Marga dalam kajian keluarga. docx

SOLIDARITAS, IDENTITAS, DAN PAGUYUBAN SUKU DAYAK DALAM SISTEM
KEKERABATAN BILATERAL TELAAH SECARA SOSIOLOGIS MAKRO DAN MIKRO
Abstraksi
Suku dayak merupakan suku yang bertempat tinggal di sebagian besar pulau
Kalimantan, dengan jumlah anggota yang besar maka tidak heran jika suku dayak
merupakan mayoritas suku yang mendiami pulau Kalimantan, hal tersebut dapat
terpatri dari keberadaan sub-sub suku dayak yang mendiami kota atau kabubaten
yang berada di Kalimantan. Terbentuknya sub-sub suku dayak yang menempati
lahan kapubaten atau kota di Kalimantan berimplikasi dengan tercipnya kelompok
kecil dayak yang memiliki nama sendiri, perbedaan sub nama suku dayak sendiri
terbagi berdasarkan daerah tempat tinggalnya seperti suku dayak bahau, tajau,
ngaju, ot danum, maanyan, tabonan, lawangan, tamua, dan lain-lain. Akan tetapi
meskipun suku dayak terdiri dari sub-sub suku yang menempati kota dan
kabupaten berbeda mereka masih terikat dengan struktur makro mereka yaitu suku
dayak.
Suku dayak sendiri memiliki sistem kekerabatan yang bersifat bilateral atau
menarik garis keturuanan dari pihak ayah dan ibu ( Depdikbud, 1984), hal inilah
yang akan menjadi bahasan utama dalam tulisan kali ini dengan menggunakan
perspektif sosiologi khususnya sosiologi keluarga, salah satu konsentrasi studi
dari sosiologi keluarga adalah kekerabatan, oleh sebab itu dengan menggunakan
perspektif sosiologi keluagra penulis berkeinginan untuk mengupas dan menelaah

fenomena ini. Kekayaan dan kemewahan teori yang dimiliki oleh sosiologi
memberikan cara pandang tersendiri untuk dapat menganalisis sistem
kekerabatan yang terkontruksi dalam suku dayak.
Sistem kekerabatan sendiri merupakan jaringan sanak keluarga yang dilihat dari
garis keturunan dan menjadikan satu tubuh individu dalam keluarga tersebut
sebagai patokan, penarikan garis keturunan tersebut dapat dilihat dari adanya
keterikatan biologis yang ditandai dengan adanya hubungan darah ( Goode,
1991), khalayak umum biasanya melihat garis keturunan dari pihak ayah atau
disebut patrilinial, ibu atau matrilinal, dan keduanya atau yang umumnya di sebut
dengan bilateral, dalam tulisan kali ini penulis berfokus untuk menelisik sistem
kekerabatan yang terkontruksi dalam suku dayak menggunakan sudut pandang
sosiologi pada umunya dan sosiologi keluarga pada khususnya
Kata kunci : kekerabatan, suku dayak, sosiologi
LATAR BELAKANG
Penelitian terkait suku dayak merupakan hal yang menarik karena dari argumentasi
penulis hal pertama yang tervisualisasi dan terpikir pertama kali saat mendengar nama suku
dayak adalah stigmatisasi negatif tentang suku dayak tersebut, publik dan khalayak umum

menggambarkan bahwa suku dayak selalu terkait dengan suku pedalaman yang anarkis,
berkulit hitam, dan anti modernitas begitu lekatnya identitas tersebut pada suku dayak,

manifestasi stigma tersebut bekerja saat publik melabeli suku dayak dengan identitas yang
dikontruksi stigmatisasi negatif terhadap suku dayak. Hal lain yang memperkuat argumen
penulis adalah penemuan dalam karnaval 17 agustus untuk memeringati kemerdekaan ibu
pertiwi lepas dari belunggu penjajah, dimana dalam karnaval tersebut terdapat kelompok
yang menampilkan budaya dayak dan menggambarkan suku dayak dengan suku yang
berkulit hitam sehingga mereka mengecat sekucur tubuhnya hitam dengan arang, membawah
hewan buruan terkait hal ini disimbolkan dengan babi, dan bernyayi ria sepanjang jalan, hal
inilah yang berusah penulis luruskan agar kebohongan dalam publik tidak menjadi fakta dan
saat ada individu yang membawa fakta tidak dianggap kebohongan oleh publik, dengan
melihat suku dayak dari sudut pandang sistem kekerabtan secara tidak langsung kita pun
dapat melihat struktur budaya dalam suku dayak dan sejarah terbentuknya.
Literatur tentang suku dayak terbilang gampang-gampang susah dalam melacaknya
karena sifat dinamis dari suatu dimensi sosial khususnya masyarakat atau suku maka
pelacakan literatur dalam tulisan ini juga memperhatikan waktu studi tersebut dilaksanakan,
dengan menggunakan dua buah literatur hasil penelitian yang dilakuakan oleh taman budaya
Kalimanatan Tengah tahun 2010 dan kajian etnografi mahasiswa Institut Seni Indonesia
tahun 2015 maka penulis dapat melacak sistem kekerabatan, sejarah, dan struktur budaya dari
suku dayak dengan menggunakan data sekunder yang telah tersedia.
Dalam kajian yang dilakuakan oleh taman budaya Kalimantan Tengah, mereka memulai
kajian dengan mengajukan pertanyaan siapakah orang dayak?, orang dayak sendiri dalam

tulisan tersebut digambarkan sebagi suku bangsa yang memiliki stereotip negatif akibat
kebiadabannya, Munculnya stereotip seperti ini disebabkan orang Dayak dikenal dengan
budaya pengayauan(headhunting). Budaya pengayauan yang menurut Wyn Sargent(1974)
masih dipraktekkan di kalangan suku bangsa Dayak hingga tahun 1970-an, dan disusul lagi
oleh berbagai kasus konflik antar etnis di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah semakin
memperkuat justisifikasi tersebut. Lantas siapakah yang masuk dalam kategori orang dayak?,
Dayak adalah sebuah nama dan sekaligus sebagai ciri identitas etnis bagi suku bangsa proto
Melayu(Melayu Tua) yang diklaim sebagai penduduk pribumi pulau Kalimantan, termasuk
Kalimantan Utara. Berdasarkan sejarah perkembangan manusia, nenek moyang suku bangsa
Dayak berasal dari daerah Yunan(Cina Selatan). Diperkirakan sekitar awal abad ini terjadi
over population di Cina sehingga sebagian penduduk ke luar untuk mencari daerah

permukiman baru. Di antaranya setelah menyebrang laut Cina Selatan mereka terdampar di
pulau Kalimantan. Awalnya profesi mereka adalah sebagai penambang emas di Kalimantan
Barat, namun kemudian sebagiannya beralih profesi sebagai pekebun, petani, pedagang, dan
nelayan. Pada perkembangan selanjutnya, datanglah kelompok Deutro Melayu ke pulau
Kalimantan yang tujuannya adalah berdagang dengan menggunakan kapal-kapal kecil. Akibat
gelombang migrasi secara besar-besaran dari kelompok Deutro Melayu, kelompok Proto
Melayu yang awalnya tinggal didaearh pesisir, semakin terdesak ke daerah pedalaman yang
kemudian di kenal dengan suku bangsa Dayak, dan mereka yang tinggal di daerah

pantai/pesisir disebut sebagai orang Melayu. Suku bangsa Dayak, menurut hasil penelitian
awal seperti Tjilik Riwut(1958 & 1979), A.B Hudson(1967), Ukur(1972) terbagi kedalam
paling sedikit 405 sub etnis. Nama-nama sub etnis itu pada umumnya dibuat sendiri oleh
masing-masing sub kelompok etnis berdasarkan ciri-ciri tempat tinggal seperti daerah aliran
sungai dan daerah pedalaman. Maka tidak heran banyak nama sub etnis Dayak yang
berhubungan dengan nama sungai dan berkonokasi udik atau pedalaman.
Terkait sistem kepercayaan dan kekerabatan suku dayak memiliki agama sendiri yaitu
agama kaharingan, agama tersebut merupakan agama mayoritas yang dianut oleh suku dayak
sebenarnya nama dayak sendiri merupakan simbol pembeda antar agama karena nama dayak
muncul untuk membadahkan antara penduduk beragama muslim dan non muslim. Agama
kaharingan sendiri memiliki konsep keyakinan yang abstrak disamping mereka percaya
dengan eksistensi Tuhan mereka juga memuja roh-roh nenek moyang, banyak penulis
memasukkan

kepercayaan

orang

dayak


sebagai

kelompok

animisme,

namun

pengelompokkan tersebut mendapat penolakan dari sebagian besar pemuka adat suku dayak
karena mereka bukan menyembah pohon, patung, atau gua-gua besar. Akan tetapi mereka
percaya bahwa di tempat tersebut roh nenek moyang mereka bersemanyang, dengan
demikian maka penulis memilikii pandangan bahwa tingkat kepuasan dan kesejahteraan suku
dayak tidak terikat dengan adanya material namun dalam keseimbangan kosmos, seperti yang
sudah dijelaskan di atas bahwa sistem kekerabatan dari suku dayak menarik garis keturunan
dari ayah dan ibu atau bahasa akademisnya di kenal dengan nama bilateral.
Terkait dengan fokus kajian penulis yang membatasi dalam lingkup kekerabatan suku
dayak ternyata secara embanded konsep mengenai struktur budaya dan sejarah suku dayak
tercakup, dengan demikian maka penulis berasumsi bahwa saat kita mendalami satu hal
khusus dalam dimensi kehidupan masyarakat maka secara tidak langsung kita pun mengkaji
struktur makro masyarakat tersebut, berbicara mengenai masyarakat tidak akan pernah ada

ujungnya karena bersinggungan langsung dengan aspek sosial yang bersifat imajiner dan tak

berbatas. Untuk selanjutnya penulis akan menyampaikan literatur data sekunder dari kajian
etnografi terhadap sub suku dayak yang dilakukan oleh mahisiswa Institut Seni Indonesia,
tujuan digunakannya dua sumber literatur tersebut bahwa penulis berusaha menyelami lebih
dalam suku dayak dari beragam sudut pandang karena Peter. L. Berger memiliki konsep
dialektika yang menjelaskan bahwa satu benda yang sama jika dilihat dari sudut pandang
yang berbedah akan menghasilakn penjelasan yang berbedah pula ( Soekanto, 1982).
Kajian etnografis sendiri merupakan salah satu metode dalam pardigma kualitatif untuk
mengumpulkan data, etnografis secara sederhana dapat dijelaskan sebagai metode
pengumpulan data menggunakan tubuh peneliti sebagai instrumen dengan tinggal bersama
objek penelitian selama batas waktu yang ditentukan dalam penelitian (Koentjaraningrat,
2009), kajian etnogaris terkait suku dayak kali ini berfokus pada suku dayak bahau yang
merupakan salah sub suku dayak. Suku dayak bahau merupakan suku dayak yang bertempat
tinggal di daerah Kalimantan Timur tepatnya Kapubaten Kutai, terkait sistem kekerabatn
sendiri suku dayak bahau tidak berbedah dengan suku dayak pada umumnya dengan melihat
garis keturunan dari ayah dan ibu atau lebih dikenal sebagai bilateral. Akan tetapi yang
menajdikan sistem kekeraabatan suku dayak bahau unik adalah sejarah dinamika sisten
kekerabatannya, awalnya suku dayak bahau menggunakan sistem kekerabatan ambilinial
namun dalam perjalanan sejarah konsep tersebut mengalami adaptasi terutama saat

diterapkannya konsep utralokal yang berarti kebebasan bagi pasangan pengantin untuk
memilih tempat tinggal setelah menikah( Khairuddin, 2008). Terkait dimensi lain seperti
religi, pemukiman, budaya, dan adat suku dayak bahau terbilang masih memiliki
keseragaman dengan suku dayak pada umunya. Ada satu hal unik lagi yang dimiliki oleh
suku dayak bahau yaitu dalam proses perkawinan dimana masyarakat dayak bahau sanagt
menjujung perkawinan bersal dari startifikasi yang sama walupun berbeda suku bangsanya
untuk syarat lainnya terkait proses perkawinan tidak memiliki perbedaan yang signifikan
dengan suku dayak pada umumnya. Oleh sebab itu dengan berangkat dari telaah dua data
sekunder di atas penulis berusah membatasi limitisasi studi pada sistemm kekerabatab yang
berlaku pada masyarakat dayak yaitu bilateral dengan analisis dari sudut pandang secara
sosiologis.
TELAAH SOSIOLOGIS TERHADAP SISTEM KEKERABATAN BILATERAL PADA
SUKU DAYAK
Sosiologi merupakan salah satu ilmu baru yang muncul bersamaan dengan lahirnya
masyarakat kapitalis, dalam perspekif marxian masyarakat kapitalis terbagi menjadi dua
kelompok yaitu kelompok proletar dan borjuris klasifikasi kelompok tersebut berdasarkan

kepemilikan alat produksi, dimana mereka yang memiliki alat produksi termasuk dalam
kelompok borjuris dan yang tidak memiliki alat produksi termasuk dalamn kelompok proletar
(Ritzer, 2004). Sebagai sebuah disiplin ilmu yang masih muda sosiologi selalu berusaha

untuk melengkapi dan mendinamisasi baik kajian, objek, teori, maupun perspektifnya, objek
kaijian dari sosiologi sangat luas bahkan ada yang menyebut jika semua headline berita
merupakan kajian dari sosiologi, karena keluasaan kajian yang dimiliki sosiologi berusaha
untuk membuat limitasi bagi sebuah konsentrasi studi tertentu seperti sosiologi hukum,
agama, budaya, politik, desa, kota, keluarga, kesehatan, kriminal, dll. Oleh sebab itu untuk
menganalisis konsep kekerabatan dari suku dayak dalam tulisan ini penulis menggunakan
perkawinan anatara perspektif makro yang diwakili oleh teori besar dalam sosiologi dan
perpektif mikro yang diwakili oleh teori dari bidang sosiologi keluarga.
Adanya sistem kekerabatan yang terkontruksi dalam masyarakat merupakan sebuah
usaha untuk mengumpulkan kelompok-kelompok sejenis yang memiliki kesamaan terkait hal
ini yang digunakan sebagi dasar adalah kesamaan keturunan atau ikatan darah, suku dayak
sendiri memiliki sistem kekerabatan yang bersifat bilateral atau menarik garis keturunan dari
pihak ayah dan ibu, sehingga memiliki satu kelompok kekerabatan yang terbentuk luas oleh
sebab itu tidak heran jika diadakan pertemuan kekerabatn dalam suku dayak maka jumlah
anggotanya sangat banyak, bahkan ada yang sebelumnya saling kenal sebagi teman ternyata
mereka sama-sama datang pada pertemuan tersebut dan baru mengetahui kalau mereka
sebenarnya adalah saudara. Dengan demikian kelompok kekerabatn sendiri dapat dibagi
menjadi dua yaitu kekerabatan yang bersifat jauh dan dekat, yang dimaksud jauh atau dekat
dalam bahasan kali ini bukan pembedaan berdasrkan letak teritorial geografis tetapi adanya
hubungan darah yang terbentuk.

Terbentuknya kelompok kekerabatan seperti di atas dapat dimaknai sebagi sebuah
kekuatan baru dalam suatu masyarakat, meskipun kuat tidaknya suatu kelompok kekerabatan
tersebut tidak selalu dilihat dari sudut pandang kuantitas, melainkan juga dari sisi adanya
figur penting yang berpengaruh dalam kelompok tersebut seperti keberadaan ketua suku atau
pemangku adat. Telaah sosiologis secara umum melihat kontruksi kelompok kekeluargaan
sebagai sebuah pengikat identitas dan pemberian identitas baru bagi seorang individu, adanya
kelompok kekerabatan dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi positif dan negatif, dengan
menggunakan sisi positif maka kelompok kekerabatan dipandang sebagi sebuah kelompok
yang memiliki ikatan kuat sehingga menghasilkan solidaritas mekanik menurut Durkhein
atau kelompok paguyuban gemeinshaft menurut Tonnies (Giddens, 2004), terkontruksinya
individu-individu dalam sebuah wadah kekerabatan menujukkan adanya kesamaan tujuan,

visi, dan misi dari kelompok tersebut. Kalau melihat dari konsep interaksi maka adaya
kelompok kekerabatan merupakan salah satu tempat untuk berinteraksi secara intens, seperti
yang kita ketahui proses terjadinya interaksi harus memenuhi dua syarat kontak dan
komunikasi, maka dalam suatu perkumpulan yang dilakukan kelompok kekerabatan dua hal
tersebut pasti terjadi dan intensitas dari kontak dan komunikasi tersebut terus meningkat
hingga membentuk keakraban dan kenyamanan. Sedangkan sisi negatif terbentuknya
kelompok kekerabatan ini adalah adanya sentimen yang semakin kuat antar kelompok
kekerabatan yang jatuhnya pada sifat primordialisme, adaya sifat tersebut memiliki dampak

berbahaya bagi keberlangsungan hidup masyarakat karena meraka saling menunjukkan
keunggulan dari kelompoknya masing-masing dan seolah tak mau kalah, jika persaingan ini
bersifat positif merupakan satu keuntungan karena mereka saling berlomba memacu
kreativitas dan pengetahuan kelompok kekerabatan untuk selalu terlihat unggul, namun jika
persaingan ini jatuhnya negatif maka yang terjadinya adalah konflik persaudaraan dalam satu
suku yang sama.
Oleh sebab itu diperlukan peran birokrasi pembuat kebijakan yang mampu mewadahi
arena ini agar menghasilakn nilai tambah bagi aset daerah tempat tinggal suku tersebut,
seperti mewadahi kreativitas dengan memberikan predikat desa wisata, adat, inovasi, dan
otonom yang akan menarik banyak wisatawan baik domestik maupun mancanegara untuk
datang dan melihat sebuah gambaran bahwa perbedaan bukan hal yang harus diperdebatkan
akan tetapi perbedaan adalah sebuah pembelajaran untuk membangun kekuatan baru yang
menyatukan perbedaan.
TINJAUAN

SOLIDARITAS DALAM SISTEM KEKERABATAN SUKU DAYAK

DARI KONSEPSI EMILE DURKHEIN
Emile durkhein marupakan salah satu tokoh paling berpangaruh dalam sosiologi,
melalui pemikirannya tentang fakta sosial Durkhein berhasil membawah keluar sosiologi dari

lingkaran filsafat dan psikologi, konsep besar pemikiran Emile Durkhein terkait dengan
pemikiran tentang solidaritas masyarakat. Durkhein membagi kelompok solidaritas dalam
masyarakat menjadi dua kelompok yaitu kelompok solidaritas mekanik dan organik
(Soekanto, 1982), pengklasifikasian masyarakat pada salah satu kelompok dapat dilihat dari
beberapa standardisasi seperti ikatan, keakraban, dan keintiman hubungan, jadi dalam
keterkaitan dengan sistem kekerabatan yang diterapkan oleh suku dayak yang bersifat
bilateral konsepsi soslidaritas Durhein dapat digunakan sebagi salah satu alat analisis.

Sistem merupakan sesuatu yang saling terkait dan tidak dapat terpisahkan, terkait sistem
kekerabatan, kekerabatan dibandang sebagi suatu yang tidak bisa lepas unsur-unsurnya dan
memiliki keterikatan fungsi satu sama lain, sehingga fungsi-fungsi tersebut saling terintegrasi
dan mengoktruksi struktur besar bernama kekerabatan. Terkait sistem kekerabatan suku
dayak maka dalam hal ini menujukkan bahwa masyarakat dayak memiliki ikatan yang
bersifat bilateral secara tidak langsung ikatan tersebut menunjukkan bahwa suku dayak
memiliki sifat solidaritas mekanik, dasar pengklasifikasian suku dayak tergolong dalam
masyarakat dengan solidaritas mekanik adalah ikatan yang terbentuk dalam kekerabatan suku
dayak, asumsi penulis megatakan bahwa suku dayak memiliki ikatan kekerabatan yang kuat
hal tersebut dapat dijelaskan dengan beberapa kasus yang melibatkan suku dayak seperti
terjadinya konflik. Pemicu terjadinya konflik yang melibatkan suku dayak sebagian besar
bersumber dari pertentangan antar individu terlebih dahulu, berawal dari pertentangan
tersebut kelompok yang merasa bagian dari individu tersebut tidak terima karena
menganggap individu tersebut merupakan bagian dari identitas kelompoknya(Depdikbud,
1984), maka saat identitas individu tersebut dilecehkan secara tidak langsung juga
melecehkan identiitas kelompok yang bersangkutan. Oleh karena itu kuatnya ikatan
solidaritas suku dayak dapat dilihat dari masalah tersebut dimana ikatan kekerabatan yang
masih kuat dan merasa menderita saat salah satu anggota komunitas tersebut direndahkan.
Untuk dapat mengklasifikasikan suatu komunitas merupakan kelompok atau organisasi
sosial diperlukan beberapa kriteria antara lain : Setiap anggota kelompok sadar merupakan
bagian dari kelompoknya, ada hubungan timbal balik, ada satu faktor bersama, bersistem dan
berproses, serta terstuktur( Soekanto, 1982). Terkait kasus kali ini kekerabatan dalam suku
dayak dapat dimasukkan sebagai kelompok atau organisasi sosial karena sistem kekerabatan
dari suku dayak telah memenuhi kriteria yang diperlukan untuk diklasifikasikan sebagai
kelompok atau organisasi sosial, syarat pertama untuk dapat dikatakan sebagai kelompok
sosial adalah adanya kesadaran bagian dari suatu kelompok, hal tersebut telah teruji dalam
beberapa kasus yang melibatkan suku dayak seperti saat terjadi konflik individu sadar akan
bagian dari kelompok organisasi sosial dan sebaliknya kelompok pun sadar bahwa individu
tersebut merupakan bagian dari kelompok tersebut, maka secara tidak langsung syarat untuk
adanya hubungan timbal balik dapat terpenuhi juga karena adanya kesalingkaitan antara
individu dan kelompok. Hal lain yang bisa dikategorisasikan sebagai sebagai penanda adanya
kesadaran dan hubungan yang bersifat timbal balik adalah pertemuan antar kerabat,
masyarakat dayak pada umumnya atau dayak bahau khusunya untuk masalah ini memiliki

tradisi untuk berkumpul sesama kerabatnya saat terjadi peristiwa penting seperti pernikahan,
kematian, dan upacara adat, saat terjadi peristiwa-peristiwa tersebut suatu kelompok
kekerabatan baik individu maupun kelompoknya saling memiliki kesadaran akan bagian dari
kelompok tersebut dan saling berhubungan timbal balik, hubungan timbal balik dalam hal ini
dapat tecermin dari adanya sikap saling membantu dan tolong-menolong antar kerabat saat
ada suatu peristiwa. Syarat lainnya seperti tersistem, terstruktur, dan terbentuknya faktor
bersama secara manifest dapat terlihat sebagaimana saat terjadi peristiwa penting layaknya
sistem yang saling terkait dan terkonstruksi bersama syarat-syarat untuk dapat disebut
kelompok sosial atau organisasi dapat terlihat dalam satu kejadian waktu. Saat terjadi
pernikahan sebagai contoh maka sistem kekerabatan suku dayak memiliki struktur siapa yang
dituakan, siapa yang mendapat perhatian khusus, dll, begitu juga terkait faktor ikatan bersama
suku dayak memiliki satu akar pengikat bersama yang dijadikan salah satu tujuan dalam
kekerabatan suku dayak yaitu ideologi bersama dan mayoritas masih menganut agama yang
sama yakni agama kaharingan.
Jadi untuk menelaah sistem kekerabatan masyarakat dayak dari perspektif Durkheinian
didaptkan satu temuan, untuk dapat masuk dalam klasifikasi kelompok durkheinian maka
harus memenuhi syarat terlebih dahulu disebut sebagai kelompok sosial, nah untuk dapat
disebut sebagai kelompok sosila suatu kelompok harus memenuhi beberapa persyaratan,
setalah persyaratan tersebut terbentuk barulah kita dapat menggunakan cara pandang
Durkhrin untuk mengklasifikasikan kelompok tersebut masuk dalam solidaritas mekanik atau
organik. Untuk masuk dalam kategorisasi tersebut pun harus ada beberapa kriteria yang
dilihat seperti hubungan timbal balik, tolong menolong, dan saling memiliki, dari beberapa
persyaratan tersebut dan berpegang pada data sekunder yang ada maka argumentasi penulis
cenderung untuk memberikan tesis bahwa sistem kekerabatan dalam suku dayak mnerupakan
kelompok atau organisasi sosial dan dengan meminjam perpektif Durkhein organisasi
tersebut termasuk dalam kelompok solidaritas mekanik karena sikap saling tolong-menolong,
menghargai, dan memiliki.
Patembayan atau paguyuban
Konsep mengenai patembayan atau paguyuban merupakan buah fikir yang
disampaiakan oleh Ferdinand Tonnies, istilah yang digunakan oleh Tonnies waktu itu adalah ,
yang dimaksud gemeinschaft dan gesselschaft adalah sifat hubungan manusia. Tonnies yakin
dalam berhubungan manusia memiliki sifat hubungan salah satu antara gemeinschaft dan

gesselschaft, pemikiran Tonnies tentang sifat hubungan manusia ini yang mempengaruhi
klasifikasi lain kelompok hubungan manusia seperti pemikiran Cooley dan Durkhein.
Dalam kajian terkait sistem kekerabatan suku dayak, disebutkan di atas bahwa suku
dayak memiliki tipe solidaritas yang termasuk dalam solidaritas mekanik, solidaritas mekanik
sendiri merupakan buah pikiran dari sosiolog kenamaan Perancis Emile Durkhein. Relevan
dengan hal tersebut untuk mengklasifikan suku dayak dalam pengelompokkan yang di buat
oleh Tonnies dengan sudut pandang sistem kekerabatan termasuk dalam kelompok
paguyuban atau patembayan, Tonnies sendiri menemukan ada keterhubungan anatar sifat
interaksi manusia dengan tempat tinggalnya dimana sebagian besar masyarakat yang tinggal
di kota cenderung memiliki sifat hubungan patembayan sedangkanyang tinggal di desa
memiliki sifat hubungan paguyuban, untuk dapat membuat justifikasi suatu kelompok masuk
dalam klasifikasi paguyuban atau petembanyan diperlukan beberapa persyaratan.
Sistem kekerabatan dalam suku dayak sendiri jika dilihat dari beberapa persyaratan
yang ditentukan cenderung masuk dalam kategori paguyuban, persyaratan yang diberikan
Tonnies untuk masuk dalam kategori paguyuban diantaranya, intimide, private, exclusive.
Ditinjau dari syarat yang pertama intimide yang memiliki makna hubungan yang mesra maka
dalam sistem kekerabatan suku dayak hal ini telah tercapai dimana hubungan antar individu
dalam bangunan kekerabatan memiliki hubungan yang mesra dan merasa saling memiliki,
seperti data kajian etnografi suku dayak bahau, dimana saat terjadi kematian dari anggota
suatu kerabat mereka saling merasa kehilangan bahkan individu lain yang tidak termasuk
dalam anggota kerabat tersebut pun ikut merasa kehilangan. Hal ini dapat dijadikan sebagai
sebuah manifestasi hubungan yang mesra dalam suku dayak baik dalam sistem kekerabatan
maupun di luar sistem kekerabatan tersebut, mengenai syarat kedua private yang bermakna
kontruksi hubungan bersifat pribadi, dalam suku dayak bahau hal ini dapat diketahui saat
mereka ingin melakukan upacara perkawinan, untuk dapat sampai dalam bahtera perkawinan
individu harus melalui tahap pencarihan dan pemilihan jodoh, dalam tahap ini penentuan
keputusan untuk menetukan belahan jiwa merupakan putusan bersama dalam satu keluarga
inti ditambah satu tubuh yang dituakan dalam kelompok tersebut. Hubungan tersebut dapat
dikategorikan sebagi hubungan yang bersifat pribadi atau khusus untuk beberapa orang saja,
syarat selanjutnya adalah exclusive dimana hubungan yang terjadi hanyala untuk kita saja dan
bukan orang lain, hal tersebut dapat dilihat dalam masyarakat dayak bahau saat mereka
melakuakan upacara adat tertentu yang khusus untuk kerabat tertentu juga. Oleh sebab itu

ditinjau dari beberapa persyaratan dan bukti lapangan maka sistem kekerabatan dari suku
dayak termasuk dalam sistem kekerabatan yang bersifat paguyuban atau gemeinscafht.
Paguyuban sendiri menurut Tonnies terbagi lagi menjadi gemeinshaft by mind, place,
and bold atau jika diindonesiakan berarti paguyuban berdasarkan ikatan darah, tempat, dan
pikiran, melihat pembagian tersebut dari data lapangan yang tersedia penulis berargumen jika
sistem kekerabatan suku dayak nerupakan pembagian kelompok sendiri yang mencakup tiga
klasifikasi Tonnies, atau dengan kata lain satu kelompok kekerabatan suku dayak memiliki
tiga karakteristik paguyuban baik berdasrkan tempat, pikiran, dan darah akan tetapi yang
membedahkan adalah dengan sistem kekerabatan lainnya
KESIMPULAN
Adanya sistem kekerabatan merupakan suatu keniscayaan dalam setiap kehidupan
manusia, karena dua sifat dasar dari manusia yaitu bersatu dengan alam dan manusia lainnya,
dalam hal ini sistem kekerabatan dianggap sebagai suatu kontruksi bagunan yang memiliki
beragam sendi pembangun. Sendi tersebut saling mengisi kekosongan dan terikat satu sama
lain, inilah hakikat dari apa yang dimaksud sebagai sistem, kesalingpaduan sendi tersebut
dapat menopang keberlangsungan bangunan besar diatasnya yakni kekerabatan, kekerabatan
sendiri memiliki beragam bentuk mulai dari melihat adanya hubungan biologis atau darah,
tempat, hingga kesamaan pemikiran, oleh sebab itu jalinan kekerabatn merupakan tempat
untuk berdemokrasi sekaligus berkontelasi.
Selanjutnya, terkait dengan bahasan di atas penulis mengankat suku dayak sebagai suku
mayoritas di Kalimantan, sistem kekerabatan suku dayak sendiri bersifat bilateral dengan
melihat garis keturunan dari pihak ayah dan ibu, hal inilah yang menyebabakan luasnya
jalinan kekerabatn pada suku dayak. Suku dayak sendiri terbagi kepada susb-sub suku dayak
yang memiliki nama sub sesuai dengan nama tempat mereka tinggal, jalinan kekerabatn yang
sangat luas dan mendalam inilah yang memberikan pendefinisian suku dayak sebagi suku
yang memiliki tingkat kolektif tinggi.
Telaah teori makro tentang suku dayak dapat dilihat dari sudut struktural fungsionalis
yang menggambarkan sistem kekerabatan dalam suku dayak sebagi sistem yang telah
memiliki fungsinya sendiri dan saling terikat serta tak dapat dipisahkan. Hal ini merupakan
kekayaan bagi suku dayak dengan beragamnya sistem kekerabatn yang dimiliki namun masih
terikat dalam struktur makro masyarakat dayak.

Terkait dengan pahguyuban dan solidaritas yang terbentuk suku dayak memiliki sifat
hubungan paguyuban jika meminjam perspektif Tonnies sedangkan dari sudut pandang
Durkhein suku dayak memiliki solidaritas mekanik, dalam argumentasi penulis kedua
perpektif ini memiliki kesalinghubungan diaman jika yang berkembang adalah solidaritas
mekanik maka sifat hubungan nya cenderung bersifat paguyuban dan sebaliknya. Implikasi
dari adanya hubungan ini suku dayak memiliki identitas kolektif yang kuat dan sikap
primordialisme yang cukup tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Depdikbud. 1984. Upacara Tradisional (Upacara Kematian) Daerah Kalimantan
Timur. Jakarta: Balai Pustaka.
Goode, Williem J. 1991. Sosiologi Keluaraga. Jakarta : Bumi Aksara.
Soejono, Soekanto. 1982. Sosiologi Suatu Pengatar. Jakarta : PT. Raja Grafindo.
Khaharudin. 2008. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta : Liberty Yogyakarta.
Giddens, Anthony. 2004. Sosiologi Sejarah dan Beraga Pemikirannya. Yogyakarta : Kreasi
Wacana.
Koentjaraningrat. 2009.Pengatar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.