu, baik elemen trust maupun distrust
memulai untuk mendominasi pengalaman, untuk menstabilkan dan secara mudah
mendefenisikan sebuah hubungan. Ketika polanya sudah stabil, individu cenderung untuk
mengeneralisasikan sebuah hubungan dan menggambarkannya dengan tinggi atau rendahnya
trust atau distrust (Ramadhany, 2010).
Rampel, Holmes, dan Zanna (Fianny, 2013) mengemukakan bahwa lama hubungan
berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan kepada pasangan. Semakin lama hubungan yang
terjalin, maka semakin tinggi tingkat kepercayaan kepada pasangannya. Sedangkan hubungan
yang berlangsung selama dibawah enam bulan dianggap tidak memiliki stabilitas dalam
hubungan (Fianny, 2013). Sebagian besar subjek yang telah berpacaran dengan rentang
waktu lebih dari enam bulan menyebabkan subjek lebih memiliki banyak memiliki
pengalaman aktual bersama pasangannya dan memiliki rasa percaya yang tinggi. Faktor
tersebut diyakini peneliti sebagai faktor yang menyebabkan persepsi terhadap konflik
perkawinan orangtua tidak dapat memprediksi rasa percaya kepada pasangan pada wanita
dewasa awal.
Pada penelitian ini terdapat beberapa hal yang perlu didiskusikan lebih lanjut yang
nantinya dapat berguna bagi penelitian selanjutnya. Pertama, jumlah variabel yang sedikit,
peneliti selanjutnya diharapkan untuk memperbanyak jumlah variabel dalam penelitian
supaya penelitian yang dilaksanakan lebih mendalam. Kemudian tentang daerah penelitian,
diharapkan untuk memperluas daerah penelitian yaitu bisa pada fakultas atau universitas lain
bahkan bisa juga pada karyawan atau orang yang sudah bekerja.
Para wanita usia dewasa awal diharapkan dapat mengambil hal positif dari konflik yang
terjadi pada perkawinan orangtuanya dan mengaplikasikan hal-hal positif tersebut dalam
perilakunya. Selain itu diharapkan pada wanita dewasa awal yang sedang menjalin hubungan
romantis (berpacaran) agar dapat menumbuhkan rasa saling percaya kepada pasangan untuk
mewujudkan hubungan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Anogara. (1992). Psikologi Kerja . Jakarta: Rineka Cipta
Bickham, Nicole L. & Fiese, Barbara H. (1997). Extension of the Children’s Perceptions of
Interparental Conflict Scale for Use With Late Adolescent. Journal Psychology Vol.
11 No. 2 Syracuse University.
15
Chapman, Benjamin P. (1997). Perception of Parental Conflict as a predictor of Attachment
and Caregiving Styles in the Romantic Relationships of Young Adults. Honors
Projects (http://digitalcommons.iwa.edu/psych_honproj/99)
Djamarah, Syaiful Bahri. (2004). Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam Keluarga .
Jakarta: PT. Asdi Mahasatya
Fauzia, Mutia D., & Nu’man, Thobagus M. (2008). Hubungan Kepercayaan Pada Pasangan
dengan Kepuasan Pernikahan. Naskah Publikasi Universitas Islam Indonesia. Jurnal
Psikologi (http://repository.uii.ac.id/100/SK/I/0/00/000/000221/uii-skripsihubungan%20%20kepercayaa-fauzia-5690265140-abstract.pdf)
Fianny, Teungku V. (2013). Pengaruh Kepercayaan Terhadap Kepuasan Hubungan Pacaran
Jarak Jauh Pada Dewasa Muda. Skripsi Jurusan Psikologi Universitas Indonesia.
Tidak diterbitkan
Grych, John H., Seid, M. & Finchman, Frank D. (1992). Assessing Marital Conflict from the
Child’s Perspective: The Children’s Perception of Interparental Conflict Scale.
Society for Research in Child Development, Inc.
Hurlock, Elizabeth B. (1999). Perkembangan Anak Jilid 2 Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit
Erlangga
Hurlock, Elizabeth B. (2004). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga
Lodewik. (2012). Tinjauan Yuridis Terhadap Penetapan Pengesahan Perkawinan Adat
Tionghoa Oleh Hakim. Skripsi Universitas Sumatera Utara: Tidak diterbitkan
(http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/30789)
Mastari. (2012). Gambaran Persepsi Masyarakat Kota Medan Terhadap Pendidikan Inklusi
Studi Terhadap Beberapa Kecamatan di Kota Medan. Skripsi.
(http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/33613)
Mawaddah, Hasanah. (2012). Gambaran Konflik Pernikahan pada Pasangan Berlatar
Belakang Etnis Jawa-Batak. Skripsi
(http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/33612)
Meizara, Eva, & Basti. (2008). Konflik Perkawinan Dan Model Penyelesaian Konflik Pada
Pasangan Suami Istri. Jurnal Psikologi Vol. 2, No 1 Universitas Negeri Makassar.
(http://ejournal.gunadarma.ac.id/index.php/psiko/article/download/243/184)
Merrim, Icchin. (2008). Persepsi Terhadap Pernikahan Pada Wanita Dewasa Dini Yang
Berasal Dari Keluarga Bercerai. Skripsi
(http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/23468)
Rahmadhany, Meyla. (2010). Dinamika Trust Terhadap Pasangan Pada Perempuan Setelah
Melakukan Aborsi. Skripsi. (http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/20864).
Universitas Sumatera Utara. Tidak Diterbitkan
Rakhmawati, M. (2004). Hubungan Komunikasi Interpersonal dengan Keberhasilan
Berkeluarga. Skripsi Universitas Wangsa Manggala: Tidak diterbitkan
16
Sadarjoen, S.S. (2005). Konflik marital. Pemahaman konseptual, aktual, dan alternatif
solusinya . Bandung: PT Refika Aditama
Santoso, Singgih dan Tjiptono, Fandy. (2004). Riset Pemasaran: Konsep dan Aplikasi
dengan SPSS. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Santrock, John W. (2002). Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup Jilid 1 Edisi
Kelima. Jakarta: Erlangga
Satiadarma, M. P. (2004). Persepsi Orang tua Membentuk Perilaku Anak. Jakarta: Pustaka
Populer Obor
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Supratiknya. (1995). Tinjauan Psikologis; Komunikasi Antar Pribadi. Yogyakarta: Kanisius
Titik, Triwulan, & Trianto. (2007). Poligami Perspektif danPerikatan Nikah. Jakarta: Prestasi
Pustaka
Walgito, B. (2000). Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta : Penerbit Andi.
Widyaningsih, Bernadeta D. (2000). Kecerdasan Emosional Ditinjau Dari Persepsi
Mahasiswa Terhadap Konflik Perkawinan Orangtua. Skripsi Universitas Katolik
Soegijapranata Semarang.
Zira. (2011). Dampak Negatif Permasalah Orangtua terhadap Anak dan Pencegahannya .
(http://pondokibu.com/dampak-negatif-permasalahan-orangtua-terhadap-anak-danpencegahannya.html)
SEBAGAI PREDIKTOR DARI RASA PERCAYA/TRUST
KEPADA PASANGAN (STUDI PADA WANITA DEWASA AWAL)
Santi Rizka Maya
([email protected])
Ari Pratiwi
Intan Rahmawati
Universitas Brawijaya Malang
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah persepsi terhadap konflik perkawinan
orangtua memiliki pengaruh dalam memprediksi rasa percaya (trust) kepada pasangan.
Penilitian ini dilakukan pada mahasiswi FISIP Universitas Brawijaya Malang yang berada
pada usia dewasa awal (20 – 30 tahun) dengan jumlah subjek n=100 orang Data dalam
penilitian ini dikumpulkan dengan menggunakan penyebaran skala persepsi terhadap konflik
orangtua dan skala rasa percaya kepada pasangan (trust scale). Metode analisa yang
digunakan adalah analisis regresi linier sederhana. Berdasarkan hasil pengolahan data yang
dilakukan, rata-rata mahasiswi FISIP Universitas Brawijaya Malang memiliki persepsi
terhadap konflik perkawinan orangtua pada tingkat sedang, begitu juga pada rasa percaya/trus
kepada pasangan berada pada tingkat sedang. Berdasarkan uji hipotesis didapatkan hasil
signifikansi lebih dari 0,05 yaitu 0,127, sehingga dapat dikatakan bahwa persepsi terhadap
konflik perkawinan orangtua tidak dapat memprediksi rasa percaya/trust kepada pasangan
secara signifikan. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan nilai persepsi terhadap konflik
perkawinan orangtua yang dimiliki individu sehingga tidak memberikan peranan yang berarti
pada rasa percaya/trust individu kepada pasangannya.
Kata kunci: persepsi, konflik perkawinan, rasa percaya, wanita dewasa awal.
Abstract
This study was conducted to determine whether the perception of parental marital
conflict have influence as a predictor of trust level to the partner. This study was carried out
on FISIP Brawijaya University women students who on early adult age range (20 – 30 years).
Women students who used as the subject of this study is n=100 persons by using purposive
sampling techniques. The data in this study were collected by using a two-scale deployment
of the scale perception of parental marital conflict and the scale of trust to the partner. The
methods of analysis used in this study is simple linear regression analysis methods. Based on
the results of data processing, the average of FISIP Brawijaya University Malang women
students have perceptions of parental marital conflict at a medium level, as well as trust to the
partner at a medium level. Based on the hypothesis test showed significance 0.127 which
more than 0.05, then it can be said the perceptions of parental marital conflict does not affect
trust to the partner significantly. This result caused by the change in the perceptions value of
the parental marital conflict, so not give significant influence to predicting trust level to the
partner.
Keywords: perception, marital conflict, trust, early adult woman
1
2
LATAR BELAKANG
Menurut Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1,
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat
penting dalam kehidupan manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami
dari kehidupan manusia itu sendiri yang meliputi kebutuhan dan fungsi biologis, melahirkan
keturunan, kebutuhan akan kasih sayang dan persaudaraan, memelihara keturunan tersebut
menjadi anggota-anggota masyarakat yang sempurna (Titik & Trianto, 2007).
Pasangan suami istri yang terdiri dari seorang pria dan seorang wanita yang membentuk
rumah tangga atau keluarga dalam suatu ikatan perkawinan pada dasarnya merupakan naluri
manusia sebagai makhluk sosial guna melangsungkan kehidupannya (Lodewik, 2012). Ikatan
perkawinan merupakan unsur pokok dalam pembentukan keluarga yang harmonis dan penuh
rasa cinta kasih. Seorang pria dan wanita yang merupakan pribadi yang berbeda dan dulunya
bebas tanpa ikatan hukum, namun setelah perkawinan menjadi terikat lahir dan batin sebagai
suami isteri. Tidak hanya sebagai sarana membangun ikatan, namun perkawinan juga
merupakan landasan natural bagi berkembangnya konflik (Sadarjoen, 2005).
Coser (Anogara, 1992) menyatakan bahwa konflik selalu ada di tempat kehidupan
bersama, bahkan dalam hubungan yang sempurna sekalipun konflik tidak akan pernah dapat
dihindari dan konflik akan semakin meningkat dalam hubungan yang serius. Demikian pula
halnya dengan kehidupan perkawinan.
Perselisihan, pertentangan, dan konflik dalam suatu rumah tangga merupakan sesuatu
yang terkadang tidak bisa dihindari, tetapi harus dihadapi. Meskipun ada kalanya suami atau
istri telah berusaha untuk menghindari adanya konflik dan lebih memilih untuk mengalah
daripada berkonfrontasi, namun konflik akan tetap hadir dalam perkawinan (Sadarjoen,
2005). Hal ini karena dalam suatu perkawinan terdapat penyatuan dua pribadi yang unik
dengan membawa sistem keyakinan masing-masing berdasar latar belakang budaya serta
pengalaman yang berbeda. Perbedaan tersebut perlu disesuaikan untuk membentuk sistem
keyakinan baru bagi kehidupan perkawinan mereka. Proses inilah yang seringkali
menimbulkan ketegangan, ditambah lagi dengan sejumlah perubahan yang harus mereka
hadapi, misalnya perubahan kondisi hidup, perubahan kebiasaan atau perubahan kegiatan
sosial.
Efek negatif konflik perkawinan berdasarkan penelitian di Amerika (Sadarjoen, 2005),
antara lain peningkatan risiko psikopatologi, kecelakaan, bunuh diri, kekerasan antar
3
pasangan, rentan berpenyakit, dan ketegangan psikis yang mengakibatkan kematian. Apabila
perselisihan atau konflik berkelanjutan, hal itu dapat mengarah pada perceraian. Seperti hasil
penelitian yang diperlihatkan Greer (Rakhmawati, 2004) bahwa dari 27.000 istri terdapat
78% yang merasakan keberhasilan berkeluarga dan 22% yang gagal dalam berumah tangga
dan memilih perceraian sebagai cara penyelesaian konflik yang terjadi dalam perkawinan.
Dengan kata lain pasangan yang memilih bercerai berarti telah gagal melakukan penyesuaian
diri terhadap konflik yang hadir di tengah-tengah bahtera perkawinan mereka.
Konflik dari perkawinan ini tidak hanya memberikan dampak pada pasangan itu sendiri,
tetapi juga pada berbagai aspek perkembangan anak, seperti perkembangan psikologis,
kognitif, serta sosial anak. Dalam perkembangannya, anak cenderung untuk meniru apa yang
dilihat dan didengar daripada nasihat yang diberikan pada mereka. Cara orang tua
berkomunikasi ketika berkonflik juga akan dipraktekkan oleh anak melalui caranya
berkomunikasi dengan orang lain karena bagi mereka orang tua merupakan panutan yang
benar (Satiadarma, 2001).
Orangtua merupakan sumber kepribadian anak, sebab di dalam keluarga dapat ditemukan
berbagai elemen dasar yang membentuk kepribadian seseorang. Konflik orang tua ini dapat
menyebabkan anak menjadi trauma, prestasi akademik menjadi menurun, perubahan sikap,
menjadi tertutup bahkan terhadap orang tua, terjerumus pada hal-hal yang negatif, dan tidak
percaya diri dan takut menjalin kedekatan dengan lawan jenis, bahkan menjadi takut untuk
menikah (Zira, 2011).
Menurut Hurlock (1999) salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi seorang
individu adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis dimana individu tersebut harus
mempersiapkan diri untuk mendapatkan pasangan hidup yang harus dipenuhi pada periode
dewasa awal. Masa dewasa awal adalah masa-masa tersulit sepanjang kehidupan. Masa
dewasa awal merupakan tahap dimana seseorang membuat banyak keputusan dalam
kehidupan mereka. Tugas perkembangan dewasa awal lebih khusus berkaitan dengan
keluarga, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Menurut Wrosch pada masa ini individu akan
menemukan pasangannya, menikah, belajar hidup dengan pasangannya, memiliki dan
mengasuh anak serta membangun kehidupan berkeluarga (Fauzia & Nu’man, 2008).
Pada masa dewasa awal, individu akan mulai membangun hubungan romantis dengan
lawan jenisnya agar dapat mememenuhi tugas perkembangan individu pada masa ini yaitu
menikah dan membangun keluarga. Dalam hubungannya dengan pasangannya, rasa percaya
(trust) menjadi salah satu faktor yang penting (Walgito, 2000). Seperti yang disebutkan oleh
Karsner (Novita, 2014) terdapat empat komponen yang penting dalam menjalin hubungan
4
romantis (berpacaran), yaitu meningkatkan komitmen (increase commitment), komunikasi
(communicate your self), keintiman (keep the romance alive), serta saling percaya (trust each
other ). Robinson (Fauzia & Nu’man, 2008) mendefinisikan kepercayaan sebagai sebuah
harapan, asumsi atau keyakinan seseorang tentang kemungkinan bahwa tindakan seseorang
atau pasangan dimasa mendatang akan bermanfaat, baik, atau tidak merusak. Salah satu
faktor terbentuknya trust adalah reputasi dan stereotype. Reputasi dan stereotype ini
merupakan apa yang individu lihat dan dengar dari pengalaman orang lain, salah satunya
adalah persepsi yang ia miliki tentang perkawinan orangtuanya. Persepsi yang ia miliki ini
akan ia aplikasikan dalam perilakunya terhadap pasangan dan membentuk harapan yang kuat
dan membawa individu untuk trust dan distrust (Rahmadhany, 2010).
Kartono (Meizara & Basti, 2008) menyatakan bahwa dibandingkan laki-laki wanita lebih
banyak menunjukkan tanda-tanda emosional. Hal ini terlihat bahwa wanita lebih cepat
bereaksi dengan hati yang penuh ketegangan, lebih cepat berkecil hati, bingung, takut, cemas,
dan curiga. Selain itu, kesatuan totalitas dari tingkah laku wanita bukan terletak pada
kesadaran objektif, akan tetapi terletak pada perasaannya yang didorong oleh afek dan
sentiment yang kuat, yang pada akhirnya membuat dugaan dan perhitungan mereka menjadi
keliru dan tidak mudah percaya.
Berdasarkan beberapa fakta yang telah dijelaskan di atas, maka penulis bermaksud
mengadakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah persepsi terhadap konflik
perkawinan orangtua mempengaruhi rasa percaya (trust) kepada pasangan pada wanita
dewasa awal.
LANDASAN TEORI
A. Persepsi Terhadap Konflik Perkawina Orangtua
1. Definisi Persepsi Terhadap Konflik Perkawinan Orangtua
Menurut Robbins, persepsi merupakan suatu proses yang digunakan individu untuk
mengelola dan menafsirkan pesan indera dari lingkungan dalam rangka memberikan makna
kepada lingkungan dengan cara mengorganisir dan menginterpretasi sehingga akan
mempengaruhi perilaku individu (Mastari, 2012).
Menurut Johnson (Supratiknya, 1995) konflik adalah situasi dimana tindakan salah satu
pihak berakibat menghalangi, menghambat atau mengganggu tindakan pihak lain endati
unsur konflik selalu terdapat setiap bentuk hubungan antar pribadi, pada umumnya
masyarakat memandang konflik sebagai keadaan yang harus dihindarkan karena konflik
dianggap sebagai faktor yang merusak hubungan. Menurut Johnson (Supratiknya, 1995)
5
konflik adalah situasi dimana tindakan salah satu pihak berakibat menghalangi, menghambat
atau mengganggu tindakan pihak lain endati unsur konflik selalu terdapat setiap bentuk
hubungan antar pribadi, pada umumnya masyarakat memandang konflik sebagai keadaan
yang harus dihindarkan karena konflik dianggap sebagai faktor yang merusak hubungan.
Finchman (Mawaddah, 2012) mendefenisikan konflik perkawinan sebagai keadaan suamiistri yang sedang menghadapi masalah dalam perkawianannya dan hal tersebut tampak dalam
perilaku mereka yang cenderung kurang harmonis ketika sedang menghadapi konflik.
Menurut Srey, konflik dalam perkawinan terjadi dikarenakan masing-masing individu
membawa kebutuhan, keinginan dan latar belakang yang unik dan berbeda (Mawaddah,
2012).
Orangtua adalah orang yang telah melahirkan kita yaitu ibu dan bapak. Ibu dan bapak
selain telah melahirkan kita ke dunia ini juga yang mengasuh dan yang telah membimbing
anaknya dengan cara memberikan contoh baik dalam menjalani kehidupanya (Djamarah,
2004).
Persepsi terhadap konflik perkawinan orangtua merupakan suatu proses penerimaan,
pemahaman, dan pengalaman yang telah lalu yang berkaitan erat dengan konflik perkawinan
orangtua, dan merupakan proses input sehingga masuk dalam pola pikir, sehingga apabila
menghadapi suatu masalah maka perilaku yang dimunculkan akan cenderung sama dengan
yang diperbuat oleh orangtuanya (Widyaningsih, 2000). Hal ini merupakan hasil dari proses
modeling, dan juga adanya tuntutan yang berkaitan dengan kemampuan sosialnya.
Menurut Adler (Merrim, 2008) individu belajar tentang kehidupan rumah tangga dan
gambaran ideal tentang pasangan lawan jenis melalui orangtua mereka Berdasarkan teori
yang dikemukakan oleh Wallerstrein (Merrim, 2008) persepsi yang dibentuk oleh anak bisa
saja membuat anak untuk berusaha lebih baik dari pada orangtuanya. Sebaliknya
Wallerstrein juga mengatakan bahwa persepsi terhadap pernikahan tersebut juga dapat
membuat anak jadi skeptis terhadap pernikahan.
2. Aspek Persepsi Terhadap Konflik Perkawinan Orangtua
Berikut ini aspek-aspek persepsi terhadap konflik perkawinan orangtua, yaitu:
a. Pengetahuan
Pengetahuan yang dimaksud berupa pengetahuan yang dimiliki individu mengenai
pernikahan dan konfli-konfliknya. Pengetahuan ini didapatkan dari masa lalu dan
perasaan terhadap pernikahan.
6
b. Harapan
Selain individu mempunyai satu set pandangan terhadap pernikahan, individu juga
memiliki pengharapan terhadap pernikahannya sendiri, seperti apa pernikahan itu
seharusnya dan apa yang harus dilakukan dalam pernikahan.
c. Penilaian
Penilaian adalah kesimpulan individu terhadap pernikahan yang didasarkan pada
bagaimana pernikahan tersebut memenuhi pengharapan individu terhadap pernikahan.
3. Komponen Persepsi Terhadap Konflik Perkawinan Orangtua
Adapun komponen persepsi terhadap konflik perkawinan orangtua menurut Grych dkk
(1992) adalah sebagai berikut:
a. Dimensi marital konflik
Dimensi marital konflik menjelaskan bagaimana anak menggambarkan konflik yang
terjadi pada orangtua mereka berdasarkan sudut pandang dan panca indera mereka. Dimensi
marital konflik terdiri dari empat indikator, yaitu sebagai berikut:
1) Frekuensi (Frequency)
Indikator frequency ini menjelaskan kuantitas konflik dalam suatu periode yang dilihat
dan didengar oleh anak (Chapman, 1997).
2) Intensitas (Intensity)
Indikator
intensitas
menjelaskan
tingkat
emosionalitas
dan
kehebatan
dalam
mengekspresikan konflik. Aspek-aspek dalam indikator intensitas ini adalah aspek-aspek
yang dikemukakan oleh Gottman dan Declaire (Meizera, 2008) yaitu, terjadinya
kekerasan fisik pada pasangan, pelontaran kekerasan secara verbal, adanya sikap
bertahan, dan menarik diri dari interaksi pasangannya.
3) Penyelesaian masalah (Resolution)
Indikator resolution ini menjelaskan tingkatan pengambilan keputusan dan penyelesaian
konflik dan perdebatan dilakukan secara damai dan memuaskan masing-masing pihak
(Chapman, 1997)
4) Isi konflik (Content)
Indikator content menjelaskan topik yang terjadi dalam konflik apakah berhubungan
dengan anak atau merupakan masalah diantara suami dan istri.
b. Child reaction
Child reaction atau reaksi anak menjelaskan bagaimana reaksi dan persepsi anak
terhadap konflik yang terjadi pada orangtua mereka. dimensi child reaction terdiri dari
empat indikator, yaitu sebagai berikut:
7
1) Menyalahkan diri sendiri (Self Blame)
Indikator self blame ini menjelaskan apakah anak menyalahkan diri mereka sndiri
sebagai penyebab terjadinya konflik yang terjadi dalam perkawinan orangtuanya
(Bickham & Fiese, 1997).
2) Perasaan terancam (Perceived Threat)
Indikator perceived thread ini menjelaskan perasaan takut dan cemas anak akan konflik
yang dapat meluas dan ketakutan anak apabila ia terlibat dalam konflik dan mendapat
dampaknya (Grych dkk, 1992).
3) Kemampuan coping (coping efficacy)
Indikator coping efficacy menjelaskan bagaimana kemampuan anak untuk coping secara
emosional
(emotion-focused
coping)
seperti
bagaimana
ia
dapat
mengurangi
kecemasannya dan rasa tidak nyamannya apabila orangtuanya sedang berkonflik, serta
menjelaskan kemampuan anak untuk membuat suasana diantara kedua orangtuanya
menjadi nyaman (problem-focused coping) (Grych dkk, 1992).
4) Stabilitas (Stability)
Indikator stabilitas merupakan indikator yang menjelaskan bagaimana penggambaran
anak mengenai penyebab terjadinya konflik yang terjadi diantara kedua orangtuanya
secara umum.
c. Stressfulness
Dimensi stressfulness ini menjelaskan bagaimana konflik yang terjadi pada perkawinan
orangtua mempengaruhi anak dan hubungannya dengan orangtua. Dimensi ini memiliki satu
indikator, yaitu triangulation atau hubungan segitiga. Indikator triangulation ini
menjelaskan bagaimana anak terlibat dalam konflik tersebut, apakah anak harus memihak
salah satu diantara mereka atau menjadi penengah dalam konflik tersebut (Grych dkk, 1992).
B. Rasa Percaya (Trust)
1. Definisi Rasa Percaya (Trust)
Robinson (Fauzia & Nu’man, 2008) mendefinisikan kepercayaan sebagai sebuah harapan,
asumsi atau keyakinan seseorang tentang kemungkinan bahwa tindakan seseorang/pasangan
dimasa mendatang akan bermanfaat, baik, atau tidak merusak. Kepercayaan yang akan
diperoleh dari pihak lain tergantung beberapa hal antara lain umur, otoritas atau keahlian dan
juga pengalaman (Walgito, 2000).
2. Faktor Terbentuknya Rasa Percaya (Trust)
Menurut Lewicky (Rahmadhany, 2010) bagaimana seseorang mempercayai orang lain
dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut ini :
8
a. Predisposisi kepribadian
Deutsch (Rahmadhany, 2010) menunjukkan bahwa setiap individu memiliki predisposisi
yang berbeda untuk percaya kepada orang lain. Semakin tinggi tingkat predisposisi individu
terhadap trust, semakin besar pula
b. Reputasi dan stereotype
Harapan individu dapat terbentuk melalui apa yang dipelajari dari teman ataupun dari
apa yang didengar dari sekitarnya, meskipun individu tersebut tidak memiliki pengalaman
langsung. Reputasi orang lain biasanya membentuk harapan yang kuat yang membawa
individu untuk trust dan distrust serta membawa pada pendekatan pada hubungan untuk
saling percaya.
c. Pengalaman aktual
Pada kebanyakan orang, individu membangun faset dari pengalaman untuk berbicara,
bekerja, berkoordinasi dan berkomunikasi. Beberapa dari faset tersebut sangat kuat di dalam
trust, dan sebagian kuat di dalam distrust. Sepanjang berjalannya waktu, baik elemen trust
maupun distrust memulai untuk mendominasi pengalaman, untuk menstabilkan dan secara
mudah mendefenisikan sebuah hubungan. Ketika polanya sudah stabil, individu cenderung
untuk mengeneralisasikan sebuah hubungan dan menggambarkannya dengan tinggi atau
endahnya trust atau distrust.
d. Orientasi psikologis
Deutsch
(Rahmadhany,
2010)
menyatakan
bahwa
individu
membangun
dan
mempertahankan hubungan sosial berdasarkan orientasi psikologisnya. Orientasi ini
dipengaruhi oleh hubungan yang terbentuk dan sebaliknya. Dalam artian, agar orientasinya
tetap konsisten, maka individu akan mencari hubungan yang sesuai dengan jiwa mereka.
3. Komponen Rasa Percaya (Trust)
Menurut Rempel dkk (Fauzia & Nu’man, 2008) komponen rasa percaya adalah sebagai
berikut:
a.
Keadaan dapat diramalkan (Predictability)
Seseorang yang dapat diramalkan adalah seseorang yang mempunyai perilaku yang
konsisten walaupun perilaku tersebut terus menerus buruk.
b.
Keadaan dapat diandalkan (Dependability)
Keadaan dapat diandalkan (Dependability) berhubungan dengan perasaan yang timbul
bahwa pasangannya adalah seseorang yang bisa diandalkan.
9
c.
Keyakinan (Faith)
Keyakinan berupa kemampuan seseorang dalam pengambilan risk taking, in depth
relationship, percaya pada janji yang diberikan dengan mengorbankan penghargaan
seseorang untuk sebuah keuntungan yang akan datang.
C. Masa Dewasa Awal
1. Definisi Masa Dewasa Awal
Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang berarti telah
tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa. Masa
dewasa awal pada umumnya dimulai pada umur 18 sampai 40 tahun saat perubahanperubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif
(Hurlock, 2004). Individu dewasa awal dituntut memulai kehidupannya memerankan peran
ganda seperti suami/istri, orangtua dan peran dalam dunia kerja (berkarir), dan
mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan
tugas-tugas baru ini.
2. Ciri-Ciri Masa Dewasa Awal
Menurut Hurlock (2004) ada beberapa ciri-ciri masa dewasa awal, antara lain:
a.
Masa Usia Reproduktif
Dinamakan sebagai masa produktif karena pada rentang usia ini adalah masa-masa yang
cocok untuk menentukan pasangan hidup, menikah, dan berproduksi/menghasilkan anak.
b. Masa Bermasalah
Masa dewasa dini dikatakan sebagai masa yang sulit dan bermasalah. Hal ini
dikarenakan seseorang harus mengadakan penyesuaian dengan peran barunya (perkawinan
VS pekerjaan).
c. Masa Keterasingan Sosial
Masa dewasa dini adalah masa dimana seseorang mengalami “krisis isolasi”, ia terisolasi
atau terasingkan dari kelompok sosial. Kegiatan sosial dibatasi karena berbagai tekanan
pekerjaan dan keluarga. Hubungan dengan teman-teman sebaya juga menjadi renggang.
Keterasingan diintensifkan dengan adanya semangat bersaing dan hasrat untuk maju dalam
berkarir.
d. Masa Komitmen
Pada masa ini juga setiap individu mulai sadar akan pentingnya sebuah komitmen. Ia
mulai membentuk pola hidup, tanggungjawab, dan komitmen baru.
10
e. Masa Perubahan Nilai
Nilai yang dimiliki seseorang ketika ia berada pada masa dewasa dini berubah karena
pengalaman dan hubungan sosialnya semakin meluas. Nilai sudah mulai dipandang dengan
kaca mata orang dewasa. Nilai-nilai yang berubah ini dapat meningkatkan kesadaran positif.
Alasan kenapa seseorang berubah nilia-nilainya dalam kehidupan karena agar dapat diterima
oleh kelompoknya yaitu dengan cara mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati. Pada
masa ini juga seseorang akan lebih menerima/berpedoman pada nilai konvensional dalam hal
keyakinan. Egosentrisme akan berubah menjadi sosial ketika ia sudah menikah.
f. Masa Penyesuaian Diri dengan Hidup Baru
Ketika seseorang sudah mencapai masa dewasa berarti ia harus lebih bertanggungjawab
karena pada masa ini ia sudah mempunyai peran ganda (peran sebagai orangtua dan sebagai
pekerja).
METODE
Partisipan dan Desain Penelitian
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya yang sedang menjalin hubungan percintaan
dengan jumlah tidak diketahui. Sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
sebanyak 100 orang mahasiswi FiSIP Universitas Brawijaya berusia 20 – 30 tahun (Sanrock
2002) dan sedang menjalin hubungan percintaan (berpacaran). Teknik pengambilan sampel
yang digunakan adalah teknik purposive sampling dimana orang-orang yang terpilih sebagai
subjek merupakan orang-orang yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan dan dirasa
paling representatif (Santoso & Tjiptono, 2004).
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif bersifat koresaional. Penelitian
korelasional merupakan penelitian antara dua variabel atau lebih, guna melihat hubungan
antara kedua variabel, juga dapat melihat pengaruh dari satu variabel terhadap variabel lain
(Sugiyono, 2008). Metode uji hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji regresi
linier sederhana (simple linier regression) yang dimaksudkan untuk menguji hubungan antara
sebuah variabel terikat dengan satu variabel bebas.
Alat Ukur Dan Prosedur Penelitian
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket atau kuesioner, yaitu skala
persepsi terhadap konflik perkawinan orangtua dan skala rasa percaya kepada pasangan ( trust
scale). Teknik penskalaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Likert (metode
11
skala rating yang dijumlahkan, yaitu skor setiap aitem dijumlahkan menjadi skor total aitem),
dengan bentuk aitem favourable dan unfavourable.
Kedua skala yang telah disusun dan dilakukan pengujian validitas menggunakan metode
Content Validity Ratio yang diukur melalui tiga dosen psikologi sebagai professional
judgment, kemudian diuji cobakan kepada 30 orang mahasiswi jurusan statistika Universitas
Brawijaya yang sedang menjalin hubungan romantis (berpacaran). Skala persepsi terhadap
konflik perkawinan orang tua terdiri dari 53 aitem, setelah proses uji coba menghasilkan 15
nomer aitem valid dengan cronbach alpha 0,758. Sedangkan trust scale terdiri dari 32 aitem,
setelah proses uji coba menghasilkan 16 nomer aitem valid dengan cronbach alpha 0,791.
HASIL PENELITIAN
Deskripsi data diketahui dengan menggunakan analisis deskriptif untuk mengetahui
persepsi terhadap konflik perkawinan orangtua dan rasa percaya (trust) kepada pasangan.
Dari pengolahan data yang dilakukan untuk variabel persepsi terhadap konflik perkawinan
orangtua (lihat tabel 1), diketahui rata-rata skor empirik sebesar 40,72 yang berarti bahwa
subjek yang ada memiliki persepsi terhadap konflik perkawinan orangtua yang cukup baik.
Nilai terendah dari nilai empirik adalah 30 dengan nilai tertinggi sebesar 51, sedangkan
standar deviasinya sebesar 3,48.
Sedangkan Skor hipotetik diperoleh dari perhitungan manual pada variabel persepsi
terhadap konflik perkawinan orangtua dengan aitem sebanyak 15 item. Skor terendah untuk
pilihan jawaban adalah 1, dan skor tertinggi untuk pilihan jawaban adalah 4, diperoleh nilai
terendah 1 x 15 = 15 dan total nilai tertinggi = 4 x 15 = 60. Untuk luas sebarannya adalah 60
– 15 = 45. Dengan demikian setiap satuan deviasi standarnya bernilai SD = 45/6 = 7,5, dan
rata-rata (mean) hipotetiknya adalah µ = 45- 7,5 = 37,5.
Tabel 1. Deskripsi Data Skor Persepsi Terhadap Konflik Perkawinan Orangtua
Variabel
Statistik
Hipotetik Empirik
Persepsi terhadap
Skor Minimum
15
30
konflik perkawinan Skor Maksimum
60
51
orangtua
Mean
37,5
40,72
Standar Deviasi
7,5
3,48
Dari pengolahan data yang dilakukan untuk variabel rasa percaya (trust) kepada
pasangan (lihat tabel 2), diketahui rata-rata skor empirik sebesar 47,94 yang berarti bahwa
subjek yang ada memiliki rasa percaya kepada pasangan yang cukup baik. Nilai terendah dari
nilai empirik adalah 38 dengan nilai tertinggi 62, sedangkan standar deviasinya sebesar 5,1.
12
Skor hipotetik variabel y diperoleh dari perhitungan manual dengan Total aitem dalam
skala variabel trust kepada pasangan adalah 16 aitem. Skor terendah untuk pilihan jawaban
adalah 1, dan skor tertinggi untuk pilihan jawaban adalah 4, sehingga dapat diperoleh total
nilai terendah/minimum = 1 x 16 = 16 dan total nilai tertinggi/maksimum = 4 x 16 = 64.
Untuk luas sebarannya adalah 64 – 16 = 48, dengan demikian dapat diketahui satuan deviasi
standarnya bernilai SD = 48/6 = 8 dan rata-rata/mean hipotetiknya adalah µ = 48 – 8 = 40.
Tabel 2. Deskripsi Data Skor Rasa Percaya (Trust) Kepada Pasangan
Variabel
Statistik
Hipotetik Empirik
Rasa Percaya
Skor Minimum
16
38
Skor Maksimum
64
62
(trust) kepada
Mean
40
47,94
pasangan
Standar Deviasi
8
5,1
Deskripsi subjek berdasarkan lama berpacaran (lihat tabel 3), dapat dilihat bahwa
mahasiswi FISIP Universitas Brawijaya yang menjalin hubungan romantis kurang dari enam
bulan sebanyak 19%, lebih dari enam bulan dan kurang dari satu tahun sebanyak 14%, lebih
dari satu tahun dan kurang dari dua tahun sebanyak 24%, lebih dari dua tahun dan kurang
dari tiga tahun sebanyak 21%, lebih dari tiga tahun dan kurang dari empat tahun sebanyak
12%, lebih dari empat tahun dan kurang dari lima tahun sebanyak 5%, lebih dari lima tahun
dan kurang dari enam tahun sebanyak 2%, sedangkan 3% sisanya telah menjalin hubungan
romantis selama lebih dari enam tahun dan kurang dari tujuh tahun.
Tabel 3. Deskripsi Subjek Berdasarkan Lama Menjalin Hubungan Romantis
Lama Menjalin Hubungan
Jumlah
Presentase
Romantis
Subjek
19
19%
� < 6 bulan
14
14%
6 bulan ≤ � < 1 tahun
24
24%
1 tahun ≤ � < 2 tahun
21
21%
2 tahun ≤ � < 3 tahun
12
12%
3 tahun ≤ � < 4 tahun
5
5%
4 tahun ≤ � < 5 tahun
2
2%
5 tahun ≤ � < 6 tahun
3
3%
6 tahun ≤ � < 7 tahun
Total
100
100%
Uji Hipotesis
Hasil dari uji normalitas menunjukkan bahwa variabel persepsi terhadap konflik
perkawinan orangtua dan rasa percaya kepada pasangan dalam penelitian ini menyebar secara
normal. Hal ini dapat dilihat dari uji normalitas yang menghasilkan nilai Kolmogorov-
13
Smirnov untuk variabel persepsi terhadap konflik perkawinan orangtua dan untuk variabel
rasa percaya kepada pasangan sebesar 1,280 dengan nilai signifikansi kedua variabel sebesar
0,076. Nilai signifikansi kedua variabel tersebut mempunyai nilai lebih besar dari 0,05 yang
berarti keduanya dikatakan menyebar secara normal.
Uji heteroskedastisitas yang dilakukan melalui uji glejser terhadap kedua variabel
mendapatkan nilai signifikan 0,133. Nilai signifikansi ini lebih besar dari α (> 0.05) sehingga
dapat dikatakan bahwa kedua variabel dalam penelitian ini yaitu persepsi terhadap konflik
perkawinan orangtua dan rasa percaya (trust) kepada pasangan tidak heteroskedastisitas atau
dapat dikatakan homogen.
Uji Autokorelasi yang dilakukan dengan metode Durbin-Watson mendapatkan nilai d
hitung sebesar 2,027 dengan dL = 1,6540 dan dU = 1,6901. Karena 2,033 > 1,6901. Model
regresi pada penelitian ini dapat dikatakan tidak memiliki autokorelasi positif maupun
negatif. Hal ini disebabkan karena model regresi ini memiliki nilai durbin watson yang sama
dengan persamaan dU ≤ d ≤ (4 – dU ), dimana nilai dL (1,6504) lebih kecil dari nilai Durbin
Watson (2,014) yang lebih kecil dari nilai dU (1,690) setelah dikurangi 4 (2,3099).
Uji linieritas yang dilakukan dengan uji F mendapatkan nilai signifikan uji F sebesar
0,328. Nilai signifikansi ini lebih besar dari taraf signifikansi yang telah ditentukan, yaitu
0,05 (0,328 > 0,05) dengan demikian dapat dikatakan bahwa distribusi data penelitian ini
linier atau memiliki hubungan garis lurus dan uji linieritas terpenuhi.
Karena keempat uji asumsi klasik yang dilakukan terpenuhi, maka uji hipotesis yang
dilakukan dapat menggunakan uji regresi linier sederhana. Setelah melakukan uji regresi
linier sederhana didapatkan nilai signifikansi pada model regresi ini sebesar 0,127. Nilai
tersebut lebih besar dari taraf signifikansi yaitu 0,05 maka dapat dikatakan bahwa pengujian
tidak signifikan secara statistik atau Ho diterima. Dapat disimpulkan bahwa variabel X
(persepsi terhadap konflik perkawinan orangtua tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
variabel Y (rasa percaya/trust kepada pasangan).
DISKUSI
Menurut Lewicky (Ramadhany, 2010) pengalaman aktual menjadi faktor yang memiliki
peran paling besar dalam mempengaruhi rasa percaya seseorang. Pengalaman aktual yang
dimiliki individu dapat merubah reputasi dan stereotype yang ia miliki sebelumnya, seperti
persepsinya terhadap konflik perkawinan orang tuanya. Pengalaman aktual ini individu
dapatkan dengan membangun faset berbicara, bekerja, berkoordinasi dan berkomunikasi
bersama pasangannya. Beberapa dari faset tersebut sangat kuat di dalam trust, dan sebagian
14
kuat di dalam distrust. Sepanjang berjalannya waktu, baik elemen trust maupun distrust
memulai untuk mendominasi pengalaman, untuk menstabilkan dan secara mudah
mendefenisikan sebuah hubungan. Ketika polanya sudah stabil, individu cenderung untuk
mengeneralisasikan sebuah hubungan dan menggambarkannya dengan tinggi atau rendahnya
trust atau distrust (Ramadhany, 2010).
Rampel, Holmes, dan Zanna (Fianny, 2013) mengemukakan bahwa lama hubungan
berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan kepada pasangan. Semakin lama hubungan yang
terjalin, maka semakin tinggi tingkat kepercayaan kepada pasangannya. Sedangkan hubungan
yang berlangsung selama dibawah enam bulan dianggap tidak memiliki stabilitas dalam
hubungan (Fianny, 2013). Sebagian besar subjek yang telah berpacaran dengan rentang
waktu lebih dari enam bulan menyebabkan subjek lebih memiliki banyak memiliki
pengalaman aktual bersama pasangannya dan memiliki rasa percaya yang tinggi. Faktor
tersebut diyakini peneliti sebagai faktor yang menyebabkan persepsi terhadap konflik
perkawinan orangtua tidak dapat memprediksi rasa percaya kepada pasangan pada wanita
dewasa awal.
Pada penelitian ini terdapat beberapa hal yang perlu didiskusikan lebih lanjut yang
nantinya dapat berguna bagi penelitian selanjutnya. Pertama, jumlah variabel yang sedikit,
peneliti selanjutnya diharapkan untuk memperbanyak jumlah variabel dalam penelitian
supaya penelitian yang dilaksanakan lebih mendalam. Kemudian tentang daerah penelitian,
diharapkan untuk memperluas daerah penelitian yaitu bisa pada fakultas atau universitas lain
bahkan bisa juga pada karyawan atau orang yang sudah bekerja.
Para wanita usia dewasa awal diharapkan dapat mengambil hal positif dari konflik yang
terjadi pada perkawinan orangtuanya dan mengaplikasikan hal-hal positif tersebut dalam
perilakunya. Selain itu diharapkan pada wanita dewasa awal yang sedang menjalin hubungan
romantis (berpacaran) agar dapat menumbuhkan rasa saling percaya kepada pasangan untuk
mewujudkan hubungan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Anogara. (1992). Psikologi Kerja . Jakarta: Rineka Cipta
Bickham, Nicole L. & Fiese, Barbara H. (1997). Extension of the Children’s Perceptions of
Interparental Conflict Scale for Use With Late Adolescent. Journal Psychology Vol.
11 No. 2 Syracuse University.
15
Chapman, Benjamin P. (1997). Perception of Parental Conflict as a predictor of Attachment
and Caregiving Styles in the Romantic Relationships of Young Adults. Honors
Projects (http://digitalcommons.iwa.edu/psych_honproj/99)
Djamarah, Syaiful Bahri. (2004). Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam Keluarga .
Jakarta: PT. Asdi Mahasatya
Fauzia, Mutia D., & Nu’man, Thobagus M. (2008). Hubungan Kepercayaan Pada Pasangan
dengan Kepuasan Pernikahan. Naskah Publikasi Universitas Islam Indonesia. Jurnal
Psikologi (http://repository.uii.ac.id/100/SK/I/0/00/000/000221/uii-skripsihubungan%20%20kepercayaa-fauzia-5690265140-abstract.pdf)
Fianny, Teungku V. (2013). Pengaruh Kepercayaan Terhadap Kepuasan Hubungan Pacaran
Jarak Jauh Pada Dewasa Muda. Skripsi Jurusan Psikologi Universitas Indonesia.
Tidak diterbitkan
Grych, John H., Seid, M. & Finchman, Frank D. (1992). Assessing Marital Conflict from the
Child’s Perspective: The Children’s Perception of Interparental Conflict Scale.
Society for Research in Child Development, Inc.
Hurlock, Elizabeth B. (1999). Perkembangan Anak Jilid 2 Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit
Erlangga
Hurlock, Elizabeth B. (2004). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga
Lodewik. (2012). Tinjauan Yuridis Terhadap Penetapan Pengesahan Perkawinan Adat
Tionghoa Oleh Hakim. Skripsi Universitas Sumatera Utara: Tidak diterbitkan
(http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/30789)
Mastari. (2012). Gambaran Persepsi Masyarakat Kota Medan Terhadap Pendidikan Inklusi
Studi Terhadap Beberapa Kecamatan di Kota Medan. Skripsi.
(http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/33613)
Mawaddah, Hasanah. (2012). Gambaran Konflik Pernikahan pada Pasangan Berlatar
Belakang Etnis Jawa-Batak. Skripsi
(http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/33612)
Meizara, Eva, & Basti. (2008). Konflik Perkawinan Dan Model Penyelesaian Konflik Pada
Pasangan Suami Istri. Jurnal Psikologi Vol. 2, No 1 Universitas Negeri Makassar.
(http://ejournal.gunadarma.ac.id/index.php/psiko/article/download/243/184)
Merrim, Icchin. (2008). Persepsi Terhadap Pernikahan Pada Wanita Dewasa Dini Yang
Berasal Dari Keluarga Bercerai. Skripsi
(http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/23468)
Rahmadhany, Meyla. (2010). Dinamika Trust Terhadap Pasangan Pada Perempuan Setelah
Melakukan Aborsi. Skripsi. (http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/20864).
Universitas Sumatera Utara. Tidak Diterbitkan
Rakhmawati, M. (2004). Hubungan Komunikasi Interpersonal dengan Keberhasilan
Berkeluarga. Skripsi Universitas Wangsa Manggala: Tidak diterbitkan
16
Sadarjoen, S.S. (2005). Konflik marital. Pemahaman konseptual, aktual, dan alternatif
solusinya . Bandung: PT Refika Aditama
Santoso, Singgih dan Tjiptono, Fandy. (2004). Riset Pemasaran: Konsep dan Aplikasi
dengan SPSS. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Santrock, John W. (2002). Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup Jilid 1 Edisi
Kelima. Jakarta: Erlangga
Satiadarma, M. P. (2004). Persepsi Orang tua Membentuk Perilaku Anak. Jakarta: Pustaka
Populer Obor
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Supratiknya. (1995). Tinjauan Psikologis; Komunikasi Antar Pribadi. Yogyakarta: Kanisius
Titik, Triwulan, & Trianto. (2007). Poligami Perspektif danPerikatan Nikah. Jakarta: Prestasi
Pustaka
Walgito, B. (2000). Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta : Penerbit Andi.
Widyaningsih, Bernadeta D. (2000). Kecerdasan Emosional Ditinjau Dari Persepsi
Mahasiswa Terhadap Konflik Perkawinan Orangtua. Skripsi Universitas Katolik
Soegijapranata Semarang.
Zira. (2011). Dampak Negatif Permasalah Orangtua terhadap Anak dan Pencegahannya .
(http://pondokibu.com/dampak-negatif-permasalahan-orangtua-terhadap-anak-danpencegahannya.html)